Anda di halaman 1dari 18

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

SMF ILMU PENYAKIT DALAM

NYERI PSIKOGENIK

1.

No.ICD-10

F45.4

2.

Pengertian (Defenisi)

Nyeri psikogenik adalah keluhan nyeri yang penyebabnya bukan penyebab penyakit organik. Faktor
psikologis berperan dalam persepsi, awitan, keparahan, eksaserbasi dan lamanya nyeri. Nyeri
psikogenik tidak pura – pura diciptakan atau dibuat – buat. Nama lainnya adalah pain disorder.1,3

3.

Anamnesa

Faktor yang harus ditanyakan adalah lokasi nyeri. Intensitas sifatnya terus menerus atau hilang
timbul, karakteristik nyeri, faktor – faktor pemberat dan peringan nyeri, faktor penyebabnya, akut atau
kronik, riwayat penggunaan analgetik sebelumnya, dan keadaan lain yang berhubungan dengan
nyerinya. Perlu juga dilakukan penilaian status psikis. 1

Nyeri psikogenik pada umumnya bersifat difus, tidak jelas hubungannya dengan struktur jaringan,
intensitasnya berubah – ubah, terdapat disparitas antara mekanisme yang mencetuskan dengan jenis
dan beratnya nyeri. Pasien umumnya memiliki riwayat sudah berulang kali mengunjungi petugas
kesehatan, riwayat telah mengonsumsi berbagai obat penghilang nyeri, dan riwayat memiliki stresor
psikososial, antara lain masalah pernikahan, pekerjaan, atau keluarga. Sering disertai komorbid
depresi atau ansietas atau penyalahgunaan obat. Pemeriksaan status psikis menunjukkan bahwa
keluhan utama akan memburuk bila terdapat stres.

4.

Pemeriksaan Fisik

Diperlukan pemeriksaan yang teliti pada area nyeri dan sekitarnya, sistem saraf, fungsi motoris dan
sensoris serta fungsi organ – organ dalam.

Pada nyeri psikogenik tidak terdapt temuan fisis, atau temuan fisis tidak adekuat untuk menjelaskan
keparahan nyeri.

5.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi dan diagnosis banding nyeri organik. Untuk menilai
nyeri secara obyektif dapat dilakukan metode visual analog scale (VAS). Untuk menilai deskripsi nyeri
secara terperinci dapat digunakan McGill Pain Questionnaire (MPQ). Untuk menilai nyeri kronik dapat
digunakan The Westhave – Yale Multidimensional Pain Inventory (WHY MPI). Stress Analyzer / Heart
Rate Variability untuk menilai vegetative imbalance

6.

Diagnosa Banding

Nyeri organik sesuai dengan lokasi nyeri

7.

Kriteria Diagnosa

DSM-5 tidak memasukkan gangguan khusus nyeri (misalnya, gangguan nyeri psikogenik, gangguan
nyeri somatoform, dan gangguan nyeri, seperti dalam edisi DSM sebelumnya, melainkan digantikan
oleh gangguan gejala somatic dengan predominan nyeri, dengan kriteria:

A. Satu atau lebih gejala somatic yang mengganggu atau berakibat pada terganggunya aktifitas
sehari-hari
B. Pikiran, perasaan atau perilaku berlebihan yang berhubungan dengan gejala somatic atau
berhubungan dengan kekhawatiran terhadap kesehatan, dengan manifestasi satu dari gejala
berikut:
a. Pikiran yang persisten dan tidak proporsional mengenai keparahan gejala
b. Kekhawatiran tinggi yang persisten akan kesehatan atau gejala
c. Energi dan waktu berlebihan yang dihabiskan terkait gejala dan masalah kesehatan
C. Gejala persisten lebih dari 6 bulan
Yang spesifik dengan :
Gejala didominasi oleh rasa sakit

8.

Manajemen

Nonfarmakologis

Istirahat, cognitive behaviour therapy (CBT)

Farmakologis

1. Antidepresan : Fluoxetin, citalopram, fluvoxamin, mianserin, clomipramin


2. Antiansietas : benzodiazepin
3. Antinyeri
9.

Prognosa

Belum ada studi yang melakukan prognosis nyeri psikogenik

10.

Edukasi
11.

