A. INVESTASI
III-1
2001, US$ 679 miliar pada tahun 2002, dan US$ 560 miliar pada tahun 2003.
Perkembangan arus masuk PMA dari tahun 1992 hingga tahun 2003 dapat
dilihat pada Grafik III.1.
Grafik III.1.
ARUS MASUK PENANAMAN MODAL ASING
1500
1200
US$ Miliar
900
600
300
0
Rt2 1992-97 1999 2001 2003
III-2
Selatan, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Indonesia masih mengalami
arus keluar (neto) seperti yang ditunjukkan oleh arus masuk PMA yang
masih negatif sejak tahun 1998 kecuali untuk tahun 2002.
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa daya tarik investasi di Indonesia
sebelum krisis (1991 – 1996) dilihat dari arus masuk PMA, lebih baik
dibandingkan Thailand; bahkan dengan Korea Selatan dan India. Namun
setelah krisis, daya tarik investasi Indonesia menurun, bahkan di bawah
Vietnam.
III-3
iklim investasi belum mengalami perbaikan yang berarti. Faktor-faktor
tersebut antara lain sebagai berikut.
Grafik III.2.
WAKTU YANG DIBUTUHKAN MEMULAI USAHA
Laos
Indonesia
Kamboja
India
Arab Saudi
Yaman
Bhutan
Papua Nugini
Vietnam
Uni Emirat Arab
Filipina
Sri Lanka
Iran
Taiwan
Syria
Lebanon
Cina
Bangladesh
Kuwait
Israel
Oman
Thailand
Malaysia
Pakistan
Korea
Nepal
Mongolia
Hongkong
Singapura
III-4
Grafik III.3.
BIAYA DIBUTUHKAN MEMULAI USAHA (US$)
Arab Saudi
Uni Emirat Arab
Lebanon
Korea
Kamboja
Yaman
Indonesia
Malaysia
Israel
Hongkong
Taiwan
Syria
Kuwait
Oman
Bangladesh
India
Singapura
Filipina
Nepal
Pakistan
Cina
Papua Nugini
Thailand
Iran
Vietnam
Sri Lanka
Bhutan
Laos
Mongolia
1
Penelitian yang dilakukan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah
(KPPOD) bekerjasama dengan The Asia Foundation tahun 2002 pada 134 kabupaten/kota
di Indonesia menyatakan bahwa penerapan peraturan daerah (perda) pungutan lebih
didorong oleh keinginan untuk menaikkan PAD secara berlebihan yang dikuatirkan
dapat merugikan pembangunan daerah yang bersangkutan. Sebagian menyatakan bahwa
penerapan perda tentang pungutan (retribusi, pajak daerah, dan pungutan lainnya)
kurang menunjang kegiatan usaha (38,1 persen distortif, 47,8 persen bisa diterima, dan
14,2 persen menunjang).
III-5
Salah satu contoh tumpang tindih kebijakan antar sektor adalah
pelarangan kegiatan penambangan terbuka di kawasan hutan lindung.
Disamping pemerintah bisa menghadapi gugatan dari investor yang telah
mendapatkan izin penambangan yang lebih memprihatinkan adalah belum
tumbuhnya pemahaman yang mendalam antara kepentingan jangka
panjang dengan kepentingan jangka pendek yang sebenarnya terkait erat
satu sama lain.
Grafik III.4.
WAKTU MENYELESAIKAN SENGKETA PERADILAN
Lebanon
Syria
Uni Emirat Arab
Israel
Indonesia
Iran
Oman
Laos
Sri Lanka
India
Vietnam
Kamboja
Pakistan
Kuwait
Thailand
Filipina
Bangladesh
Yaman
Arab Saudi
Nepal
Mongolia
Malaysia
Papua Nugini
Bhutan
Cina
Hongkong
Taiwan
Korea
Singapura
III-6
Grafik III.5.
