Anda di halaman 1dari 57

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Blok Ilmu Kedokteran Komunitas dan Kesehatan Masyarakat adalah
blok dua puluh dua pada Semester VII dari sistem Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang. Salah satu strategi pembelajaran sistem
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ini adalah Problem Based
Learning (PBL). Tutorial merupakan pengimplementasian dari metode
Problem Based Learning (PBL). Dalam tutorial mahasiswa dibagi dalam
kelompok-kelompok kecil dan setiap kelompok dibimbing oleh seorang
tutor/dosen sebagai fasilitator untuk memecahkan kasus yang ada.
Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus Skenario B
yang memaparkan kasus Desa Tirta terletak di pinggir sungai, dimana
terdapat pabrik pengolahan karet. Berdasarkan laporan petugas kesehatan
lingkungan Puskesmas limbah pabrik langsung di buang ke sungai.
Aktivitas mandi, cuci, dan kakus masyarakat menggunakan air sungai. Mata
pencaharian penduduk di desa Tirta Harja sebagai petani perambah hutan,
yang membuka lahan dengan membakar hutan.
Dr. Yulia baru bekerja selama satu ahun di Puskesmas Tirta Harja
mendapat laporan dari staf surveilans Puskesmas telah terjadi peningkatan
insidens kasus hepatitis A dua kali lipat dari bulan sebelumnya, sedangkan
dari data sepuluh penyakit terbanyak ISPA menduduki ranking pertama. Dr.
Yulia berencana melakukan penyelidikan epidemiologis terhadap penyakit
hepatitis A serta memberi penyuluhan terhadap kasus-kasus penyakit
menular.
2

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Data Tutorial


Tutor : dr. Sheilla Yonaka Lindri, M. Kes.
Moderator : Fitria Rahmatunnisa
Sekretaris Papan : Dhea Nadhila
Sekretaris Meja : Hana Afifah Zahara
Waktu : Selasa, 29 Oktober 2019
Kamis, 31 Okober 2019
Rule tutorial : 1. Dilarang mengaktifkan ponsel.
2. Dilarang makan di dalam ruangan.
3. Dilarang keluar tanpa izin tutor.
4. Boleh menjawab atau mengajukan pertanyaan
setelah ditunjuk oleh moderator.

2.2 Skenario Kasus


“Bahaya Pencemaran Udara dan Air Sungai”
Desa Tirta terletak di pinggir sungai, dimana terdapat pabrik
pengolahan karet. Berdasarkan laporan petugas kesehatan lingkungan
Puskesmas limbah pabrik langsung di buang ke sungai. Aktivitas mandi,
cuci, dan kakus masyarakat menggunakan air sungai. Mata pencaharian
penduduk di desa Tirta Harja sebagai petani perambah hutan, yang
membuka lahan dengan membakar hutan.
Dr. Yulia baru bekerja selama satu ahun di Puskesmas Tirta Harja
mendapat laporan dari staf surveilans Puskesmas telah terjadi peningkatan
insidens kasus hepatitis A dua kali lipat dari bulan sebelumnya, sedangkan
dari data sepuluh penyakit terbanyak ISPA menduduki ranking pertama. Dr.
Yulia berencana melakukan penyelidikan epidemiologis terhadap penyakit
hepatitis A serta memberi penyuluhan terhadap kasus-kasus penyakit
menular.
3

2.3 Klarifikasi Istilah


Surveilans Proses pengamatan yang terus menerus dan sistematik
terhadap penyakit lingkungan dan gizi.

Insidens Peristiwa atau kejadiaan besar.


Hepatitis A Peradangan hepar biasanya dalam gejala icterus dan
gejala flu ringan.
Epidemiologis Ilmu tentang penyebaran penyakit menular pada
manusia dan faktor yang dapat mempengaruhi
penyebaran itu.
Kesehatan Lingkungan Keadaan lingkungan yang sehat, meliputi komponen
lingkungan seperti air, tanah, udara, dan makanan.
ISPA Infeksi saluran napas akut yang disebabkan oleh virus
atau bakteri
Penyuluhan Ilmu sosial yang mempelajari system dan proses
perubahan pada individu serta masyarakat agar dapat
terwujud perubahan yang lebih baik sesuai dengan yang
diharapkan.
Kakus Tempat pembuangan air besar atau kecil.
Penyakit Menular Penyakit yang dapat berjangkit dengan cepat dan
menyerang sejumlah besar orang pada daerah yang luas.

2.4 Identifikasi Masalah


1. Desa Tirta terletak di pinggir sungai, dimana terdapat pabrik
pengolahan karet. Berdasarkan laporan petugas kesehatan lingkungan
Puskesmas limbah pabrik langsung di buang ke sungai. Aktivitas
mandi, cuci, dan kakus masyarakat menggunakan air sungai. Mata
pencaharian penduduk di desa Tirta Harja sebagai petani perambah
hutan, yang membuka lahan dengan membakar hutan.
2. Dr. Yulia baru bekerja selama satu tahun di Puskesmas Tirta Harja
mendapat laporan dari staf surveilans Puskesmas telah terjadi
peningkatan insidens kasus hepatitis A dua kali lipat dari bulan
sebelumnya, sedangkan dari data sepuluh penyakit terbanyak ISPA
menduduki ranking pertama. Dr. Yulia berencana melakukan
penyelidikan epidemiologis terhadap penyakit hepatitis A serta
memberi penyuluhan terhadap kasus-kasus penyakit menular.
4

2.5 Prioritas Masalah


Identifikasi nomor 2

2.6 Analisis Masalah


1. Desa Tirta terletak di pinggir sungai, dimana terdapat pabrik
pengolahan karet. Berdasarkan laporan petugas kesehatan
lingkungan Puskesmas limbah pabrik langsung di buang ke
sungai. Aktivitas mandi, cuci, dan kakus masyarakat
menggunakan air sungai. Mata pencaharian penduduk di desa
Tirta Harja sebagai petani perambah hutan, yang membuka
lahan dengan membakar hutan.
a. Apa dampak limbah pabrik yang langsung di buang ke sungai?
Jawab:
Berdasarkan peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor
82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air pada Pasal 36 disebutkan kajian
dampak pembuangan air limbah merupakan kewajiban dari
industry penghasil limbah. Hasil kajian sebagaimana dimaksud
meliputi sekurang-kurangnya:
1) Pengaruh terhadap pembudidayaan ikan, hewan dan
tanaman
2) Pengaruh terhadap kualitas tanah dan air tanah
3) Pengaruh terhadap kesehatan masyarakat
(Sulistiowati dan Wardhan, 2018).
b. Apa saja jenis-jenis limbah?
Jawab:
1) Berdasarkan jenis senyawa
a) Limbah organik
Pengertian secara kimiawi: merupakan segala
limbah yang mengandung unsur carbon ©, sehingga
meliputi limbah dari makhluk hidup.
5

Secara teknis: sebagai limbah yang hanya berasal


dari makhluk hidup (alami) dan sifatnya mudah
busuk.
b) limbah anorganik
Pengertian secara kimiawi: meliputi limbah-limbah
yang tidak mengandung unsur karbon seperti logam,
alumunium, kaca dan pupuk anorganik.
secara teknis: segala limbah yang tidak dapat atau
sulit terurai/busuk secara alami oleh mikroorganisme
pengurai.
2) Berdasararkan wujud
a) Limbah cair: segala jenis limbah yang berwujud
cairan, berupa air berserta bahan-bahan buangan lain
yang tercampur (tersuspensi) maupun terlarut
dalama air (limbah cair domestik, limbah cair
industri, rembesan dan luapan, air hujan)
b) Limbah padat: biasa nya disebut sampah,
- Sampah organik mudah busuk (garbage):
limbah padat semi basah, berupa bahan-bahan
organik yang mudah membusuk atau terurai
oleh mikroorganisme.
- sampah anorganik dan organik tak membusuk
(rubbish): limbah padat anorganik atau organk
cukup kering yang sulit terurai oleh
mikroorganisme, sehingga sulit membusuk.
- Sampah abu (ashes): limbah padat yang berupa
abu, biasnaya hasil pembakaran.
- Sampah bangkai binatang (dead animal):
semua limbah yang berupa bangkai binatang.
- Sampah sapuan (Stret sweeping): limbah padat
hasil sapuan jalanan yang berisi berbagai
sampah yang tersebar dihalanan.
6

- Sampah industri (industrial waste): semua


limbah padat yang berasal dari buangan
industri
c) limbah gas: Bentuk fisik nya gas atau partikel halus
(debu). Contoh: gas buangan kendaraan (dari
knalpot), buangan pembakaran industry.
3) Berdasarkan sumber:
a) Limbah domestik
b) Limbah industri
c) Limbah pertanian
d) Limbah pertambangan
(Salma, 2013).
Jenis - jenis limbah dari zat pembentuknya adalah:
1) Limbah organik. Limbah ini dapat terurai secara alami,
contoh: sisa organisme (tumbuhan, hewan).
2) Limbah anorganik. Limbah ini sukar terurai secara alami,
contoh: plastik, botol, kaleng, dll.
Jenis - jenis limbah dari bentuk fisiknya adalah:
1) Limbah padat, yang lebih dikenal sebagai sampah. Bentuk
fisiknya padat. Definisi menurut UU No. 18 Tahun 2008,
sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari dan/atau proses
alam yang berbentuk padat. Contoh: sisa – sisa organisme,
barang dari plastik, kaleng, botol, dll.
2) Limbah cair. Bentuk fisiknya cair. Contoh: air buangan
rumah tangga, buangan industri, dll.
3) Limbah gas dan partikel . Bentuk fisik nya gas atau
partikel halus (debu) . Contoh: gas buangan kendaraan
(dari knalpot), buangan pembakaran industry.
Contoh sederhana dari penghasil limbah dari bentuk
fisiknya adalah manusia. Tubuh manusia menghasilkan
limbah padat (tinja), limbah cair (kencing) dan limbah gas
(karbondioksida atau CO2). Pembuangan limbah dari
7

manusia pun harus dikelola agar tidak menganggu


kesehatan dan lingkungan hidup mereka. Disamping
pembagian berdasarkan zat pembentuk dan bentuk
fisiknya, ada yang disebut Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (Limbah B3) , limbah ini dapat berbentuk padat,
cair dan gas. Limbah B3 ialah setiap bahan sisa (limbah)
suatu kegiatan proses produksi yang mengandung bahan
berbahaya dan 5 beracun (B3) karena mudah meledak,
mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan
infeksi, bersifat korosif, dan lain – lain yang bila diuji
dengan toksikologi dapat diketahui termasuk limbah B3,
serta konsentrasi atau jumlahnya yang baik secara
langsung maupun tidak langsung dapat merusak,
mencemarkan lingkungan, atau membahayakan kesehatan
manusia. Contoh: limbah medis (suntikan, botol obat),
limbah industri, baterai, accu (aki), oli bekas, dll.
(Soenarno, 2011).

c. Bagaimana pengolahan limbah yang baik agar tidak mencemari


lingkungan?
Jawab:
Pengolahan Air Limbah Dengan Proses Biologis
Di dalam proses pengolahan air limbah khususnya yang
mengandung polutan senyawa organik, teknologi yang
digunakan sebagian besar menggunakan aktifitas mikro-
organisme untuk menguraikan senyawa polutan organik
tersebut. Proses pengolahan air limbah dengan aktifitas mikro-
organisme biasa disebut dengan “Proses Biologis”. Proses
pengolahan air limbah secara biologis tersebut dapat dilakukan
pada kondisi aerobik (dengan udara), kondisi anaerobik (tanpa
udara) atau kombinasi anaerobik dan aerobik.
8

