Anda di halaman 1dari 25

BAB III

BEBERAPA ISU PENTING

A. INVESTASI

1. FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT INVESTASI

Pertumbuhan ekonomi yang lambat sejak krisis disebabkan oleh belum


pulihnya investasi. Investasi (berupa pembentukan modal tetap bruto –
tidak termasuk perubahan stok) hanya tumbuh rata-rata 2,7 persen antara
tahun 2001 – 2003 (dengan harga dasar tahun 1993), jauh lebih rendah
dibandingkan dengan tahun 1991 – 1997 yang tumbuh rata-rata 10,6 persen
per tahun. Dengan pertumbuhan yang lambat ini, tingkat investasi riil
dalam tahun 2003 baru mencapai sekitar 75 persen dibandingkan tahun 1996,
sebelum krisis. Peranan investasi dalam pembentukan produk domestik
bruto (PDB) menurun dari 29,6 persen pada tahun 1996 menjadi 19,7 persen
pada tahun 2003. Pada tahun 2004, peranan investasi dalam pembentukan
PDB mengalami peningkatan, tetapi masih sangat awal untuk menjamin
pertumbuhan yang berkesinambungan.

Secara umum, upaya untuk menarik investasi dihadapkan pada 2 (dua)


lingkungan strategis yaitu lingkungan eksternal yang semakin ketat dan
daya tarik domestik yang masih lemah.

Tantangan eksternal untuk menarik investasi dalam tahun 2004 dan


tahun-tahun mendatang diperkirakan makin berat. Pertama, terdapat
kecenderungan arus masuk penanaman modal asing (PMA) menurun.
Sejak tahun 2001, arus masuk PMA dunia cenderung menurun. Pada tahun
2000, arus masuk PMA dunia mengalami puncaknya yaitu sebesar US$
1.388 miliar. Pada tahun-tahun berikutnya, arus masuk PMA cenderung
menurun yaitu masing-masing hanya sebesar US$ 818 miliar pada tahun

III-1
2001, US$ 679 miliar pada tahun 2002, dan US$ 560 miliar pada tahun 2003.
Perkembangan arus masuk PMA dari tahun 1992 hingga tahun 2003 dapat
dilihat pada Grafik III.1.

Grafik III.1.
ARUS MASUK PENANAMAN MODAL ASING
1500

1200
US$ Miliar
900

600

300

0
Rt2 1992-97 1999 2001 2003

Dunia Neg Maju Neg Berkembang

Perlambatan arus masuk PMA berbeda pada masing-masing kelompok


negara dan kawasan. Arus masuk PMA menurun pada kelompok negara
industri maju. Dalam tahun 2003, arus PMA meningkat pada kelompok
negara berkembang kecuali untuk kawasan Amerika Selatan. Di kawasan
Asia, peningkatan terbesar terutama terjadi di kawasan Asia Selatan,
Timur, dan Tenggara. Dalam tahun 2005, arus masuk PMA diperkirakan
tetap terbatas antara lain dipengaruhi oleh masih tingginya ketidakpastian
global, termasuk tingginya harga minyak mentah di pasaran dunia.

Kedua, dari arus masuk PMA yang cenderung menurun tersebut,


sebagian besar mengalir ke negara-negara tertentu. Di kawasan Asia, arus
masuk PMA masih berpusat di RRC. Pada tahun 2003, RRC masih
menyerap arus masuk PMA sebesar US 53,5 miliar atau sekitar 50 persen
dari arus PMA ke Asia. RRC diperkirakan tetap menjadi negara tujuan
terbesar arus masuk PMA yang mengalir ke kawasan Asia dalam tahun-
tahun mendatang didukung oleh pertumbuhan pasar dalam negeri yang
tinggi, biaya produksi yang murah, serta ketersediaan tenaga kerja yang
memadai. Sisanya masih mengalir ke Hongkong, Singapura, India, Korea

III-2
Selatan, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Indonesia masih mengalami
arus keluar (neto) seperti yang ditunjukkan oleh arus masuk PMA yang
masih negatif sejak tahun 1998 kecuali untuk tahun 2002.

Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa tantangan eksternal


untuk mendorong investasi tahun 2005 dan tahun-tahun mendatang
bertambah berat dengan kecenderungan global arus masuk PMA yang
menurun serta meningkatnya persaingan untuk menarik PMA terutama di
kawasan Asia. Arus masuk PMA pada beberapa negara dapat dilihat pada
Tabel III.1.
Tabel III.1.
ARUS MASUK PENANAMAN MODAL ASING
(US$ miliar)
92-97 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Dunia 310,9 690,9 1.086,8 1.388,0 817,6 678,8 559,6
Negara Maju 180,8 472,5 828,4 1.108,0 571,5 489,9 366,6
Negara Berkembang 118,6 194,1 231,9 252,5 219,7 157,6 172,0
ASIA 74,1 102,2 112,6 146,1 111,9 94,4 107,1
RRC 32,8 45,5 40,3 40,7 46,9 52,7 53,5
Hongkong 7,8 14,8 24,6 61,9 23,8 9,7 13,6
Singapura 8,3 7,7 16,1 17,2 15,0 5,7 11,4
India 1,7 2,6 2,2 2,4 3,4 3,4 4,3
Korea Selatan 1,2 5,0 9,4 8,6 3,7 2,9 3,8
Malaysia 5,8 2,7 3,9 3,8 0,6 3,2 2,5
Thailand 2,3 7,5 6,1 3,4 3,8 1,1 1,8
Vietnam 1,6 1,7 1,5 1,3 1,3 1,2 1,5
Indonesia 3,5 -0,2 -1,9 -4,6 -3,0 0,1 -0,6
Sumber : UNCTAD, World Investment Report 2004

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa daya tarik investasi di Indonesia
sebelum krisis (1991 – 1996) dilihat dari arus masuk PMA, lebih baik
dibandingkan Thailand; bahkan dengan Korea Selatan dan India. Namun
setelah krisis, daya tarik investasi Indonesia menurun, bahkan di bawah
Vietnam.

Sementara itu lingkungan domestik masih belum mampu menciptakan


iklim investasi yang sehat. Beberapa faktor domestik yang menghambat

III-3
iklim investasi belum mengalami perbaikan yang berarti. Faktor-faktor
tersebut antara lain sebagai berikut.

Pertama adalah lamanya dan berbelitnya prosedur perijinan investasi.