Kepustakaan

1. Shatri H, Setiyohadi B. Nyeri psikogenik. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,


Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi VI. Jakarta; Interna
Publishing; 2014. Hal. 2143-7.
2. Reus VI. Mental disorders. Dalam: longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL,
Loscalzo J, penyunting. Harrison’s principle of internal medicine. Edisi XX. McGraw-Hill
Companies;2018. Hal. 3529-3545
3. Bransfield, & Friedman. (2019). Differentiating Psychosomatic, Somatopsychic, Multisystem
Illnesses, and Medical Uncertainty. Healthcare, 7(4), 114. doi:10.3390/healthcare7040114
4. Smith JK, Józefowicz RF. Diagnosis and treatment of somatoform disorders. Neurol Clin
Pract. 2012 Jun;2(2):94-102. doi: 10.1212/CPJ.0b013e31825a6183. PMID: 29443321;
PMCID: PMC5798205.
5. Diagnostic and statistical manual of mental disorders. 5th ed. Washington DC. American
Psychiatric Association. 2013
6. Agarwal V, Srivastava C, Sitholey P. Clinical Practice Guidelines for the management of
Somatoform Disorders in Children and Adolescents. Indian J Psychiatry. 2019 Jan;61(Suppl
2):241-246. doi: 10.4103/psychiatry.IndianJPsychiatry_494_18. PMID: 30745699; PMCID:
PMC6345131.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

SMF ILMU PENYAKIT DALAM

PENYAKIT JANTUNG FUNGSIONAL (NEUROSIS KARDIAK)


1.

No.ICD-10

F45.3

2.

Pengertian (Defenisi)

Penyakit jantung fungsional adalah kelainan dengan keluhan seperti penyakit jantung disertai
kelainan organik. Etiologi berhubungan dengan keadaan psikiatri, palig sering disebabkan ansietas,
biasanya berhubungan dengan depresi aktif dan tidak jarang dengan gejala histerik. 1

3.

Anamnesa

Anamnesis2

1. Nyeri dada menyerupai angina pectoris, biasanya dicetuskan suatu stressor tertentu
2. Berdebar/debar/palpitasi, sesak napas, napas terasa berat
3. Keluhan vegetatif: kesemutan, tremor, sakit kepala, tidak bisa tidur, dan sebagainya
4. Keluhan psikis: rasa takut, risau/was-was, gelisah, dan sebagainya
5. Keluhan umum lainnya seperti pandangan mata gelap, berkunang – kunang
6. Terdapat stressor psikososial
7. Pemeriksaan penunjang1
8. EKG, echocardioghraphy, maupun tes Treadmill normal
9. Stress analyzer / Heart Rate Variability untuk menilai vegetative imbalance

4.

Pemeriksaan Fisik

5.

Pemeriksaan Penunjang

6.

Diagnosa Banding

Penyakit jantung koroner (angina pectoris, infark miocard)1


7.

Kriteria Diagnosa

8.

Manajemen

Nonfarmakologis

 Memberikan edukasi dan bimbingan, menjelaskan tentang gejala yang timbul dengan tepat
tanpa menakuti pasien, meluruskan pola pikir pasien yang salah tentang penyakit jantung
 Terapi Kognitif dan Perilaku ( Cognitive Bihavioural Therapy/ CBT)
Farmakologis

 Analgetik untuk rasa nyeri


 Vasodilator koroner
 Psikotropik golongan benzodiazepine untuk mengurangi kecemasan
 Terapi simptomatik lain dapat diberikan sesuai indikasi

9.

Prognosa

Gangguan ini bersifat kronis, hilang timbul dan jarang sembuh secara sempurna. Sangat jarang
seseorang dengan gangguan ini dapat bebas dari gejala selama lebih dari 1 tahun. 3

10.

Edukasi

11.

Kepustakaan
1. Shatri H. Gangguan jantung fungsional. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M,
Sudoyo AW. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam Jilid III Edisi VI. Jakarta: internal Publishing;
2014:21222126
2. Zheng F, Duan Y, Li J, Lai L, Zhong Z, Hu M, Ding S. Somatic symptoms and their
association with anxiety and depression in Chinese patients with cardiac neurosis. J Int Med
Res. 2019 Oct;47(10):4920-4928. doi: 10.1177/0300060519869711. Epub 2019 Aug 26.
PMID: 31448660; PMCID: PMC6833396.
3. Sadock BJ, Sadock VA. Somatization disorders. In: Kaplan & Sadock’s synopsis of psychiatry
Behavioural sciece/ clinical psychiatry 11th Edition. Lippincott Williams & Wilkins;2014
4. Thomson DR, Lewin RJP. Management of the post-myocardial infarction patient:
rehabilitation and cardiac neurosis. Heart 2000;84:101-105

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

SMF ILMU PENYAKIT DALAM

SINDROM KOLON IRITABEL

1.

