Anda di halaman 1dari 5

Nama : alyaa syaimaa hakim.

Kelas : x mipa 4
Tugas sejarah indonesia
Tokoh ulama yang memiliki pengaruh besar terhadap islamisasi indonesia
Al Habib Syarif Sultan Abdul Hamid II
Syarief abdul hamid alkadri atau beliau juga sering di gelari dengan nama sultan hamid
II, putra sulung sultan Pontianak ke-6, sultan syarief Muhammad alkadrie beliau adalah
perancang lambing negara indonesia, keturunan arab indonesia mempunyai istri seorang
perempuan belanda kelahiran Surabaya, mempunyai 2 anak yang sekarang tinggal di
belanda.

Lahir 12 Juli 1913

Tempat  Pontianak, Kesultanan
lahir Pontianak, Hindia Belanda

Wafat 30 Maret 1978 (umur 64)

Pasangan Didi van Delden

Wangsa Wangsa Alkadrie

Ayah & Sultan Syarif Muhammad dan


ibu syecha jamilah syarwani

Anak 2

Agama Islam

Sampai usia 12 tahun, Hamid dibesarkan oleh ibu angkat asal Skotlandia Salome Catherine
Fox dan rekan ekspatriatnya asal Inggris Edith Maud Curteis. Salome Fox adalah adik dari
kepala sebuah firma perdagangan Inggris yang berbasis di Singapura . Di bawah asuhan mereka,
Hamid menjadi fasih berbahasa Inggris. Pada tahun 1933, Salome Fox meninggal namun Hamid
masih tetap berhubungan dengan rekannya Curteis. Beliau menempuh
pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung.  Menempuh pendidikan
HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung namun beliau  tidak tamat,
kemudian KMA di Breda, Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada
kesatuan tentara Hindia Belanda. Setelah lulus pada tahun 1937, beliau dilantik sebagai
perwira KNIL dengan pangkat Letnan Dua. Dalam karier militernya, beliau pernah bertugas
di Malang, Bandung, Balikpapan, dan beberapa tempat lain di Pulau Jawa.

Masa Pendudukan Jepang


Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, sultan hamid II
tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan
pangkat menjadi kolonel. Pangkat itu bisa dikatakan sebagai pangkat tertinggi yang saat itu
diberikan kepada putera Indonesia. Ketika ayah beliau mangkat akibat agresi Jepang, pada 29
Oktober 1945 dia diangkat menjadi sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan
Hamid II. Jelas pengangkatannya ini adalah kemauan sebagian besar rakyat Kalbar yang tak
ingin adanya kekosongan jabatan dalam pemerintahan kesultanan.
Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil
daerah istimewa Kalimantan Barat dan selalu turut dalam perundingan-
perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda.
Sebagai anggota BFO, Sultan Hamid II adalah pendukung konsep Federalisme dan penentang
konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia yang di perjuangkan Presiden Sukarno.
Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN
Koningin der Nederlanden ("Ajudan dalam Pelayanan Luar Biasa kepada Paduka Ratu
Belanda"), yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda. Sebagai
seorang kolonel, Sultan Hamid II adalah orang Indonesia pertama yang memperoleh posisi milter
penting dalam tentara penjajahan.

Keterlibatan dengan Raymond Westerling


Pada 26 Januari 1950, elemen dari KNIL terlibat dalam pemberontakan di Jakarta dan Bandung
yang direncanakan oleh Raymond Westerling dan Sultan Hamid II. Pemberontakan ini gagal dan
hanya mempercepat kehancuran dari Republik Indonesia Serikat.[10]
Karena dianggap memberontak maka pada 5 April 1950 Sultan Hamid II ditangkap. Kemudian
dengan adanya permintaan dari masyarakat Kalimantan Barat untuk bergabung dengan Republik
Indonesia pada 22 April 1950, maka pada 15 Agustus 1950 Daerah Istimewa Kalimantan
Barat menjadi bagian dari Provinsi Kalimantan dan dua hari kemudian Republik Indonesia
Serikat bubar dan digantikan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia
Menteri Negara Zonder Portofolio
Pada tanggal 17 Desember 1949, Sultan Hamid II diangkat oleh Soekarno ke Kabinet RIS tetapi
tanpa adanya portofolio. Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta dan
termasuk 11 anggota berhaluan Republik dan lima anggota berhaluan Federal. Pemerintahan
federal ini berumur pendek karena perbedaan pendapat dan kepentingan yang bertentangan
antara golongan Unitaris dan Federalis serta berkembangnya dukungan rakyat untuk
adanya negara kesatuan.