Di Indonesia, untuk memulai usaha di Indonesia harus memenuhi 11
prosedur pokok dengan waktu selama 151 hari kerja (International Financial
Corporation, 2005). Prosedur yang panjang dan berbelit ini tidak saja
mengakibatkan ekonomi biaya tinggi tetapi juga menghilangkan peluang
usaha yang seharusnya dapat dimanfaatkan baik untuk kepentingan
perusahaan maupun untuk kepentingan nasional seperti dalam bentuk
penciptaan lapangan kerja. Selanjutnya prosedur yang panjang dan berbelit
juga mengakibatkan tingginya biaya untuk memulai usaha di Indonesia.
Dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia, waktu yang
dibutuhkan untuk memulai usaha di Indonesia kedua terpanjang setelah
Laos. Disamping prosedur perijinan yang lama, biaya untuk memulai usaha
juga merupakan keenam yang tertinggi di kawasan Asia setelah Kamboja,
Yaman, dan Lebanon. Perbandingan waktu dan biaya yang dibutuhkan
untuk memulai usaha di Indonesia dengan negara-negara lain di kawasan
Asia dapat dilihat pada Grafik III.2.

Grafik III.2.
WAKTU YANG DIBUTUHKAN MEMULAI USAHA

Laos
Indonesia
Kamboja
India
Arab Saudi
Yaman
Bhutan
Papua Nugini
Vietnam
Uni Emirat Arab
Filipina
Sri Lanka
Iran
Taiwan
Syria
Lebanon
Cina
Bangladesh
Kuwait
Israel
Oman
Thailand
Malaysia
Pakistan
Korea
Nepal
Mongolia
Hongkong
Singapura

0 50 100 150 200


Hari

III-4
Grafik III.3.
BIAYA DIBUTUHKAN MEMULAI USAHA (US$)

Arab Saudi
Uni Emirat Arab
Lebanon
Korea
Kamboja
Yaman
Indonesia
Malaysia
Israel
Hongkong
Taiwan
Syria
Kuwait
Oman
Bangladesh
India
Singapura
Filipina
Nepal
Pakistan
Cina
Papua Nugini
Thailand
Iran
Vietnam
Sri Lanka
Bhutan
Laos
Mongolia

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000


Dolar AS

Kedua adalah tumpang tindihnya kebijakan antara pusat dan daerah di


bidang investasi serta kebijakan antar sektor. Belum mantapnya
pelaksanaan desentralisasi mengakibatkan kesimpangsiuran kewenangan
antara pemerintah pusat dan daerah dalam kebijakan investasi. Disamping
itu juga terdapat keragaman yang besar dari kebijakan investasi antar
daerah. Kesemuanya ini mengakibatkan ketidakjelasan kebijakan investasi
nasional yang pada gilirannya akan menurunkan minat investasi.1

1
Penelitian yang dilakukan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah
(KPPOD) bekerjasama dengan The Asia Foundation tahun 2002 pada 134 kabupaten/kota
di Indonesia menyatakan bahwa penerapan peraturan daerah (perda) pungutan lebih
didorong oleh keinginan untuk menaikkan PAD secara berlebihan yang dikuatirkan
dapat merugikan pembangunan daerah yang bersangkutan. Sebagian menyatakan bahwa
penerapan perda tentang pungutan (retribusi, pajak daerah, dan pungutan lainnya)
kurang menunjang kegiatan usaha (38,1 persen distortif, 47,8 persen bisa diterima, dan
14,2 persen menunjang).

III-5
Salah satu contoh tumpang tindih kebijakan antar sektor adalah
pelarangan kegiatan penambangan terbuka di kawasan hutan lindung.
Disamping pemerintah bisa menghadapi gugatan dari investor yang telah
mendapatkan izin penambangan yang lebih memprihatinkan adalah belum
tumbuhnya pemahaman yang mendalam antara kepentingan jangka
panjang dengan kepentingan jangka pendek yang sebenarnya terkait erat
satu sama lain.

Ketiga adalah kurangnya kepastian hukum dengan berlarutnya


penyelesaian RUU Penanaman Modal dan lemahnya penegakan hukum
yang terkait dengan kinerja pengadilan niaga. Disamping itu, efisiensi
peradilan dalam penyelesaian sengketa masih rendah dan biaya untuk
mendapatkan kepastian hukum dari peradilan di Indonesia relatif tinggi.
Dibandingkan negara-negara lain di kawasan Asia, peradilan di Indonesia
termasuk lama dalam penyelesaikan sengketa usaha dengan waktu sekitar
570 hari. Biaya untuk mendapatkan kepastian hukum juga relatif mahal di
Indonesia, mencakup sekitar 126,5 persen dari jumlah utang perusahaan.
Perbandingan waktu untuk menyelesaikan sengketa usaha di peradilan dan
biaya yang dibutuhkan dapat dilihat pada Grafik III.4 dan Grafik III.5.

Grafik III.4.
WAKTU MENYELESAIKAN SENGKETA PERADILAN

Lebanon
Syria
Uni Emirat Arab
Israel
Indonesia
Iran
Oman
Laos
Sri Lanka
India
Vietnam
Kamboja
Pakistan
Kuwait
Thailand
Filipina
Bangladesh
Yaman
Arab Saudi
Nepal
Mongolia
Malaysia
Papua Nugini
Bhutan
Cina
Hongkong
Taiwan
Korea
Singapura

0 200 400 600 800


Hari

III-6
Grafik III.5.
BIAYA MENYELESAIKAN SENGKETA PERADILAN

Indonesia
Kamboja
Bhutan
Papua Nugini
Filipina
India
Pakistan
Syria
Laos
Vietnam
Lebanon
Nepal
Cina
Mongolia
Israel
Bangladesh
Sri Lanka
Malaysia
Arab Saudi
Uni Emirat Arab
Thailand
Kuwait
Hongkong
Iran
Yaman
Oman
Singapura
Taiwan
Korea

0 20 40 60 80 100 120 140


% utang perusahaan

Keempat adalah kurang kondusifnya pasar tenaga kerja. Menurunnya


penciptaan lapangan kerja per satuan pertumbuhan ekonomi
mengindikasikan keengganan perusahaan untuk memanfaatkan tenaga
kerja. Secara singkat terdapat dua masalah ketenagakerjaan yang
mempengaruhi minat investasi yaitu: (a) kecenderungan peningkatan upah
minimum yang tinggi dan besarnya biaya-biaya non-UMP serta (b)
ketidakpastian hubungan industrial antara perusahaan dan tenaga kerja.
Kedua masalah ini mengakibatkan biaya yang berkaitan dengan tenaga
kerja tidak saja tinggi, tetapi juga sulit untuk diperkirakan.

