Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN PBL MODUL 2

BLOK URONEFROLOGI
“PRODUKSI KENCING MENURUN”

TUTOR : Dr. dr. Sri Wahyu, M. Kes


KELOMPOK 8A

ANDI ZAHRA SHAFANISA ODDANG 11020180008


ABDUL RAQIB RAHMAN 11020180013
AMMAR BURHANUDDIN 11020180025
AMAR MA’RUF 11020180033
ANDI REZKY MAULANA 11020180046
NUR ARITZAH 11020180059
AZZAHRA MAGHFIRAH M. 11020180064
NABILA FAJRIN BUDIMAN 11020180081
TASYA FITRI RAMADANTI 11020180089
MARDHIYANTO AZHARY PUTRA 11020180094
MUH. RIDZKY AFDAL MASSALINRI 11020180104

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2020
SKENARIO 4
Seorang perempuan berusia 28 tahun datang dengan keluhan muntah sejak
1 hari ini. Pasien muntah setiap kali makan dan juga merasa mual. Pasien
mengeluh sedikit sesak, jumlah urin sedikit, lemas tapi tidak mengeluh demam.
Pasien diketahui mengkonsumsi obat herbal pelangsing sejak 2 minggu ini yang
membuat pasien banyak kencing. Pada pemeriksaan fisik didapatkan: Tekanan
darah 130/80 mmHg, Nadi 100x/menit, RR 24x/menit, suhu axilla 36,7 C. Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan kreatinin 7,6 mg/dl, dan ureum 225 mg/dl.
KATA SULIT
-
KATA KUNCI
1. Perempuan 28 tahun
2. Keluhan muntah sejak 1 hari ini. Pasien muntah setiap kali makan dan
juga merasa mul
3. Pasien mengeluh sedikit sesak, jumlah urin sedikit, lemas tapi tidak
mengeluh demam
4. Pasien diketahui mengkonsumsi obat herbal pelangsing sejak 2 minggu ini
yang membuat pasien banyak kencing
5. Pada pemeriksaan fisik didapatkan: Tekanan darah 130/80 mmHg, Nadi
100x/menit, RR 24x/menit, suhu axilla 36,7 C
6. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kreatinin 7,6 mg/dl, dan ureum
225 mg/dl.

PERTANYAAN
1. Jelaskan etiologi produksi urin berkurang dan sertakan struktur anatomi
yang terlibat !
2. Jelaskan Patomekanisme gejala sesuai scenario !
3. Apakah terdapat hubungan obat pelangsing dengan gejala sesuai scenario ?
4. Apa saja Langkah – Langkah diagnosis sesuai scenario ?
5. Apa saja diagnosis banding sesuai scenario ?
6. Jelaskan penatalaksanaan awal sesuai scenario !
7. Apa Prespektif Islam yang sesuai dengan skenario ?

PEMBAHASAN
1. Jelaskan etiologi produksi urin berkurang dan sertakan struktur
anatomi yang terlibat !
Anatomi Ginjal
Ternasuk sistema excretorius yang memproduksi urin, dan mangalirkan
keluar tubuh. Urin merupakan hasil filtrasi darah yang berlangsung terus
menerus.Terdiri dari :
a. Ren
Ada dua buah, bentuk seperti kacang merah dengan ukuran 11 cm, lebar 6
cm dan tebal 3 cm Lokalisasi di dalam cavum abdominis, berada di sebelah
kiri dan kanan columna vertebralis. Ujung cranial disebut polus superior
(=polus cranialis) dan ujung caudal disebut polus inferior (=polus caudalis),
membentuk fasies anterior dan facies posterior. Kedua permukaan
membentuk margo lateralis dan margo medialis Pada margo medialis terdapat
hilum renale, yang merupakan tempat keluar masuk arteri renalis vena,
renalis, ureter dan serabut-serabut saraf. Pada polus superior tedapat glandula
suprarenalis
b. Ureter
Ureter adalah saluran yang dibentuk oleh jaringan otot polos dengan
ukuran 25 30 cm, menghubungkan ren dengan vesica urinaria. Sebagian
berada di dalam cavum abdominis disebut pars abdominalis, dan sebagian
lagi berada di dalam cavum pelvicum disebut pars pelvina. Pangkal ureter
merupakan kelanjutan dari pelvis renis, lepas dari ren melalui hilus renale,
berada di sebelah dorsal vasa renalis.
Kedua ureter bermuara ke dalam vesica urinaria dengan jarak 5 cm satu sama
lain. Berjalan obliq sepanjang 2 cm di dalam dinding vesica urinaria sebelum
bermuara ke dalam vesica uinaria, disebut ostum ureteris terdapat 3 tempat
penyempitan ureter, yaitu pada peralihan pelvis renis menjadi ureter, (2)
kompilasi menyilang ailliaca communis, (3) bercampur dalam vesica urinaria.
c. Vesica urinaria
Sebuah kantong yang digunakan oleh jaringan ikat dan otot polos,
berfungsi sebagai tempat penyimpanan urin. Volume 2000 3000 cc.
Morfologi sangat bervariasi, ditentukan oleh waktu, jenis kelamin darn
volume.

d. Urethra
Suatu saluran fibromuscular, dilalui oleh urin dari vesica urinaria. Saluran
ini menutup pada saat kosong. Pada pria juga dilalui oleh air mani
(spermatozoa) Ada beberapoa antara urethra feminina dan urethra masculina.
Urethra pada wanita disebut Urethra Feminina sedangkan pada laki-laki
disebut urethra Masculina.
Gambar organ-organ system urinaria:
GAMBAR 1. ORGAN SISTEM URINARIA

a. Vaskularisasi

Arteri renalis dipercabangkan oleh aorta abdominalis, Arteri renalis dexter


berjalan disebelah dorsal vena cava inferior .Arteri vesicalis superior dan
arteri vesicalis inferior dipercabangkan oleh arteri iliaca interna. Memberi
vascularisasi pada vesika urinaria, ureter dan urethra pars prostatica. Vena
renalis bermuara pada vena cava inferior.
b. Innervasi
Ren mendapat innervasi dari plexus renalis yang dibentuk oleh
percabangan dari plexux coelicalicu. Ureter menerima innervasi dari
n.thoracalis 10-12, n.lumbalis 1- sacralis 4. Vesica urinaria diinervasi oleh
plexus vesicalis yang berasal dari n.sacralis 2-4.
GAMBAR 2. MAKROSKOPIS GINJAL

Etiologi Oligouria
Keluaran urin adalah fungsi dari laju filtrasi glomerulus (GFR) dan sekresi
tubular dan reabsorpsi. GFR adalah tergantung langsung pada perfusi ginjal.
Karena itu, oliguria umumnya menunjukkan penurunan GFR yang dramatis atau
obstruksi mekanis terhadap aliran urin.

