Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Keluarga Berencana
1. Definisi Keluarga Berencana
Menurut WHO Expert Committee, Keluarga Berencana adalah
tindakan yang membantu individu atau pasangan suami istri untuk
menghindarkan kelahiran yang tidak diinginkan, mengatur interval diantara
kehamilan, mengontrol waktu saat kelahiran dalam hubungan dengan umur
suami istri serta menentukan jumlah anak dalam keluarga (Suratun dkk.
Pelayanan Keluarga Berencana dan Pelayanan Kontrasepsi, 2008).
Keluarga barencana adalah upaya meningkatkan kepedulian
masyarakat dalam mewujudkan keluarga kecil yang bahagia sejahtera
(Undang-undang No. 10/ 1992).
Keluarga berencana merupakan usaha untuk mengukur jumlah anak
dan jarak kelahiran anak yang diinginkan. Maka dari itu, Pemerintah
mencanangkan program atau cara untuk mencegah dan menunda kehamilan
(Sulistyawati, 2013).
Secara umum keluarga berencana dapat diartikan sebagai suatu usaha
yang mengatur banyaknya kehamilan sedemikian rupa sehingga berdampak
positif bagi ibu, ayah serta keluarganya yang bersangkutan tidak akan
menimbulkan kerugian sebagai akibat langsung dari kehamilan tersebut
(Suratun dkk. Pelayanan Keluarga Berencana dan Pelayanan Kontrasepsi,
2008).

2. Tujuan Keluarga Berencana


Tujuan dilaksanakan program KB yaitu untuk membentuk keluarga
kecil sesuai dengan kekuatan sosial ekonomi suatu keluarga dengan cara

8
9

pengaturan kelahiran anak agar diperoleh suatu keluarga bahagia dan


sejahtera yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya (Sulistyawati, 2013).

3. Sasaran Keluarga Berencana


Sasaran Gerakan KB Nasional adalah:
a. Pasangan umur subur, dengan prioritas PUS muda dengan paritas
rendah.
b. Generasi mudan dan purna PUS.
c. Pelaksana dan pengelola KB.
d. Sasaran wilayah adalah wilayah dengan laju pertumbuhan penduduk
tinggi dan wilayah khusus seperti sentra industry, pemukiman padat,
daerah kumuh dan daerah terpencil.
(Winknjosastro, 2010)

4. Dampak Program KB
Program keluarga berencan memberikan dampak, antara lain:
a. Penurunan angka kematian ibu dan anak.
b. Penanggulangan masalah kesehatan reproduksi.
c. Peningkatan kesejahteraan keluarga.
d. Peningkatan derajat kesehatan.
e. Peningkatan mutu dan layanan KB-KR.
f. Peningkatan system pengelolaan dan kapasitas SDM.
g. Pelaksanaan tugas pimpinan dan fungsi manajemandalam
penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan berjalan lancer.
(Winknjosastro, 2010)

5. Kontrasepsi
Kontrasepsi merupakan usaha-usaha untuk mencegah terjadinya
kehamilan. Usaha-usaha itu dapat bersifat sementara dan permanen
(Wiknjosastro, 2010). Kontrasepsi yaitu pencegahan terbuahinya sel telur
10

oleh sel sperma (konsepsi) atau pencegahan menempelnya sel telur yang
telah dibuahi ke dinding rahim (Nugroho dan Utama, 2014).
Kontrasepsi adalah cara untuk mencegah terjadinya konsepsi.
Kontrasepsi adalah usaha-usaha untuk mencegah terjadinya kehamilan
(Saarwono, Ilmu Kandungan, 2010).

