Anda di halaman 1dari 27

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hipertensi dalam Kehamilan


2.1.1. Definisi Hipertensi dalam Kehamilan
Hipertensi dalam kehamilan didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik
≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg (Boyce dkk, 2011).

2.1.2. Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamilan.


Berdasarkan Report of the National High Blood Pressure Education
Program Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy tahun 2000 yang
digunakan sebagai acuan klasifikasi di Indonesia, hipertensi dalam kehamilan
dapat diklasifikasikan menjadi:
1) Hipertensi Kronik
2) Preeklampsia-eklampsia
3) Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia
4) Hipertensi gestasional

2.1.3. Diagnosis Hipertensi dalam Kehamilan


1) Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur
kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah
umur kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu pasca
persalinan.
2) Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu
kehamilan disertai dengan proteinuria.
3) Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai dengan kejang-kejang
atau koma.
4) Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia adalah
hipertensi kronik disertai tanda-tanda preeklampsia atau hipertensi kronik
disertai proteinuria.

Universitas Sumatera Utara


6

5) Hipertensi gestasional adalah hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa


disertai proteinuria dan hipertensi menghilang setelah 3 bulan pascapersalinan
atau kehamilan dengan tanda-tanda preeklampsia tetapi tanpa proteinuria.
(Prawirohardjo, 2009)

2.1.4. Faktor Risiko Hipertensi dalam Kehamilan


Dari berbagai macam faktor risiko terjadinya hipertensi dalam kehamilan,
maka dapat dikelompokkan sebagai berikut.
1) Primigravida
2) Hiperplasentosis, seperti molahidatidosa, kehamilan ganda, diabetes
melitus, hidrops fetalis, bayi besar.
3) Umur yang ekstrim.
4) Riwayat keluarga yang pernah mengalami preeklampsia dan eklampsia
5) Penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
6) Obesitas
(prawirohardjo, 2009)

2.1.5. Patofisiologi Hipertensi dalam Kehamilan


Banyak teori yang dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam
kehamilan, yaitu:
1. Teori Kelainan Vaskularisasi Plasenta
Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblas
ke dalam lapisan otot arteria spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot
tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas juga memasuki
jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi hambur dan
memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan
vasodilatasi lumen arteri spiralis ini memberi dampak penurunan tekanan darah,
penurunan resistensi vaskular dan peningkatan aliran darah pada daerah utero
plasenta.
Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada
lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri

Universitas Sumatera Utara


7

spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak
memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis
relatif mengalami vasokonstriksi, dan terjadi kegagalan “remodeling arteri
spiralis”, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun, dan terjadilah hipoksia
dan iskemia plasenta. Dampaknya akan menimbulkan perubahan pada hipertensi
dalam kehamilan (prawirohardjo, 2009).
Adanya disfungsi endotel ditandai dengan meningginya kadar fibronektin,
faktor Von Willebrand, t-PA dan PAI-1 yang merupakan marker dari sel-sel
endotel.
Patogenesis plasenta yang terjadi pada preeklampsia dapat dijumpai
sebagai berikut:
a. Terjadi plasentasi yang tidak sempurna sehingga plasenta tertanam dangkal
dan arteri spiralis tidak semua mengalami dilatasi.
b. Aliran darah ke plasenta kurang, terjadi infark plasenta yang luas.
c. Plasenta mengalami hipoksia sehingga pertumbuhan janin terhambat.
d. Deposisi fibrin pada pembuluh darah plasenta, menyebabkan penyempitan
pembuluh darah.
(Tanjung, 2004)

2. Teori Iskemia Plasenta dan pembentukan radikal bebas


Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan
oksidan. Salah satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah
radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap membran sel endotel
pembuluh darah. Radikal hidroksil akan merusak membran sel, yang
mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak,
Peroksida lemak selain akan merusak sel, juga akan merusak nukleus, dan
protein sel endotel. Produksi oksidan dalam tubuh yang bersifat toksis, selalu
diimbangi dengan produksi anti oksidan (Prawirohardjo, 2009).

Universitas Sumatera Utara


8

3. Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam kehamilan


Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar oksidan
khususnya peroksida lemak meningkat, sedangkan antioksidan, misal vitamin E
pada hipertensi dalam kehamilan menurun, sehingga terjadi dominasi kadar
oksidan peroksida lemak yang relatif tinggi.
Peroksida lemak sebagai oksidan yang sangat toksis ini akan beredar di
seluruh tubuh dalam aliran darah dan akan merusak membran sel endotel.
Membran sel endotel lebih mudah mengalami kerusakan oleh peroksida lemak
karena letaknya langsung berhubungan dengan aliran darah dan mengandung
banyak asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh sangat rentan terhadap
oksidan radikal hidroksil, yang akan berubah menjadi peroksida lemak
(Prawirohardjo, 2009).

4. Disfungsi sel endotel


a) Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi sel endotel
adalah memproduksi prostaglandin, yaitu menurunnya produksi
prostasiklin yang merupakan vasodilator kuat.
b) Agregasi sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan
untuk menutup tempat-tempat dilapisan endotel yang mengalami
kerusakan. Agregasi trombosit memproduksi tromboksan yang merupakan
suatu vasokonstriktor kuat.
c) Perubahan khas pada sel endotel kapilar glomerulus.
d) Peningkatan permeabilitas kapilar
e) Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor
f) Peningkatan faktor koagulasi
(Prawirohardjo, 2009)

5. Teori Intoleransi Imunologik antara Ibu dan Janin


a) Primigravida mempunyai risiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam
kehamilan jika dibandingkan dengan multigravida.

Universitas Sumatera Utara


9

b) Ibu multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai risiko lebih


besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan
suami sebelumnya.

c) Lamanya periode hubungan seks sampai saat kehamilan ialah makin


lama periode ini, makin kecil terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
(Prawirohardjo, 2009)

6. Teori Adaptasi Kardiovaskular


Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter terhadap
bahan vasokonstriktor, dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan terhadap
bahan-bahan vasopresor. Artinya, daya refrakter pembuluh darah terhadap
bahan vasopresor hilang sehingga pembuluh darah menjadi sangat peka
terhadap bahan vasopresor. Peningkatan kepekaan pada kehamilan yang akan
menjadi hipertensi dalam kehamilan, sudah dapat ditemukan pada kehamilan
dua puluh minggu. Fakta ini dapat dipakai sebagai prediksi akan terjadinya
hipertensi dalam kehamilan (Prawirohardjo, 2009).

