Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH FIQH

Thaharah dan Sholat


Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh
Dosen pengampu : H. Mugni Al-Hakim, M.Sos

Disusun oleh:
Kelompok 1

Muhammad Khalis Irfan : 2041912031


Muhammad Fadhlullah Bilal : 2041912007

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SAMARINDA
2020

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat-
Nyalah makalah kami yang berjudul “Thaharah dan Sholat" dapat
terselesaikan tepat pada waktunya dan diberi kemudahan dalam
pengerjaannya.
Adapun maksud dan tujuan dari penulisan karya tulis ini, yaitu untuk
memenuhi upaya penulis dalam mengembangkan dan meningkatkan ilmu
pengetahuan tentang materi yang sedang penulis pelajari. Dan makalah ini
disusun sebagai tugas mata kuliah Fiqh.
Penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan
dan perlu pendalaman dan pembelajaran lebih lanjut. Oleh karena itu, Penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat konstruktif demi
kesempurnaan makalah ini.

Samarinda, Oktober 2020

Disusun Oleh :

Penulis 1, Penulis 2,

Muhammad Khalis Irfan Muhammad Fadhlullah Bilal


NIM 2041912031 NIM 2041912007

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.........................................................................................................i
KATA PENGANTAR......................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................2
C. Tujuan Pembahasan...............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................3
1.1 Thaharah...............................................................................................................3
A. Pengertian..............................................................................................................3
B. Alat untuk thaharah...............................................................................................4
C. Najis......................................................................................................................5
D. Hadast...................................................................................................................7
E. Jenis Thaharah.......................................................................................................8
1.2 Sholat.....................................................................................................................9
A. Pengertian..............................................................................................................9
B. Tata Cara Sholat..................................................................................................10
C. Waktu dan Bacaan Niat Shalat Fardhu................................................................11
BAB III PENUTUP........................................................................................................13
Kesimpulan.................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................14

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ketika kita membuka kitab fiqih apapun itu, mulai dari kitab Taqrib
karya Abu Suja’, sampai kitab fiqih yang berjilid-jilid seperti Fathu al-
Wahhab dan kitab-kitab yang serupa dengannya, maka bab pertama yang
dibahas adalah bab thaharah.

Kitab hadits pun sama. Seperti kitab Bulugh al-Marom. Kitab hadits ini,
pembahasan pertama juga thaharah. Sedikit beda dengan kitab tasawuf, yang
menjadikan thaharah sebagai bab kedua setelah pembahasan bab iman.
Sebagaimana susunan kitab Ihya’ Ulum ad-Din karya Imam Gazali. Timbul
pertanyaan, kenapa bab thaharah dijadikan pembahasan utama? Bukankah
terdapat hadits yang berbunyi:

َّ ‫ب بِ ِه ا ْل َع ْب ُد يَ ْو َم ا ْلقِيَا َم ِة ال‬
ُ‫صالَة‬ َ ‫إِنَّ أَ َّو َل َما يُ َحا‬
ُ ‫س‬
Artinya: sesungguhnya awal perkara yang dihisah pada seorang hamba besok
pada hari Kiamat adalah shalat (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Baihaqi)

Shalat adalah ibadah yang pertama akan dihisab pada hari Kiamat
nanti. Lalu, kenapa tidak shalat yang dibahas pertama kali? Kenapa thaharah?
Terdapat hadits Nabi Muhammad Saw. yang berbunyi:

ُّ ‫صالَ ِة ال‬
‫ط ُهو ُر‬ ُ ‫ِم ْفت‬
َّ ‫َاح ال‬
Artinya: kunci shalat adalah suci (HR. Abu Dawud, Ahmad, Tirmidzi,
Baihaqi, dan ad-Daruquthni)