Proses biologis aeorobik biasanya digunakan untuk pengolahan


air limbah dengan beban BOD yang tidak terlalu besar,
sedangkan proses biologis anaerobik digunakan untuk
pengolahan air limbah dengan beban BOD yang sangat tinggi.
Pengolahan air limbah secara bilogis secara garis besar dapat
dibagi menjadi tiga yakni proses biologis dengan biakan
tersuspensi (suspended culture), proses biologis dengan biakan
melekat (attached culture) dan proses pengolahan dengan sistem
lagoon atau kolam.
1) Proses biologis dengan biakan tersuspensi adalah sistem
pengolahan dengan menggunakan aktifitas mikro-
organisme untuk menguraikan senyawa polutan yang ada
dalam air dan mikroorganime yang digunakan dibiakkan
secara tersuspesi di dalam suatu reaktor. Beberapa contoh
proses pengolahan dengan sistem ini antara lain : proses
lumpur aktif standar atau konvesional (standard activated
sludge), step aeration, contact stabilization, extended
aeration, oxidation ditch (kolam oksidasi sistem parit) dan
lainya.
2) Proses biologis dengan biakan melekat yakni proses
pengolahan limbah dimana mikroorganisme yang
digunakan dibiakkan pada suatu media sehingga
mikroorganisme tersebut melekat pada permukaan media.
Proses ini disebut juga dengan proses film mikrobiologis
atau proses biofilm. Beberapa contoh teknologi
pengolahan air limbah dengan cara ini antara lain :
trickling filter, biofilter tercelup, reaktor kontak biologis
putar (rotating biological contactor , RBC), contact
aeration/oxidation (aerasi kontak) dan lainnnya.
3) Proses pengolahan air limbah secara biologis dengan
lagoon atau kolam adalah dengan menampung air limbah
pada suatu kolam yang luas dengan waktu tinggal yang
9

cukup lama sehingga dengan aktifitas mikro-organisme


yang tumbuh secara alami, senyawa polutan yang ada
dalam air akan terurai. Untuk mempercepat proses
penguraian senyawa polutan atau memperpendek waktu
tinggal dapat juga dilakukan proses aerasi. Salah satu
contoh proses pengolahan air limbah dengan cara ini
adalah kolam aerasi atau kolam stabilisasi (stabilization
pond). Proses dengan sistem lagoon tersebut kadang-
kadang dikategorikan sebagai proses biologis dengan
biakan tersuspensi.

(Kementrian Kesehatan RI, 2011)

d. Apa dampak dari pembakaran hutan?


Jawab:
Kebakaran hutan merupakan salah satu dampak dari
semakin tingginya tingkat tekanan terhadap sumber daya hutan.
Dampak yang berkaitan dengan kebakaran hutan atau lahan
adalah terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup,
seperti terjadinya kerusakan flora dan fauna, tanah, dan air
(Rasyid, 2014).
Dampak negatif pada lingkungan fisik antara lain meliputi
penurunan kualitas udara akibat kepekatan asap yang
memperpendek jarak pandang sehingga mengganggu
transportasi, mengubah sifat fisika-kimia dan biologitanah,
mengubah iklim mikro akibat hilangnya tumbuhan, bahkan dari
segi lingkungan global ikut memberikan andil terjadinya efek
rumah kaca (Rasyid, 2014).
Dampak pada lingkungan hayati antara lain meliputi
menurunnya tingkat keanekaragaman hayati, terganggunya
suksesi alami, terganggunya produksi bahan organik dan proses
dekomposisi (Rasyid, 2014).
10

Dampak pada kesehatan yaitu timbulnya asap yang


mengganggu kesehatan masyarakat terutama masyarakat miskin,
lanjut usia, ibu hamil dan anak balita seperti infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA), asma bronkial, bronkitis, pneumonia,
iritasi mata dan kulit (Rasyid, 2014).
Dampak sosial yaitu hilangnya mata pencaharian, rasa
keamanan dan keharmonisan masyarakat lokal. Sedangkan
dampak ekonomi antara lain meliputi dibatalkannya jadwal
transportasi darat-air dan udara, hilangnya tumbuh-tumbuhan
terutama tumbuhan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi,
biaya pengobatan masyarakat, turunnya produksi industri dan
perkantoran, serta anjloknya bisnis pariwisata (Rasyid, 2014).
Pencemaran udara pada dasarnya berbentuk partikel (debu,
aerosol, timah hitam) dan gas (CO, NOx, SOx, H2S,
hidrokarbon). Udara yang tercemar dengan partikel dan gas ini
dapat menyebabkan gangguan kesehatan yang berbeda tingkatan
dan jenisnya, tergantung dari macam, ukuran dan komposisi
kimiawinya. Gangguan tersebut terutama terjadi pada fungsi faal
dari organ tubuh seperti paru-paru dan pembuluh darah atau
menyebabkan iritasi pada mata dan kulit (Ratnani, 2008).
Pencemaran udara karena partikel debu biasanya
menyebabkan penyakit pernafasan kronis seperti bronchitis
khronis, emfisema (penggelembungan rongga atau jaringan
karena gas atau udara didalamnya; busung angin) , paru, asma
bronkial dan kanker paru (Ratnani, 2008).

e. Apa saja syarat sumber air bersih?


Jawab:
11

1) Air dalam keadaan terlindung dari


sumber pencemaran, binatang pembawa penyakit, dan
tempat perkembangbiakan vektor
a) Tidak menjadi tempat
perkembangbiakan vektor dan binatang pembawa
penyakit.
b) Jika menggunakan kontainer
sebagai penampung air harus dibersihkan secara
berkala minimum 1 kali dalam seminggu.
2) Aman dari kemungkinan
kontaminasi
a) Jika air bersumber dari sarana
air perpipaan, tidak boleh ada koneksi silang dengan
pipa air limbah di bawah permukaan tanah.
b) Jika sumber air tanah non
perpipaan, sarananya terlindung dari sumber
kontaminasi baik limbah domestik maupun industri.
c) Jika melakukan pengolahan air
secara kimia, maka jenis dan dosis bahan kimia
harus tepat.
(Permenkes, 2017).

f. Apa saja syarat udara bersih?


Jawab:
12

g. Apa dampak bagi kesehatan menggunakan air sungai sebagai


mandi, cuci, dan kakus?
Jawab:
Berbagai macam penyakit masyarakat timbul karena
terjadinya pencemaran lingkungan (Saragih dan Sitorus, 1983;
Slamet, 2000; Pomalingo dan Ali, 2002; Mulia, 2005; Chandra,
2007). Sebagai contoh, penyakit bawaan air seperti: diare,
cholera, typhus abdominalis, hepatitis A, dan dysentrie amoeba.
Selain penyakit menular, penggunaan air terkontaminasi
zat-zat kimia berbahaya atau beracun akan memicu terjadinya
penyakit tidak menular. Sebagai contoh kasus keracunan akibat
mengkonsumsi air yang terkontaminasi zat-zat kimia beracun
(Wardhana, 1995; Mulia, 2005; Chandra, 2007) adalah:
1) Kasus keracunan Kobalt yang terjadi di Nebraska
(Amerika) yang diakibatkan oleh air yang tercemar kobalt.
Akibat dari keracunan kobalt dapat berupa: gagal jantung,
tekanan darah tinggi, pergelangan kaki membengkok, dan
kerusakan kelenjar gondok.
2) Penyakit Minamata, yang disebabkan oleh mercury (air
raksa) yang mencemari air di teluk Minamata (Jepang). Di
dalam air, mercury diubah menjadi methyl mercury oleh
bakteri. Ikan yang terkontaminasi methyl mercury yang
dikonsumsi oleh penduduk menyebabkan keracunan,
sehingga mengakibatkan 41 orang meninggal dunia, dan
111 orang menderita cacat fisik.
3) Keracunan Cadmium pada penduduk di kota Toyoma
(Jepang) karena mengkonsumsi beras yang berasal dari
tanamam padi yang selama bertahun-tahun mendapatkan
air yang telah tercemar Cadmium.

Air juga dapat berperan sebagai sarang insekta yang


menyebarkan penyakit pada masyarakat. Insekta jenis ini
13

disebut sebagai vektor penyakit. Beberapa penyakit yang


disebarkan oleh vektor penyakit (Slamet, 2000; Mulia, 2005;
Chandra, 2007) antara lain:
1) Penyakit Demam Berdarah (Dengue Haemorrhagic Fever)
dengan gejala demam dan perdarahan. Penyakit ini
menyebar di antara mesyarakat melalui vektor berupa
nyamuk Aedes aegypti (nyamuk yang suka bersarang di
air yang bersih).
2) Filariasis, yang dikenal dengan penyakit kaki gajah
(Elephantiasis). Penyebab penyakit ini adalah cacing bulat
kecil (filaria). Vektor penyakit ini berupa nyamuk Culex
fatigans. Filaria dapat menyebabkan terjadinya
penyumbatan saluran limpatik yang mengakibatkan cairan
tubuh tidak bisa mengalir, sehingga terjadi pembengkakan
yang semakin lama semakin membesar dan mengeras.
3) Penyakit Malaria, dengan gejala yang tipikal yaitu
berganti-gantinya perasaan panas- dingin. Penyakit ini
disebabkan oleh protozoa (Plasmodium malariae). Vektor
penyakit Malaria adalah nyamuk Anopheles.

h. Bagaimana cara mencegah pencemaran udara?


Jawab:
Prinsip pencegahan penanggulangan pencemaran lingkungan
(reduce, reuse, recycle)
1) Mengurangi pemakaian bahan-bahan pencemar
lingkungan (reduce)
a) Menggunakan kendaraan yang ramah lingkungan
b) Mengurangi pemakaian kendaraan bermotor
c) Mengurangi penggunaan bahan-bahan yang sulit
terurai
14

- Membiasakan diri untuk membawa kantong atau


tempat belanjaan dari rumah jika berbelanja ke
pasar atau mall.
- Membiasakan diri untuk tidak berlebihan dalam
mengoleksi barang-barang dari plastik, gelas, dan
logam.
d) Menghindari penggunaan detergen secara berlebihan
e) Menghindari penggunaan pupuk dan insektisida
yang berlebihan
2) Memakai ulang (reuse)
Memanfaatkan sampah atau limbah atau barang yang
sudah tidak dipakai untuk kepentingan yang sama dengan
peruntukan semula.
3) Daur ulang (recycle)
Upaya mengolah barang atau benda yang sudah dipakai
untuk dipakai kembali.
Pencegahan pencemaran udara
1) Penetapan baku mutu udara ambien, status mutu udara
ambien, baku mutu emisi, ambang batas emisi gas buang,
baku tingkat gangguan, ambang batas kebisingan, baku
mutu udara dalam ruangan dan ISPU
2) Kawasan dilarang merokok
3) Larangan pembakaran sampah
(Perda, 2005).

