Disusun Oleh :
NAMA : YUDA APRITIANTOKO
NIM : 043032075
SEMESTER : I
Pemilihan Kepala Daerah atau yang sering disebut Pilkada dalam penyelenggaraannya di
Indonesia merupakan sebuah polemik di masyarakat yang sampai dengan saat ini belum terselesaikan. Di
Indonesia dikenal dua sistem penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), yaitu Pilkada secara tidak
langsung yang dilakukan pada masa awal kemerdekaan1 serta Pilkada secara langsung sesudah era reformasi.
Pemilihan langsung kepala daerah (pilkada langsung) merupakan kerangka kelembagaan baru dalam rangka
mewujudkan proses demokratisasi di daerah. Selain itu, pilkada secara langsung juga diharapkan bisa
menghasilkan kepala daerah yang memiliki akuntabilitas lebih tinggi kepada rakyat. Makna langsung di sini
berfokus pada hak rakyat untuk memilih kepala daerah. Pilkada langsung di Indonesia sendiri dilaksanakan
sejak Juni 2005. Pelaksanaan pilkada langsung tersebut sebelumnya didahului keberhasilan pelaksanaan
pemilihan presiden dan wakil presiden pada tahun 2004. Penyelenggaraan pilkada langsung diintrodusir di
dalam UndangUndang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan UU hasil
revisi atas UU No. 22 Tahun 1999 mengenai substansi yang sama. Semangat yang muncul dari pelaksanaan
pilkada langsung di antaranya adalah untuk mengembalikan hak-hak politik rakyat yang selama ini dilakukan
hanya melalui perwakilan mereka di DPRD. Pelaksanaan pilkada secara langsung juga sebagai upaya untuk
memperbaiki kehidupan demokrasi setelah terjadi pergantian rezim Orde Baru ke reformasi. Dalam rangka
itu, pilkada langsung juga sebagai ajang bagi daerah untuk menemukan calon-calon pemimpin daerah yang
berintegritas dan bisa mengemban amanat rakyat. Pilkada langsung berpeluang mendorong majunya calon
kepala daerah yang kredibel dan akseptabel di mata masyarakat daerah sekaligus menguatkan derajat
legitimasinya. Dengan demikian, pilkada langsung dapat memperluas akses masyarakat lokal untuk
mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka. Artinya, masyarakat
berkesempatan untuk terlibat mempengaruhi pembuatan kebijakan publik yang dilakukan kepala daerah
sebagaimana janjinya saat kampanye dan ikut pula mengawasi kepala daerah jika menyalahgunakan
kekuasaan sehingga proses ini dapat memaksa kepala daerah untuk tetap memperhatikan aspirasi rakyat.
Pilkada langsung merupakan terobosan politik yang signifikan dan berimplikasi cukup luas
terhadap daerah dan masyarakatnya untuk mewujudkan demokratisasi di tingkat lokal. Karena itu, pilkada
langsung merupakan proses penguatan dan pendalaman demokrasi (deepening democracy) serta upaya untuk
mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan efektif. Pada dasarnya, pilkada langsung merupakan
daulat rakyat sebagai salah satu realisasi prinsip - prinsip demokrasi yang meliputi jaminan atas prinsip -
prinsip kebebasan individu dan persamaan, khususnya dalam hak politik. Pendalaman demokrasi seperti
diungkap Reuschmeyer (1992) adalah suatu upaya untuk mengatasi kelemahan praktik demokrasi substantif,
khususnya dalam merespon tuntutan-tuntutan masyarakat lokal. Pendalaman demokrasi menurut Fung dan
Olin-Wright (2003) juga diperlukan untuk memenuhi gagasan sentral mengenai demokrasi politik yang
meliputi beberapa hal penting, seperti pemberian fasilitas kepada masyarakat agar mereka terlibat dalam