Dari hadits di atas, bisa dipahami bahwa shalat seseorang dianggap


sah adalah ketika memenuhi syarat. Syaratnya shalat diterima adalah dengan
menjalankan thaharah.1
1
Muhammad Abu Nadlir, Fiqih Thaharah: Pengertian, Dasar Hukum, dan Jenis, https://
https://baladena.id/fiqih-thaharah-pengertian-dasar-hukum-dan-jenis/, diakses pada 12 Oktober
2020
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari thaharah dan sholat?
2. Apa saja alat yang digunakan untuk melakukan thaharah?
3. Apa pengertian hadast dan najis dan cara mensucikannya?
4. Apa saja jenis thaharah?
5. Bagaimana tata cara melaksanakan sholat?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian dari thaharah dan sholat dan pentingnya
menjaga kebersihan dalam melaksanakan ibadah sholat.
2. Untuk mengetahui alat-alat yang bisa digunakan untuk bersuci.
3. Untuk mengetahui tata cara cara mensucikan diri dari hadast dan najis.
4. Untuk mengetahui jenis thaharah yang dilakukan untuk memenuhi syarat
sah sholat.
5. Untuk mengetahui tata cara melaksanakan sholat yang baik dan benar.

BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Thaharah
A. Pengertian
Dalam beberapa kitab fiqih, seperti kitab al-Fiqh al-Islmamy wa
adillatuhu karya Wahbah az-Zuhaily, bahwa thaharah secara bahasa berarti

2
bersuci, dan thaharah juga bermakna an-Nadhzafah, yaitu kebersihan.
maka, thaharah secara istilah bisa diartikan sebagai kegiatan bersuci dan
membersihkan.
Namun yang dimaksud di sini tentu bukan semata suci dan
kebersihan. Thaharah dalam istilah para ahli fiqih sebagaimana yang
terdapat dalam kitab Kifayah al-Akhyar karya Taqiyuddin Abu Bakr bin
Muhammad al-Husainy al-Hashini, kitab bermadzhab Syafi’i dan
Kasysyaf al-Qinna’ karya Manshur bin Yunus bin Idris al-Bahuty, kitab
bermadzhab Hanbali, adalah :

‫عبارة عن غسل أعضاء مخصوصة بصفة مخصوصة‬


Artinya: kegiatan mencuci anggota tubuh tertentu dengan cara tertentu.

‫رفع الحدث و إزالة النجس‬


Artinya: mengangkat hadats dan menghilangkan najis.

Dari dua pengertian di atas, bisa dipahami bahwa thaharah bentuk


kesucian dan kebersihan secara ritual yang berdasarkan ketentuan resmi
dari Allah Swt dan dibawa oleh Rasulullah Saw secara sah.

B. Alat untuk thaharah


1. Air
Air Terbagi menjadi tiga bagian :
1. Air yang suci lagi mensucikan bagi yang lainnya
2. Air yang suci tiada mensucikannya bagi lainnya
3. Air yang najis atau air yang bernajis

3
Air yang suci lagi mensucikan bagi lainnya, yaitu air yang sah
dipakai untuk berwudhu, mandi, dan membasuh najis. Air ini ada tujuh
macam :
a. Air Hujan
b. Air Laut
c. Air Sungai
d. Air Sumur
e. Air Pancuran Atau air sumber (Keran)
f. Air Embun
g. Air Salju2
Ketujuh macam air ini dapat disimpulkan denga perkataan : Air yang
turun dari langit dan air yang terbit(muncul) dari bumi.

Air yang suci tiada mensucikan bagi lainnya, ialah air yang tiada
sah dipakai untuk berwudhu, mandi, dan membasuh najis. Air ini ada 3
macam :
1. Air yang bercampur dengan barang yang suci, sehingga timbul
perubahan contohnya :
 Air yang bercampur bunga mawar, baunya menjadi harum.
 Air yang bercampur gula, rasanya berubah menjadi manis.
 Air yang bercampur ‫ بلؤ‬warnanya berubah menjadi biru.
2. Air Musta’mal, sudah dipakai untuk wudhu, mandi dan membasuh
najis, tapi airnya tidak berubah. Andaikan berubah air itu dengan
najis hukumnya termasuk air najis
3. Air yang timbul dari kayu-kayuan atau buah-buahan, misalnya: Air
nira, air kelapa dan lain-lainnya.

