Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
1
b) Bloody Show (Lendir disertai darah dari jalan lahir)
Dengan pembukaan, lendir dari canalis cervicalis keluar
disertai dengna sedikit darah. Perdarahan yang sedikit ini
disebabkan karena lepasnya selaput janin pada bagian bawah
segmen bawah rahim hingga beberapa kapiler darah terputus.
c) Pendataran dan Pembukaan Serviks
Pendataran serviks adalah pemendekan dari kanalis servikalis
yang semula berupa saluran yang panjang 1-2 cm menjadi suatu
lubang dengan pinggir yang tipis. Sedangkan pembukaan serviks
adalah pembesaran dari ostium externum yang berupa lubang
dengan diameter beberapa milimeter menjadi lubang yang dapat
dilalui bayi kira-kira 10 cm.
d) Pengeluaran Cairan
Adalah keluarnya cairan banyak dengan sekonyong-konyong
dari jalan lahir akibat ketuban pecah atau selaput janin robek.
Ketuban biasanya pecah kalau pembukaan lengkap atau hampir
lengkap dan dalam hal ini keluarnya cairan merupakan tanda yang
lambat sekali. Tetapi kadang-kadang ketuban pecah pada
pembukaan kecil, atau terkadang selaput janin robek sebelum
persalinan. Walaupun demikian persalinan diharapkan akan mulai
dalam 24 jam setelah air ketuban keluar.
2) Mekanisme
Menurut Sumarah (2009), ada tujuh gerakan-gerakan janin
dalam persalinan atau gerakan kardinal yaitu engagement, penurunan,
fleksi, rotasi dalam, ekstensi, rotasi luar, ekspulsi.
a) Engangement
Engangement pada primigravida terjadi pada bulan terakhir
kehamilan, sedangkan pada multigravida dapat terjadi pada awal
persalinan. Masuknya kepala akan mengalami kesulitan bila saat
masuk ke dalam panggul dengan sutura sagitalis dalam
anteroposterior. Jika kapala masuk ke dalam pintu atas panggul
dengan sutura sagitalis melintang di jalan lahir, tulang parietal
2
kanan dan kiri sama tinggi, maka keadaan ini disebut sinklitismus.
Kepala pada saat melewati pintu atas panggul dapat juga dalam
keadaan dimana sutura sagitalis lebih dekat ke promontorium atau
ke sympisis maka hal ini di sebut Asinklitismus. Ada dua macam
asinklitismus. Asinklitismus posterior dan asinklitismus anterior.
(1) Asinklitismus Posterior
Yaitu keadaan bila sutura sagitalis mendekati symfisis
dan tulang parietal belakang lebih rendah dari pada tulang
parietal depan. Terjadi karena tulang parietal depan tertahan
oleh simfisis pubis sedangkan tulang parietal belakang dapat
turun dengan mudah karena adanya lengkung sakrum yang
luas.
(2) Asinklitismus Anterior
Yaitu keadaan bila sutura sagitalis mendekati
promontorium dan tulang parietal depan lebih rendah dari pada
tulang parietal belakang.
b) Penurunan
Penurunan diakibatkan oleh kekuatan kontraksi rahim,
kekuatan mengejan dari ibu, dan gaya berat kalau pasien dalam
posisi tegak. Berbagai tingkat penurunan janin terjadi sebelum
permulaan persalinan pada primigravida dan selama Kala I pada
primigravida dan multigravida. Penurunan semakin berlanjut
sampai janin dilahirkan, gerakan yang lain akan membantunya.
c) Fleksi
Fleksi sebagian terjadi sebelum persalinan sebagai akibat
tonus otot alami janin. Selama penurunan, tahanan dari serviks,
dinding pelvis, dan lantai pelvis menyebabkan fleksi lebih jauh
pada tulang leher bayi sehingga dagu bayi mendekati dadanya.
Pada posisi oksipitoanterior, efek fleksi adalah untuk mengubah
presentasi diameter dari oksipitofrontal menjadi
suboksipitoposterior yang lebih kecil. Pada posisi
oksipitoposterior, fleksi lengkap mengkin tidak terjadi,
3
mengakibatkan presentasi diameter yang lebih besar, yang dapat
menimbulkan persalinan yang lebih lama.
d) Putaran Paksi Dalam
Pada posisi oksipitoanterior, kapala janin, yang memasuki
pelvis dalam diameter melintang atau miring, berputar, sehingga
oksipito kembali ke anterior ke arah simfisis pubis. Putaran paksi
dalam mungkin terjadi karena kepala janin bertemu penyangga otot
pada dasar pelvis. Ini sering tidak tercapai sebelum bagian yang
berpresentasi telah tercapai sebelum bagian yang berpresentasi
telah mencapai tingkat spina iskhiadika sehingga terjadilah
engagement. Pada posisi oksipitoposterior, kepala janin dapat
memutar ke posterior sehingga oksiput berbalik ke arah lubang
sakrum. Pilihan lainnya, kepala janin dapat memutar lebih dari 90
derajat menempatkan oksiput di bawah simfisis pelvis sehingga
berubah ke posisi oksipitoanterior. Sekitar 75% dari janin yang
memulai persalinan pada posisi oksipitoposterior memutar ke
posisi oksipitoanterior selama fleksi dan penurunan.
Bagaimanapun, sutura sagital biasanya berorientasi pada poros
anteriorposterior dari pelvis.
e) Ekstensi
Kepala yang difleksikan pada posisi oksipitoanterior terus
menurun di dalam pelvis. Karena pintu bawah vagina mengarah ke
atas dan ke depan, ekstensi harus terjadi sebelum kepala dapat
melintasinya. Sementara kepala melanjutkan penurunannya,
terdapat penonjolan pada perineum yang diikuti dengan keluarnya
puncak kepala. Puncak kepala terjadi bila diameter terbesar dari
kepala janin dikelilingi oleh cincin vulva. Suatu insisi pada
perineum (episotomi) dapat membantu mengurangi tegangan
perineum disamping untuk mencegah perebakan dan perentangan
jaringan perineum.
Kepala dilahirkan dengan ekstensi yang cepat sambil
oksiput, sinsiput, hidung, mulut, dan dagu melewati perineum.
4
Pada posisi oksipitoposterior, kepala dilahirkan oleh kombinasi
ekstensi dan fleksi. Pada saat munculnya puncak kepala, pelvis
tulang posterior dan penyangga otot diusahakan berfleksi lebih
jauh. Dahi, sinsiput, dan oksiput dilahirkan semantara janin
mendekati dada. Sesudah itu, oksiput jatuh kembali saat kepala
berekstensi, sementara hidung, mulut, dan dagu dilahirkan.
f) Putaran Paksi Luar
Pada posisi oksipitoanterior dan oksipitoposterior, kepala
yang dilahirkan sekarang kembali ke posisi semula padasaat
engagement untuk menyebariskan dengan punggung danbahu
janin. Putaran paksi kepala lebih jauh dapat terjadi sementara bahu
menjalani putaran paksi dalam untuk menyebariskan bahu itu di
bagian anteriorposterior di dalam pelvis.
g) Ekspulsi (Pengeluaran)
Setelah putaran paksi luar dari kepala, bahu anterior lahir
dibawah simfisis pubis, diikuti oleh bahu posterior di atas tubuh
perineum, kemudian seluruh tubuh anak.
C. Etiologi Persalinan
Menurut Sumarah (2009), bagaimana terjadinya persalinan belum
diketahui dengan pasti, sehingga menimbulkan beberapa teori yang
berkaitan dengan mulainya kekuatan his. Hormon-hormon yang dominan
pada saat kehamilan yaitu :
1) Estrogen
Berfungsi untuk meningkatkan sensivitas otot rahim dan
memudahkan penerimaan rangsangan dari luar sepertirangsangan
oksitosin, rangsangan prostaglandin, rangsangan mekanis.