politik: mendorong terjadinya konsensus politik melalui dialog, merealisasikan kebijakan publik yang dapat
menciptakan efektivitas ekonomi dan masyarakat yang sehat, dan memberikan proteksi agar warga negara
juga menikmati kekayaan negara. Dengan demikian akan memungkinkan banyak orang terlibat dalam proses
kebijakan di pemerintahan lokal. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa dalam pemerintahan lokal potensi
warga tidak hanya dalam keterlibatan di pemilu lokal atau duduknya di parlemen, lebih jauh adalah
keterlibatan aktif warganya secara lebih luas. Munculnya perhatian terhadap transisi demokrasi di daerah itu
menurut Brian C Smith (1998) berangkat dari suatu keyakinan bahwa demokrasi di daerah merupakan
prasyarat bagi munculnya demokrasi di tingkat nasional. Asumsi ini berangkat bahwa ketika terdapat
perbaikan kualitas demokrasi di daerah, secara otomatis bisa diartikan sebagai adanya perbaikan kualitas
demokrasi di tingkat nasional. Beberapa alasannya antara lain, demokrasi pemerintahan di daerah merupakan
suatu ajang pendidikan politik yang relevan bagi warga negara di dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Artinya, terdapat unsur proximity bahwa pemerintah daerah merupakan bagian dari pemerintah yang
langsung berinteraksi dengan masyarakat ketika proses demokratisasi berlangsung. Tidak hanya itu,
pemerintah daerah seperti dikatakan Larry Diamond (1999), memiliki peran yang cukup penting dalam
mempercepat vitalitas demokrasi. Diamond memberikan sejumlah alasan bahwa pemerintah daerah dapat
membantu mengembangkan nilai-nilai dan keterampilan berdemokrasi di kalangan warganya. Pemerintah
daerah juga dapat meningkatkan akuntabilitas dan pertanggungjawaban kepada berbagai kepentingan yang
ada di daerah. Selain itu, pemerintah daerah dapat menyediakan saluran dan akses tambahan terhadap
kelompokkelompok yang secara historis termarginalisasi. Ketika hal ini terpenuhi, terdapat kecenderungan
adanya tingkat keterwakilan demokrasi yang lebih baik. Ujungnya, pemerintah daerah bisa mendorong
terwujudnya checks and balances di dalam kekuasaan. Merujuk Diamond dalam Developing Democracy
Toward Consolidation (2003), seperti dicatat Sahdan, pilkada lebih jauh dilihat sebagai ruang bagi
developing democrary. Pembangunan demokrasi di sini mencakup penguatan masyarakat publik (political
society), penguatan masyarakat ekonomi (economic society) dan penguatan masyarakat budaya (cultural
society). Pembangunan demokrasi juga mencakup penguatan dan engagement masyarakat sipil (voice, access
and control), birokrasi yang netral, provisional dan usable, penguatan rule of law, serta institusionlasasi
ekonomi dan politik. Goran Hayden dalam Governance and Politics in Africa (1992) juga melihat pilkada
sebagai arena untuk menciptakan local good goovernance. Penciptaan tatanan pemerintahan lokal yang baik
ini kemudian mencakup tiga dimensi dari governance, yaitu dimensi aktor, struktur, dan dimensi empiris.
Pada dimensi aktor, pilkada hendak menekankan pentingnya kekuasaan, kewenangan,
resiprositas antara rakyat dan pemimpin serta pergantian kekuasaan. Dengan pilkada maka tidak ada lagi
kekuasaan yang terpusat dan tersentral di tangan segelintir orang dan kekuasaan yang diperoleh memiliki
legitimasi yang kuat dan bisa dipertanggungjawabkan. Sementara dimensi struktur, menekankan pentingnya
sikap kesukarelaan (compliance), kepercayaan (trust), akuntabilitas (accountability) dan inovasi (innovation).