7. Teori Genetik
Telah terbukti bahwa pada ibu yang mengalami pereeklampsia, maka
26% anak perempuannya akan mengalami preeklampsia pula, sedangkan hanya
8% anak menantu mengalami preeklampsia (Prawirohardjo, 2009).

8. Teori Defisiensi Gizi


Konsumsi minyak ikan dapat mengurangi risiko preeklampsia dan
beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa defisiensi kalsium
mengakibatkan risiko terjadinya preeklampsia/eklampsia. (Prawirohardjo,
2009)

Universitas Sumatera Utara


10

9. Teori Stimulus Inflamasi


Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam
sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi.
Disfungsi endotel pada preeklampsia akibat produksi debris trofoblas plasenta
berlebihan tersebut diatas, mengakibatkan aktifitas leukosit yang tinggi pada
sirkulasi ibu. Peristiwa ini disebut sebagai kekacauan adaptasi dari proses
inflamasi intravaskular pada kehamilan yang biasanya berlangsung normal dan
menyeluruh. (Prawirohardjo, 2009)
Kebanyakan penelitian melaporkan terjadi kenaikan kadar TNF-alpha pada
PE dan IUGR. TNF-alpha dan IL-1 meningkatkan pembentukan trombin, platelet-
activating factor (PAF), faktor VIII related anitgen, PAI-1, permeabilitas endotel,
ekspresi ICAM-1, VCAM-1, meningkatkan aktivitas sintetase NO, dan kadar
berbagai prostaglandin. Pada waktu yang sama terjadi penurunan aktivitas
sintetase NO dari endotel. Apakah TNF-alpha meningkat setelah tanda-tanda
klinis preeklampsia dijumpai atau peningkatan hanya terjadi pada IUGR masih
dalam perdebatan. Produksi IL-6 dalam desidua dan trofoblas dirangsang oleh
peningkatan TNF-alpha dan IL-1. IL-6 yang meninggi pada preeklampsia
menyebabkan reaksi akut pada preeklampsi dengan karakteristik kadar yang
meningkat dari ceruloplasmin, alpha1 antitripsin, dan haptoglobin,
hipoalbuminemia, dan menurunnya kadar transferin dalam plasma. IL-6
menyebabkan permeabilitas sel endotel meningkat, merangsang sintesis platelet
derived growth factor (PDGF), gangguan produksi prostasiklin. Radikal bebas
oksigen merangsang pembentukan IL-6.
Disfungsi endotel menyebabkan terjadinya produksi protein permukaan sel
yang diperantai oleh sitokin. Molekul adhesi dari endotel antara lain E-selektin,
VCAM-1 dan ICAM-1. ICAM-1 dan VCAM-1 diproduksi oleh berbagai jaringan
sedangkan E-selectin hanya diproduksi oleh endotel. Interaksi abnormal endotel-
leukosit terjadi pada sirkulasi maternal preeklampsia (Tanjung, 2004).

Universitas Sumatera Utara


11

2.1.6. Definisi Hipertensi Kronis


Hipertensi Kronis menggambarkan semua hipertensi yang ada sebelum
kehamilan. Sebagian besar ibu dalam kelompok ini menderita hipertensi yang ada
sebelum kehamilan meskipun banyak diantara mereka yang baru didiagnosis
pertama kali saat mereka dalam keadaan hamil. Yang dimaksud hipertensi adalah
tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau diastolik ≥90 mmHg (NHBPEP, 2000).

2.1.7. Definisi Preeklampsia


Preeklampsia merupakan hipertensi yang terjadi setelah 20 minggu
kehamilan pada wanita yang sebelumnya memiliki tekanan darah normal.
Hipertensi yang ditemukan dengan tekanan sistolik ≥ 140 mmHg atau tekanan
diastolik ≥ 90 mmHg dengan pemeriksaan dua kali dengan jarak 6 jam dan
terdapat proteinuria ≥0, 3 gram/24 jam atau 1+ dipstick (Miller, 2007).
Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai dengan kejang-kejang
dan/atau koma (prawirohardjo, 2009).
Diagnosa preeklampsia berdasarkan adanya hipertensi dan proteinuria,
edema ataupun keduanya. Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu daripada tanda
yang lain. Penyakit ini didiagnosa berdasarkan tanda-tanda disfungsi endotel
maternal yang tersebar luas. Pada kehamilan normal, sebagian sel-sel
sitotropoblast plasenta menghentikan aktifitas perubahan yang tidak sesuai yang
menyebabkan infasi ke rahim dan pembuluh darahnya. Proses ini menyebabkan
melekatnya konseptus pada dinding rahim dan memulai aliran darah ibu ke
plasenta. Preeklampsia berhubungan dengan perubahan sitotropoblas abnormal,
infasi dangkal dan penurunan aliran darah ke plasenta (Tarigan, 2008).

Decker dan Sibai mengajukan 4 hipotesa sebagai konsep etiologi dan


patogenesa preeklampsia, yaitu:
1. Iskemia Plasenta
Pada preeklampsia perubahan arteri spiralis terbatas hanya pad alapisan
desidua dan arteri spiralis yang mengalami perubahan hanya lebih kurang 35-
50%. Akibatnya perfusi darah ke plasenta berkurang dan terjadi iskemik plasenta.

Universitas Sumatera Utara


12

2. Maladaptasi Imun
Maladaptasi imun menyebabkan dangkalnya invasi arteri spiralis oleh sel-
sel sitotrofoblas endovaskuler dan disfungsi endotel yang diperantarai oleh
peningkatan pelepasan sitokin desidual, enzim proteolitik dan radikal bebas.

