Anda di halaman 1dari 12

SEJARAH, AJARAN, DAN TOKOH AL-ASYARIYAH DAN AL-

MATURIDIYAH

Disususun untuk memenuhi tugas harian


Mata Kuliah : Teosofi
Dosen Pengampu : Kholid Zamzami, M. Si

Oleh : Fatimatuz Zahroh (200606110129)

KELAS D
JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2020
SEJARAH DAN AJARAN AL-ASYARIYAH AL-MATURIDIYAH
Fatimatuz Zahroh
UIN Maulana Malik Ibrahim

Pada akhir abad ke-3H lahir golongan Ahlussunnah wal Jamaah yang
dipimpin oleh dua ulama besar yaitu Syeikh Abu Hassan Ali Al Asy’ari dan Syeikh
Abu Mansur Al Maturidi. Perkataan Ahlussunnah wal Jamaah disebut sebagai
Ahlussunnah saja atau Sunni saja dan kadang-kadang disebut Asy’ari atau Asya’irah
dikaitkan dengan ulama besarnya yang pertama yaitu Abu Hassan Ali Asy’ari.

Aliran Maturidiyah adalah sebuah aliran yang tidak jauh berbeda dengan
aliran Asy'ariyah. Keduanya lahir sebagai bentuk pembelaan terhadap sunnah. Bila
aliran Asy'ariyah berkembang di Basrah maka aliran Maturidiyah berkembang di
Samarkand.

Asy'ari maupun Maturidi bukan tidak paham terhadap mazhab Mu'tazilah.


Bahkan al-Asy’ari pada awalnya adalah seorang Mu’taziliy namun terdorong oleh
keinginan mempertahankan sunnah maka lahirlah ajaran mereka hingga kemudian
keduanya diberi gelar imam Ahlussunnah wal Jama’ah. Sepintas kita mungkin
menyimpulkan bahwa keduanya pernah bertemu, namun hal ini membutuhkan
analisa.

AL-ASYARIYAH
1. Sejarah timbulnya aliran Asy’ariah
Abu Hasan al-Asy’ari yang lahir di Basrah pada tahun 260 H dan wafat pada
tahun 330H. Bersamaan dengan munculnya Abu Manshur di Samarkan, Kedua
tokoh ini bersatu dalam pemberontakan aliran Muktazilah. Al-Asy’ari
mempelajari ilmu Kalam dari seorang tokoh Muktazilah yaitu Abu ‘Ali al-Jubbâi.
Karena kemahirannya ia selalu mewakili gurunya dalam berdiskusi. Meskipun
demikian pada perkembangan selanjutnya ia menjauhkan diri dari pemikiran
Muktazilah dan condong kepada pemikiran Fuqaha dan ahli Hadis. Ada
beberapa alasan yang menyebabkan al-Asy’ari menjauhkan diri dari Muktazilah
dan penyebab timbulnya aliran al-Asy’ari sebagai berikut:
Salah satu penyebab keluarnya al-Asy’ari dari Muktazilah ialah adanya
perdebatan-perdebatan dengan gurunya Abu ‘Ali al-Jubbâi tentang dasar-dasar
paham aliran Muktazilah yang berakhir dengan terlihatnya kelemahan paham
Muktazilah. Al-Asy’ari bertanya bagaimana pendapat tuan tentang orang
mukmin, orang kafir dan anak kecil (yang mati)?. Al-Jubbâi menjawab: orang
mukmin mendapat tingkatan yang tertinggi (surga), orang kafir masuk neraka,
dan anak kecil selamat. Al-Asy’ari bertanya: bisakah anak kecil mendapat tingkat
tertinggi?.Al-Jubbâi menjawab: tidak bisa karena, yang mendapat tingkat
tertinggi adalah orang mukmin yang menjalankan ketaatan, sedangkan kau
tidak. Al-Asyari bertanya: itu bukan kesalahan anak kecil. Jika ia menjadi besar
maka ia akan melaksanakan ketaatan seperti orang mukmin. Al-Jubai
menjawab: Tuhan akan berkata: “Aku lebih tahu tentangmu. Jika kau hidup
sampai besar, kau akan mendurhakai Aku dan Aku akan menyiksa engkau”.
Jadi Aku mengambil yang lebih baik bagimu dan Aku matikan engkau sebelum
dewasa”. Al-Asyari bertanya; Kalau orang kafir tersebut berkata: Ya Tuhan,
Engkau mengetahui keadaanku dan keadaan anak kecil tersebut. Mengapa
Engkau tidak mengambil tindakan yang lebih baik bagiku ?. Kemudian diamlah
al-Jubbâi dan tidak dapat menjawab lagi.

