BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak
memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis
relatif mengalami vasokonstriksi, dan terjadi kegagalan “remodeling arteri
spiralis”, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun, dan terjadilah hipoksia
dan iskemia plasenta. Dampaknya akan menimbulkan perubahan pada hipertensi
dalam kehamilan (prawirohardjo, 2009).
Adanya disfungsi endotel ditandai dengan meningginya kadar fibronektin,
faktor Von Willebrand, t-PA dan PAI-1 yang merupakan marker dari sel-sel
endotel.
Patogenesis plasenta yang terjadi pada preeklampsia dapat dijumpai
sebagai berikut:
a. Terjadi plasentasi yang tidak sempurna sehingga plasenta tertanam dangkal
dan arteri spiralis tidak semua mengalami dilatasi.
b. Aliran darah ke plasenta kurang, terjadi infark plasenta yang luas.
c. Plasenta mengalami hipoksia sehingga pertumbuhan janin terhambat.
d. Deposisi fibrin pada pembuluh darah plasenta, menyebabkan penyempitan
pembuluh darah.
(Tanjung, 2004)
7. Teori Genetik
Telah terbukti bahwa pada ibu yang mengalami pereeklampsia, maka
26% anak perempuannya akan mengalami preeklampsia pula, sedangkan hanya
8% anak menantu mengalami preeklampsia (Prawirohardjo, 2009).
2. Maladaptasi Imun
Maladaptasi imun menyebabkan dangkalnya invasi arteri spiralis oleh sel-
sel sitotrofoblas endovaskuler dan disfungsi endotel yang diperantarai oleh
peningkatan pelepasan sitokin desidual, enzim proteolitik dan radikal bebas.
3. Genetik Imprinting
Timbulnya preeklampsia-eklampsia didasarkan pada gen resesif tunggal
atau gen dominan dengan penetrasi yang tidak sempurna. Penetrasi mungkin
tergantung genotif janin.
2.2. Preeklampsia
2.2.1. Faktor Risiko
Wanita yang memiliki risiko sedang terhadap terjadinya preeklampsia,
memiliki salah satu kriteria dibawah ini (NICEClinical Guideline,2010):
1) Primigravida
2) Umur ≥40 tahun
3) Interval kehamilan ≥ 10 tahun
4) BMI saat kunjungan pertama ≥35 kg/
5) Riwayat keluarga yang pernah mengalami preeklampsia
6) Kehamilan ganda
perdarahan, pada awalnya ditemukan pada kortkes serebri. Edema serebri bisa
juga ditemukan. Pada gambaran MRI juga dapat menunjukkan kelainan pada
lobus oksipital dan parietal pada distribusi dari arteri serebri mayor, seiring
dengan adanya lesi pada batang otak dan ganglia basalis. Perdarahan pada sub
arachnoid dapat ditemukan pada penderita preeklampsia berat (Miller, 2007).
Pada umumnya semua jaringan mempunyai autoregulation untuk
mengatur perfusi darah kejaringan termasuk otak. Bila tekanan darah melampaui
batas, autoregulasi tidak dapat bekerja maka jaringan akan mengalami perubahan,
endotel akan mengalami kebocoran sehingga plasma darah dan eritrosit akan
keluar dari pembuluh darah ke jaringan ekstravaskular dan akan terjadi
perdarahan bercak (ptechien) atau perdarahan intrakranial. Pada hipertensi kronis
terjadi hipertrofi pembuluh darah sehingga pada tekanan darah yang sama ada
hipertensi kronik bisa asimptomatis, atau hanya sakit kepala saja. Kerusakan otak
bisa dijumpai dengan sebab yang tidak diketahui yang disebut ensefalopati
hipertensif dengan kelainan berupa nekrosis fibroid, trombosis arteriol, mikro
infark, ptechien. Pada pembuluh darah terjadi vasokonstriksi yang menyebabkan
iskemia lokal, nekrosis arteriol, dan hilangnya barier antara otak dan darah.
Terjadinya edema dalam otak masih dalam kontroversi, ada yang menjumpai
adanya edema, tetapi Sheehan dan Lynch tidak menjumpai edema pada eklampsia
(Mabie dan Sibai dalam Tanjung, 2004).