No.ICD-10

K58.9

2.

Pengertian (Defenisi)

Berdasarkan Rome III, sindrom Kolon Iritabel (SKI) merupakan nyeri abdomen berulang atau
ketidaknyamanan abdomen ( sensasi tidak nyaman yang tidak bisa dikatakan sebagai nyeri) paling
tidak 3 hari dalam satu bulan pada 3 bulan terakhir yang berhubungan dengan 2 atau lebih hal
berikut:

 Perbaikan gejala setelah defekasi


 Onset berhubungan dengan perubahan frekuensi defekasi
 Onset berhubungan dengan perubahan bentuk feses
Dikatakan positif jika kriteria terpenuhi pada 3 bulan terakhir dengan onset paling tidak 6 bulan
sebelum didiagnosis. 1,3

Sindrom Kolon Iritabel dibagi menjadi beberapa subtipe berdasarkan konsistensi feses yaitu tipe
konstipasi, tipe diare, tipe campuran, dan tipe lainnya 1,3
 IBS dengan konstipasi : Feses keras >25%, dan feses lunak atau cair <25%
 IBS dengan diare : feses lunak atau cair >25% dan Feses keras <25%
 IBS tipe campuran : Feses keras >25%, dan feses lunak atau cair >25%
 IBS yang tak terklarifikasi : Abnormalitas yang tidak memenuhi semua kriteria di atas

3.

Anamnesa

Pasien yang mengeluh nyeri pada abdomen bagian bawah dengan kelainan pola defekasi selama
periode waktu tertentu tanpa progesivitas penyakit. Keluhan muncul selama stress atau perubahan
emosional tanpa disertai keluhan sistemik. Apakah nyeri dirasakan hanya pada suatu tempat atau
berpindah-pindah, seberapa sering merasakan nyeri, berapa lama nyeri dirasakan, bagaimana
keadaan nyeri jika pasien defekasi atau flatus; memenuhi kriteria Rome III. Pada anamnesis juga
perlu menyingkirkan tanda – tanda “alarm” seperti: usia > 55 tahun, riwayat gejala yang progresif atau
sangat berat, riwayat keluhan pertama kali kurang dari 6 bulan, berat badan menurun, gejala
nokturnal, laki – laki, riwayat kanker kolon pada keluarga, anemia, anoreksia, pendarahan rektal,
anemia, distensi abdomen, demam.1,2

4.

Pemeriksaan Fisik

Perut tampak kembung atau distensi, kadang dapat teraba kolon pada fosa iliaka kiri (86%) desertai
nyeri tekan (78%), bisisng usus meningkkat pada fosa iliaka kana (36%). Pada colok dubur
didapatkan adanya rasa nyeri (52%), rectum kosong (64%), feses yang keras dalam rectum (68%),
dan lendir yang banyak.2

5.

Pemeriksaan Penunjang

 Laboratorium: dilakukan untuk mencari etiologi lain misalnya pemeriksaan darah lengkap,
 Pemeriksaan hormon TSH dan serologis sesuai indikasi
 Pemeriksaan feses: melihat adanya darah samar, bakteri atau parasit juka dicurigai pada
kasusu diare kronik
 Rontgen abdomen: jika dicurigai adanya penyakit Crohn atau ada obstruksi
 Kolonoskopi atau sigmoidoskopi: dilakukan sesuai indikasi
 Stress Analyzer/ Heart Rate Variability untuk menilai vegetative imbalance

6.

Diagnosa Banding

 Intoleransi laktosa  diperiksa dengan hydrogen breath test


 Intoleransi makanan  contohnya MSG
 Infeksi
 Penyakit celiac  diidentifikasi dengan analisis kadar IgA, antibodi anti transglutaminase
 Pertumbuhan bakteri usus halus berlebih  ditandai malabsopsi nutrient inflamasi, eritemia,
eksudat, ulserasi
 Kolitis mikroskopik
 Divertikulitis
 Obstruksi mekanis pada usus halus
 Iskema
 Maldigesti
 Malabsorbsi
 Penyakit hati dan kandung empedu
 Pankreatitis kronik
 Endometriosis

7.

Kriteria Diagnosa

8.