Upaya pengendalian pencemaran udara dapat melakukan


melalui penelitian dan pemantauan. Pengendalian pengelolaan
perlu mempertimbangkan keserasian antara faktor sumber emisi,
dampak,kondisi sosial, ekonomi, dan politik serta melakukan
pengukuran lapangan sesuai dengan kondisi.
Langkah pertama, dalam pengelolaan pencemaran udara
adalah dengan melakukan pengkajian/identifikasi mengenal
15

macam sumber, model dan pola penyebaran serta pengaruhnya/


dampaknya. Sumber pencemaran udara yang sering dikenal
dengan sumber emisi adalah tempat dimana pencemaran udara
mulai dipancarkan keudara.
Model dan pola penyebaran dapat diperkirakan melalui
studi pengenai kondisi fisik sumber (tinggi cerobong, bentuk,
lubang pengeluaran dan besarnya emisi) , kondisi awal kualitas
udara setempat (latar belakang), kondisi meteorologi dan
topografi. Studi dampak pencemaran udara dilakukan terhadap
kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan , material, estetika dan
terhadap kemungkinan adanya perubahan iklim setempat (lokal)
maupun regional.
Langkah selanjutnya adalah mengetahui dan
mengkomonikasikan tentang pentingnya pengelolaan
pencemaran udara dengan mempertimbangkan keadaan sosial
lingkungannya, yang behubungan dengan demografi , kondisi
sosial ekonomi, sosial budaya dan psikologis serta pertimbangan
ekonomi. Juga perlunya dukungan politik, baik dari segi hukum,
peraturan, kebijakan maupun administrasi untuk melindungi
pelaksanaan pemantauan, pengendalian dan pengawasan.
Untuk melakukan pengukuran lapangan dalam rangka
pemantauan pencemaran udara diperlukan pemilihan metoda
secara tepat sesuai dengan kemampuan jaringan pengamatan,
penempatan peralatan yang diperlukan untuk mengambil sampel
dan kebutuhan peralatan beserta ahlinya untuk keperluan
analisis
(Ratnani, 2008).

i. Apa saja indikator pencemaran udara?


Jawab:
Insikator terhadap pencemara udara:
16

1) Gas sulfurdioksida. Merupakan gas pencemaran di udara


yang paling banyak ditemukan di daerah Kawasan
industry dan daerah perkotaan karena gas ini dihasilkan
oleh sisa-sisa pembakaran batubara dan bahan bakar
minyak sehingga pada setiap survei pencemaran udara, gas
ini selalu diperiksa.
2) Indeks asap. Sampel udara disaring dengan sejenis kertas
dan diukur densitasnya dengan alat fotoelektrik meter,
hasilnya dinyatakan dengan Coh Units per 1000 linear
feet dari sampel udara.indeks asap ini sangat bervariasi
dari hari ke hari dan tergantung pada perubahan iklim.
3) Partikel debu. Partikel-partikel berupa debu dan arang daei
hasil pembakaran sampah dan industry merupakan salah
satu indicator yang dipergunakan untuk mengukur derajat
pencemaan udara, hasilnya dinyatakan dalam milligram
atau microgram partikel per meter kubik udara.
(Notoadodjo, 2012).

j. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi pencemaran udara?


Jawab:
Pencemaran udara yang terjadi di permukaan bumi ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor
meteorologi dan ilkim serta faktor topografi.
1) Meterologi dan iklim
Variabel yang termasuk di dalam faktor meteorologi dani
lkim, antara lain:
a) Temperatur
Pergerakan mendadak lapisan udara dingin ke suatu
kawasan industry dapat menimbulkan temperatur
inversi. Dengan kata lain, udara dingin akan
terperangkap dan tidak dapat keluar dari kawasan
tersebut dan cenderung menahan polutan tetap
17

berada di lapisan permukaan bumi sehingga


konsentrasi polutan di kawasan tersebut semakin
lama semakin tinggi. Dalam keadaan tersebut, di
permukaan bumi dapat dikatakan tidak terdapat
pertukaran udara sama sekali. Karena kondisi itu
dapat berlangsung sampai beberapa hari atau
beberapa minggu, udara yang berada dekat
permukaan bumi akan penuh dengan polutan dan
dapat menimbulkan keadaan yang sangat kritis bagi
kesehatan. Contoh, kota Tokyo pada tahun 1970
diselimuti oleh kabut tebal penuh dengan polutan
sampai beberapa minggu sehingga lebih dari 8000
penduduknya menderita infeksi saluran pernafasan
atas, sakit mata, dan lain-lain.
b) Arah dan
kecepatan angin
Kecepatan angin yang kuat akan membawa polutan
terbang kemana- mana dan dapat mencemari udara
negara lain. Kondisi semacam ini pernah dialami
oleh negara-negara di daratan Eropa. Contoh lainnya
adalah kebakaran hutan di Indonesia yang
menyebabkan kabut asap di negara Malaysia dan
Singapura. Sebaliknya, apabila kecepatan angin
lemah, polutan akan menumpuk di tempat dan dapat
mencemari udara permukiman yang terdapat di
sekitar lokasi pencemaran tersebut.
c) Hujan
Air hujan, sebagai pelarut umum, cenderung
melarutkan bahan polutan yang terdapat dalam
udara. Kawasan industri yang menggunakan
batubara sebagai sumber energinya berpotensi
menjadi sumber pencemar udara di sekitarnya.
18

Pembakaran batubara akan menghasilkan gas sulfur


dioksida apabila bercampur dengan air hujan akan
membentuk asam sulfat sehingga air hujan menjadi
asam, biasa disebut hujan asam.
d) Topografi
Variabel-variabel yang termasuk di dalam faktor
topografi, antara lain:
- Dataran rendah
Di daerah dataran rendah, angin cenderung
membawa polutan terbang jauh ke seluruh
penjuru dan dapat melewati batas negara dan
mencemari udara negara lain.
- Pegunungan
Di daerah dataran tinggi sering terjadi temperatur
inversi dan udara dingin yang terperangkap akan
menahan polutan tetap di lapisan permukaan
bumi.
- Lembah
Di daerah lembah, aliran angin sedikit sekali dan
tidak bertiup ke segala penjuru. Keadaan ini
cenderung menahan polutan yang terdapat di
permukaan bumi. Contoh: Kausu lembah Silicon
(Amerika Serikat).
Daerah dengan topografi datar dan tidak banyak dihalangi
oleh gedung-gedung tinggi masih memiliki pola aliran udara
yang cukup baik. Contoh daerah pedesaan, dimana jarak antara
bangunan yang ada masih cukup jauh sehingga pola aliran udara
masih baik. Lain halnya dengan daerah cekungan
lembah/cekungan, dengan kondisi topografi lebih rendah dari
sekelilingnya. Pola sirkulasi udara di daerah tersebut tidak
lancar sehingga bila konsentrasi udara ambien daerah tersebut
berada di atas baku mutu yang ditetapkan, maka akan sulit bagi
19

daerah tersebut untuk melakukan pengenceran. Kondisi udara


yang buruk tersebut akan bertahan lama karena udara bergerak
dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah.
Kejadian ini dikenal sebagai efek gas rumah kaca (greenhouse
effect)
(Nugraini, 2008).
k. Apa saja karakteristik dari limbah?
Jawab:
Limbah cair baik domestik maupun non domestik mempunyai
beberapa karakteristik sesuai dengan sumbernya, dimana
karakteristik limbah cair dapat digolongkan pada karakteristik
fisik, kimia, dan biologi yang diuraikan sebagai berikut (Metcalf
and Eddy, 2008):
1) Karakteristik Fisik
Karakteristik fisika air limbah yang perlu diketahui adalah
total solid, bau, temperatur, densitas, warna, konduktivitas,
dan turbidity.
a) Total Solid (TS)
Total solid adalah semua materi yang tersisa setelah
proses evaporasi pada suhu 103-105°C.
Karakteristik yang bersumber dari saluran air
domestik, industri, erosi tanah, dan infiltrasi ini
dapat menyebabkan bangunan pengolahan penuh
dengan sludge dan kondisi anaerob dapat tercipta
sehingga mengganggu proses pengolahan.
b) Bau
Disebabkan oleh udara yang dihasilkan pada proses
dekomposisi materi atau penambahan substansi pada
limbah.
c) Temperatur
Temperatur ini mempengaruhi konsentrasi oksigen
terlarut di dalam air. Air yang baik mempunyai
20

temperatur normal 8°C dari suhu kamar 27°C.


Semakin tinggi temperatur air (>27°C) maka
kandungan oksigen dalam air berkurang atau
sebaliknya.

d) Density
Density adalah perbandingan anatara massa dengan
volume yang dinyatakan sebagai slug/ft3 (kg/m3).
e) Warna.
Pada dasarnya air bersih tidak berwarna, tetapi
seiring dengan waktu dan meningkatnya kondisi
anaerob, warna limbah berubah dari yang abu–abu
menjadi kehitaman.
f) Kekeruhan
Kekeruhan diukur dengan perbandingan antara
intensitas cahaya yang dipendarkan oleh sampel air
limbah dengan cahaya yang dipendarkan oleh
suspensi standar pada konsentrasi yang sama
2) Karateristik Kimia
Pada air limbah ada tiga karakteristik kimia yang perlu
diidentifikasi yaitu bahan organik, anorganik, dan gas.
a) Bahan organik
Pada air limbah bahan organik bersumber dari
hewan, tumbuhan, dan aktivitas manusia. Bahan
organik itu sendiri terdiri dari C, H, O, N yang
menjadi karakteristik kimia adalah protein,
karbohidrat, lemak dan minyak, surfaktan, pestisida
dan fenol, dimana sumbernya adalah limbah
domestik, komersil, industri kecuali pestisida yang
bersumber dari pertanian.
b) Bahan anorganik
21

Jumlah bahan anorganik meningkat sejalan dan


dipengaruhi oleh asal air limbah. Pada umumnya
berupa senyawa-senyawa yang mengandung logam
berat (Fe, Cu, Pb, dan Mn), asam kuat dan basa kuat,
senyawa fosfat senyawa-senyawa nitrogen
(amoniak, nitrit, dan nitrat), dan juga senyawa-
senyawa belerang (sulfat dan hidrogen sulfida).
c) Gas
Gas yang umumnya ditemukan dalam limbah cair
yang tidak diolah adalah nitrogen (N2), oksigen
(O2), metana (CH4), hidrogen sulfida (H2S),
amoniak (NH3), dan karbondioksida (Eddy, 2008).
3) Karakteristik Biologi
Pada air limbah, karakteristik biologi menjadi dasar untuk
mengontrol timbulnya penyakit yang dikarenakan
organisme pathogen. Karakteristik biologi tersebut seperti
bakteri dan mikroorganisme lainnya yang terdapat dalam
dekomposisi dan stabilitas senyawa organik (Eddy, 2008).

l. Apa saja jenis-jenis polutan?


Jawab:
Jenis polutan dibagi berdasarkan struktur kimia , yaitu :
1) Partikel debu, abu dan metal seperti Pb, Nikel, Cadmium
dan Berilium.
2) Gas anorganik seperti NO, CO, S02, Amoniak dan
Hidrogen.
3) Gas organik seperti Hidrokarbon, Benzen, Etilen, Asetile,
Aldehida, Keton, Alkohol dan Asam-asam organik.
(Chandra, 2009).
Dilihat dari ciri fisik, bahan pencemar dapat berupa:
a) Partikel (debu, aerosol, timah hitam)
b) Gas (CO, NOx, SOx, H2S dan HC)
22

Dilihat dari ciri biologi, terdiri dari bakteri, jamur, virus


Berdasarkan dari kejadian, terbentuknya pencemar terdiri dari:
a. Pencemar primer (yang diemisikan langsung dari
sumbernya)
b. Pencemar sekunder (yang terbentuk karena reaksi di udara
antara berbagai zat)
(Ratnani, 2008).

m. Apakah tindakan yang dilakukan penduduk Tirta Harja sudah


benar? Jika tidak bagaimana seharusnya?
Jawab:
Larangan dari Pemerintah tentang Membakar Hutan dan
Lahan

1) Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) sebagaimana


dimaksud Undang Undang Nomor 39 Tahun 2014 Pasal
56 yang antara lain menyatakan: Setiap Pelaku Usaha
Perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan
dengan cara membakar, dan berkewajiban memiliki
sistem, sarana, dan prasarana pengendalian kebakaran
lahan dan kebun.