Struktur dan lingkungan politik lokal, menurut Hayden seperti dijelaskan Sahdan, harus mampu memberikan
akses dan kesempatan yang sama kepada semua orang untuk menjadi pemimpin. Sedangkan dimensi empirik
menekankan pentingnya peran warga negara, kepemimpinan yang responsif dan bertanggungjawab, serta
resiprositas sosial. Untuk mengukur peran warga dapat dilihat dari tingkat partisipasi politik, pemahaman
terhadap agregasi kepentingan, dan pertanggungjawaban publik. Sementara untuk mengukur kepemimpinan
responsif dapat dilihat dari tingkat pemahaman terhadap arena publik (public realm), tingkat keterbukaan
kebijakan publik, dan tingkat ketaatan terhadap hukum. Sedangkan resiprositas sosial dapat diukur dengan
menggunakan instrumen tingkat persamaan politik (political equality), tingkat toleransi antar kelompok dan
tingkat keterbukaan organisasi sosial politik di masyarakat. Dalam konteks tersebut, pilkada langsung
memiliki urgensi terhadap upaya memperbaiki kualitas kehidupan demokrasi. Alasannya, seperti
diungkapkan Haris pertama, pilkada langsung diperlukan untuk memutus mata rantai oligarki partai yang
harus diakui cenderung mewarnai kehidupan partai di DPRD. Artinya pilkada langsung diperlukan untuk
memutus mata rantai politisasi atas aspirasi publik yang cenderung dilakukan partai-partai dan para politisi
partai. Kedua, pilkada langsung diperlukan untuk meningkatkan kualitas akuntabilitas para elite politik lokal,
termasuk kepala daerah. Sebelum pilkada langsung, kepala daerah cenderung menciptakan ketergantungan
terhadap DPRD, sehingga ia lebih bertanggung jawab kepada DPRD daripada kepada rakyat. Ketiga, pilkada
lagsung diperlukan untuk menciptakan stabilitas politik dan pemerintahan di tingkat lokal. Pemberhentian
atau pencopotan di tengah masa jabatan kerap berdampak pada munculnya gejolak politik lokal. Diharapkan
dengan pilkada langsung mereka yang terpilih bisa menjabat selama lima tahun. Keempat, pilkada langsung
kepala daerah akan memperkuat dan meningkatkan kualitas seleksi kepemimpinan nasional karena makin
terbuka peluang munculnya pemimpin nasional yang muncul dari bawah atau daerah. Kelima, pilkada secara
langsung bisa lebih meningkatkan kualitas keterwakilan (representativeness) karena masyarakat dapat
menentukan siapa yang akan menjadi pemimpinnya di tingkat lokal.
KAJIAN PUSTAKA
Pemilihan kepala daerah secara langsung diartikan sebagai pemilihan oleh rakyat secara langsung.
Mayoritas suara terbanyak menjadi acuan pemenang pada pilkada tersebut serta pemilihan oleh rakyat secara
langsung serentak di adakan seluruh daerah. Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara
langsung diatur dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 56 jo Pasal 119 dan pasal 1 ayat
(1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan,
Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah. Secara eksplisit ketentuan tentang pilkada langsung
tercermin dalam cara pemilihan dan asas-asas yang digunakan dalam penyelenggaraan pilkada. Dalam pasal
56 ayat (1) disebutkan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang
dilaksanakan secara demokratis berdasarkan :
1. Langsung
Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan
kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.
2. Umum
Pada dasarnya semua warga Negara yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan perundangan
berhak mengikuti pilkada. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna yang menjamin kesempatan
yang berlaku menyeluruh bagi semua warga Negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras,
golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan dan status sosial.
3. Bebas
Setiap warga Negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihan tanpa tekanan dan paksaan dari
siapapun. Dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya sehingga dapat
memilih sesuai kehendak hati nurani dan kepentingannya.
4. Rahasia
Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin dan pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun
dengan jalan apa pun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh
orang lain kepada siapa pun suaranya diberikan.
5. Jujur
Dalam penyelenggaraan pilkada, setiap penyelenggara pilkada, aparat pemerintah, calon/peserta pilkada,
pegawas pilkada, pemantau pilkada, pemilih serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak
jujur sesuai dengan peraturan perundang – undangan.
