Pedoman Pasal 6 Diskriminasi Harga
Pedoman Pasal 6 Diskriminasi Harga
BAB I
LATAR BELAKANG
Di dunia usaha, persaiangan usaha atau konmpetensi antar para pelaku usaha dalam
merebut pasar adalah hal yang sangat wajar. Namun hal itu menjadi tidak wajar manakala
persaingan tersebut dilakukan dengan cara yang curang (unfair), dengan tujuan untuuk
menghalangi pelaku usaha lain untuk bersaing (barrier to entry) atau mematikan usaha
persainganya. Namun demikian, kompetisi dapat dilaksanakan secara wajar, apabila tercipta
pertumbuhan dunia usaha yang sehat dan menjamin adanya kesempatan berusaha yang
sama. Untuk itu dibutuhkan suatu iklim persaingan usaha yang kondusif. Oleh karena itu,
untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat dengan terbangunnya iklim yang kondusif,
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Lapangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut UU No.
5 Tahun 1999).
UU Nomor 5 Tahun 1999 telah mengantisipasi beberapa perilaku pelaku usaha yang
tidak sehat yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam menciptakan kekuatan pasar yang
cenderung anti persaingan. Salah satu bentuk tindakan yang anti persaingan adalah
Diskriminasi Harga. Diskrimininasi Harga merupakan salah satu bentuk perjanjian yang
dilarang oleh UU No. 5/1999 yang dapat terjadi melalui penetapan harga berbeda yang
dilakukan oleh pelaku usaha untuk barang dan atau jasa yang sama dari suatu produsen
berdasarkan kriteria tertentu, atau mengenakan harga berbeda untuk pelanggan berbeda
berdasarkan tambahan yang tidak proporsional di atas biaya marjinal atau dapat juga diartikan
sebagai strategi penetapan harga non-linear yang mencoba untuk dapat memperoleh surplus
konsumen lebih banyak.
Selain itu diskriminasi harga dapat terjadi apabila pelaku usaha menentukan harga
sehingga perbedaan antara harga rata-rata dengan biaya rata-rata bervariasi diantara
penjualan barang yang sama atau barang yang fungsinya hampir sama. Diskriminasi harga
hanya dapat terjadi pada barang dan atau jasa yang sama dengan kuantitas yang sama.
Semua pengertian di atas mengacu pada praktek diskriminasi harga berdasarkan daya beli
atau pendapatan konsumen yang diproyeksikan dari struktur biaya pelaku usaha.
BAB II
TUJUAN DAN CAKUPAN PENJELASAN
Penjelasan tersebut ditujukan untuk pelaku usaha, praktisi hukum dan ekonomi,
pemerintah dan masyarakat umum, agar semua pihak yang terkait tersebut mampu
memahami apa yang dimaksud dengan Diskriminasi Harga yang dianggap melanggar menurut
Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1999 dan metode pendekatan yang dilakukan oleh KPPU dalam
menegakkan ketentuan tersebut.
Dengan adanya Penjelasan tersebut, para pelaku usaha dan stakeholders lainnya
diharapkan dapat memahami maksud dari Pasal 6 tersebut sehingga tidak melakukan
perbuatan sebagaimana yang dilarang dalam Pasal 6 tersebut. Penjelasan tentang Larangan
Diskriminasi Harga tersebut dimaksudkan untuk :
a. Memberikan dasar pemahaman dan arah yang jelas dalam pelaksanaan Pasal 6
sehingga tidak ada penafsiran lain selain apa yang diuraikan dalam Penjelasan.
b. Digunakan oleh semua pihak sebagai landasan untuk melakukan perjanjian yang tidak
merugikan atau melanggar Pasal 6
c. Menciptakan kondisi persaingan usaha yang tumbuh secara wajar.
5/1999 tetap didahulukan dan tidak hanya terbatas pada hal-hal sebagaimana diuraikan dalam
Penjelasan.
Penjelasan tentang larangan diskriminasi harga menurut Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1999
tersebut mencakup filosofi, semangat dan arah dari ketentuan dalam menciptakan persaingan
usaha yang sehat. Secara sistematis, penjelasan tersebut mencakup :
BAB I Latar Belakang
BAB III Pengertian, dan Penjabaran dan Aturan Sanksi Menurut UU No. 5 Tahun
1999.
Bab tersebut menjelaskan tentang Pengertian diskrimasi harga menurut Pasal
6 UU No. 5 Tahun 1999, pejabaran unsur-unsur dari Pasal 6, keterkaitan
Pasal 6 dengan pasal lain, Komparasi dengan peraturan undang-undang dari
negara lain serta sanksi yang dapat dikenakan kepada pelaku usaha yang
terbukti melakukan pelanggaran Pasal 6.