2) Jantung
Preeklampsia ditandai dengan hilangnya keadaan normal dari volume
intravaskukar, penurunan dari kadar normal volume sirkulasi darah, dan
berkurangnya vasopressor pembuluh darah seperti angiotensin 2. Preeklampsia
juga ditandai dengan meningkatnya cardiac output dan rendahnya tahanan
vaskular sistemik (Miller, 2007).
Volume plasma pada Preeklampsia menurun dengan penyebab yang tidak
diketahui. Timbulnya hipertensi karena pelepasan vaskonstriktor yang dihasilkan
sebagai kompensasi terhadap hipoperfusi darah pada uterus. Oleh sebab itu tidak
dianjurkan pemberian diuretik.
Secara umum pada preeklampsia terjadi kenaikan cardiac output dengan
peningkatan tahanan perifer yang tidak sesuai. Wanita dengan kehamilan normal
resisten terhadap angiotensin II. Wanita-wanita yang mengalami preeklampsia
resistensi terhadap angiotensin II menurun beberapa minggu sebelum terjadi
hipertensi.
Terjadinya hipertensi pada Preeklampsia dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Terjadinya hipertensi disebabkan vasokonstriksi pembuluh darah yang
menyebabkan resistensi vaskuler perifer meningkat.
b) Vasokonstriksi terjadi karena hiper responsif dari pembuluh darah terhadap
vasokonstriktor terutama terhadap angiotensin II.
c) Terdapat ketidakseimbangan antara vasokonstriktor dan vasodilator dimana
vasokonstriktor meningkat seperti angiotensin II, endotelin, tromboksan dan
produksi vasodilator menurun seperti nitrous oksida, prostasiklin dan
endothelium-derived relaxing factor (EDRF).
d) Terjadi kerusakan/disfungsi endotel pembuluh darah sehingga produksi
vasokonstriktor seperti endotelin meningkat dan vasodilator seperti prostasiklin
dan EDRF menurun.
e) Endotel menghasilkan sitokin yang menurunkan aktivitas antioksidan.
(Tanjung, 2004)
3) Paru
Edema pulmonal bisa terjadi pada preeklampsia berat atau eklampsia, bisa
kardiogenik atau non kardiogenik dan biasanya timbul pada waktu post partum.
Edema pulmonum bisa terjadi karena pemberian cairan yang berlebihan, tekanan
onkotik yang menurun karena albuminemia, penggunaan kristaloid untuk
menggantikan transfusi darah dan sintesis albumin yang menurun dari hati.
Edema pulmonum sering terjadi pada hipertensi kronis dan penyakit jantung
hipertensif (Tanjung, 2007).
4) Hati
Pada preeklampsia terjadi perubahan mulai dari yang ringan (subkilinis)
berupa deposit fibrin pada sinusoid hepar sampai dengan ruptura hepatis,
sindroma HELLP dan infark hepatis. Rasa sakit didaerah hipokondrium
merupakan salah satu tanda adanya perdarahan dalam hepar atau perdarahan
subkapsuler.
Walker dan Dekker (1997) dalam Hypertension In Pregnancy mengatakan
kelainan yang sering terjadi pada hati adalah nekrosis periportal dan fokal
perenkim hati dan perdarahan. Deposisi fibrin-fibrinogen dalam sinusoid hati
dapat terjadi. Pada preeklampsia berat deposit fibrin dapat menyebabkan obstruksi
aliran darah dalam sinusoid yang dapat menyebabkan peregangan terhadap kapsul
hepar sehingga terjadi nyeri epigastrum.
Nekrosis hemoragik pada lobulus perifer hati merupakan lesi karakteristik
dari eklampsia. Trombosis yang luas pada pembuluh darah kecil sering terjadi
pada lobus kanan hati. Perdarahan berat dibawah kapsul hepar dapat
menyebabkan ruptura hati yang menyebabkan perdarahan intra abdominal
(Tanjung, 2004).