Manajemen

Terapi Non Farmakologi : 1,2,3

o Penjelasan mengenai penyakit yang diderita dapat disembuhkan


o Menjaga asupan tinggi serat dan menghindari makanan yang menjadi pencetus keluhan.
Menghindari kafein, produk olahan, makanan berlemak, gandum, bawang, coklat.
o Terapi perilaku: terutama pada pasien usia muda yang stressor psikososial cukup tinggi
o Olahraga teratur dan menjaga asupan cairan yang cukup
Terapi Farmakologi:1,2,3-8

o Anti spasmodik yang bersifat anti kolinergik: dicyclomine 10-20 mg (1-3 x sehari), hyosin N-
butilbromida 3x10 mg
o Obat anti diare: 2 – 16 mg sehari, diphenoxylate hydrochlorideatropine sulfate,
cholestyramine resin
o Obat memperbaiki konstipasi: saksatif omotif seperti laktulosa, tegaserod
o Obat anti ansietas: antidepresan trisiklik, selective serotonin Re-uptake Inhibitors (SSRI)
o Probiotik

9.

Prognosa

Keluhan membaik dan hilang setelah 12 bulan pada 50% kasus,dan hanya kurang dari 5% yang akan
memburuk, dan sisanya dengan gejala menetap.6

10.

Edukasi
11.

Kepustakaan

1. Owyang C. Irritabel bowel syndrome. In: Kasper, Braunwald, Fauci et al. Harrison’s Principles
of Internal medicine vol II 20thed. McGrawHill.2018 pg 1899-1903.
2. Mudjaddid E. Sindrom kolon iritabel. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6 ed. Vol. II. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemin Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2014; hal 2115-2118.
3. Ford AC, Lacy BE, Talley NJ. Irritable Bowel Syndrome. N Engl J Med. 2017 Jun
29;376(26):2566-2578. doi: 10.1056/NEJMra1607547. PMID: 28657875.
4. Sultan S, Malhotra A. Irritable Bowel Syndrome. Ann Intern Med. 2017 Jun 6;166(11):ITC81-
ITC96. doi: 10.7326/AITC201706060. PMID: 28586906.
5. Defrees DN, Bailey J. Irritable Bowel Syndrome: Epidemiology, Pathophysiology, Diagnosis,
and Treatment. Prim Care. 2017 Dec;44(4):655-671. doi: 10.1016/j.pop.2017.07.009. Epub
2017 Oct 5. PMID: 29132527.
6. Manan Chudahman, Ari Fahrial Syam. Irritable Bowel Syndrome. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 6 ed. Vol. I. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2014;
hal 383-385.
7. Pietrzak A, Skrzydło-Radomańska B, Mulak A, Lipiński M, Małecka-Panas E, Reguła J,
Rydzewska G. Guidelines on the management of irritable bowel syndrome: In memory of
Professor Witold Bartnik. Prz Gastroenterol. 2018;13(4):259-288. doi:
10.5114/pg.2018.78343. Epub 2018 Sep 19. PMID: 30581501; PMCID: PMC6300851.
8. Liang D, Longgui N, Guoqiang X. Efficacy of different probiotic protocols in irritable bowel
syndrome: A network meta-analysis. Medicine (Baltimore). 2019 Jul;98(27):e16068. doi:
10.1097/MD.0000000000016068. PMID: 31277101; PMCID: PMC6635271.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

SMF ILMU PENYAKIT DALAM

SINDROM LELAH KRONIK


1.

No.ICD-10

R53.82

2.

Pengertian (Defenisi)

Suatu kumpulan gejala yang ditandai dengan keluhan rasa lelah yang berlangsung terus – menerus
atau berulang dalam waktu enam bulan atau lebih, dapat disertai gejala demam tidak tinggi, mialgia,
artralgia, sefalgia, nyeri tenggorok (faringitis) yang kadang – kadang disertai pembesaran kelenjar;
gejala psikis terutama depresi dan gangguan tidur. Kelelahan yang tidak berkurang dengan istirahat
dan mungkin akan bertambah berat saat melakukan aktifitas fisik atau mental, sehingga sering
menurunkan tingkat aktivitas seseorang. Keluhan pasien dapat bervariasi dan tidak spesifik, seperti
kelemahan, nyeri otot, gangguan daya ingat atau konsentrasi, gangguan tidur, dan kelelahan setelah
aktifitas yang berlangsung minimal 24 jam atau lebih, bahkan bertahun – tahun.

3.

Anamnesa

4.

Pemeriksaan Fisik

5.

Pemeriksaan Penunjang

Tidak ada pemeriksaan spesifik yang dapat mendiagnosa atau mengukur tingkat keparahan penyakit.
Stress Analyzer/ Heart Rate Variability untuk menilai vegetative imbalance. Pemeriksaan lain dapat
dilakukan tergantung pada hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik. 2,3

6.

