A. Pengertian Aqidah
Menurut bahasa, kata aqidah berasal dari bahasa Arab yaitu [ً َع ْقد-ُيَ ْعقِد-َ ] َعقَدartinya
adalah mengikat atau mengadakan perjanjian. Sedangkan Aqidah menurut istilah adalah
urusan-urusan yang harus dibenarkan oleh hati dan diterima dengan rasa puas serta
terhujam kuat dalam lubuk jiwa yang tidak dapat digoncangkan oleh badai subhat
(keragu-raguan). Dalam definisi yang lain disebutkan bahwa aqidah adalah sesuatu yang
mengharapkan hati membenarkannya, yang membuat jiwa tenang tentram kepadanya dan
yang menjadi kepercayaan yang bersih dari kebimbangan dan keraguan.Berdasarkan
pengertian-pengertian di atas dapat dirumuskan bahwa aqidah adalah dasar-dasar pokok
kepercayaan atau keyakinan hati seorang muslim yang bersumber dari ajaran Islam yang
wajib dipegangi oleh setiap muslim sebagai sumber keyakinan yang mengikat.
Sementara kata “akhlak” juga berasal dari bahasa Arab, yaitu [ ]خلقjamaknya [
]أخالقyang artinya tingkah laku, perangai tabi’at, watak, moral atau budi pekerti. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, akhlak dapat diartikan budi pekerti, kelakuan. Jadi,
akhlak merupakan sikap yang telah melekat pada diri seseorang dan secara spontan
diwujudkan dalam tingkah laku atau perbuatan. Jika tindakan spontan itu baik menurut
pandangan akal dan agama, maka disebut akhlak yang baik atau akhlaqul karimah, atau
akhlak mahmudah. Akan tetapi apabila tindakan spontan itu berupa perbuatan-perbuatan
yang jelek, maka disebut akhlak tercela atau akhlakul madzmumah.
\
2.3 Syirik
syirik merupakan bentuk kemaksiatan yang paling besar kepada Allah Azza
wa Jalla, syirik merupakan sebesar-besar kezhaliman, sebesar-besar dosa yang tidak akan
diampuni oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mengetahui tentang syirik dan berbagai
macamnya merupakan jalan untuk dapat menjauhi-nya dengan sejauh-jauhnya.
Syirik adalah menyamakan antara selain Allah dengan Allah ta’ala dalam perkara yang
termasuk kategori kekhususan yang hanya dimiliki oleh Allah ta’ala saja. Kekhususan
Allah itu meliputi tiga hal utama, Pertama; hak rububiyah, seperti mencipta, mengatur
alam, menguasainya, mengabulkan do’a dan lain-lain. Kedua; hak uluhiyah, seperti
berhak untuk diibadahi, menjadi tujuan do’a, permintaan tolong, permintaan
perlindungan, tujuan dalam melaksanakan persembahan atau sembelihan, menjadi
tujuan harapan, rasa takut dan kecintaan yang disertai dengan ketundukkan. Ketiga, hak
kesempurnaan Nama-nama dan Sifat-sifat, seperti menyandang nama Allah, Ar
Rabb dan Ar Rahman, atau memiliki sifat mengetahui yang Gaib, Maha Mendengar,
Maha Melihat, Maha Mengetahui, yang tidak ada sesuatupun yang menyamai-Nya.
Jadi kesyirikan itu bisa terjadi dalam hal rububiyah, uluhiyah maupun nama dan sifat-
Nya.
Ada beberapa cara agar kita bisa terhindar dari kesyirikan, di antaranya
adalah:
1. Dengan mengikhlaskan segala ibadah dan amal shalih kita hanya untuk mencari
ridha Allah ta'ala semata.
Di dalam hadits Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah صلى هللا
عليه وسلم bersabda:
2. Mempelajari ilmu tauhid yang murni dan benar sesuai dengan apa yang diajarkan oleh
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa kunci untuk mendapatkan kebaikan
agama adalah dengan mempelajari ilmu agama, dan kebaikan yang paling pokok adalah
tauhid.
3. Mempelajari lawan dari tauhid itu, yaitu syirik, baik itu definisinya, jenis-jenisnya,
dan contoh-contohnya. Karena untuk memmahami sesuatu itu terkadang kita juga harus
mengenal lawannya. Lawan dari tauhid adalah syirik dan lawan dari sunnah adalah
bid'ah.
ومن ال يعرف الشر من الناس يقع فيه... عرفت الشر ال للشر لكن لتوقيه
“Aku mempelajari kejelekan bukanlah untuk melakukan kejelekan itu, akan
tetapi untuk menghindarinya. Barangsiapa yang tidak mempelajari kejelekan (yang
2
dilakukan) manusia, maka dia akan terjatuh ke dalamnya.”
