Anda di halaman 1dari 10

2.

AKHLAK DALAM BERAQIDAH

A. Pengertian Aqidah
Menurut bahasa, kata aqidah berasal dari bahasa Arab yaitu [ً‫ َع ْقد‬-ُ‫يَ ْعقِد‬-َ‫ ] َعقَد‬artinya
adalah mengikat atau mengadakan perjanjian. Sedangkan Aqidah menurut istilah adalah
urusan-urusan yang harus dibenarkan oleh hati dan diterima dengan rasa puas serta
terhujam kuat dalam lubuk jiwa yang tidak dapat digoncangkan oleh badai subhat
(keragu-raguan). Dalam definisi yang lain disebutkan bahwa aqidah adalah sesuatu yang
mengharapkan hati membenarkannya, yang membuat jiwa tenang tentram kepadanya dan
yang menjadi kepercayaan yang bersih dari kebimbangan dan keraguan.Berdasarkan
pengertian-pengertian di atas dapat dirumuskan bahwa aqidah adalah dasar-dasar pokok
kepercayaan atau keyakinan hati seorang muslim yang bersumber dari ajaran Islam yang
wajib dipegangi oleh setiap muslim sebagai sumber keyakinan yang mengikat.

Sementara kata “akhlak” juga berasal dari bahasa Arab, yaitu [‫ ]خلق‬jamaknya [
‫ ]أخالق‬yang artinya tingkah laku, perangai tabi’at, watak, moral atau budi pekerti. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, akhlak dapat diartikan budi pekerti, kelakuan. Jadi,
akhlak merupakan sikap yang telah melekat pada diri seseorang dan secara spontan
diwujudkan dalam tingkah laku atau perbuatan. Jika tindakan spontan itu baik menurut
pandangan akal dan agama, maka disebut akhlak yang baik atau akhlaqul karimah, atau
akhlak mahmudah. Akan tetapi apabila tindakan spontan itu berupa perbuatan-perbuatan
yang jelek, maka disebut akhlak tercela atau akhlakul madzmumah.
\

2.3 Syirik

syirik merupakan bentuk kemaksiatan yang paling besar kepada Allah Azza
wa Jalla, syirik merupakan sebesar-besar kezhaliman, sebesar-besar dosa yang tidak akan
diampuni oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mengetahui tentang syirik dan berbagai
macamnya merupakan jalan untuk dapat menjauhi-nya dengan sejauh-jauhnya.

Syirik adalah menyamakan antara selain Allah dengan Allah ta’ala dalam perkara yang
termasuk kategori kekhususan yang hanya dimiliki oleh Allah ta’ala saja. Kekhususan
Allah itu meliputi tiga hal utama, Pertama; hak rububiyah, seperti mencipta, mengatur
alam, menguasainya, mengabulkan do’a dan lain-lain. Kedua; hak uluhiyah, seperti
berhak untuk diibadahi, menjadi tujuan do’a, permintaan tolong, permintaan
perlindungan, tujuan dalam melaksanakan persembahan atau sembelihan, menjadi
tujuan harapan, rasa takut dan kecintaan yang disertai dengan ketundukkan. Ketiga, hak
kesempurnaan Nama-nama dan Sifat-sifat, seperti menyandang nama Allah, Ar
Rabb dan Ar Rahman, atau memiliki sifat mengetahui yang Gaib, Maha Mendengar,
Maha Melihat, Maha Mengetahui, yang tidak ada sesuatupun yang menyamai-Nya.
Jadi kesyirikan itu bisa terjadi dalam hal rububiyah, uluhiyah maupun nama dan sifat-
Nya.

2.4 Menghindari Perbuatan Syirik

Ada beberapa cara agar kita bisa terhindar dari kesyirikan, di antaranya
adalah:
1.  Dengan mengikhlaskan segala ibadah dan amal shalih kita hanya untuk mencari
ridha Allah ta'ala semata.