Diagnosa Banding

 Depresi psikososial, dysthymia, gangguan cemas, dan penyakit psikiatrik lainnya


 Penyakit infeksi (SBE, penyakit Lyme, janur, mononucleosis, HIV, hepatitis B kronik atau C,
TB, parasit kronik
 Autoimun: SLE, miastenia gravis, multiple sklerosis, tiroiditis, rheumatoid arthritis
 Kelainan Endokrin: hipotiroid, hipopituari, insufisiensi adrenal, sindroma Cushing, diabetes
mellitus, hiperparatiroid, kehamilan, hipoglikemia reaktif
 Penyakit keganasan tersamar
 Ketergantungan obat
 Gangguan sitemik: gagal ginjal kronik, penyakit kardiovaskular, anemia, kelainan elektrolit,
penyakit hati
 Lain – lain: kurang istirahat, sleep apnea, narcolepsy, fibromyalgia, sarkoidosis, medikasi,
paparan bahan toksik, granulomatosis Wegener

7.

KriteriaDiagnosa

Kriteria untuk diagnosis bisa memenuhi 2 kriteria dan tidak memenuhi kriteria eksklusi

 Ditandai oleh Lelah Kronik yang menetap atau relaps dan tidak dapat dijelaskan:
- Lelah selama 6 bulan terakhir
- Lelah onset baru atau definitif
- Lelah bukan merupakan hasil dari penyakit organik atau pengeluaran tenaga secara
terus – menerus
- Lelah tidak berkurang dengan istirahat
- Lelah merupakan hasil reduksi substansi dari pekerjaan, edukasi, sosial, dan aktivitas
personal sebelumnya

Empat gejala atau lebih dari gejala berikut, dan berlanjut terus menerus selama 6 bulan:
- Gangguan memori dan konsentrasi, nyeri tenggorok, pembesaran kelenjar getah bening
cervikalis atau, nyeri otot, nyeri beberapa sendi, sakit kepala, tidur yang tidak nyenyak,
atau malise setelah pengeluaran tenaga

 Kriteria Eksklusi
- Kondisi medis yang menjelaskan lelah
- Gangguan depresi mayor (gambaran psikotik) atau gangguan bipolar
- Skizoprenia, demensia, atau gangguan delusi
- Anorexia nervosa, bulimia nervosa
- Penyalahgunaan alkohol dan substansinya
- Obesitas berat (BMI > 40)

8.

Manajemen

Terapi Non Farmakologi2,3-6

 Meyakinkan pasien bahwa penyakitnya tidak berbahaya dan dapat membaik seiring waktu
 Latihan fisik dapat meningkatkan daya tahan dan kekuatan pasien sehingga mengurangi
keluha atau cognitive behaviour therapy (CBT) dan grade exercise therapy (GET)
Terapi Farmakologi

Umumnya bersifat paliatif, seperti anti depresi, anti inflamasi non steroid, terapi alternatif
(multivitamin, suplemen nutrisi).2,3

9.

Prognosa
Perbaikan sempurna dari sindrom lelah kronik yang tidak diobati jarang: tingkat pemulihan median
adalah 5% (rentang 0 – 31%) dan tingkat perbaikan dan 39% (rentang 8 – 63%). Hasil akan lebih
buruk bila pasien dengan latar belakang gangguan psikatri dan kondisi gejala yang berlanjut tanpa
ditangani secara medis. Keluhan berkurang pada >50% kasus penyembuhan total dalam 1 tahun
terjadi pada 22 – 60% kasus.2,3

10.

Edukasi

11.

Kepustakaan

1. Mudjaddid E, Shatri H. Sindrom Lelah Kronik. Dalam: Sudoyo, Setiyohadi, Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi VI. Jakarta. Interna Publishing. 2014
2. Bleijenberg G. Chronic Fatigue Syndrome. In: Longo Fauci Kasper, Harrison’s Principles of
internal medicine 20th edition. United States of America. McGrawHill
3. Lim, EJ., Ahn, YC., Jang, ES. et al. Systematic review and meta-analysis of the prevalence of
chronic fatigue syndrome/myalgic encephalomyelitis (CFS/ME). J Transl Med 18, 100 (2020).
https://doi.org/10.1186/s12967-020-02269-0
4. CDC (https://www.cdc.gov/me-cfs/index.html)
5. Rollnik JD. Das chronische Müdigkeitssyndrom – ein kritischer Diskurs [Chronic Fatigue
Syndrome: A Critical Review]. Fortschr Neurol Psychiatr. 2017 Feb;85(2):79-85. German. doi:
10.1055/s-0042-121259. Epub 2017 Feb 24. PMID: 28235209.
6. Castro-Marrero J, Sáez-Francàs N, Santillo D, Alegre J. Treatment and management of
chronic fatigue syndrome/myalgic encephalomyelitis: all roads lead to Rome. Br J Pharmacol.
2017 Mar;174(5):345-369. doi: 10.1111/bph.13702. Epub 2017 Feb 1. PMID: 28052319;
PMCID: PMC5301046.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


