Anda di halaman 1dari 15

KAT

BAHAN AJAR

PENCEGAHAN KONFLIK

Disajikan pada:
PELATIHAN MODERASI BERAGAMA

Oleh:
Tim Widyaiswara BDK Bandung

KEMENTERIAN AGAMA RI
BALAI DIKLAT KEAGAMAAN BANDUNG
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena bahan ajar ini
telah selesai disusun. Bahan ajar ini disusun agar dapat membantu para pembaca dalam
mempelajari pencegahan konflik yang mana pokok bahasan ini menjadi acuan untuk
pembahasan selanjutnya, serta diharapkan akan mempermudah pembaca untuk memahami
moderasi beragama yang akan dibahas pada topik berikutnya.
Penulis pun menyadari jika didalam penyusunan bahan ajar ini mempunyai
kekurangan, namun penulis meyakini sepenuhnya bahwa sekecil apapun bahan ajar ini tetap
akan memberikan sebuah manfaat bagi pembaca.
Akhir kata untuk penyempurnaan bahan ajar ini, maka kritik dan saran dari pembaca
sangatlah berguna untuk penulis kedepannya.

Bandung, Maret 2021

Tim Widyaiswara

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... ii


BAB I......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................................ 1
C. Manfaat ....................................................................................................................... 1
D. Standar Kompetensi .................................................................................................... 2
E. Kompetensi Dasar ....................................................................................................... 2
BAB II ....................................................................................................................................... 3
PENCEGAHAN KONFLIK ..................................................................................................... 3
A. Ruang Lingkup Penanganan Konflik .......................................................................... 3
B. Identifikasi Potensi Konflik (analisis social keagamaan) ........................................... 6
C. Toleransi Kerukunan (Kesetaraan dan Kerjasama) .................................................... 7
BAB III .................................................................................................................................... 11
PENUTUP ............................................................................................................................... 11
A. Kesimpulan ............................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 12

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masyarakat Indonesia sudah sejak lama dikenal sebagai masyarakat yang
bersifat majemuk. Hal itu dengan mudah dapat diketahui dalam semboyan negara
Republik Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika” artinya “Meskipun berbeda-beda
tetapi tetap satu. Semboyan itu secara umum mengandung arti meskipun
masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa tetapi tetap merupakan
satu kesatuan Republik Indonesia.
Di balik semboyan itu sebenarnya terdapat suatu pesan bahwa masyarakat
Indonesia menghadapi masalah persatuan dan kesatuan di dalamnya. Di dalamnya
terdapat beraneka ragam perbedaan suku bangsa, agama daerah dan etnis.
Perbedaan itu seringkali berpengaruh pada perbedaan sistem kepercayaan, sistem
nilai pandangan hidup dan perilaku sosial sehingga cenderung menimbulkan
konflik atau perpecahan sosial di dalamnya.
Sedangkan dalam Pancasila ini merupakan pokok filsafat negara, dasar
dari kedua pancasila yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 sila ke-3 yaitu
Persatuan Indonesia merupakan dasar yang harus dijaga agar jangan sampai ada
yang merusak dasar filsafat ini. Kiranya menjadi kewajiban bagi semua
komponen bangsa sebagai warga negara Indonesia untuk melaksanakan amanah
pancasila ini, maka bersikap dan bertindak menuju pada kerukunan hidup
beragama adalah sebuah kemuliaan. Demikian hal ini yang menjadi alasan
mengapa materi pencegahan konflik perlu dipahami bersama.

B. Deskripsi Singkat
Mata diklat ini secara umum membahas tentang pencegahan konflik

C. Manfaat
Bahan ajar ini disusun dengan harapan akan memberikan manfaat kepada
pendidik pendidik antara lain:

1
1. Memberikan pengetahuan dan pemahaman berkaitan dengan pencegahan
konflik.
2. Menjadi referensi yang memadai tentang pencegahan konflik.

D. Standar Kompetensi
Memahami langkah – langkah pencegahan konflik dan menganalisis factor
pemicu konflik.

E. Kompetensi Dasar
Setelah mengikuti diklat ini peserta diharapkan dapat;
1. Menjelaskan ruang lingkup penanganan konflik (pencegahan dan
pemulihan pasca konflik).
2. Mengidentifikasikan potensi konflik (analisis social keagamaan).
3. Menjelaskan Kerukunan melalui toleransi; toleransi kesetaraan dan
Kerjasama.
4. Menelaah sistem peringatan dini.