Prerenal Oliguria
Jika penyebab utama oliguria adalah gangguan perfusi ginjal, hal itu
disebut oliguria prerenal. Perfusi ginjal adalah fungsi dari volume sirkulasi, curah
jantung, tekanan rata-rata arteri, dan resistensi pembuluh darah ginjal. Oleh karena
itu, oliguria prerenal umumnya terjadi sebagai akibat dari penurunan volume
sirkulasi yang absolut atau relatif. Penurunan mutlak volume sirkulasi dapat
disebabkan oleh perdarahan sekuestrasi cairan setelah pembedahan. Penurunan
relatif dalam sirkulasi volume dapat disebabkan oleh peningkatan kapasitansi
pembuluh darah yang dihasilkan dari vasodilatasi (misalnya, sebagai hasil sepsis).
Perfusi ginjal dan oliguria menurun biasanya merupakan manifestasi dari
gangguan curah jantung (misalnya, syok kardiogenik, tamponade jantung).
Terakhir, kurang lainnya penyebab umum penurunan perfusi ginjal dan oliguria
termasuk penyebab struktural, seperti tromboemboli, diseksi, inflamasi
(vaskulitis, terutama skleroderma), mempengaruhi sirkulasi intrarenal atau
ekstrarenal. Ginjal atheroemboli (biasanya disebabkan oleh emboli kolesterol)
biasanya mempengaruhi pasien yang lebih tua dengan aterosklerotik erosif difus
penyakit. Kondisi ini paling sering terlihat setelah manipulasi dari aorta atau arteri
besar lainnya selama arteriografi, angioplasti, atau pembedahan. Kondisi ini juga
dapat terjadi secara spontan atau setelah pengobatan dengan agen heparin,
warfarin, atau trombolitik.
Penurunan perfusi ginjal dapat terjadi sebagai akibat masalah aliran keluar
seperti trombosis vena ginjal atau abdominal compartment syndrome (ACS). ACS
jarang terjadi tetapi penyebab serius dan reversibel dari oliguria dan GGA yang
sering diabaikan. Ini didefinisikan sebagai disfungsi organ yang terjadi dari
peningkatan tekanan intra-abdominal. ACS bisa terlihat dalam berbagai kondisi
medis dan bedah, paling sering setelah operasi perut besar yang membutuhkan
pemberian cairan dalam jumlah besar (mis., pecah perbaikan aneurisma aorta
abdominal), laparotomi yang muncul dengan penutupan dinding perut yang rapat,
dan dinding perut luka bakar dengan edema. ACS menyebabkan oliguria akut dan
GGA terutama melalui peningkatan tekanan aliran keluar ginjal, dan karenanya
secara tidak langsung mengurangi perfusi ginjal. Mekanisme lain yang mungkin
untuk GGA termasuk kompresi parenkim langsung dan vasokonstriksi arteri yang
dimediasi renin. Namun, muncul bukti menunjukkan bahwa peningkatan tekanan
vena ginjal, daripada efek langsung dari kompresi parenkim, adalah mekanisme
utama disfungsi ginjal. Umumnya, perubahan ini terjadi sebagai respon langsung
terhadap peningkatan tekanan intraabdomen, dengan oliguria yang berkembang
pada tekanan lebih dari 15 mmHg, dan anuria pada tekanan lebih besar dari 30
mm Hg.
a. Oliguria Intrarenal
Penyebab paling umum dari oliguria intrarenal di ICU adalah nekrosis
tubular akut (ATN), yang biasanya disebabkan oleh iskemik atau nefrotoksik.
Meskipun ATN iskemik sering kali akibat faktor prerenal yang tidak diobati, ATN
nefrotoksik terjadi sebagai konsekuensi dari nefrotoksisitas langsung dari agen
seperti antibiotik, logam berat, pelarut, agen kontras, dan kristal (asam urat atau
oksalat). Jarang, obat-obatan (mis., Nafcillin, sulfamethoxazole-trimethoprim,
furosemide) dapat menyebabkan nefritis interstitial akut yang menyebabkan
oliguria intrarenal dan GGA.
b. Oliguria postrenal
Oliguria sekunder akibat obstruksi mekanis di distal ginjal disebut oliguria
postrenal. Masalah ini bisa terjadi dari obstruksi tubular-ureter (disebabkan oleh
batu, pengelupasan papiler, kristal, atau pigmen), leher uretra atau kandung kemih
obstruksi (sekunder akibat pembesaran prostat), atau sederhananya kateter urin
malposisi atau terhalang. Jarang, volume urine dapat meningkat pada kasus akibat
obstruksi parsial untuk gangguan konsentrasi urin yang dimediasi oleh tekanan.
Referensi:
1. Bagian Anatomi.2016. Anatomi umum dan Colli Facialis.Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin
2. PaulsenF.& J. Waschke. Sobotta Atlas Anatomi Manusia: Anatomi Umum
dan Muskuloskeletal. Penerjemah : Brahm U. Penerbit. Jakarta : EGC
3. Verhataraman R, Kellum JA. Treatment of Acute Oliguria. In: F. M,
Newman, Fleisher LA, Fink MP, editors. Perioperative Medicine:
Managing for Outcome [Internet]. 1st ed. Philadelphia: Saunders, an
imprint of Elsevier Inc.; 2008. p. 255–60. Available from:
https://www.clinicalkey.com/#!/browse/book/3-s2.0-C20090327658
2. Jelaskan Patomekanisme gejala sesuai scenario !
a. Kencing menurun (oligouria)
Seseorang yang telah mengkonsumsi obat herbal pelangsing kebanyakan
mengalami kelainan-kelainan pada ginjal salah satunya yaitu atrofi dan dekstruksi
tubulus renalis pada korteks ginjal.
Lesi organik pada medula akan merusak susunan anatomik pada lengkung
Henle dan vasa rekta, atau pompa klorida pada pars ascendens lengkung Henle
yang akan mengganggu proses aliran balik pemekat dan aliran balik penukar.
Pendekatan kedua dikenal dengan nama hipotesis Bricker atau hipotesis nefron
yang utuh, yang berpendapat bahwa bila nefron terserang penyakit maka seluruh
unitnya akan hancur, namun sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja normal.
Uremia akan terjadi bila jumlah nefron sudah sangat berkurang sehingga
keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat dipertahankan lagi. Hipotesis
nefron yang utuh ini sangat berguna untuk menjelaskan pola adaptasi fungsional
pada penyakit ginjal progresif, yaitu kemampuan untuk mempertahankan
keseimbangan air dan elektrolit tubuh saat LFG sangat menurun.
Walaupun adanya kelainan abnormal yang terjadi pada ginjal terus
berlanjut, jumlah zat terlarut yang harus diekskresi oleh ginjal untuk
mempertahankan homeostasis tidak berubah, meskipun jumlah nefron yang
bertugas melakukan fungsi tersebut sudah menurun secara progresif. Dua adaptasi
penting dilakukan oleh ginjal sebagai respon ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit. Sisa nefron yang ada mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk
melaksanakan seluruh beban kerja ginjal. Terjadi peningkatan kecepatan filtrasi,
beban zat terlarut dan reabsorpsi tubulus dalam setiap nefron meskipun LFG (Laju
Filtrasi Glomerulus) untuk seluruh massa nefron yang terdapat dalam ginjal turun
di bawah nilai normal. Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil dalam
mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga tingkat fungsi
ginjal yang sangat rendah.
Namun akhirnya, kalau sekitar 75% massa nefron sudah hancur, maka
kecepatan filtrasi dan beban zat terlarut bagi setiap nefron tinggi sehingga
keseimbangan glomerulus atau tubulus (keseimbangan antara peningkatan filtrasi
dan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus) tidak dapat lagi dipertahankan.
Fleksibilitas baik pada proses ekskresi maupun pada proses zat terlarut dan air
menjadi berkurang. Sedikit perubahan pada makanan dapat mengubah
keseimbangan yang rawan tersebut, karena makin rendah LFG (yang berarti
makin sedikit nefron yang ada) semakin besar perubahan kecepatan ekskresi per
nefron. Hilangnya kemampuan memekatkan atau mengencerkan urin
menyebabkan berat jenis urin menyebabkan nilai 1,010 atau 285 mOsm (yaitu
sama dengan konsentrasi plasma) dan merupakan penyebab gejala oligouri dan
nokturia.
b. Muntah
Muntah adalah cara traktus gastrointestinal membersihkan dirinya sendiri
dan isinya ketika hampir semua bagian atas traktus gastrointestinal teriritasi secara
luas. Distensi atau iritasi yang berlebihan dari duodenum menyebabkan
rangsangan yang kuat untuk muntah. Sekali pusat muntah telah cukup dirangsang
dan timbul perilaku muntah, efek yang pertama adalah (1) pernapasan dalam, (2)
naiknya tulang hyoideus dan laring untuk menarik sfingter esofagus bagian atas
sehingga terbuka, (3) penutupan glotis untuk mencegah aliran muntakh memasuki
paru, dan (4) pengangkatan palatum mole untuk menutupi nares posterior.
Kemudian datang kontraksi diafragma yang kuat ke bawah bersama dengan
kontraksi semua otot dinding abdomen.Keadaan ini memeras perut di antara
diafragma dan otot-otot abdomen, membentuk suatu tekanan intragastrik sampai
ke batas yang tinggi. Akhirnya, sfingter esofagus bagian bawah berelaksasi secara
lengkap membuat pengeluaran isi lambung ke atas melalui esofagus Jadi, aksi
muntah berasal dari suatu kerja memeras otot- otot abdomen berkaitan dengan
kontraksi dinding lambung dan pembukaan sfingter esofagus sehingga isi
lambung ke atas melalui esophagus. Hubungan muntah dan produksi urin
berkurang ialah ketika terjadi keadaan dimana produksi urin berkurang, zat-zat
sisa dari tubuh tidak dapat dieksresikan. Akibatnya zat-zat sisa tersebut tetap
tersimpan dan menumpuk dalam darah. Terjadilah keadaan yang disebut
azotemia. Keadaan ini kemudian merangsang pusat muntah pada medulla
oblongata yang disebut Chemoreseptor Trigger Zone. Hal ini menyebabkan
terjadinya reflex muntah
c. Lemas
Insulin yang di keluarkan oleh Beta pankreas dapat di ibaratkan sebagai
anak kunci yang membuka pintu masuknya glukosa kedalam sel untuk kemudian
di dalam sel glukosa itu di metabolisme menjadi tenaga.bila insulin tidak
ada,maka glukosa tidak akan masuk kedalam sel,akibatnya glukosa akan tetap
berada di dalam pembuluh darah,yang artinya kadar dalam darah
meningkat,dalam keadaan ini badan akan menjadi lemas.

Referensi :
1. Price, Sylvia A. and Lorraine M. Wilson, editor; Alih Bahasa, dr. Brahm
U. Pendit, dkk. Patofisiologi Volume II. Edisi 6. Jakarta : EGC; 2003
2. Referensi : Sherwood,lauralee.fisiologi manusia dari sel ke sistem edisi
6,jakarta:EGC.halaman 118.
3. Price, Sylvia A. and Lorraine M. Wilson, editor; Alih Bahasa, dr. Brahm
U. Pendit, dkk. Patofisiologi Volume II. Edisi 6. Jakarta : EGC; 2003
3. Apakah terdapat hubungan obat pelangsing dengan gejala sesuai scenario ?
Banyaknya penggunaaan obat pelangsing tradisional yang beredar
dimasyarakat menyebabkan adanya penyalahgunaan produksi obat tradisional
yang tidak sesuai dengan pedoman cara pembuatan obat tradisional yang baik
dan benar. Seseorang yang telah mengkonsumsi obat herbal pelangsing
kebanyakan mengalami kelainan-kelainan pada ginjal salah satunya yaitu atrofi
dan dekstruksi tubulus renalis pada kortek ginjal. Berdasarkan Permenkes RI No.
007 Tahun 2012, di dalam obat tradisional dilarang mengandung bahan kimia obat
(BKO) yang merupakan hasil isolasi atau sintetik yang berkhasiat sebagai obat.
BKO yang mungkin ditambahkan dalam jamu pelangsing, misalnya furosemid.
Furosemid juga banyak dijual bebas dengan harga murah dan mudah didapat oleh
produsen obat tradisional.