BIAYA MENYELESAIKAN SENGKETA PERADILAN
Indonesia
Kamboja
Bhutan
Papua Nugini
Filipina
India
Pakistan
Syria
Laos
Vietnam
Lebanon
Nepal
Cina
Mongolia
Israel
Bangladesh
Sri Lanka
Malaysia
Arab Saudi
Uni Emirat Arab
Thailand
Kuwait
Hongkong
Iran
Yaman
Oman
Singapura
Taiwan
Korea
III-7
Grafik III.6.
INDEKS KEKAKUAN PASAR TENAGA KERJA
Indonesia
Vietnam
Taiwan
Laos
Bhutan
Pakistan
India
Kamboja
Nepal
Thailand
Filipina
Sri Lanka
Iran
Syria
Yaman
Mongolia
Oman
Korea
Israel
Uni Emirat Arab
Cina
Lebanon
Bangladesh
Kuwait
Papua Nugini
Arab Saudi
Malaysia
Hongkong
Singapura
0 10 20 30 40 50 60
(100=paling kaku; 0=paling fleksibel)
KOTAK III.1.
MINAT INVESTASI DI DAERAH RAWAN KONFLIK
III-8
2000) rata-rata per tahun nilai persetujuan PMDN menurun sekitar 30 persen
dibandingkan dengan tiga tahun sebelum krisis (1995 – 1997); sedangkan rata-rata
persetujuan PMA menurun sekitar 60 persen dalam periode yang sama. Dari
perbandingan tersebut dapat dilihat bahwa faktor stabilitas politik dan keamanan
lebih berpengaruh terhadap PMA daripada terhadap PMDN.
Tabel III.2.
NILAI PERSETUJUAN PMDN DAN PMA PADA DAERAH KONFLIK
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
PMDN (Rp mil) 119320,5 57999,2 53930,8 95450,3 58856,6 25228,5 50754,9 37140,4
Aceh 1068,1 1297,3 139,2 1187,5 64,4 1,2 74,7 71,0
Maluku 1060,0 44,6 20,0 - - 68,0 2,9 140,1
Papua 1711,6 1278,6 8416,0 42,5 3137,5 175,3 995,9 44,0
PMA (US$ juta) 33788,8 13649,6 10884,4 16020,8 15189,5 9931,2 14049,3 10279,8
Aceh 771,5 6,2 51,8 1811,1 6,0 - 1482,6 9,5
Maluku 17,8 4,9 1,8 0,1 9,3 - 3,0 69,9
Papua 504,5 11,2 23,2 52,5 6095,5 76,6 220,8 49,0
Sumber: BKPM
III-9
tertinggal. Meskipun dengan tingkat pajak progresif yang diperkirakan
relatif sama dengan negara-negara lain, sistem perpajakan di Indonesia
tidak memberikan pembebasan pajak (tax holiday) untuk jangka waktu
tertentu dan relatif tertinggal dalam memberikan kelonggaran pajak (tax
allowances). Perbandingan fasilitas perpajakan dari beberapa negara dapat
dilihat pada Tabel III.3.
Tabel III.3.
PERBANDINGAN FASILITAS PERPAJAKAN BEBERAPA NEGARA
Negara Tax Holiday Tax Allowance Tingkat Pajak
RRC Tahun 1 – 2 Tahun 3 – 5: pengurangan 30% + 3% (lokal)
pajak penghasilan sebesar
50%
Korea Tahun 1 – 7 Tahun 8 – 10: pengurangan 16 – 28%
Selatan pajak penghasilan badan
dan perorangan sebesar
50%
Malaysia 5 – 10 tahun (industri Penundaan 70% dari 28%
strategis dan teknologi tinggi) pendapatan selama 5 tahun
untuk industri pioneer
Filipina 4 tahun (non-pioner); 6 NA 32%
tahun (pioner); 3 tahun
(perluasan); 6 tahun
(perluasan baru di wilayah
kurang berkembang)
Singapura 5 – 10 tahun (pioner) NA 24,5%
Thailand 3 tahun (Zona 1); 3 – 5 NA 30%
tahun (Zona 2); 8 tahun
(Zona 3)
Vietnam Pembebasan PPh selama Pengurangan PPh sebesar Tingkat pajak standar
periode tertentu (1 s/d 8 50% diberikan setelah masa 25%. Tingkat pajak
tahun) mulai dari tahun Tax Holiday untuk waktu s/d preferensi 10% (15
pertama untung yang 4 tahun. tahun), 15% (12
diberikan kepada proyek tahun), dan 20% (10
investasi yang dipromosikan tahun) untuk investasi
(mendapat tarif preferensi) tertentu yang
dipromosikan.