Secara keseluruhan kondisi pasar tenaga kerja tercermin dari


kemudahan dalam mendapatkan tenaga kerja yang sesuai, kemudahan dan
memberhentikannya; serta kemudahan untuk meminta pekerja bekerja
lebih dari jam kerja. Suatu indeks yang disusun oleh IFC (2005) yang
mencakup ketiga kriteria tersebut menyatakan bahwa pasar tenaga kerja
relatif tergolong kaku dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan
Asia. Perbandingan tersebut dapat dilihat pada Grafik III.6.

III-7
Grafik III.6.
INDEKS KEKAKUAN PASAR TENAGA KERJA

Indonesia
Vietnam
Taiwan
Laos
Bhutan
Pakistan
India
Kamboja
Nepal
Thailand
Filipina
Sri Lanka
Iran
Syria
Yaman
Mongolia
Oman
Korea
Israel
Uni Emirat Arab
Cina
Lebanon
Bangladesh
Kuwait
Papua Nugini
Arab Saudi
Malaysia
Hongkong
Singapura

0 10 20 30 40 50 60
(100=paling kaku; 0=paling fleksibel)

Kelima, meskipun sejak tahun 2001 stabilitas keamanan secara nasional


relatif membaik, kegiatan investasi di Indonesia masih sangat sensitif
terhadap gangguan keamanan di daerah sehingga penanaman modal
cenderung menghindar dari daerah-daerah yang rawan konflik seperti
Aceh, Maluku, dan Papua. Meningkatnya gangguan keamanan, meskipun
bersifat lokal, dapat mempengaruhi persepsi investor terhadap iklim
investasi nasional yang pada gilirannya akan mengakibatkan kekuatiran
investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia atau menunda
realisasi dari rencana investasinya. Pengaruh ketidakstabilan politik dan
gangguan keamanan pada minat investasi dapat dilihat pada Boks III.1.

KOTAK III.1.
MINAT INVESTASI DI DAERAH RAWAN KONFLIK

Stabilitas politik dan keamanan merupakan prasayarat yang sangat penting


bagi berlangsungnya kegiatan investasi. Dalam tiga tahun sesudah krisis (1998 –

III-8
2000) rata-rata per tahun nilai persetujuan PMDN menurun sekitar 30 persen
dibandingkan dengan tiga tahun sebelum krisis (1995 – 1997); sedangkan rata-rata
persetujuan PMA menurun sekitar 60 persen dalam periode yang sama. Dari
perbandingan tersebut dapat dilihat bahwa faktor stabilitas politik dan keamanan
lebih berpengaruh terhadap PMA daripada terhadap PMDN.

Pengaruh faktor keamanan terhadap daerah-daerah rawan konflik, seperti


Aceh, Maluku, dan Papua, lebih besar terhadap nasional. Di Aceh, nilai
persetujuan PMDN dan PMA tahun 2001 dan 2002 menurun tajam. Di Maluku,
dalam tahun 2000 dan 2001 tidak ada nilai persetujuan PMDN. Dalam tahun 2002
disetujui proyek dalam rangka PMDN, tetapi nilainya sangat kecil dibandingkan
dengan sebelum krisis; sedangkan proyek dalam rangka PMA tidak ada pengajuan
sama sekali. Sementara itu di Papua, kecuali pada tahun 2001, proyek yang
disetujui dalam rangka PMDN dan PMA menurun tajam.

Membaiknya keamanan di daerah Aceh, Maluku, dan Papua, mendorong


kembali minat penanaman modal. Pada tahun 2003 dan 2004, beberapa proyek
penanaman modal baik PMDN dan PMA mulai disetujui di tiga daerah rawan
konflik ini. Perkembangan persetujuan penanaman modal pada daerah rawan
konflik dapat dilihat pada Tabel III.2.

Tabel III.2.
NILAI PERSETUJUAN PMDN DAN PMA PADA DAERAH KONFLIK
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
PMDN (Rp mil) 119320,5 57999,2 53930,8 95450,3 58856,6 25228,5 50754,9 37140,4
Aceh 1068,1 1297,3 139,2 1187,5 64,4 1,2 74,7 71,0
Maluku 1060,0 44,6 20,0 - - 68,0 2,9 140,1
Papua 1711,6 1278,6 8416,0 42,5 3137,5 175,3 995,9 44,0

PMA (US$ juta) 33788,8 13649,6 10884,4 16020,8 15189,5 9931,2 14049,3 10279,8
Aceh 771,5 6,2 51,8 1811,1 6,0 - 1482,6 9,5
Maluku 17,8 4,9 1,8 0,1 9,3 - 3,0 69,9
Papua 504,5 11,2 23,2 52,5 6095,5 76,6 220,8 49,0
Sumber: BKPM

Keenam adalah kurangnya insentif investasi, termasuk insentif


perpajakan, dalam menarik penanaman modal di Indonesia. Dibandingkan
dengan negara-negara lain, insentif perpajakan di Indonesia relatif

III-9
tertinggal. Meskipun dengan tingkat pajak progresif yang diperkirakan
relatif sama dengan negara-negara lain, sistem perpajakan di Indonesia
tidak memberikan pembebasan pajak (tax holiday) untuk jangka waktu
tertentu dan relatif tertinggal dalam memberikan kelonggaran pajak (tax
allowances). Perbandingan fasilitas perpajakan dari beberapa negara dapat
dilihat pada Tabel III.3.

Tabel III.3.
PERBANDINGAN FASILITAS PERPAJAKAN BEBERAPA NEGARA
Negara Tax Holiday Tax Allowance Tingkat Pajak
RRC Tahun 1 – 2 Tahun 3 – 5: pengurangan 30% + 3% (lokal)
pajak penghasilan sebesar
50%
Korea Tahun 1 – 7 Tahun 8 – 10: pengurangan 16 – 28%
Selatan pajak penghasilan badan
dan perorangan sebesar
50%
Malaysia 5 – 10 tahun (industri Penundaan 70% dari 28%
strategis dan teknologi tinggi) pendapatan selama 5 tahun
untuk industri pioneer
Filipina 4 tahun (non-pioner); 6 NA 32%
tahun (pioner); 3 tahun
(perluasan); 6 tahun
(perluasan baru di wilayah
kurang berkembang)
Singapura 5 – 10 tahun (pioner) NA 24,5%
Thailand 3 tahun (Zona 1); 3 – 5 NA 30%
tahun (Zona 2); 8 tahun
(Zona 3)
Vietnam Pembebasan PPh selama Pengurangan PPh sebesar Tingkat pajak standar
periode tertentu (1 s/d 8 50% diberikan setelah masa 25%. Tingkat pajak
tahun) mulai dari tahun Tax Holiday untuk waktu s/d preferensi 10% (15
pertama untung yang 4 tahun. tahun), 15% (12
diberikan kepada proyek tahun), dan 20% (10
investasi yang dipromosikan tahun) untuk investasi
(mendapat tarif preferensi) tertentu yang
dipromosikan.
Indonesia Pengurangan penghasilan Progresif maksimum
neto sebesar 30% selama 6 30%
tahun
Sumber: Sekretariat ASEAN, 2001 (diolah BKPM)