2
BAB II
PENCEGAHAN KONFLIK

A. Ruang Lingkup Penanganan Konflik


1. Pengertian Konflik dan Konflik keagamaan
Meski para ahli ilmu social umumnya sepakat bahwa konflik sosial
merupakan suatu jenis dari hubungan atau interaksi sosial, namun mereka
berbeda-beda dalam merumuskan definisi konflik. Berikut adalah sejumlah
definisi tentang konflik yang fikemukakan para sarjana:
a. “a social relationship…in so far as action within it is oriented
intentionally to carrying out the actor’s own will against the resistance
of the other party or parties” (Weber, 1947)
b. “a struggle over values anda claims to scarce status, power, and
resources in which the main aims of apponents are to neutralize, injure,
or eliminate rivals” (Tilly, 1987)
c. Konflik social terjadi ketika, “…two or more persons or groups
manifest the belief that they have incompatible objectives” (Kriesberg,
1998)
Meski rumusan definisi konflik yang diajukan berbeda, namun ada
sejumlah elemen konflik yang dapat disimpulkan. Pertama, hubungan
pertikaian antara dua pihak atau lebih. Kedua, intensionalitas tindakan dari
para pihak yang terlibat dalam konflik. Ketiga, ada hubungan saling
pengaruh atau ketergantungan antara pihak yang bertikai. Karena jika tidak
ada saling pengaruh antara para pihak, perbedaan yang ada tidak akan
melahirkan konflik. Keempat, pertikaian antar aktor konflik itu menyangkut
nilai atau tuntutan atas status, kekuasaan, dan sumber daya, atau terjadi
karena keyakinan para aktor bahwa mereka memiliki tujuan yang tidak
selaras atau berlawanan. Konflik keagamaan dikategorikan dalam konflik
menyangkut nilai, meski dalam beberapa kasus perebutan kekuasaan dan
sumber daya turut mewarnai.

3
Konflik keagamaan termasuk dalam kelompok konflik etnis, yaitu
konflik yang didasari atas identitas seperti ras, warna kulit, bahasa, suku dan
agama. Ciri utama yang digunakan umumnya identitas kelompok yang
berkonflik, seperti Muslim-Kristen untuk konflik komunal atau konflik
antaragama, atau syiah-sunni untuk konflik intra-agama atau konflik
sektarian.
Definisi keagamaan lebih luas yaitu “perseteruan atau pertikaian, baik
berupa aksi damai maupun aksi kekerasan, menyangkut nilai, klaim dan
identitas yang melibatkan isu-isu keagamaan atau isu-isu yang dibingkai
dalam slogan atau ungkapan keagamaan” (Samsu Rizal Panggabean, 2010)
2. Pencegahan Konflik dalam Siklus Konflik
Perbedaan konflik dan kekerasan menjadi landasan dari konsep
pencegahana konflik dalam studi-studi konflik. Pencegahan konflik adalah
upaya mencegah penggunaan kekerasan dalam konflik. Istilah lain yang
kerap digunakan para ahli untuk menyebut pencegahan konflik adalah
respons dini konflik. Secara garis besar siklus konflik terbagi ke dalam
beberapa fase atau tahap: laten, permulaan konflik, eskalasi, puncak atau
krisis, de-eskalasi, dan akhir konflik.
Fase laten adalah tahap ketika kondisi yang berpotensi melahirkan
konflik belum disadari para pihak, atau sebagian pihak mungkin telah
menyadarinya tetapi tidak tahu apa yang harus diperbuat. Jika pencegahan
konflik tidak dilakukan atau gagal, maka kondisi ini akan mendorong
munculnya fase selanjutnya.
Fase lahirnya konflik atau munculnya konflik adalah tahap ketika satu
pihak mulai menyatakan keluhan atau keberatan terhadap pihak lainnya
terkait isu konflik tertenu. Keluhan umumnya masih disampaikan secara
individual, belum secara organisasi.
Fase eskalasi adalah tahap ketika salah satu pihak berkonflik telah
mengekspresikan tuntutan terhadap pihak lain dalam bentuk aksi yang lebih
terorganisasi. Bentuk aksi untuk mengekspresikan tuntutan itu disebut Tilly
(2008) sebagai cara laku bertikai (contentious performance). Dari segi
jenisnya, cara laku bertikai dapat baru aksi damai atau nirkekerasan, aksi