2
H.Muhammad Zuhdi Bin H.Ramli, “Tangga Ibadah”, 1389H, halaman 5

4
Air najis atau yang bernajis ialah :
a. Air yang sedikit bercampur dengan najis
b. air yang banyak bercampur dengan najis, sehingga timbul
perubahan pada baunya, rasanya atau warnanya.
c. Apabila airnya kurang dari 2 qolah, Air yang sampai dua qolah
dinamakan air yang banyak, sebaliknya air yang kurang dari dua
qolah dinamakan air yang sedikit, tempat yang panjangnya,
lebarnya, dalamnya 1 \frac{1}{4} hasta isinya dua qolah,
mengingat 1 hasta 48cm, maka isi dua qolah 20x 20x 20 cm =
216000cm kubik = 216dm kubik 216 liter.

2. Tanah, boleh menyucikan jika tidak digunakan untuk sesuatu fardhu


dan tidak bercampur dengan sesuatu.
3. Debu, dapat digunakan untuk tayamum sebagai pengganti wudu atau
mandi.
4. Batu bata, tisu atau benda atau benda yang dapat untuk menyerap bisa
digunakan untuk istinjak.3

C. Najis
Najis terbagi tiga :
1. Najis yang berat atau Mughalladzah
2. Najis yang pertengahan atau Mutawassithah.
3. Najis yang ringan atau Mukhaffafah

Najis yang berat ialah najis (kotoran, air kencing, air liur, peluh)
anjing dan babi atau keturunan salah satu dari keduanya, umpama kambing
beristri anjing maka maka anaknya ini masuk hukum anjing. Demikian
pula juga anjing ber istri kambing anaknya masuk hukum anjing. Cara
menyucikannya pertama-tama dihilangkan benda najis itu kemudian

3
Ibid, h. 6

5
dibasuh dengan air tujuh kali dan salah satunya dengan air yang bercampur
tanah.

Najis yang pertengahan ialah najis yang bukan anjing, babi, dan
keturunan salah satu dari keduanya seperti kotoran, kencing, darah, nanah,
susu binatang yang haram dimakan, bangkai binatang kecuali ikan,
belalang dan anak adam. Cara menyucikannya lebih dahulu dibuang najis
itu, kemudian baru dibasuh dengan air yang suci lagi menyucikan.

Najis yang ringan ialah kencing anak laki-laki yang belum cukup
umurnya dan belum makan atau minum dengan berkenyang selain dari
susu ibunya. Cara menyucikannya lebih dahulu dihilangkan najis itu
kemudian cukup dengan memercikkan air kepada tempat yang kena najis
tadi sampai basah.

Perhatian :
Apabila anak itu perempuan meskipun kurang umurnya dua tahun
Umurnya cukup dua tahun atau lebih
Pernah makan atau minum berkenyang selain susu ibu meskipun sekali
Maka hukumnya termasuk najis yang pertengahan.4

D. Hadast
Hadast terbagi dua, yaitu :
1. Hadast Kecil
2. Hadast besar

4
Ibid, h. 7 - 9

6
Hadast Kecil : Orang yang tidak berwudhu dinamakan orang yang
berhadast kecil. Jadi apabila sudah berwudhu tidak lagi dinamakan
berhadast kecil. Diharamkan bagi orang yang berhadast kecil :
1. Sembahyang
2. Tawaf
3. Menyentuh Qur’an
4. Mengangkat Qur’an

Hadast Besar ialah :


1. Orang yang bersetubuh
2. Orang yang keluar mani
3. Perempuan haid atau nifas

Diharamkan bagi orang yang berhadast besar :