III-10
2. UPAYA MENINGKATKAN IKLIM INVESTASI

Faktor-faktor penghambat investasi sebagaimana diuraikan di atas perlu


diatasi secepat mungkin. Langkah-langkah awal untuk meningkatkan
kembali iklim investasi di Indonesia telah dimulai melalui Inpres Nomor 5
Tahun 2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan Sesudah
Berakhirnya Program Kerjasama dengan IMF. Namun hingga saat ini
belum dapat diwujudkan dengan baik.

Dalam rangka menyederhanakan proses perijinan akan dilaksanakan


sistem pelayanan satu atap (one roof system) dengan melibatkan unsur
BKPM, instansi terkait, dan pemerintah daerah. Selanjutnya dalam upaya
memberikan kepastian hukum sebagai payung bagi iklim investasi di
Indonesia, RUU Penanaman Modal yang disusun lebih dari empat tahun
diupayakan untuk diajukan kepada DPR selambat-lambatnya Desember
2003. Dalam RUU Penanaman Modal terdapat beberapa pokok yang
diharapkan dapat mendorong terciptanya iklim investasi yang lebih
kondusif sebagaimana dapat dilihat pada Boks III.2.

KOTAK III.2.
POKOK-POKOK RUU PENANAMAN MODAL

1. RUU Penanaman Modal dimaksudkan sebagai payung bagi kegiatan


penanaman modal di luar usaha hulu minyak dan gas bumi serta jasa
keuangan yang sudah diatur dalam UU tersendiri.
2. Dalam RUU Penanaman Modal sudah tidak dibedakan lagi antara istilah
Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri
(PMDN). RUU Penanaman Modal akan menjamin diberikannya perlakuan
yang sama kepada semua penanam modal tanpa membedakan asal negara
(berdasarkan prinsip Most Favored Nations/MFN) dan juga kepada sesama
perusahaan penanam modal. Namun pengecualian perlakuan sama tersebut
dimungkinkan sepanjang tercantum dalam UU Penanaman Modal atau diatur
dalam undang-undang lainnya atau peraturan internasional yang berlaku.
3. RUU Penanaman Modal mengusulkan adanya fasilitas fiskal dan non fiskal.

III-11
Fasilitas fiskal dapat diberikan kepada penanaman modal untuk bidang usaha
tertentu atau lokasi tertentu atau penanaman modal yang dilakukan oleh
usaha kecil dan koperasi atau perusahaan penanaman modal yang bekerjasama
dengan usaha kecil dan koperasi melalui pelayanan satu atap oleh Badan
Penanaman Modal. Fasilitas non-fiskal dapat diberikan oleh Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah berupa kemudahan di bidang perijinan pertanahan,
kelonggaran penggunaan tenaga kerja, dan penyediaan infrastruktur.
4. RUU Penanaman Modal tidak mencantumkan lagi ketentuan mengenai
divestasi perusahaan yang seluruh sahamnya dimiliki oleh PMA sebagaimana
dalam UU No. 1/1967 tentang PMA yang diatur lebih lanjut dalam PP No.
20/1994.
5. RUU Penanaman Modal menjamin tidak akan dilakukan tindakan
nasionalisasi atau pencabutan/pengambilalihan hak kepemilikan penanaman
modal. Apabila pemerintah akan melakukan nasionalisasi harus terlebih
dahulu ditetapkan oleh UU dan pemerintah berkewajiban memberi ganti rugi
yang jumlah, jenis, dan cara pembayarannya ditetapkan berdasarkan
kesepakatan kedua belah pihak berdasarkan asas-asas hukum nasional dan
hukum internasional.
6. Dalam RUU Penanaman Modal, PMA diberikan hak transfer dan repatriasi
dalam valuta asing atas modal, keuntungan, pembayaran pokok dan bunga
pinjaman, hasil penjualan saham, ganti rugi dalam hal
nasionalisasi/pengambilalihan, hasil penjualan kekayaan/aset, pendapatan
karyawan yang dipekerjakan dari luar negeri setelah penanam modal
memenuhi kewajiban perpajakan dan kewajiban pembayaran.
7. Dalam RUU Penanaman Modal, perusahaan penanaman modal diwajibkan
untuk mengutamakan tenaga kerja Indonesia. Tenaga ahli asing dapat
digunakan untuk jabatan dan keahlian tertentu yang belum dapat dipenuhi
oleh tenaga kerja Indonesia.
8. Apabila terjadi perselisihan antara penanam modal asing dengan pemerintah
dan tidak dapat diselesaikan, maka dapat dipilih penyelesaian sengketa
melalui lembaga pengadilan atau lembaga arbitrase nasional atau lembaga
arbitrase internasional.
9. Dalam RUU Penanaman Modal, izin usaha PMA diberikan sesuai jangka
waktu pendirian perusahaan yang ditentukan dalam anggaran dasarnya,
berbeda dengan UU Penanaman Modal yang berlaku saat ini dimana izin
usaha PMA diberikan terbatas untuk jangka waktu 30 tahun.

III-12
Selanjutnya untuk meningkatkan kinerja pengadilan niaga sedang
dilakukan pembahasan RUU tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang serta pembaruan Cetak Biru Pengadilan Niaga. Adapun
untuk mengurangi tumpang tindih kebijakan antara pusat dan daerah akan
dilakukan harmonisasi peraturan daerah dalam konteks otonomi daerah
berupa pembatalan peraturan-peraturan daerah yang tidak sesuai dengan
peraturan perundangan yang lebih tinggi dan/atau bertentangan dengan
kepentingan umum.

Di bidang ketenagakerjaan diupayakan penyelesaian pembahasan RUU


Penyelesaian Hubungan Industrial serta penyelesaian berbagai aturan
pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Dalam upaya meningkatkan kemampuan menangkal aksi
terorisme yang dapat mempengaruhi iklim usaha di Indonesia akan
dilakukan antara lain peningkatan kemampuan deteksi dini, peningkatan
keamanan lokal, dan peningkatan kerjasama dengan negara sahabat.