Furosemid adalah obat yang dibuat dari turunan asam antranilat. Obat
Furosemid bekerja pada glomerulus ginjal untuk menghambat penyerapan
kembali zat natrium oleh sel tubulus ginjal. Furosemid akan meningkatkan
pengeluaran air, natrium, klorida, dan kalium tanpa mempengaruhi tekanan darah
normal. Furosemid juga dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar asam
urat dan kadar gula darah pada saluran pencernaan dapat menimbulkan mual,
muntah, nafsu makan menurun, iritasi pada mulut dan lambung, dan diare.

Referensi :
Muhlisin, A, 2016, Furosemid : Kegunaan, Dosis, Efek Samping.
4. Apa saja Langkah – Langkah diagnosis sesuai scenario ?

Anamnesis
a. Identitas pasien: Seorang perempuan berusia 28 tahun
b. Keluhan Utama: jumlah urin sedikit. lemas tapi tidak mengeluh sedikit
sesak, mengeluh demam
c. Keluhan penyerta : lemas tapi tidak mengeluh sedikit sesak, mengeluh
demam, muntah setiap kali makan dan juga merasa mual.
d. Riwayat penyakit : -
e. Riwayat keluarga: -
f. Riwayat lingkungan: -
g. Riwayat Pengobatan sebelumnya: diketahui mengkonsumsi obat herbal
pelangsing sejak 2 minggu ini yang membuat pasien banyak kencing.

Pemeriksaan fisis pasien meliputi pemeriksaan tentang keadaan umum


pasien dan pemeriksaan urologi. Seringkali kelainan-kelainan di bidang urologi
memberikan manifestasi penyakit umum (sistemik), atau tidak jarang pasien-
pasien urologi kebetulan menderita penyakit lain.

Pemeriksaan Fisis

1. Kesan Umum Pasien


a. Keadaan umum: baik atau sakit
b. Berat badan: -
c. Suhu kulit: hangat, dingin, lembab
d. Tanda vital : - TD = 130/80 mmHg
2. Pemeriksaan Urologi
a. Pemeriksaan Ginjal:
Adanya pembesaran pada daerah pinggang atau abdomen sebelah atas
harus diperhatikan pada saat melakukan inspeksi. Pembesaran mungkin
disebabkan oleh hidronefrosis atau tumor pada daerah retroperitoneum.
Pembesaran ginjal karena hidronefrosis atau tumor ginjal, mungkin teraba pada
palpasi dan terasa nyeri pada perkusi.
b. Pemeriksaan Buli-Buli:
Pada pemeriksaan buli-buli diperhatikan adanya benjolan/massa atau
jaringan parut bekas irisan/operasi di suprasimfisis. Massa di daerah
suprasimfisis mungkin merupakan tumor ganas buli-buli atau karena buli-buli
yang terisi penuh dari suatu retensi urine. Dengan palpasi dan perkusi dapat
ditentukan batas atas buli-buli.
Pada Urolithiasis : batu urethra dapat mengalami miksi yang tiba-tiba terhenti
disertai rasa sakit yang hebat pada glans penis, batang penis, perineum, dan
rectum.
c. Pemeriksaan Genitalia Eksterna:
Pada inspeksi genitalia eksterna diperhatikan kemungkinan adanya
kelainan pada penis/uretra antara lain: mikropenis, makropenis, hipospadia,
kordae, epispadia, stenosis pada meatus uretra eksterna, fimosis/parafimosis,
fistel uretro-kutan, dan ulkus/tumor penis. Striktura uretra anterior yang berat
menyebabkan fibrosis korpus spongiosum yang teraba pada palpasi di sebelah
ventral penis, berupa jaringan keras yang dikenal dengan spongiofibrosis.
Jaringan keras yang teraba pada korpus kavernosum penis mungkin suatu
penyakit Peyrone.
d. Pemeriksaan Skrotum dan Isinya:
Perhatikan apakah ada pembesaran pada skrotum, perasaan nyeri pada saat
diraba, atau ada hipoplasi kulit skrotum yang sering dijumpai pada
kriptorkismus. Untuk membedakan antara massa padat dan massa kistus yang
terdapat pada isi skrotum, dilakukan pemeriksaan transiluminasi
(penerawangan) pada isi skrotum. Pemeriksaan penerawangan dilakukan pada
tempat yang gelap dan menyinari skrotum dengan cahaya terang. Jika isi
skrotum tampak menerawang berarti berisi cairan kistus dan dikatakan sebagai
transiluminasi positif atau diafanoskopi positif.
e. Colok Dubur (Rectal Toucher):
Pada pemeriksaan colok dubur dinilai: (1) tonus sfingter ani dan refleks bulbo-
kavernosus (BCR), (2) mencari kemungkinan adanya massa di dalam lumen
rektum, dan (3) menilai keadaan prostat. Penilaian refleks bulbo-kavernosus
dilakukan dengan cara merasakan adanya refleks jepitan pada sfingter ani pada
jari akibat rangsangan sakit yang kita berikan pada glans penis atau klitoris.
f. Pemeriksaan Neurologi:
Pemeriksaan neurologi ditujukan untuk mencari kemungkinan adanya kelainan
neurologik yang mengakibatkan kelainan pada sistem urogenitalia, seperti pada
lesi motor neuron atau lesi saraf perifer yang merupakan penyebab dari buli-
buli neurogen.

Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis merupakan pemeriksaan yang paling sering
dikerjakan pada kasus- kasus urologi. Pemeriksaan ini meliputi uji:
- Makroskopik dengan menilai warna, bau, dan berat jenis urine.
- Kimiawai meliputi pemeriksaan derajat keasaman/pH, protein, dan
gula dalam urine.
- Mikroskopik mencari kemungkinan adanya sel-sel, cast (silinder),
atau bentukan lain di dalam urine.
Urine mempunyai pH yang bersifat asam, yaitu rata-rata: 5,5 - 6,5. Jika
didapatkan pH yang relatif basa kemungkinan terdapat infeksi oleh bakteri
pemecah urea, sedangkan jika pH yang terlalu asam kemungkinan terdapat
asidosis pada tubulus ginjal atau ada batu asam urat. Didapatkannya eritrosit di
dalam darah secara bermakna (> 2 per lapangan pandang) menunjukkan adanya
cedera pada sistem saluran kemih; dan didapatkannya leukosituri bermakna (>
5 per lapangan pandang) atau piuria merupakan tanda dari inflamasi saluran
kemih

Pada AKI (Acute Kidney Injury) didapatkan :


Volume urin. Anuria akut atau oliguria berat, GGA prerenal biasanya
hampir selalu disertai oliguria (<400ml/hari), walaupun kadang tidak dijumpai
oliguria. GGA renal dan post-renal dapat ditandai baik oleh anuria maupun
poliuria.

Osmolalitas urin (mmol/kgH.0) >500

Kadar natrium urin (mmol/L) >10 (>20)

Fraksi ekskresi Na (%) <1

Fraksi ekskresi urea (%) <35

Rasio Cr urin dan Cr plasma >40

Rasio urea urin/urea plasma >8

Pada CKD (Chronic Kidney Disease) :