3. Genetik Imprinting
Timbulnya preeklampsia-eklampsia didasarkan pada gen resesif tunggal
atau gen dominan dengan penetrasi yang tidak sempurna. Penetrasi mungkin
tergantung genotif janin.

4. Perbandingan Very Low Density Lipoprotein (VLDL) dan Toxicity Preventing


Activity (TxPA)
Hal ini terjadi akibat kompensasi dengan meningkatnya kebutuhan energy
selama hamil dengan memproses asam lemak nonsterifikasi. Pada wanita dengan
kadar albumin yang rendah, pengangkutan kelebihan asam lemak nonsterifikasi
dari jaringan lemak kedalam hepar menurunkan aktifitas antitoksik albumin
sampai pada titik dimana toksisitas VLDL menjadi terekspresikan. Jika ada
VLDL melebihi TxPA maka efek toksik dari VLDL akan muncul dan
menyebabkan disfungsi endotel (Tarigan, 2008).

2.1.8. Definisi Hipertensi Kronis dengan Superimposed Preeklampsia


Disebut dengan hipertensi kronis dengan superimposed preeklampsia jika
ditemukan beberapa hal dibawah ini :
1) Wanita dengan hipertensi dan tidak ada proteinuria pada awal kehamilan
(<20 minggu) mengalami proteinuria, yaitu 0,3 gram protein atau lebih pada
spesimen urin 24 jam.
2) Wanita dengan hipertensi dan proteinuria sebelum usia kehamilan 20 minggu.
3) Peningkatan proteinuria secara tiba-tiba.
4) Peningkatan tekanan darah pada wanita yang memiliki riwayat hipertensi
terkontrol sebelumnya secara tiba-tiba.
5) Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000 sel/mm3).

Universitas Sumatera Utara


13

6) Peningkatan ALT atau AST ke level abnormal. (NHBPEP, 2000)

2.1.9. Definisi Hipertensi Gestasional


Wanita dengan peningkatan tekanan darah yang dideteksi pertama kali
setelah pertengahan kehamilan, tanpa proteinuria, diklasifikasikan menjadi
hipertensi gestasional. Jika preeklampsia tidak terjadi selama kehamilan dan
tekanan darah kembali normal setelah 12 minggu postpartum, diagnosis transient
hypertension dalam kehamilan dapat ditegakkan. Namun, Jika tekanan darah
menetap setelah postpartum, wanita tersebut didiagnosis menjadi hipertensi
kronik (NHBPEP, 2000).

2.2. Preeklampsia
2.2.1. Faktor Risiko
Wanita yang memiliki risiko sedang terhadap terjadinya preeklampsia,
memiliki salah satu kriteria dibawah ini (NICEClinical Guideline,2010):
1) Primigravida
2) Umur ≥40 tahun
3) Interval kehamilan ≥ 10 tahun
4) BMI saat kunjungan pertama ≥35 kg/
5) Riwayat keluarga yang pernah mengalami preeklampsia
6) Kehamilan ganda

Wanita yang memiliki risiko tinggi terjadinya preeklampsia adalah


yang memiliki salah satu dari kriteria dibawah ini (NICEClinical Guideline,
2010):
1) Riwayat hipertensi pada kehamilan sebelumnya
2) Penyakit ginjal kronik
3) Penyakit autoimun seperti SLE atau Sindrom Antifosfolipid
4) Diabetes Tipe1 atau Tipe 2
5) Hipertensi Kronik

Universitas Sumatera Utara


14

Faktor risiko lain nya adalah:


1. Wanita hamil berumur dibawah 20 tahun atau diatas 35 tahun
2. Mola Hidatidosa
3. Penyakit Thyroid
4. Gangguan kolagen vaskular
(Miller, 2007)
Tabel 1 Faktor Risiko Preeklampsia (Uzan et al, 2011)

2.2.2. Patofisiologi Preeklampsia


Disfungsi endotel yang luas dapat bermanifestasi sebagai sindrom pada
ibu, sindrom pada janin atau keduanya. Wanita hamil dapat mengalami disfungsi
sistem organ multipel, termasuk sistem saraf pusat, jantung, hepatik, paru, ginjal,
mata dan hematologi (Cunningham, 2001).
1) Otak
Keadaan patologis yang dijumpai pada kelainan serebral yang di induksi
oleh preeklampsia termasuk nekrosis fibrinoid, thrombosis, mikroinfark dan pteki

Universitas Sumatera Utara


15

perdarahan, pada awalnya ditemukan pada kortkes serebri. Edema serebri bisa
juga ditemukan. Pada gambaran MRI juga dapat menunjukkan kelainan pada
lobus oksipital dan parietal pada distribusi dari arteri serebri mayor, seiring
dengan adanya lesi pada batang otak dan ganglia basalis. Perdarahan pada sub
arachnoid dapat ditemukan pada penderita preeklampsia berat (Miller, 2007).
Pada umumnya semua jaringan mempunyai autoregulation untuk
mengatur perfusi darah kejaringan termasuk otak. Bila tekanan darah melampaui
batas, autoregulasi tidak dapat bekerja maka jaringan akan mengalami perubahan,
endotel akan mengalami kebocoran sehingga plasma darah dan eritrosit akan
keluar dari pembuluh darah ke jaringan ekstravaskular dan akan terjadi
perdarahan bercak (ptechien) atau perdarahan intrakranial. Pada hipertensi kronis
terjadi hipertrofi pembuluh darah sehingga pada tekanan darah yang sama ada
hipertensi kronik bisa asimptomatis, atau hanya sakit kepala saja. Kerusakan otak
bisa dijumpai dengan sebab yang tidak diketahui yang disebut ensefalopati
hipertensif dengan kelainan berupa nekrosis fibroid, trombosis arteriol, mikro
infark, ptechien. Pada pembuluh darah terjadi vasokonstriksi yang menyebabkan
iskemia lokal, nekrosis arteriol, dan hilangnya barier antara otak dan darah.
Terjadinya edema dalam otak masih dalam kontroversi, ada yang menjumpai
adanya edema, tetapi Sheehan dan Lynch tidak menjumpai edema pada eklampsia
(Mabie dan Sibai dalam Tanjung, 2004).