4
disruptif dan aksi kekerasan. Dari segi bentuk, laku bertikai dapat berupa
delegasi atau pengaduan, pernyataan/siaran/jumpa pers, dan
demonstrasi/pawai. Seiring dengan meningkatnya situasi konflik, laku
bertikai dapat berupa delegasi atau pengaduan, pernyataan/siaran/jumpa
pers, dan demonstrasi/pawai. Jika kondisi eskalasi tidak tertangani, konflik
akan berlanjut memasuki fase krisis. Apabila pada fase sebelumnya
ketegangan telah ditandai dengan munculnya aksi–aksi kekerasan secaa
sporadis, fase krisis ditandai dengan aksi kekerasan yang massif dan meluas.
apabila intervensi penghentian kekerasan berhasil, kekerasan mereda dan
ketegangan antara pihak berkonflik menurun, konflik memasuki fase de-
eskalasi. dalam fase ini, selain upaya memelihara perdamaian, pihak ketiga
berupaya melakukan mediasi atau dialog dengan melibatkan para pihak
berkonflik untuk mencapai kesepakatan penyelesaian konflik. Jika mediasi
atau dialog dapat menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima para pihak
berkonflik, konflik memasuki fase akhir konflik. Apabila sebaliknya maka
kondisi itu akan membuka kesempatan terjadinya konflik baru di masa
mendatang.

5
B. Identifikasi Potensi Konflik (Analisis Sosial Keagamaan)
Pemetaan dan analisis konflik dibutuhkan untuk kepentingan pencegahan
konflik, alasannya agar intervensi pencegahan maupun penanganan sesuai dengan
situasi konflik yang dihadapi. Ada empat elemen konflik yang penting dikenali
dalam melakukan pemetaan dan analisis konflik: (a) isu atau inti persoalan, (b)
aktor atau pemangku kepentingan yang terlibat, (c) konteks dan (d) proses
(Kriesberg,1998).
Isu konflik adalah hal pokok yang dipertikaian para pihak yang berkonflik.
Seringkali isu itu bersifat multidimensi; penyelesaian isu yang satu belum tentu
mengakhiri konflik karena ia memiliki kaitan dengan isu lain yang juga harus
diselesaikan. Isu konflik yang muncul di permukaan tidak berarti ia merupakan
akar persoalan. Oleh sebab itu, penting untuk mengenali problem-problem lain
yang lebih mendasar yang merupakan akar persoalan dari konflik yang terjadi.
Hal yang juga penting dipertimbangkan adalah isu atau persoalan bersifat
dinamis. Ia berkembang dan berubah seiring dengan berjalannya waktu.
Isu konflik keagamaan dikategorikan ke dalam 6 besar: (1) isu terkait
persoalan moral, seperti tempat hiburan, prostitusi dan sebagainya; (2) isu
sektarian, yaitu isu-isu yang melibatkan perseteruan terkait interpretasi atau
pemahaman ajaran dalam suatu komunitas agama maupun status kepemimpinan
dalam suatu kelompok keagamaan; (3) isu komunal, yaitu isu – isu yang
melibatkan perseteruan antarkomunitas agama, seperti konflik muslim-kristen,
konflik pendirian rumah ibadat, penyiaran agama dan sebagainya; (4) isu
politik/kebijakan, (4) isu politik/kebijakan, yaitu konflik terkait kebijakan tertentu
negara, baik domestik maupun internasional; (5) isu terorisme, yaitu isu terkait
dengan aksi – aksi terror yang dilakukan kelompok-kelompok yang menonjolkan
identitas keagamaan tertentu; dan (6) isu lainnya, yaitu isu konflik yang tidak
dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari 5 kategori sebelumnya (Samsu Rizal
Panggabean, 2010)
Pemangku kepentingan adalah pihak – pihak yang terlibat dalam konflik
atau yang memiliki kepentingan terhadap konflik. Karakteristik aktor yang terlibat
konflik dan relasi diantara mereka akan mempengaruhi apakah suatu konflik
mudah atau sulit diselesaikan. Aktor dibagi menjadi 3 kategori: (a) aktor primer,