Meskipun secara parsial dan apabila dilaksanakan dengan konsisten


serta didukung oleh sistem insentif dan penalti yang memadai, langkah-
langkah awal sebagaimana yang tercakup dalam Inpres Nomor 5 Tahun
2003 diperkirakan akan menciptakan iklim investasi yang lebih baik,
namun belum memadai untuk menciptakan suatu iklim investasi yang
mampu bersaing dengan negara-negara lain. Satu strategi besar (grand
strategy) di bidang investasi diperlukan untuk meningkatkan iklim
investasi di Indonesia dengan pokok-pokok sebagai berikut.

Pertama, perijinan investasi perlu lebih disederhanakan dan secara


bertahap diarahkan pada sistem pendaftaran (registrial system). Waktu yang
dibutuhkan untuk perijinan investasi perlu diperpendek pada tingkat yang
sama dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya yaitu Malaysia dan
Thailand (sekitar 30 – 35 hari). Proses perijinan ini tetap perlu dilakukan
dengan tanpa mengurangi kewenangan yang telah diberikan kepada daerah.
Dengan sistem ini tidak hanya akan dihemat waktu bagi pelaksanaan
kegiatan investasi di Indonesia, tetapi juga akan dikurangi biaya-biaya

III-13
untuk melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Di banyak negara, prosedur
perijinan sangat sederhana dan singkat. Penanam modal hanya diwajibkan
mendaftarkan sekali dan tidak perlu mendaftarkan ulang untuk kegiatan
usaha lainnnya.

Kedua, insentif untuk menarik invetasi, termasuk insentif perpajakan,


perlu dikembangkan. Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya,
disamping pembenahan administrasi perpajakan, sistem perpajakan
nasional, termasuk tarif pajak, perlu disempurnakan agar iklim investasi di
Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara lain. Pemberian insentif
perpajakan dalam proses pemulihan ekonomi memang sangat dilematis. Di
satu pihak, pemberian insentif pajak yang berlebihan dalam jangka pendek
kemungkinan dapat mempengaruhi ketahanan fiskal yang harus diperkuat
untuk mengurangi beban utang yang besar. Namun apabila respon investasi
sangat tinggi, maka pemberian insentif pajak akan mendorong
pertumbuhan ekonomi dan sekaligus memperkuat ketahanan fiskal. Satu
kajian menyeluruh mengenai kebijakan fiskal yang terkait dengan upaya
untuk mendorong investasi diperlukan untuk meningkatkan daya tarik
perekonomian nasional. Pada dasarnya ketahanan fiskal dan iklim investasi
yang mampu bersaing saling terkait satu sama lain.

Disamping insentif perpajakan, efisiensi kepabeanan perlu ditingkatkan.


Biaya pengelolaan terminal (terminal handling charge) untuk pengiriman
barang ke luar negeri di pelabuhan nasional relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Timur (lihat Tabel III.4).
Selain itu insentif yang terkait dengan penggunaan lahan perlu
disempurnakan. Meskipun dapat diperpanjang lagi setelah 30 tahun
digunakan, hak penggunaan lahan di Indonesia relatif lebih pendek
dibandingkan dengan negara lain yang menawarkan hak guna lahan hingga
100 tahun.

Ketiga, promosi investasi perlu ditingkatkan. Upaya ini perlu diarahkan


pada negara-negara yang mengalami penurunan minat investasi sejak krisis
serta negara-negara yang mempunyai potensi untuk menanamkan investasi

III-14
di Indonesia. Negara-negara tersebut antara lain adalah Inggris. Jerman,
Amerika Serikat, Jepang, Malaysia. Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan.
Upaya untuk meyakinkan penanam modal di negara-negara yang pernah
menanamkan modal di Indonesia relatif lebih mudah dibandingkan dengan
negara-negara yang belum pernah atau hanya sedikit menanam modal di
Indonesia. Perbandingan persetujuan PMA untuk negara-negara dimaksud
pada tahun 1997 dan 2004 dapat dilihat pada Grafik III.7.

Tabel III.4.
TERMINAL HANDLING CHARGE BEBERAPA NEGARA ASIA, 200
(dalam US$)
Terminal Handling Charge
Negara/Pelabuhan Standard 20' Standard 40'
Container Container
Singapura 105 156
Malaysia
Penang/Johor 78 116
Port Kelang 88 132
Thailand
Bangkok-Direct 62 93
Bangkok-Transhipment 62 93
Filipina
Manila/Cebu 104 138
Hongkong 265 353
RRC
Guangdong 141 269
Fujian 44 66
Cina Bagian Timur 44 66
Cina Bagian Utara 44 66
Shanghai 15 23
Taiwan
Kaosiung 150 114
Keelung 150 191
Taichung 150 191
Korea
Busan 84 114
Indonesia 130 200
Surabaya 145 225
Jakarta 150 230
Kamboja 70 100
Sumber: OSRA

III-15
Grafik III.7.
PERKEMBANGAN PERSETUJUAN PMA
6000

5000

4000

US$ juta
3000

2000

1000

0
Inggris Jerman AS Jepang Malaysia Korsel S'pura Taiwan

Tahun 1997 Tahun 2004

Keempat, kebijakan investasi perlu diintegrasikan dengan kebijakan


teknologi, kebijakan ekspor, dan pengembangan daerah dalam upaya untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi dan sekaligus meningkatkan
pemerataan pembangunan ke daerah. Salah satu manfaat jangka menengah
dan panjang dari PMA adalah transfer teknologi. Kebijakan perpajakan
selain diarahkan untuk menarik investasi juga diarahkan untuk
meningkatkan transfer teknologi dari PMA kepada perekonomian nasional
dalam rangka peningkatan daya saing nasional.2

Kebijakan investasi juga perlu diarahkan untuk mendorong kemampuan


ekspor nasional agar peningkatan investasi tidak saja digerakkan oleh
permintaan dalam negeri tetapi juga untuk memanfaatkan peluang-peluang
eksternal. Upaya ini perlu dilakukan dengan mengembangkan zona-zona
ekonomi khusus dengan memberikan insentif yang tepat sasaran dalam
kerangka pengembangan wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh.

B. EKSPOR NON-MIGAS

2
Pembebasan pajak (tax holiday) di beberapa negara yang diberikan kepada industri
pioner diarahkan untuk meningkatkan transfer teknologi dari PMA.

