Anda di halaman 1dari 4

Politik Perindustrian Dalam Islam

(Prof Fahmi Amhar)

Di negara muslim seperti Indonesia, ada beberapa persoalan perindustrian yang sering
terangkat ke permukaan. Persoalan-persoalan ini dapat dikelompokkan dalam tiga besar:
Pertama teori bahwa perindustrian adalah kunci pertumbuhan ekonomi karena dianggap
mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Namun di sisi lain, hal ini juga
menyimpan resiko pada saat krisis ekonomi, seperti tampak dari kasus-kasus perburuhan
akibat rasionalisasi atau penutupan pabrik-pabrik.
Kedua adalah pandangan bahwa perindustrian akan mengakselerasi kemampuan teknologi.
Maka tak heran bahwa indikator kemampuan teknologi selalu diukur dari sejauh mana sebuah
bangsa atau negara memiliki atau membangun suatu industri strategis secara mandiri, seperti
telah dikerjakan pemerintah Orde Baru di Indonesia dengan industri pesawat terbang.
Ketiga adalah keyakinan bahwa perindustrian merupakan asset vital –bahkan strategis– dalam
mempertahankan tujuan-tujuan politik dan/atau ekonomi. Berbagai proyek besar seperti
Krakatau Steel, PT Pupuk Sriwijaya, PT Semen Gresik dan sebagainya. Semua dibuat dalam
rangka meraih tujuan-tujuan tersebut secara makro.

Fakta Teori Pertumbuhan Ekonomi


Fakta menunjukkan bahwa teori pertumbuhan ekonomi oleh perindustrian kita ternyata hanya
sebagian terwujud dalam kenyataan. Dalam kurun waktu tertentu, perindustrian di Indonesia
memang mampu menyerap banyak tenaga kerja dan mengurangi pengangguran. Namun ada
beberapa alasan yang menjadikan perindustrian di negeri ini tidak benar-benar mampu
menjaga kelanjutan pertumbuhan ekonomi itu, yaitu:
Pertama, meski industri kita ada di negeri ini dan dimiliki warga negara ini, namun nasibnya
sering tidak ditentukan di sini. Teknologi yang dipakai pada umumnya adalah lisensi dari
induknya di luar negeri. Meski alih teknologi telah dijalankan, dan kita pada dasarnya telah
mampu membuat sendiri produk tersebut, namun aturan-aturan paten dan rahasia dagang
akan menjaga sehingga kita hanya boleh membuat produk itu sesuai aturan lisensi pemilik
paten.

Kedua, output produk industri itu sering sangat tergantung pasar ekspor (pasar dunia).
Bahkan beberapa investor sengaja membangun industri di negeri ini hanya untuk pasar
ekspor, bahkan dengan merek asing. Akibatnya, industri semacam ini cukup rentan terhadap
berbagai peristiwa internasional.
Ketiga, bagi investor, Indonesia yang saat ini sedang hiruk pikuk dengan berbagai peristiwa
politik ini serta budaya KKN yang tak banyak berubah, dianggap tak lagi menguntungkan
secara bisnis, sehingga jangankan warga negara asing, WNI konglomeratpun ada yang justru
memindahkan pabriknya ke luar negeri seperti ke Vietnam atau Kamboja yang “ongkos
sosialnya” dianggap lebih ringan.
Fakta Pandangan Kebangkitan Teknologi
Sementara itu pada aspek kebangkitan teknologi, industri yang ada di negara-negara muslim
masih lebih sering baru bisa bermanismuka. Fakta, teknologi itu sering hanya ada dalam
seminar atau pameran namun jarang ada realita produksinya. Aktivitas industri yang berusaha
mandiri dengan pengembangan teknologi lebih sering terancam intervensi dari luar. IMF
melarang pemerintah menyuntikkan subsidi lagi untuk BUMN seperti PT Dirgantara
Indonesia. Sementara itu kalangan perbankan enggan mengucurkan kredit pada calon
pembeli bus-bus buatan Texmaco Engineering (sebuah perusahaan swasta nasional murni).
Malah justru impor bus bekas yang kini dilakukan, dan Texmaco dibiarkan menjadi pasien
BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional).
Pada sisi lain, aktivitas pengembangan teknologi di negeri ini sering justru larut dalam pola
budaya korup yang ada. Memang, teknologi tinggi hanya bisa dimulai dengan subsidi dari
negara. Namun ini sebenarnya hanya perlu pada tahap inisiasi. Seharusnya pada level
tertentu, teknologi itu sudah mencapai kematangan dan meningkatkan kinerja dalam industri,
sehingga penghematan yang dihasilkannya bisa disisihkan untuk pengembangan teknologi
lebih lanjut.
Pada sisi perburuhan, kemajuan teknologi yang diraih sering justru menempatkan dunia
industri pada situasi dilematis. Pada awalnya, industri bisa didesain untuk berjalan secara
padat karya –dan bukan padat modal/padat teknologi. Namun berbagai peraturan dan
standardisasi yang diterapkan agar bisa masuk ke pasar global (seperti kelompok ISO 9000
dan ISO 14000) sulit terpenuhi tanpa penggunaan teknologi yang lebih intensif –dan ini
berarti rasionalisasi.
Akan halnya kemandirian, strategi pembangunan industri ala Orde Baru dengan mencari
investor asing baik secara langsung maupun melalui berbagai pinjaman pemerintah dari
IGGI, CGI, Paris Club, Word Bank, ADB dan sebagainya, lebih sering justru menjadikan kita
sulit menjadi mandiri.
Di sisi lain, sistem ekonomi yang ada membuat banyak industri yang semula dinilai strategis,
bahkan juga untuk keperluan militer di saat perang, kemudian justru dilego untuk menutup
defisit APBN akibat krisis perbankan. Masih segar ingatan kita akan penjualan Indosat ke
STT Singapore.
Walhasil, strategi perindustrian yang ada selama ini belum pernah berhasil menjadikan kita
bangsa yang benar-benar mandiri. Perindustrian kita gagal menopang pertumbuhan ekonomi
yang berkelanjutan. Gagal pula membangkitkan kemampuan teknologi. Dan teknologi yang
telah kita kuasaipun ternyata sulit menjadi andalan perindustrian kita sendiri
Islam mengatur seluruh aspek kehidupan. Namun bicara tentang perindustrian dalam Islam,
orang sering hanya terfokus pada cabang industri yang mendukung aspek ruhiyah Islam,
seperti industri penerbitan Islam, industri busana dan asesori muslim, atau industri yang
mendukung ibadah haji.
Padahal seharusnya seluruh cabang perindustrian diwajibkan untuk tunduk kepada syariat
Islam. Seluruh cabang industri, baik yang menghasilkan produk untuk konsumen akhir
maupun yang menghasilkan alat-alat berat atau bahan baku industri yang lain, seharusnya
dibangun dan diatur dalam satu kerangka berpikir dan paradigma yang dilandasi oleh aqidah
Islam.
Dengan melihat fakta-fakta di muka, maka bisa kita simpulkan bahwa suatu politik
perindustrian dalam Islam akan terkait erat dengan bagaimana merubah pola berpikir dalam
masyarakat, dan juga satu set aturan-aturan dalam sistem ekonomi seperti hukum
kepemilikan; politik moneter; perdagangan luar negeri; aturan-aturan tentang hak atas
kekayaan intelektual (HaKI); dan perburuhan; sampai sistem pendidikan dan sistem politik
dan pertahanan.
Paradigma negara dalam Islam adalah untuk melindungi dan memelihara jiwa, akal, agama,
nasab, harta, kemuliaan, keamanan dan negara. Karena itu, seluruh politik perindustrian akan
disinergikan untuk mewujudkan apa yang disebut maqashidus syariah itu.
Perindustrian dikembangkan agar ekonomi bisa berputar, sehingga jiwa-jiwa bisa tertolong
(misalnya industri makanan atau obat-obatan), akal bisa dihidupkan (misalnya industri
penerbitan Islam serta alat-alat edukasi), kehidupan beragama bisa lebih semarak (misalnya
industri konstruksi sarana ibadah atau alat-alat transportasi jamaah haji), kehidupan keluarga
lebih harmonis (misalnya industri peralatan untuk bayi dan ibu hamil), dan seterusnya.
Perindustrian diarahkan untuk mampu mengatasi seluruh kebutuhan dari rakyat negara Islam,
baik muslim maupun non muslim. Tidak ada artinya berproduksi yang berorientasi ekspor,
jika pada saat yang sama untuk berbagai kebutuhan yang mendasar harus mengimpor, bila itu
sudah bisa dipenuhi kemampuan industri dalam negeri.
Namun pada saat yang sama perindustrian juga dibangun atas dasar strategi dakwah dan
jihad, defensif maupun offensif, baik yang sifatnya non fisik maupun fisik. Dari sisi non fisik,
seluruh pembangunan industri harus dibangun dalam paradigma kemandirian. Tak boleh
sedikitpun ada peluang yang akan membuat kita menjadi tergantung kepada orang-orang
kafir, baik dari sisi teknologi (melalui aturan-aturan lisensi), ekonomi (melalui aturan-aturan
pinjaman atau ekspor-impor) maupun politik.
Sedang dari sisi fisik, seluruh industri yang ada, harus mampu dimodifikasi untuk
menyediakan keperluan untuk jihad pada saat dibutuhkan. Industri alat-alat berat yang pada
saat damai akan membuat kereta api atau alat-alat dapur, pada saat perang harus mampu
dengan cepat disulap menjadi industri tank atau senapan otomatis. Kemampuan semacam ini
pula yang dimiliki oleh setiap negara industri maju seperti Jerman dan Amerika Serikat.
Revolusi Industri
Semua kemampuan tersebut di atas tentu saja tidak bisa didapat kecuali ada suatu revolusi
teknologi dan industri. Pola alih teknologi yang ada selama ini, apalagi dalam frame
pinjaman asing, tidak akan pernah membuat kita benar-benar mandiri. Kita hanya dididik
untuk memakai teknologi afkiran produksi negara donor.
Kita hanya akan mampu mandiri, bila kita melalui loncatan teknologi, yaitu sebuah revolusi
industri. Revolusi ini akan terjadi, bila pada masyarakat terdapat pemikiran untuk mandiri,
bukan pemikiran untuk tergesa-gesa menikmati. India dan Cina adalah contoh terbaik abad
20.
Meskipun demikian, impor barang-barang industri buatan Luar Negeri tetap berstatus mubah
seperti hukum asalnya. Hanya saja, Khalifah berhak mentabanni aturan-aturan yang
membatasinya baik itu bersifat bilateral (seperti tarif bea masuk atau quota) maupun
unilateral bila itu dipandang perlu untuk melindungi negara Islam.

Anda mungkin juga menyukai