2) Jantung
Preeklampsia ditandai dengan hilangnya keadaan normal dari volume
intravaskukar, penurunan dari kadar normal volume sirkulasi darah, dan
berkurangnya vasopressor pembuluh darah seperti angiotensin 2. Preeklampsia
juga ditandai dengan meningkatnya cardiac output dan rendahnya tahanan
vaskular sistemik (Miller, 2007).
Volume plasma pada Preeklampsia menurun dengan penyebab yang tidak
diketahui. Timbulnya hipertensi karena pelepasan vaskonstriktor yang dihasilkan

Universitas Sumatera Utara


16

sebagai kompensasi terhadap hipoperfusi darah pada uterus. Oleh sebab itu tidak
dianjurkan pemberian diuretik.
Secara umum pada preeklampsia terjadi kenaikan cardiac output dengan
peningkatan tahanan perifer yang tidak sesuai. Wanita dengan kehamilan normal
resisten terhadap angiotensin II. Wanita-wanita yang mengalami preeklampsia
resistensi terhadap angiotensin II menurun beberapa minggu sebelum terjadi
hipertensi.
Terjadinya hipertensi pada Preeklampsia dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Terjadinya hipertensi disebabkan vasokonstriksi pembuluh darah yang
menyebabkan resistensi vaskuler perifer meningkat.
b) Vasokonstriksi terjadi karena hiper responsif dari pembuluh darah terhadap
vasokonstriktor terutama terhadap angiotensin II.
c) Terdapat ketidakseimbangan antara vasokonstriktor dan vasodilator dimana
vasokonstriktor meningkat seperti angiotensin II, endotelin, tromboksan dan
produksi vasodilator menurun seperti nitrous oksida, prostasiklin dan
endothelium-derived relaxing factor (EDRF).
d) Terjadi kerusakan/disfungsi endotel pembuluh darah sehingga produksi
vasokonstriktor seperti endotelin meningkat dan vasodilator seperti prostasiklin
dan EDRF menurun.
e) Endotel menghasilkan sitokin yang menurunkan aktivitas antioksidan.
(Tanjung, 2004)

3) Paru
Edema pulmonal bisa terjadi pada preeklampsia berat atau eklampsia, bisa
kardiogenik atau non kardiogenik dan biasanya timbul pada waktu post partum.
Edema pulmonum bisa terjadi karena pemberian cairan yang berlebihan, tekanan
onkotik yang menurun karena albuminemia, penggunaan kristaloid untuk
menggantikan transfusi darah dan sintesis albumin yang menurun dari hati.
Edema pulmonum sering terjadi pada hipertensi kronis dan penyakit jantung
hipertensif (Tanjung, 2007).

Universitas Sumatera Utara


17

4) Hati
Pada preeklampsia terjadi perubahan mulai dari yang ringan (subkilinis)
berupa deposit fibrin pada sinusoid hepar sampai dengan ruptura hepatis,
sindroma HELLP dan infark hepatis. Rasa sakit didaerah hipokondrium
merupakan salah satu tanda adanya perdarahan dalam hepar atau perdarahan
subkapsuler.
Walker dan Dekker (1997) dalam Hypertension In Pregnancy mengatakan
kelainan yang sering terjadi pada hati adalah nekrosis periportal dan fokal
perenkim hati dan perdarahan. Deposisi fibrin-fibrinogen dalam sinusoid hati
dapat terjadi. Pada preeklampsia berat deposit fibrin dapat menyebabkan obstruksi
aliran darah dalam sinusoid yang dapat menyebabkan peregangan terhadap kapsul
hepar sehingga terjadi nyeri epigastrum.
Nekrosis hemoragik pada lobulus perifer hati merupakan lesi karakteristik
dari eklampsia. Trombosis yang luas pada pembuluh darah kecil sering terjadi
pada lobus kanan hati. Perdarahan berat dibawah kapsul hepar dapat
menyebabkan ruptura hati yang menyebabkan perdarahan intra abdominal
(Tanjung, 2004).

5) Ginjal
Kelainan khas preeklampsia pada ginjal adalah glomerulo-endotheliosis
yaitu pembengkakan sel endotel dari glomerulus sehingga perfusi darah dan
filtrasi glomerulus menurun. Pada ginjal juga dijumpai deposit fibrin pada
membrana basalis. Kelainan pada ginjal umumnya reversibel dan hilang lebih
kurang setelah 6 minggu post partum. Albright dan Sommers (1968) pada biopsi
ginjal menjumpai kelainan kapiler deposit fibrin dalam kapsula Bowman. Sel-sel
juxtaglomerulus mengalami hiperplasia, epitel loop of Henle mengalami
deskuamasi berat dan afferent arteriol menunjukkan vasospasme yang jelas, Lesi
pada tubulus juga sering terjadi dan terdapat cast (kristal) dalam urine. Terdapat
peningkatan aktivitas renin, angiotensin dan aldosteron yang dapat menjurus

Universitas Sumatera Utara


18

kepada retensi sodium dan air. Nekrosis korteks jarang terjadi dan ini biasanya
fatal dan harus dilakukan dialisis ginjal.
Patogenesis dan patofisiologi yang terjadi pada ginjal dengan
preeklampsia adalah sebagai berikut:
a) Pada ginjal terjadi kelainan glomerulus dimana sel endotel mengalami
hipertrofi dan pembengkakan yang disebut glomeruloendoteliosis
b) Filtrasi glomerular dan aliran darah ke ginjal menurun.
c) Klirens asam urat menurun sehingga kadar asam urat didalam darah
meningkat.
d) Kerusakan endotel glomerulus menyebabkan albumin bocor melalui
glomerulus dan keluar melalui urine (proteinuria) dan albumin juga keluar
dari pembuluh darah (ekstravasasi) ke ruang interstisial sehingga terjadi
hipoalbuminemia sehingga tekanan onkotik menurun dan terjadi hipovolemia
dan hemokonsentrasi.
e) Pada kehamilan normal terjadi hipercalciuria, pada preeklampsia
sebaliknya menjadi hipocalciuria.
f) Natrium juga bisa terganggu sehingga terjadi retensi dan edema. Kelainan
ini tidak semua sama beratnya.
(Tanjung, 2004)

6) Mata
Vasospasme retina, edema retina, retinal detachment dan kebutaan kortikal
dapat terjadi pada preeklampsia.
(Miller, 2007)

2.2.3. Gejala dan Tanda Klinis


Sesuai dengan definisi preeklampsia, gejala utama preeklampsia adalah
hipertensi, proteinuria dan edema yang dijumpai pada kehamilan semester 2 atau
kehamilan diatas 20 minggu dengan atau tanpa edema karena edema dijumpai
80% pada kehamilan normal dan edema tidak meningkatkan morbiditas dan
mortalitas maternal maupun perinatal.