6. Persyaratan Kontrasepsi Ideal


Secara umum persyaratan metode kontrasepsi ideal adalah sebagai berikut:
1. Aman, artinya tidak akan menimbulkan komplikasi berat bila digunakan.
2. Berdaya guna, artinya bila digunakan sesuai dengan aturan akan
mencegah terjadinya kehamilan.
3. Dapat diterima bukan hanya oleh klien tetapi juga oleh lingkungan
budaya masyarakat.
4. Harganya terjangkau oleh masyarakat.
5. Bila metode tersebut dihentikan penggunaannya, klien akan segera
kembali kesuburannya, kecuali untuk kontrasepsi mantap.
(Saroha, Pinem Kesehatan Reproduksi dan Kontrasepsi 2009)

Hendaknya kontrasepsi memenuhi syarat sebagai berikut:


1. Dapat dipercaya.
2. Tidak menimbulkan efek yang mengganggu kesehatan.
3. Daya kerjanya dapat diatur menurut kebutuhan.
4. Tidak menimbulkan gangguan sewaktu melakukan koitus.
5. Tidak melakukan motivasi terus menerus.
6. Mudah melaksanakannya.
7. Murah harganya sehingga mudah dijangkau oleh seluruh lapisan
masyarakat.
8. Dapat diterima penggunaannya oleh pasangan yang bersangkutan.
(Sarwono, Ilmu Kandungan, 2010)
11

7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemulihan Metode Kontrasepsi


1. Faktor pasangan: umur, gaya hidup, frekuensi senggama, jumlah
keluarga yang diinginkan, pengalaman dengan kontrasepsi yang lalu dan
sikap kepriaan.
2. Faktor kesehatan: kontraindikasi absolute dan relative: status kesehatan,
riwayat haid, riwayat kelluarga, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
panggul.
3. Faktor metode kontrasepsi: penerimaan dan pemakaian
berkesinambungan dipandang dari pihak calon akseptor dan pihak medis
(petugas KB), efektifitas, efek samping minor, kerugian, biaya dan
komplikasi potensial.
(Pinem, Saroha, Kesehatan Reproduksi dan Kontrasepsi, 2009)

8. Macam-macam Kontrasepsi
Cara- cara kontrasepsi dapat dibagi menjadi beberapa metode:
1. Pemakaian menurut jenis kelamin pemakaian:
a) Cara atau alat yang dipakai oleh suami (pria).
b) Cara atau alat yang dipakai oleh istri (wanita).
2. Menurut pelayanannya:
a) Cara medis dan non medis.
b) Cara klinis dan non klinis.
3. Pembagian menurut efek kerjanya:
a) Tidak mempengaruhi fertilitas.
b) Menyebab infertilitas temporer (sementara).
c) Kontrasepsi permanen dengan infertilitas menetap.
4. Pemakaian menurut cara kerja alat/ cara konsepsi: menurut keadaan
biologis (senggama terputus, metode kalender, suhu badan dan lain-lain.
5. Memakai alat barrier:
a) Alat mekanis: kondom, diafragma dan cup portio.
12

b) Obat kimiawi: spermisida.


6. Kontrasepsi intrauterine: IUD.
7. Hormonal: pil KB, suntik KB dan alat kontrasepsi bawah kulit (AKBK).
8. Operatif: tubektomi dan vasektomi.
9. Pembagian umum dan banyak dipakai:
a) Metode merakyat (folk metode).
b) Senggama terputus (coitus interruptus).
c) Pembilasan pasca senggama.
d) Perpanjangan masa laktasi (prolonged lactation).
10. Metode tradisional:
a) Pantang berkala (sistem kalender, sistem suhu badan).
b) Kondom (karet).
c) Diafragma vagina.
d) Spermisida.
11. Metode modern:
a) Kontrasepsi hormonal (kontrasepsi sistemik).
1) Pil KB.
2) Suntik KB.
3) Alat kontrasepsi bawah kulit (AKBK) atau implant.
b) Kontrasepsi intrauterine:
1) IUD (intrauterine device).
2) Metode permanen operatif.
3) Tubektomi pada wanita.
4) Vasektomi pada pria.
(Pinem, Saroha, Kesehatan Reproduksi dan Kontrasepsi, 2009)