Selain masalah di atas sebab utama adalah adanya perpecahan yang dialami
kaum muslimin yang bisa menghancurkan mereka kalau tidak segera diakhiri.
Sebagai seorang muslim ia sangat mengkhawatirkan Qur’an dan Hadis menjadi
korban paham Muktazilah yang menurutnya tidak dapat dibenarkan. Maka, al-
Asy’ari mengambil jalan tengah yang dapat diterima oleh mayoritas kaum
muslmin. Al-Asy’ari dulunya menganut paham Muktazilah akhirnya
meninggalkan ajaran itu. Karena,pada suatu malam al- Asy’ari bermimpi; dalam
mimpi itu Nabi Muhammad SAW. Mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli
Hadislah yang benar, dan mazhab Muktazilah salah.

Ketika al-Asy’ari mencapai usia 40 tahun, ia mengasingkan diri dari selama


15 hari, kemudian ia pergi ke mesjid besar Basrah untuk menyatakan didepan
orang banyak, bahwa ia mula-mula memeluk paham aliran Muktazilah, dan
Kemudian ia mengatakan: “Saya tidak lagi mengikuti paham-paham tersebut
dan saya harus menunjukkan keburukan-keburukan dan kelemahan-
kelemahannya”. Menurut ibnu Taimiyah, setelah Abu Hasan al-Asy’ari
meninggalkan aliran Muktazilah,ia menempuh jalan ahlu al-Sunnah wa al-Hadis
dan bergabung dengan Imam Ahmad bin Hanbal.

Pada masa pemerintahan Khalfah al-Ma’mun, Muktazilah diakui sebagai


mazhab resmi negara. Dengan diresmikannya aliran Muktazilah ada yang tidak
sepaham dengan khalifah sehingga mengakibatkan keresahan di kalangan
masyarakat yang mayoritas mengikuti aliran Sunni, sehingga menyebabkan
pengikut sunni diasingkan

Pada masa Pemerintahan Mutawakkil, pemikirannya terbalik dengan para


pendahulu dimana mazhab Muktazilah diasingkan dari negara dan kemudian
digantikan dengan mazhab Sunni. Pada masa inilah Muktazilah menjadi mazhab
yang dimusuhi. Di masa pemerintahannya, Mutawakkil mendekati lawan-lawan
mereka dan membebaskan para ulama. Para fuqaha dan ulama yang beraliran
Sunni serta orang-orang yang menerapkan metode Sunni dalam pengkajian
‘aqidah. Sebagian ulama yang menguasai metode diskusi golongan Muktazilah
tidak lagi berpegang kepada pendapat-pendapat mereka. Sementara itu
masyarakat awam mendukung kelompok Sunni. Usaha mereka didukung oleh
para ulama terkemuka dan para khalifah.

2. Pokok Pokok Ajaran Asy’ariyah


a. Tuhan dan Sifat - Sifatnya
Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan yang ekstrem. Pada satu
pihak, yaitu kelompok sifatiah (pemberi sifat), kelompok mujassimah,dan
kelompok musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua
sifat yang disebutkan dalam Alquran dan memahami arti sifat secara harfiah
hukumnya sunnah. Pada pihak lain, ia berhadapan dengan kelompok
Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak boleh diartikan
secara harfiah, tetapi harus dijelaskan secara alegoris. Al-Asy’ari
berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat, seperti mempunyai tangan dan
kaki, tidak boleh diartikan secara harfiah, tetapi secara simbolis.
Selanjutnya, Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah unik dan tidak dapat
dibandingkan dengan sifat-sifat manusia.
b. Kebebasan dalam Berkehendak

Asy’ari mengambil pendapat di antara dua pendapat yang ekstrem,


yaitu Jabariah yang fatalistic menganut paham pra determinisme, dan
Mu’tazilah yang menganut paham kebebasan mutlak dan berpendapat
bahwa manusia menciptakan perbuatanya sendiri. Menurutnya Al-asyari,
Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia
adalah yang mengupayakanya. Hanya Allah yang mampu menciptakan
segala sesuatu.