2) Progesteron
Berfungsi menurunkan sensivitas otot rahim, menyulitkan
penerimaan rangsangan dari luar seperti oksitosin, rangsangan
prostaglandin, rangsangan mekanis, dan menyebabkan otot rahim dan
otot polos relaksasi. Pada kehamilan kedua hormon tersebut berada
dalam keadaan yang seimbang, sehingga kehamilan bias
5
dipertahankan. Perubahan keseimbangan kedua hormone tersebut
menyebabkan oksitosin yang dikeluarkan oleh hipofise parst posterior
dapat menimbulkan kontraksi dalam bentuk Braxton Hicks. Kontraksi
ini akan menjadi kekuatan yang dominan pada saat persalinan dimulai,
oleh karena itu makin tua kehamilan maka frekuensi kontraksi semakin
sering.
3) Oksitosin
Oksitosin diduga bekerja bersama atau melalui prostaglandin yang
makin meningkat mulai umur kehamilan minggu ke-15 sampai aterm
lebih-lebih sewaktu partus atau persalinan. Disamping faktor gizi ibu
hamil dan keregangan otot rahim dapat memberikan pengaruh penting
untuk mulainya kontraksi rahimFaktor lain
D. Tahapan Persalinan
Menurut Sofian (2012), proses persalinan terdiri dari 4 kala, yaitu:
1) Kala I (Kala Pembukaan)
Waktu pembukaan serviks sampai menjadi pembukaan lengkap
10 cm. Partus dimulai dengan keluarnya lendir bercampur darah
(boody show) karena serviks mulai membuka (dilatasi) dan mendatar
(effacement). Kala pembukaan dibagi menjadi 2 fase, yaitu:
a) Fase Laten: pembukaan serviks yang berlangsung lambat sampai
pembukaan 3cm, lamanya 7-8 jam.
b) Fase aktif: berlangsung selama 6 jam dan dibagi atas 3 subfase
yakni :
(1) Fase Akselerasi: berlangsung 2 jam pembukaan 3 cm
menjadi 4 cm.
(2) Fase Dilatasi Maksimal: berlangsung 2 jam pembukaan
serviks berlangsung sangat cepat menjadi 9 cm.
(3) Fase Deselerasi: pembukaan serviks berlangsung menjadi
lambat, dalam waktu 2 jam pembukaan menjadi 10 cm
(lengkap).
Pada serviks wanita nulipara seharusnya berdilatasi sekurang-
kurangnya 1,2 cm/jam, dan serviks wanita multipara seharusnya
6
berdilatasi sekurang-kurangnya 1,5 cm/jam (Reeder, 2014).
2) Kala II (Kala Pengeluaran Janin)
a) Pengertian
Pada kala pengeluaran janin, dimulai dengan dilatasi lengkap
serviks dan di akhiri dengan kelahiran bayi. Tahap ini disebut
dengan tahap ekspulsi.
Dengan kekuatan his yang kuat, cepat, dan lama ditambah
kekuatan mengedan karena tekanan pada rektum, akan lahir
kepala, diikuti oleh seluruh badan janin. Kala II pada primi
berlangsung selama 1 ½-2 jam, pada multi ½-1 jam.
b) Tanda persalinan Kala II
Ibu merasakan ingin mengejan dengan adanya kontraksi,
adanya peningktan tekanan pada rectum atau vagina, perineum
terlihat menonjol, adanya peningkatan pengeluaran lender dan
darah, dan jika pembukaan sudah lengkap siapkan untuk
melakukan pertolongan.
Tabel 2.3 Pemantauan Kala II
Kemajuan Persalinan Kondisi Ibu Kondisi Janin
Usaha mengedan Periksa nadi dan tekanan Periksa detak jantung
Palpasi kontraksi darah setiap 30 menit janin setiap 15 menit
uterus : (kontrol tiap Respon keseluruhan pada atau lebih sering
10 menit) Frekuensi, kala II : dilakukan dengan makin
lamanya, kekuatan 1. Perubahan dekatnya kelahiran,
sikap/perilaku Penurunan presentasi
2. Keadaan dehidrasi Warna cairan tertentu
3. Tingkat tenaga (yang
dimiliki)
(Yayasan Bina Pustaka, 2009)
c) Asuhan Kala II
Menurut Yayasan Bina Pustaka (2009), tentang asuhan yang di
berikan kepada ibu antara lain adalah:
(1) Memberikan dukungan terus menerus kepada ibu
Dalam hal ini perlu menghadirkan seseorang untuk
mendampingi ibu agar merasa nyaman, menawarkan minum,
mengipasi dan memijat ibu.
Menurut Wijaya dkk (2015) dalam Jurnal Keperawatan
tentang Pengaruh Pendampingan Suami Terhadap Lamanya
7
Persalinan Kala II Di Ruang Delima RSUD Dr.H.Abdul
Moeloek Lampung didapatkan hasil penelitian bahwa
responden yang didampingi suami pada saat proses
persalinan kala II (100%), rata-rata lamanya proses
persalinan kala II yaitu 105,84 menit. Lama proses persalinan
kala II paling cepat adalah 70 menit dan paling lama adalah
145 menit, Rata-rata lama persalinan kala II adalah 105,84
menit. Hasil uji statistik didapatkan nilai p-value = 0,000,
terlihat ada perbedaan rata-rata lama persalinan kala II antara
responden yang didampingi suami dengan responden yang
tidak didampingi suami. Rata-rata lama persalinan kala II
responden yang didampingi suami tampak lebih cepat
dibandingkan dengan rata-rata lama persalinan kala II
responden yang tidak didampingi suami.
(a) Menjaga kebersihan diri
Dalam hal ini ibu tetap dijaga kebersihannya agar
terhindar dari infeksi, bila ada darah ,lendir atau cairan
ketuban segera di bersihkan.
(b) Mengipasi dan massase untuk menambah kenyamanan
bagi ibu.
(c) Memberikan dukungan mental untuk mengurangi
kecemasan atau ketakutan ibu dengan cara: menjaga
privasi ibu, penjelasan tentang proses dan kemajuan
persalinan, ‘menjelaskan tentang prosedur yang akan
dilakukan dan keterlibatan ibu.
3) Kala III (Kala Pengeluaran Uri)
a) Pengertian
Waktu untuk pelepasan dan pengeluaran uri biasanya seluruh
proses berlangsung 5-30 menit setelah bayi lahir. Pengeluaran
plasenta disertai dengan penegluaran darah kira-kira 100-200 cc.
b) Tanda kala III
8
Kala III perasalinan terdiri dari dua fase, yaitu fase pelepasan
plasenta dan pengeluaran terjadi karena adanya kontraksi, mulai
terhenti setelah singkat dalam kelahiran bayi. Kontraksi kurang
lebih sampai 2 sampai 2,5 menit selama kala dua persalinan.
4) Kala IV
a) Pengertian
Kala pengawasan selama 1-2 jam setelah bayi dan uri lahir
untuk mengamati keadaan ibu, terutama terhadap bahaya
perdarahan postpartum.
b) Pemantauan Kala IV
Menurut Yayasan Bina Pustaka (2009), dalam Kala IV
persalinan hal yang harus di perhatian adalah
(1) Fundus: rasakan apakah fundus berkontraksi dengan kuat dan
berada di bawah umbilikus setian 15 menit pda jam pertama,
setiap 30 menit pada jam kedua, massase jika perlu untuk
menimbulkan kontraksi.
(2) Plasenta: periksa kelengkapan plasenta untuk memastikan
tidak adanya bagian yang tertinggal
(3) Selaput ketuban: periksa kelengkapan selaput untuk
memastikan tidak ada bagian yang tersisa dari dalam uterus
(4) Perenium: periksa luka robekan pada perenium dan vagina
yang membutuhkan luka.
(5) Pemeriksaan pengeluaran darah: dengan meperirakan darah
yang menyarap pada kain dengan menentukan berapa banyak
kantong darah 500cc dapat terisi
(6) Lokhea: pada pemeriksaan ini apakah ada darah keluar
langsung pada saat memeriksa uterus. Jika kontraksi kuat,
lokhea kemungkinan tidak lebih dri menstruasi.
(7) Kandung kemih: periksa kandung kemih untuk memastikan
kandungkemih tidak penuh.