B. Kontrasepsi Intra Uterine Devices (IUD)


1. Pengertian
IUD adalah alat kecil terdiri dari bahan plastic yang lentur, yang
dimasukkan ke dalam rongga rahim oleh seorang bidan/ dokter terlatih
(http://www.bkkbn.go.id).
13

IUD adalah alat kontrasepsi yang dimasukkan kedalam rahim yang


bentuknya bermacam-macam, terdiri dari plastik (polyethylene). Ada yang
dililit tembaga (Cu), ada pula yang tidak, ada pula yang dililit tembaga
bercampur perak (Ag). Selain itu ada pula yang dibatangnya berisi hormone
progesteron (Suratun, 2008).
IUD adalah bahan inert sintetik (dengan atau tanpa unsur tambahan
untuk sinergi fektifitas) dengan berbagai bentuk, yang dipasangkan ke
dalam rahim untuk menghasilkan efek kontraseptif (Wiknjosastro, 2008).

2. Jenis Kontrasepsi IUD


a. IUD Generasi pertama: disebut Lippesloop, berbentuk spiral atau huruf
S ganda, terbuat daru plastic (poyethline).
b. IUD Generasi kedua:
1. Cu T 200 B; berbentuk T yang batangnya dililittembaga (Cu) dengan
kanduungan tembaga.
2. Cu 7; berbentuk angka 7 yang batangnya dililit tembaga.
3. ML Cu 250; berbentuk 3/3 lingkaran elips yang bergerigi yang
batangnya dililit tembaga.
c. IUD Generasi ketiga:
1. Cu T 380; berbentuk huruf T dengan lilitan tembaga yang lebih
banyak dan perak.
2. ML Cu 375; batangnya dililit tembaga berlapis perak.
3. Nova T. Cu 200 A; batang dan lengannya dililit tembaga.
d. IUD Generasi keempat:
Ginefix, merupakan IUD tanpa rangka, terdiri dari benang polipropilen
monofilament dengan enam butir tembaga.
(Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi, 2010)

3. Mekanisme Kerja Kontrasepsi IUD


a. Menghambat kemampuan sperma untuk masuk ke tuba falopi.
b. Mempengaruhi fertilisasi sebelum ovum mencapai kavum uteri.
14

c. IUD bekerja terutama mencegah sperma dan ovum tertentu, walaupun


IUD membuat sperma sulit masuk ke dalam alat reproduksi perempuan
dan mengurangi kemampuan sperma untuk fertilisasi.
d. Memungkinkan untuk mencegah implantasi telur dalam uterus.
e. Meninggikan getaran saluran telur sehingga pada waktu blastokista
sampai ke rahim, endometrium belum siap untuk menerima nidasi hasil
konsepsi.
f. Menimbulkan reaksi mikro infeksi, sehingga terjadi penumpukan sel
darah putih, yang melarukan blastokista.
g. Lilitan logam menyebabkan reaksi anti fertilitas.
h. Percepatan motilitas tuba yang dperkirakan ditimbulkan oleh respon
peradangan di uterus.
Respon peradangan lokal intens yang terjadi terutama oleh alat yang
mengandung tembaga, akan memicu aktivasi lisosom dan peradangan
yang bersifat spermisidal.
(Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi, 2010)

4. Efektifitas Kontrasepsi IUD


a. Efektivitas IUD dinyatakan dalam angka kontinuitas yaitu berapa lama
IUD tetap tinggal in-utero tanpa:
1) Ekspulsi spontan.
2) Terjadinya kehamilan.
3) Pengangkatan/ pengeluaran karena alasan – alasan medis atau
pribadi.
b. efektivitas dari bermacam – macam IUD tergantung pada:
1) IUD-nya.
a) Ukuran.
b) Bentuk.
c) Mengandung Cu atau Progesteron
2) Akseptor.
a) Umur.
15