SINDROM HIPERVENTILASI

1. No.ICD-10 R06.4

2. Pengertian (Defenisi) Hiperventilasi didefinisikan sebagai suatu keadaan


dimana terjadi ventilasi berlebihan yang mengakibatkan
menurunnya PaCO2.1,2 Ketika hiperventilasi berlangsung
lama (kronis) atau terjadi episode berulang dan berkaitan
dengan gejala somatik (respirasi, neurologis, intestinal)
ataupun psikologis (ansietas), maka kumpulan gejala ini
dinamakan sindrom hiperventilasi (SH). Etiologi dan
mekanisme terjadinya hiperventilasi belum diketahui
dengan jelas, namun SH erat kaitannya dengan
gangguan panik (panic disorder), karena sebagian besar
pasien menunjukkan karakteristik dari kedua kelainan
tersebut namun tidak ditemukan kelainan organik pada
keduanya.3,4

Pada level fisiologis, hiperventilasi murni merupakan


gangguan pernapasan. Hal ini hampir tidak pernah
menjadi masalah hingga saatnya bermanifestasi sebagai
gejala menjadi kunci penting dalam memahami mengapa
hiperventilasi menjadi masalah besar bagi sebagian
pasien. Oleh karena itu, sangat penting untuk mencari
faktor pencetus terjadinya SH pada pasien.5

3. Anamnesa Cari faktor pencetus: 5,6

1. Fisiologis : setelah berolahraga, nyeri. Dispnea,


pireksia, efek progesteron pada wanita hamil
2. Organik: asma, pireksia, obat/alkohol, hipertiroid,
gagal jantung, emboli paru, hipertensi pulmonal,
alveolitis fibrosa, gangguan metabolik (contoh:
diabetes ketoasidosis), dll
3. Psikogenik: pura – pura, depresi/ansietas,
gangguan panik, fobia
4. Pemeriksaan Fisik

5. Pemeriksaan  Saturasi oksigen SaO2


Penunjang  Hb, Ht, leukosit, ureum, kreatinin, gula darah, tes
fungsi hati, urin lengkap, Elisa D-dimer
 Analisa gas darah (AGD), K, Na, Ca
 Foto toraks, EKG (interval QT memanjang, ST
depresi atau elevasi, gelombang T
 Hormon paratiroid
 V/Q scan, computed tomography pulmonary
angiogram
 Stress Analyzer / Herat Rate Variability untuk
menilai vegetative imbalance
6. Diagnosa Banding Sangat penting untuk menyingkirkan penyebab patologis
yaitu : 6
1. Penyakit paru interstitial dengan rontgen thorax
normal  pertimbangkan CT Scan
2. Asma ringan dengan fungsi paru normal 
pertimbangkan monitoing peak expiratory flow
rate (PEFR), provokasi olahraga, atau tes
provokasi bronkus
3. Hipertensi pulmonal / penyakit tromboembolus
 pertimbangkan ekhokardiografi atau CT
pulmonary angiogram (CTPA)
4. Hipertiroidisme
5. Asidosis yang tidak terduga: misalnya pada
gagal ginjal, laktoasidosis, ketoasidosis
7. Kriteria Diagnosa Untuk menegakkan diagnosis SH, pada dasarnya
menggunakan kriteria diagnosis ekslusi namun tetap
diperlukan pemeriksaan penunjang tambahan antara
lain:6

1. Tidak ditemukannya etiologi kardiak pada


kesulitan bernapas
2. Tidak ditemukannya etiologi respirasi pada
kesulitan bernapas (fungsi paru normal, rontgen
thorax paru normal, dan SaO2 normal dalam
keadaan istirahat maupun olahraga)
3. Pola napas ireguler dalam keadaan istirahat
maupun olahraga
4. Tidak ada bukti adanya hipertensi pulmonal
5. Tidak ada bukti yang cukup kuat untuk
menegakkan emboli paru
6. Tidak ada bukti hipertiroidisme
7. PaCO2 rendah, pH meningkat pada AGD 9 (dan
gradien A-a normal)
8. Tidak ditemukannya asidosis metabolik pada
AGD (contoh : ketoasidosis, laktoasidosis)
9. Masalah psikologis yang belum sembuh, atau
fobia sosial/agrofobia
Selain itu, juga dapat digunakan skoring hiperventilasi
Nijmegen.