2) PP Nomor 57 tahun 2016 tentang perubahan PP Nomor 41


tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Ekosistem Gambut. Peraturan ini mencantumkan kriteria
baku kerusakan ekosistem gambut dengan fungsi lindung
yaitu terdapat drainase buatan, tereksposnya sedimen
berpirit dan/atau kwarsa dan terjadi pengurangan luas
dan/atau volume tutupan lahan. Sedangkan, kriteria baku
kerusakan gambut pada kawasan budidaya diamati
berdasarkan muka air tanah lebih dari 0,4 (nol koma
empat) meter di bawah permukaan gambut pada titik
penaatan.
3) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
23

Nomor32 tahun 2016 tentang pengendalian kebakaran


hutan dan lahan diterbitkan sebagai pedoman dalam
penanganan karhutla di Indonesia. Menurut Permen ini
pada paragraph 2 mulai pasal 51 disebutkan bahwa setiap
pelaku usaha di wilayah hutan seperti IUPHHK-HA dan
IUPHHK-HTI menyiapkan sarpras untuk menunjang
kegiatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

4) Kepolisian Republik Indonesia juga mengeluarkan Surat


Edaran Nomor 5 Tahun 2016 tentang Pengendalian
karhutla yang menyatakan bahwa tindak Pidana yang
terkait karhutla mencakup tidakan seperti membuka
dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar,
membuka hutan, membakar lahan, kelalaian yang
mengakibatkan karhutla dan terlampauinya baku mutu
udara ambien. Pelaku pembakaran baik perorangan
maupun korporasi dapat dikenakan pidana penjara dan
denda sesuai peraturan yangberlaku.

5) Maklumat Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah


tentang Sanksi Pindana Terhadap Pembakaran Hutan dan
Lahan seperti di bawah ini.
Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 pasal 26
tentang Perkebunan, juga telah diamanatkan bahwa “setiap
pelaku usaha perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah
lahan dengan cara pembakaran yang mengakibatkan terjadinya
pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan”. Pekerjaan dan
alat yang dipergunakan serta teknis pelaksanaan dalam
pembukaan lahan tergantung pada kerapatan vegetasi dan cara
yang digunakan.
Untuk membuka lahan tanpa bakar pada areal hutan/semak
belukar, hampir sama dengan cara pembukaan lahan tanpa bakar
pada areal peremajaan kelapa sawit. Pekerjaan dan alat yang
dipergunakan serta teknis pelaksanaannya tergantung pada
24

kerapatan vegetasi dan cara yang digunakan. Ada tiga cara


membuka lahan pada areal belukar yaitu cara manual, mekanis
dan kombinasi antara manual-mekanis-khemis.
1) Cara manual, yaitu kegiatan pembukaan lahan dengan
tahapan sebagai berikut: 1) Membabat rintisan yaitu
memotong dan membabat vegetasi dengan menggunakan
parang; 2) Menebang dan merencek (mencincang) batang
kayu yang besar dengan menggunakan parang, kapak atau
gergaji; 3) Membuat pancang jalur, yaitu jalur tanam yang
dibuat menurut jarak antar barisan tanaman, yang
dimaksudkan untuk memudahkan pembersihan jalur
tanam; 4) Membersihkan jalur tanam, yaitu membersihkan
hasil rencekan yang ditempatkan di antara jalur tanaman
dengan jarak 1 meter di kiri-kanan pancang, sehingga
didapatkan jalur yang bersih dari potongan kayu-kayuan.
2) Cara mekanis, cara ini dilakukan untuk areal yang
memiliki topografi datar dan berombak. Cara penebangan
umumnya dilakukan dengan traktor dengan tahapan
sebagai berikut:

a) Membabat rintisan, yaitu membabat semak dan kayu


yang mempunyai ketinggian 40 cm.

b) Menebang, yaitu menebang pohon yang besar


maupun yang kecil dengan menggunakan traktor.
Penebangan sebaiknya dengan diikuti penumbangan
pohon berikut akarnya. Pohon ditebang ke arah luar
agar tidak menghalangi jalannya traktor.

c) Merencek, dilakukan dengan memotong dan


mencincang (merencek) cabang dan ranting pohon
yang telah ditebang.

d) Membuat pancang jalur yang dibuat menurut arah


antar barisan tanaman yang dimaksudkan untuk
25

memudahkan pembersihan jalurtanam.

e) Membersihkan jalur tanam, dengan membuang hasil


rencekan batang/pohon dan ditempatkan pada lahan
di antara jalur tanaman dengan jarak 1 meter di kiri-
kanan pancang.

3) Cara kombinasi antara manual-mekanis.


Cara ini dapat dikombinasikan dengan cara kimia melalui
pemanfaatan herbisida pada saat pembukaan lahan
perkebunan maupun saat penanaman melalui
penyemprotan semak belukar dengan menggunakan
paraquat, triasukfuron, gilifosfat maupun jenis bahan
kimia lainnya. Dengan memperhatikan aspek kesehatan
serta lingkungan dan dalam penggunaannya dilaksanakan
dengan bijaksana sesuai dengan petunjuk yang diberikan.
(Yulianti, 2018)

2. Dr. Yulia baru bekerja selama satu ahun di Puskesmas Tirta


Harja mendapat laporan dari staf surveilans Puskesmas telah
terjadi peningkatan insidens kasus hepatitis A dua kali lipat dari
bulan sebelumnya, sedangkan dari data sepuluh penyakit
terbanyak ISPA menduduki ranking pertama. Dr. Yulia
berencana melakukan penyelidikan epidemiologis terhadap
penyakit hepatitis A serta memberi penyuluhan terhadap kasus-
kasus penyakit menular.
a. Apa tugas dari petugas surveilans puskesmas?
Jawab:
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1479/Menkes/SK/X/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit
Tidak Menular Terpadu, peran surveilans puskesmas adalah:
1) Pengumpulan dan Pengolahan Data
26

Unit surveilans Puskesmas mengumpulkan dan mengolah


data STP Puskesmas harian bersumber dari register rawat
jalan & register rawat inap di Puskesmas dan Puskesmas
Pembantu, tidak termasuk data dari unit pelayanan bukan
puskesmas dan kader kesehatan. Pengumpulan dan
pengolahan data tersebut mdimanfaatkan untuk bahan
analisis dan rekomendasi tindak lanjut serta distribusi data.
2) Analisis serta Rekomendasi Tindak Lanjut
Unit surveilans Puskesmas melaksanakan analisis bulanan
terhadap penyakit potensial KLB di daerahnya dalam
bentuk table menurut desa/kelurahan dan grafik
kecenderungan penyakit mingguan, kemudian
menginformasikan hasilnya kepada Kepala Puskesmas,
sebagai pelaksanaan pemantauan wilayah setempat (PWS)
atau sistem kewaspadaan dini penyakit potensial KLB di
Puskesmas. Apabila ditemukan adanya kecenderungan
peningkatan jumlah penderita penyakit potensial KLB
tertentu, maka Kepala Puskesmas melakukan penyelidikan
epidemiologi dan menginformasikan ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Unit surveilans Puskesmas
melaksanakan analisis tahunan perkembangan penyakit
dan menghubungkannya dengan factor risiko, perubahan
lingkungan, serta perencanaan dan keberhasilan program.
Puskesmas memanfaatkan hasilnya sebagai bahan profil
tahunan, bahan perencanaan Puskesmas, informasi
program dan sektor terkait serta Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota.
3) Umpan Balik
Unit surveilans Puskesmas mengirim umpan balik bulanan
absensi laporan dan permintaan perbaikan data ke
Puskesmas Pembantu di daerah kerjanya.
4) Laporan
27

Setiap minggu, Puskesmas mengirim data PWS penyakit


potensial KLB PWS KLB (terlampir form 3). Setiap
bulan, Puskesmas mengirim data STP Puskesmas ke Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dengan jenis penyakit dan
variabelnya sebagaimana formulir STP. PUS (terlampir
form 4). Pada data PWS penyakit potensial KLB dan data
STP Puskesmas ini tidak termasuk data unit pelayanan
kesehatan bukan puskesmas dan data kader kesehatan
Setiap minggu, Unit Pelayanan bukan Puskesmas
mengirim data PWS penyakit potensial KLB ke Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota sebagaimana formulir
(terlampir form 3).
Menurut WHO pada tahun 2000, ada 2 tugas pada surveilans,
mencakup tugas inti dan tugas pendukung, yaitu:
1) Tugas inti (core activities) mencakup kegiatan surveilans
dan langkah-langkah intervensi kesehatan masyarakat.
Kegiatan surveilans mencakup deteksi, pencatatan,
pelaporan data, analisis data, konfirmasi epidemiologis
maupun laboratoris, umpan-balik (feedback). Langkah
intervensi kesehatan masyarakat mencakup respons segera
(epidemic type response) dan respons terencana
(management type response).
2) Tugas pendukung (support activities) mencakup pelatihan,
supervisi, penyediaan sumber daya manusia dan
laboratorium, manajemen daya, dan komunikasi.

b. Apa hubungan peningkatan insiden kasus hepatitis A dengan


kebiasaan pembuangan langsung limbah pabrik ke sungai dan
aktivitas mandi, cuci, dan kakus?
Jawab:
Limbah pabrik yang dibuang ke sungai akan menyebabkan
pencemaran (polusi) pada air sungai sehingga dengan aktivitas
28

penduduk yang menggunakan air sungai sehari-hari nya dapat


tercemas limbah pabrik. Hepatitis A menular melalui fecal-oral
baik melalui kontak antar orang ke orang maupun melalui
waterborne atau food-borne. Penyakit ini menyebar di seluruh
dunia dan antibodi HAV lebih banyak terdapat pada kelompok
dengan tingkat sosial- ekonomi rendah, kemudian meningkat
sesuai umur orang yang terinfeksi. Penularan melalui air tercatat
di seluruh dunia kasus hepatitis ini terjadi akibat mengkonsumsi
air yang pengolahannya tidak sempurna. Penularan melalui
makanan lebih menjadi perhatian dibandingkan melalui air.
Mengkonsumsi kerang-kerangan yang tumbuh dalam air
buangan
yang terkontaminasi menimbulkan kasus hepatitis cukup besar
(Said, 2011).

c. Apa yang dimaksud dengan insiden?


jawab:
setiap kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang
mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera yang
dapat dicegah pada pasien.
Permenkes RI. No 11 tahun 2017. Keselamatan Pasien.
kejadian yang berkaitan dengan pekerjaan dimana cedera, 
ataupun kefatalan (kematian) dapat terjadi.

d. Apa penyebab peningkatan insiden suatu penyakit?


Jawab:
29

Adanya suatu penyakit disebabkan oleh perubahan


keseimbangan dari agent, host dan lingkungan. Perubahan
tersebut disebabkan oleh adanya :
1. Peningkatan jumlah atau virulensi dari agent
2. Adanya agent penyebab baru atau sebelumnya tidak ada
3. Keadaan yang mempermudah penularan penyakit
4. Perubahan imunitas penduduk terhadap agent yang patologi,
lingkungan dan kebiasaan penduduk yang berpeluang untuk
terjadi pemaparan
(Isselbacher, dkk.
2000).

e. Bagaimana mekanisme penularan melalui air dan udara?