Indonesia Pengurangan penghasilan Progresif maksimum
neto sebesar 30% selama 6 30%
tahun
Sumber: Sekretariat ASEAN, 2001 (diolah BKPM)
III-10
2. UPAYA MENINGKATKAN IKLIM INVESTASI
KOTAK III.2.
POKOK-POKOK RUU PENANAMAN MODAL
III-11
Fasilitas fiskal dapat diberikan kepada penanaman modal untuk bidang usaha
tertentu atau lokasi tertentu atau penanaman modal yang dilakukan oleh
usaha kecil dan koperasi atau perusahaan penanaman modal yang bekerjasama
dengan usaha kecil dan koperasi melalui pelayanan satu atap oleh Badan
Penanaman Modal. Fasilitas non-fiskal dapat diberikan oleh Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah berupa kemudahan di bidang perijinan pertanahan,
kelonggaran penggunaan tenaga kerja, dan penyediaan infrastruktur.
4. RUU Penanaman Modal tidak mencantumkan lagi ketentuan mengenai
divestasi perusahaan yang seluruh sahamnya dimiliki oleh PMA sebagaimana
dalam UU No. 1/1967 tentang PMA yang diatur lebih lanjut dalam PP No.
20/1994.
5. RUU Penanaman Modal menjamin tidak akan dilakukan tindakan
nasionalisasi atau pencabutan/pengambilalihan hak kepemilikan penanaman
modal. Apabila pemerintah akan melakukan nasionalisasi harus terlebih
dahulu ditetapkan oleh UU dan pemerintah berkewajiban memberi ganti rugi
yang jumlah, jenis, dan cara pembayarannya ditetapkan berdasarkan
kesepakatan kedua belah pihak berdasarkan asas-asas hukum nasional dan
hukum internasional.
6. Dalam RUU Penanaman Modal, PMA diberikan hak transfer dan repatriasi
dalam valuta asing atas modal, keuntungan, pembayaran pokok dan bunga
pinjaman, hasil penjualan saham, ganti rugi dalam hal
nasionalisasi/pengambilalihan, hasil penjualan kekayaan/aset, pendapatan
karyawan yang dipekerjakan dari luar negeri setelah penanam modal
memenuhi kewajiban perpajakan dan kewajiban pembayaran.
7. Dalam RUU Penanaman Modal, perusahaan penanaman modal diwajibkan
untuk mengutamakan tenaga kerja Indonesia. Tenaga ahli asing dapat
digunakan untuk jabatan dan keahlian tertentu yang belum dapat dipenuhi
oleh tenaga kerja Indonesia.
8. Apabila terjadi perselisihan antara penanam modal asing dengan pemerintah
dan tidak dapat diselesaikan, maka dapat dipilih penyelesaian sengketa
melalui lembaga pengadilan atau lembaga arbitrase nasional atau lembaga
arbitrase internasional.
9. Dalam RUU Penanaman Modal, izin usaha PMA diberikan sesuai jangka
waktu pendirian perusahaan yang ditentukan dalam anggaran dasarnya,
berbeda dengan UU Penanaman Modal yang berlaku saat ini dimana izin
usaha PMA diberikan terbatas untuk jangka waktu 30 tahun.
III-12
Selanjutnya untuk meningkatkan kinerja pengadilan niaga sedang
dilakukan pembahasan RUU tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang serta pembaruan Cetak Biru Pengadilan Niaga. Adapun
untuk mengurangi tumpang tindih kebijakan antara pusat dan daerah akan
dilakukan harmonisasi peraturan daerah dalam konteks otonomi daerah
berupa pembatalan peraturan-peraturan daerah yang tidak sesuai dengan
peraturan perundangan yang lebih tinggi dan/atau bertentangan dengan
kepentingan umum.