III-16
Setelah perekonomian dunia mengalami penguatan pada tahun 2000
yang mencapai pertumbuhan sebesar 4,7 persen, pada tahun 2001
perekonomian dunia mengalami resesi dan hanya tumbuh sebesar 2,2
persen. Namun demikian sejak tahun 2002 perekonomian dunia mengalami
pemulihan. Pergerakan dari perekonomian dunia ini sangat berpengaruh
pada perkembangan ekspor nonmigas Indonesia. Dalam tahun 2000,
permintaan eksternal yang sangat kuat telah mendorong penerimaan
ekspor meningkat tajam hingga mencapai 22,8 persen. Namun pada tahun
2001 penerimaan ekspor nonmigas bahkan menurun sekitar 10 persen. Baru
sejak tahun 2002 penerimaan ekspor meningkat kembali, yaitu masing-
masing untuk tahun 2002 dan 2003 sebesar 3,4 persen dan 3,7 persen, dan
pada tahun 2004 peningkatan ekspor nonmigas meningkat cukup pesat,
yaitu mencapai 11,0 persen. Pola perkembangan ekspor nonmigas ini juga
terjadi pada negara-negara lain dikawasan ASEAN yang meningkat pesat
tahun 2000, menurun pada tahun 2001, dan selanjutnya terus meningkat
hingga tahun 2004.

Secara lebih rinci perkembangan ekspor non-migas untuk beberapa


komoditi pokok sejak tahun 2000 dapat diringkas sebagai berikut.

1. EKSPOR HASIL INDUSTRI.

Ekspor hasil industri untuk periode 2000-2004 (Januari-September)


meningkat sebesar rata-rata 7,9 persen per tahun, yaitu meningkat dari US$
31,9 miliar pada tahun 2000 menjadi US$ 34,3 miliar pada tahun 2004.
Peningkatan ekspor hasil industri disumbangkan oleh peningkatan
beberapa komoditi ekspor hasil industri yang lebih besar dibandingkan
dengan beberapa komoditi hasil ekspor industri beberapa komoditi yang
mengalami penurunan. Perkembangan tersebut diantaranya diuraikan
sebagai berikut.

Dari waktu ke waktu, ekspor kayu lapis terus menunjukkan penurunan,


dan bahkan penurunan tersebut sudah terjadi sejak sebelum terjadinya
krisis. Ekspor kayu lapis yang pada tahun 1997 mencapai US$ 2,7 miliar

III-17
hanya mencapai US$ 1,2 miliar pada tahun 2004. Ekspor pakaian jadi yang
pada tahun 2000 mencapai US$ 3,6 miliar terus menurun dan pada tahun
2004 hanya mencapai US$ 3,3 miliar. Adapun ekspor untuk kertas dan
bahan kertas lainnya dan bahan kimia cenderung untuk tidak berubah.
Sedangkan ekspor alat-alat listrik yang pada tahun 2000 mencapai US$ 2,1
miliar, pada periode tahun 2004 meningkat menjadi sekitar US$ 2,5 miliar.
Ekspor bahan makanan olahan juga mengalami peningkatan yaitu dari
US$ 0,7 miliar pada tahun 2000 menjadi US$ 1,0 miliar pada tahun 2004.

Meskipun penerimaan ekspor hasil industri menunjukkan peningkatan,


namun volume ekspor hasil industri pada periode 2000-2004 berfluktuasi
dalam rentang yang tidak terlalu besar dan cenderung menurun. Pada tahun
2000 volume ekspor industri yang mencapai 34,5 juta ton, pada tahun 2001,
2002, 2003 dan 2004 berturut-turut mencapai 33, juta ton, 34,9 juta ton, 33,4
juta ton, dan 33,9 juta ton. Dengan demikian volume ekspor hasil industri
para periode 2000-2004 menurun sebesar 0,6 persen.

Dengan membandingkan nilai ekspor hasil industri pada kurun waktu


tersebut yang meningkat sekitar 10,4 persen dengan penurunan volume
ekspor hasil industri sebesar 0,6 persen, dapat disimpulkan bahwa
perkembangan kemajuan ekspor non migas berjalan dengan lambat dan
peningkatan penerimaan lebih disebabkan oleh terjadinya peningkatan
tingkat harga ekspor rata-rata yang cukup besar dalam 5 tahun terakhir ini.
Hal ini berbeda dengan peningkatan nilai ekspor tahun 1998 sebesar 4,3
persen yang disertai dengan peningkatan volome sebesar 57,6 persen
terhadap tahun 1997 yang menunjukkan terjadinya penurunan harga hasil
ekspor industri yang cukup besar yang disebabkan perubahan nilai tukar
yang relatif besar. Hal ini juga mengindikasikan bahwa daya saing ekspor
hasil industri masih belum dapat ditingkatkan.

2. EKSPOR HASIL PERTANIAN

Setelah mencapai puncaknya pada tahun 1998, ekspor hasil pertanian


berfluktuasi dengan kecenderungan menurun. Sampai dengan bulan

III-18
September 2004, ekspor hasil pertanian hanya mencapai US$ 1,8 miliar,
jauh lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 1998
yang mencapai US$ 2,7 miliar. Dilihat dari volumenya, ekspor hasil
pertanian juga berfluktusi dengan kecenderungan menurun. Untuk periode
Januari-September 1998-2004, volume ekspor hasil pertanian berturut-turut
mencapai 2,4 juta ton, 1,8 juta ton, 1,5 juta ton, 1,6 juta ton , 1,4 juta ton, 1,4
juta ton, dan 1,3 juta ton.

3. EKSPOR HASIL PERTAMBANGAN (DI LUAR MIGAS)

Ekspor hasil pertambangan (di luar migas) yang pada tahun 1997,
terhitung sampai dengan bulan September, mencapai US$ 3,1 miliar,
mengalami penurunan pada tahun 1998 dan tahun 1999 untuk periode yang
sama. Dalam tahun 2000 dan sesudahnya, ekspor hasil pertambangan mulai
menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2004 sampai dengan bulan
September ekspor hasil pertambangan telah mencapai US$ 3,0 miliar,
hampir sama dengan nilai ekspor hasil pertambangan sebelum krisis.