Allah ta’ala berfirman:

ِ ِ‫َو َما أُ ِمرُوا إِاَّل لِيَ ْعبُدُوا هَّللا َ ُم ْخل‬


‫صينَ لَهُ ال ِّدينَ ُحنَفَا َء‬
“Mereka tidaklah diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam ( menjalankan) agama dengan
meninggalkan kesyirikan (hanif).” [QS Al Bayyinah: 5]

Di dalam hadits Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah ‫صلى هللا‬
‫عليه وسلم‬ bersabda:

‫إنما األعمال بالنية وإنما المرئ ما نوى‬


“Sesungguhnya amalan itu tergantung niat dan setiap orang mendapatkan
(ganjaran) sesuai dengan apa yang dia niatkan.” [HR Al Bukhari (6689) dan Muslim
(1907)]

2. Mempelajari ilmu tauhid yang murni dan benar sesuai dengan apa yang diajarkan oleh
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Rasulullah ‫صلى هللا عليه وسلم‬ bersabda:

‫َم ْن ي ُِر ْد هَّللا ُ بِ ِه خَ ْيرًا يُفَقِّ ْههُ فِي الدِّي ِن‬


“Barangsiapa yang Allah menghendaki padanya kebaikan maka Allah akan
memahamkannya di dalam perkara agama.”[HR Al Bukhari (71) dan Muslim (1037)]

Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa kunci untuk mendapatkan kebaikan
agama adalah dengan mempelajari ilmu agama, dan kebaikan yang paling pokok adalah
tauhid.

3. Mempelajari lawan dari tauhid itu, yaitu syirik, baik itu definisinya, jenis-jenisnya,
dan contoh-contohnya. Karena untuk memmahami sesuatu itu terkadang kita juga harus
mengenal lawannya. Lawan dari tauhid adalah syirik dan lawan dari sunnah adalah
bid'ah.

Seorang sahabat Rasulullah ‫لم‬--‫ه وس‬--‫لى هللا علي‬--‫ص‬ yang bernama Hudzaifah ibnul Yaman


radhiallahu ‘anhu berkata:

‫ت أَسْأَلُهُ ع َْن ال َّش ِّر َمخَافَةَ أَ ْن يُ ْد ِر َكنِي‬


ُ ‫ َو ُك ْن‬،‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ع َْن ْال َخي ِْر‬
َ ِ ‫َكانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ َرسُو َل هَّللا‬
“Dahulu orang-orang bertanya kepada Rasulullah  ‫صلى هللا عليه وسلم‬ tentang
perkara kebaikan, sedangkan saya bertanya kepada beliau tentang perkara kejelekan
karena takut akan menimpaku.” [HR Al Bukhari (3606) dan Muslim (1847)]

Seorang penyair berkata:

‫ ومن ال يعرف الشر من الناس يقع فيه‬... ‫عرفت الشر ال للشر لكن لتوقيه‬
“Aku mempelajari kejelekan bukanlah untuk melakukan kejelekan itu, akan
tetapi untuk menghindarinya. Barangsiapa yang tidak mempelajari kejelekan (yang

2
dilakukan) manusia, maka dia akan terjatuh ke dalamnya.”

4. Memperbanyak doa kepada Allah agar diberikan keistiqomahan (keteguhan) di atas


tauhid dan sunnah dan agar dijauhkan dari segala bentuk kesyirikan dan kebid'ahan baik
yang kita ketahui ataupun tidak, baik yang kita sadari ataupun tidak.

Salah satu doa yang disebutkan oleh Allah ta’ala di dalam Al Qur`an adalah:
ُ‫ك أَ ْنتَ ْال َوهَّاب‬ َ ‫َربَّنَا اَل تُ ِز ْغ قُلُوبَنَا بَ ْع َد إِ ْذ هَ َد ْيتَنَا َوهَبْ لَنَا ِم ْن لَ ُد ْن‬
َ َّ‫ك َرحْ َمةً إِن‬
“(Mereka berdoa): “Wahai Rabb kami, janganlah Engkau condongkan hati
kami kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah
kepada kami rahmat dari sisi Engkau. Sesungguhnya Engkau-lah Al Wahhab (Maha
Pemberi).” [QS Alu Imran: 8]

5. Bergaul dengan orang-orang yang lurus dan teguh agamanya (ahlussunnah) dan
menghindari pergaulan dengan orang-orang yang melakukan kesyirikan agar tidak
terpengaruh dengan perbuatan mereka tersebut.