III-13
untuk melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Di banyak negara, prosedur
perijinan sangat sederhana dan singkat. Penanam modal hanya diwajibkan
mendaftarkan sekali dan tidak perlu mendaftarkan ulang untuk kegiatan
usaha lainnnya.
III-14
di Indonesia. Negara-negara tersebut antara lain adalah Inggris. Jerman,
Amerika Serikat, Jepang, Malaysia. Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan.
Upaya untuk meyakinkan penanam modal di negara-negara yang pernah
menanamkan modal di Indonesia relatif lebih mudah dibandingkan dengan
negara-negara yang belum pernah atau hanya sedikit menanam modal di
Indonesia. Perbandingan persetujuan PMA untuk negara-negara dimaksud
pada tahun 1997 dan 2004 dapat dilihat pada Grafik III.7.
Tabel III.4.
TERMINAL HANDLING CHARGE BEBERAPA NEGARA ASIA, 200
(dalam US$)
Terminal Handling Charge
Negara/Pelabuhan Standard 20' Standard 40'
Container Container
Singapura 105 156
Malaysia
Penang/Johor 78 116
Port Kelang 88 132
Thailand
Bangkok-Direct 62 93
Bangkok-Transhipment 62 93
Filipina
Manila/Cebu 104 138
Hongkong 265 353
RRC
Guangdong 141 269
Fujian 44 66
Cina Bagian Timur 44 66
Cina Bagian Utara 44 66
Shanghai 15 23
Taiwan
Kaosiung 150 114
Keelung 150 191
Taichung 150 191
Korea
Busan 84 114
Indonesia 130 200
Surabaya 145 225
Jakarta 150 230
Kamboja 70 100
Sumber: OSRA
III-15
Grafik III.7.
PERKEMBANGAN PERSETUJUAN PMA
6000
5000
4000
US$ juta
3000
2000
1000
0
Inggris Jerman AS Jepang Malaysia Korsel S'pura Taiwan
B. EKSPOR NON-MIGAS
2
Pembebasan pajak (tax holiday) di beberapa negara yang diberikan kepada industri
pioner diarahkan untuk meningkatkan transfer teknologi dari PMA.
III-16
Setelah perekonomian dunia mengalami penguatan pada tahun 2000
yang mencapai pertumbuhan sebesar 4,7 persen, pada tahun 2001
perekonomian dunia mengalami resesi dan hanya tumbuh sebesar 2,2
persen. Namun demikian sejak tahun 2002 perekonomian dunia mengalami
pemulihan. Pergerakan dari perekonomian dunia ini sangat berpengaruh
pada perkembangan ekspor nonmigas Indonesia. Dalam tahun 2000,
permintaan eksternal yang sangat kuat telah mendorong penerimaan
ekspor meningkat tajam hingga mencapai 22,8 persen. Namun pada tahun
2001 penerimaan ekspor nonmigas bahkan menurun sekitar 10 persen. Baru
sejak tahun 2002 penerimaan ekspor meningkat kembali, yaitu masing-
masing untuk tahun 2002 dan 2003 sebesar 3,4 persen dan 3,7 persen, dan
pada tahun 2004 peningkatan ekspor nonmigas meningkat cukup pesat,
yaitu mencapai 11,0 persen. Pola perkembangan ekspor nonmigas ini juga
terjadi pada negara-negara lain dikawasan ASEAN yang meningkat pesat
tahun 2000, menurun pada tahun 2001, dan selanjutnya terus meningkat
hingga tahun 2004.
III-17
hanya mencapai US$ 1,2 miliar pada tahun 2004. Ekspor pakaian jadi yang
pada tahun 2000 mencapai US$ 3,6 miliar terus menurun dan pada tahun
2004 hanya mencapai US$ 3,3 miliar. Adapun ekspor untuk kertas dan
bahan kertas lainnya dan bahan kimia cenderung untuk tidak berubah.