8. Manajemen Pada tatalaksana pada pasien dengan SH, sangat


penting untuk tidak melupakan gejala pasien hanya
karena beranggapan “ini hanya pikiran saja”. Pasien
memiliki gejala, yang membutuhkan penjelasan
sebenarnya. Belum ada rekomendasi untuk manajemen
pada pasein SH, namun sebaigian besar klinisi akan
memberikan penjelasan berdasarkan sensasi napas
berlebihan yang diperburuk dengan ansietas.
Rekomendasi lama untuk benapas di dalam paper bag
belum sepenuhnya terbukti dan tidak praktis. Penjelasan
dengan hati – hati mungkin dirasakan cukup, atau dapat
digunakan anxiolitik jangka pendek (contoh : diazepam
2 x 2 – 5 mg/hari). Penanganan dari bagian psikologis
atau fisioterapi untuk latihan pernapasan mungkin
dibutuhkan untuk mengontrol gejala. Apabila pasien
gagal merespon, selalu pikirkan penyakit yang
menyertai.

9. Prognosa Baik pada serangan akut. Pada kasus kronik, 65%


mengalami perbaikan dan 26% keluhannya hilang dalam
7 tahun. Sindrom ini sangat jarang menyebakan
kematian.

10. Edukasi

11. Kepustakaan 1. McConville J, Solway J. Chapter 264: Disorders


of Ventilation. In: Longo D, Fauci A, Kesper D, et
al. Harrison’s Principles of Internal of Internal
Medicine. 20th ed. New York: McGrawHill. 2018
2. Mudjaddid E, Putranto R, Shatri H. Sindrom
Hiperventilasi. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing;
2014. P. 2130-32
3. Wilson, C. (2018). Hyperventilation syndrome:
diagnosis and reassurance. Journal of
Paramedic Practice, 10(9), 370–375.
doi:10.12968/jpar.2018.10.9.370
4. Bennett A. Hyperventilation syndrome. InnovAiT.
2021;14(4):246-249.
5. Pizzorno, J. E., Murray, M. T., & Joiner-Bey, H.
(2016). Hyperventilation syndrome/breathing
pattern disorders. The Clinician’s Handbook of
Natural Medicine, 431–447. doi:10.1016/b978-0-
7020-5514-0.00047-6
6. Chapman S, Robinson G, Stradling J, et al.
Chapter 29: Hyperventilation Syndrome. Oxford
Handbook of Respiratory Medicine. 2rd Ed.
Oxford University Press. 2014
7. Kern B. Hyperventilation Syndrome. Emedicine
(serial Online) last updates April 2021 Available
from : URL: http://www.emedicine.com.
8. D'Alba I, Carloni I, Ferrante AL, Gesuita R,
Palazzi ML, de Benedictis FM. Hyperventilation
syndrome in adolescents with and without
asthma. Pediatr Pulmonol. 2015
Dec;50(12):1184-90. doi: 10.1002/ppul.23145.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS

SMF ILMU PENYAKIT DALAM

Palliative Care pada Penderita Penyakit Terminal

1. No.ICD-10 Z51.5

2. Pengertian (Defenisi) Perawatan paliatif merupakan pendekatan yang


bertujuan memperbaiki kualitas hidup pasien dan
keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan
dengan penyakit yang mengancam jiwa, melalui
pencegahan danpeniadaan melalui identifikasi dini dan
penilaian yang tertib serta penanganan nyeri serta
masalah-masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual.1
Penyakit terminal merupakan penyakit progresif yaitu
penyakit yang menuju kearah kematian yang
membutuhkan pendekatan dan perawatan paliatif
sehingga menambah kualitas hidup seseorang.1

3. Anamnesa Pada pasien paliatif terminal sering menderita nyeri


akibat dari penyakitnya, efek dari pengobatannya, faktor
psikis dan faktor-faktor lain yang memerlukan penilaian
individual serta pendekatan yang detail serta
menyeluruh1

4. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik untuk pasien dalam perawatan paliatif


harus didasarkan pada pengetahuan tentang penyakit
yang sudah ada sebelumnya dan gejala yang muncul.
Seperti riwayat, tujuan utamanya adalah untuk
menentukan apakah terdapat kondisi baru akut yang
memerlukan evaluasi dan penatalaksanaan lebih lanjut
atau untuk memverifikasi bahwa kondisi yang sudah ada
sebelumnya yang memerlukan pengobatan gejala lebih
lanjut bertanggung jawab atas munculnya keluhan. 2