6. Adil
Dalam penyelenggaraan pilkada, setiap pemilih dan calon/peserta pilkada mendapat perlakuan yang sama,
serta bebas dari kecenderungan pihak manapun.
Hal tersebut yang menjadi alasan dikeluarkannya UU no 32 tahun 2004 Tentang Perubahan Sistem
Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung untuk memperbaiki sistem demokrasi di
Indonesia. Konsep otonomi daerah yang dianut oleh Indonesia telah memberikan kemungkinan bagi setiap
daerah untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah dan menentukan pemerintahannya masing-masing.
Dipilihnya sistem pilkada langsung mendatangkan optimisme dan pesimisme tersendiri. Pilkada langsung
dinilai sebagai perwujudan pengembalian “hak-hak dasar” masyarakat di daerah dengan memberikan
kewenangan yang utuh dalam rangka rekrutmen pimpinan daerah sehingga mendimanisir kehidupan
demokrasi di tingkat lokal. Keberhasilan pilkada langsung untuk melahirkan pemimpin daerah yang
demokratis, sesuai kehendak dan tuntutan rakyat sangat tergantung pada kritisisme dan rasioanalitas rakyat
sendiri. Dengan lahirnya UU No.32/2004 dan PP No. 6/2005, sebagaimana disebutkan dimuka, akhirnya
pilkada langsung merupakan keputusan hukum yang harus dilaksanakan. Gagasan pilkada langsung itu pada
dasarnya merupakan proses lanjut dari keinginan kuat untuk memperbaiki kualitas demokrasi di daerah yang
telah dimulai. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Robert A.Dahl, disamping untuk menghindari
Tirani, demokrasi juga dimaksudkan untuk mencapai tujuan- tujuan yang lain, diantaranya adalah
terwujudnya hak-hak esensial individu, terdapat kesempatan untuk menentukan posisi dari individu, dan
adanya kesejahteraan. Pilkada secara langsung itu memberi kesempatan yang lebih luas kepada masyarakat
untuk terlibat di dalam berbagai proses politik. Dengan pemilihan langsung, yang menggunakan asas-asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, pilkada langsung layak disebut
sebagai sistem rekrutmen pejabat publik yang hampir memenuhi parameter demokratis.
PEMBAHASAN
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Penyelenggaraan pilkada
langsung mempunyai aspek positif dan negatif, dalam aspek positif pilkada langsung ada 3 aspek yang
menyetuh secara langsung, yakni :
1. Dalam bidang politik dan pemerintahan, yang menyangkut terbangunnya kehidupan politik di daerah,
terciptanya kedaulatan rakyat, kepala daerah mempunyai legitimasi yang kuat dalam menciptakan
kestabilan pemerintahan, Akuntabilitas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, baik administratif,
yuridis, politis dan terutama moral akan disampaikan langsung kepada masyarakat dan lain – lain.
2. Dalam bidang Hukum, yaitu sebagai proses pembelajaran membangun masyarakat sadar hukum dan
penegak hukum bertindak tegas dan bersifat nonpartisan yang mengakibatkan terciptanya sikap
hormat rakyat.
3. Dalam bidang sosial ekonomi yaitu, kepercayaan publik pada sistem dan hasil pilkada akan meningkat
dan tertanamnya kepercayaan investor swasta karena adanya stabilitas politik yang mana membuka
lahan keuntungan bagi Negara dan rakyat.