Universitas Sumatera Utara


19

Gejala-gejala dan tanda-tanda lain yang timbul pada preeklampsia sesuai


dengan kelainan-kelainan organ yang terjadi akibat preeklampsia:
1) Hipertensi
Tekanan darah diukur dengan sphygmomanometer pada lengan kanan
dalam keadaan berbaring terlentang setelah istirahat 15 menit. Disebut hipertensi
bila tekanan darah sistolik 140 mmHg atau lebih, atau tekanan darah diastolik 90
mmHg.

2) Proteinuria
Pada wanita tidak hamil dijumpai protein dalam urin sekitar 18 mg/24 jam.
Disebut proteinuria positif/patologis bila jumlah protein dalam urin melebihi 300
mg/24 jam. Proteinuria dapat dideteksi dengan cara dipstick reagents test, tetapi
dapat memberikan 26% false positif karena adanya sel-sel pus. Untuk
menghindari hal tersebut, maka diagnosis proteinuria dilakukan pada urin tengah
(midstream) atau urine 24 jam.
Deteksi proteinuria penting dalam diagnosis dan penanganan hipertensi
dalam kehamilan. Proteinuria merupakan gejala yang terahir timbul. Eklampsia
bisa terjadi tanpa proteinuria. Proteinuria pada preeklampsia merupakan indikator
adanya bahaya pada janin. Berat badan lahir rendah dan kematian perinatal
meningkat pada preeklampsia dengan proteinuria.
Diagnosis preeklampsia ditegakkan bila ada hipertensi dengan proteinuria.
Adanya kelainan cerebral neonatus dan retardasi intra uterin. Proteinuria juga ada
hubungannya dengan meningkatnya risiko kematian janin dalam kandungan.
Risiko terhadap ibu juga meningkat jika dijumpai proteinuria.

3) Edema
Edema bukan merupakan syarat untuk diagnosa preeklampsia karena
edema dijumpai 60-80% pada kehamilan normal. Edema juga tidak
meningkatkan risiko hipertensi dalam kehamilan.
Edema yang dijumpai pada tangan dan muka selain pagi hari
merupakan tanda patologis. Kenaikan berat badan melebihi 1 kg per minggu

Universitas Sumatera Utara


20

atau kenaikan berat badan yang tiba-tiba dalam 1 atau 2 hari harus dicurigai
kemungkinan adanya preeklampsia.

Edema yang masif meningkatkan risiko terjadinya edema paru terutama


pada masa post partum. Pada 15-39 % kasus preeklampsia berat tidak
dijumpai edema.

4) Oliguria
Urin normal pada wanita hamil adalah 600-2000 ml dalam 24 jam.
Oliguria dan anuria meurpakan tanda yang sangat penting pada preeklampsia dan
merupakan indikasi untuk terjadi terminasi sesegera mungkin. Walaupun
demikian, oliguria atau anuria dapat terjadi karena sebab prerenal, renal dan post
renal. Pada preeklampsia, hipovolemia tanpa vasokonstriksi yang berat, intrarenal
dapat menyebabkan oliguria. Kegagalan ginjal akut merupakan komplikasi yang
jarang pada preeklamspia, biasanya disebabkan nekrosis tubular, jarang karena
nekrosis kortikal.
Pada umumnya kegagalan ginjal akut ditandai dengan jumlah urin
dibawah 600 ml/24 jam dan 50% dari kasus tersebut terjadi sebagai komplikasi
koagulasi intravaskular yang luas disebaban solusio plasenta.

5) Kejang
Kejang tanpa penyebab lain merupakan diagnosis eklampsia, kejang
merupakan salah satu tanda dari gejala dan tanda gangguan serebral pada
preeklampsia. Tanda-tanda serebral yang lain pada preeklampsia antara lain, sakit
kepala, pusing, tinnitus, hiperrefleksia, gangguan visus, gangguan mental,
parestesia dan klonus. Gejala yang paling sering mendahului kejang adalah sakit
kepala, gangguan visus dan nyeri perut atas.

6) Asam Urat
Korelasi meningkatnya asam urat dengan gejala-gejala kilinis dari
toksemia gravidarum mula-mula didapatkan oleh williams. Kadar asam urat juga
mempunyai korelasi dengan beratnya kelainan pada biopsi ginjal. Kelainan

Universitas Sumatera Utara


21

patologis pembuluh darah uteroplasenta dan berkorelasi dengan luaran janin pada
preeklampsia. Hiperuricemia menyebabkan kematian perinatal.
7) Gangguan Visus
Gangguan visus pada preeklampsia berat dapat merupakan flashing.
Cahaya berbagai warna, skotoma, dan kebutaan sementara. Penyebabnya adalah
spasme arteriol, iskemia dan edema retina. Tanpa tindakan operasi penglihatan
akan kembali normal dalam 1 minggu.
(Tanjung, 2004)

2.2.4. Klasifikasi dan Diagnosa Preeklampsia


1) Preeklampsia Ringan
Suatu sindroma spesifik kehamilan dengan menurunnya perfusi organ
yang berakibat terjadinya vasospasme pembuluh darah dan aktivasi endotel.
Diagnosa preeklampsia ringan ditegakkan dengan kriteria:
a) Hipertensi: Sistolik/diastolik ≥ 140/90mmHg.
b) Proteinuria: ≥300mg/24 jam atau ≥1+ dipstik.
c) Edema: Edema lokal tidak dimasukkan dalam kriteria preeklampsia, kecuali
edema pada lengan, muka dan perut, edema generalisata.
(prawirohardjo, 2009)

2) Preeklampsia Berat
Diagnosa preeklampsia berat ditegakkan dengan kriteria:
a) Tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥110 mmHg.
Tekanan darah tidak menurun meskipun sudah dirawat dirumah sakit dan
sudah menjalani tirah baring.
b) Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif.
c) Oliguria, yaitu produksi urin kurang dari 500 cc/24 jam.
d) Kenaikan kadar kreatinin plasma.
e) Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma
dan pandangan kabur.