BAB IV Perkembangan
Bab tersebut menjelaskan konsep dari definisi diskriminasi harga, alasan
pelaku usaha melakukan diskriminasi harga, jenis-jenis diskriminasi harga,
alasan Pelaku usaha melakukan diskriminasi harga, dampak diskriminasi
harga dan Simulasi Contoh Kasus.
BAB V Penutup
BAB III
PENGERTIAN DAN PENJABARAN UNSUR DISKRIMINASI HARGA SEBAGAIMANA
DIATUR DALAM PASAL 6 SERTA SANKSI
Diskriminasi Harga adalah kemampuan pelaku usaha untuk menentukan harga pada
barang dan jasa yang sama pada kualitas yang sama pada konsumen yang berbeda.
Ketika 4 kondisi tersebut terjadi maka ketika suatu perusahaan melakukan penetapan
harga yang berbeda untuk barang dan jasa yang sama dengan kualitas dan kuantitas yang
sama pada pembeli yang berbeda, dipastikan telah melakukan Diskriminasi Harga yang
dilarang oleh Pasal 6.
Hal ini juga senada dengan penerapan Diskriminasi Harga yang dianut di negara-negara
lain. Pelarangan Diskriminasi harga di Eropa menunjukkan diskriminasi harga yang bersyarat
yakni diskriminasi harga yang dilakukan oleh pelaku pasar yang dominan (article 82 (c)/
European Competition Law ; one or several firms holding dominant position applying
dissimilar condition to equivalent transaction with other trading parties, thereby placing
them at a competitive disadvantage” yang merupakan penyalahgunaan posisi dominant di
pasar, dimana dissimilar condition ini dalam penjelasannya termasuk dissimilar price (Geradin
and Petit, 2005).
Begitu juga jika merujuk pada Persetujuan UNCTAD (United Nation Conference on
Trade and Development) tahun 1994 bahwa Diskriminasi Harga dalam Hubungan Vertikal
hanya dilarang jika merupakan penyalahgunaan Posisi Dominan di Pasar.
5
Dalam implementasinya ada beberapa teknik diskriminasi harga, yakni sebagai berikut:
Bentuk pertama dari Diskriminasi Harga terdiri dari rabat (potongan pembayaran) yang
dikenakan kepada penjual oleh pembeli tertentu yang tidak diberikan kepada pembeli
yang lain. Rabat dikatakan diskriminasi harga karena pembeli yang mendapatkan rabat
membayar harga yang lebih murah dibanding dengan pembeli lain yang membeli barang
yang sama.
b) Fidelity rebate; diskon yang ditawarkan kepada pembeli yang telah mengikatkan diri
kepada penjual sehingga rabat diberikan baik dalam volume yang besar ataupun kecil.
Fidelity rebate umumnya dinilai sebagai strategi yang ditujukan untuk mencegah
kompetitor berkembang.
c) Target rebate; Rabat yang diberikan kepada counterpart bisnis yang target
penjualannya lebih dari periode-periode sebelumnya.
Dimana penjual memotong harga secara selektif pada pembeli tertentu pada sekmen
pasar tertentu yang tidak diberikan pada pembeli di sekmen pasar lainnya. Potongan
Harga selektif ini biasanya diberikan kepada pembeli di pasar berpeluang tinggi beralih ke
kompetitor lain. tetapi bagi pembeli lainnya di pasar yang berbeda tetap dikenakan harga
yang lebih tinggi.
Suatu perusahaan menjual dengan harga murah jika membeli dua barang dalam satu
paket dibanding jika pembeli hanya membeli dua barang secara individual.
6
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu
harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh
pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama”.
− Pelaku Usaha
Definisi Pelaku Usaha adalah berdasarkan pengertian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 5 yaitu setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah negara republik Indonesia,
baik sendiri maupun bersama-sama melalui pernjanjian, menyelenggarakan
berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
− Perjanjian
Pengertian perjanjian adalah berdasarkan Pasal 1 Angka 7 yang mendefinisikan
perjanjian sebagai : suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha yang
mengikatkan diri terhadap satu atau lebih usaha lain dengan nama apapun, baik
tertulis maupun tidak tertulis.
Selanjutnya karena Pasal 6 merupakan Bagian Kedua dari UU No. 5/1999 yang
mengatur Penetapan Harga maka Diskriminasi harga yang dimaksud dalam Pasal 6
adalah diskriminasi harga yang disepakati. Diskriminasi harga yang dilakukan
secara sepihak (tanpa perjanjian) diatur dalam Pasal 19 Huruf d.