Jawab:
Mekanisme penularan penyakit melalui air (Chandra, 2009):
1) Water borne mechanism
Kuman patogen yang berada dalam air dapat
menyebabkan penyakit pada manusia, ditularkan melalui
mulut atau sistem pencernaan. Contoh: kolera, tifoid,
hepatitis virus, disentri basiler dan poliomielitis.
2) Water washed mechanism
Jenis penyakit water washed mechanism yang berkaitan
dengan kebersihan individu dan umum, dapat berupa:
30

a) Infeksi melalui alat pencernaan, seperti diare pada


anak-anak
b) Infeksi melalui kulit dan mata, seperti skabies dan
trakoma
c) Penyakit melalui gigitan binatang pengerat, seperti
leptospirosis
3) Water based mechanism
Jenis penyakit dengan agen penyakit yang menjalani
sebagian siklus hidupnya di dalam tubuh vektor atau
sebagai pejamu intermediate yang hidup di dalam air.
Contoh: skistosomiasis, Dracunculus medinensis.
4) Water related insect vector mechanism
Jenis penyakit yang ditularkan melalui gigitan serangga
yang berkembang biar di dalam air.
Contoh: filariasis, dengue, malaria, demam kuning
(yellow fever).
Penyakit yang dapat ditularkan dan menyebar secara langsung
maupun tidak langsung melalui udara pernapasan disebut
sebagai air borne disease (Chandra, 2009).
Jenis penyakit yang ditularkan antara lain (Chandra, 2009):
1) TBC paru
2) Varicella
3) Difteri
4) Influenza
5) Variola
6) Morbili
7) Meningitis
8) Demam skarlet
9) Mumps
10) Rubella
11) Pertussis
31

f. Bagaimana cara pencegarah dan pengendalian hepatitis A?


Jawab:
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 53 Tahun 2015 Tentang Penanggulangan Hepatitis Virus
Pasal 4
Penanggulangan Hepatitis Virus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 dilakukan melalui kegiatan:
1) Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan
pengetahuan, perubahan perilaku, keterampilan, dan
komitmen dalam penyelenggaraan penanggulangan
Hepatitis Virus, sehingga masyarakat memahami Hepatitis
Virus secara baik dan benar dan mampu untuk mengakses
terhadap upaya perlindungan khusus, pemberian
imunisasi, mengetahui dan memahami cara pencegahan
untuk dirinya, orang lain, dan masyarakat luas, serta
mencegah terjadinya stigma dan diskriminasi terhadap
orang dengan Hepatitis Virus. Selain itu, peningkatan
komitmen bagi para pemimpin diperlukan dalam
mendukung upaya penanggulangan Hepatitis Virus ini.
Promosi kesehatan dilakukan terhadap
masing-masing jenis Hepatitis Virus berdasarkan cara
penularannya, melalui kegiatan sebagai berikut.
a) Advokasi dan sosialisasi
b) Intervensi perubahan perilaku
2) Perlindungan Khusus
Perlindungan khusus adalah upaya yang dilakukan agar
masyarakat dapat terlindungi dari penularan Hepatitis
Virus. Perlindungan khusus dapat dilakukan melalui
kegiatan pengurangan dampak buruk, seperti:
a) Penggunaan kondom
32

Penggunaan kondom terutama ditujukan bagi


kelompok masyarakat yang memiliki hubungan
seksual berisiko.
b) Pengunaan alat pelindung diri (APD)
Penggunaan APD diwajibkan bagi petugas
kesehatan atau masyarakat yang melakukan aktifitas
berisiko, seperti memakai masker dan sarung tangan,
dan baju dan kacamata pelindung.
c) Menghindari penggunaan jarum suntik dan alat
kesehatan peralatan lainnya yang tidak steril
Masyarakat wajib menghindari penggunaan jarum suntik
secara bergantian atau tidak steril, terutama pada
kelompok pengguna NAPZA suntik, pengguna tattoo,
tindik, dan akupunktur. Peralatan lainnya seperti misalnya
untuk tindik, peralatan pada kedokteran gigi, operasi,
hemodialisis, dll.

3) Pemberian Imunisasi
Pemberian imunisasi adalah suatu upaya yang dilakukan
untuk melakukan pencegahan terjadinya penularan
Hepatitis Virus. Pemberian imunisasi hanya dilaksanakan
untuk Hepatitis A. Imunisasi Hepatitis A dilakukan
dengan cara pemberian vaksin Hepatitis A sebanyak dua
kali dengan jarak 6 sampai 12 bulan terhadap masyarakat
di atas usia 2 tahun. Imunisasi hepatitis A dilakukan secara
sukarela.
4) Surveilans Hepatitis Virus
Surveilans Hepatitis Virus dilakukan secara aktif dan pasif
dalam rangka pemantauan wilayah setempat, kewaspadaan
dini, dan surveilans sentinel.
5) Pengendalian Faktor Risiko
a) Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) secara benar
33

b) Pengolahan makanan yang benar, meliputi menjaga


kebersihan makanan, memisahkan bahan makanan
mentah dan makanan matang, memasak makanan
sampai matang, menyimpan makanan di suhu aman,
menggunakan air bersih dan bahan makanan yang
baik
6) Deteksi Dini dan Penemuan Kasus 1. Hepatitis A
Penemuan kasus Hepatitis A dilakukan melalui orang
yang mempunyai gejala ikterik dan urine seperti air teh.
Diagnosis Hepatitis A ditegakkan selain adanya gejala
klinis yang kadang tidak muncul, berdasarkan hasil
pemeriksaan IgM-anti VHA serum penderita reaktif.
(Permenkes, 2015).

g. Bagaimana cara pencegahan dan pengendalian ISPA?


Jawab:
Penempatan pasien ISPA
1) Pasien yang terinfeksi organisme baru yang menyebabkan
ISPA yang dapat menimbulkan dampak besar terhadap
kesehatan masyarakat harus ditempatkan di ruang isolasi
untuk transmisi airborne (≥12 ACH dan aliran udara yang
aman; lihat bagian V). Pasien yang terinfeksi ISPA lain
yang dapat menimbulkan kekhawatiran harus ditempatkan
di kamar untuk satu pasien yang berventilasi memadai
(≥12 ACH).
2) Bila ruang isolasi untuk transmisi airborne tidak tersedia
untuk pasien yang terinfeksi organisme baru yang
menyebabkan ISPA, kamar untuk satu pasien yang
berventilasi memadai harus disediakan untuk pasien ini.
Bila memungkinkan, kamar yang digunakan untuk ruang
isolasi ISPA yang dapat menimbulkan kekhawatiran
(kamar untuk satu pasien atau ruang isolasi untuk
34

transmisi airborne) harus terletak di tempat yang jelas


terpisah dari tempat perawatan pasien lain (21, 55, 66, 96).
3) Ruang yang digunakan untuk triase pasien, ruang tunggu,
tempat yang digunakan untuk prosedur yang menimbulkan
aerosol yang berkaitan dengan penularan patogen, dan
kamar untuk satu pasien yang berventilasi memadai harus
menghasilkan tingkat ventilasi minimal 12 ACH (1).
Landasan pemikiran
1) Ruang isolasi untuk transmisi airborne harus diprioritaskan
untuk pasien yang mengalami infeksi obligat atau preferensial
(misalnya, tuberkulosis paru, campak, dan cacar air) dan untuk
pasien yang terinfeksi agen baru yang menyebabkan ISPA yang
dapat menimbulkan kekhawatiran tanpa informasi mengenai
kemungkinan cara penularannya.
2) Penularan oportunistik ISPA melalui droplet nuklei dalam
jarak dekat bisa terjadi selama prosedur yang
menimbulkan aerosol yang berkaitan dengan peningkatan
risiko penularan patogen (lihat Lampiran A.1) dalam
situasi khusus, (misalnya, penggunaan APD yang tidak
memadai, ventilasi lingkungan yang kurang baik).
Perlunya melakukan prosedur ini pada pasien ISPA di
ruang isolasi untuk transmisi airborne belum banyak
diteliti. Karena itu, fasilitas pelayanan kesehatan yang
dilengkapi ruang isolasi untuk transmisi airborne harus
menggunakannya sesuai dengan kebijakan setempat. Pada
saat penerbitan pedoman ini, hal ini masih menjadi
masalah yang belum teratasi, dan tidak ada rekomendasi
khusus yang dapat diberikan.

Rancangan ruang triase pasien dan ruang tunggu


1) Ruang triase pasien dan ruang tunggu harus berventilasi
memadai dengan ACH minimal 12 (1).
35

2) Atur ruangan dan proses sehingga diperoleh jarak (≥1 m)


antara para pasien yang sedang menunggu dan klasifikasi
cepat pasien infeksi pernapasan akut yang disertai demam,
dan tapis mereka dari faktor risiko yang berhubungan
dengan ISPA yang dapat menimbulkan kekhawatiran).
3) Ruang/tempat menunggu pasien harus dibersihkan dan
didisinfeksi dengan tepat setelah penempatan pasien yang
diduga atau dipastikan menderita ISPA yang dapat
menimbulkan kekhawatiran.
Penggunaan APD
1) APD harus digunakan dalam konteks strategi dan
rekomendasi pencegahan dan pengendalian infeksi lain
misalnya, Kewaspadaan Standar, Kontak, Droplet, atau
Airborne.

2) Pantau kepatuhan petugas kesehatan dalam menggunakan


APD dengan benar (misalnya, dengan menggunakan
pengamat). Ini sangat penting saat memberikan pelayanan
kepada pasien ISPA yang dapat menimbulkan
kekhawatiran.
3) Pelatihan yang sesuai mengenai penggunaan APD harus
diadakan.
Pelindung pernapasan
1) Bila pasien ISPA yang diketahui atau suspek tertular
melalui udara ditempatkan secara cohorting di tempat
yang sama atau di beberapa kamar pada unit perawatan,
dan banyak pasien yang akan dikunjungi, mungkin lebih
praktis bagi petugas kesehatan bila mengenakan satu
respirator partikulat selama melakukan kegiatannya.
Dalam penggunaan seperti ini, respirator tidak boleh
dilepas sembarang selama kegiatan berlangsung dan
pengguna respirator tidak boleh menyentuh respiratornya.
36

Bila respirator basah atau kotor terkena sekresi, respirator


tersebut harus segera diganti.

2) Pelatihan khusus mengenai bagaimana memasang


respirator, melakukan pemeriksaan kerapatan setiap kali
memakai respirator, menghindari kontaminasi selama
pemakaian respirator, dan melepas serta membuang
respirator, sangat diperlukan untuk menjamin penggunaan
respirator yang benar.
3) Bila persediaan terbatas, harus diutamakan memberikan
pelayanan kepada pasien penyakit obligat dan preferensial
yang ditularkan melalui udara, yaitu petugas kesehatan
yang melakukan prosedur yang menimbulkan aerosol yang
berkaitan dengan risiko penularan patogen yang sudah
terbukti. Bila respirator partikulat tidak tersedia,
pelaksanaan prosedur yang menimbulkan aerosol yang
berkaitan dengan peningkatan risiko penularan patogen
yang sudah terbukti harus dihindari bila memungkinkan
pada pasien ISPA yang dapat menimbulkan kekhawatiran.
(WHO, 2007).

h. Apa saja klasifikasi dari penyakit menular?