5) Ginjal
Kelainan khas preeklampsia pada ginjal adalah glomerulo-endotheliosis
yaitu pembengkakan sel endotel dari glomerulus sehingga perfusi darah dan
filtrasi glomerulus menurun. Pada ginjal juga dijumpai deposit fibrin pada
membrana basalis. Kelainan pada ginjal umumnya reversibel dan hilang lebih
kurang setelah 6 minggu post partum. Albright dan Sommers (1968) pada biopsi
ginjal menjumpai kelainan kapiler deposit fibrin dalam kapsula Bowman. Sel-sel
juxtaglomerulus mengalami hiperplasia, epitel loop of Henle mengalami
deskuamasi berat dan afferent arteriol menunjukkan vasospasme yang jelas, Lesi
pada tubulus juga sering terjadi dan terdapat cast (kristal) dalam urine. Terdapat
peningkatan aktivitas renin, angiotensin dan aldosteron yang dapat menjurus
kepada retensi sodium dan air. Nekrosis korteks jarang terjadi dan ini biasanya
fatal dan harus dilakukan dialisis ginjal.
Patogenesis dan patofisiologi yang terjadi pada ginjal dengan
preeklampsia adalah sebagai berikut:
a) Pada ginjal terjadi kelainan glomerulus dimana sel endotel mengalami
hipertrofi dan pembengkakan yang disebut glomeruloendoteliosis
b) Filtrasi glomerular dan aliran darah ke ginjal menurun.
c) Klirens asam urat menurun sehingga kadar asam urat didalam darah
meningkat.
d) Kerusakan endotel glomerulus menyebabkan albumin bocor melalui
glomerulus dan keluar melalui urine (proteinuria) dan albumin juga keluar
dari pembuluh darah (ekstravasasi) ke ruang interstisial sehingga terjadi
hipoalbuminemia sehingga tekanan onkotik menurun dan terjadi hipovolemia
dan hemokonsentrasi.
e) Pada kehamilan normal terjadi hipercalciuria, pada preeklampsia
sebaliknya menjadi hipocalciuria.
f) Natrium juga bisa terganggu sehingga terjadi retensi dan edema. Kelainan
ini tidak semua sama beratnya.
(Tanjung, 2004)
6) Mata
Vasospasme retina, edema retina, retinal detachment dan kebutaan kortikal
dapat terjadi pada preeklampsia.
(Miller, 2007)
2) Proteinuria
Pada wanita tidak hamil dijumpai protein dalam urin sekitar 18 mg/24 jam.
Disebut proteinuria positif/patologis bila jumlah protein dalam urin melebihi 300
mg/24 jam. Proteinuria dapat dideteksi dengan cara dipstick reagents test, tetapi
dapat memberikan 26% false positif karena adanya sel-sel pus. Untuk
menghindari hal tersebut, maka diagnosis proteinuria dilakukan pada urin tengah
(midstream) atau urine 24 jam.
Deteksi proteinuria penting dalam diagnosis dan penanganan hipertensi
dalam kehamilan. Proteinuria merupakan gejala yang terahir timbul. Eklampsia
bisa terjadi tanpa proteinuria. Proteinuria pada preeklampsia merupakan indikator
adanya bahaya pada janin. Berat badan lahir rendah dan kematian perinatal
meningkat pada preeklampsia dengan proteinuria.
Diagnosis preeklampsia ditegakkan bila ada hipertensi dengan proteinuria.
Adanya kelainan cerebral neonatus dan retardasi intra uterin. Proteinuria juga ada
hubungannya dengan meningkatnya risiko kematian janin dalam kandungan.
Risiko terhadap ibu juga meningkat jika dijumpai proteinuria.
3) Edema
Edema bukan merupakan syarat untuk diagnosa preeklampsia karena
edema dijumpai 60-80% pada kehamilan normal. Edema juga tidak
meningkatkan risiko hipertensi dalam kehamilan.
Edema yang dijumpai pada tangan dan muka selain pagi hari
merupakan tanda patologis. Kenaikan berat badan melebihi 1 kg per minggu
atau kenaikan berat badan yang tiba-tiba dalam 1 atau 2 hari harus dicurigai
kemungkinan adanya preeklampsia.