Hal inilah yang dicontohkan oleh para nabi dan rasul, di antaranya adalah Nabiyullah
Ibrahim ‫صلى هللا عليه وسلم‬sebagaimana yang diceritakan oleh Allah di dalam Al Quran:

‫َت لَ ُك ْم أُ ْس َوةٌ َح َسنَةٌ فِي إِ ْب َرا ِهي َم َوالَّ ِذينَ َم َعهُ ِإ ْذ قَالُوا لِقَوْ ِم ِه ْم إِنَّا بُ َرآ ُء ِم ْن ُك ْم َو ِم َّما تَ ْعبُ ُدونَ ِم ْن دُو ِن‬
ْ ‫قَ ْد َكان‬
‫هَّلل‬ ُ ُ َّ
ُ‫ضا ُء أبَدًا َحتى ت ْؤ ِمنوا بِا ِ َوحْ َده‬ َ ْ ُ ْ
َ ‫هَّللا ِ َكفَرْ نَا بِك ْم َوبَدَا بَ ْينَنَا َوبَ ْينَك ُم ال َعدَا َوة َوالبَغ‬
ْ ُ ُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan
orang-orang yang bersama dengan dia ketika mereka berkata kepada kaum mereka:
"Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kalian dari daripada apa yang kalian sembah
selain Allah. Kami mengingkari (perbuatan) kalian dan telah nyata antara kami dan
kalian permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kalian beriman hanya
kepada Allah saja.” [QS Al Mumtahanah: 4]

Demikianlah beberapa cara yang bisa ditempuh untuk menghindari kesyirikan. Sebagai
tambahan, cara-cara di atas juga bisa diterapkan untuk menghindari perkara-perkara
bid’ah.

Dunia Sarana Mencapai Akhirat

Setiap manusia menghendaki kehidupan yang bahagia. Tidak ada satupun manusia
yang ingin hidup susah, gelisah, dan tidak merasakan ketentraman. Akan tetapi setiap
manusia memiliki prinsip dan cara pandang yang berbeda dalam mengukur
kebahagiaan. Karena yang paling memengaruhi seseorang dalam mengukur
kebahagiaan adalah prinsip dan pandangan hidup yang dipijakinya.

Bagi seorang Muslim, kebahagiaan tidak selalu berupa kemewahan dan


keberlimpahan materi duniawi. Berikut ini beberapa pinsip kebahagiaan dalam konsep
hidup Islam. Beberapa prinsip hidup bahagia menurut Islam.

1. Bahagia di Jalan Allah 


Allah SWT dalam Al-Qur’an berfirman:

3
ٰ
َّ ‫ َذلِ ُك ْم َو‬ ۚ ‫سبِيلِ ِه‬
َ‫صا ُكم ِب ِه لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬ َ ‫سبُ َل فَتَفَ َّر‬
َ ‫ق بِ ُك ْم عَن‬ ُّ ‫ۖ َواَل تَتَّبِ ُعوا ال‬ ُ‫ستَقِي ًما فَاتَّبِ ُعوه‬ ِ ‫َوأَنَّ ٰ َه َذا‬
ْ ‫ص َرا ِطي ُم‬
“dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah
dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar
kamu bertakwa”.  (Qs. Al-An’am: 153)
Kebahagiaan hanya dapat diperoleh dengan meniti jalan yang digariskan oleh Allah.
Yang dimaksud dengan meniti jalan Allah adalah menaati perintah-Nya dan
meninggalkan larangan-Nya dengan ikhlas dan benar. Ayat 153 surah al-An’am diatas
sebelumnya didahului dengan penjelasan tentang beberapa perintah dan larangan
Allah kepada orang beriman.

Sehingga sudah dapat dipastikan bahwa orang yang meninggalkan jalan yang
digariskan oleh Allah akan, tidak tenang dan tidak bahagia. Karena ia akan mencari
jalan dan sumber kebahagiaan pada jalan yang dibuat dan digariskan oleh selain Allah
dan Rasul-Nya. Dalam ayat lain dijelaskan:

‫ش ُرهُ يَ ْو َم ا ْلقِيَا َم ِة أَ ْع َم ٰى‬ َ ً ‫شة‬


ُ ‫ضن ًكا َونَ ْح‬ َ ‫َو َمنْ أَ ْع َر‬
َ ‫ض عَن ِذ ْك ِري فَإِنَّ لَهُ َم ِعي‬
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya
penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat
dalam keadaan buta”.  (surat Thaha [20]: 123.