- Ureum darah dan kreatinin serum meninggi. Biasanya perbandingan
antara ureum dan kreatinin lebih kurang 20 : 1.
- Hiponatremia, Hiperkalemia, Hipokalsemia dan hiperfosfatemia,
Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia
2. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah rutin terdiri atas pemeriksaan kadar hemoglobin, leukosit,
laju endap darah, hitung jenis leukosit, dan hitung trombosit.
Pada CKD (Chronic Kidney Disease) :
a. Laju endap darah meninggi yang diperberat oleh adanya anemi dan
hipoalbuminemia.
b. Anemia normositer normokrom, dan jumlah retikulosit yang
menurun.
3. Kultur Urine
Pemeriksaan kultur urine diperiksa jika ada dugaan infeksi saluran kemih. Jika
didapatkan kuman di dalam urine, dibiakkan di dalam medium tertentu untuk
mencari jenis kuman dan sekaligus sensitivitas kuman terhadap antibiotika
yang diujikan.
4. Patologi Anatomi
Pada pemeriksaan ini dapat ditentukan suatu jaringan normal, mengalami
proses inflamasi, pertumbuhan benigna, atau terjadi pertumbuhan maligna.
Selain itu pemeriksaan ini dapat menentukan stadium patologik serta derajat
diferensiasi suatu keganasan.
5. Tes Fungsi Ginjal
Terjadinya peningkatan kadar ureum dan kreatinin darah secara progresif
dengan kadar kreatinin serum > 0,3 mg/dl sekitar 50%, dan kadar ureum darah
sekitar 10-20 mg/dl per hari. Adanya gangguan keseimbangan elektrolit :
- Hiperkalemia
- Hiponatremia (kehilangan natrium <120 mmol/liter)
- Hipokalsemia
- Hiperfosfatemia (penimbunan asam fosfat sehingga kadar ion kalsium
serum turun yang akan merangsang paratiroid untuk meningkatkan lagi
hormone supaya ekskresi fosfat meningkat lagi.
Pada CKD (Chronic Kidney Disease) :
- Penurunan cadangan ginjal (LFG antar 50 % – 80 %)
- Insufiensi ginjal (faal ginjal antar 20 % – 50 %)
6. Radiologi
a. Foto polos abdomen
Foto polos abdomen atau KUB (Kidney Ureter Bladder) adalah
foto skrining untuk pemeriksaan kelainan-kelainan urologi. Selain itu
perlu diperhatikan adanya bayangan radio-opak yang lain, misalnya
bayangan jarum-jarum (susuk) yang terdapat disekitar paravertebra yang
sengaja dipasang untuk mengurangi rasa sakit pada pinggang atau
punggung, atau bayangan klip yang dipasang pada saat operasi untuk
menjepit pembuluh darah.
b. USG (Ultrasonografi)
Pemeriksaan pada ginjal dipergunakan: (1) untuk mendeteksi
keberadaan dan keadaan ginjal (hidronefosis, kista, massa, atau
pengkerutan ginjal). Pada buli-buli, USG berguna untuk menghitung sisa
urine pasca miksi dan mendeteksi adanya batu atau tumor di buli-buli.
Pada kelenjar prostat, melalui pendekatan transrektal (TRUS) dipakai
untuk mencari nodul pada keganasan prostat dan menentukan
volume/besarnya prostat. Jika didapatkan adanya dugaan keganasan
prostat, TRUS dapat dipakai sebagai penuntun dalam melakukan biopsi
kelenjar prostat. Pada testis, berguna untuk membedakan antara tumor
testis dan hidrokel testis, serta kadang-kadang dapat mendeteksi letak
testis kriptorkid yang sulit diraba dengan palpasi Pada keganasan.
c. CT Scan dan MRI
Kedua pemeriksaan ini banyak dipakai dalam bidang onkologi
untuk menentukan penderajatan (staging) tumor yaitu: batas-batas tumor,
invasi ke organ di sekitar tumor, dan mencari adanya metastasis ke
kelenjar limfe serta ke organ lain.

Referensi:
(Irawanto Eko. 2017. Buku Manual Keterampilan Klinik Topik Keterampilan
Pemeriksaan Kulit. Fakultas Kedokteran. Universitas Sebelas Maret. Ha15 -37
Purnomo, B. Basuki. 2011. Dasar-dasar Urologi. Edisi Ketiga. Jakarta : Sagung
Seto.
5. Apa saja diagnosis banding sesuai scenario ?
Acute Kidney Injury
Definisi
Acute Kidney Injury (AKI) adalah penurunan cepat (dalam jam hingga
minggu) laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel,
diikuti kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/
tanpa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Acute Dialysis Quality Initia-
tive (ADQI) yang beranggotakan para nefrolog dan intensivis di Amerika pada
tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian istilah renal
menjadi kidney diharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat awam,
sedangkan penggantian istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat
menggambarkan patologi gangguan ginjal.
Evaluasi dan manajemen awal pasien dengan cedera ginjal akut (AKI)
harus mencakup: 1) sebuah assessment penyebab yang berkontribusi dalam cedera
ginjal, 2) penilaian terhadap perjalanan klinis termasuk komorbiditas, 3) penilaian
yang cermat pada status volume, dan 4) langkah-langkah terapi yang tepat yang
dirancang untuk mengatasi atau mencegah memburuknya fungsional atau
struktural abnormali ginjal. Penilaian awal pasien dengan AKI klasik termasuk
perbedaan antara prerenal, renal, dan penyebab pasca-renal.
Akut kidney injury (AKI) ditandai dengan penurunan mendadak fungsi
ginjal yang terjadi dalam beberapa jam sampai hari. Diagnosis AKI saat ini dibuat
atas dasar adanya kreatinin serum yang meningkat dan blood urea nitrogen (BUN)
dan urine output yang menurun, meskipun terdapat keterbatasan. Perlu dicatat
bahwa perubahan BUN dan serum kreatinin dapat mewakili tidak hanya cedera
ginjal, tetapi juga respon normal dari ginjal ke deplesi volume ekstraseluler atau
penurunan aliran darah ginjal.

Cedera ginjal akut didefinisikan ketika salah satu dari kriteria berikut terpenuhi :
• Serum kreatinin naik sebesar ≥ 0,3 mg/dL atau ≥ 26μmol /L dalam waktu 48 jam
atau
• Serum kreatinin meningkat ≥ 1,5 kali lipat dari nilai referensi, yang diketahui
atau dianggap telah terjadi dalam waktu satu minggu atau
• Output urine <0.5ml/kg/hr untuk> 6 jam berturut-turut
ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang
terdiri dari 3 kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan
LFG atau kriteria UO) yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal 7
dan 2 kategori yang menggambarkan prognosis gangguan ginjal
Pada tahun 2005, Acute Kidney Injury Network (AKIN), sebuah
kolaborasi nefrolog dan intensivis internasional, mengajukan modifikasi atas
kriteria RIFLE. AKIN mengupayakan peningkatan sensitivitas klasifikasi dengan
merekomendasikan. Dengan beberapa modifikasi, kategori R, I, dan F pada
kriteria RIFLE secara berurutan adalah sesuai dengan kriteria AKIN tahap 1, 2,
dan 3. Kategori L dan E pada kriteria RIFLE menggambarkan hasil klinis
(outcome) sehingga tidak dimasukkan dalam tahapan.
Dalam identifikasi pasien digunakan kedua kriteria ini, sehingga
memberikan evaluasi yang lebih akurat. Kemudian untuk penentuan derajat AKI
juga harus akurat karena dengan peningkatan derajat, maka risiko meninggal dan
TPG akan meningkat. Selain itu, diketahui risiko jangka panjang setelah
terjadinya resolusi AKI timbulnya penyakit kardiovaskuler atau CKD dan
kematian. Sehingga dalam penentuan derajat pasien harus diklasifikasikan
berdasarkan derajat tertingginya. Jadi jika SCr dan UO memberikan hasil derajat
yang berbeda, pasien diklasifikasikan dalam derajat yang lebih tinggi.
Epidemiologi
AKI menjadi penyakit komplikasi pada sekitar 5-7% acute care admission
patient dan mencapai 30% pada pasien yang di admisi di unit perawatan intensif
(ICU). AKI juga menjadi komplikasi medis di Negara berkembang, terutama
pasien dengan latar belakang adanya penyakit diare, penyakit infeksi seperti
malaria, leptospirosis, dan bencana alam seperti gempa bumi. Insidennya
meningkat hingga 4 kali lipat di United State sejak 1988 dan diperkirakan terdapat
500 per 100.000 populasi pertahun. Insiden ini bahkan lebih tinggi dari insiden
stroke.
Beberapa laporan dunia menunjukkan insiden yang bervariasi antara
0,50,9% pada komunitas, 7% pada pasien yang dirawat di rumah sakit, hingga
3667% pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU) dan 5-6%
Pasien ICU dengan AKI memerlukan Terapi Penggantian Ginjal ( TPG atau
Replacement Renal Therapy (RRT)).
Terkait dengan epidemiologi AKI, terdapat variasi definisi yang
digunakan dalam studi klinis dan diperkirakan menyebabkan variasi yang luas
dari laporan insiden dari AKI itu sendiri (1-31%) dan angka mortalitasnya (19-
83%). Dalam penelitian Hoste (2006) diketahui AKI terjadi pada 67 % pasien
yang di rawat di ruang intensif dengan maksimal RIFLE yaitu 12% kelas R, 27%
kelas I dan 28% kelas F. Hospital mortality rate untuk pasien dengan maksimal
RIFLE kelas R, I dan F berturut- turut 8.8%, 11.4% dan 26.3% dibandingkan
dengan pasien tanpa AKI yaitu 5.5%.8 Namun hasil penelitian Ostermann (2007)
menunjukkan Hospital mortality rate yang lebih tinggi yaitu 20.9%, 45.6% dan
56.8% berturutturut untuk maksimal kelas RIFLE R, I, dan F.
Faktor Risiko AKI
Paparan Susceptibilitas
Sepsis Dehidrasi dan deplesi cairan
Penyakit kritis Usia lanjut
Syok sirkulasi Perempuan
Luka bakar Black race
Trauma CKD
Operasi jantung Penyakit kronik (jantung,paru,liver)
Operasi major non cardiac Diabetes mellitus
Obat nefrotoksik kanker
Agen radiokontras Anemia