Sedangkan ekspor alat-alat listrik yang pada tahun 2000 mencapai US$ 2,1
miliar, pada periode tahun 2004 meningkat menjadi sekitar US$ 2,5 miliar.
Ekspor bahan makanan olahan juga mengalami peningkatan yaitu dari
US$ 0,7 miliar pada tahun 2000 menjadi US$ 1,0 miliar pada tahun 2004.
III-18
September 2004, ekspor hasil pertanian hanya mencapai US$ 1,8 miliar,
jauh lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 1998
yang mencapai US$ 2,7 miliar. Dilihat dari volumenya, ekspor hasil
pertanian juga berfluktusi dengan kecenderungan menurun. Untuk periode
Januari-September 1998-2004, volume ekspor hasil pertanian berturut-turut
mencapai 2,4 juta ton, 1,8 juta ton, 1,5 juta ton, 1,6 juta ton , 1,4 juta ton, 1,4
juta ton, dan 1,3 juta ton.
Ekspor hasil pertambangan (di luar migas) yang pada tahun 1997,
terhitung sampai dengan bulan September, mencapai US$ 3,1 miliar,
mengalami penurunan pada tahun 1998 dan tahun 1999 untuk periode yang
sama. Dalam tahun 2000 dan sesudahnya, ekspor hasil pertambangan mulai
menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2004 sampai dengan bulan
September ekspor hasil pertambangan telah mencapai US$ 3,0 miliar,
hampir sama dengan nilai ekspor hasil pertambangan sebelum krisis.
Dalam tahun 2004 nilai total ekspor (migas dan non-migas) mengalami
peningkatan yang relatif tinggi, yaitu meningkat sekitar 10,8 persen
dibandingkan tahun 2003, yang didorong oleh oleh peningkatan ekspor
migas yang naik sekitar 10.1 persen, dan penerimaan ekspor non-migas yang
meningkat sebesar 11 persen. Peningkatan ekspor non-migas ini sebagian
merupakan sumbangan dari sektor hasil industri yang meningkat sebesar
12,9 persen. Adapun penerimaan ekspor hasil pertambangan (diluar migas)
menurun sebesar 4,2 persen, dan ekspor hasil pertanian meningkat sebesar
5,2 persen. Selain itu tingginya peningkatan ekspor total juga dipengaruhi
perubahan sistem perhitungan.
III-19
Dalam tahun 2005, kinerja ekspor non-migas harus dapat ditingkatkan
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Untuk itu daya saing ekspor
harus dapat ditingkatkan. Berbagai permasalahan yang menghambat
peningkatan ekspor non-migas seperti adanya tumpang tindih peraturan
dan hambatan perdagangan lainnya yang mengakibatkan tingginya biaya
transaksi, harus dapat dihapuskan. Disamping itu untuk meningkatkan
kinerja ekspor non-migas perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan
kualitas komoditi, diversifikasi produk, dan perluasan pasar ekspor.
Selama ini, pasar komoditi ekspor nasional hanya mengarah pada pasar-
pasar tradisional seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura sebagai
negara tujuan ekspor terbesar. Pergeseran terjadi sejak tahun 2002 dengan
RRC sebagai negara tujuan ekspor keempat Indonesia menggantikan
Malaysia. Dengan dinamika kawasan Asia yang tumbuh paling tinggi sejak
dekade 70an, pasar komoditi ekspor Indonesia perlu mengarah pada pasar
regional di kawasan Asia.3 Apabila hal-hal tersebut dilaksanakan, maka
ekspor nonmigas pada tahun 2005 diperkirakan meningkat sebesar 6 persen.
3
Dalam tahun 1971 – 2001, perekonomian dunia tumbuh rata-rata sekitar 3,4
persen per tahun dengan pertumbuhan dari negara-negara industri maju sekitar
3,0 persen per tahun dan negara-negara berkembang sekitar 4,8 persen per tahun.