2. Menggabungkan antara kebahagiaan ruh dan Jasad


Manusia terbentuk dari ruh dan jasad. Masing-masing dari keduanya membutuhkan
gizi dan nutrisi yang harus dipenuhi secara adil. Sebagian kalangan hanya
menekankan aspek ruh dan mengabaikan kebutuhan jasad. Sebaliknya sebagian yang
lain hanya menekankan pemenuhan kebutuhan jasad dan mengabaikan kebutuhan ruh.

Adapun petunjuk Islam memenuhi kebutuhan keduanya (ruh dan jasad) secara adil.
Ruh dipenuhi kebutuhannya dengan cahaya wahyu dari langit dan menjaga kesehatan
jasad dengan pememenuhan hajat syahwat dan syahwat melalui cara yang halal dan
thayyib. Allah Ta’ala berfirman:

‫صيبَ َك ِمنَ ال ُّد ْنيَا‬


ِ ‫َنس َن‬ َ ‫ َوا ْبت َِغ فِي َما آتَاكَ هَّللا ُ الد‬ ۖ
َ ‫ۖ َواَل ت‬ َ‫َّار اآْل ِخ َرة‬
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan)
duniawi.” (Surah al-Qashash [28]:77).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kepada umatnya untuk menunaikan
hak kepada pemiliknya masing-masing.
“Sesungguhnya Rabbmu punya hak darimu, dirimu punya hak darimu, keluargamu
juga punya hak, maka berilah setiap hak kepada pemiliknya” (Terj. HR. Bukhari).

3. Berani Menghadapi Resiko hidup

4
Barangsiapa yang telah menikmati manisnya Iman, maka ia takkan pernah mau
meninggalkannya, kendati pedang diletakkan di lehernya. Sebagaimana tukang sihir
Fir’aun yang tegar menghadapi ancaman potong tangan-kaki dan salib;

َ ُ ‫ف َوأَل‬
‫صلِّبَنَّ ُك ْم فِي‬ ِّ َ‫ۖ فَأَل ُق‬ ‫س ْح َر‬
ٍ ‫ط َعنَّ أَ ْي ِديَ ُك ْم َوأَ ْر ُجلَ ُكم ِّمنْ ِخاَل‬ ِّ ‫ۖ إِنَّهُ لَ َكبِي ُر ُك ُم الَّ ِذي َعلَّ َم ُك ُم ال‬ ‫قَا َل آ َمنتُ ْم لَهُ قَ ْب َل أَنْ آ َذنَ لَ ُك ْم‬
‫ش ُّد َع َذابًا َوأَ ْبقَ ٰى‬ َ َ‫وع النَّ ْخ ِل َولَتَ ْعلَ ُمنَّ أَ ُّينَا أ‬
ِ ‫ُج ُذ‬
Berkata (Fir’aun): “Apakah kamu telah beriman kepadanya (Musa) sebelum aku
memberi izin kepadamu sekalian. Sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang
mengajarkan sihir kepadamu sekalian. Maka sesungguhnya aku akan memotong
tangan dan kaki kamu sekalian dengan bersilang secara bertimbal balik, dan
sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma dan
sesungguhnya kamu akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan lebih
kekal siksanya”. (Qs Thaha [20]:71).
Mereka tetap teguh dan tegar sebagaimana diabadikan oleh Allah;

‫ضي ٰ َه ِذ ِه ا ْل َحيَاةَ ال ُّد ْنيَا‬ ٍ ‫ض َما أَنتَ قَا‬


ِ ‫ۖ إِنَّ َما تَ ْق‬ ‫ض‬ ِ ‫ۖ فَا ْق‬ ‫ط َرنَا‬
َ َ‫ت َوالَّ ِذي ف‬
ِ ‫َقالُوا لَن ُّنؤْ ثِ َر َك َعلَ ٰى َما َجا َءنَا ِمنَ ا ْلبَيِّنَا‬
Mereka berkata: “Kami sekali-kali tidak akan mengutamakan kamu daripada bukti-
bukti yang nyata (mukjizat), yang telah datang kepada kami dan daripada Tuhan
yang telah menciptakan kami; maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan.
Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini
saja. (Qs Thaha [20]:72).
Tidak ada sesuatupun yang meneguhkan dan menegarkan mereka, kecuali karena
mereka telah merasakan lezat dan manisnya keimanan. Sehingga mereka merasakan
ketenangan batin dan ketegaran saat menghadapi ancaman, termasuk ancaman
pembunuhan sekalipun.