Etiologi
Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis
AKI, yakni (1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa
menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI prarenal,~55%); (2) penyakit
yang secara langsung menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI
renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih
(AKI pascarenal,~5%). Angka kejadian penyebab AKI sangat tergantung dari
tempat terjadinya AKI.
Patofisiologi
Dalam keadaan normal aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerolus
relatif konstan yang diatur oleh suatu mekanisme yang disebut otoregulasi. Dua
mekanisme yang berperan dalam autoregulasi ini adalah:
• Reseptor regangan miogenik dalam otot polos vascular arteriol aferen
• Timbal balik tubuloglomerular
Selain itu norepinefrin, angiotensin II, dan hormon lain juga dapat
mempengaruhi autoregulasi. Pada gagal ginjal pre-renal yang utama disebabkan
oleh hipoperfusi ginjal. Pada keadaan hipovolemi akan terjadi penurunan tekanan
darah, yang akan mengaktivasi baroreseptor kardiovaskular yang selanjutnya
mengaktifasi sistim saraf simpatis, sistim rennin-angiotensin serta merangsang
pelepasan vasopressin dan endothelin-I (ET-1), yang merupakan mekanisme
tubuh untuk mempertahankan tekanan darah dan curah jantung serta perfusi
serebral. Pada keadaan ini mekanisme otoregulasi ginjal akan mempertahankan
aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi arteriol
afferent yang dipengaruhi oleh reflek miogenik, prostaglandin dan nitric oxide
(NO), serta vasokonstriksi arteriol afferent yang terutama dipengaruhi oleh
angiotensin-II dan ET-1.
Ada tiga patofisiologi utama dari penyebab acute kidney injury (AKI) :
1. Penurunan perfusi ginjal (pre-renal)
2. Penyakit intrinsik ginjal (renal)
3. Obstruksi renal akut (post renal)
- Bladder outlet obstruction (post renal)
- Batu, trombus atau tumor di ureter
1. Gagal Ginjal Akut Pre Renal (Azotemia Pre Renal)
Pada hipoperfusi ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rata < 70 mmHg)
serta berlangsung dalam jangka waktu lama, maka mekanisme otoregulasi
tersebut akan terganggu dimana arteriol afferent mengalami vasokonstriksi, terjadi
kontraksi mesangial dan penigkatan reabsorbsi natrium dan air. Keadaan ini
disebut prerenal atau gagal ginjal akut fungsional dimana belum terjadi kerusakan
struktural dari ginjal.
Penanganan terhadap hipoperfusi ini akan memperbaiki homeostasis
intrarenal menjadi normal kembali. Otoregulasi ginjal bisa dipengaruhi oleh
berbagai macam obat seperti ACEI, NSAID terutama pada pasien – pasien berusia
di atas 60 tahun dengan kadar serum kreatinin 2 mg/dL sehingga dapat terjadi
GGA pre-renal. Proses ini lebih mudah terjadi pada kondisi hiponatremi,
hipotensi, penggunaan diuretic, sirosis hati dan gagal jantung. Perlu diingat bahwa
pada pasien usia lanjut dapat timbul keadaan – keadaan yang merupakan resiko
GGA pre-renal seperti penyempitan pembuluh darah ginjal (penyakit
renovaskuler), penyakit ginjal polikistik, dan nefrosklerosis intrarenal. Sebuah
penelitian terhadap tikus yaitu gagal ginjal ginjal akut prerenal akan terjadi 24 jam
setelah ditutupnya arteri renalis.
2. Gagal Ginjal Akut Intra Renal (azotemia Intrinsik Renal)
Gagal ginjal akut intra renal merupakan komplikasi dari beberapa penyakit
parenkim ginjal. Berdasarkan lokasi primer kerusakan tubulus penyebab gagal
ginjal akut inta renal, yaitu :
1. Pembuluh darah besar ginjal
2. Glomerulus ginjal
3. Tubulus ginjal : nekrosi tubular akut
4. Interstitial ginjal
Gagal ginjal akut intra renal yang sering terjadi adalah nekrosi tubular akut
disebabkan oleh keadaan iskemia dan nefrotoksin. Pada gagal ginjal renal terjadi
kelainan vaskular yang sering menyebabkan nekrosis tubular akut. Dimana pada
NTA terjadi kelainan vascular dan tubular. Pada kelainan vaskuler terjadi:
• peningkatan Ca2+ sitosolik pada arteriol afferent glomerolus yang menyebabkan
sensitifitas terhadap substansi-substansi vasokonstriktor dan gangguan
otoregulasi.
• terjadi peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan sel endotel
vaskular ginjal, yang mengakibatkan peningkatan A-II dan ET-1 serta penurunan
prostaglandin dan ketersediaan nitric oxide yang berasal dari endotelial NO-
sintase.
• peningkatan mediator inflamasi seperti tumor nekrosis faktor dan interleukin-18,
yang selanjutnya akan meningkatkan ekspresi dari intraseluler adhesion molecule-
1 dan P-selectin dari sel endotel, sehingga peningkatan perlekatan sel radang
terutama sel netrofil. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan radikal bebas
oksigen. Kesuluruhan proses di atas secara bersama-sama menyebabkan
vasokonstriksi intrarenal yang akan menyebabkan penurunan GFR.
Salah satu Penyebab tersering AKI intrinsik lainnya adalah sepsis, iskemik
dan nefrotoksik baik endogenous dan eksogenous dengan dasar patofisiologinya
yaitu peradangan, apoptosis dan perubahan perfusi regional yang dapat
menyebabkan nekrosis tubular akut (NTA). Penyebab lain yang lebih jarang
ditemui dan bisa dikonsep secara anatomi tergantung bagian major dari kerusakan
parenkim renal : glomerulus, tubulointerstitium, dan pembuluh darah.
Sepsis-associated AKI
Merupakan penyebab AKI yang penting terutama di Negara berkembang.
Penurunan LFG pada sepsis dapat terjadi pada keadaan tidak terjadi hipotensi,
walaupun kebanyakan kasus sepsis yang berat terjadi kolaps hemodinamik yang
memerlukan vasopressor. Sementara itu, diketahui tubular injury berhubungan
secara jelas dengan AKI pada sepsis dengan manifestasi adanya debris tubular dan
cast pada urin.
Efek hemodinamik pada sepsis dapat menurunkan LFG karena terjadi
vasodilatasi arterial yang tergeneralisir akibat peningkatan regulasi sitokin yang
memicu sintesis NO pada pembuluh darah. Jadi terjadi vasodilatasi arteriol eferen
yang banyak pada sepsis awal atau vasokontriksi renal pada sepsis yang berlanjut
akibat aktivasi sistem nervus simpatis, sistem renin-angiotensus-aldosteron,
vasopressin dan endothelin. Sepsis bisa memicu kerusakan endothelial yang
menghasilkan thrombosis microvascular, aktivasi reaktif oksigen spesies serta
adesi dan migrasi leukosit yang dapat merusak sel tubular renal.
3. Gagal Ginjal Akut Post Renal
Gagal ginjal post-renal, GGA post-renal merupakan 10% dari keseluruhan
GGA. GGA post-renal disebabkan oleh obstruksi intra-renal dan ekstrarenal.
Obstruksi intrarenal terjadi karena deposisi kristal (urat, oksalat, sulfonamide) dan
protein ( mioglobin, hemoglobin). Obstruksi ekstrarenal dapat terjadi pada pelvis
ureter oleh obstruksi intrinsic (tumor, batu, nekrosis papilla) dan ekstrinsik
( keganasan pada pelvis dan retroperitoneal, fibrosis) serta pada kandung kemih
(batu, tumor, hipertrofi/ keganasan prostate) dan uretra (striktura). GGA postrenal
terjadi bila obstruksi akut terjadi pada uretra, buli – buli dan ureter bilateral, atau
obstruksi pada ureter unilateral dimana ginjal satunya tidak berfungsi. 9
Pada fase awal dari obstruksi total ureter yang akut terjadi peningkatan
aliran darah ginjal dan peningkatan tekanan pelvis ginjal dimana hal ini
disebabkan oleh prostaglandin-E2. Pada fase ke-2, setelah 1,5-2 jam, terjadi
penurunan aliran darah ginjal dibawah normal akibat pengaruh tromboxane-A2
dan A-II. Tekanan pelvis ginjal tetap meningkat tetapi setelah 5 jam mulai
menetap. Fase ke-3 atau fase kronik, ditandai oleh aliran ginjal yang makin
menurun dan penurunan tekanan pelvis ginjal ke normal dalam beberapa minggu.
Aliran darah ginjal setelah 24 jam adalah 50% dari normal dan setelah 2 minggu
tinggal 20% dari normal. Pada fase ini mulai terjadi pengeluaran mediator
inflamasi dan faktor - faktor pertumbuhan yang menyebabkan fibrosis interstisial
ginjal.
Etiologi
Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis
AKI, yakni (1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa
menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI prarenal,~55%); (2) penyakit
yang secara langsung menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI
renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih
(AKI pascarenal,~5%). Angka kejadian penyebab AKI sangat tergantung dari
tempat terjadinya AKI.
Diagnosis
1. Pendekatan Diagnosis
Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI sesuai dengan yang
telah dipaparkan di atas, pertama-tama harus ditentukan apakah keadaan tersebut
memang merupakan AKI atau merupakan suatu keadaan akut pada PGK.
Beberapa patokan umum yang dapat membedakan kedua keadaan ini antara lain
riwayat etiologi PGK, riwayat etiologi penyebab AKI, pemeriksaan klinis
(anemia, neuropati pada PGK) dan perjalanan penyakit (pemulihan pada AKI) dan
ukuran ginjal. Patokan tersebut tidak sepenuhnya dapat dipakai. Misalnya, ginjal
umumnya berukuran kecil pada PGK, namun dapat pula berukuran normal bahkan
membesar seperti pada neuropati diabetik dan penyakit ginjal polikistik. Upaya
pendekatan diagnosis harus pula mengarah pada penentuan etiologi, tahap AKI,
dan penentuan komplikasi.
Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan jasmani dan penunjang adalah untuk membedakan pre-renal, renal
dan post-renal. Dalam menegakkan diagnosis gagal ginjal akut diperiksa:
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti untuk mencari penyebabnya
seperti misalnya operasi kardiovaskular, angiografi, riwayat infeksi (infeksi kulit,
infeksi tenggorokan, infeksi saluran kemih), riwayat bengkak, riwayat kencing
batu.
2. Membedakan gagal ginjal akut dengan kronis misalnya anemia dan ukuran
ginjal yang kecil menunjukkan gagal ginjal kronis.
3. Untuk mendiagnosis GGA diperlukan pemeriksaan berulang fungsi ginjal yaitu
kadar ureum, kreatinin atau laju filtrasi glomerulus. Pada pasien rawat selalu
diperiksa asupan dan keluaran cairan, berat badan untuk memperkirakan adanya
kehilangan atau kelebihan cairan tubuh. Pada GGA berat dengan berkurangnya
fungsi ginjal ekskresi air dan garam berkurang sehingga dapat menimbulkan
edema, bahkan sampai terjadi kelebihan air yang berat atau edema paru. Ekskresi
asam yang berkurang juga dapat menimbulkan asidosis metabolic dengan
kompensasi pernapasan Kussmaul. Umumnya manifestasi GGA lebih didominasi
oleh factor-faktor presipitasi atau penyakit utamanya.
4. Assessment pasien dengan AKI
a. Kadar kreatinin serum. Pada GGA faal ginjal dinilai dengan memeriksa
berulang kali kadar serum kreatinin. Kadar serum kreatinin tidak dapat mengukur
secara tepat LFG karena tergantung dari produksi (otot), distribusi dalam cairan
tubuh, dan ekskresi oleh ginjal
b. Volume urin. Anuria akut atau oliguria berat merupakan indicator yang spesifik
untuk gagal ginjal akut, yang dapat terjadi sebelum perubahan nilai-nilai biokimia
darah. Walaupun demikian, volume urin pada GGA bisa bermacam-macam, GGA
prerenal biasanya hampir selalu disertai oliguria (<400ml/hari), walaupun kadang
tidak dijumpai oliguria. GGA renal dan post-renal dapat ditandai baik oleh anuria
maupun poliuria.
c. Petanda biologis (biomarker). Syarat petanda biologis GGA adalah mampu
mendeteksi sebelum kenaikan kadar kreatinin disertai dengan kemudahan teknik
pemeriksaannya. Petanda biologis diperlukan untuk secepatnya mendiagnosis
GGA. Petanda biologis ini adalah zat-zat yang dikeluarkan oleh tubulus ginjal
yang rusak, seperti interleukin 18, enzim tubular, N-acetyl-B-glucosamidase,
alanine aminopeptidase, kidney injury molecule 1. Dalam satu penelitian pada
anak-anak pasca bedah jantung terbuka gelatinaseassociated lipocain (NGAL)
terbukti dapat dideteksi 2 jam setelah pembedahan, 34 jam lebih awal dari
kenaikan kadar kreatinin
.
Pemeriksaan Penunjang
Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi
glomerulus, tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI
prerenal, sedimen yang didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang
transparan. AKI postrenal juga menunjukkan gambaran sedimen inaktif, walaupun
hematuria dan piuria dapat ditemukan pada obstruksi intralumen atau penyakit
prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai cast yang dapat mengarahkan pada
penyebab AKI, antara lain pigmented “muddy brown” granular cast, cast yang
mengandung epitel tubulus yang dapat ditemukan pada ATN; cast eritrosit pada
kerusakan glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; cast leukosit dan pigmented
“muddy brown” granular cast pada nefritis interstitial.
Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin
(osmolalitas urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada
penentuan tipe AKI. Kelainan analisis urin dapat dilihat pada tabel 4.
Penatalaksanaan
Menurut definisi, AKI prerenal adalah reversibel pada koreksi kelainan
utama hemodinamik, dan AKI postrenal dengan menghilangkan obstruksi. Sampai
saat ini, tidak ada terapi khusus untuk mendirikan AKI intrinsik renal karena
iskemia atau nefrotoksisitas. Manajemen gangguan ini harus fokus pada
penghapusan hemodinamik kelainan penyebab atau toksin, menghindari gejala
tambahan, dan pencegahan dan pengobatan komplikasi. Pengobatan khusus dari
penyebab lain dari AKI renal tergantung pada patologi yang mendasari. AKI
Prarenal Komposisi cairan pengganti untuk pengobatan GGA prerenal akibat
hipovolemia harus disesuaikan sesuai dengan komposisi cairan yang hilang.
Hipovolemia berat akibat perdarahan harus dikoreksi dengan packed red
cells, sedangkan saline isotonik biasanya pengganti yang sesuai untuk ringan
sampai sedang perdarahan atau plasma loss (misalnya, luka bakar, pankreatitis).
Cairan kemih dan gastrointestinal dapat sangat bervariasi dalam komposisi namun
biasanya hipotonik. Solusi hipotonik (misalnya, saline 0,45%) biasanya
direkomendasikan sebagai pengganti awal pada pasien dengan GGA prerenal
akibat meningkatnya kehilangan cairan kemih atau gastrointestinal, walaupun
salin isotonik mungkin lebih tepat dalam kasus yang parah. Terapi berikutnya
harus didasarkan pada pengukuran volume dan isotonik cairan yang
diekskresikan. Kalium serum dan status asam-basa harus dimonitor dengan
hatihati. Gagal jantung mungkin memerlukan manajemen yang agresif dengan
inotropik positif, preload dan afterload mengurangi agen, obat antiaritmia, dan
alat bantu mekanis seperti pompa balon intraaortic. Pemantauan hemodinamik
invasif mungkin diperlukan untuk memandu terapi untuk komplikasi pada pasien
yang penilaian klinis fungsi jantung dan volume intravaskular sulit.
AKI intrinsic renal AKI akibat lain penyakit ginjal intrinsik seperti
glomerulonefritis akut atau vaskulitis dapat merespon glukokortikoid, alkylating
agen, dan atau plasmapheresis, tergantung pada patologi primer. Glukokortikoid
juga mempercepat remisi pada beberapa kasus interstitial nefritis alergi. Kontrol
agresif tekanan arteri sistemik adalah penting penting dalam membatasi cedera
ginjal pada hipertensi ganas nephrosclerosis, toxemia kehamilan, dan penyakit
pembuluh darah lainnya. Hipertensi dan AKI akibat scleroderma mungkin
sensitif terhadap pengobatan dengan inhibitor ACE. AKI postrenal Manajemen
AKI postrenal membutuhkan kerjasama erat antara nephrologist, urologi, dan
radiologi.
Gangguan pada leher uretra atau kandung kemih biasanya dikelola
awalnya oleh penempatan transurethral atau suprapubik dari kateter kandung
kemih, yang memberikan bantuan sementara sedangkan lesi yang menghalangi
diidentifikasi dan diobati secara definitif. Demikian pula, obstruksi ureter dapat
diobati awalnya oleh kateterisasi perkutan dari pelvis ginjal. Memang, lesi yang
menghalangi seringkali dapat diterapi perkutan (misalnya, kalkulus, sloughed
papilla) atau dilewati oleh penyisipan stent ureter (misalnya, karsinoma).
Kebanyakan pasien mengalami diuresis yang tepat selama beberapa hari setelah
relief obstruksi. Sekitar 5% dari pasien mengembangkan sindrom garam-wasting
sementara yang mungkin memerlukan pemberian natrium intravena untuk
menjaga tekanan darah. Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh
penyebab AKI dan pada tahap apa AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap
prarenal dan inisiasi (kriteria RIFLE R dan I), upaya yang dapat dilakukan adalah
tata laksana optimal penyakit dasar untuk mencegah pasien jatuh pada tahap AKI
berikutnya. Upaya ini meliputi rehidrasi bila penyebab AKI adalah
prarenal/hipovolemia, terapi sepsis, penghentian zat nefrotoksik, koreksi obstruksi
pascarenal, dan meng- hindari penggunaan zat nefrotoksik. Pemantauan asupan
dan pengeluaran cairan harus dilakukan secara rutin. Selama tahap poliuria (tahap
pemeliharaan dan awal perbaikan), beberapa pasien dapat mengalami defisit
cairan yang cukup berarti, sehingga pemantauan ketat serta pengaturan
keseimbangan cairan dan elektrolit harus dilakukan secara cermat. Substitusi
cairan harus diawasi secara ketat dengan pedoman volume urin yang diukur secara
serial, serta elektrolit urin dan serum. Terapi Nutrisi Kebutuhan nutrisi pasien
AKI bervariasi tergantung dari penyakit dasarnya dan kondisi komorbid yang
dijumpai. Sebuah sistem klasifikasi pemberian nutrisi
Komplikasi
Komplikasi terkait AKI tergantung dari keberatan AKI dan kondisi terkait AKI
yang ringan dan sedang mungkin secara keseluruhan asimtomatik khususnya saat
awal. Pada tabel berikut dijelaskan komplikasi yang sering terjadi dan
penangannya untuk AKI.
Komplikasi Pengobatan
o Kelebihan volume intravaskuler
o Hiponatremia
o Hiperkalemia
o Asidosis metabolic
o Hiperfosfatemia
o Hipokalsemia
Prognosis
Mortalitas akibat GGA bergantung keadaan klinik dan derajat gagal ginjal.
Perlu diperhatikan faktor usia, makin tua makin jelek prognosanya, adanya infeksi
yang menyertai, perdarahan gastrointestinal, penyebab yang berat akan
memperburuk prognosa. Penyebab kematian tersering adalah infeksi (30-50%),
perdarahan terutama saluran cerna (10-20%), jantung (10-20%), gagal nafas
(15%), dan gagal multiorgan dengan kombinasi hipotensi, septikemia, dan
sebagainya. Pasien dengan GGA yang menjalani dialysis angka kematiannya
sebesar 50-60%, karena itu pencegahan, diagnosis dini, dan terapi dini perlu
ditekankan.
Pencegahan
Pencegahan AKI terbaik adalah dengan memperhatikan status
hemodinamik seorang pasien, mempertahankan keseimbangan cairan dan
mencegah penggunaan zat nefrotoksik maupun obat yang dapat mengganggu
kompensasi ginjal pada seseorang dengan gangguan fungsi ginjal. Dopamin dosis
ginjal maupun diuretik tidak terbukti efektif mencegah terjadinya AKI.