1. Sembahyang
2. Thawaf
3. Menyentuh Qur’an
4. Mengangkat Qur’an
5. Membaca Qur’an
6. Berhenti di Masjid

Tambahan : Orang yang berhadast besar nomor 1 dan 2 tidak diharamkan


masuk disatu pintu masjid dan keluar dipintu yang lain dengan tidak
berhenti. Apabila mondar mandir hukumnya Haram.
Kalau hadast besarnya itu haid atau nifas, maka yang diharamkan
bertambah tiga lagi yaitu : Puasa, bersetubuh, bersedap sedap antara pusat
dan lutut. Perlu diketahui perempuan haid atau nifas tidak boleh
sembahyang semasa haidnya atau nifasnya dan tidak wajib meng qhada’
nya. Perempuan haid atau nifas tidak boleh puasa semasa haidnya atau
nifasnya dan wajib meng qhada’nya

7
E. Jenis Thaharah
Thaharah terdiri dari dua jenis, yaitu :

1. Thaharah dari Hadats


Dalam beberapa kitab fiqih, thaharah dari hadats ini disebut
dengan istilah thaharah hukmi. Thaharah hukmi maksudnya adalah
sucinya kita dari hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar
(kondisi janabah).Thaharah secara hukmi tidak terlihat kotornya
secara pisik. Bahkan boleh jadi secara pisik tidak ada kotoran pada
diri kita. Namun tidak adanya kotoran yang menempel pada diri kita,
belum tentu dipandang bersih secara hukum. Bersih secara hukum
adalah kesucian secara ritual.
Seorang yang tertidur batal wudhu’-nya, boleh jadi secara pisik
tidak ada kotoran yang menimpanya. Namun dia wajib berthaharah
ulang dengan cara berwudhu’ bila ingin melakukan ibadah ritual
tertentu seperti shalat, thawaf dan lainnya.
Demikian pula dengan orang yang keluar mani. Meski dia telah
mencuci maninya dengan bersih, lalu mengganti bajunya dengan yang
baru, dia tetap belum dikatakan suci dari hadats besar hingga selesai
dari mandi janabah. Jadi thaharah hukmi adalah kesucian secara ritual,
dimana secara pisik memang tidak ada kotoran yang menempel,
namun seolah-olah dirinya tidak suci untuk melakukan ritual ibadah.
Thaharah hukmi didapat dengan cara berwudhu’ atau mandi janabah.5
2. Thaharah dari Najis
Dalam beberapa kitab fiqih, thaharah dari najis ini disebut
dengan istilah thaharah hakiki. Thaharah secara hakiki maksudnya
adalah hal-hal yang terkait dengan kebersihan badan, pakain dan
tempat shalat dari najis. Boleh dikatakan bahwa thaharah hakiki
adalah terbebasnya seseorang dari najis.
5
Muhammad Abu Nadlir, Fiqih Thaharah: Pengertian, Dasar Hukum, dan Jenis, https://
https://baladena.id/fiqih-thaharah-pengertian-dasar-hukum-dan-jenis/, diakses pada 12 Oktober
2020

8
Seorang yang shalat dengan memakai pakaian yang ada noda
darah atau air kencing, tidak sah shalatnya. Karena dia tidak terbebas
dari ketidaksucian secara hakiki. Thaharah hakiki bisa didapat dengan
menghilangkan najis yang menempel, baik pada badan, pakaian atau
tempat untuk melakukan ibadah ritual.
Caranya bermacam-macam. Tergantung dari level
kenajisannya. Bila najis itu ringan, cukup dengan memercikkan air
saja, maka najis itu dianggap telah lenyap. Bila najis itu berat, harus
dicuci dengan air 7 kali dan salah satunya dengan tanah. Bila najis itu
pertengahan, disucikan dengan cara mencucinya dengan air biasa,
hingga hilang warna, bau dan rasa najisnya.6

1.2 Sholat
A. Pengertian
Shalat dalam islam menempati posisi yang tidak bisa disamai
dengan ibadah yang lain. Shalat adalah tiang agama, yang dengan tanpa
shalat, Islam tidak dapat berdiri. Rasulullah Sholla Allahu ‘Alaihi wa
sallam bersabda :

ِ ‫ َو َذرْ َوةُ َسنَا ِم ِه ْال ِجهَا ُد فِي َسبِ ْي ِل هَّللا‬,‫صالَة‬


َّ ‫ َو َع ُموْ ُدهُ ال‬,‫َرأسُ اَأل ْم ِر ْا ِال ْسالَ ُم‬
“Pangkal setiap sesuatu adalah islam, tiangnya adalah shalat dan
puncaknya adalah berjuang di jalan Allah.”