4. Kebahagiaan adalah Ketenangan dalam Hati


Tiada kebahagiaan tanpa sakinah (ketenangan) dan thuma’ninah (ketentraman).Dan
tiada ketenangan dan ketentraman tanpa iman. Allah Ta’la berfirman tentang orang-
orang beriman:

َّ ‫ه َُو الَّ ِذي أَن َز َل ال‬ ۗ


ِ ‫س ِكينَةَ فِي قُلُو‬
‫ب ا ْل ُمؤْ ِمنِينَ لِيَ ْزدَادُوا إِي َمانًا َّم َع إِي َمانِ ِه ْم‬
“Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin
supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah
ada). (Qs Al-Fath: 4).
Keimanan melahirkan kebahagiaan dari dua sisi
(1) Iman dapat menghindarkan dan memalingkan seseorang dari ketergelinciran ke
dalam dosa yang merupakan sebab ketidak tenangan dan kegersangan jiwa.
(2) Keimanan dapat menjadi sumber utama kebahagiaan, yakni sakinah dan
thuma’ninah. Sehingga di tengah lautan masyakil (probematika) dan krisis hidup tidak
ada jalan keluar dan keselamatan selain Iman.
Oleh karena itu orang yang tanpa iman di hatinya dipastikan akan selalu dirundung
rasa takut, was-was, khawatir, gelisah, galau. Adapun bagi orang beriman tidak ada
rasa takut sama sekali, selain takut kepada Allah Ta’ala.

5
Hati yang dipenuhi iman memandang remeh setiap kesulitan yang menghimpit,
karena orang beriman selalu menyikapi segala persoalan dengan tawakkal kepada
Allah. Sedangkan hati yang kosong, tanpa iman tak ubahnya selembar daun rontok
dari dahannya yang diombang-ambingkan oleh angin.

5. Berpindah dari kebahagiaan dunia pada kebahagiaan akhirat


Pasca kehidupan dunia, akan memasuki kehidupan di alam kubur bakda kematian dan
selanjutnya kehidupan di negeri akhirat setelah hari kiamat. Dan jalan-jalan
kebahagiaan akan menyertai manusia dalam tiga fase kehidupan tersebut (dunia, alam
kubur,& hari akhir)

Dalam kehidupan dunia Allah Ta’ala telah menjanjikan kebahagiaan bagi orang-orang
beriman dan beramal shaleh:

َ‫س ِن َما َكانُوا يَ ْع َملُون‬ َ ً‫صالِ ًحا ِّمن َذ َك ٍر أَ ْو أُنثَ ٰى َو ُه َو ُمؤْ ِمنٌ فَلَنُ ْحيِيَنَّهُ َحيَاة‬
َ ‫ۖ َولَنَ ْج ِزيَنَّ ُه ْم أَ ْج َرهُم بِأ َ ْح‬ ً‫طيِّبَة‬ َ ‫َمنْ َع ِم َل‬
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan
dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.(Qs An-Nahl
[16]:97).
Ayat tersebut menegaskan bahwa orang yang beriman dan beramal shaleh akan
dihidupkan di dunia dengan kehidupan yang baik; bahagia, tenang, tentram, meski
hartanya sedikit.

Adapun kebahagiaan di alam kubur, seorang Mu’min akan dilapangkan kuburannya,


sebagaimana diterangkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang
diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
“Sungguh, seorang Mu’min dalam kuburannnya benar-benar berada di taman yang
hijau, dilapangkan kuburannya sejauh tujuh puluh hasta, dan disinari kuburannya
seperti –terangnya- bulan di malam purnama” (dihasankan oleh al-Albaniy).
Sedangkan kebahagiaan di akhirat Allah berjanji akan tempatkan dalam surga dan
kekal di dalam selama-lamanya jelaskan dalam Hud ayat 108,

ُ ‫س َما َواتُ َواأْل َ ْر‬


‫ۖ َعطَا ًء َغ ْي َر َم ْج ُذو ٍذ‬ ‫ض إِاَّل َما شَا َء َربُّ َك‬ ُ َ‫َوأَ َّما الَّ ِذين‬
ِ ‫س ِعدُوا َففِي ا ْل َجنَّ ِة َخالِ ِدينَ فِي َها َما دَا َم‬
َّ ‫ت ال‬
“Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga, mereka
kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki
(yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya” (Terj. Qs Hud [11]:108)
Singkatnya, dengan iman seorang hamba dapat meraih kebahagiaan hakiki di dunia
dan di akhirat. Jadi, Islam telah datang dengan konsep dan jalan kebahagiaan yang
abadi, yang mencakup kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Meskipun demikian Allah telah menjadikan kebahagiaan dunia dan akhirat sebagai
dua sisi yang saling terkait dan terpisah. Sehingga keduanya tidak perlu
dipertentangkan. Sebab keduanya adalah satu. Keduanya adalah jalan yang satu. Allah