Chronic Kidney Disease


Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjala atau destruksi nefron
ginjal yang bersifat progresif dan irreversible karena suatu penyakit yang
mendasari yaitu diabetes mellitus, hipertensi dll.
Epidemiologi
Di amerika serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit ginjal
kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini
meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta,
diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di Negara-negara
berkembang lainya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk
per tahun.
Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik menurut Perhimpunan Nefrologi Indonesia
(Pernefri) tahun 2000 antara lain :
- Diabetes mellitus tipe 1 dan 2 (44%)
- Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar (27%)
- Glomerulonefritis (10%)
- Nefritis interstitialis (4%)
- Kista dan penyakit bawaan lain (3%)
- Penyakit sistemik (misal, lupus dan vaskulitis) (2%)
- Neoplasma (2%)
- Tidak diketahui (4%)
- Penyakit lain (4%)
Faktor Resiko

- Usia. Semakin tua usia seseorang, risiko penyakit pun ikut meningkat.

- Ras dan etnis, orang Afrika, Amerika dan suku asli Amerika berisiko lebih
tinggi.

- Riwayat kesehatan keluarga dengan penyakit gagal ginjal kronis.

- Jenis kelamin, yaitu pria lebih berisiko dibandingkan wanita.

- Berat badan saat lahir yang rendah.

- Obesitas dan pola makan yang tidak sehat.

- Kebiasaan merokok.

- Penderita diabetes dan hipertensi.

- Penggunaan jenis obat tertentu yang merusak ginjal, seperti antibiotik NSAID.

Gejala
a. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering
ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi
bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml
per menit.
b. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Pathogenesis mual dan
muntah belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora
usus sehingga terbentuk ammonia. Ammonia inilah yang menyebabkan iritasi atau
rangsangan mukosa lambung dan usu halus.Keluhan-keluhan saluran cerna ini
akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.
c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil
pasien gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf
mata menimbulkan nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina
(retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai
pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada
conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan
hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal
ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan
diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme skunder. Keluhan gatal ini akan
segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan
bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan Kristal urea pada kulit muka
dandinamkan urea frost.
e. Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai
pada gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa
merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialysis.
f. Kelainan neuropsikiatri
Beberpa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia dan
depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat
seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering
dijumpai pada PGK. Kelainan mental ringan dan berat ini sering dijumpai pada
pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya
(personalitas).
g. Kelainan kardiovaskuler
Pathogenesis gagal jantung kongestif pada gagal ginjal kronik sangat
kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi
system vascular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama stadium
terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.
Patomekanisme
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus
dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh).
Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang
meningkat disertai reabsorbsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR atau daya
¾
saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai dari
nefron-nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada
yang bisa direabsorbsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus.
Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oligouri timbul
disertai retensi produk sisa. Dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi
lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi
telah hilang 80%-90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin
clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah dari itu. Fungsi renal
menurun, produk akhir metabolism protein (yang normalnya dieksresikan ke
dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap
sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan
semakin berat.
Diagnosis
 Pemeriksaan laboratorium
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menetukan
derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi, dan menentukan
perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.
 Pemeriksaan faal ginjal (LFG)
Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup memadai
sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG).
 Etiologi penyakit ginjal kronik (PGK)
Analisis urine rutin, mikrobiologi urine, kimia darah, elektrolit dan
imunodiagnosis.
 Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit
Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, dan pemeriksaan lain
berdasarkan indikasi terutama faktor perburukan faal ginjal.
 Pemeriksaan penunjang diagnosis
Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya, yaitu :
Diagnosis etiologi PGK dan perburukan faal ginjal.Beberapa pemeriksaan, yaitu
foto polos perut, ultrasonografi (USG)
Penatalaksanaan
Tujuan terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin 11 azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan
dan elektrolit
Beberapa tindakan konservatif yang dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Diet protein: Pada pasien GGK harus dilakukan pembatasan asupan protein.
Pembatasan asupan protein telah terbukti dapat menormalkan kembali dan
memperlambat terjadinya gagal ginjal. Asupan rendah protein mengurangi
beban ekskresi sehingga menurunkan hiperfiltrasi glomerulus, tekanan
intraglomerulus dan cidera sekunder pada nefron intak (Wilson, 2006). Asupan
protein yang berlebihan dapat mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal
berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus yang akan
meningkatkan progresifitas perburukan ginjal
2. Diet Kalium: Pembatasan kalium juga harus dilakukan pada pasien GGK
dengan cara diet rendah kalium dan tidak mengkonsumsi obat-obatan yang
mengandung kalium tinggi. Pemberian kalium yang berlebihan akan
menyebabkan hiperkalemia yang berbahaya bagi tubuh. Jumlah yang
diperbolehkan dalam diet adalah 40 hingga 80 mEq/hari. Makanan yang
mengandung kalium seperti sup, pisang, dan jus buah murni
3. Diet kalori: Kebutuhan jumlah kalori untuk GGK harus adekuat dengan tujuan
utama yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen memlihara status
nutrisi dan memelihara status gizi
4. Kebutuhan cairan: Asupan cairan membutuhkan regulasi yang hati-hati pada
GGK. Asupan yang terlalu bebas dapat menyebabkan kelebihan beban
sirkulasi, edem dan intoksikasi cairan. Asupan yang kurang dapat
menyebabkan dehidrasi, hipotensi, dan pemburukan fungsi ginjal
Ketika terapi konservatif yang berupa diet, pembatasan minum, obat-
obatan dan lain-lain tidak bisa memperbaiki keadaan pasien maka terapi pengganti
ginjal dapat dilakukan. Terapi pengganti ginjal tersebut berupa hemodialisis,
dialisis peritoneal dan transplantasi ginjal:
1. Hemodialisis: Hemodialisis adalah suatu cara dengan mengalirkan darah ke
dalam dialyzer (tabung ginjal buatan) yang teridiri dari 2 komparten yang
terpisah yaitu komparetemen darah dan komparetemen dialisat yang dipisahkan
membran semipermeabel untuk membuang sisa-sisa metabolisme (Rahardjo et
al, 2006). Sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah
manusia itu dapat berupa air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam
urat, dan zat-zat lain. Hemodialisis dilakukan 3 kali dalam seminggu selama 3-
4 jam terapi
2. Dialisis peritoneal: Dialisis peritoneal merupakan terapi alternatif dialisis untuk
penderita GGK dengan 3-4 kali pertukaran cairan per hari (Prodjosudjadi dan
Suhardjono, 2009). Pertukaran cairan terakhir dilakukan pada jam tidur
sehingga cairan peritoneal dibiarkan semalaman (Wilson, 2006). Terapi dialisis
tidak boleh terlalu cepat pada pasien Dialisis Peritoneal (DP). Indikasi medik
yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien
yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang
cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan
pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien dengan residual urin
masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-
mortality. Indikasi non-medik yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat
intelektual tinggi untuk melakukan sendiri, dan di daerah yang jauh dari pusat
ginjal
3. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan cara pengobatan yang lebih disukai untuk
pasien gagal ginjal stadium akhir. Namun kebutuhan transplantasi ginjal jauh
melebihi jumlah ketersediaan ginjal yang ada dan biasanya ginjal yang cocok
dengan pasien adalah yang memiliki kaitan keluarga dengan pasien. Sehingga
hal ini membatasi transplantasi ginjal sebagai pengobatan yang dipilih oleh
pasien
Komplikasi
Gagal ginjal kronis memengaruhi hampir semua bagian dari tubuh manusia.
Komplikasi utama meliputi:
 Hipertensi (Tekanan Darah Tinggi)
 Anemia
 Penyakit kardiovaskular
 Penyakit dan patah tulang

Pencegahan
 Minumlah air dalam jumlah yang cukup untuk menjaga angka keluaran
urin yang baik (bisa membantu mencegah batu ginjal dan infeksi saluran
kemih).
 Memerhatikan kebersihan pribadi untuk mencegah infeksi saluran kemih.
Perempuan dan anak-anak lebih rentan terhadap infeksi saluran kemih
(karena uretra yang pendek).
 Kendali pola makan yang baik hindari asupan garam berlebih dan daging,
hindari asupan kalsium yang tinggi dan makanan oksalat untuk pasien
penderita batu ginjal.
 Jangan menyalahgunakan obat-obatan, misalnya obat penghilang rasa sakit
untuk rematik dan antibiotik.
 Lakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala. Tes urin bisa mendeteksi
penyakit ginjal stadium awal. Jika pasien menderita hematuria (darah
dalam urin) atau albuminuria (albumin dalam urin), maka pasien harus
memeriksakan kesehatannya sesegera mungkin.