6
yaitu pihak yang terlibat secara langsung sebagai pihak berkonflik, (b) aktor
sekunder, yaitu bukan pihak yang langsung terlibat dalam konflik, tetapi
berkepentingan dengan konflik, (c) aktor tersier, yaitu pihak pemerintah dan
lembaga-lembaga lainnya yang berkepentingan untuk mencari penyelesaian atas
konflik.
Ada tiga cara para pihak berkonflik mengekspresikan respons mereka;
nirkekeraasan, konfrontasional dan kekerasan. Proses mengalami perubahan
seiring berjalannya waktu. Cara masyarakat dalam merespons konflik
berkembang; terkadang konteks tertentu memiliki keunikan.
C. Toleransi Kerukunan (Kesetaraan dan Kerjasama)
Toleransi antar umat beragama merupakan suatu mekanisme sosial yang
dilakukan manusia dalam menyikapi keragaman dan pluralitas agama. Agama
dapat menjadi sumber konflik dan kekerasan disebabkan oleh eksklusifitas dan
fanatisme agama sehingga menyebabkan suatu agama merasa paling benar dan
merasa berhak memperlakukan agama lain sebagai pihak yang sesat. Bahkan
perilaku kekerasan kadangkala dianggap sebagai bagian dari “tugas suci agama”.
Untuk itulah diperlukan suatu hubungan sosial yang harmonis yang tercipta dari
proses interaksi sosial yang dinamis. Interaksi masyarakat Indonesia memiliki ciri
berupa eratnya kedekatan social dan emosional antarwarga masyararakat.
Dalam konteks interaksi antar agama, masyarakat Indonesia dikenal
memiliki sistem nilai tersendiri sehingga dapat melakukan toleransi dengan
berbagai macam kebhinekaan yang ada dalam masyarakat. Masing-masing
masyarakat memiliki nilai-nilai yang diyakini, dipatuhi, dan dilaksanakan demi
menjaga harmonisasi dalam masyarakat. Nilai-nilai inilah yang dikenal dengan
keraifan lokal (local wisdom) yang merupakan semua bentuk pengetahuan,
keyakinan, pemahaman atau wawasan, serta adat kebiasaan atau etika yang
menuntun perilaku manusia dalam kehidupan komunitas ekologis yang
menyangkut relasi yang baik di antara sesama manusia dan juga di antara sesama
penghuni ekologis. Oleh karena itu, kearifan lokal mengajarkan perdamaian,
sesama manusia, dan lingkungannya Attabik dan Sumiarti dalam (Faridah, 2013)
Terkait dengan toleransi kehidupan beragama, Aan Sofyan dan Atiqa
Sabardilla (2011) dalam artikelnya yang bejudul “Persepsi Mahasiswa Terhadap

7
Kata Toleransi Kehidupan Beragama” mengungkapkan bahwa kata toleransi
dalam kehidupan beragama dimaknai secara beragam oleh mahasiswa, antara lain;
pertama, ada yang memaknai bahwa toleransi dalam Islam tidak ada. Menurut
mahasiswa yang berpendapat demikian, tidak ada kata pluralism dalam agama,
yang ada hanya pluralitas agama, sehingga tidak ada toleransi dalam beragama.
Kedua, konsep toleransi adalah tidak mencampuri urusan agama lain, boleh
bertoleransi tetapi bersyarat. Ketiga, toleransi adalah pencampuradukan agama.
Keempat, toleransi adalah cara merusak Islam karena dianggap sebagai cara kaum
tertentu untuk merusak syari’at Islam dan memecah belah ukhuwah di antara
sesama penganut Islam. Kelima, toleransi adalah saling menghargai antara
pemeluk agama. Dalam hal ini, toleransi agama diperlukan dalam sebuah
hubungan yang masyarakatnya heterogen, sehingga diperlukan sebuah usaha yang
saling menghargai antaragama, tidak mengganggu dan menyinggung keyakinan
masing-masing.
Menurut Setiawan (2012), dalam artikelnya yang berjudul “Interaksi Sosial
antar Etnis di Pasar Gang Baru Pecinan Semarang dalam Perspektif
Multikultural”, dalam masyarakat multikultural interaksi merupakan kunci dari
semua kehidupan sosial karena merupakan dasar proses sosial yang menunjukkan
hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Pada kondisi multikultural masyarakat
Gang Baru Pecinan Kota Semarang, terjalinnya interakasi sosial yang harmonis
disebabkan karena terkonsepsikannya dengan baik sikap saling memahami dan
menjaga satu wilayah, serta adanya keterlibatan semua pihak dalam berbagai
kegiatan yang mengantarkan mereka pada proses pembauran hidup yang
berlangsung secara turun temurun. Selain itu, sikap memegang teguh pendirian
budaya juga membawa pengaruh terhadap kerukunan antar umat beragama.
Sementara adaptasi dan asimilasi budaya merupakan bentuk dari pemahaman
multikultural masyarakat Gang Baru Pecinan Semarang di samping bentuk yang
lain yang telah mereka praktikkan selama ini.
Toleransi agama dilakukan ketika berhubungan dengan kegiatan keagamaan
masing-masing warga. Salah satunya ucapan selamat dan saling silaturahmi ketika
salah satu umat beragama merayakan hari besar keagamaan. Sedangkan toleransi
sosial diwujudkan ketika menyangkut kepentingan umum dan di luar kegiatan