6
mengingatkan bahwa siapa yang menghendaki balasan dunia, maka Allah memeiliki
balasan di dunia dan akhirat;

ُ ‫اب ال ُّد ْنيَا فَ ِعن َد هَّللا ِ ثَ َو‬


‫اب ال ُّد ْنيَا َواآْل ِخ َر ِة‬ َ ‫ َّمن َكانَ يُ ِري ُد ثَ َو‬ ۚ
Barangsiapa yang menghendaki pahala di dunia saja (maka ia merugi), karena di sisi
Allah ada pahala dunia dan akhirat.(Qs An-Nisa [4]: 134).
Namun bagi seorang Muslim yang beriman bahwa kebahagiaan yang ada disisi Allah
jauh lebih baik dan kekal abad.

2.6 Tidak Berputus Asa Terhadap Takdir Allah SWT

Sudah pada kodratnya manusia senantiasa menghadapi permasalahan hidup. Bahkan,


hidup merupakan serangkaian tindakan untuk mengelola permasalahan. Pada sebagian
masalah, secara alamiah manusia dibekali insting untuk menghadapinya.

Namun, pada sebagian lainnya manusia harus melalaui proses pencarian dan
pembelajaran sebelum menemukan solusi terbaik menyelesaikan masalahnya. Ketika
lapar, kita makan; mengantuk, tidur. Ini insting yang otomatis mengarahkan tubuh
kita.

Namun, permasalahan lain, seperti rasa sakit, takut, kesepian, keinginan memiliki,
rasa malu, cemburu, inilah persoalan yang diperlukan usaha pembelajaran. Allah
SWT mendorong manusia untuk selalu mencari jalan dan berusaha menyelesaikan
masalah yang dihadapinya.

Dalam surah Yusuf ayat 87, Allah berfirman, “… dan janganlah kamu berputus asa
dari rahmat Allah. Sesungguhnya, tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan
kaum yang kafir.” Mengapa Allah melarang kita berputus asa? Sebenarnya, ini
mengandung konsekuensi logis.

Ketika Allah melarang manusia berputus asa, itu artinya Allah sudah menjamin pasti
ada harapan dan jalan keluar bagi setiap permasalahan. Itulah mengapa selalu ada
fitrah jalan keluar dalam setiap pemecahan masalah. Berupa jalan yang semakin
mendekatkan diri manusia kepada ajaran-Nya.

Fitrah jalan keluar dari Allah selalu beriringan dengan seberapa tingkat ketakwaan
hamba-Nya. Didahului dengan pertobatan, rasa syukur, serta amalan vertikal dan

horizontal, kemudian segala daya akal dan upaya kita kerahkan untuk menemukan
jalan keluar yang telah Allah siapkan untuk permasalahan kita.

“Hai orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar
dan shalat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar." Namun, banyak manusia
merasa bisa menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa pertolongan Tuhan-Nya.

Atau, sebagian lain justru merasa tidak ada jalan keluar dan berputus asa atas masalah
yang mendera. Dalam kutipan surahYusuf di atas, manusia yang berputus asa dari
rahmat Allah atau bahkan tidak mengimani adanya jalan keluar, masuk dalam
kategori manusia yang melakukan kekufuran.

7
Jadi, masalah yang dihadapi manusia dapat dipahami sebagai ujian keimanan dari
Allah. Lalu, apakah kita akan kufur atau percaya pada pertolongan-Nya? Harusnya,
kita selalu yakin Allah menyediakan jalan keluar dari setiap permsalahan yang kita
hadapi.

Kalau saja kepercayaan tentang fitrah jalan keluar tertanam luas dalam cara pandang
masyarakat kita, tentu tak akan lagi kita memilih lari dari permasalahan dengan cara
bunuh diri, menggunakan narkotika, mabuk-mabukan, kekerasan, dan cara lainnya.
Wallahu a’lam.