4) Oliguria
Urin normal pada wanita hamil adalah 600-2000 ml dalam 24 jam.
Oliguria dan anuria meurpakan tanda yang sangat penting pada preeklampsia dan
merupakan indikasi untuk terjadi terminasi sesegera mungkin. Walaupun
demikian, oliguria atau anuria dapat terjadi karena sebab prerenal, renal dan post
renal. Pada preeklampsia, hipovolemia tanpa vasokonstriksi yang berat, intrarenal
dapat menyebabkan oliguria. Kegagalan ginjal akut merupakan komplikasi yang
jarang pada preeklamspia, biasanya disebabkan nekrosis tubular, jarang karena
nekrosis kortikal.
Pada umumnya kegagalan ginjal akut ditandai dengan jumlah urin
dibawah 600 ml/24 jam dan 50% dari kasus tersebut terjadi sebagai komplikasi
koagulasi intravaskular yang luas disebaban solusio plasenta.
5) Kejang
Kejang tanpa penyebab lain merupakan diagnosis eklampsia, kejang
merupakan salah satu tanda dari gejala dan tanda gangguan serebral pada
preeklampsia. Tanda-tanda serebral yang lain pada preeklampsia antara lain, sakit
kepala, pusing, tinnitus, hiperrefleksia, gangguan visus, gangguan mental,
parestesia dan klonus. Gejala yang paling sering mendahului kejang adalah sakit
kepala, gangguan visus dan nyeri perut atas.
6) Asam Urat
Korelasi meningkatnya asam urat dengan gejala-gejala kilinis dari
toksemia gravidarum mula-mula didapatkan oleh williams. Kadar asam urat juga
mempunyai korelasi dengan beratnya kelainan pada biopsi ginjal. Kelainan
patologis pembuluh darah uteroplasenta dan berkorelasi dengan luaran janin pada
preeklampsia. Hiperuricemia menyebabkan kematian perinatal.
7) Gangguan Visus
Gangguan visus pada preeklampsia berat dapat merupakan flashing.
Cahaya berbagai warna, skotoma, dan kebutaan sementara. Penyebabnya adalah
spasme arteriol, iskemia dan edema retina. Tanpa tindakan operasi penglihatan
akan kembali normal dalam 1 minggu.
(Tanjung, 2004)
2) Preeklampsia Berat
Diagnosa preeklampsia berat ditegakkan dengan kriteria:
a) Tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥110 mmHg.
Tekanan darah tidak menurun meskipun sudah dirawat dirumah sakit dan
sudah menjalani tirah baring.
b) Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif.
c) Oliguria, yaitu produksi urin kurang dari 500 cc/24 jam.
d) Kenaikan kadar kreatinin plasma.
e) Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma
dan pandangan kabur.
f) Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat
tegangnya kapsula Glisson).
g) Edema paru-paru dan sianosis.
h) Hemolisis mikroangiopatik.
i) Trombositopenia berat: < 100.000 sel/ atau penurunan trombosit dengan
cepat.
j) Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoselular): peningkatan kadar alanin
dan aspartat aminotransferase
k) Pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat.
l) Sindrom HELLP.
(Prawirohardjo, 2009)
Munculnya satu atau lebih dari komplikasi tersebut dan muncul secara
bersamaan, merupakan indikasi untuk terminasi kehamilan berapapun umur
gestasi.
Fetal
Kematian perinatal dan morbiditas fetus meningkat. Pada usia kehamilan
36 minggu, masalah utama adalah IUGR. IUGR terjadi karena plasenta iskemi
yang terdiri dari area infark. Kelahiran prematur juga sering terjadi At-term,
preeklampsia mempengaruhi berat lahir bayi dengan penigkatan risiko kematian
dan morbiditas bayi. Pada semua umur gestasi terjadi peningkatan risiko abrupsi
plasenta.