Shalat merupakan ibadah yang pertama kali diwajibkan oleh Allah

Subhanahu Wa taa’ala., dimana perintahnya disampaikan secara langsung

pada malam Mi’raj dengan tanpa ada perantara. Anas berkata, “Pada

mulanya, shalat difardhukan kepada Rasulullah Sholla Allahu ‘alaihi wa

6
Muhammad Abu Nadlir, Fiqih Thaharah: Pengertian, Dasar Hukum, dan Jenis, https://
https://baladena.id/fiqih-thaharah-pengertian-dasar-hukum-dan-jenis/, diakses pada 12 Oktober
2020

9
sallam. Pada malam Mi’raj sebanyak limapuluh kali. Kemudian, dikurangi

hingga menjadi lima kali. Kemudian, Allah menyeru, “Wahai

Muhammad! Shalat merupakan satu ketetapan yang tidak dapat dirubah

lagi di sisi-Ku. Dengan mengerjakan shalat lima waktu ini, engkau tetap

memperoleh pahala yang sama sebagaimana engkau melakukannya

sebanyak limapuluh kali.” HR Ahmad, Nasai dan Tirmidzi. Dia

menyatakan bahwa hadist ini shahih.7

B. Tata Cara Sholat


a. Niat
b. Berdiri bagi yang mampu
c. Takbiratul ikhram
d. Melafalkan surat Al-fatihah
e. Ruku’/membungkuk dengan tuma’ninah
f. I'tidal dengan tuma'ninah
g. Sujud dengan tuma’ninah
h. Duduk di antara dua sujud dengan tuma'ninah
i. Sujud kedua dengan tuma'ninah
j. Tasyahud
k. Melafalkan shalawat Nabi Muhammad SAW
l. Salam8
Dalam islam terdapat syarat-syarat dan rukun-rukun shalat fardhu
(wajib) dimana syarat dan rukun shalat haruslah dijalankan agar sesuai
dengan syari’at islam.

7
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 1, Jakarta 2008, CP Cakrawala Hal 159
8
Ibid, h. 227

10
C. Waktu dan Bacaan Niat Shalat Fardhu
Shalat fardhu ada 5 waktu dan masing masing mempunyai waktu yang
di tentukan. Setiap umat islam diperintahkan untuk menunaikan shalat-
shalat itu di dalam waktunya masing masing.
Adapun waktu shalat fardhu (wajib) yang ditentukan dalam islam
adalah sebagai berikut:
1) Shalat Subuh Waktunya dimulai dari terbitnya fajar shidiq, hingga
terbitnya matahari. Yaitu antara pukul 04.00 – 5.30 pagi. Shalat subuh
terdiri dari 2 raka’at. Niat Shalat Subuh:
Ushalli fardhash-shubhi rak'ataini mustaqbilal-qiblati adaa'an
(ma'muuman / imaaman) lillaahi ta'aalaa.
Artinya: Aku berniat melakukan shalat fardhu subuh 2 raka’at, dengan
menghadap qiblat (ma’muman/imaman) karena Allah ta’ala.

2) Shalat Dzuhur Dilakukan pada waktu matahari mulai condong ke


arah barat hingga panjang suatu benda menjadi sama dengan benda itu
sendiri. Yaitu antara pukul 12.00 – 15.00 siang. Shalat dzuhur terdiri dari 4
raka’at. Niat Shalat Dzuhur :
Ushalli fardhazh-zhuhri arba'a raka'aatim mustaqbilal-qiblati adaa'an
(ma'muman / imaman) lillaahi ta'aalaa.
Artinya: Aku berniat melakukan shalat fardhu dzuhur 4 raka’at, dengan
menghadap qiblat (ma’muman/imaman) karena Allah ta'ala.