Perumusan Lambang Negara (Garuda Pancasila)


Saat Sultan Hamid II menjabat sebagai Menteri Negara Zonder Portofolio dan selama jabatan
menteri negara itu pula dia ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang, dan
merumuskan gambar lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan
nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Portofolio Sultan
Hamid II dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar
Dewantoro, M. A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan R.M. Ngabehi Poerbatjaraka sebagai
anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan
diajukan kepada pemerintah.

Rancangan awal Garuda Pancasila oleh Sultan Hamid II, berbentuk garuda tradisional yang
bertubuh manusia.
Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku Bung Hatta Menjawab untuk melaksanakan
Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua
rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M. Yamin. Pada
proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya
M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.
Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara Sultan Hamid II, Soekarno, dan Mohammad
Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan
mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah
putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika".
Pada tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS,
Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut
mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan
terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan
dianggap bersifat mitologis.

Garuda Pancasila yang diresmikan 11 Februari 1950, tanpa jambul dan posisi cakar masih di
belakang pita.
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah
disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk rajawali yang
menjadi Garuda Pancasila dan disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian
menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Mohammad Hatta sebagai perdana
menteri.
AG Pringgodigdo dalam bukunya Sekitar Pancasila terbitan Departemen Pertahanan dan
Keamanan, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II
akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala
Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “'tidak berjambul”' seperti bentuk sekarang ini.
Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian
dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS. Presiden Soekarno
kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum
di Hotel Des Indes, Jakarta pada 15 Februari 1950.
Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda
Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram
pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas
masukan Presiden Soekarno.
Tanggal 20 Maret 1950, bentuk akhir gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat
disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk
melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk akhir rancangan Menteri Negara RIS Sultan
Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini
Adalah lambang yang dia buat, pada tahun 2016 telah sah diakui sebagai Benda Cagar Budaya
Peringkat Nasional pada 26 Agustus 2016. Penetapan tersebut ditandatangani Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhajir Effendi dengan Surat Keputusan (SK) Nomor
204 Tahun 2016. Namun pada hari Senin, 24 September 2018, Ketum Yayasan Sultan Hamid II,
yakni Anshari Dimyati, yang diutus Max Jusuf Alkadrie, Ketua Dewan Pembina Yayasan SH II
—, yang menerima plakat/sertifikat Benda Cagar Budaya Peringkat Nasional untuk Lambang
Negara karya Sultan Hamid II ini. Penyerahan ini dilakukan oleh Direktur Pelestarian Cagar
Budaya dan Permuseuman, Triana Wulandari, mewakili Mendikbud Muhadjir Effendy.

Masa akhir
Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar
lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di
mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H. Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18
Juli 1974. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar
lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap
disimpan oleh Istana Kadriyah, Pontianak.
Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (tahun 1974) sewaktu
penyerahan berkas dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai
Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Dia teringat ucapan
Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa,
dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan
dalam lambang negara.
Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di Pemakaman Keluarga
Kesultanan Pontianak di Batulayang.

Pencalonan sebagai pahlawan nasional


Pada Juli 2016, Pembina Yayasan Sultan Hamid II Max Jusuf Alkadrie dan istri mengajukan
berkas Sultan Hamid II untuk dicalonkan sebagai pahlawan nasional ke Kemensos.

Anda mungkin juga menyukai