2.2.7. Penatalaksanaan
Menurut Institute of Obstetricians and Gynaecologist Royal College of
physicians of Ireland, penatalaksanaan preeklampsia berupa:
1) Preeklampsia ringan
Terjadi pada 15-25% wanita dengan hipertensi kronis yang berujung pada
preeklampsia. Rata-rata terjadi pada minggu ke 32 kehamilan. Maka daripada itu
penatalaksanaan hipertensi kehamilan seharusnya terfokus pada monitoring ibu
dan janin apakah sudah berkembang menjadi preeklampsia, hipertensi berat
ataupun ancaman pada janin. Minimal analisa urin dan pemeriksaan tekanan darah
dilakukan setiap minggu.
a. Tempat Perawatan
Komponen dalam perawatan meliputi unit rumah sakit dan dokter umum
dapat digunakan dalam penanganan preeklampsia ringan dan hipertensi kehamilan
tanpa proteinuria. Kelayakannya tergantung pada jarak rumah sakit, pemenuhan
kebutuhan pasien dan progres preeklampsia yang lambat.
b. Evaluasi Awal
Konfirmasi peningkatan tekanan darah yang dilakukan berulang-ulang dan
pemeriksaan ekskresi protein urin merupakan bagian dari evaluasi awal.
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan jika ada peningkatan tekanan darah
yang berkelanjutan antara 90-99 mmHg dan seharusnya dilakukan monitor: tes
fungsi renal termasuk asam urat, elektrolit serum, tes fungsi hati dan hitung darah
lengkap.
Pemeriksaan fetus dengan USG untuk mengevaluasi berat janin, progres
dari pertumbuhan janin, indeks cairan amnion dan umbilical artery Doppler
velocimetry harus dilakukan pada saaat diagnosis setiap 4 minggu.
Labetalol adalah campuran antara alfa dan beta adrenergik antagonis yang
dapat menurunkan tekanan darah ibu tanpa adanya efek pada janin. Dosis inisial
diberikan dengan 100 mg, dua sampai tiga kali perhari. Dosis ini dapat diberikan
sampai dosis maksimum yaitu 600 mg, 4 kali sehari. Perlu diperhatikan bahwa
labetalol ini kontra indikasi pada wanita dengan riwayat asthma.
Metildopa adalah obat antihipertensi yang bekerja secara sentral sehingga
tidak memeiliki efek samping pada sirkulasi uteroplasenta. Metildopa diberikan
dengan dosis mulai dari 250 mg, tiga kali sehari sampai dengan 1g , tiga kali
sehari. Metildopa tidak sesuai untuk kondisi yang membutuhkan kontrol
hipertensi secara tepat, karena untuk mencapai efek terapinya metildopa
membutuhkan waktu 24 jam. Semakin tinggi dosis metildopa yang digunakan,
maka akan meningkatkan efek samping seperti depresi dan sedasi.
Nifedipin adalah calcium channel antagonist . obat ini merupakan
antihpertensi yang potensial dan sebaiknya tidak diberikan secara sublingual
karena dapat menyebabkan penurunan tekanan darah secara cepat dan kemudian
dapat membahayakan janin. Berbeda dengan Nifedipine yang bekerja secara long
acting (Adalat LA) tidak menyebabkan terjadinya efek samping pada sirkulasi
uteroplasenta. Untuk kontrol hipertensi, nifedipin diberikan mulai dari dosis 30
mg/hari sampai dengan 120 mg/hari.
Jika dosis inisial dari obat-obat tersebut gagal untuk mengkontrol tekanan
darah secara adekuat, dosis tersebut perlu ditingkatkan secara bertahap sampai
pada dosis maksimum. Jika kontrol tekanan darah yang adekuat belum tercapai,
mungkin diperlukan obat antihipertensi lainnya.
a) Partus
Penatalaksanaan yang terahir dari preeklampsia adalah melahirkan
bayinya. Setelah 37 minggu kehamilan berjalan pertimbangan persalinan perlu
diberikan. Penilaian secara klinis termasuk gejala-gejala pada ibu hamil tersebut,
derajat keparahan preeklampsia, keadaan janin dan kondisi serviks yang
mendukung. Jika terjadi kondisi ketika sudah pada usia kehamilan 37 minggu,
preeklampsia ringan, tetapi kondisi serviks tidak mendukung, maka induksi untuk
persalinan ditunda, khususnya pada wanita yang sebelumnya pernah seksio
cesareae. Penyebab tertentu juga terjadi pada ibu hamil yang obesitas. Pada
beberapa kegawat daruratan klinis perlu dilakukan persiapan seksio cesareae.