Salah satu doa yang disebutkan oleh Allah ta’ala di dalam Al Qur`an adalah:
ُك أَ ْنتَ ْال َوهَّاب َ َربَّنَا اَل تُ ِز ْغ قُلُوبَنَا بَ ْع َد إِ ْذ هَ َد ْيتَنَا َوهَبْ لَنَا ِم ْن لَ ُد ْن
َ َّك َرحْ َمةً إِن
“(Mereka berdoa): “Wahai Rabb kami, janganlah Engkau condongkan hati
kami kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah
kepada kami rahmat dari sisi Engkau. Sesungguhnya Engkau-lah Al Wahhab (Maha
Pemberi).” [QS Alu Imran: 8]
5. Bergaul dengan orang-orang yang lurus dan teguh agamanya (ahlussunnah) dan
menghindari pergaulan dengan orang-orang yang melakukan kesyirikan agar tidak
terpengaruh dengan perbuatan mereka tersebut.
Hal inilah yang dicontohkan oleh para nabi dan rasul, di antaranya adalah Nabiyullah
Ibrahim صلى هللا عليه وسلمsebagaimana yang diceritakan oleh Allah di dalam Al Quran:
َت لَ ُك ْم أُ ْس َوةٌ َح َسنَةٌ فِي إِ ْب َرا ِهي َم َوالَّ ِذينَ َم َعهُ ِإ ْذ قَالُوا لِقَوْ ِم ِه ْم إِنَّا بُ َرآ ُء ِم ْن ُك ْم َو ِم َّما تَ ْعبُ ُدونَ ِم ْن دُو ِن
ْ قَ ْد َكان
هَّلل ُ ُ َّ
ُضا ُء أبَدًا َحتى ت ْؤ ِمنوا بِا ِ َوحْ َده َ ْ ُ ْ
َ هَّللا ِ َكفَرْ نَا بِك ْم َوبَدَا بَ ْينَنَا َوبَ ْينَك ُم ال َعدَا َوة َوالبَغ
ْ ُ ُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan
orang-orang yang bersama dengan dia ketika mereka berkata kepada kaum mereka:
"Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kalian dari daripada apa yang kalian sembah
selain Allah. Kami mengingkari (perbuatan) kalian dan telah nyata antara kami dan
kalian permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kalian beriman hanya
kepada Allah saja.” [QS Al Mumtahanah: 4]
Demikianlah beberapa cara yang bisa ditempuh untuk menghindari kesyirikan. Sebagai
tambahan, cara-cara di atas juga bisa diterapkan untuk menghindari perkara-perkara
bid’ah.
Setiap manusia menghendaki kehidupan yang bahagia. Tidak ada satupun manusia
yang ingin hidup susah, gelisah, dan tidak merasakan ketentraman. Akan tetapi setiap
manusia memiliki prinsip dan cara pandang yang berbeda dalam mengukur
kebahagiaan. Karena yang paling memengaruhi seseorang dalam mengukur
kebahagiaan adalah prinsip dan pandangan hidup yang dipijakinya.
3
ٰ
َّ َذلِ ُك ْم َو ۚ سبِيلِ ِه
َصا ُكم ِب ِه لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُون َ سبُ َل فَتَفَ َّر
َ ق بِ ُك ْم عَن ُّ ۖ َواَل تَتَّبِ ُعوا ال ُستَقِي ًما فَاتَّبِ ُعوه ِ َوأَنَّ ٰ َه َذا
ْ ص َرا ِطي ُم
“dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah
dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar
kamu bertakwa”. (Qs. Al-An’am: 153)
Kebahagiaan hanya dapat diperoleh dengan meniti jalan yang digariskan oleh Allah.
Yang dimaksud dengan meniti jalan Allah adalah menaati perintah-Nya dan
meninggalkan larangan-Nya dengan ikhlas dan benar. Ayat 153 surah al-An’am diatas
sebelumnya didahului dengan penjelasan tentang beberapa perintah dan larangan
Allah kepada orang beriman.
Sehingga sudah dapat dipastikan bahwa orang yang meninggalkan jalan yang
digariskan oleh Allah akan, tidak tenang dan tidak bahagia. Karena ia akan mencari
jalan dan sumber kebahagiaan pada jalan yang dibuat dan digariskan oleh selain Allah
dan Rasul-Nya. Dalam ayat lain dijelaskan:
Adapun petunjuk Islam memenuhi kebutuhan keduanya (ruh dan jasad) secara adil.