Jawab:
1) Berdasarkan cara penularannya adalah:
a) Penyakit menular yang di tularkan langsung,
pengertiannya termasuk yang ditularkan lewat udara,
kontak lansung maupun parenteral.
b) Penyakit menular yang ditularkan binatang, meliputi
penyakit yang ditularkan binatang, meliputi penyakit
yang ditularkan serangga, gigitan binatanh, maupun
penyakit yang memerlukan induk semang lain,
seperti siput.
37

c) Pemberantasan penyakit yang di tularkan melalui


makanan.
2) Pembagaian lainnya, misalnya berdasarkan kelompok
jenis penyebabnya:
a) penyakit menular karena virus
b) penyakit menular karena jamur
c) Penyakit menular karena bakteri
(Najmah, 2016).
Klasifikasi penyakit menular dapat dibagi berdasarkan etiologi,
cara penularan, dan aspek epidemiologi, seperti di bawah ini:
1) Etiologi: Virus, bakteri, protozoa, cacing, leptospira, jamur.
2) Cara penularan: Vektor, permukaan kulit, udara,
air/makanan, binatang.
3) Epidemiologi: Zoonosis, sporadis, endemis, epidemis,
pandemis.
(Chandra, 2009).

i. Apa hubungan penyakit ISPA menduduki ranking pertama


dengan kejadian pembakaran hutan?
Jawab:
Pembakaran hutan menyebabkan terjadinya pencemaran udara,
yang dapat berakibat terutama terjadi pada fungsi faal dari
saluran pernapasan, sehingga berdampak pada kenaikan angka
kejadian ISPA (Ratnani, 2008).

j. Bagaimana langkah-langkah melakukan survei epidemiologi?


Jawab:
Kegiatan Surveilans Kesehatan meliputi:
1) Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara aktif dan pasif.
Jenis data Surveilans Kesehatan dapat berupa data
kesakitan, kematian, dan faktor risiko. Pengumpulan data
38

dapat diperoleh dari berbagai sumber antara lain individu,


Fasilitas Pelayanan Kesehatan, unit statistik dan
demografi, dan sebagainya.
Metode pengumpulan data dapat dilakukan melalui
wawancara, pengamatan, pengukuran, dan pemeriksaan
terhadap sasaran. Dalam melaksanakan kegiatan
pengumpulan data, diperlukan instrumen sebagai alat
bantu. Instrumen dibuat sesuai dengan tujuan surveilans
yang akan dilakukan dan memuat semua variabel data
yang diperlukan.
2) Pengolahan data
Sebelum data diolah dilakukan pembersihan koreksi dan
cek ulang, selanjutnya data diolah dengan cara perekaman
data, validasi, pengkodean, alih bentuk (transform) dan
pengelompokan berdasarkan variabel tempat, waktu, dan
orang. Hasil pengolahan dapat berbentuk tabel, grafik, dan
peta menurut variabel golongan umur, jenis kelamin,
tempat dan waktu, atau berdasarkan faktor risiko tertentu.
Setiap variabel tersebut disajikan dalam bentuk ukuran
epidemiologi yang tepat (rate, rasio dan proporsi).
Pengolahan data yang baik akan memberikan informasi
spesifik suatu penyakit dan atau masalah kesehatan.
Selanjutnya adalah penyajian hasil olahan data dalam
bentuk yang informatif, dan menarik. Hal ini akan
membantu pengguna data untuk memahami keadaan yang
disajikan.
3) Analisis data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode
epidemiologi deskriptif dan/atau analitik untuk
menghasilkan informasi yang sesuai dengan tujuan
surveilans yang ditetapkan. Analisis dengan metode
epidemiologi deskriptif dilakukan untuk mendapat
39

gambaran tentang distribusi penyakit atau masalah


kesehatan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya
menurut waktu, tempat dan orang. Sedangkan analisis
dengan metode epidemiologi analitik dilakukan untuk
mengetahui hubungan antar variable yang dapat
mempengaruhi peningkatan kejadian kesakitan atau
masalah kesehatan. Untuk mempermudah melakukan
analisis dengan metode epidemiologi analitik dapat
menggunakan alat bantu statistik.
Hasil analisis akan memberikan arah dalam menentukan
besaran masalah, kecenderungan suatu keadaan, sebab
akibat suatu kejadian, dan penarikan kesimpulan.
Penarikan kesimpulan hasil analisis harus didukung
dengan teori dan kajian ilmiah yang sudah ada.
4) Diseminasi informasi.
Diseminasi informasi dapat disampaikan dalam bentuk
buletin, surat edaran, laporan berkala, forum pertemuan,
termasuk publikasi ilmiah. Diseminasi informasi
dilakukan dengan memanfaatkan sarana teknologi
informasi yang mudah diakses. Diseminasi informasi
dapat juga dilakukan apabila petugas surveilans secara
aktif terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan dan
monitoring evaluasi program kesehatan, dengan
menyampaikan hasil analisis.
(Permenkes, 2014).

k. Apa makna terjadi peningkatan insiden pada kasus?


Jawab:
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia, Nomor 1501/MENKES/PER/X/2010 tentang Jenis
Penyakit Menular Tertentu yang Dapat Menimbulkan Wabah
dan Upaya Penanggulangan pada Pasal 6:
40

Suatu darerah dapat ditetapkan dalam keadaan KLB, apabila


memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut:
1) Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang
sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal pada suatu
daerah.
2) Peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama 3
(tiga) kurun waktu dalam jam, hari atau minggu berturut-
turun menurut jenis penyakitnya.
3) Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih
dibandingkan dengan periode sebelumnya dalam kurun
waktu jam, hari atau minggu menurut jenis penyakitnya.
4) Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan
dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun sebelumnya.
5) Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1
(satu) tahun menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih
dibandingkan dengan rata-rata jumlah kejadian kesakitan
per bulan pada tahun sebelumnya.
6) Angka kematian kasus suatu penyakit (case fatality Rate)
dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu menunjukkan
kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih
dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu
penyakit periode sebelumnya dalam kurun waktu yang
sama.
7) Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita
baru pada satu periode menunjukkan kenaikan dua kali
atau lebih disbanding satu periode sebelumnya dalam
kurun waktu yang sama. (Menteri Kesehatan Republik
Indonesia, 2010)
Jadi makna terjadinya peningkatan insiden adalah telah
terjadinya KLB (kejadian Luar Biasa).
(Permenkes, 2010).
41

l. Apa yang dimaksud dengan epidemiologi?


Jawab:
Epidemiologi berasal dari bahasa Yunani, Yaitu epi atau apon
yang berarti "pada" atau "tentang",
demos= people yang berarti penduduk, dan logio= knowledge
yang berarti ilmu. Sehingga epidemiologi dapat diartikan: ilmu
yang mempelajari kejadian/kasus yang terjadi pada
penduduk/masyarakat. Pada awal perkembangannya
epidemiologi mempunyai pengertian yang sempit dianggap
sebatas ilmu tentang epidemik. Dalam perkembangan
selanjutnya, hingga dewasa ini epidemiologi dapat diartikan
sebagai ilmu tentang distribusi (penyebaran) dan determinan
(faktor
penentu) masalah kesehatan masyarakat yang bertujuan untuk
membuat perencanaan dan pengambilan keputusan dalam
menanggulangi masalah kesehatan. Sehingga epidemiologi tidak
hanya mempelajari penyakit dan epideminya saja tetapi juga
menyangkut masalah kesehata n secara keseluruhan (Utami,
2015).

m. Apa saja jenis-jenis epidemiologi?


Jawab:
1) Epidemiologi deskriptif
Epidemiologi deskriptif berkaitan dengan epidemiologi
sebagai ilmu yang memperlajari tentang distribusi
(distribution ) penyakit atau masalah kesehatan
masyarakat. Hasil pekerjaan epidemiologi deskriptif
diharapkan mampu menjawab pertanyaan mengenai factor
who (siapa), where (dimana), dan when (kapan). Di sini
epidemiologi merupakan langkah awal untuk mengetahui
42

adanya masalah kesehatan dengan menjelaskan siapa yang


terkena dan di mana serta kapan terjadinya masalah itu.
a) Siapa: merupakan pertanyaan tentang factor orang
yang akan dijawab dengan mengemukakan perihal
mereka yang terkena masalah, bisa mengenai
variabel umur, jenis kelamin, suku, agama,
pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan. Factor-
faktor ini biasa disebut sebagai variabel
epidemiologi atau demografi. Kelompok orang yang
potensial atau punya peluang untuk menderita sakit
atau mendapatkan risiko, biasanya disebut
population at risk (populasi berisiko).
b) Di mana: pertanyaan ini mengenai factor tempat di
mana masyarakat tinggal atau bekerja, atau di mana
saja di mana ada kemungkinan mereka menghadapi
masalah kesehatan. Factor tempat ini dapat berupa:
kota (urban) dan desa (rural); pantai dan
pegunungan; daerah pertanian, industry, tempat
bermukim atau kerja.
c) Kapan: kejadian penyakit berhubungan juga dengan
waktu. Factor waktu ini dapat berupa jam, hari,
minggu, bulan, dan tahun; musim hujan dan musim
kering.
2) Epidemiologi analitik
Epidemiologi analitik berkaitan dengan upaya
epidemiologi untuk menganalisis factor penyebab
(determinant ) masalah kesehatan. Di sini diharapkan
epidemiologi mamapu menjawab pertanyaan kenapa
(why ) atau apa penyebab terjadinya masalah itu.
Misalnya: setelah ditemukan secara deskriptif bahwa
banyak perokok yang menderita kanker paru, maka perlu
dianalisis lebih lanjut apakah memang rokok itu
43

merupakan factor determinan/ penyebab terjadinya kanker


paru.
3) Epidemiologi eksperimentas
Salah satu hal yang perlu dlakukan sebagai pembuktian
bahwa factor sebagai penyebab terjadinya suatu luaran
(output=penyakit), adalah diuji kebenarannya dengan
percobaan (experiment ). Misalnya kalau rokok dianggap
sebagai penyebab kanker paru maka perlu dilakukan
eksperimen jika rokok dikurangi maka kanker paru akan
menurun. Eksperimen epidemiologi dapat juga dilakukan
di laboratorium, tetapi disesuaikan dengan masalah
komuniti yang dihadapinya, sehingga ekperimen
epidemiologi sewajarnya dilakukan di komuniti. Untuk
itu, mislanya, pembuktian peranan rokok terhadap kanker
paru dilakukan dengan melakukan intervensi pengurangan
rokok dalam kehidupan masyarakat dan melihat apakah
memang terjadi penurunan kanker paru. Peraturan
pelarangan merokok ditandai menurunnya jumlah perokok
dan diikuti dengan menurunnya kanker paru akan
membuktikan bahwa rokoklah yang menjadi penyebab
kanker paru. Bentuk ekperimental lain yang sering
dilakukan adalah berkaitan dengan pengaruh intervensi
penyuluhan terhadap perubahan pengetahuan tentang
suatu masalah.misalnya, dilakukan penyuluhan tentang
HIV/AIDS dan dilihat apakah intervensi ini sebagai
komponen eksperimen yang menyebabkan meningkatnya
pengetahuan subjek penelitian. Ketiga jenis epidemiologi
ini tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, saling
berkaitan dan mempunyai peranan masing-masing sesuai
tingkat kedalaman pendekatan epidemiologi yang
dihadapi. Secara umum dapat dikatakan bahwa
pengungkapan dan pemecahan masalah epidemiologi
44

dimulai dengan epidemiologi dekriptif, lalu diperdalam


dengan epidemiologi analitik dan disusul dengan
melakukan epidemiologi eksperimen.
(Triwibowo, 2015).

n. Apa manfaat dan tujuan surveilans epidemiologi?