c. Akal, Wahyu dan Kriteria Baik Buruk

Al-Asy’ari dan Mu’tazlah mengakui pentingnya akal dan wahyu tetapi,


Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementar mu’tazilah mengutamakan akal.

d. Qadimnya Al-Quran

Mu’tazilah mengatakan bahwa Alquran diciptakan (makhluk) sehingga


tak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriah yang mengatakan
bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak
diciptakan).Untuk menengahi Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Alquran
terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi
Allah dan karenanya tidak qadim.

e. Melihat Allah SWT

Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrem, yang


menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa
Allah bersemayam di ‘Arsy. Selain itu, tidak sependapat dengan Mu’tazilah
yang mengingkari ru’yatullah di akhirat. Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat
dilihat di akhirat,tetapi tidak digambarkan. kemungkinan ru’yat dapat terjadi
ketika Allah menyebabkan dapat dilihat atau Ia menciptakan kemampuan
penglihatan manusia untuk melihat-Nya.

f. Keadilan Allah SWT.

Asy’ariyah dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Hanya berbeda
dalam cara pandang makna keadilan. Mu’tazilah mengharuskan Allah
berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi
pahala kepada orang yang berbuat baik. Al-Asy’ari berpendapat bahwa
Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah Penguasa Mutlak.

g. Kedudukan Orang Berdosa

Al-Asy’ari menolak ajaran yang dianut Mu’tazilah. bahwa iman


merupakan lawan kufur, predikat bagi seseorang harus satu diantaranya.
Jika tidak mukmin, ia kafir. Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang
berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik sebagai iman tidak mungkin
hilang karena dosa selain kufur.

AL - MATURIDIYAH
1. Sejarah Timbulnya Aliran Al-Maturidiyah
Faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya pemikiran teologi melahirkan
aliran Maturidiyah:

Pertama, Ketidakpuasan terhadap konsep teologi Mu’tazilah yang berlebihan


dalam memberikan otoritas pada akal. Hal ini dapat dilihat dari beberapa
karyanya yang menggambarkan penolakannya terhadap Mu’tazilah, seperti
Kitab Radd Awa‟il al-Adillah li al-Ka‟bi, Kitab Radd Tahdhib al-Jadal li al-Ka‟bi
dan Kitab Bayan Wahm al-Mu‟tazilah.Pada saat yang sama al-Maturidi juga
tidak puas atas konsep teologi ulama salaf yang mengabaikan penggunaan akal.

Kedua, Kekhawatiran atas meluasnya ajaran Syi’ah yang dengan keras


menentang ulama-ulama salaf. Di wilayah Asia Tengah aliran ini banyak
dipengaruhi oleh paham Mazdakism. Ajaran aliran ini terkait dengan
Manichaeism sebuah ajaran yang merupakan percampuran antara ajaran
Kristen dengan Zoroaster dan ajaran-ajaran Budha. Kitab al-Radd ala Qaramitah
yang ditulis oleh al-Maturidi merupakan suatu indikasi akan kekhawatirannya
atas pengaruh ajaran ini pada masyarakat.

Karena kedua faktor tersebut, al-Maturidi mengembangkan metode sintesis


al-Naql dan al-aql dalam pemikiran kalam, jalan tengah antara aliran rasional
Mu’tazilah dan aliran tradisional Hambali. Dalam pemikiran teologinya al-Maturidi
memberikan otoritas yang cukup besar pada akal, paling tidak bila dibandingkan
dengan alAsy’ari yang memadukan antara al-aql dan al-naql dalam teologinya.
Misalnya, baik dan buruk dapat diketahui melalui akal meski tak ada wahyu,
karena baik dan buruk dinilai berdasarkan substansinya, demikian menurut al-
Maturidi. Sedangkan menurut al-Asy‟ari, baik dan buruk dinilai menurut Syara‟.
Mengapa demikian? hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang
berpengaruh terhadap pemikiran al-Maturidi, yaitu :

Pertama, al-Maturidi adalah penganut mazhab Hanafi. Ditambah lagi dengan


latar belakang pendidikan al-Maturidi di bawah asuhan empat ulama terkemuka
yang juga tokoh-tokoh Hanafiyah. Dengan demikian, pengaruh pemikiran Hanafi
tentu cukup “kental” pada diri al-Maturidi. Menurut Abu Zahrah, dalam beberapa
karya Abu Hanifah di bidang Kalam ditemukan pandangan utama yang sama
dengan pandangan al-Maturidi. Sehingga ulama menetapkan bahwa dengan
pandangan al-Maturidi. Sehingga ulama menetapkan bahwa pendapat Abu
Hanifah di bidang Kalam merupakan akar yang menjadi landasan
perkembangan pemikiran alMaturidi.