Hal lainnya adalah Perjanjian yang dimaksud dalam pasal 6 adalah perjanjian
antara para pihak yang berbeda dalam hubungan vertikal seperti produsen dengan
pembeli, distributor dengan peritel. Ini berarti perjanjian yang dimaksud bukan
antara produsen dengan pesaingnya atau pesaing potensialnya yang diatur dalam
Pasal 5 ayat 1.
Dari sisi ekonomi, perjanjian yang bersifat tidak tertulis lebih sukar dibuktikan dan
hanya akan efektif bila disertai sistem dan mekanisme hukuman yang kredibel
7
sehingga membuat pelaku usaha tidak memiliki dorongan untuk melanggar apa
yang telah berjalan selama ini.
Persyaratan agar koordinasi dan mekanisme tersebut dapat berjalan optimal adalah
sebagai berikut :
1. Faktor yang bergantung pada struktur pasar. Misalnya : apakah market leader
akan memaafkan pelaku usaha lain yang melanggar kesepakatan tidak tertulis
atau menghukum seberat-beratnya dengan tujuan untuk tidak ada pelaku usaha
yang mengulangi kesalahan tersebut.
2. Adanya siklus teratur dalam melakukan penyesuaian harga
3. Adanya perusahaan yang menjadi price leader.
4. Adanya pengumuman terbuka tentang rencana perubahan harga
5. Dimungkinkan adanya pasal kontrak yang memungkinkan produsen
memberikan perlakuan istimewa kepada pelaku usaha tertentu.
6. Adanya praktek harga penyerahan yang seragam untuk semua pelaku usaha.
− Pembeli
Pihak yang akan menjual kembali atau mengkonsumsi barang atau jasa yang
ditransaksikan.
− Harga
Harga adalah monetary value dari barang atau jasa yang ditransaksikan. Harga
merupakan harga satuan dan tidak dipengaruhi volume transaksi.
Barang yang dimaksud adalah barang dengan fungsi dan spesifikasi teknis yang
sama. Jasa yang dikonsumsi banyak orang pada saat bersamaan
mengkonsumsinya seperti angkutan udara, darat dan laut mudah untuk didentifikasi
kalau terjadi diskriminasi harga. Tetapi untuk jasa yang disediakan sangat
tergantung pada kondisi individual yang mengkonsumsinya menyebabkan biaya
produsen berbeda-beda untuk setiap konsumen. Sehingga sukar untuk dianggap
sebagai diskriminasi harga apabila pelaku usaha melakukan diskriminasi harga.
Singkatnya, baik produk maupun jasa diferensiasi tidak termasuk dalam kelompok
tersebut.
8
Dalam bagian ini menjelaskan relevansi Pasal 6 ini dengan Pasal-pasal lain dalam
Undang-undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat.
b. Pasal 19 Huruf d
Selanjutnya karena pasal 6 merupakan Bagian Kedua dari UU No. 5/1999 yang
mengatur Penetapan Harga maka Diskriminasi harga yang dimaksud dalam pasal 6
adalah diskriminasi harga yang disepakati. Sedangkan Diskriminasi harga yang
dilakukan secara sepihak (tanpa perjanjian) diatur dalam Pasal 19 Huruf d. Diskriminasi
harga secara sepihak tersebut dapat dilaksanakan apabila pelaku usaha yang
menetapkan harga berbeda tersebut mempunyai posisi dominan. Dalam prakteknya
tidak tertutup kemungkinan pelaku usaha terkena pasal ganda yaitu pelanggaran Pasal
6 dan Pasal 19 huruf (d). Dalam hal ini berlaku pengawasan berganda, yaitu perilaku
bersangkutan dapat diawasi baik melalui penerapan Pasal 6 maupun Pasal 19 huruf (d).
9
BAB IV
DISKRIMINASI HARGA DAN CONTOH KASUS
Diskriminasi Harga adalah kemampuan pelaku usaha untuk menentukan harga pada
barang dan jasa yang sama pada kualitas yang sama pada konsumen yang berbeda.
Ketika 4 kondisi tersebut terjadi maka ketika suatu perusahaan melakukan penetapan
harga yang berbeda untuk barang dan jasa yang sama dengan kualitas dan kuantitas yang
sama pada pembeli yang berbeda, dipastikan telah melakukan Diskriminasi Harga yang
dilarang oleh Pasal 6.