2.5 Berbaik Sangka Kepada Allah SWT

Sesungguhnya berprasangka baik kepada Allah Ta’ala yakni meyakini apa yang layak
untuk Allah, baik dari nama, sifat dan perbuatanNya.  Begitu juga meyakini apa yang
terkandung dari pengaruhnya yang besar. Seperti keyakinan bahwa Allah Ta’ala
menyayangi para hamba-Nya yang berhak disayangi, memaafkan mereka dikala
bertaubat dan kembali, serta menerima dari mereka ketaataan dan ibadahnya. Dan
meyakini bahwa Allah Ta’ala mempunyai  berbagai macam hikamh nan agung yang
telah ditakdirkan dan ditentukan.

Siapa yang mengira bahwa husnuzhan kepada Allah tidak perlu diimbangi dengan
perbuatan telah keliru dan salah, serta tidak memahami ibadah ini dengan cara yang
benar. Tidak bermanfaat berprasangka baik dengan meninggalkan kewajiban atau
dengan melakukan kemaksiatan. Barangsiapa yang berprasangka seperti itu maka dia
termasuk terpedaya, memiliki pengharapan yang tercela serta  keinginan yang
mengada-ada dan merasa aman dari azab Allah. Semuanya itu membahayakan dan
membinasakan.

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Telah jelas perbedaan antara husnuzhan


dan ghurur (terpedaya  diri sendiri). Berprasangka baik mendorong lahirnya amal,
menganjurkan, membantu dan menuntun untuk melakukannya. Inilah sikap yang
benar. Tapi kalau mengajak kepada pengangguran dan bergelimang dalam
kemaksiatan, maka itu adalah ghurur (terpedaya diri sendiri). Berprasangka baik itu
adalah pengharapan (raja), barangsiapa pengharapannya membawa kepada kataatan
dan meninggalkan kemaksiatan, maka itu adalah pengharapan yang benar. Dan
barangsiapa yang keengganannya beramal dianggap sebagai sikap berharap, dan sikap
berharapnya berarti  enggan beramal atau meremehkan, maka itu termasuk terpedaya.‘
(Al-Jawab Al-Kafi, hal. 24)

Syekh ShAleh Al-Fauzan hafizahullah berkata: “Prasangka yang baik kepada Allah
seharusnya disertai meninggalkan kemaksiatan. Kalau tidak,maka itu termasuk sikap
merasa aman dari azab Allah. Jadi,  prasangka baik kepada Allah harus disertai
dengan melakukan sebab datangnya kebaikan dan sebab meninggalkan kejelekan,
itulah pengharapan yang terpuji. Sedangkan prasangka baik kepada Allah dengan
meninggalkan kewajiban dan melakukan yang diharamkan, maka itu adalah
pengharapan yang tercela. Ini termasuk sifat merasa aman dari makar Allah." (Al-
Muntaqa Min Fatawa Syekh Al-Fauzan, 2/269)

8
Seharusnya, seorang muslim senantiasa berprasangka baik kepada Allah Ta’ala. Ada
dua tempat yang selayaknya seorang muslim memperbanyak khusnuzhan kepada
Allah.

Pertama: Ketika menunaikan ketaatan (kepada Allah).

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata, Nabi shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,

“Allah Ta’ala berfirman, 'Aku tergantung persangkaan hamba kepadaKu. Aku


bersamanya kalau dia mengingat-Ku. Kalau dia mengingatku pada dirinya, maka Aku
mengingatnya pada diriKu. Kalau dia mengingatKu di keramaian, maka Aku akan
mengingatnya di keramaian yang lebih baik dari mereka. Kalau dia mendekat
sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Kalau dia mendekat kepada
diri-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya sedepa. Kalau dia mendatangi-Ku
dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari." (HR bukhari, no.
7405 dan Muslim, no. 2675)

Dapat diperhatikan dalam hadits ini, hubungan yang sangat jelas sekali antara
husnuzhan dengan amal.  Yaitu mengiringinya dengan mengajak untuk mengingat-
Nya Azza Wa Jalla dan mendekat kepada-Nya dengan ketaatan. Siapa yang
berprasangka baik kepada Tuhannya Ta’ala semestinya akan mendorongnya berbuat
ihsan dalam beramal. Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata:

“Sesungguhnya seorang mukmin ketika berbaik sangka kepada Tuhannya, maka dia
akan memperbaiki amalnya. Sementara orang buruk, dia berprasangka buruk kepada
Tuhannya, sehingga dia melakukan amal keburukan." (HR. Ahmad, hal. 402).