Kedua, situasi dan kondisi masyarakat di daerah kediaman alMaturidi


(Samarqand) dan Asia Tengah pada umumnya, cukup heterogen dari segi etnis,
agama dan aliran teologi. Di samping itu, diskusi antar aliran teologi dan fikih
sudah merupakan tradisi di kalangan ulama Samarqand. Oleh karena itu, al-
Maturidi telah akrab dengan penggunaan argumen-argumen rasional, apalagi
dalam menghadapi tokoh-tokoh Mu‟tazilah yang ahli dalam filsafat.

faktor tersebut mempengaruhi pemikiran Kalam al-Maturidi, sehingga dalam


metode Kalamnya dia lebih banyak memberikan otoritas pada akal bila
dibandingkan dengan alAsy’ari. Posisi pemikiran kalam al-Maturidi, berada
antara Mu’tazilah dengan al-Asy’ariyah. Mu’tazilah adalah pengikut Hanafi. Maka
tidaklah mengherankan bila antara Mu‟tazilah dan al-Maturidi memiliki beberapa
kesamaan pandangan, karena mereka terikat pada mazhab fikih yang sama.

Pemikiran teologi alMaturidi banyak diikuti oleh umat Islam, khususnya


penganut mazhab Hanafi. Jalan tengah yang ditawarkannya telah meredam
kontroversi-kontroversi teologis di kalangan umat Islam Asia Tengah, seperti
halnya al-Asy’ari di Irak. Meskipun antara aliran Maturidiyah dan aliran
Asy’ariyah terdapat beberapa perbedaan, namun kedua aliran ini diakui oleh
para ulama sebagai aliran Ahl alSunnah wa al-Jama‟ah, mazhab terbesar dalam
dunia Islam hingga saat ini.

2. Pokok Pokok Ajaran Al-Maturidiyah


a. Akal dan Wahyu
Al-Maturidi mendasarkan pada Alquran dan akal yang sama dengan
Al-asy’ari. Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban
mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam
mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Alqur'an yang
memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh
pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan
pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaannya. Kalau akal tidak
mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah
tidak akan menyuruh manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak
mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan
mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintah ayat-ayat
tersebut. Namun akal menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui
kewajibankewajiban lainnya.

Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa


penentu baik dan buruk sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri,
sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan
akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu
diperoleh untuk dijadikan sebagai pembimbing. Al-Maturidi membagi kaitan
sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu: Akal dengan sendirinya hanya
mengetahui kebaikan sesuatu, Akal dengan sendirinya hanya mengetahui
kebutuhan sesuatu, dan Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan
sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu. Jadi, yang baik itu baik
karena diperintahkan Allah, dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah.
Pada konteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mutazilah dan
Al-Asy’ariyah.

b. Perbuatan Manusia

Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena


segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaannya. Al-Maturidi
mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat
Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Dengan demikian tidak ada
peretentangan antara qudrat tuhan yang menciptakan perbuatan manusia
dan ikhtiar yang ada pada manusia. Kemudian karena daya di ciptakan
dalam diri manusia dan perbuatan yang di lakukan adalah perbuatan
manusia sendiri dalam arti yang sebenarnya, maka tentu daya itu juga daya
manusia. Manusia dalam paham Al-Maturidi tidak sebebas manusia dalam
paham Mu’tazilah.

c. Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan

Menurut Al-Maturidi, kudrat dan kekuasaan Tuhan tidak


sewenangwenang (absolut), tetapi perbuatan dan kehendaknya itu
berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkannya
sendiri.

d. Sifat Tuhan

Dalam hal ini faham alMaturidi mendekati mutzilah.Perbedaan


keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat
Tuhan, sedangkan mutazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.

Berkaitan dengan masalah sifat tuhan, dapat ditemukan persamaan


antara pemikiran Al-Maturidi dengan Al-Asy’ari. Al-Asy’ari berpendapat
bahwa tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama’, basyar, dan sebagainya.
Al-Asy’ari mengartikan sifat tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat,
melainkan melekat pada dzat. Menrut Al-Maturidi, sifat tidak dikatakan
sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifatsifat tuhan itu
mulazamah, dzat tanpa terpisah.