Kawasan Asia tumbuh paling tinggi, yaitu sekitar 6,7 persen per tahun; sedangkan
Amerika Latin dan Afrika masing-masing hanya tumbuh 3,0 persen dan 2,6
persen per tahun.
III-20
Selain telah memakan korban jiwa, bencana tersebut telah merusak
banyak bangunan di NAD baik itu rumah, gedung-gedung, perkantoran,
pertokoan, fasilitas umum seperti jembatan, jalan dan infrastruktur lainnya.
Mengingat perekonomian NAD merupakan bagian dari perekonomian
nasional dan memberikan kontribusi yang cukup besar khususnya dalam
ekspor migas, maka menjadi sangat penting untuk melihat dampak dari
bencana Tsunami terhadap perekonomian NAD dan terhadap
perekonomian nasional.
III-21
sebesar 0,2% dari ekspor non-migas nasional. Diantara ekspor non-migas
NAD, pupuk adalah produk utama. Di tahun 2003, ekspor pupuk sebesar $55
juta, 65% dari total ekspor non-migas dan ekspor pupuk NAD tercatat 29%
dari total ekspor pupuk nasional. Ekspor LNG NAD dari Arun memberi
sumbangan yang besar yaitu sebesar 24% dari total volume ekspor LNG
nasional pada tahun 2003.
Tabel III.5.
SUMBANGAN SEKTOR TERHADAP TOTAL PDRB NAD (PERSEN), 1999 – 2003
Lapangan Usaha 1999 2000 2001 2002 2003
1. PERTANIAN 28,86 29,37 29,54 31,01 32,17
2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN 33,54 34,20 31,37 29,28 28,04
a. Minyak & Gas Bumi 32,97 33,62 30,81 28,67 27,43
3. INDUSTRI PENGOLAHAN 22,00 20,35 22,66 21,94 21,23
a. Industri Migas 16,53 14,76 17,44 16,22 15,60
1. Pengilangan Minyak Bumi 0,99 1,03 1,06 1,00 1,00
2. Gas Alam Cair 15,54 13,73 16,38 15,23 14,60
4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH 0,18 0,17 0,17 0,21 0,27
5. BANGUNAN 2,27 2,33 2,29 2,49 2,70
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN 5,47 5,73 5,80 6,31 6,37
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI 4,50 4,54 4,51 4,94 5,08
8. KEUANGAN, PERSEWAAN & JASA
PERUSAHAAN 0,48 0,70 1,11 1,09 1,25
9. JASA-JASA 2,70 2,62 2,55 2,73 2,88
Total 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Sumber: BPS
III-22
Dampak Tsunami terhadap perekonomian dapat dibagi menjadi
beberapa ukuran yaitu dampak terhadap pertumbuhan ekonomi, pendapatan per
kapita, beberapa sektor (pariwisata dan keuangan), kesempatan kerja dan
kemiskinan.
III-23
tahun 2005; 0,03 persen tahun 2006; 0,02 persen tahun 2007; serta 0,01 persen
tahun 2008 dibandingkan baseline skenario.
Boks III.1.
Dampak Bencana Aceh Terhadap Perekonomian
o Simulasi Bappenas
Hasil estimasi PDRB NAD pada tahun 2005 akan lebih rendah 9,1%
dibandingkan dengan PDRB di tahun 2004. Pertumbuhan ekonomi nasional
diproyeksikan akan menurun sebesar 0,2 persentase poin dari base line. Proyeksi
Bappenas juga menunjukkan bahwa akibat menurunnya populasi dan pendapatan
masyarakat akibat bencana, konsumsi masyarakat NAD diperkirakan turun 7,2%
III-24
PDRB atau 0,16 persen PDB pada tahun 2005. Demikian pula investasi swasta
diperkirakan menurun sebesar 1,9 persen PDRB atau 0,04 persen PDB. Di sisi
lain, berbagai langkah penyelamatan, rehabilitasi dan rekonstruksi akan
mendorong meningkatnya investasi pemerintah yang direncanakan mencapai 0,2
persen PDB pada tahun 2005.
III-25