Jawab:
Menurut KMK nomor 1116 tentang penyelenggaraan
system surveilans epidemiologi (2003), Tujuan dari surveilans
epidemiologi adalah tersedianya data dan informasi epidemiologi
sebagai dasar manajemen kesehatan untuk pengambilan
keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan,
evaluasi program kesehatan dan peningkatan kewaspadaan serta
respon kejadian luar biasa yang cepat dan tepat secara nasional,
propinsi dan kabupaten/kota.
Tujuan khusus surveilans:
1) Memonitor kecenderungan (trends) penyakit;
2) Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk
mendeteksi dini outbreak;
3) Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban
penyakit (disease burden) pada populasi;
4) Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu
perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi
program kesehatan;
5) Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan;
6) Mengidentifikasi kebutuhan riset.
(JHU, 2002).

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1116


Tahun 2003 tentang penyelenggaraan system surveilans
epidemiologi.
Manfaat dari surveilans epidemiologi:
45

1. Dapat mendeteksi kecendrungan perubahan kejadian


penyakit tertentu
2. Dapat mendeteksi kejadian luar biasa
3. Dapat memberikan perkiraan tentang besarnya morbiditas
dan mortalitas
4. Dapat merangsang dan mendorong untuk diadakannya
penelitian epidemiologis
5. Dapat mengidentifikasi faktor resiko yang berkaitan dengan
kejadina penyakit
6. Dapat memperhitungkan kemungkinan tentang adanya
pengaruh upaya penanggulangan kejadian penyakit
7. Dapat memberikan perbaikan dibidang klinis bagi
pelanksana kesehatan yang juga merupakan bagian dari unsur
pokok sistem surveilans.
(Nur, 2008).
o. Apa prinsip dasar surveilans epidemiologi?
Jawab:
1) Pengumpulan data / informasi
2) Pengolahan data
3) Analisis dan interpretasi data
Hasil analisis dapat digunakan untuk:
a) Perencanaan
b) Monitoring dan
c) Evaluasi
4) Penyebar-luasan data yang ditujuan ke:
a) Tingkat
administrasi yang lebih tinggi
b) Ke instansi pelapor
c) Disebar luaskan ke
masyarakat
(Amiruddin, 2012).
46

p. Apa faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam melakukan


survei epidemiologi?
Jawab:
Faktor yang harus diperhatikan dalam melakukan survei
epidemiologi:
1) Untuk melaksanakan berbagai kegiatan suastu sistem
surveilens, dibutuhkan sejumlah tenaga khusus dengan
kegiatan yang cukup intensif
2) Untuk mendapatkan hasil analisis dibutuhkan waktu untuk
tabulasi dan analisi data
3) Masih terbatasnyaindikator kunci untuk berbagai nilai-
nilai tertentu dari hasil analisi sehingga sering sekali
mengalami kesulitan dalam membuat kesimpulan hasil
analisis.
4) Untuk dapat melakukan analisis kecenderungan suatu
proses dalam masyarakat dibutuhkan waktu beberapa
tahun untuk pengumpulan data.
5) Utnuk melakukan penilaian terhadap tingkat keberhasilan
suatu program, biasanya mengalami kesulitan bila
dilakukan pada populasi yang jumlahnya kecil, atau bila
tidak ada populasi/kelompok pembanding.
6) Sering seklai kita memperoleh laporan hasil surveilans
yang kurang lengkap sehinggga sulit membuat analisi
maupun kesimpulan
(Nur, 2008).
q. Apa saja jenis-jenis surveilans?
Jawab:
1) Surveilans Individu
Surveilans individu (individual surveillance)
mendeteksi dan memonitor individu-individu yang
mengalami kontak dengan penyakit serius, misalnya pes,
cacar, tuberkulosis, tifus, demam kuning, sifilis.
47

Surveilans individu memungkinkan dilakukannya isolasi


institusional segera terhadap kontak, sehingga penyakit
yang dicurigai dapat dikendalikan. Sebagai contoh,
karantina merupakan isolasi institusional yang membatasi
gerak dan aktivitas orang-orang atau binatang yang sehat
tetapi telah terpapar oleh suatu kasus penyakit menular
selama periode menular. Tujuan karantina adalah
mencegah transmisi penyakit selama masa inkubasi
seandainya terjadi infeksi (Last, 2001). Isolasi institusional
pernah digunakan kembali ketika timbul AIDS 1980an
dan SARS. Dikenal dua jenis karantina: (1) Karantina
total; (2) Karantina parsial. Karantina total membatasi
kebebasan gerak semua orang yang terpapar penyakit
menular selama masa inkubasi, untuk mencegah kontak
dengan orang yang tak terpapar. Karantina parsial
membatasi kebebasan gerak kontak secara selektif,
berdasarkan perbedaan tingkat kerawanan dan tingkat
bahaya transmisi penyakit. Contoh, anak sekolah
diliburkan untuk mencegah penularan penyakit campak,
sedang orang dewasa diperkenankan terus bekerja. Satuan
tentara yang ditugaskan pada pos tertentu dicutikan,
sedang di pospos lainnya tetap bekerja. Dewasa ini
karantina diterapkan secara terbatas, sehubungan dengan
masalah legal, politis, etika, moral, dan filosofi tentang
legitimasi, akseptabilitas, dan efektivitas langkah-langkah
pembatasan tersebut untuk mencapai tujuan kesehatan
masyarakat (Bensimon dan Upshur, 2007).
2) Surveilans Penyakit
Surveilans penyakit (disease surveillance)
melakukan pengawasan terus-menerus terhadap distribusi
dan kecenderungan insidensi penyakit, melalui
pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap
48

laporan-laporan penyakit dan kematian, serta data relevan


lainnya. Jadi fokus perhatian surveilans penyakit adalah
penyakit, bukan individu. Di banyak negara, pendekatan
surveilans penyakit biasanya didukung melalui program
vertikal (pusat-daerah). Contoh, program surveilans
tuberkulosis, program surveilans malaria. Beberapa dari
sistem surveilans vertikal dapat berfungsi efektif, tetapi
tidak sedikit yang tidak terpelihara dengan baik dan
akhirnya kolaps, karena pemerintah kekurangan biaya.
Banyak program surveilans penyakit vertikal yang
berlangsung paralel antara satu penyakit dengan penyakit
lainnya, menggunakan fungsi penunjang masing-masing,
mengeluarkan biaya untuk sumberdaya masingmasing,
dan memberikan informasi duplikatif, sehingga
mengakibatkan inefisiensi.
3) Surveilans Sindromik
Syndromik surveillance (multiple disease
surveillance) melakukan pengawasan terus-menerus
terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit, bukan
masing-masing penyakit. Surveilans sindromik
mengandalkan deteksi indikator-indikator kesehatan
individual maupun populasi yang bisa diamati sebelum
konfirmasi diagnosis. Surveilans sindromik mengamati
indikator-indikator individu sakit, seperti pola perilaku,
gejala-gejala, tanda, atau temuan laboratorium, yang dapat
ditelusuri dari aneka sumber, sebelum diperoleh
konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit.
Surveilans sindromik dapat dikembangkan pada level
lokal, regional, maupun nasional. Sebagai contoh, Centers
for Disease Control and Prevention (CDC) menerapkan
kegiatan surveilans sindromik berskala nasional terhadap
penyakit-penyakit yang mirip influenza (flu-like illnesses)
49

berdasarkan laporan berkala praktik dokter di AS. Dalam


surveilans tersebut, para dokter yang berpartisipasi
melakukan skrining pasien berdasarkan definisi kasus
sederhana (demam dan batuk atau sakit tenggorok) dan
membuat laporan mingguan tentang jumlah kasus, jumlah
kunjungan menurut kelompok umur dan jenis kelamin,
dan jumlah total kasus yang teramati. Surveilans tersebut
berguna untuk memonitor aneka penyakit yang
menyerupai influenza, termasuk flu burung, dan antraks,
sehingga dapat memberikan peringatan dini dan dapat
digunakan sebagai instrumen untuk memonitor krisis yang
tengah berlangsung (Mandl et al., 2004; Sloan et al.,
2006).
Suatu sistem yang mengandalkan laporan semua
kasus penyakit tertentu dari fasilitas kesehatan,
laboratorium, atau anggota komunitas, pada lokasi
tertentu, disebut surveilans sentinel. Pelaporan sampel
melalui sistem surveilans sentinel merupakan cara yang
baik untuk memonitor masalah kesehatan dengan
menggunakan sumber daya yang terbatas (DCP2, 2008;
Erme dan Quade, 2010).
4) Surveilans Berbasis Laboratorium
Surveilans berbasis laboartorium digunakan untuk
mendeteksi dan menonitor penyakit infeksi. Sebagai
contoh, pada penyakit yang ditularkan melalui makanan
seperti salmonellosis, penggunaan sebuah laboratorium
sentral untuk mendeteksi strain bakteri tertentu
memungkinkan deteksi outbreak penyakit dengan lebih
segera dan lengkap daripada sistem yang mengandalkan
pelaporan sindroma dari klinik-klinik (DCP2, 2008).
5) Surveilans Terpadu
50

Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata


dan memadukan semua kegiatan surveilans di suatu
wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/ kabupaten/ kota)
sebagai sebuah pelayanan publik bersama. Surveilans
terpadu menggunakan struktur, proses, dan personalia
yang sama, melakukan fungsi mengumpulkan informasi
yang diperlukan untuk tujuan pengendalian penyakit.
Kendatipun pendekatan surveilans terpadu tetap
memperhatikan perbedaan kebutuhan data khusus
penyakitpenyakit tertentu (WHO, 2001, 2002; Sloan et al.,
2006).
Karakteristik pendekatan surveilans terpadu: (1)
Memandang surveilans sebagai pelayanan bersama
(common services); (2) Menggunakan pendekatan solusi
majemuk; (3) Menggunakan pendekatan fungsional, bukan
struktural; (4) Melakukan sinergi antara fungsi inti
surveilans (yakni, pengumpulan, pelaporan, analisis data,
tanggapan) dan fungsi pendukung surveilans (yakni,
pelatihan dan supervisi, penguatan laboratorium,
komunikasi, manajemen sumber daya); (5) Mendekatkan
fungsi surveilans dengan pengendalian penyakit.
Meskipun menggunakan pendekatan terpadu, surveilans
terpadu tetap memandang penyakit yang berbeda memiliki
kebutuhan surveilans yang berbeda (WHO, 2002).
6) Surveilans Kesehatan Masyarakat Global
Perdagangan dan perjalanan internasional di abad
modern, migrasi manusia dan binatang serta organisme,
memudahkan transmisi penyakit infeksi lintas negara.
Konsekunsinya, masalah-masalah yang dihadapi negara-
negara berkembang dan negara maju di dunia makin
serupa dan bergayut. Timbulnya epidemi global (pandemi)
khususnya menuntut dikembangkannya jejaring yang
51

terpadu di seluruh dunia, yang manyatukan para praktisi


kesehatan, peneliti, pemerintah, dan organisasi
internasional untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan
surveilans yang melintasi batas-batas negara. Ancaman
aneka penyakit menular merebak pada skala global, baik
penyakit-penyakit lama yang muncul kembali (re-
emerging diseases), maupun penyakit-penyakit yang baru
muncul (newemerging diseases), seperti HIV/AIDS, flu
burung, dan SARS. Agenda surveilans global yang
komprehensif melibatkan aktor-aktor baru, termasuk
pemangku kepentingan pertahanan keamanan dan
ekonomi (Calain, 2006; DCP2, 2008).

r. Bagaimana metode penyuluhan yang baik dan benar?