b) Paritas.
c) Frekuensi senggama.
c. Dari faktor – faktor yang berhubungan dengan akseptor yaitu umur dan
paritas, diketahi :
1) Makin tua umur, makin rendah angka kehamilan, ekspulsi dan
pengangkatan/ pengeluaran IUD.
2) Makin muda umur terutama pada nuligravid, makin tinggi angka
ekspulsi dan penangkatan/ pengeluaran IUD.
d. Dari uraian diatas, maka use-effectiveness dari IUD tergantung pada
variable administrative, pasien dan medis, termasuk kemudahan insersi,
pengalaman pemasangan, kemungkinan ekspulsi dari pihak akseptor
untuk mengetahui terjadinya ekspulsi dan kemudahan eakseptor untuk
mendapatkan pertolongan medis.
(Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi, 2010)

5. Keuntungan Kontrasepsi IUD


a. Sebagai kontrasepsi, ektifitasnya tinggi. Sangat efektif: 0,6 – 0,8
kehamilan/ 100 perempuan dalam 1 tahun pertama (1 kegagalan dalam
1125 – 170 kehamilan).
b. IUD dapat efektif segera setelah pemasangan.
c. Metode jangka panjang (10 tahun proteksi dari CuT-380A dan tidak
perlu ganti).
d. Sangat efektif karena tidak perlu lagi mengingat – ingat.
e. Tidak mempengaruhi hubungan seksual.
f. Meningkatkan kenyamanan seksual karena tidak perlu takut untuk
hamil.
g. Tidak ada efek samping hormone dengan Cu IUD (CuT-380A).
h. Tidak mempengaruhi kualitas dan volume ASI.
i. Dapat diasangkan segera setelah melahirkan atau sesudah abortus
(apabila tidak terjadi infeksi).
16

j. Dapat digunakan sampai menopause (1 tahun atau lebih setelah haid


terakhir).
k. Tidak ada interaksi dengan obat – obat.
l. Membantu mencegah kehamilan ektopik.
(Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi, 2010)

6. Kerugian Kontrasepsi IUD


a. Efek samping yang mungkin terjadi:
1) Perubahan siklus haid (umumnya pada 3 bulan pertama dan akan
berkurang setelah 3 bulan).
2) Haid lebih lama dan banyak.
3) Pendarahan lama dan lebih banyak.
4) Perdarahan (spotting) antara menstruasi.
5) Saat haid lebih sakit.
b. Komplikasi lain:
1) Merasakan sakit dan kejang selama 3 sampai 5 hari setelah
pemasangan.
2) Pendarahan berat pada waktu haid atau diataranya yang
memungkinkan penyebab anemia.
3) Perforasi dinding uterus (sangat jarang apabila pemasangannya
benar).
4) Tidak mencegah IMS termasuk HIV/AIDS.
5) Tidak baik digunakan pada perempuan dengan IMS atau perempuan
yang sering berganti pasangan.
6) Penyakit radang panggul terjadi sesudah perempuan dengan IMS
memakai IUD. PRP dapat memicu infertilitas.
7) Prosedur medis, termasuk pemeriksaan pelvik diperlukan dalam
pemasangan IUD. Seringkali perempuan takut selama pemasangan.
8) Sedikit nyeri dan perdarahan (spooting) terjadi segera setelah
pemasangan IUD. Biasanya menghilang dalam 1 – 2 hari.
17

9) Klient tidak dapat melepas IUD oleh dirinya sendiri, petugas terlatih
yang harus melepaskan IUD.
10) Mungkin IUD akan keluar dari uterus tanpa diketahui (sering terjadi
apabila IUD dipasang segera sesudah melahirkan).
11) Tidak mencegah terjadinya kehamilan ektopik karena fungsi IUD
untuk mencegah kehamilan normal.
12) Perempuan harus memeriksa posisi benang IUD dari waktu ke
waktu. Untuk melakukannya ini perempuan harus memasukan
jarinya ke dalam vagina, sebagai perempuan tidak akan mau
melakukan ini.
(Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi, 2010)