1. Penampilan umum: apakah pasien masih bisa


berinteraksi dengan keadaan sekitar, apakah
memperbaiki posisi tubuh dapat membuat
pasien merasa lebih nyaman?
2. Tanda vital: tekanan darah, denyut nadi, laju
pernapasan, suhu tubuh
3. Kulit: apakah ada perubahan warna kulit seperti
sianosis atau kekeringan pada kulit yang dapat
diperbaiki menjadi lebih baik
4. Panca indera: apakah terdapat kelainan dalam
fungsi kelopak mata yang menyebabkan mata
menjadi kering, apakah terdapat air liur yang
menetes keluar akibat disfungsi otonom, dll
5. Pernafasan: apakah terdapat gangguan pola
pernapasan dan apakah pemberian bantuan
respirasi seperti oksigen atau nebulisasi dapat
membuat pasien menjadi lebih nyaman
6. Kardiovaskular: periksa apakah pulsasi nadi
masih teraba, perhatikan ritme dan
kecepatannya
7. Status mental: apakah terdapat delirium dan
evaluasi tingkat kesadaran serta lakukan
pemeriksaan status mental secara menyeluruh
jika memungkinkan

5. Pemeriksaan -
Penunjang

6. Diagnosa Banding Delirium merupakan status mental yang paling sering


ditemukan pada pasien dengan penyakit terminal dan
membutuhkan perawatan paliatif, hal ini harus dapat
dibedakan dari:3

a. Depresi dan mania


b. Psikosis
c. Demensia

7. KriteriaDiagnosa Menggunakan Supportive and Palliative Care Indicators


Tool4

a. Indikator umum kesehatan yang buruk atau


memburuk.

1. Masuk rumah sakit yang tidak direncanakan.

2. Status kinerja buruk atau memburuk, dengan


reversibilitas terbatas. (mis. Orang tersebut tinggal di
tempat tidur atau di kursi selama lebih dari setengah
hari.)

3. Bergantung pada orang lain untuk perawatan karena


meningkatnya masalah kesehatan fisik dan / atau
mental.

4. Pengasuh orang tersebut membutuhkan lebih banyak


bantuan dan dukungan.

5. Penurunan berat badan yang progresif; tetap kurus;


massa otot rendah.

6. Gejala persisten meskipun pengobatan kondisi yang


mendasarinya telah diobati secara optimal.

7. Orang (atau keluarga) meminta perawatan paliatif;


memilih untuk mengurangi, menghentikan atau tidak
menjalani pengobatan; atau ingin fokus pada kualitas
hidup.

b. Indikator klinis dari satu atau beberapa kondisi yang


membatasi hidup (kanker, demensia, gangguan
neurologis, penyakit kardiovaskular, penyakit respirasi,
gangguan ginjal, gangguan hati)

8. Manajemen Prinsip dari palliative care adalah5

a. Meredakan nyeri dan gejala mengganggu


lainnya.
b. Menegaskan kehidupan dan menganggap
kematian sebagai proses normal.
c. Tidak bermaksud untuk mempercepat atau
menunda kematian.
d. Mengintegrasikan aspek psikologis dan spiritual
dari perawatan pasien.
e. Menawarkan sistem pendukung untuk
membantu pasien hidup seaktif mungkin hingga
meninggal.
9. Prognosa

10. Edukasi Memberitahu pasien dan keluarga kondisi pasien

sesungguhnya dan apa langkah terbaik yang bisa dilakukan

11. Kepustakaan 1. WHO. Integrating Palliative Care and Symptom


Relief Into Primary Health Care. 2018
2. Schneiderman, H., Marks, S., PHYSICAL
EXAMINATION OF THE DYING PATIENT.
Palliative Care Network of Winconsin. 2019
3. Taylor A, Ritchie A, White C. Psychiatric
conditions in palliative medicine. Med (United
Kingdom) [Internet]. 2020;48(1):29–32. Available
from:
https://doi.org/10.1016/j.mpmed.2019.10.015
4. Walsh RI, Mitchell G, Francis L, Van Driel ML.
What diagnostic tools exist for the early
identification of palliative care patients in general
practice? A systematic review. J Palliat Care.
2015;31(2):118–23.
5. Getty J. Principles of palliative care. InnovAiT
Educ Inspir Gen Pract. 2018;11(12):676–9.

Anda mungkin juga menyukai