Jawab:
Menurut Waryana (2016), pengertian tentang penyuluhan
menjelaskan bahwa penyuluhan pada dasarnya merupakan
proses komunikasi, yang memiliki ciri khusus untuk
mengkomunikasikan inovasi melalui pendidikan yang memiliki
sifat khusus sebagai sistem pendidikan non-formal. Berdasarkan
pengertian dari penyuluhan, pemilihan metode penyuluhan
melalui pendekatan-pendekatan sebagai berikut :
Metode Penyuluhan Dan Proses Komunikasi. Untuk memilih
metode komunikasi yang efektif, ada tiga cara pendekatan yang
dapat juga diterapkan dalam pemilihan metode penyuluhan,
yaitu didasarkan pada :
1) Media yang digunakan Berdasarkan media yang
digunakan, berdasarkan cara produksinya media
dikelompokkan menjadi :
a) Media cetak, yaitu suatu media statis yang
mengutamakan pesan-pesan visual. Media cetak
umumnya terdiri dari gambaran sejumlah kata,
52

gambar atau foto dalam tata warna. Adapun macam-


macamnya antara lain : poster, leaflet, booklet,
brosur, flipchart, sticker, pamflet, surat kabar.
b) Media elektronik, yaitu suatu media bergerak dan
dinamis, dapat dilihat dan didengar dalam
menyampaikan pesannya melalui alat bantu
elektronik. Adapun macam-macamnya antara lain :
TV, radio, film, video film, CD, VCD.
c) Media luar ruangan, yaitu suatu media yang
menyampaikan pesannya duluar ruang secara umum
melalui media cetak dan elektronik secara statis.
Adapun macam-macamnya antara lain: papan
reklame, spanduk, pameran, banner, TV layar lebar.
2) Sifat hubungan antara penyuluh dan penerima manfaat
Berdasarkan hubungan penyuluh ke penerima manfaat,
metode penyuluhan dibedakan atas dua macam, yaitu :
a) Komunikasi langsung, baik melalui percakapan tatap
muka atau lewat media tertentu (telepon, facimile)
yang memungkinkan penyuluh dapat berkomunikasi
secara langsung (memperoleh respon) dari penerima
manfaat dalam waktu yang relatif singkat terjadi
interaksi interpersonal.
b) Komunikasi tak langsung, baik lewat perantaraan
orang lain, lewat surat, atau media yang lain, yang
tidak memungkinkan penyuluh dapat menerima
respon dari penerima manfaat dalam waktu yang
relatif singkat.
3) Pendekatan psiko-sosial yang dikaitkan dengan tahapan
adopsinya. Penerima manfaat, seperti halnya dengan
metode penyuluhan berdasarkan media yang digunakan,
metode penyuluh menurut keadaan psiko-sosial penerima
manfaat juga dibedakan dalam tiga hal, yaitu :
53

a) Pendekatan perorangan, artinya penyuluh


berkomunikasi secara pribadi dengan penerima
manfaat, Misalnya melalui kunjungan rumah,
kunjungan di tempat penerima manfaat, dll.
b) Pendekatan kelompok, manakala penyuluh
berkomunikasi dengan sekelompok penerima
manfaat pada waktu yang sama, seperti pada
pertemuan diposyandu, PKK, penyelenggaraan
latihan, dll.
c) Pendekatan masal, jika penyuluh berkomunikasi
secara tak langsung atau langsung dengan sejumlah
penerima manfaat yang sangat banyak bahkan
mungkin terbesar tempat tinggalnya, misalnya
penyuluhan lewat TV, penyebaran selebaran, dll.
(Waryana, 2016).

3. Bagaimana nilai-nilai islam pada kasus?


Jawab:

‫ َوأُ ِحبُّ ْالفَأْ َل الصَّالِ َح‬, َ‫ َوالَ ِطيَ َرة‬,‫ الَ َع ْد َوى‬: ‫بي‬
ُّ َّ‫ قَا َل الن‬: ‫ع َْن أَبِ ْي هُ َر ْي َرةَ قَا َل‬

Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah bersabda: “Tidak ada penyakit


menular dan thiyarah (merasa sial dengan burung dan sejenisnya), dan
saya menyukai ucapan yang baik”.

Al-Qasas Ayat 77
‫ك ۖ َواَل تَب ِْغ‬ َ ‫ك ِمنَ ال ُّد ْنيَا ۖ َوأَحْ ِس ْن َك َما أَحْ َسنَ هَّللا ُ إِلَ ْي‬ َ ‫ك هَّللا ُ ال َّدا َر اآْل ِخ َرةَ ۖ َواَل تَ ْن‬
ِ َ‫س ن‬
َ َ‫صيب‬ َ ‫َوا ْبت َِغ فِي َما آتَا‬
َ‫ض ۖ إِ َّن هَّللا َ اَل ي ُِحبُّ ْال ُم ْف ِس ِدين‬
ِ ْ‫ ْالفَ َسا َد فِي اأْل َر‬ 

"Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya


Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan".
54

2.7 Kesimpulan
Dr. Yulia berencana melakukan penyelidikan epidemiologis serata memberi
penyuluhan karena terjadi KLB penyakit hepatitis A dan penyakit ISPA
menduduki rangking pertama di Desa Tirta Harja.

2.8 Kerangka Konsep

Limbah pabrik langsung di buang ke Membakar hutan


sungai dan kebiasaan masyarakat
menggunakan air sungai

Airbone disease
Waterbone disease

ISPA
Hepatitis A

KLB Hepatitis A Peningkatan ISPA

Dr. Yulia melakukan peyelidikan


epidemiologi dan memberikan
penyuluhan

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin, R. 2012. Surveilans Kesehatan Masyarakat. Kampus IPB Pres Taman


Kencana Bogor: PT Penerbit IPB Press.

Bensimon CM, Upshur REG (2007). Evidence and effectiveness in decision


making for quaranite. Amj Public Health.
55

Chandra, B. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Penerbit Buku Kedokteran.


Jakarta.

Chandra, Budiman. 2009. Ilmu Kedokteran Pencegahan & Komunitas. Jakarta :


Penerbit Buku Kedokteran EGC.

DCP2. (2008). Public Health Surveillance. The Best Weapon to Avert Epidemics.
Disease Control

Isserbacher,dkk.2010.Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Ed.13.Jakarta.

Johns Hopkins University). (2006). Disaster epidemiology. Baltimore, MD: The


Johns Hopkins and IFRC Public Health Guide for Emergencies.

Kementrian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Teknis Instalasi Pengolahan Air


Limbah dengan Sistem Biofilter Anaerob Aerob Pada Fasilitas Pelayanan
Kesehatan. Jakarta.

Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No. 107 Tahun 1997
Tanggal 21 November 1997

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1116/MENKES/SK/X/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem
Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular Dan Penyakit Tidak Menular
Terpadu.

Mandl KD, Overhage M, Wagner MM, Lober WB, Sebastiani P, Mostahari F,


Pavlin JA, Gesteland PH, Treadwell T, Koski E, Hutwagner L, Buckeridge
DL , Aller RD, Grannis S. (2004). Implementing Syndromic Surveillance: A
Practical Guide Informed By The Early Experience. J Am Med Inform
Assoc., 11:141–150.

Metcalf dan Eddy, Inc. 2008. Wastewater Engineering: Treatment, Disposal and
Reuse. McGraw-Hill, Inc: USA.

Mulia, R. M. 2005. Kesehatan Lingkungan. Penerbit Graha Ilmu. Yogyakarta.

Myrnawati. 2004. Buku Ajar Epidemiologi. Jakarta: FK Yarsi.

Najmah. (2016). Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: Trans Info Media.

Noor Nasry Nur. 2008. Epidemiologi. Rineka Cipta, Jakarta.

Notoadodjo, S. 2012. Promosi kesehatan dan perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka


Cipta

Nugraini, N, R. 2008. Pencemaran Udara. Universitas Indonesia.


56

Peraturan Daerah. Nomor: 2/ 2005: Tentang Pengendalian Pencemaran Udara.


Jakarta: Perda.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Nomor:


1501/MENKES/PER/X/2010. Tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan
Masyarakat. Jakarta: Permenkes.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Peraturan Menteri


Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2014 Tentang
Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan. Jakarta.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Peraturan Menteri


Kesehatan Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2015 Tentang
Penanggulangan Hepatitis Virus. Jakarta.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Peraturan Menteri


Kesehatan Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2017 Standar Baku Mutu
Kesehatan Lingkungan Dan Persyaratan Kesehatan Air Untuk Keperluan
Higiene Sanitasi, Kolam Renang,Solus Per Aqua, Dan Pemandian Umum.
Jakarta.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Nomor: 11 tahun 2017:


Tentang Keselamatan Pasien. Jakarta: Permenkes.

Pomalingo, N. dan I. Ali. 2002. Pengetahuan Lingkungan. Penerbit BKS-


PTNINTIM. Makassar.

Rasyid, F. 2014. Permasalahan dan dampak kebakaran hutan. (4), 47-59.

Ratnani. 2008. Teknik Pengendalian Pencemaran Udara yang Diakibatkan Oleh


Partikel. Jurnal Ilmiah Momentum, 4(2), 27-32.
https://media.neliti.com/media/publications/114195-ID-none.pdf.

Said, N. I., & Marsidi, R. (2011). Mikroorganisme Patogen Dan Parasit Di


Dalam Air Limbah Domestik Serta Alternatif Teknologi Pengolahan. Jurnal
Air Indonesia, 1(1).

Saragih, J. P. N. dan S. Sitorus. 1983. Bunga Rampai Lingkungan Hidup. Penerbit


Usaha Nasional Surabaya.

Slamet, J. S. 2000. Kesehatan Lingkungan. Gadjah Mada University Press.


Yogyakarta.

Soenarno, S. M., 2011. Pengelolaan Limbah. Yayasan Pelestarian Alam dan


Kehidupan Manusia. Bayuwangi.
57

Stoker, H.S. and Seager, S.L. (1972). Environmental Chemistry: Air and Water
Pollution, Glenview, Illinois: Scott Foresman.

Sulistiowati, L dan Wardhani, E. 2018. Kajian Dampak Pembuangan Airlimbah


Industri PT.X Terhadap Sungai Cikijing di Provinsi Jawa Barat. Jurnal
Rekayasa Hijau No.1. Vol 2.

Triwibowo, C dan Puspahandani M.E. 2015. Pengantar Dasar: Ilmu kesehatan


masyarakat. Yogyakarta: Nuha Medika

Utami, T. N., Nuraini, N. A., dan amp; Zurimi, S. (2015). Perspektif Kesehatan
Masyarakat Teori dan Aplikasi.

Waryana. 2016. Promosi Kesehatan, Penyuluhan dan Pemberdayaan


Masyarakat. Yogyakarta. Nuha Medika.

World Health Organization (WHO). Pencegahan dan Pengendalian Infeksi


Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang cenderung menjadi Epidemi dan
Pandemi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pedoman Interim WHO. Jakarta :
WHO; 2007.

Yulianti, N And Adji, F. 2018. Pengolahan Lahan Tanpa Bakar. IPB Press. Bogor

Anda mungkin juga menyukai