Dalam tahun 2004 nilai total ekspor (migas dan non-migas) mengalami
peningkatan yang relatif tinggi, yaitu meningkat sekitar 10,8 persen
dibandingkan tahun 2003, yang didorong oleh oleh peningkatan ekspor
migas yang naik sekitar 10.1 persen, dan penerimaan ekspor non-migas yang
meningkat sebesar 11 persen. Peningkatan ekspor non-migas ini sebagian
merupakan sumbangan dari sektor hasil industri yang meningkat sebesar
12,9 persen. Adapun penerimaan ekspor hasil pertambangan (diluar migas)
menurun sebesar 4,2 persen, dan ekspor hasil pertanian meningkat sebesar
5,2 persen. Selain itu tingginya peningkatan ekspor total juga dipengaruhi
perubahan sistem perhitungan.

Dibandingkan dengan pertumbuhan ekspor non-migas pada masa


sebelum krisis yang mencapai lebih dari 15 persen per tahun, pertumbuhan
ini masih jauh dari yang diharapkan. Dengan pertumbuhan sebesar ini,
ekspor masih belum dapat diandalkan sebagai sumber penggerak
pertumbuhan ekonomi.

III-19
Dalam tahun 2005, kinerja ekspor non-migas harus dapat ditingkatkan
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Untuk itu daya saing ekspor
harus dapat ditingkatkan. Berbagai permasalahan yang menghambat
peningkatan ekspor non-migas seperti adanya tumpang tindih peraturan
dan hambatan perdagangan lainnya yang mengakibatkan tingginya biaya
transaksi, harus dapat dihapuskan. Disamping itu untuk meningkatkan
kinerja ekspor non-migas perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan
kualitas komoditi, diversifikasi produk, dan perluasan pasar ekspor.

Selama ini, pasar komoditi ekspor nasional hanya mengarah pada pasar-
pasar tradisional seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura sebagai
negara tujuan ekspor terbesar. Pergeseran terjadi sejak tahun 2002 dengan
RRC sebagai negara tujuan ekspor keempat Indonesia menggantikan
Malaysia. Dengan dinamika kawasan Asia yang tumbuh paling tinggi sejak
dekade 70an, pasar komoditi ekspor Indonesia perlu mengarah pada pasar
regional di kawasan Asia.3 Apabila hal-hal tersebut dilaksanakan, maka
ekspor nonmigas pada tahun 2005 diperkirakan meningkat sebesar 6 persen.

D. DAMPAK TSUNAMI TERHADAP PEREKONOMIAN NASIONAL

Pada tanggal 26 Desember 2004, pukul 07.38 WIB, gempa berkekuatan


8,9 skala Richter terjadi di laut barat pulau Sumatera. Gempa yang disertai
gelombang Tsunami telah menewaskan lebih dari 150.000 jiwa di daerah
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara (pulau Nias),
serta lebih dari 50.000 jiwa di negara sekitar lautan Hindia seperti Srilanka,
Thailand, India bahkan Maladewa di benua Afrika.

3
Dalam tahun 1971 – 2001, perekonomian dunia tumbuh rata-rata sekitar 3,4
persen per tahun dengan pertumbuhan dari negara-negara industri maju sekitar
3,0 persen per tahun dan negara-negara berkembang sekitar 4,8 persen per tahun.
Kawasan Asia tumbuh paling tinggi, yaitu sekitar 6,7 persen per tahun; sedangkan
Amerika Latin dan Afrika masing-masing hanya tumbuh 3,0 persen dan 2,6
persen per tahun.

III-20
Selain telah memakan korban jiwa, bencana tersebut telah merusak
banyak bangunan di NAD baik itu rumah, gedung-gedung, perkantoran,
pertokoan, fasilitas umum seperti jembatan, jalan dan infrastruktur lainnya.
Mengingat perekonomian NAD merupakan bagian dari perekonomian
nasional dan memberikan kontribusi yang cukup besar khususnya dalam
ekspor migas, maka menjadi sangat penting untuk melihat dampak dari
bencana Tsunami terhadap perekonomian NAD dan terhadap
perekonomian nasional.

1. Profil Perekonomian Aceh

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) NAD tahun 2003 sebesar Rp


38,6 triliun yaitu sekitar 2,3% Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Minyak dan gas bumi mendominasi kegiatan perekonomian di NAD yaitu
tercatat sekitar 43% dari total PDRB.

Dilihat dari sumbangan masing-masing sektor terhadap PDRB di tahun


2003, sektor pertanian memberikan kontribusi terbesar yaitu sebesar 32,2%.
Berikutnya adalah sektor pertambangan dan penggalian; dan industri
pengolahan yang secara berturut-turut memberikan kontribusi sebesar
28,04% dan 21,23% terhadap total PDRB. Sedangkan sektor lainnya seperti
listrik, gas dan air bersih; bangunan dan jasa keuangan memberikan
kontribusi yang tidak signifikan. Sumbangan masing-masing sektor selama
4 tahun terakhir dapat dilihat dalam tabel III.5.

Dilihat dari sisi pengeluaran, rasio investasi terhadap PDRB sebesar


7,5% di tahun 2003, kurang dari setengah rasio nasional sebesar 19,7%.
Sebaliknya, rasio ekspor neto (ekspor minus impor) terhadap PDRB di
tahun 2003 sangat signifikan yaitu sebesar 42%, jauh lebih besar
dibandingkan dengan nasional sebesar 5,5%, dan utamanya disebabkan oleh
ekspor gas alam.

Di luar sektor migas, kontribusi NAD terhadap ekspor Indonesia sangat


kecil. Tahun 2003, total ekspor non-migas NAD hanya sebesar $84 juta atau

III-21
sebesar 0,2% dari ekspor non-migas nasional. Diantara ekspor non-migas
NAD, pupuk adalah produk utama. Di tahun 2003, ekspor pupuk sebesar $55
juta, 65% dari total ekspor non-migas dan ekspor pupuk NAD tercatat 29%
dari total ekspor pupuk nasional. Ekspor LNG NAD dari Arun memberi
sumbangan yang besar yaitu sebesar 24% dari total volume ekspor LNG
nasional pada tahun 2003.