Rabat adalah bentuk Diskriminasi Harga karena pembeli yang mendapatkan rabat
membayar harga yang lebih murah dibanding dengan pembeli lain yang membeli barang
yang sama pada satu pasar yang sama.
a) Quantity rebate yakni potongan yang dikenakan karena volume pembelian barang.
menawarkan kepada distributor yang mampu menyerap minimal 15% dari produknya
untuk disalurkan dari total produk yang dialokasikan di Kabupaten Z tersebut akan
mendapat potongan Harga. Karena kendala skala ekonomi maka hanya tiga
perusahaan (C, G dan H) yang mampu memenuhi kesepakatan tersebut sehingga
hanya tiga perusahaan tersebutlah yang mendapatkan rabat/potongan harga. Adapun
persentase produk Z dari Perusahaan yang disalurkan masing-masing distributor itu
adalah B=5%, C=15%, D=5%, E=5% , F= 10%, G=20% ,H=30% , I=5%, J= 2,5% dan
K=2,5%. Tindakan Perisahaan A tersebut terkategori sebagai melakukan praktek
Diskriminasi Harga yang dilarang.
b) Fidelity rebate; diskon yang ditawarkan kepada pembeli yang telah mengikatkan diri
kepada penjual sehingga rabat diberikan baik dalam volume yang besar ataupun kecil.
Fidelity rebate umumnya dinilai sebagai strategi yang ditujukan untuk mencegah
kompetitor berkembang.
c) Target rebate; Rabat yang diberikan kepada counterpart bisnis yang target
penjualannya lebih dari periode-periode sebelumnya.
2) Diskriminasi Harga dalam bentuk Selective Price Cut (Pemotongan Harga Selektif)
Dimana penjual memotong harga secara selektif pada pembeli tertentu yang diduga akan
beralih ke kompetitornya tetapi bagi pembeli lainnya tetap dikenakan harga yang lebih
tinggi.
Suatu perusahaan menjual dengan harga murah jika membeli satu barang tertentu jika
dipaketkan dengan barang lain dibanding jika pembeli membeli barang secara tersebut
terpisah.
Di bawah ini diberikan beberapa contoh tentang diskriminasi harga yang tidak
melanggar Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1999. Contoh tersebut antara lain adalah sebagai
berikut :
b. Struktur Biaya
Penyediaan produk bagi konsumen di Jogja lebih mahal dibandingkan bagi pembeli
di Surabaya karena perbedaan biaya transportasi. Pengiriman barang ke Surabaya
dapat dilakukan dengan kapal laut yang nilainya bisa sangat murah bila produsen
melakukan kontrak jangka panjang dengan pemiliki kapal dibandingkan dengan
pengiriman ke Jogja yang menggunakan modal transportasi darat.
Perusahaan transportasi darat (kereta api, bis), laut (Kapal penumpang, kapal
pesiar) dapat mengenakan tarif berbeda untuk tempat duduk yang berbeda di kelas
berbeda karena perbedaan kelas mengindikasikan adanya manfaat berbeda yang
diterima penumpang. Untuk transportasi udara, perbedaan harga tidak hanya
dipengaruhi oleh kelas tetapi juga perbedaan waktu ketika membeli. Untuk
optimalisasi pengisian tempat duduk, perusahaan harus melakukan apa yang
disebut yield management. Pembelian tiket jauh-jauh hari sebelum hari
13
3.5. Sanksi
Terhadap pidana pokok tersebut juga dapat dijatuhkan pidana tambahan terhadap
pelanggaran Pasal 6 sebagaimana yang diatur dalam Pasal 49 UU no 5 /1999 berupa:
a. Pencabutan izin usaha, atau
b. Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran
terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun atau
c. Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian
pada pihak lain.
15
BAB V
Penutup
Pedoman ini mengatur tentang bentuk Diskriminasi Harga yang dilarang oleh Pasal 6
UU No. 5 Tahun 1999 karena dapat menghambat persaingan usaha dan merugikan
kepentingan umum. Untuk memperjelas pengaturan tentang larangan Diskriminasi Harga yang
dimaksud oleh Pasal 6 UU no tahun 1999 maka para pelaku usaha dapat menggunakan
Pedoman ini sebagai salah satu pedoman dalam menjalankan aktivitas bisnis/ekonominya
sehingga tidak melanggar Undang-undang no 5 tahun 1999. Tidak tertutup kemungkinan
bahwa Pedoman ini belum mengakomodir seluruh kegiatan dan bentuk diskriminasi Harga
yang dilarang oleh Pasal 6 UU no 5 tahun 1999, oleh karenanya akan disempurnakan seiring
dengan perkembangan dunia usaha yang memungkinkan ditemukannya bentuk-bentuk
Diskriminasi Harga yang lain yang belum terurai jelas dalam Pedoman ini yang menyebabkan
persaingan usaha tidak sehat dan merugikan kepentingan umum.
16