(8) Kondisi Ibu: periksa setiap 15 menit pda jam pertama, dan
setiap 30 menit pada jam kedua setelah persalinan.
9
(9) Kondisi bayi Baru lahir ; apakah bayi bernafas dengan baik,
apakah bayi kering dan hangat, apakah bayi siap disusui/
pemberian ASI memuaskan.
E. Perubahan Fisiologis
Perubahan fisiologis ibu bersalin menurut Varney (2008) yaitu :
1) Tekanan darah
Tekanan darah meningkat selama kontraksi disertai peningkatan
sistolik rata-rata 15 (10-20) mmHg dan diastolik rata-rata 5-10 mmHg.
Di antara kontraksi-kontraksi, tekanan darah akan turun seperti
sebelum masuk persalinan. Mengubah posisi tubuh dari telentang ke
posisi miring, perubahan tekanan darah sema kontraksi dapat
dihindari. Nyeri, rasa takut, dan kekhawatiran dapat semakin
meningkatkan tekanan darah.
2) Metabolisme
Selama persalinan baik metabolisme karbohidrat aerobik maupun
anaerobik meningkat dengan kecepatan tetap, disebabkan karena
ansietas dan aktivitas otot rangka..
3) Suhu
Sedikit meningkat selama persalinan, tertinggi selama dan segera
setelah melahirkan. Dianggap normal apabila peningkatan suhu tidak
lebih dari 0,5 samapai 1 ºC, mencerminkan peningkatan metabolisme
selama persalinan.
4) Denyut nadi
Frekuensi denyut nadi di antara kontraksi sedikit lebih tinggi
dibanding selama periode menjelang persalinan. Penurunan yang
mencolok selama puncak kontraksi uterus tidak terjadi jika wanita
berada pada posisi miring, bukan telentang.
5) Pernapasan
Sedikit peningkatan frekuensi pernapasan masih normal.
Hiperventilasi yang memanjang adalah temuan abnormal dan dapat
menyebabkan alkalosis.
6) Perubahan pada ginjal
10
Poliuria sering terjadi selama persalinan, disebabkan peningkatan
lebih lanjut curah jantung selama persalinan dan kemungkinan laju
filtrasi glomerulus dan aliran plasma ginjal. Poliuria menjadi kurang
jelas pada posisi telentang, karena membuat aliran urine berkurang
selama kehamilan.
7) Perubahan pada saluran cerna
Motilitas dan absorpsi lambung terhadap makanan padat jauh
berkurang. Jika kondisi ini diperburuk oleh penurunan lebih lanjut
sekresi asam lambung selama persalinan, maka saluran cerna bekerja
dengan lambat sehingga waktu pengosongan lambung menjadi lebih
lama. Mual dan muntah umum terjadi selama fase transisi, yang
menandai akhir fase pertama persalinan.
8) Perubahan hematologi
Haemoglobin akan meningkat rata-rata 1,2 gr/100ml selama
persalinan dan gula darah akan turun selama persalinan, menurun
secara drastis pada persalinan yang lama dan sulit. Kemungkinan
karena adanya peningkatan aktivitas otot uterus dan rangka.
F. Perubahan Psikologis
Menurut Varney (2008), kondisis psikologis keseluruhan seorang
wanita yang sedang menjalani persalinan sangat bervariasi, tergantung
pada persiapan dan bimbingan antisipasi yang diterima selama
menghadapi persalinan;dukungan yang diterima wanita dari pasangannya,
orang terdekat lain, keluarga, dan pemberi pearwatan; lingkungan tempat
wanita tersebut berada; dan apakah bayi yang dikadungnya merupakan
bayi yang diinginkan. Apabila kehadiran bayi tidak diharapkan
bagaimanapun, psikologis ibu akan mempengaruhi perjalanan persalinan.
Dukungan yang diterima atau tidak diterima oleh seorang wanita di
lingkungan tempatnya melahirkan, termasuk dari mereka yang
mendampinginya, sangat mempengaruhi, aspek psikologisnya pada saat
setiap kali kontraksi timbul juga pada saat nyerinnya timbul secara
kontinu. Kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri dan kemampuan untuk
“melepaskan dan mengikuti arus” sangat dibuthkan sehingga merasa
11
diterima dan memiliki rasa sejahtera. Tindakan memberi dukungan dan
kenyamanan merupakan ungkapan kepedulian, kesabaran, sekaligus
mempertahankan keberadaan orang lain menemaninya.
G. Penatalaksanaan Persalinan Normal
1) Penatalaksanaan pada persalinan kala I
Dukungan dan upaya menyamankan perasalinan pada kala I
terdapat lima kebutuhan wanita pada persalinan yaitu: perawatan tubuh
atau fisik, ada individu yang senantiasa hadir, babas dari nyeri,
menerima sikap dan perilaku, serta informasi dan pemastian hasil akhir
yang aman bagi dirinya dan bayinya.
Menurut Varney (2008), dukungan dan upaya menyamankan yang
dapat diberikan dalam proses persalinan yaitu:
a) Pengaturan posisi
Ibu yang akan bersalin harus mempunyai posisi yang
senyaman mungkin untuk di lakukan persiapan persalinan
nantinya.
Berdasarkan penelitian Zainiyah (2015) yang berjudul
Perbedaan Kemajuan Persalinan Kala I Fase Aktif pada Ibu
Bersalin yang Diberikan Posisi Miring Kiri dan Posisi Berdiri
Tahun 2015 didapatkan hasil bahwa ibu bersalin yang diberikan
posisi berdiri hampir seluruhnya (87,5%) yaitu ibu bersalin
multipara yang mengalami kemajuan persalinannya berlangsung
secara cepat, karena dengan adanya gaya gravitasi dapat
menambah dimensi PAP dan menurunkan bagian terendah janin
lebih cepat, sehingga terjadi his yang lebih adekuat, lebih sering
dan lebih sakit, maka ibu mengalami pembukaan serviks ≥ 2cm
setiap 1 jam. Sedangkan ibu bersalin yang diberikan posisi miring
kiri sebagian besar (56,25%) yaitu ibu bersalin primiparayang
mengalami kemajuan persalinan secara normal. Sehingga ada
perbedaan kemajuan persalinan kala I fase aktif pada ibu bersalin
yang diberikan posisi miring kiri dan posisi berdiri di wilayah kerja
Puskesmas Klampis.
12
b) Kontrol nyeri ibu selama persalinan
Menurut Varney (2008), Kontrol nyeri selama persalinan
dapat dilakukan dengan cara seperti latihan relaksasi, latihan
bernapas, usapan pada punggung dan abdomen, kompres panas
atau dingin, dan sterile water papule.
(1) Kompres
Kompres panas dan dingin telah digunakan untuk
meredakan nyeri dan juga dapat memberikan kenyamanan
pada ibu bersalin. Panas baik untuk meredakan ketegangan dan
meningkatkan relaksasi secara keseluruhan. Sedangkan dingin
membuat daerah byang nyeri menjadi kebas (mati rasa) dan
mengontriksi pembuluh darah serta memperlambat transmisi
impuls nyeri di sepanjang alur saraf (Reeder dkk, 2014).
Menurut Sari, Nova, Mustika (2014), dengan penelitian
berjudul Pengaruh Pemberian Kompres Panas untuk
Mengurangi Nyeri Persalinan Pada Kala I Fase Aktif Di Bpm
Susi Hersaptiti Desa Kalikebo, Trucuk Klaten, Jawa Tengah.
Penelitian menunjukkan hasil Intensitas nyeri sesudah diberi
kompres panas menunjukan bahwa dari 10 responden setelah
di berikan kompres panas sebanyak 20% mengatakan nyeri
ringan, 50% mengatakan nyeri sedang, dan 30% mengatakan
nyeri berat terkontrol. Sehingga kompres hangat dapat
mengurangi nyeri persalinan, karena panas akan meningkatkan
sirkulasi ke area tersebut sehingga memperbaiki anoksia
jaringan yang disebabkan oleh tekanan.
(2) Pijatan
Pijatan merupakan tindakan pereda nyeri yang efektif
(Reeder, 2014). Pijatan adalah melakukan tekanan tangan pada
jaringan lunak, biasanya otot, tendon atau ligamentum, tanpa
menyebabkan gerakan atau perubahan posisi sendi untuk
meredakan nyeri, menghasilkan relaksasi, dan memperbaiki
sirkulasi (Mander, 2012).
13
Menurut Rejeki, Ulfa, dan Retno (2013), Dalam Jurnal
Keperawatan Maternitas dengan Judul Tingkat Nyeri Pinggang
Kala I Persalinan Melalui Teknik Back-Effluerage dan
Counter-Pressure. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Teknik Counter-Pressure merupakan teknik masase yang lebih
efektif menggurangi nyeri pinggang kala I fase aktif persalinan
dibuktikan dengan nilai mean delta nyeri 3,63 > nilai mean
teknik Back-Effleurage 2,92. Ada perbedaan efektifitas teknik
Back-Effleurage dan teknik Counter-Pressure terhadap tingkat
nyeri pinggang kala I fase aktif persalinan. Dengan pemberian
masase dengan teknik Counter-Pressure dapat menutup
gerbang pesan nyeri yang akan dihantarkan menuju medulla
spinalis dan otak, selain itu tekanan kuat pada teknik ini dapat
mengaktifkan senyawa endhorpine yang berada di sinaps sel-
sel saraf tulang belakang dan otak, sehingga tranmisi dari
pesan nyeri dapat dihambat dan menyebabkan status
penurunan sensasi nyeri.
(3) Relaksasi
Relaksasi tidak diragukan lagi dapat meredakan nyeri yang
disebabkan oleh hal lain, bergantung pada individu itu sendiri.
Untuk beberapa wanita dalam persalinan, usaha untuk relaks
dapat mengalihkan perhatian dari nyeri (Reeder dkk, 2014).
Menurut Steer, relaksasi adalah metode pengendalian nyeri
non farmakologi yang paling sering digunakan di Inggris. Steer
melaporkan bahwa 34% wanita menggunakan metode relaksasi
(Mander, 2012).
Hasil penelitian Hj. Indarmien Netty dan Novalia (2012)
bahwa nyeri persalinan dan relaksasi pernapasan bukan hanya
sekedar memberikan tehknik pernapasan dan mengistirahatkan
tubuh dari beban fisik dan kejiwaan saja, tetapi juga dapat
merasa lebih dekat dengan orang yang merawatnya dan merasa
lebih di perhatikan.
14
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suhartini pada tahun
2011, menggunakan skala nyeri dengan populasi semua ibu
inpartu kala I aktif yang berjumlah 13 responden dan
menggunakan teknik total sampling diketahui nyeri his pada
ibu inpartu kala I aktif sebelum melakukan metode relaksasi
diketahui sebagian besar mengalami nyeri berat (skala 7– 9),
yaitu 10 responden (76,9%). Nyeri his pada ibu inpartu kala I
aktif setelah melakukan metode relaksasi diketahui sebagian
besar mengalami nyeri sedang (skala 4–6), yaitu 8 responden
(61,5%). Berdasarkan hasil penelitian dan teori yang telah
dikemukakan dapat diambil kesimpulan bahwa metode
relaksasi merupakan salah satu cara yang efektif dalam upaya
mengurangi nyeri kala I aktif pada pasien persalinan normal
c) Menjamin privasi
Menjaga privasi merupakan upaya untuk menghormati hak
wanita atau mejaga suasana persalinan yang nyaman bersifat
pribadi.
d) Penjelasan proses dan kemajuan persalinan
Saat yang paling efektif untuk memberikan informasi kepada
ibu dan kelurga, yaitu informasi yang paling lazim di sampaikan
adalah mengenai berapa cm pembukaan serviks serta bagaimana
kondisi janinnya. Penting juga untuk di sampaikan bahwa lamnya
pembukaan 0-5 cm relative lebih lama dari pada pembukaan 5-10
cm namun intensitas rasa sakit akan meningkat pada pembukaan 6-
10 cm.
Menurut penelitian Handajani & Astuti (2016) tentang
Pengaruh Teknik Stimulasi Susu terhadap Lama Persalinan Kala I
didapatkan hasil dari pengumpulan data dengan menggunakan
lembar observasi pelaksanaan stimulasi puting susu dan lembar
partograf untuk mengamati lama persalinan kala I fase aktif. Rata-
rata lama persalinan kala I pada kelompok kontrol ibu bersalin
primigravida yang tidak melakukan stimulasi puting susu
15
(mobilisasi) di Puskesmas Gajahan adalah 3.36 menit, rata-rata
lama persalinan kala I pada kelompok perlakuan ibu bersalin
primigravida yang melakukan stimulasi puting susu di Puskesmas
Gajahan adalah 3.21 menit dan ada pengaruh stimulasi puting susu
terhadap lama persalinan kala 1 dengan p value = -0,295 (p < 0,05)
sehingga Ho diterima karena -0,295 < 2,002. Stimulasi puting susu
mempunyai pengaruh terhadap lama kala I di Puskesmas Gajahan
Surakarta.
e) Kandung kemih yang kosong
Kandung kemih yang penuh dapat mengganggu kemajuan
persalinan dan fakta bahwa kandung kemih dapat menyebabkan
nyeri pada abdomen bawah (Varney, 2008)
f) Menjaga kebersihan dan kondisi yang kering.
Kebersihan dan kondisi kering meningkatkan kenyamanan dan
relaksasi serta menurunkan risiko infeksi (Varney, 2008).
g) Orang terdekat lainnya
Kehadiran orang terdekat lain merupakan hal terpenting di
antara semua upaya mendukung dan menyamankan (Varney,
2008).
2) Penatalaksanaan Kala II
Persalinan kala dua dimulai ketika pembukaan serviks sudah
lengkap (10 cm) dan berakhir dengan lahirnya bayi.Disebut juga kala
pengeluaran bayi.
a) Gejala dan tanda kala dua persalinan
Gejala dan tanda pasti persalinan adalah:
(1) Ibu merasa ingin meneran bersamaan dengan terjadinya his.
(2) Ibu merasa adanya peningkatan tekanan terjadinya kontraksi.
(3) Perineum menonjol.
(4) Vulva –vagina dan sfingter ani membuka.
(5) Meningkatnya pengeluaran lender bercampur darah.
Tanda pasti kala dua adalah
(1) Pembukaan serviks telah lenngkap.
16
(2) Terlihatnya bagian kepala bayi melalui introitus vagina.
b) Persiapan penolong persalianan
(1) Sarung tangan
(2) Perlengkapan pelindung diri
(3) Persiapan tempat persalinan, peraalatan, dan bahan
(4) Penyiapan tempat dan lingkungan untuk kelahiran bayi
(5) Persiapan ibu dan keluarga.
(6) Amniotomi. Apabila selaput ketuban belum pecah dan
pembukaan sudah lengkap maka perlu tindakan amniotomi.
Penatalaksanaan Fisiologis Kala Dua
a) Membimbing ibu untuk meneran
b) Posisi ibu saat meneran
(1) Posisi duduk atau setengah duduk
(2) Posisi jongkok atau berdiri
(3) Merangkak atau berbaring miring kiri
c) Menolong Kelahiran Bayi
(1) Posisi ibu saat melahirkan
(2) Pencegahan laserasi
(3) Melahirkan kepala
(4) Melahirkan bahu
(5) Melahirkan seluruh tubuh bayi (Asuhan Persalinan, 2008).
3) Penatalaksanaan Kala III
Pada kala III ini dilakukan dengan perlindungan uterus dengan
mencegah diri anda sendiri dan orang lain melakukan masase uterus
segera setelah plasenta lepas, jangan lakukan masase uterus sebelum
pelepasan plasenta kecuali apabila pelepasan sebagian telah terjadi
dalam proses alamiah dan tampak perdarahan berlebihan, jangan
mendorong tali pusat sebelum plasenta lepas dan jangan pernah
mendorong tali pusat pada saat uterus tidak berkontraksi, jangan
mencoba melahirkan plasenta sebelum pelepasan lengkap terjadi.
Jangan samapai ada plasenta tertinggal.
17
Menurut penelitian Yunita (2010) yang berjudul Pengaruh
Pemberian Rangsangan Puting Susu dengan Pemilihan pada
Manajemen Aktif Kala III terhadap Waktu Kelahiran Plasenta di Kota
Surakarta dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan
waktu kelahiran plasenta pada pertolongan persalinan kala III yang
menggunakan MAK III dengan pemilinan jika dibandingkan dengan
MAK III tanpa pemilinan, perbedaan waktunya 2.582 menit lebih cepat
dari kelahiran plasenta. Yang menggunakan MAK III dengan pemilinan
puting susu. Persalinan kala III yang menerapkan Manajemen Aktif
Kala III dengan pemilinan menunjukkan pengaruh yang signifikan
dimana p< 0.05 ( p 0.00; beda mean; 2.582). Dengan demikian hipotesis
dalam penelitian ini adalah ditolak yaitu pemberian rangsangan puting
susu pada Manajemen Aktif Kala III dan pemilinan berpengaruh secara
signifikan terhadap Waktu kelahiran plasentanya dibandingkan dengan
waktu kelahiran plasenta pada Manajemen Aktif Kala III tanpa
pemilinan.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Prihatin dan Dewi (2013)
hasil penelitian ini hanya meneliti tentang faktor Inisiasi Menyusu Dini
terhadap lama pengeluaran plasenta tanpa melihat faktor lainnya yang
berpengaruh terhadap lama persalinan misalnya pengaruh IMD dengan
pelepasan plasenta, pengaruh IMD terhadap lama persalinan dan ibu
nifas seperti paritas, umur, dan kehamilan dengan resiko tinggi.
Sebagian besar responden pada kelompok kontrol rata-rata lama
pengeluaran plasenta 15,87 menit dengan waktu minimal 12 menit dan
waktu maksimal 20 menit. Sebagian besar responden pada kelompok
intervensi rata-rata lama pengeluaran plasenta plaasenta llebih cepat
yaitu 9,33 menit dengan waktu minimal 5 menit dan waktu maksimal
15 menit.
Menurut Roesli (2007), dengan memberikan ASI segera setelah
melahirkan ada banyak sekali manfaat yang diperoleh baik pada bayi
maupun pada ibunya secara psikologis maupun fisiologis. Sentuhan
dengan kulit ibu memberikan kehangatan, ketenangan, dan berdampak
18
pada nafas dan denyut jantung menjadi teratur. Bayi juga akan
memperoleh antibody yang berarti bayi memperoleh imunisasinya
yang pertama. Kolustrum dalam ASI mengandung faktor pencetus
untuk membantu usus bayi berfungsi secara efektif, sehingga
mikroorganisme dan penyebab alergi lain lebih sulit untuk masuk ke
tubuh bayi. Sementara itu, bagi ibu sentuhan dan isapan pada payudara
ibu mendorong terbentuknya oksitosin yang berdampak pada kontraksi
pada uterus sehingga membantu keluarnya plasenta. Pelepasan hormon
oksitosin berlangsung secara alami, namun terdapat suatu cara untuk
mendorongnya lebih cepat. Diantaranya, melalui proses Inisiasi
Menyusu Dini (IMD). Meletakkan bayi di atas perut ibu, agar bayi
mencari payudara ibunya sendiri, dapat merangsang pelepasan
oksitosin. Sehingga, ibu bersalin disarankan untuk melakukannya
secepat mungkin setelah melahirkan, untuk membantu keluarnya
plasenta. Jika plasenta gagal keluar, ibu akan diberikan hormon sintetis
yang mereplikasi efek oksitosin untuk membantu uterus berkontraksi.
Dengan melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) lama pengeluaran
plasenta pada kala III menjadi lebih cepat dibandingkan dengan yang
tidak dilakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD).
4) Penatalaksanaan Kala IV
Dua jam segera setelah kelahiran membutuhkan observasi yang
cermat pada pasien. Tekanan darah, kecepatan denyut nadi, dan
kehilangan darah pada rahim harus dipantau dengan cermat. Selama
waktu inilah biasanya terjadi perdarahan masa nifas, biasanya karena
relaksasi rahim, bertahannya fragmen plasenta, atau laserasi yang tidak
terdiagnosis. Perdarahan yang samar (misalnya pembentukan hematoma
vagina) dapat muncul sebagai keluhan nyeri pelvis. Mungkin terdapat
peningkatan kecepatan denyut nadi, sering tidak sesuai dengan setiap
pengurangan tekanan darah.
Dari hasil penelitian oleh Sri Sukarsi (2013) menunjukkan bahwa
IMD yang dilakukan ibu bersalin kala IV hampir seluruhnya (86,7%)
responden dengan kontraksi uterus baik dan sebagian kecil (6,7,6%)
19
dengan kontraksi uterus lemah dan sebagian kecil lagi ( 3,3%)
dengan kontraksi uterus jelek. Kontraksi uterus dikatakan Baik bila
uterus teraba keras, dikatakan lemah bila uterus melunak dan
dikatakan jelek bila uterus tidak teraba. Mengingat bahwa kontraksi
uterus Ibu bersalin yang baik dapat mengurangi perdarahan maka
diharapkan sedapat mungkin agar persalinan dilakukan IMD.
Kontraksi uterus merupakan keadaan dimana otot-otot uterus
berkontraksi segera setelah pelepasan plasenta untuk mencegah
terjadinya perdarahan. Pembuluh –pembuluh darah yang berada di
antara anyaman otot-otot uterus akan terjepit. Proses ini akan
menghentikan perdarahan setelah placenta dilahirkan. Perubahan-
perubahan yang terdapat pada serviks ialah segera postpartum
bentuk serviks agak menganga seperti corong. Bentuk ini
disebabkan oleh korpus uteri yang dapat mengadakan kontraksi,
sedangkan serviks tidak berkontraksi, sehingga seolah–olah pada
perbatasan antara korpus dan serviks uteri terbentuk seperti cincin.
Warna serviks merah kehitam- hitaman karena banyak penuh
pembuluh darah. Konsistensinya lunak. Kontraksi uterus merupakan
bagian dari proses involusi uteri (Sarwono, 2005 : 238).
H. Asuhan Persalinan Normal 60 Langkah
1) Mendengar & Melihat Adanya Tanda Persalinan Kala Dua.
2) Memastikan kelengkapan alat pertolongan persalinan termasuk
mematahkan ampul oksitosin & memasukan alat suntik sekali pakai
2½ ml ke dalam wadah partus set.
3) Memakai celemek plastik.
4) Memastikan lengan tidak memakai perhiasan, mencuci tangan dgn
sabun & air mengalir.
5) Menggunakan sarung tangan DTT pada tangan kanan yg akan
digunakan untuk pemeriksaan dalam.
6) Mengambil alat suntik dengan tangan yang bersarung tangan, isi
dengan oksitosin dan letakan kembali kedalam wadah partus set.
20
7) Membersihkan vulva dan perineum dengan kapas basah dengan
gerakan vulva ke perineum.
8) Melakukan pemeriksaan dalam - pastikan pembukaan sudah lengkap
dan selaput ketuban sudah pecah.
9) Mencelupkan tangan kanan yang bersarung tangan ke dalam larutan
klorin 0,5%, membuka sarung tangan dalam keadaan terbalik dan
merendamnya dalam larutan klorin 0,5%.
10) Memeriksa denyut jantung janin setelah kontraksi uterus selesai –
pastikan DJJ dalam batas normal (120 – 160 x/menit).
11) Memberi tahu ibu pembukaan sudah lengkap dan keadaan janin baik,
meminta ibu untuk meneran saat ada his apabila ibu sudah merasa
ingin meneran.
12) Meminta bantuan keluarga untuk menyiapkan posisi ibu untuk
meneran (Pada saat ada his, bantu ibu dalam posisi setengah duduk
dan pastikan ia merasa nyaman.
13) Melakukan pimpinan meneran saat ibu mempunyai dorongan yang
kuat untuk meneran.
14) Menganjurkan ibu untuk berjalan, berjongkok atau mengambil posisi
nyaman, jika ibu belum merasa ada dorongan untuk meneran dalam
60 menit.
15) Meletakan handuk bersih (untuk mengeringkan bayi) di perut ibu,
jika kepala bayi telah membuka vulva dengan diameter 5 – 6 cm.
16) Meletakan kain bersih yang dilipat 1/3 bagian bawah bokong ibu
17) Membuka tutup partus set dan memperhatikan kembali kelengkapan
alat dan bahan
18) Memakai sarung tangan DTT pada kedua tangan.
19) Saat kepala janin terlihat pada vulva dengan diameter 5 - 6 cm,
memasang handuk bersih 2 untuk menderingkan janin pada perut
ibu.
20) Memeriksa adanya lilitan tali pusat pada leher janin
21) Menunggu hingga kepala janin selesai melakukan putaran paksi luar
secara spontan.
21
22) Setelah kepala melakukan putaran paksi luar, pegang secara
biparental. Menganjurkan kepada ibu untuk meneran saat kontraksi.
Dengan lembut gerakan kepala kearah bawah dan distal hingga bahu
depan muncul dibawah arkus pubis dan kemudian gerakan arah atas
dan distal untuk melahirkan bahu belakang.
23) Setelah bahu lahir, geser tangan bawah kearah perineum ibu untuk
menyanggah kepala, lengan dan siku sebelah bawah. Gunakan
tangan atas untuk menelusuri dan memegang tangan dan siku
sebelah atas.
24) Setelah badan dan lengan lahir, tangan kiri menyusuri punggung
kearah bokong dan tungkai bawah janin untuk memegang tungkai
bawah (selipkan jari telinjuk tangan kiri diantara kedua lutut janin)
25) Melakukan penilaian selintas :
26) Apakah bayi menangi kuat dan atau bernapas tanpa kesulitan?
27) Apakah bayi bergerak aktif ?
28) Mengeringkan tubuh bayi mulai dari muka, kepala dan bagian tubuh
lainnya kecuali bagian tangan tanpa membersihkan verniks. Ganti
handuk basah dengan handuk/kain yang kering. Membiarkan bayi
atas perut ibu.
29) Memeriksa kembali uterus untuk memastikan tidak ada lagi bayi
dalam uterus.
30) Memberitahu ibu bahwa ia akan disuntik oksitasin agar uterus
berkontraksi baik.
31) Dalam waktu 1 menit setelah bayi lahir, suntikan oksitosin 10 unit
IM (intramaskuler) di 1/3 paha atas bagian distal lateral (lakukan
aspirasi sebelum menyuntikan oksitosin).
32) Setelah 2 menit pasca persalinan, jepit tali pusat dengan klem kira-
kira 3 cm dari pusat bayi. Mendorong isi tali pusat ke arah distal
(ibu) dan jepit kembali tali pusat pada 2 cm distal dari klem pertama.
33) Dengan satu tangan. Pegang tali pusat yang telah dijepit (lindungi
perut bayi), dan lakukan pengguntingan tali pusat diantara 2 klem
tersebut.
22
34) Mengikat tali pusat dengan benang DTT atau steril pada satu sisi
kemudian melingkarkan kembali benang tersebut dan mengikatnya
dengan simpul kunci pada sisi lainnya.
35) Menyelimuti ibu dan bayi dengan kain hangat dan memasang topi di
kepala bayi.
36) Memindahkan klem pada tali pusat hingga berjarak 5 -10 cm dari
vulva.
37) Meletakan satu tangan diatas kain pada perut ibu, di tepi atas
simfisis, untuk mendeteksi. Tangan lain menegangkan tali pusat.
38) Setelah uterus berkontraksi, menegangkan tali pusat dengan tangan
kanan, sementara tangan kiri menekan uterus dengan hati-hati kearah
doroskrainal. Jika plasenta tidak lahir setelah 30 – 40 detik, hentikan
penegangan tali pusat dan menunggu hingga timbul kontraksi
berikutnya dan mengulangi prosedur.
39) Melakukan penegangan dan dorongan dorsokranial hingga plasenta
terlepas, minta ibu meneran sambil penolong menarik tali pusat
dengan arah sejajar lantai dan kemudian kearah atas, mengikuti
poros jalan lahir (tetap lakukan tekanan dorso-kranial).
40) Setelah plasenta tampak pada vulva, teruskan melahirkan plasenta
dengan hati-hati. Bila perlu (terasa ada tahanan), pegang plasenta
dengan kedua tangan dan lakukan putaran searah untuk membantu
pengeluaran plasenta dan mencegah robeknya selaput ketuban.
41) Segera setelah plasenta lahir, melakukan masase pada fundus uteri
dengan menggosok fundus uteri secara sirkuler menggunakan bagian
palmar 4 jari tangan kiri hingga kontraksi uterus baik (fundus teraba
keras)
42) Periksa bagian maternal dan bagian fetal plasenta dengan tangan
kanan untuk memastikan bahwa seluruh kotiledon dan selaput
ketuban sudah lahir lengkap, dan masukan kedalam kantong plastik
yang tersedia.
43) Evaluasi kemungkinan laserasi pada vagina dan perineum.
Melakukan penjahitan bila laserasi menyebabkan perdarahan.
23
44) Memastikan uterus berkontraksi dengan baik dan tidak terjadi
perdarahan pervaginam.
45) Membiarkan bayi tetap melakukan kontak kulit ke kulit di dada ibu
paling sedikit 1 jam.
46) Setelah satu jam, lakukan penimbangan/pengukuran bayi, beri tetes
mata antibiotik profilaksis, dan vitamin K 1 mg intramaskuler di
paha kiri anterolateral.
47) Setelah satu jam pemberian vitamin K1 berikan suntikan imunisasi
Hepatitis B di paha kanan anterolateral.
48) Melanjutkan pemantauan kontraksi dan mencegah perdarahan
pervaginam.
49) Mengajarkan ibu/keluarga cara melakukan masase uterus dan
menilai kontraksi.
50) Evaluasi dan estimasi jumlah kehilangan darah.
51) Memeriksakan nadi ibu dan keadaan kandung kemih setiap 15 menit
selama 1 jam pertama pasca persalinan dan setiap 30 menit selama
jam kedua pasca persalinan.
52) Memeriksa kembali bayi untuk memastikan bahwa bayi bernafas
dengan baik.
53) Menempatkan semua peralatan bekas pakai dalam larutan klorin
0,5% untuk dekontaminasi (10 menit). Cuci dan bilas peralatan
setelah di dekontaminasi.
54) Buang bahan-bahan yang terkontaminasi ke tempat sampah yang
sesuai.
55) Membersihkan ibu dengan menggunakan air DDT. Membersihkan
sisa cairan ketuban, lendir dan darah. Bantu ibu memakai memakai
pakaian bersih dan kering.
56) Memastikan ibu merasa nyaman dan beritahu keluarga untuk
membantu apabila ibu ingin minum.
57) Dekontaminasi tempat persalinan dengan larutan klorin 0,5%.
24
58) Membersihkan sarung tangan di dalam larutan klorin 0,5%
melepaskan sarung tangan dalam keadaan terbalik dan merendamnya
dalam larutan klorin 0,5%
59) Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir.
60) Melengkapi partograf. (Buku APN 2008)
25
Umur juga merupakan hal yang penting untuk menentukan deteksi resiko
tinggi pada kehamilan.Hal yang paling penting pada saat pengambilan data
adalah menanyakan keluhan pasien yaitu untuk mengetahui alasan datang
pasien ke fasilitas pelayanan kesehatan (Sulistyawati, 2012; h. 180).
Menurut Prihandini, Pujiastuti dan Hastuti (2016) bahwa dikatakan
usia tidak berisiko jika usia ibu 20-35 tahun. Wanita yang hamil pada usia
di bawah 20 tahun atau di atas 35 tahun memiliki risiko tinggi terjadinya
abortus spontan sebab ibu yang hamil pada usia dibawah 20 tahun belum
siap secara emosional dan mental sedangkan pada usia di atas 35 tahun,
bibit kesuburan wanita akan menurun yang dapat menimbulkan kelainan
pada janin dan menyebabkan abortus spontan.
Menurut Mufdlilah, Hidayat dan Kharimaturrahmah (2012; h. 112-
113), riwayat kebidanan sangat diperlukan dalam pengkajian seperti
riwayat menstruasi yang terdiri dari menarche (usia pertama kali
mengalami menstruasi), siklus, volume darah, dan keluhan yang sering
terjadi. Termasuk keluhan ibu dalam gangguan kesehatan alat reproduksi
juga harus dikaji agar dapat memberikan petunjuk bagi tenaga kesehatan
tentang reproduksi pasien terutama tentang personal hygiene. Gangguan
reproduksi yang dimaksud antara lain: keputihan, infeksi, gatal karena
jamur dan tumor.
Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukna oleh Amelia,
Shaluhiyah dan Purnami (2015) bahwa penderita vaginosis bakterial pada
umumnya mengalami keluhan pada daerah genitalia berupa sekret
genitalia yang berlebih, berbau amis, berwarna putih keabuan. Vaginosis
bakterial pada ibu hamil merupakan infeksi yang dapat menyebabkan
komplikasi saat kehamilan dan persalinan seperti persalinan prematur,
ketuban pecah dini, infeksi intra uteri.
Pengkajian data selanjutnya yaitu riwayat kesehatan. Data penting
yang perlu diketahui yaitu apakah pasien pernah atau sedang menderita
penyakit seperti jantung, diabetes melitus (DM), ginjal, hipertensi, dan
hepatitis. Setiap ibu hamil pasti akan mengalami perubahan dalam hal pola
kebiasaan sehari-hari seperti pola makan, pola minum, pola istirahat,
26
aktivitas sehari-hari, personal hygiene, aktivitas seksual, sehingga perlu
dilakukan pengkajian dalam hal tersebut termasuk keadaan lingkungan,
respon keluarga terhadap kehamilan ini, respon ibu terhadap kelahiran
bayinya, respon ayah terhadap kehamilan saat ini, pengetahuan ibu tentang
perawatan kehamilannya, perencanaan KB (Keluarga Berencana),
pengetahuan ibu tentang keadaan dan perawatannya, dan adat istiadat
setempat yang berkaitan dengan masa hamil (Sulistyawati, 2012; h. 183-
188).
Dalam melakukan pengkajian data, penulis menanyakan tentang
tablet penambah darah, hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan
oleh Lina (2013) bahwa sebagai motivator, petugas harus menanyakan
kepatuhan ibu hamil minum tablet besi sesuai dengan ketentuan dan
ketersediaannya cukup. Tablet zat besi harus diminum satu tablet sehari
selama 90 hari. Tablet besi selama kehamilan sangat penting karena dapat
membantu proses pembentukan sel darah merah sehingga dapat mencegah
terjadi nya anemia / penyakit kekurangan darah. Kekurangan zat besi
(anemia defisiensi zat besi) selama hamil dapat berdampak tidak baik bagi
ibu maupun janin. Perdarahan yang banyak sewaktu melahirkan berefek
lebih buruk pada ibu hamil yang anemia. Kekurangan zat besi juga
mempengaruhi pertumbuhan janin saat lahir, sehingga berat badannya
dibawah normal (BBLR). Akibat lain dari anemia defisiensi besi selama
hamil adalah bayi lahir prematur.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mugeni dan Ristrini(2016)
bahwa imunisasi TT sangat penting untuk bu hamil karena tetanus
nonatorum (TN) sering terjadi pada ibu hamil yang tidak melakukan
imunisasi TT. Sehingga bayi yang dilahirkan rentan terhadap infeksi TN.
Penyebab TN antara lain penolong persalinan tidak higienis, perawatan tali
pusat tidak higienis dan alat pemotong tali pusat tidak steril. Sebaiknya
dalam melakukan pemotongan tali pusat menggunakan alat yang steril dan
aman supaya tidak terjadi TN pada neonatus.
Pengkajian data selanjutnya adalah pengkajian data secara obyektif.
Data obyektif dilakukan setelah mendapatkan data subyektif, data tersebut
27
untuk melengkapi data dalam menegakkan diagnosis. Pengkajian data
obyektif dilakukan melalui pemeriksaan inspeksi, palpasi, auskultasi, dan
perkusi yang dilakukan secara berurutan. Langkah pertama yang dilakukan
adalah melakukan pemeriksaan keadaan umum, untuk mengetahuinya
cukup dengan mengamati keadaan pasien baik atau lemah (Mufdlilah,
Hidayat dan Kharimaturrahmah, 2012; h. 112-113).
Pemeriksaan selanjutnya yang harus dilakukan adalah melihat
kesadaran pasien yang dapat dilihat mulai dari keadaan ibu pasien yang
sadar penuh (composmentis) atau sampai koma atau pasien dalam keadaan
tidak sadar. Pemeriksaan selanjutnya yang harus dilakukan adalah
melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital yang meliputi tekanan darah,
nadi, suhu dan pernafasan. Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik mulai
dari ujung kepala sampai kaki supaya dapat diketahui apakah ada kelainan
atau tidak. tinggi badan yang normal adalah lebih dari 145 cm serta pada
masa kehamilan ibu diharapakan mengalami kenaikan berat badan
minimal 8 kg dengan lingkar lengan atas minimal 23,5 cm dan IMT antara
19,8-26,6 cm. Pada pemeriksaan kehamilan dilakukan pemeriksaan
leopold I-IV dengan cara di palpasi,kemudian menentukan TFU (Tinggi
Fundus Uteri) dan DJJ (Denyut Jantung Janin). Pemeriksaan penunjang
pada ibu hamil juga dilakukan, diantaranya pemeriksaan Hb
(Hemoglobin), hematokrit, kadar leukosit, dan golongan darah
(Sulistyawati, 2012; h. 189-191).
Pengukuran LILA dan Indeks Masa Tubuh (IMT) pada ibu hamil
sangat penting, hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh
Wijanti, Rahmaningtyas dan Suwoyo (2015) bahwa batas ibu hamil yang
disebut sebagai risiko KEK jika ukuran LILA kurang dari 23,5 cm dan
deteksi KEK sebelum hamil dapat diukur melalui Indeks Massa Tubuh
(IMT), bila seorang calon ibu memiliki IMT < 18,0 sedangkan IMT antara
19,8-26,6 cm. Ibu hamil yang menderita KEK mempunyai risiko kematian
mendadak pada masa perinatal, kematian saat persalinan, perdarahan,
pasca persalinan yang sulit karena lemah dan mudah mengalami gangguan
kesehatan dan KEK digunakan untuk prediktor terhadap risiko melahirkan
28
bayi berat lahir rendah (BBLR). Setiap bayi yang BBLR mempunyai
risiko kematian, gizi kurang, gangguan pertumbuhan, dan gangguan
perkembangan anak.
Menurut Depkes RI (2012) bahwa dalam melaksanakan pelayanan
Antenatal Care, ada sepuluh standar pelayanan yang harus dilakukan oleh
bidan atau tenaga kesehatan yang dikenal dengan 10 T antara lain timbang
berat badan dan ukur tinggi badan, pemeriksaan tekanan darah, nilai status
gizi (ukur lingkar lengan atas), Pemeriksaan puncak rahim (tinggi fundus
uteri), Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ), Skrining
status imunisasi Tetanus dan berikan imunisasi Tetanus Toksoid (TT) bila
diperlukan, pemberian Tablet zat besi minimal 90 tablet selama kehamilan,
test laboratorium (rutin dan khusus), tatalaksana kasus dan temu wicara
(konseling).
B. Langkah kedua : Interpretasi data
Data subyektif dan data obyektif yang telah kita dapatkan kemudian
diintrepetasikan sehingga dapat merumuskan diagnosa dan masalah
(Mufdlilah, Hidayat dan Kharimaturrahmah, 2012; h. 113).