3) Shalat Ashar Waktunya dimulai setelah waktu dzuhur berakhir


hingga matahari terbenam. Antara pukul 15.00-18.00 sore. Shalat ashar
terdiri dari 4 raka’at. Niat Shalat Ashar:
Ushalli fardhal-'ashri arba'a raka'aatim mustaqbilal-qiblati adaa'an
(ma'muman / imaman) lillaahi ta'aalaa.
Artinya: Aku berniat melakukan shalat fardhu ashar 4 raka’at, dengan
menghadap qiblat (ma’muman/imaman) karena Allah ta'ala.

11
4) Shalat Maghrib Waktunya dimulai sejak terbenamnya matahari
hingga hilangnya mega merah di langit. Yaitu antara pukul 18.00-19.00
sore. Shalat maghrib terdiri dari 3 raka’at. Niat Shalat Maghrib:
Ushalli fardhal-maghribi tsalaatsa raka'aatim mustaqbilal-qiblati adaa'an
(ma'muman / imaman) lillaahi ta'aalaa.
Artinya: Aku berniat melakukan shalat fardhu maghrib 3 raka’at, dengan
menghadap qiblat (ma’muman/imaman) karena Allah ta'ala.

5) Shalat Isya’ Waktunya dimulai sejak hilangnya mega merah di


langit atau setelah habisnya waktu shalat maghrib hingga terbitnya fajar.
Yaitu antara pukul 19.00 – 04.30 malam. Shalat isya’ terdiri dari 4 raka’at.
Niat Shalat Isya’:
Ushalli fardhal-'isyaa'i arba'a raka'aatim mustaqbilal-qiblati adaa'an
(ma'muman / imaman) lillaahi ta'aalaa.
Artinya: Aku berniat melakukan shalat fardhu maghrib 4 raka’at, dengan
menghadap qiblat (ma’muman/imaman) karena Allah ta'ala. Dari uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa melaksanakan shalat fardhu (wajib) harus
sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan dalam islam, apabila tidak
sesuai waktunya maka berlaku waktu yang tidak diperbolehkan shalat.9

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

1. Shalat adalah ibadah yang pertama akan dihisab pada hari Kiamat nanti. Dan
thaharah adalah kuncinya, Boleh dikatakan bahwa tanpa adanya thaharah,
9
http://eprints.dinus.ac.id/18852/9/bab1_17898.pdf, diakses pada 10 Oktober 2020

12
ibadah kita kepada Allah Swt tidak akan diterima. Sebab beberapa ibadah
utama mensyaratkan thaharah secara mutlak. Tanpa thaharah, ibadah tidak
sah. Bila ibadah tidak sah, maka tidak akan diterima Allah. Kalau tidak
diterima Allah, maka konsekuensinya adalah kesia-siaan. Oleh karena itu,
thaharah menjadi bab pertaama yang dikaji dalam semua kitab fiqih.
2. Shalat mempunvai rukun dan fardhu yang harus dipenuhi sehingga shalat yang
dikerjakan sesuai dengan aturan yang ada dan tidak menyimpang darinya.Jika
rukun dan fardhu yang telah ditetapkan tidak dilaksanakan, maka shalat yang
dilakukan tidak sah menurut syara'.

13
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku :
 H.Muhammad Zuhdi Bin H.Ramli, “Tangga Ibadah”, 1389H
 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 1, Jakarta 2008, CP Cakrawala
Sumber Internet :
 http://eprints.dinus.ac.id/18852/9/bab1_17898.pdf, diakses pada 10 Oktober
2020
 Muhammad Abu Nadlir, Fiqih Thaharah: Pengertian, Dasar Hukum, dan
Jenis, https:// https://baladena.id/fiqih-thaharah-pengertian-dasar-hukum-dan-
jenis/, diakses pada 12 Oktober 2020

14

Anda mungkin juga menyukai