Referensi:
1. Referensi : Triastuti Indriana dan Ida Bagus Gde Sujana.2017. Acut
Kidney Injury (AKI). Bagian Anastesi dan Terapi Intensif RSUP Sanglah
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
2. Price, S,A dan Lorraine M,W. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Edisi 4 Jakarta:EGC
3. Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2006
4. Sukandar, Enday. 2006. Gagal Ginjal dan Panduan Dialisis. Bandung:
PPI FK UNPAD

6. Jelaskan penatalaksanaan awal sesuai scenario !


a. Pemulihan perfusi ginjal
Sebagian besar kasus AKI berkaitan dengan kondisi sepsis dan deplesi
volume, sehinga hal yang penting dilakukan adalah memulihkan perfusi ginjal
sesegera mungkin, Hal ini akan memulihkan fungsi ginjal dan menghindari
berkembangnya nekrosis tubuler akut.
b. Optimalisasi volume intravaskuler
Status volume harus dipantau dengan ketat dan segera pasien dikategorikan
apakah mengalami hipovolemik, euvolemik atau hipervolemik. Pasien dengan
hipovolemik mungkin menunjukkan tanda dehidrasi dan oligourik (output urin <
30 ml/jam) dengan urin pekat (BJ > 1.020). Tidak ada baku emas yang dapat
dipakai menetapkan kondisi dehidrasi, namun keadaan hipotensi (TDS < 110
mmHg), hipotensi postural, akral dingin, turgor kulit dan membrane mukosa yang
menurun merupakan tanda adanya dehidrasi.
Hipovolemia harus segera dikoreksi dengan pemberian bolus cairan kristaloid
secara berulang sebanyak 250 - 500 ml sampai dengan total of 2 liter dalam 2 jam.
Larutan Hartmann atau NaCL 0.9% harus digunakan. larutan Hartmann
mengandung jumlah kecil kalium (5 mmol/L) dan harus dihindari pada pasien
dengan hiperkalemia (Kalium > 6 mmol/l). Jumlah besar volume NaCL 0.9%
dapat menyebabkan asidosis metabolic hiperkloremik.
Kegagalan pasien mempertahankan tekanan darah efektif setelah pemberian
cairan harus membuat kita waspada dengan kondisi sepsis atau kehilangan cairan
yang terus berlanjut. Pemberian cairan yang berlebih akan menyebabkan
akumulasi cairan pada pasien dengan kondisi kritis dan meningkatkan kematian
pasien, 7 kegagalan memperbaiki fungsi ginjal dan memperburuk fungsi respirasi.
Euvolemia ditandai dengan tidak adanya tanda dehidrasi, hemodinamik stabil
dan tanpa kelebihan cariran. Pada kondisi ini bila terjadi oligouria, menandakan
ATN dan tidak akan berespon terhadap pemberian cairan. Pada fase ini pemulihan
produksi urin sulit diprediksi dan asupan cairan harus dibatasi sesuai dengan
kesembangan cairan keluar dan masuk. Pada pasien dengan terapi cairan
pemeliharaan secara intravena, cairan kristaloid diberikan sesuai dengan
kecepatan produksi urin jam sebelumnya ditambah 30 mL.
Pasien harus diawasi terhadap kemungkinan hipervolemia yang ditandai
dengan meningkatnya JVP, edema perifer atau edema paru. Perhitungan asupan
cairan total sejak masuk rumah sakit dapat diperkirakan adanya kelebihan cairaran
dan dengan adanya AKI, maka edema paru mudah terjadi. Pada kondisi ini asupan
cairan harus dibatasi. Terapi loop diuretics ini dapat dicoba dalam waktu pendek,
bila pasien menunjukkan tanda edema paru dan tekanan perfusi sudah cukup
(MAP > 65 mmHg, TDS > 110 mmHg). Bila respon jangke pendek terapi
diuretikan ini gagal, maka hal ini merupakan indikasi kuat untuk haemodialisis
dan ultrafiltrasi segera.
c. Optimalisasi tekanan darah
Tekanan darah merupakan faktor penting untuk mempertahankan ultrafiltrasi
glomerulus. Hipotensi absolut, yang didefinisikan sebagai TDS < 90 mmHg
berkaitan dengan berkembangnya AKI setelah sepsis dan pembedahan mayor.
Namun, hipotensi relatif, yakni menurunnya tekanan darah pada psien yang
sebelumnya mengalami hipertensi tanpa hipotensi nyata menunjukkan contributor
independen AKI pada pasien lansia. Dengan mempertahankan tingkat tekanan
darah seperti sebelumnya, akan dapat mencegah AKI pada pasien rawat inap.
Pada pasien AKI dan hipotensi, maka target tekanan darah harus dipertahankan
pada MAP > 65 mmHg. Hal ini dapat dicapai dengan 3 cara: 1)Tunda obat-obat
yang mengganggu otoregulasi ginjal (ACEi / ARB). Tunda sementara semua obat
yang menginduksi hipotensi seperti antihipertensi, diuretika, nicorandil dan
opiate; 2) Koreksi hipovolemia seperti diuraikan di atas, dan 3) Pertimbangkan
pemberian obat vasopresor ( seperti noradrenaline) pada pasien yang sulit
dikoreksi dan diberikan lebih awal pada pasien untuk mencegah pemberian cairan
berlebih dan berisiko elebihan cairan. Harus dipahami, tidak ada bukti dosis
dopamine untuk ginjal. Selain itu, memiliki efek vasodilatasi yang dapat
memperberat hipotensi dan memburuk perfusi ginjal pada pasien dengan sepsis
dan AKI.
d. Peresepan obat lebih aman
Pasien yang mengalami AKI memerlukan revisi semua obat-obat yang
diresepkan 10 .
e. Obat yang mengganggu perfusi ginjal
Meliputi obat yang mengganggu otoregulasi ginjal (ACEi/ARB, NSAID)
dan oabt yang dapat menurunkan tekanan darah. Obat antihipertensi termasuk
diuretika harus distop dulu bila TDS < 90 mmHg) atau pada pasien dengan
penurunan relatif (TDS < 120 mmHg)
f. Obat yang memerlukan penurunan dosis atau penghentian
Semua obat yang dimetabolisme dan diekskresikan oleh ginjal harus diatur
dosisnya dengan asumsi bahwa eLFG < 10 ml/min/1,73m2 . Termasuk obat itu
adalah: heparin berat molekul kecil, opiate, penicillin dan turunannya, antidiabetik
golongan sulfonilure, and asiklovir. Walaupun metformin tidak nefrotoksik, bila
terakumulasi dalam badan, dikawatirkan menyebabkan asidosis laktat yang
mengancam jiwa.
g. Obat yang perlu dipantau
Termasuk warfarin dan amnoglikosida. Gentamisin tak boleh dihentikan bila
benar-benar diperlukan untuk mengobati sepsis. Bila dipakai, kadar harian obat
dalam darah harus dipertahankan < 1 mg/l.
h. Obat yang memperberat hiperkalemia
Semua obat yang menghambat ekskresi kalium seperti trimethoprin dan
diuretik hemat kalium (spironolakton, amilorid) harus dihentikan. Beta-blocker
dan digoksin dapat menghambat pompa sodium / potassium ATPase dan
mengeluarkan kalium dari dalam sel dimana obat-obat ini dapat menyebabkan
resistensi terapi hiperkalemia dengan insulin/glucose.
Referensi:
Widiana, I Gede Raka. Terapi Terkini Acute Kidney Injury.Bagian Penyakit
Ginjal Kedokteran UNUD/RSUP.

7. Apa Prespektif Islam yang sesuai dengan skenario ?


Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah melewati salah satu sudut kota Mekah atau Madinah. Kemudian
beliau mendengar ada dua penghuni kubur yang di siksa. Kemudian beliau
bersabda:
"Mereka berdua disiksa. Mereka tidak disiksa untuk perkara yang berat
ditinggalkan, namun itu perkara besar. Yang pertama disiksa karena tidak hati-
hati ketika kencing, yang kedua disiksa karena suka menyebarkan adu
domba". (HR. Bukhari 216).

Anda mungkin juga menyukai