Ruh dipenuhi kebutuhannya dengan cahaya wahyu dari langit dan menjaga kesehatan
jasad dengan pememenuhan hajat syahwat dan syahwat melalui cara yang halal dan
thayyib. Allah Ta’ala berfirman:
4
Barangsiapa yang telah menikmati manisnya Iman, maka ia takkan pernah mau
meninggalkannya, kendati pedang diletakkan di lehernya. Sebagaimana tukang sihir
Fir’aun yang tegar menghadapi ancaman potong tangan-kaki dan salib;
َ ُ ف َوأَل
صلِّبَنَّ ُك ْم فِي ِّ َۖ فَأَل ُق س ْح َر
ٍ ط َعنَّ أَ ْي ِديَ ُك ْم َوأَ ْر ُجلَ ُكم ِّمنْ ِخاَل ِّ ۖ إِنَّهُ لَ َكبِي ُر ُك ُم الَّ ِذي َعلَّ َم ُك ُم ال قَا َل آ َمنتُ ْم لَهُ قَ ْب َل أَنْ آ َذنَ لَ ُك ْم
ش ُّد َع َذابًا َوأَ ْبقَ ٰى َ َوع النَّ ْخ ِل َولَتَ ْعلَ ُمنَّ أَ ُّينَا أ
ِ ُج ُذ
Berkata (Fir’aun): “Apakah kamu telah beriman kepadanya (Musa) sebelum aku
memberi izin kepadamu sekalian. Sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang
mengajarkan sihir kepadamu sekalian. Maka sesungguhnya aku akan memotong
tangan dan kaki kamu sekalian dengan bersilang secara bertimbal balik, dan
sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma dan
sesungguhnya kamu akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan lebih
kekal siksanya”. (Qs Thaha [20]:71).
Mereka tetap teguh dan tegar sebagaimana diabadikan oleh Allah;
5
Hati yang dipenuhi iman memandang remeh setiap kesulitan yang menghimpit,
karena orang beriman selalu menyikapi segala persoalan dengan tawakkal kepada
Allah. Sedangkan hati yang kosong, tanpa iman tak ubahnya selembar daun rontok
dari dahannya yang diombang-ambingkan oleh angin.
Dalam kehidupan dunia Allah Ta’ala telah menjanjikan kebahagiaan bagi orang-orang
beriman dan beramal shaleh:
َس ِن َما َكانُوا يَ ْع َملُون َ ًصالِ ًحا ِّمن َذ َك ٍر أَ ْو أُنثَ ٰى َو ُه َو ُمؤْ ِمنٌ فَلَنُ ْحيِيَنَّهُ َحيَاة
َ ۖ َولَنَ ْج ِزيَنَّ ُه ْم أَ ْج َرهُم بِأ َ ْح ًطيِّبَة َ َمنْ َع ِم َل
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan
dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.(Qs An-Nahl
[16]:97).
Ayat tersebut menegaskan bahwa orang yang beriman dan beramal shaleh akan
dihidupkan di dunia dengan kehidupan yang baik; bahagia, tenang, tentram, meski
hartanya sedikit.
Meskipun demikian Allah telah menjadikan kebahagiaan dunia dan akhirat sebagai
dua sisi yang saling terkait dan terpisah. Sehingga keduanya tidak perlu
dipertentangkan. Sebab keduanya adalah satu. Keduanya adalah jalan yang satu. Allah
6
mengingatkan bahwa siapa yang menghendaki balasan dunia, maka Allah memeiliki
balasan di dunia dan akhirat;
Namun, pada sebagian lainnya manusia harus melalaui proses pencarian dan
pembelajaran sebelum menemukan solusi terbaik menyelesaikan masalahnya. Ketika
lapar, kita makan; mengantuk, tidur. Ini insting yang otomatis mengarahkan tubuh
kita.
Namun, permasalahan lain, seperti rasa sakit, takut, kesepian, keinginan memiliki,
rasa malu, cemburu, inilah persoalan yang diperlukan usaha pembelajaran. Allah
SWT mendorong manusia untuk selalu mencari jalan dan berusaha menyelesaikan
masalah yang dihadapinya.
Dalam surah Yusuf ayat 87, Allah berfirman, “… dan janganlah kamu berputus asa
dari rahmat Allah. Sesungguhnya, tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan
kaum yang kafir.” Mengapa Allah melarang kita berputus asa? Sebenarnya, ini
mengandung konsekuensi logis.
Ketika Allah melarang manusia berputus asa, itu artinya Allah sudah menjamin pasti
ada harapan dan jalan keluar bagi setiap permasalahan. Itulah mengapa selalu ada
fitrah jalan keluar dalam setiap pemecahan masalah. Berupa jalan yang semakin
mendekatkan diri manusia kepada ajaran-Nya.
Fitrah jalan keluar dari Allah selalu beriringan dengan seberapa tingkat ketakwaan
hamba-Nya. Didahului dengan pertobatan, rasa syukur, serta amalan vertikal dan
horizontal, kemudian segala daya akal dan upaya kita kerahkan untuk menemukan
jalan keluar yang telah Allah siapkan untuk permasalahan kita.