7. Angka Kegagalan Kontrasepsi IUD


a. Belum ada IUD yang 100% efektif.
b. Angka kegagalan untuk:
1) IUD pada umumnya: 1-3 kehamilan per wanita per tahun.
2) Lippes Loop dan First Generation Cu IUD: dua kehamilan per 100
wanita per tahun
3) Seconde Generatio Cu IUD: <1 kehamilan per 100 wanita per tahun
dan 1,4 kehamilan per 100 wanita setelah 6 tahun pemakaian.
(Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi, 2010)

8. Persyaratan Pemakaian Kontrasepsi IUD


a. Umur reproduktif.
b. Keadaan nulirpara.
c. Menginginkan menggunakan kontrasepsi jangka panjang.
d. Menyusui yang menginginkan kontrasepsi.
e. Setelah melahirkan dan tidak menyusui bayinya.
f. Setelah mengalami abortus dan tidak terlihat adanya infeksi.
g. Resiko rendah dari IMS.
h. Tidak menghendaki metode hormonal.
18

i. Tidak menyukai untuk mengingat-ingat minum pil setiap hari.


j. Tidak menghendaki kehamilan setelah 1-5 hari senggama (lihat
kotrasepsi darurat). (Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi,
2010)

9. Kontraindikasi Pemakaian Kontrasepsi IUD


a. Sedang hamil (diketahui hamil atau kemungkinan hamil).
b. Perdarahan vagina yang tidak diketahui (sampai dapat dievaluasi).
c. Sedang menderita infeksi alat genital (vaginitis, servisitis).
d. Tiga bulan terakhir sedang mengalami atau sering menderita PRP atau
abortus septik.
e. Kelainan bawaan uterus yang abnormal atau tumor jinak rahim yang
dapat mempengaruhi kavum uteri.
f. Penyakit trofoblas yang ganas.
g. Diketahui menderita TBC pelvik.
h. Kanker alat genital.
i. Ukuran rongga rahim kurang dari 5cm.
(Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi, 2010)

10. Waktu Penggunaan Kontrasepsi IUD


a. Setiap waktu dalam siklus haid, yang dapat dipastikan klien tidak hamil.
b. Hari pertama sampai ke-7 siklus haid.
c. Segera setelah melahirkan, selama 48 jam pertama atau setelah 4
minggu pasca persalinan; setelah 6 bulan apabila menggunakan metode
amenorea laktasi (MAL). Perlu diingat, angka ekspulsi tinggi pada
pemasangan segera atau selama 48 jam pasca persalinan.
d. Setelah menderita abortus (segera atau dalam waktu 7 hari) apabila tidak
ada gejala infeksi.
e. Selama 1 sampai 5 hari setelah senggama yang tidak dilindungi.
(Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi, 2010)
19

11. Efek Samping Penggunaan Kontrasepsi IUD


a. Amenorea.
b. Kejang.
c. Perdarahan vagina yang hebat dan tidak teratur.
d. Benang hilang.
e. Pengeluaran cairan dari vagina/ dicurigai adanya PRP.
f. Embedding dan displacement.
g. Infeksi.
h. Ekspulsi.
i. Nyeri.
(Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi, 2010)

12. Petunjuk Umum bagi Pengguna Kontrasepsi IUD


a. Kembali memeriksakan diri setelah 4 sampai 6 minggu pemasangan
AKDR.
b. Selama sebulan pertama mempergunakan AKDR, periksalah bendang
AKDR setelah rutin terutama setelah haid.
c. Setelah bulan pertama pemasangan, hanya perlu memeriksan
keberadaan benang setelah haid apabila mengalami:
1) Kram/ kejang di perut bagian bawah.
2) Perdarahan (spotting) di antara haid atau setelah senggama.
3) Nyeri setelah senggama atau apabila pasangan mengalami tidak
nyaman selama melakukan hubungan seksual.
d. Copper T-380A perlu dilepas setelah 10 tahun pemasngan, tetapi ddapat
dilakukan lebih awal apabila diinginkan.
e. Kembali ke klinik apabila:
1) Tidak dapat meraba benang IUD.
2) Merasakan bagian yang keras dari IUD.
3) IUD terlepas.
4) Siklus terganggu/ meleset.
5) Terjadi pengeluaran cairan dari vagina yang mencurigakan.
20