Evidence yang berasal dari HYPITAT Trial (koopmans et al. 2009)
menunjukkan bahwa pada wanita dengan hipertensi kehamilan dan preeklampsia
ringan, induksi partus setelah kehamilan 37 minggu dihubungkan dengan
penurunan kegawat daruratan maternal dan tanpa perubahan kondisi janin ataupun
tanpa indikasi seksio cesarea, maka induksi persalinan bisa dilakukan dalam
situasi ini.
MATERNAL FETAL
Gestasional age ≥38 Severe fetal growth
weeks restriction
Platelet count <100.000 Nonreassuring fetal testing
cells /mm3 results
Progressive deterioration Oligohydramnions
in hepatic function
Progressive deeroration in
renal function
Suspected abruptio
placentae
Persistent severe
headaches or visual changes
Persistent severe
epigastric pain, nausea or
vomiting
PREECLAMPSI
b) Pilihan kedua
Hydralazine
Hydralazine dapat diberikan dengan bolus 2,5 mg. Dapat diulang setiap 20
menit sampai dosis maksimum 20 mg. Dapat diikuti dengan infus hydralazin 40
mg dalam 40 ml normal saline dengan 1-5 ml/jam.
Nifedipine
Nifedipine sebaiknya tidak diberikan secara sublingual untuk wanita
hipertensi. Bisa terjadi hipotensi bersamaan dengan pemberian nifedipine dan
magnesium sulfat, maka daripada itu nifedipine diresepkan pada wanita dengan
hipertensi berat.
Nifedipine oral dapat diberikan dengan 3 preparat: kapsul, modifikasi
dengan 2 kali dosis regular dalam 12 jam dan modifikasi dengan tablet dosis
regular dalam 24 jam.
Magnesium Sulfat
Magnesium sulfat diberikan untuk penanganan kasus preeklampsia berat
sebagai pencegahan eklampsia.
Magnesium Sulfat diberikan dengan dosis awal lalu diikuti dengan
pemberian secara infus selama 24 jam atau sampai 24 jam setelah partus. Dosis
awal magnesium sulfat yaitu 4 gram secara intravena selama 5-10 menit. Dosis
kontrol yaitu 1 gram magnesium sulfat intravena per jam.
Untuk menghindari kesalahan dalam peresepan, maka magnesium sulfat
sebaiknya diberikan dalam pre-mixed solution. Pre-mixed magnesium sulfat
tersedia dengan 2 preparat:
Magnesium Sulfat 4g dalam 50 ml. Sebaiknya diberikan secara intravena
dalam 10 menit sebagai dosis bolus.
Magnesium Sulfat 20g dalam 500ml. Sebaiknya diberikan melalui
volumetric pump dengan 25 ml/jam (1 gram/jam magnesium sulfat).
Efek samping pemberian magnesium sulfat dapat berupa paralisis motorik,
hilangnya refleks tendon, depresi pernapasan, aritmia pada jantung. Untuk
menghindari efek samping tersebut, maka perlu dilakukan monitoring dalam 4
jam berupa EKG, urin output, refleks tendon diperiksa setiap 4 jam. Pemberian
magnesium sulfat harus dikurangi jika sudah tidak ada refleks tendon dan
frekuensi pernapasan dibawah 12 kali per menit. Jika terjadi oliguria dan
gangguan pada konduksi jantung, maka hentikan pemberian magnesium sulfat dan
berikan kembali setelah urine output membaik (IOG Ireland, 2011).
Setelah pemberian terapi medikamentosa, maka dapat ditentukan rencana
sikap terhadap kehamilannya, yang tergantung pada umur kehamilan yaitu:
Ekspektatif: Bila umur kehamilan <37 minggu, kehamilan dipertahankan selama
mungkin sambil memberikan terapi medikamentosa.
Aktif: Bila umur kehamilan ≥37 minggu, artinya kehamilan diakhiri setelah
mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi ibu.