Universitas Sumatera Utara


22

f) Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat
tegangnya kapsula Glisson).
g) Edema paru-paru dan sianosis.
h) Hemolisis mikroangiopatik.
i) Trombositopenia berat: < 100.000 sel/ atau penurunan trombosit dengan
cepat.
j) Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoselular): peningkatan kadar alanin
dan aspartat aminotransferase
k) Pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat.
l) Sindrom HELLP.
(Prawirohardjo, 2009)

2.2.5. Komplikasi Preeklampsia


Komplikasi pada preeklampsia dapat dibagi berdasarkan dampaknya
terhadap maternal dan fetal (Impey, 2008).
Maternal
a) Eklampsia
Eklampsia adalah kejang grand mal akibat spasme serebrovaskular.
Kematian disebabkan oleh hipoksia dan komplikasi dari penyakit berat yang
menyertai.
b) Perdarahan serebrovaskular
Perdarahan serebrovaskular terjadi karena kegagalan autoregulasi aliran
darah otak pada MAP (Mean Arterial Pressure) diatas 140 mmHg.
c) Masalah liver dan koagulasi:
HELLP Syndrome (hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low Platelets
Count). Preeklampsia-eklampsia disertai timbulnya hemolisis, peningkatan
enzim hepar, disfungsi hepar dan trombositopenia.
d) Gagal ginjal
Diperlukan hemodialisis pada kasus yang berat.
e) Edema Paru
f) Kematian maternal

Universitas Sumatera Utara


23

Munculnya satu atau lebih dari komplikasi tersebut dan muncul secara
bersamaan, merupakan indikasi untuk terminasi kehamilan berapapun umur
gestasi.

Fetal
Kematian perinatal dan morbiditas fetus meningkat. Pada usia kehamilan
36 minggu, masalah utama adalah IUGR. IUGR terjadi karena plasenta iskemi
yang terdiri dari area infark. Kelahiran prematur juga sering terjadi At-term,
preeklampsia mempengaruhi berat lahir bayi dengan penigkatan risiko kematian
dan morbiditas bayi. Pada semua umur gestasi terjadi peningkatan risiko abrupsi
plasenta.

2.2.6. Pencegahan Preeklampsia


1) Diet dan olahraga
Sudah berpuluh-puluh tahun wanita disarankan untuk membuat perubahan
dalam diet dan gaya hidupnya untuk menjauhkan mereka dari risiko preeklampsia.
Tetapi itu dianggap kurang efektif. Berbagai macam intervensi sudah di evaluasi
pada randomized trial, termasuk aerobic, suplementasi protein, peningkatan
ataupun penurunan konsumsi garam, suplementasi magnesium dan suplementasi
zat besi. Pada penelitian tersebut menunjukkan bahwa hasil yang ditunjukkan
tidak begitu berpengaruh terhadap pencegahan preeklampsia.
Dari hasil penelitian lainnya, menunjukkan bahwa suplementasi prekursor
prostaglandin seperti minyak ikan dan suplementasi kalsium memiliki pengaruh
yang lebih baik. Pada minyak ikan terkandung rantai asam lemak yang memiliki
efek antiplatelet dan anti trombotik.
Hipotesis yang menyatakan bahwa diet calcium berhubungan dengan
risiko preeklampsia, saat ini masih dalam penelitian. Pada penelitian observational
ini, 6894 wanita masing masing diberikan 1 gram kalsium per hari, secara
keseluruhan mengurangi risiko preeklampsia sebanyak 30 %. Risiko preeklampsia
bagi wanita yang mengkonsumsi kalsium dalam jumlah yang rendah, masih dalam
penelitian.

Universitas Sumatera Utara


24

2) Aspirin dan agen antiplatelet lainnya


Preeklampsia berhubungan dengan defisiensi produksi prostasiklin yang
merupakan vasodilator dan terjadinya produksi berlebihan dari thromboxan yang
merupakan derivat platelet vasokonstriktor dan sebagai stimulus dari agregasi
platelet. Maka hipotesa mengarah ke kemungkinan agen antiplatelet dan aspirin
dosis rendah, efektif untuk pencegahan preeklampsia. Pada beberapa penelitian
menunjukkan bahwa aspirin dosis rendah dan agen antiplatelet dapat membantu
dalam pencegahan preeklampsia dan beberapa komplikasi.
3) Vitamin Antioxidan
Sebuah penelitian kecil mengevaluasi bahwa dosis tinggi vitamin C dan E
sebagai antioksidan untuk pencegahan preeklampsia menunjukkan hasil yang
menjanjikan tetapi membutuhkan konfirmasi dari penelitian yang lebih besar
(Duley, 2003).
Pada penelitian lain menyatakan suplementasi vitamin C dengan dosis
1000 mg/hari dan vitamin E dengan dosis 400 IU/hari tidak menurunkan risiko
hipertensi kehamilan dan preeklampsia pada wanita hamil (Roberts et al, 2010).
Etiologi preeklampsia merupakan multifaktor, maka intervensi pada satu
sisi saja tidak efektif untuk mencegah preeklampsia. Tindakan preventif yang baik
hanya dapat dilakukan bila etiologi preeklampsia sudah diketahui (Tanjung,
2004).