“Hai orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar
dan shalat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar." Namun, banyak manusia
merasa bisa menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa pertolongan Tuhan-Nya.
Atau, sebagian lain justru merasa tidak ada jalan keluar dan berputus asa atas masalah
yang mendera. Dalam kutipan surahYusuf di atas, manusia yang berputus asa dari
rahmat Allah atau bahkan tidak mengimani adanya jalan keluar, masuk dalam
kategori manusia yang melakukan kekufuran.
7
Jadi, masalah yang dihadapi manusia dapat dipahami sebagai ujian keimanan dari
Allah. Lalu, apakah kita akan kufur atau percaya pada pertolongan-Nya? Harusnya,
kita selalu yakin Allah menyediakan jalan keluar dari setiap permsalahan yang kita
hadapi.
Kalau saja kepercayaan tentang fitrah jalan keluar tertanam luas dalam cara pandang
masyarakat kita, tentu tak akan lagi kita memilih lari dari permasalahan dengan cara
bunuh diri, menggunakan narkotika, mabuk-mabukan, kekerasan, dan cara lainnya.
Wallahu a’lam.
Sesungguhnya berprasangka baik kepada Allah Ta’ala yakni meyakini apa yang layak
untuk Allah, baik dari nama, sifat dan perbuatanNya. Begitu juga meyakini apa yang
terkandung dari pengaruhnya yang besar. Seperti keyakinan bahwa Allah Ta’ala
menyayangi para hamba-Nya yang berhak disayangi, memaafkan mereka dikala
bertaubat dan kembali, serta menerima dari mereka ketaataan dan ibadahnya. Dan
meyakini bahwa Allah Ta’ala mempunyai berbagai macam hikamh nan agung yang
telah ditakdirkan dan ditentukan.
Siapa yang mengira bahwa husnuzhan kepada Allah tidak perlu diimbangi dengan
perbuatan telah keliru dan salah, serta tidak memahami ibadah ini dengan cara yang
benar. Tidak bermanfaat berprasangka baik dengan meninggalkan kewajiban atau
dengan melakukan kemaksiatan. Barangsiapa yang berprasangka seperti itu maka dia
termasuk terpedaya, memiliki pengharapan yang tercela serta keinginan yang
mengada-ada dan merasa aman dari azab Allah. Semuanya itu membahayakan dan
membinasakan.
Syekh ShAleh Al-Fauzan hafizahullah berkata: “Prasangka yang baik kepada Allah
seharusnya disertai meninggalkan kemaksiatan. Kalau tidak,maka itu termasuk sikap
merasa aman dari azab Allah. Jadi, prasangka baik kepada Allah harus disertai
dengan melakukan sebab datangnya kebaikan dan sebab meninggalkan kejelekan,
itulah pengharapan yang terpuji. Sedangkan prasangka baik kepada Allah dengan
meninggalkan kewajiban dan melakukan yang diharamkan, maka itu adalah
pengharapan yang tercela. Ini termasuk sifat merasa aman dari makar Allah." (Al-
Muntaqa Min Fatawa Syekh Al-Fauzan, 2/269)
8
Seharusnya, seorang muslim senantiasa berprasangka baik kepada Allah Ta’ala. Ada
dua tempat yang selayaknya seorang muslim memperbanyak khusnuzhan kepada
Allah.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata, Nabi shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
Dapat diperhatikan dalam hadits ini, hubungan yang sangat jelas sekali antara
husnuzhan dengan amal. Yaitu mengiringinya dengan mengajak untuk mengingat-
Nya Azza Wa Jalla dan mendekat kepada-Nya dengan ketaatan. Siapa yang
berprasangka baik kepada Tuhannya Ta’ala semestinya akan mendorongnya berbuat
ihsan dalam beramal. Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya seorang mukmin ketika berbaik sangka kepada Tuhannya, maka dia
akan memperbaiki amalnya. Sementara orang buruk, dia berprasangka buruk kepada
Tuhannya, sehingga dia melakukan amal keburukan." (HR. Ahmad, hal. 402).
Dari jabir radhiallahu anhu dia berkata, Aku mendengar Nabi sallallahu’alaihi wa
sallam tiga hari sebelum wafat bersabda:
“Janganlah salah satu di antara kalian meninggal dunia kecuali dia berprasangka baik
kepada Allah.” (HR. Muslim, 2877)
Al-Khatab berkata, "Dianjurkan bagi yang akan meninggal dunia berprasangka baik
kepada Allah Ta’ala. Berprasangka baik kepada Allah meskipun sangat dianjurkan
ketika mau meninggal dunia dan dalam kondisi sakit, akan tetapi sepantasnya
seseorang senantiasa berprasangka baik kepada Allah. "
10