8
keagamaan misalnya melalui kegiatan kerjasama seperti kegiatan kerja bakti dan
gotong royong.
D. Sistem Peringatan Dini
Para sarjana dan praktisi berbeda beda dalam mendefinisikan peringatan
dini serta tujuan atau kegunaanya. Alexander Austin, misalnya mendefinisikan
sistem peringatan dini sebagai “Setiap upaya yang difokuskan untuk melakukan
pengumpulan data secara sistematis, analisis dan/atau perumusan rekomendasi,
termasuk asesmen risiko dan berbagi informasi, terlepas dari topik yang dikaji,
apakah menggunakan kuantitatif, kualitatif atau kombinasi keduanya (Austin,
2004). Menurutnya, sistem peringatan dini memiliki tiga tujuan utama, yaitu: (a)
mengidentifikasi sebab-sebab konflik, (b) “memprediksi” pecahnya atau
terjadinya konflik, dan (c) meredakan (mitigasi) konflik (Austin,2004).
Sementara itu, Nyheim mendefinisikan sistem peringatan dini sebagai
“Sistem yang melibatkan pengumpulan dan analisis yang regular dan terorganisasi
terhadap informasi dari sumber terbuka mengenai situasi konflik kekerasan.
Sistem ini menyediakan sekumpulan produk peringatan dini yang terhubung
dengan instrument/mekanisme respons. “adapun Uni Eropa mendefiniskan system
peringatan dini sebagai “…a robust, evidence-based risk management tool that
identifies, assesses amd helps prioritise situations at risk of violent conflict…,
focusing on structural factors and with a time horizon of four year. It also
identifies conflict prevention and peace building opportunities. ”Namun, Uni
Eropa secara tegas menyebut tujuan sistem peringatan dini bukanlah
“memprediksi” terjadinya kekerasan karena pemicu pasti terjadinya kekerasan
sulit dikenali. Namun, sistem peringatan dini dapat membantu mengenali
beberapa faktor struktural dan indikator-indikator yang acap kali berkolerasi
dengan risiko konflik, yang informasi itu berguna untuk upaya mitigasi atau
pencegahan konflik.
OECD menyebut sejumlah kriteria bahwa sebuah sistem peringatan dini
dapat disebut “baik”. Pertama, sistem itu memiliki basis di lapangan atau
memiliki jaringan pemantau yang kuat di lapangan. Kedua, sistem itu
menggunakan sumber informasi yang beragam, serta metode analisis kualitatif
maupun kuantitatif. Ketiga, sistem itu memanfaatkan teknologi komunikasi dan

9
informasi yang sesuai. Keempat, sistem itu menyediakan laporan dan
pemutakhiran berkala mengenai dinamika konflik kepada para pemangku
kepentingan utama. Terakhir, sistem itu memiliki tautan yang kokoh dengan unit
pemberi respons atau mekanisme respons. Peringatan dini bertujuan untuk; (1)
menyediakan sumber informasi yang memadai, netral dan terbuka; (2) memonitor
konflik keagamaan di masyarakat secara berkesinambungan; dan (3) menjadi
basis untuk merumuskan pilihan–pilihan tindakan bagi pihak-pihak yang
berwenang dan berkepentingan dalam rangka pengambilan keputusan dan
tindakan pencegahan.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Konflik sosial merupakan suatu jenis dari hubungan atau interaksi sosial,
Meski rumusan definisi konflik yang diajukan berbeda, namun ada sejumlah
elemen konflik yang dapat disimpulkan. Pertama, hubungan pertikaian antara dua
pihak atau lebih. Kedua, intensionalitas tindakan dari para pihak yang terlibat
dalam konflik. Ketiga, ada hubungan saling pengaruh atau ketergantungan antara
pihak yang bertikai. Karena jika tidak ada saling pengaruh antara para pihak,
perbedaan yang ada tidak akan melahirkan konflik. Keempat, pertikaian antar
aktor konflik itu menyangkut nilai atau tuntutan atas status, kekuasaan, dan
sumber daya, atau terjadi karena keyakinan para aktor bahwa mereka memiliki
tujuan yang tidak selaras atau berlawanan. Fase terbagi kedalam beberapa fase
yaitu; fase laten, permulaan konflik, eskalasi, puncak atau krisis de-eskalasi dan
akhir konflik.
Pemetaan dan analisis konflik dibutuhkan untuk kepentingan pencegahan
konflik, alasannya agar intervensi pencegahan maupun penanganan sesuai dengan
situasi konflik yang dihadapi. Ada empat elemen konflik yang penting dikenali
dalam melakukan pemetaan dan analisis konflik: (a) isu atau inti persoalan, (b)
aktor atau pemangku kepentingan yang terlibat, (c) konteks dan (d) proses
(Kriesberg,1998). Toleransi antar umat beragama merupakan suatu mekanisme
social yang dilakukan manusia dalam menyikapi keragaman dan pluralitas agama.
sistem peringatan dini memiliki tiga tujuan utama, yaitu: (a) mengidentifikasi
sebab-sebab konflik, (b) “memprediksi” pecahnya atau terjadinya konflik, dan (c)
meredakan (mitigasi) konflik.

11
DAFTAR PUSTAKA

Alam, R. H. (2009). Studi berbasis Surat Kabar tentang Konflik Keagamaan di


Indonesia Bagian Barat 2004-2007. Penamas Vol.XXII,No.2 Tahun 2009,
145-179.
Alam, R. H. (2018). Sistem Peringatan dan Respons Dini Konflik Keagamaan
Laporan Penelitian Fase 1. Jakarta.
Asry, M. Y. (2011). Pendirian Rumah Ibadat di Indonesia: Pelaksanaan
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.9 dan
8 Tahun 2006. Jakarta : Kementrian Agama, Badan Diklat dan
Litbang,Puslitbang Kehidupan Keagamaan .
Austin, A. (2004). Early warning and the field: A cargo Cult Science? Diambil
kembali dari Berghof Research Center for Constructive Conflict
Management : http://www.berghof-handbook.net
Bock, J. G. (2015). Firmer Footing for a policy of early intervention: conflict
Early Warning and Early Response Comes of Age. Journal of Information
Technology & Politics, 12:103-111.
Coser, L. A. (1956). The Functions of Social Conflict. Glencoe: The Free Press.
Crouch, M. (2010, December). Implementing the Regulation on Places of
Worship:New Problems,Local Politics, and Court Action. hal. 403-419.
Konflik Pendirian Rumah Ibadat dalam Perspektif Relasional. (2018). Jakarta:
INSEP.
Kriesberg, L. (1998). Constructive Conflicts From Escalation to Resolution.
Lanham: MD: Rowman and Littlefield Publishers.
Max-Neef, M. A. (1991). Human Scale Development:Conception,Application and
Further Reflections. The Apex Press.
Network), U. (. (2003). Developing Capacity for Conflict Analysis and Early
Warning: A Training Manual. Diambil kembali dari
http://unpanl.un.org/intradoc/groups/public/document/un/unpan011117.pd
f
Nyheim, D. (2009). Preventing Violence, war and state collapse: The Future of
conflict early warning and response. Paris,France: Organization of
Economic Cooperation and Development.
OAS, d. U. (2015). Early Warning and Response system Design for Social
Conflicts. Practical Guide: SG/OEA,PNUD.
Panggabean, S. R.-F. (t.thn.). Patterns of Religious Conflist in Indonesia,1998-
2008. Studia Islamika:Indonesian Journal for Islamic Studies
Vol17,No.2:233-298.
(2019). Sistem Peringatan dan Respons Dini Konflik Keagamaan Laporan
Penelitian Fase II. Jakarta: Balai Litbang Agama Jakarta.
Tilly, C. (1987). Social Conflict,Working Paper No.43. New York: Center For
Studies of Social Change,New School for Social Research.
Tilly, C. d. (2015). Contenious Politics,edisi ke-2. Oxford: Oxford University
Press.
Weber, M. (1947). The Theory of Social and Economic Organization,trans,A.M
Henderson dan Talcott Persons. Glencoe,Illinois: The Free Press.

12

Anda mungkin juga menyukai