2.2.7. Penatalaksanaan
Menurut Institute of Obstetricians and Gynaecologist Royal College of
physicians of Ireland, penatalaksanaan preeklampsia berupa:
1) Preeklampsia ringan
Terjadi pada 15-25% wanita dengan hipertensi kronis yang berujung pada
preeklampsia. Rata-rata terjadi pada minggu ke 32 kehamilan. Maka daripada itu
penatalaksanaan hipertensi kehamilan seharusnya terfokus pada monitoring ibu
dan janin apakah sudah berkembang menjadi preeklampsia, hipertensi berat
ataupun ancaman pada janin. Minimal analisa urin dan pemeriksaan tekanan darah
dilakukan setiap minggu.

Universitas Sumatera Utara


25

a. Tempat Perawatan
Komponen dalam perawatan meliputi unit rumah sakit dan dokter umum
dapat digunakan dalam penanganan preeklampsia ringan dan hipertensi kehamilan
tanpa proteinuria. Kelayakannya tergantung pada jarak rumah sakit, pemenuhan
kebutuhan pasien dan progres preeklampsia yang lambat.

b. Evaluasi Awal
Konfirmasi peningkatan tekanan darah yang dilakukan berulang-ulang dan
pemeriksaan ekskresi protein urin merupakan bagian dari evaluasi awal.
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan jika ada peningkatan tekanan darah
yang berkelanjutan antara 90-99 mmHg dan seharusnya dilakukan monitor: tes
fungsi renal termasuk asam urat, elektrolit serum, tes fungsi hati dan hitung darah
lengkap.
Pemeriksaan fetus dengan USG untuk mengevaluasi berat janin, progres
dari pertumbuhan janin, indeks cairan amnion dan umbilical artery Doppler
velocimetry harus dilakukan pada saaat diagnosis setiap 4 minggu.

c. Penatalaksanaan Hipertensi Kehamilan Tanpa Proteinuria dan Preeklampsia


Ringan.
Terapi medis hipertensi ringan belum menunjukkan peningkatan hasil
pada neonatus dan mungkin bisa menutupi diagnosis dalam perubahan yang
mengarah pada hipertensi berat. Penatalaksanaan seharusnya dapat mencegah
terjadinya hipertensi sedang maupun berat. Dengan target menurunkan atau
memperkecil komplikasi seperti gangguan pada serebrovaskular.
Untuk wanita tanpa masalah kesehatan yang mendasar, obat anti hipertensi
perlu digunakan untuk menjaga tekanan sistolik pada 130-155 mmHg dan tekanan
diastolik 80-105 mmHg. Untuk wanita yang sudah memiliki masalah kesehatan
yang mendasar, seperti penyakit ginjal dan diabetes, perlu menjaga tekanan
darahnya pada tekanan darah sistolik 130-139 mmHg dan tekanan diastol 80-89
mmhg.

Universitas Sumatera Utara


26

Labetalol adalah campuran antara alfa dan beta adrenergik antagonis yang
dapat menurunkan tekanan darah ibu tanpa adanya efek pada janin. Dosis inisial
diberikan dengan 100 mg, dua sampai tiga kali perhari. Dosis ini dapat diberikan
sampai dosis maksimum yaitu 600 mg, 4 kali sehari. Perlu diperhatikan bahwa
labetalol ini kontra indikasi pada wanita dengan riwayat asthma.
Metildopa adalah obat antihipertensi yang bekerja secara sentral sehingga
tidak memeiliki efek samping pada sirkulasi uteroplasenta. Metildopa diberikan
dengan dosis mulai dari 250 mg, tiga kali sehari sampai dengan 1g , tiga kali
sehari. Metildopa tidak sesuai untuk kondisi yang membutuhkan kontrol
hipertensi secara tepat, karena untuk mencapai efek terapinya metildopa
membutuhkan waktu 24 jam. Semakin tinggi dosis metildopa yang digunakan,
maka akan meningkatkan efek samping seperti depresi dan sedasi.
Nifedipin adalah calcium channel antagonist . obat ini merupakan
antihpertensi yang potensial dan sebaiknya tidak diberikan secara sublingual
karena dapat menyebabkan penurunan tekanan darah secara cepat dan kemudian
dapat membahayakan janin. Berbeda dengan Nifedipine yang bekerja secara long
acting (Adalat LA) tidak menyebabkan terjadinya efek samping pada sirkulasi
uteroplasenta. Untuk kontrol hipertensi, nifedipin diberikan mulai dari dosis 30
mg/hari sampai dengan 120 mg/hari.
Jika dosis inisial dari obat-obat tersebut gagal untuk mengkontrol tekanan
darah secara adekuat, dosis tersebut perlu ditingkatkan secara bertahap sampai
pada dosis maksimum. Jika kontrol tekanan darah yang adekuat belum tercapai,
mungkin diperlukan obat antihipertensi lainnya.

Universitas Sumatera Utara


27

Tabel 2 Monitor Hipertensi Gestasional dan Preeklampsia (NHBPEP, 2000)

TABLE 2. FETAL MONITORING IN GESTATIONAL AND PREEKLAMPSIA


Gestational Hypertension
(hypertension only without proteinuria, with normal laboratory test results, and without
symptomps)
 Estimation of fetal growth and amniotic fluid status should be performed
at diagnosis. If results are normal, repeat testing only if there is significant change
in maternal condition.
 Nonstress test (NST) should be perfomed at diagnosis. If NST is
nonreactive, perform biophysical profile (BPP). If BPP value is eight or if NST is
reactive, repeat testing only if there is significant change in maternal condition.
Mild Preeclampsia
(mild hypertension, normal platelet count, normal liver enzyme values, and no maternal
symptoms)
 Estimation of fetal growth and amniotiv fluid status should be perfomed
at diagnosis. If results are normal, repeat testing every 3 weeks.
 NST, BPP or both should be perfomed at diagnosis. If NSt is reactive or
it BPP value is eight, repeat weekly. Testing should be repeated immediately if
there is abrupt change in maternal condition.
 If estimated fetal weight by ultrasound is <10th percentile for gestasional
age or if there is olygohydramnios (amniotic fluid ≤ 5 cm). Then testing should
be perfomed at least twice weekly.