Tampaknya, paham Al-Maturidi tentang makna sifat tuhan cenderung


mendekati paham Mu’tazilah.Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan
Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat tuhan, sedangkan mu’tazilah menolak
adanya sifat-sifat Tuhan
e. Melihat Tuhan

Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Namun


melihat Tuhan, kelak di akherat tidak dalam bentuknya, karena keadaan di
akherat tidak sama dengan keadaan di dunia.

f. Kalam Tuhan

Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf


dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau kalam
abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang
tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadist). Kalam nafsi tidak
dapat kita ketahui hakikatnya bagaimana allah bersifat dengannya (bila
kaifa) tidak di ketahui, kecuali dengan suatu perantara.

g. Perbuatan Manusia

Menurut Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini,
kecuali semuanya atas kehendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau
membatasi kehendak Tuhan kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang
ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Setiap perbuatan tuhan yang bersifat
mencipta atau kewajiban kewajiban yang di bebankan kepada manusia tidak
lepas dari hikmah dan keadilan yang di kehendaki-Nya. Kewajiban-
kewajiban tersebut adalah: 1. Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-
kewajiban kepada manusia di luar kemampuannya karena hal tersebut tidak
sesuai dengan keadilan, dan manusia juga di beri kemerdekaan oleh tuhan
dalam kemampuan dan perbuatannya. 2. Hukuman atau ancaman dan janji
terjadi karena merupakantuntunan keadilan yang sudah di tetapkan-Nya.

h. Pelaku Dosa Besar

Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir


dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini
karena tuhan sudah menjanjikan akan memberikan balasan kepada
manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah
balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik. Dengan demikian, berbuat
dosa besar selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam
neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah
menjadikan seseorang kafir atau murtad.

i. Pengutusan Rasul

Pandangan Al-Maturidi tidak beda dengan pandangan mutazilah yang


berpendapat bahwa pengutusan Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah
kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam
kehidupannya. Pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber informasi.
Tanpa mengikuti ajarannya wahyu yang di sampaikan rasul berarti mansia
telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada
akalnya.

Akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban-kewajiban yang


dibebankan kepada manusia. Al-Maturidi berpendapat bahwa akal
memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk dapat mengetahui kewajiban-
kewajiban tersebut.Jadi, pengutusan rosul adalah hal niscaya yang
berfungsi sebagai sumber informasi.Tanpa mengikuti ajaran wahyu yang
disampaikan rosul, berarti manusia membebankan akalnya pada sesuatu
yang berada diluar kemampuanya.

Kesimpulan

Paham Asy’ariyah dan Al-Maturidiyah muncul karena ketidakpuasan Abul


Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-
Maturidi terhadap argumen dan pendapatpendapat yang dilontarkan oleh kelompok
Muktazilah. Dalam perjalannya, Asy’ari sendiri mengalami tiga periode dalam
pemahaman akidahnya, yaitu Muktazilah, kontra Muktazilah, dan Salaf.

Sumber pemikiran al-Maturidi jika dikaji lebih dekat, maka akan didapati
bahwa al-Maturidi memberikan otoritas yang lebih besar kepada akal manusia
dibandingkan dengan Asy’ari. Namun demikian di kalangan Maturidiah sendiri ada
dua kelompok yang juga memiliki kecenderungan pemikiran yang berbeda yaitu
kelompok Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri yang paham-paham
teologinya lebih dekat kepada paham Mu’tazilah dan kelompok Bukhara yaitu
pengikut alBazdawi yang condong kepada Asy’ariyah.
DAFTAR PUSTAKA

Zein, Muhammad. Adnin. 2020. Epistemologi Kalam Asy’ariyah dan Al - Maturidiyah.


Medan : Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuludin dan
Studi Islam Universitas Islam Negeri Sumatra Utara Medan.

Hamka. 2007. Jurnal Hunafa. Maturidiyah: Kelahiran dan Perkembangannya. 4 (03):


261 - 263

Zar, Abu. 2014. Jurnal Adabiyah. Pemikiran Al - Maturidiyah dalam Pemikiran Islam.
14 (02) : 151 - 153

Hasyim, Muhammad Syarif. 2005. Jurnal Hunafa. Al - Asyariyah ( Studi tentang


Pemikiran Al - Baqillani, Al-Juwaini, Al-Ghazali). 2 (03): 209 - 210, 223 -224

Anda mungkin juga menyukai