6) Adanya infeksi.
(Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi, 2010)

C. Karakteristik Pasangan Umur Subur dengan Penggunaan Metode


Kontrasepsi IUD.
1. Umur
Umur adalah lama waktu hidup dihitung dari saat tahun kelahiran
(Hartono, kamus lengkap BI, 2009). Umur peserta KB merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi penerimaan terhadap gerakan KB
Nasional, menentukan metode kontrasepsi yang akan digunakan semakin
tinggi pertambahan faktor umur responden semakin baik pengetahuan
tentang KB (BKKBN, 2010).
Hurlock (2008) menyebutkan semakin cukup umur, tingkat
kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan
bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat, seseorang yang lebih dewasa
dipercaya dari orang yang belum tinggi kedewasaannya. Hal ini akan
sebagai dari pengalaman dan kematangan jiwa (Wawan, dkk, 2011).
Umur sangat mempengaruhi pola pikir seseorang dalam upaya pemenuhan
kebutuhan dirinya. Kematangan umur akan mempengaruhi pemahaman
seseorang mengenai penggunaan metode keluarga berencana yang
rasional. Wanita berumur 20-35 tahun merupakan fase mencegah atau
menjarangkan kehamilan sehingga dibutuhkan jenis metode keluarga
berencana dengan reversebilitas tinggi. (Harlock, 2008)
Berdasarkan hasil penelitian Dian Febrida Sari dan Farida Aryan
(2017) dengan judul Gambaran Tingkat Pengetahuan dan Karakteristik
Akseptor Keluarga Berencana Tentang Metode Kontrasepsi Jangka
Panjang (MKJP) berdasarkan karakteristik umur dari 52 responden
ditemukan 65,4% berumur 20-35 tahun, 34,6% berumur >35 tahun dan
tidak ada PUS berumur <20 tahun. Umur minimal responden adalah 22
tahun, sedangkan umur maksimal responden adalah 49 tahun.
21

2. Paritas
Paritas adalah status seorang awnita sehubungan dengann jumlah
anak yang dilahirkan. Menurut Haryanto Rohadi (1992), menyatakan
seorang wanita menggunakan kontrasepsi dipengaruhi oleh jumlah anak
yang dimiliki. Jadi, dengan pelayanan KB dapat mengendalikan angka
fertilitas. KB dianjurkan pada wanita yang memiliki anak 1 atau lebih
(Manuaba, Konsep Obstetrik Ginekologi Indonesia, 1998).
Paritas merupakan salah satu faktor yang menjadi pertimbangan PUS
untuk mengikuti metode keluarga berencana, dengan alasan untuk
mengurangi jumlah anak dalam keluarga pasangan umur subur dapat
memilih metode keluarga berencana sesuai dengan kemampuan, dan
kondisi ibu (BKKBN, 2016). Paritas berkaitan erat dengan program
keluarga berencana karena salah satu misi dari program keluarga
berencana adalah terciptanya keluarga dengan jumlah anak yang ideal
yakni dua anak dalam satu keluarga, laki-laki maupun perempuan sama
saja. Hal ini menunjukkan program KB yang berjalan cukup baik,
sehingga hal ini sejalan dengan tujuan BKKBN seperti slogan “dua anak
cukup”. (BKKBN, 2016)
Paritas lebih dikenal dengan jumlah anak lahir hidup. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Dian Febrida Sari dan Farida Aryan (2017) bahwa
dari 52 responden terdapat 38,5% multipara dan sebanyak 61,5%
primipara.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jurisman dkk (2016)
menunjukkan bahwa primipara lebih mendominasi dalam penggunaan
metode keluarga berencana dibanding multipara.