Diagnosa kebidanan yang dapat disimpulkan oleh bidan adalah
paritas (primigravida atau multigravida), usia kehamilan dalam minggu,
keadaan janin dan normal atau tidaknya kondisi kehamilan ibu. Masalah
tidak dapat didefinisikan sebagai diagnosis, tetapi tetap perlu
dipertimbangkan untuk membuat suatu rencana asuhan yang menyeluruh.
Bidan dalam menentukan kebutuhan pasien berdasarkan keadaan dan
masalahnya, misalnya kebutuhan untuk KIE dan bimbingan tentang
perawatan pada kehamilannya (Sulistyawati, 2012; h. 191-193).
Intrepretasi data didapatkan berdasarkan data subyektif dan obyektif
yang telah dilaukan yaitu Ny. ... umur ... tahun G..P..A.. hamil ... minggu
dalam keadaan normal (Purwoastuti dan Walyani, 2014; h. 130).
C. Langkah ketiga : Mengidentifikasi diagnosis atau masalah potensial
Pada langkah ini dilakukan identifikasi masalah atau diagnosis
potensial lain berdasarkan rangkaian masalah dan diagnosis yang telah
diidentifikasi. Langkah ini membutuhkan antisipasi, bila memungkinkan
29
dilakukan pencegahan, sambil mengamati klien bidan diharapkan dapat
bersiap-siap bila diagnosis/ masalah potensial ini benar-benar terjadi
D. Langkah keempat : Mengidentifikasi dan menetapkan kebutuhan yang
memerlukan penanganan segera
Dalam langkah ini diperlukan tindakan segera oleh bidan atau dokter
dan/ atau untuk dikonsultasikan atau ditangani bersama dengan anggota
tim kesehatan yang lain sesuai dengan kebutuhan klien. Data baru
mungkin saja dikumpulkan dan dievaluasi. Beberapa data mungkin
mengindikasikan situasi yang gawat dimana bidan harus bertindak segera
untuk kepentingan keselamatan ibu dan anak.
E. Langkah Kelima : Rencana Asuhan
Rencana asuhan dibuat setelah mendapatkan diagnosa atau masalah.
Setelah diketahui diagnosa dan masalah maka dilakukan identifikasi
masalah potensial yang mungkin bisa terjadi. Mengidentifikasi masalah
atau diagnosa potensial lain berdasarkan seperangkat masalah dan
diagnosa potensial lain berdasarkan rangkaian masalah dan diagnosa yang
sudah diidentifikasi. Langkah ini membutuhkan antisipasi, bila
memungkinkan dilakukan pencegahan, sambil mengamati klien bidan
diharapkan dapat bersiap-siap bila diagnosa/masalah potensial ini benar-
benar terjadi (Mufdlilah, Hidayat, Kharimaturrahmah, 2012; h. 117).
Seorang bidan harus mampu menentukan prioritas masalah yang
dihadapi dan harus melakukan tindakan sesuai dengan prioritas masalah
atau kebutuhan yang sedang dihadapi oleh pasien. Setelah dilakukan
perumusan tindakan yang perlu dilakukan untuk mengantisipasi
diagnosis / masalah potensial pada langkah sebelumnya,tugas bidan
selanjutnya yaitu merumuskan tindakan segera atau emergensy untuk
menyelamatkan ibu dan bayi. Tindakan yang dimaksud dapat berupa
tindakan secara mandiri maupun bersifat kolaborasi dengan tim kesehatan
lain serta melakukan rujukan (Sulistyawati, 2012; h. 196).
Rencana asuhan yang menyeluruh tidak hanya meliputi apa yang
sudah teridentifikasi dari kondsi klien atau dari setiap masalh yang
berkaitan tetapi juga dari kerangka pedoman antisipasi terhap wanita
30
tersebut seperti apa yang diperkiakan akan terjadi berikutnya, apakah
dibutuhkan penyuluhan, konseling dan apakah perlu merujuk klien bila
ada masalah-maslah yang berkaitan dengan sosial ekonomi, kultral atau
masalah psikologis Setiap rencana asuhan haruslah disetujui oleh kedua
belah pihak yaitu bidan dan pasien agar dapat dilaksanakan dengan efektif
karena klien merupakan bagian dari pelaksanaan rencana tersebut. Oleh
karena tu, pada langkah ini tugas bidan adalah merumuskan rencana
asuhan sesuai dengan hasil pembahasan rencana bersama pasien,
kemudian membuat kesepakatan bersama sebelum melaksanakannya
(Purwoastuti dan Walyani, 2014; h. 138).
F. Langkah Keenam : Melaksanakan asuhan
Dalam melaksanakan asuhan harus dilakukan perencanaan terlebih
dahulu dan dilanjutkan dengan implementasi. Pasien sendiri harus ikut
terlibat dalam penyusunan perencanaan karena pada akhirnya persetujuan
tindakan berdasarkan keputusan pasien. Menentukan tujuan tindakan yang
akan dilakukan meliputi sasaran dan target hasil yang akan diapai dan
menentukan rencana tindakan sesuai dengan masalah dan tujuan yang
dicapai merupakan asuhan yang terarah karena memerlukan pola pikir
terlebih dahulu (Sulistyawati, 2012; h. 196).
Memberikan asuhan kepada ibu berdasarkan rencana asuhan yang
akan diberikan. Dengan cara melakukan konseling pada ibu hamil
terutama berkaitan dengan keluhan yang telah dirasakan. Memberikan
konseling tentang rasa ketidaknyamanan selama hamil trimester ketiga,
tanda bahaya pada ibu hamil dan memberikan pendidikan kesehatan
tentang kebutuhan gizi pada ibu hamil (Mufdlilah, Hidayat dan
Kharimaturrahmah, 2012; h. 118).
Pada trimester ketiga ibu kadang mengeluh tentang
ketidaknyamanan yang dirasakan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Wahyuni dan Ni’mah (2013) bahwa ketidaknyamanan
fisik berhubungan dengan perubahan bentuk tubuh, ketidaknyamanan fisik
ini seperti sakit punggung bawah, dan rasa pegal-pegal pada badan.
Kondisi ini dapat menyebabkan kecemasan dan ketidaknyamanan fisik
31
lebih lanjut sehingga ibu hamil lebih sulit untuk tidur. Untuk mengatasi
keluhan-keluhan ibu hamil yang dapat mengakibatkan penurunan durasi
tidur, maka senam hamil sebagai salah satu pelayanan prenatal, merupakan
suatu alternatif terapi yang dapat diberikan pada ibu hamil. Pemberian
senam hamil terutama latihan releksasi akan menimbulkan efek relaks
yang melibatkan syaraf parasimpatis dalam sistem syaraf pusat. Dimana
salah satu fungsi syaraf parasimpatis ini adalah menurunkan produksi
hormone adrenalin atau epinefrin (hormone stress) dan meningkatkan
skresi hormone noradrenalin atau norepinefrin (hormone relaks) sehingga
terjadi penurunan kecemasan serta ketegangan pada ibu hamil yang
mengakibatkan ibu hamil menjadi lebih relaks dan tenang.
G. Langkah ketujuh : Evaluasi
Langkah terakhir dalam manajemen kebidanan adalah evaluasi. Pada
langkah ini dilakukan evaluasi dari asuhan yang telah diberikan yaitu
meliputi pemenuhan kebutuhan. Hal tersebut dapat membantu untuk
mengetahui terpenuhinya bantuan sesuai dengan kebutuhan
sebagaimana telah diidentifikasikan di dalam diagnosa dari masalah
(Purwoastuti dan Walyani, 2014; h.139).
Evaluasi dilakukan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan
asuhan yang telah diberikan kepada pasien. Dalam melakukan evaluasi
bidan menilai seberapa efektif tindakan serta asuhan yang telah diberikan
kepada pasien. Dalam hal ini perlu dilakukannya pengkajian respon pasien
dan menilai peningkatan kondisi pasien sesuai yang telah ditargetkan pada
saat penyusunan perencanaan. Hasil dari pengkajian dapat dijadikan
sebagai acuan dalam pelaksanaan asuhan berikutnya (Sulistyawati, 2012;
h. 200-201).
32