Tabel III.5.
SUMBANGAN SEKTOR TERHADAP TOTAL PDRB NAD (PERSEN), 1999 – 2003
Lapangan Usaha 1999 2000 2001 2002 2003
1. PERTANIAN 28,86 29,37 29,54 31,01 32,17
2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN 33,54 34,20 31,37 29,28 28,04
a. Minyak & Gas Bumi 32,97 33,62 30,81 28,67 27,43
3. INDUSTRI PENGOLAHAN 22,00 20,35 22,66 21,94 21,23
a. Industri Migas 16,53 14,76 17,44 16,22 15,60
1. Pengilangan Minyak Bumi 0,99 1,03 1,06 1,00 1,00
2. Gas Alam Cair 15,54 13,73 16,38 15,23 14,60
4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH 0,18 0,17 0,17 0,21 0,27
5. BANGUNAN 2,27 2,33 2,29 2,49 2,70
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN 5,47 5,73 5,80 6,31 6,37
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI 4,50 4,54 4,51 4,94 5,08
8. KEUANGAN, PERSEWAAN & JASA
PERUSAHAAN 0,48 0,70 1,11 1,09 1,25
9. JASA-JASA 2,70 2,62 2,55 2,73 2,88
Total 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Sumber: BPS

2. Dampak Bencana Aceh Terhadap Perekonomian

Sektor minyak dan gas tidak mengalami kerusakan termasuk Exxon


Mobil yang beroperasi di Lhokseumawe. Sedangkan 2/3 (67%) dari nominal
PDRB pada sektor non-migas merupakan sektor yang terkena dampak
utama dimana sektor non-migas merupakan sektor yang dominan
menyerap tenaga kerja (32%) yaitu 10% bekerja di sektor peternakan dan
10% bekerja di sektor perkebunan.

III-22
Dampak Tsunami terhadap perekonomian dapat dibagi menjadi
beberapa ukuran yaitu dampak terhadap pertumbuhan ekonomi, pendapatan per
kapita, beberapa sektor (pariwisata dan keuangan), kesempatan kerja dan
kemiskinan.

Berbagai simulasi mengenai dampak bencana Aceh terhadap


perekonomian baik perekonomian Aceh maupun perekonomian nasional
telah dilakukan, diantaranya estimasi oleh Bappenas (Direktorat
Perencanaan Makro) dan World Bank. Estimasi yang dilakukan oleh World
Bank lebih banyak melihat pengaruh Tsunami terhadap PDRB Aceh
maupun PDB dari sisi sektoral, sedangkan estimasi Bappenas melihat
pengaruhnya terhadap PDRB Aceh dan PDB dari sisi pengeluaran.
Keduanya memproyeksikan bahwa pertumbuhan perekonomian Indonesia
diperkirakan akan turun 0,1 % sampai 0,4 % PDB di tahun 2005.

3. Proyeksi Pulihnya Perekonomian NAD

Upaya rehabilitasi dan rekonstruksi kembali provinsi Nanggroe Aceh


Darussalam dan pulau Nias, diperkirakan akan membutuhkan dana sebesar
Rp 41,1 triliun dan membutuhkan waktu pemulihan sekitar lima tahun.
Sebagian besar dana akan terserap di NAD karena tingkat kerusakannya
cukup parah dibandingkan dengan pulau Nias. Untuk tahun 2005,
diperkirakan akan memerlukan dana sebesar Rp 7 triliun sampai Rp 9
triliun karena masa tanggap darurat juga memerlukan banyak bantuan bagi
masyarakat yang selamat dari bencana tsunami lalu.

Bappenas memproyeksikan konsumsi masyarakat di wilayah bencana


akan pulih pada tahun 2007. Dibandingkan dengan baseline skenario,
konsumsi masyarakat diperkirakan lebih rendah 0,16 persen PDB pada
tahun 2005; 0,11 persen tahun 2006 dan 0,6 persen tahun 2007.

Investasi swasta di wilayah bencana diperkirakan baru pulih pada tahun


2009. Investasi swasta diperkirakan lebih rendah 0,04 persen PDB pada

III-23
tahun 2005; 0,03 persen tahun 2006; 0,02 persen tahun 2007; serta 0,01 persen
tahun 2008 dibandingkan baseline skenario.

Untuk menanggulangi dampak gempa, pengeluaran pemerintah


khususnya dalam bentuk investasi diperkirakan meningkat sebesar 0,20
persen PDB pada tahun 2005; 0,14 persen tahun 2006; 0,08 persen tahun 2007
dan 0,04 persen tahun 2008. Dengan demikian, secara keseluruhan
keberlanjutan pembangunan dapat tetap terjamin. Dampak bencana alam
dan gelombang Tsunami dapat dilihat pada Boks III.1.

Boks III.1.
Dampak Bencana Aceh Terhadap Perekonomian

Berbagai simulasi mengenai dampak bencana Aceh terhadap perekonomian


baik perekonomian Aceh maupun perekonomian nasional telah dilakukan.
Diantaranya estimasi dilakukan oleh Bappenas (Direktorat Perencanaan Makro)
dan World Bank. Estimasi yang dilakukan oleh Bappenas lebih banyak melihat
pengaruhnya terhadap PDRB Aceh dan PDB dari sisi pengeluaran sedangkan
World Bank melihat pengaruh Tsunami terhadap PDRB Aceh maupun PDB dari
sisi sektoral. Dengan sama-sama berbasis pada berkurangnya jumlah penduduk,
maka kedua hasil estimasi tersebut dapat saling melengkapi. Untuk lebih jelas,
hasil estimasi tersebut dapat dilihat pada penjelasan berikut ini:

o Simulasi Bappenas

Bappenas melakukan proyeksi dengan menggunakan asumsi sebagai berikut:


konsumsi masyarakat sebesar 40,7% PDRB Aceh; investasi sebesar 7,4% PDRB;
jumlah penduduk semula 4.034.653 jiwa; dan yang terkena bencana 2.868.889 jiwa
(baik korban meninggal, luka-luka, atau menderita kerugian materi).

Hasil estimasi PDRB NAD pada tahun 2005 akan lebih rendah 9,1%
dibandingkan dengan PDRB di tahun 2004. Pertumbuhan ekonomi nasional
diproyeksikan akan menurun sebesar 0,2 persentase poin dari base line. Proyeksi
Bappenas juga menunjukkan bahwa akibat menurunnya populasi dan pendapatan
masyarakat akibat bencana, konsumsi masyarakat NAD diperkirakan turun 7,2%

III-24
PDRB atau 0,16 persen PDB pada tahun 2005. Demikian pula investasi swasta
diperkirakan menurun sebesar 1,9 persen PDRB atau 0,04 persen PDB. Di sisi
lain, berbagai langkah penyelamatan, rehabilitasi dan rekonstruksi akan
mendorong meningkatnya investasi pemerintah yang direncanakan mencapai 0,2
persen PDB pada tahun 2005.

Bappenas memproyeksikan konsumsi masyarakat di wilayah bencana akan


pulih pada tahun 2007. Dibandingkan dengan baseline skenario, konsumsi
masyarakat diperkirakan lebih rendah 0,16 persen PDB pada tahun 2005; 0,11
persen tahun 2006 dan 0,6 persen tahun 2007.

III-25

Anda mungkin juga menyukai