3. Pendidikan
Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian
dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur
hidup. Pengetahuan sangant erat kaitannya dengan pendidikan tinggi,
22

maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya (Muhibin,


Psikologi, 2005).
Pada umumnya makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah
menerima informasi (Wawan, 2011). Pendidikan mempengaruhi seseorang
dalam pengambilan keputusan, semakin tinggi tingkat pendidikan akan
semakin rasional dalam pengambilan keputusan. Hal ini juga akan berlaku
dalam pengambilan keputusan untuk penggunaan metode keluarga
berencana yang sesuai, tepat dan efektif.
Hasil penelitian Dian Febrida Sari dan Farida Aryan (2017) dengan
judul Gambaran Tingkat Pengetahuan dan Karakteristik Akseptor
Keluarga Berencana Tentang Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP)
berdasarkan karakteristik pendidikan yaitu dari 52 responden tingkat
pendidikan SMA sederajat sebanyak 51,9%, SMP sederajat sebanyak
28,8% dan responden yang tamat SD sebanyak 19,2% dan tidak ada yang
memiliki pendidikan Perguruan Tinggi.

4. Pekerjaan
Dengan adanya pekerjaan seseorang memerlukan waktu untuk
menyelesaikan pekerjaan yang dianggap penting memerlukan perhatian
masyarakat yang sibuk akan memiliki waktu yang sedikit untuk
memperoleh informasi, sehingga tingkat pengetahuan yang merekan miliki
jadi berkurang. Pekerjaan juga mempengaruhi pengetahuan ibu. Semakin
ibu menggunakan waktu untuk beraktifitas dilluar, pengetahuan pun juga
akan berkembang. Ibu yang bekerja di sector formal memiliki akses yang
lebih baik terhadap berbagai informasi termasuk kesehatan (Notoadmojo,
2013).
Thomas berpendapat yang dikutip oleh Nursalam (2003), pekerjaan
adalah keburukan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang
kehidupannya dan kehidupan keluarga. Pekerjaan bukanlah sumber
kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan cara mencari nafkah
menghasilkan uang yang membosankan, berulang dan banyak tantangan.
23

Sedangkan bekerja umumnya merupakan kegiatan yang menyita


waktu. Responden tidak bekerja dikarenakan suaminya adalah seorang
nelayan sehingga istri dituntut untuk bekerja di rumah dan mengurus anak.
Bekerja bagi ibu-ibu akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan
keluarga (Wawan, 2011).
Pekerjaan seseorang menentukan gaya hidup serta kebiasaan dari
individu. Pekerjaan mempunyai peran yang cukup erat dengan pemikiran
dan keputusan yang harus diambil demi kelangsungan karir. Bekerja atau
tidak bekerjanya reponden dapat mempengaruhi pilihan penggunaan
metode keluarga berencana.
Hasil penelitian Dian Febrida Sari dan Farida Aryan (2017) dengan
judul Gambaran Tingkat Pengetahuan dan Karakteristik Akseptor
Keluarga Berencana Tentang Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP)
berdasarkan karakteristik pekerjaan bahwa dari 52 responden yang tidak
bekerja (100%) lebih mendominasi dalam penggunaan metode keluarga
berencana dibandingkan dengan ibu yang bekerja.
24

D. Kerangka Teori

Variable Independent Variable Dependent

Faktor Predisposisi

1. Umur
2. Paritas
3. Pendidikan
4. Pekerjaan

Faktor Pemungkin

1. Failitas Fisik:
kesehatan:
Puskesmas,
Rumah Sakit. Akseptor KB IUD

2. Fasilitas
Umum: media
massa (Koran,
TV, Radio)

Faktor Penguat

1. Dukungan
suami.
2. Dukungan
tenaga
kesehatan.
25

Sumber: Lawrence Green (2008)

Anda mungkin juga menyukai