Selanjutnya aspek negatif dari penyelenggaraan pilkada langsung yakni :
1. Kemungkinan akan terjadi konflik horisontal antar pendukung.
2. Maraknya politik uang (money politic).
3. Kepala daerah yang terpilih cenderung korup.
4. Kecurangan dalam penyelenggaraan.
5. Banyaknya masyarakat yang tidak memilih (golput).
B. Saran
Diharapkan agar setiap unsur terkait (KPU, Bawaslu, POLRI, TNI, KPK, BPK, PPATK)
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya serta lebih meningkatkan pengawasan dalam pelaksanaan
pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Sehingga pemilihan kepala daerah (pilkada) secara
langsung layak disebut sebagai sistem rekrutmen pejabat publik yang memenuhi standar parameter
demokratis dan kualitas demokratis tersebut menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin dan A. Zaini Basri, Pilkada Langsung : Problem dan Prospek. Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2006.
Ahmad Nadir, PILKADA Langsung dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia. Malang: Averoes Press, 2005.
Djohan, Djohermansyah dan Made Suwandi, Pilkada Langsung : Pemikiran dan Peraturan. Jakarta, IIP
Press, 2005.
Joko J. Prihatmoko. Pemilihan Kepala Daerah Langsung; Filosofi, Sistem, dan Problema Penerapan di
Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005.
Leo Agustino, Pilkada Dan Dinamika Politik Lokal, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009.
Haris, Syamsuddin. 2003. “Mencari Model Pemilihan Langsung Kepala Daerah Bagi Indonesia”, dalam
Agung Djojosoekarto dan Rudi Hauter (Ed), Pemilihan Langung Kepala Daerah: Transformasi Menuju
Demokrasi Lokal, Jakarta: Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia dan Konrad Adenauer Stiftung.
Wardani, Sri Budi Eko. 2005. “Pilkada Langsung: Pertaruhan Demokrasi dan Mitos Good Governance”
dalam Pheni Chalid (Ed.), Pilkada Langsung: Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance, Jakarta:
Partnership for Governance Reform in Indonesia dengan Pusat Kajian Politik, Departemen Ilmu Politik,
Universitas Indonesia.
Ari Pradanawati (penyunting), PILKADA langsung: Tradisi Baru Politik Lokal. Surakarta: KOMPIP, 2005.
Fathoni Mahar M., (ed.), Agenda PILKADA Langsung dan Kesiapan Masyarakat Daerah. Boyolali:
LSP3RA, 2004.
Haris, Syamsudin, “PILKADA Langsung dan Dilema Penguatan Demokrasi di Indonesia Pasca Soeharto”,
makalah disampaikan dalam Seminal Nasional XIX dan Kongres VI AIPI, Batam, 22-24 Maret 2005.
Mulyana W. Kusumah dan Pipit R. Kartawidjaya, Pemilihan Kepala Daerah Secara langsung: Kasus
Indonesia dan Studi Perbandingan. Jakarta: INSIDE-7SS-Watch Indonesia, 2005.;
Sarundajang, S.H., PILKADA Langsung: Problema dan Prospek. Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2005.
Surbakti, Ramlan, “Sistem dan Proses Pemilihan Kepala Daerah secara langsung”, makalah disampaikan
dalam Seminal Nasional XIX dan Kongres VI AIPI, Batam, 22-24 Maret 2005.
Tempo, “Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Berebut Kursi Panas” dalam Tempo, Edisi 9-15 januari 2006.
Titik Triwulan Tutik, Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor32 Tahun 2004 dalam
System Pemilu menurut UUD 1945. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006.
Andy Ramses, “Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung dan Perlunya Revisi Terbatas Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999”. JURNAL ILMU PEMERINTAHAN, Edisi 19 Tahun 2003.
Laode Ida, “Pemilihan Langsung Kepala Daerah” dalam JURNAL PSPK. Edisi 5, 2003; Leo Agustino,
Politik dan Otonomi Daerah. Serang: Untirta Press, 2005.
Muryanto Amin, “Sistem Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Beberapa Masalah, Implikasi Politik dan
Solusinya”, dalam POLITEIA: JURNAL ILMU POLITIK. Vol.I, Nomor 1 Juni 2005.
Ramses, Andy, “Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung dan Perlunya Revisi Terbatas Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999”. JURNAL ILMU PEMERINTAHAN, Edisi 19 Tahun 2003.