Ibnu Qayim rahimahullah berkata:

“Siapa yang dengan sungguh-sungguh memperhatikan, akan mengetahui bahwa


khusnuzhan kepada Allah adalah memperbaiki amal itu sendiri. Karena yang
menjadikan amal seorang hamba itu baik, adalah karena dia memperkirakan
Tuhannya akan memberi balasan dan pahala dari amalannya serta menerimanya.
Sehingga yang menjadikan dia beramal adalah prasangka baik itu. Setiap kali baik
dalam prasangkanya, masa semakin baik pula amalnya."

Secara umum, prasangka baik akan mengantar seseorang melakukan sebab


keselamatan. Sedangkan  kalau melakukan sebab kecelakaan, berarti dia tidak ada
prasangka baik." (Al-Jawabu Al-Kafi, hal. 13-15 )

Abul Abbas Al-Qurtubi rahimahullah berkata:

“Pendapat lain mengatakan, maknanya adalah: Mengira akan dikabulkan apabila


berdoa, mengira diterima ketika bertaubat, mengira diampuni ketika memohon
ampunan, mengira diterima amalnya ketika melaksanakannya  dengan memenuhi
persyaratan, serta berpegang teguh terhadap kejujuran janji-Nya dan lapangnya
KeutamaanNya.

Saya katakan demikian, karena dikuatkan dengan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa


sallam; ‘Berdoalah kepada Allah dalam keadaan kalian yakin akan dikabulkan
(doanya).’ (HR. Tirmizi dengan sanad shahih)
9
Begitu juga seyogyanya bagi orang yang bertaubat, orang yang memohon ampunan
dan pelaku suatu amal yang bersungguhh-sungguh dalam melaksanakan semua itu,
hendaknya meyakini bahwa Allah akan menerima amalnya dan memafkan dosanya.
Karena Allah Ta’ala telah berjanji akan menerima taubat yang benar dan amal yang
shaleh. Sedangkan kalau dia beramal dengan amalan-amalan tersebut tapi
berkeyakinan atau menyangka bahwa Allah Ta’la tidak menerimanya dan hal itu tidak
bermanfaat, maka hal itu termasuk putus asa terhadap rahmat dan karunia Allah . Itu
termasuk di antara dosa besar. Barangsiapa yang meninggal dunia dalam kondisi
seperti itu, maka dia akan mendapatkan apa yang dia kira (yakini). Sebaliknya,
mengira bakal diampuni dan mendapat rahmat sementara dia terus menerus
melakukan kemaksiatan, maka hal itu termasuk kebodohan. Hal itu dapat
menjerumuskannya kepada pemahaman murji’ah (seseorang tidak akan kafir dengan
perbuatannya). " Al-Mufhim Syarh Muslim, 7/ 5,6)

Kedua: Ketika mengalami musibah dan saat menjelang kematian.

Dari jabir radhiallahu anhu dia berkata, Aku mendengar Nabi sallallahu’alaihi wa
sallam tiga hari sebelum wafat bersabda:

ِ ‫الَ يَ ُموتَنَّ أَ َح ُد ُك ْم إِالَّ َو ُه َو يُ ْح‬


) 2877  ‫ رقم‬،‫ ( رواه مسلم‬  َّ‫سنُ بِاهَّلل ِ الظَّن‬

 “Janganlah salah satu di antara kalian meninggal dunia kecuali dia berprasangka baik
kepada Allah.” (HR. Muslim, 2877)

Dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 10/220 dikatakn, " Seorang mukmin


diharuskan berprasangka baik kepada Allah Ta’ala, dan lebih ditekankan dalam
prasangkan baik kepada Allah ketika ditimpa musibah dan ketika akan meninggal
dunia.

Al-Khatab berkata, "Dianjurkan bagi yang akan meninggal dunia berprasangka baik
kepada Allah Ta’ala. Berprasangka baik kepada Allah meskipun sangat dianjurkan
ketika mau meninggal dunia dan dalam kondisi sakit, akan tetapi sepantasnya
seseorang senantiasa berprasangka baik kepada Allah. "

10

Anda mungkin juga menyukai