a) Partus
Penatalaksanaan yang terahir dari preeklampsia adalah melahirkan
bayinya. Setelah 37 minggu kehamilan berjalan pertimbangan persalinan perlu
diberikan. Penilaian secara klinis termasuk gejala-gejala pada ibu hamil tersebut,
derajat keparahan preeklampsia, keadaan janin dan kondisi serviks yang
mendukung. Jika terjadi kondisi ketika sudah pada usia kehamilan 37 minggu,
preeklampsia ringan, tetapi kondisi serviks tidak mendukung, maka induksi untuk
persalinan ditunda, khususnya pada wanita yang sebelumnya pernah seksio

Universitas Sumatera Utara


28

cesareae. Penyebab tertentu juga terjadi pada ibu hamil yang obesitas. Pada
beberapa kegawat daruratan klinis perlu dilakukan persiapan seksio cesareae.
Evidence yang berasal dari HYPITAT Trial (koopmans et al. 2009)
menunjukkan bahwa pada wanita dengan hipertensi kehamilan dan preeklampsia
ringan, induksi partus setelah kehamilan 37 minggu dihubungkan dengan
penurunan kegawat daruratan maternal dan tanpa perubahan kondisi janin ataupun
tanpa indikasi seksio cesarea, maka induksi persalinan bisa dilakukan dalam
situasi ini.

Tabel 3 Indikasi Partus pada Preeklampsia(NHBPEP, 2000)

MATERNAL FETAL
 Gestasional age ≥38  Severe fetal growth
weeks restriction
 Platelet count <100.000  Nonreassuring fetal testing
cells /mm3 results
 Progressive deterioration  Oligohydramnions
in hepatic function
 Progressive deeroration in
renal function
 Suspected abruptio
placentae
 Persistent severe
headaches or visual changes
 Persistent severe
epigastric pain, nausea or
vomiting
PREECLAMPSI

Universitas Sumatera Utara


29

2) Penatalaksanaan preeklampsia berat


a) Pilihan pertama: Labetalol
Jika pasien dapat metoleransi terapi, dapat diberikan dosis inisial
sebesar 200 mg secara oral. Biasanya dengan pemberian tersebut dapat
memberikan hasil penurunan tekanan darah dalam waktu setengah jam. Dosis
berikutnya dapat diberikan 30 menit setelahnya jika diperlukan.
Jika tidak ada respon dengan pemberian secara oral, maka kontrol
dapat dilakukan dengan bolus labetalol 50 mg secara berulang dan
selanjutnya dengan infus labetalol.
Infus bolus 50 mg diberikan minimal dalam 5 menit, maka efeknya
akan muncul pada 10 menit berikutnya. Dapat diulang lagi jika tekanan
darah tidak turun dari 160/105. Dosis dapat diberikan mulai dari 50 mg
sampai dosis maksimum 200 mg dengan interval 10 menit.
Jika setelah pemberian labetalol secara intravena tidak menurunkan
tekanan darah dibawah 160/105 mmHg dalam satu sampai satu setengah
jam, maka perlu diberikan obat antihipertensi pilihan ke dua.

b) Pilihan kedua
Hydralazine
Hydralazine dapat diberikan dengan bolus 2,5 mg. Dapat diulang setiap 20
menit sampai dosis maksimum 20 mg. Dapat diikuti dengan infus hydralazin 40
mg dalam 40 ml normal saline dengan 1-5 ml/jam.

Nifedipine
Nifedipine sebaiknya tidak diberikan secara sublingual untuk wanita
hipertensi. Bisa terjadi hipotensi bersamaan dengan pemberian nifedipine dan
magnesium sulfat, maka daripada itu nifedipine diresepkan pada wanita dengan
hipertensi berat.
Nifedipine oral dapat diberikan dengan 3 preparat: kapsul, modifikasi
dengan 2 kali dosis regular dalam 12 jam dan modifikasi dengan tablet dosis
regular dalam 24 jam.

Universitas Sumatera Utara


30

Magnesium Sulfat
Magnesium sulfat diberikan untuk penanganan kasus preeklampsia berat
sebagai pencegahan eklampsia.
Magnesium Sulfat diberikan dengan dosis awal lalu diikuti dengan
pemberian secara infus selama 24 jam atau sampai 24 jam setelah partus. Dosis
awal magnesium sulfat yaitu 4 gram secara intravena selama 5-10 menit. Dosis
kontrol yaitu 1 gram magnesium sulfat intravena per jam.
Untuk menghindari kesalahan dalam peresepan, maka magnesium sulfat
sebaiknya diberikan dalam pre-mixed solution. Pre-mixed magnesium sulfat
tersedia dengan 2 preparat:
Magnesium Sulfat 4g dalam 50 ml. Sebaiknya diberikan secara intravena
dalam 10 menit sebagai dosis bolus.
Magnesium Sulfat 20g dalam 500ml. Sebaiknya diberikan melalui
volumetric pump dengan 25 ml/jam (1 gram/jam magnesium sulfat).
Efek samping pemberian magnesium sulfat dapat berupa paralisis motorik,
hilangnya refleks tendon, depresi pernapasan, aritmia pada jantung. Untuk
menghindari efek samping tersebut, maka perlu dilakukan monitoring dalam 4
jam berupa EKG, urin output, refleks tendon diperiksa setiap 4 jam. Pemberian
magnesium sulfat harus dikurangi jika sudah tidak ada refleks tendon dan
frekuensi pernapasan dibawah 12 kali per menit. Jika terjadi oliguria dan
gangguan pada konduksi jantung, maka hentikan pemberian magnesium sulfat dan
berikan kembali setelah urine output membaik (IOG Ireland, 2011).
Setelah pemberian terapi medikamentosa, maka dapat ditentukan rencana
sikap terhadap kehamilannya, yang tergantung pada umur kehamilan yaitu:
Ekspektatif: Bila umur kehamilan <37 minggu, kehamilan dipertahankan selama
mungkin sambil memberikan terapi medikamentosa.
Aktif: Bila umur kehamilan ≥37 minggu, artinya kehamilan diakhiri setelah
mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi ibu.

Universitas Sumatera Utara


31

Tabel 3 Penatalaksanaan Preeklampsia (WHO, 2006)

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai