Anda di halaman 1dari 16

1

BAB I
LATAR BELAKANG

Di dunia usaha, persaiangan usaha atau konmpetensi antar para pelaku usaha dalam
merebut pasar adalah hal yang sangat wajar. Namun hal itu menjadi tidak wajar manakala
persaingan tersebut dilakukan dengan cara yang curang (unfair), dengan tujuan untuuk
menghalangi pelaku usaha lain untuk bersaing (barrier to entry) atau mematikan usaha
persainganya. Namun demikian, kompetisi dapat dilaksanakan secara wajar, apabila tercipta
pertumbuhan dunia usaha yang sehat dan menjamin adanya kesempatan berusaha yang
sama. Untuk itu dibutuhkan suatu iklim persaingan usaha yang kondusif. Oleh karena itu,
untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat dengan terbangunnya iklim yang kondusif,
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Lapangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut UU No.
5 Tahun 1999).

UU Nomor 5 Tahun 1999 telah mengantisipasi beberapa perilaku pelaku usaha yang
tidak sehat yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam menciptakan kekuatan pasar yang
cenderung anti persaingan. Salah satu bentuk tindakan yang anti persaingan adalah
Diskriminasi Harga. Diskrimininasi Harga merupakan salah satu bentuk perjanjian yang
dilarang oleh UU No. 5/1999 yang dapat terjadi melalui penetapan harga berbeda yang
dilakukan oleh pelaku usaha untuk barang dan atau jasa yang sama dari suatu produsen
berdasarkan kriteria tertentu, atau mengenakan harga berbeda untuk pelanggan berbeda
berdasarkan tambahan yang tidak proporsional di atas biaya marjinal atau dapat juga diartikan
sebagai strategi penetapan harga non-linear yang mencoba untuk dapat memperoleh surplus
konsumen lebih banyak.

Selain itu diskriminasi harga dapat terjadi apabila pelaku usaha menentukan harga
sehingga perbedaan antara harga rata-rata dengan biaya rata-rata bervariasi diantara
penjualan barang yang sama atau barang yang fungsinya hampir sama. Diskriminasi harga
hanya dapat terjadi pada barang dan atau jasa yang sama dengan kuantitas yang sama.
Semua pengertian di atas mengacu pada praktek diskriminasi harga berdasarkan daya beli
atau pendapatan konsumen yang diproyeksikan dari struktur biaya pelaku usaha.

Namun demikian, melihat beragamnya praktek Diskriminasi Harga serta belum


teridentifikasinya praktek mana yang tidak membahayakan persaingan usaha yang sehat
maka diperlukan adanya suatu pedoman yang mampu memberikan pemahaman yang lebih
baik mengenai diskriminasi harga bagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UU No. 5/1999.
2

BAB II
TUJUAN DAN CAKUPAN PENJELASAN

2.1. Tujuan Pembuatan Pedoman

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan


UU No. 5 Tahun 1999. Dalam melakukan fungsi pengawasan tersebut, KPPU mempunyai
tugas-tugas sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 35, yang salah satunya adalah membuat
pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan UU No. 5 Tahun 1999 (Pasal 35 huruf f).
Pedoman tersebut diperlukan untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai pasal-
pasal dan hal-hal lainnya yang belum jelas dalam pengaturan UU No. 5 Tahun 1999. Salah
satu pasal yang memerlukan penjelasan lebih lanjut adalah Pasal 6 tentang Diskriminasi
Harga.

Tujuan pembuatan Penjelasan tentang Larangan diskriminasi harga adalah untuk


menegaskan pandangan KPPU tentang pengertian diskriminasi harga bagaimana
dimaksudkan dalam Pasal 6 UU No. 5/1999 serta menjabarkan diskriminasi harga yang dapat
mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Dengan adanya pedoman tersebut, diharapkan
para pelaku usaha dan stakeholders lainnya dapat memahami secara mudah suatu praktek
diskriminasi harga yang anti persaingan usaha, merugikan konsumen dan melanggar
perundang-undangan yang berlaku.

Penjelasan tersebut ditujukan untuk pelaku usaha, praktisi hukum dan ekonomi,
pemerintah dan masyarakat umum, agar semua pihak yang terkait tersebut mampu
memahami apa yang dimaksud dengan Diskriminasi Harga yang dianggap melanggar menurut
Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1999 dan metode pendekatan yang dilakukan oleh KPPU dalam
menegakkan ketentuan tersebut.

Dengan adanya Penjelasan tersebut, para pelaku usaha dan stakeholders lainnya
diharapkan dapat memahami maksud dari Pasal 6 tersebut sehingga tidak melakukan
perbuatan sebagaimana yang dilarang dalam Pasal 6 tersebut. Penjelasan tentang Larangan
Diskriminasi Harga tersebut dimaksudkan untuk :
a. Memberikan dasar pemahaman dan arah yang jelas dalam pelaksanaan Pasal 6
sehingga tidak ada penafsiran lain selain apa yang diuraikan dalam Penjelasan.
b. Digunakan oleh semua pihak sebagai landasan untuk melakukan perjanjian yang tidak
merugikan atau melanggar Pasal 6
c. Menciptakan kondisi persaingan usaha yang tumbuh secara wajar.

Penjelasan tersebut bukan untuk menjelaskan bagaimana KPPU melakukan


pemeriksaan dalam melakukan penegakkan hukum atau memberikan saran dan kebijakan,
namun difokuskan kepada penjelasan dan pengertian lebih jauh serta cakupan dan batasan
ketentuan diskriminasi harga tersebut. Walaupun Penjelasan tersebut memberikan dan
menjelaskan ketentuan tentang pengertian larangan diskriminasi harga, namun demikian
dalam proses penegakkan hukum UU No. 5/1999, pandangan dan putusan Komisi dalam
melakukan pemeriksaan atas praktek diskriminasi harga yang diduga melanggar UU No.
3

5/1999 tetap didahulukan dan tidak hanya terbatas pada hal-hal sebagaimana diuraikan dalam
Penjelasan.

2.2. Cakupan Pedoman

Penjelasan tentang larangan diskriminasi harga menurut Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1999
tersebut mencakup filosofi, semangat dan arah dari ketentuan dalam menciptakan persaingan
usaha yang sehat. Secara sistematis, penjelasan tersebut mencakup :
BAB I Latar Belakang

BAB II Tujuan dan Cakupan Penjelasan


Bab tersebut menjelaskan tentang tujuan pembuatan Penjelasan dan hal-hal
yang tercakup dalam Penjelasan.

BAB III Pengertian, dan Penjabaran dan Aturan Sanksi Menurut UU No. 5 Tahun
1999.
Bab tersebut menjelaskan tentang Pengertian diskrimasi harga menurut Pasal
6 UU No. 5 Tahun 1999, pejabaran unsur-unsur dari Pasal 6, keterkaitan
Pasal 6 dengan pasal lain, Komparasi dengan peraturan undang-undang dari
negara lain serta sanksi yang dapat dikenakan kepada pelaku usaha yang
terbukti melakukan pelanggaran Pasal 6.

BAB IV Perkembangan
Bab tersebut menjelaskan konsep dari definisi diskriminasi harga, alasan
pelaku usaha melakukan diskriminasi harga, jenis-jenis diskriminasi harga,
alasan Pelaku usaha melakukan diskriminasi harga, dampak diskriminasi
harga dan Simulasi Contoh Kasus.

BAB V Penutup

Sistematika serta bahasan pedoman diusahakan sesederhana dan sejelas mungkin


untuk dapat dimengerti, sehingga akan memudahkan semua pihak untuk memahami aturan
yang berlaku dan guna menghindarkan ketidakpastian hukum dalam penegakan UU No. 5
Tahun 1999.
4

BAB III
PENGERTIAN DAN PENJABARAN UNSUR DISKRIMINASI HARGA SEBAGAIMANA
DIATUR DALAM PASAL 6 SERTA SANKSI

3.1. Pengertian Diskriminasi Harga Menurut Pasal 6

Diskriminasi Harga adalah kemampuan pelaku usaha untuk menentukan harga pada
barang dan jasa yang sama pada kualitas yang sama pada konsumen yang berbeda.

Diskriminasi Harga harus dibedakan dengan diferensiasi Harga. Dalam pandangan


ekonomi secara teknis, Diferensiasi Harga juga didefinisikan penjualan komoditas yang sama
kepada pembeli yang berbeda dengan harga yang berbeda-beda. Dalam teknis implementasi
suatu perusahaan bisa melakukan teknis-teknis strategi Harga yang indentik dengan teknik-
teknik yang dilakukan dalam Diskriminasi Harga. Suatu strategi Harga yang diterapkan
perusahaan terkategorikan sebagai perilaku Diskriminasi Harga yang dilarang jika kondisi-
kondisi berikut terjadi:

z Penjual/produsen memiliki kekuatan monopolistik (market power) tertentu setidaknya di


satu pasar.
z Ada separasi antar pasar yang tidak memungkinkan pembeli melakukan penjualan
kembali (no arbitrage).
z Pembeli-pembeli pada pasar-pasar yang berbeda memiliki tingkat permintaan dan
elastisitas permintaan yang berbeda-beda.
z Penjual/produsen monopolistik bisa memanfaatkan adanya perbedaan willingness to
pay dari tiap-tiap konsumen.

Ketika 4 kondisi tersebut terjadi maka ketika suatu perusahaan melakukan penetapan
harga yang berbeda untuk barang dan jasa yang sama dengan kualitas dan kuantitas yang
sama pada pembeli yang berbeda, dipastikan telah melakukan Diskriminasi Harga yang
dilarang oleh Pasal 6.

Hal ini juga senada dengan penerapan Diskriminasi Harga yang dianut di negara-negara
lain. Pelarangan Diskriminasi harga di Eropa menunjukkan diskriminasi harga yang bersyarat
yakni diskriminasi harga yang dilakukan oleh pelaku pasar yang dominan (article 82 (c)/
European Competition Law ; one or several firms holding dominant position applying
dissimilar condition to equivalent transaction with other trading parties, thereby placing
them at a competitive disadvantage” yang merupakan penyalahgunaan posisi dominant di
pasar, dimana dissimilar condition ini dalam penjelasannya termasuk dissimilar price (Geradin
and Petit, 2005).

Begitu juga jika merujuk pada Persetujuan UNCTAD (United Nation Conference on
Trade and Development) tahun 1994 bahwa Diskriminasi Harga dalam Hubungan Vertikal
hanya dilarang jika merupakan penyalahgunaan Posisi Dominan di Pasar.
5

3.2. Teknik Diskriminasi Harga

Dalam implementasinya ada beberapa teknik diskriminasi harga, yakni sebagai berikut:

1. Diskriminasi Harga dalam bentuk rabat (potongan)

Bentuk pertama dari Diskriminasi Harga terdiri dari rabat (potongan pembayaran) yang
dikenakan kepada penjual oleh pembeli tertentu yang tidak diberikan kepada pembeli
yang lain. Rabat dikatakan diskriminasi harga karena pembeli yang mendapatkan rabat
membayar harga yang lebih murah dibanding dengan pembeli lain yang membeli barang
yang sama.

Ada tiga Kategori rabat;


a) Quantity rebate (potongan Harga Berdasarkan volume kuantitas pembelian). Catatan
yang perlu digaris-bawahi adalah bahwa quantity rebate yang diberikan kepada
pembeli skala besar bukan terkategori sebagai diskriminasi harga tetapi lebih efisiensi
biaya.

b) Fidelity rebate; diskon yang ditawarkan kepada pembeli yang telah mengikatkan diri
kepada penjual sehingga rabat diberikan baik dalam volume yang besar ataupun kecil.
Fidelity rebate umumnya dinilai sebagai strategi yang ditujukan untuk mencegah
kompetitor berkembang.

c) Target rebate; Rabat yang diberikan kepada counterpart bisnis yang target
penjualannya lebih dari periode-periode sebelumnya.

2. Selective Price Cuts

Dimana penjual memotong harga secara selektif pada pembeli tertentu pada sekmen
pasar tertentu yang tidak diberikan pada pembeli di sekmen pasar lainnya. Potongan
Harga selektif ini biasanya diberikan kepada pembeli di pasar berpeluang tinggi beralih ke
kompetitor lain. tetapi bagi pembeli lainnya di pasar yang berbeda tetap dikenakan harga
yang lebih tinggi.

3. Tied and Bundled Pricing

Suatu perusahaan menjual dengan harga murah jika membeli dua barang dalam satu
paket dibanding jika pembeli hanya membeli dua barang secara individual.
6

3.3. Penjabaran Unsur-Unsur

Pasal 6 UU No. 5/1999 menyatakan bahwa :

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu
harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh
pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama”.

Pasal 6 sebagaimana tersebut di atas dapat diuraikan ke dalam beberapa unsur


sebagai berikut :

− Pelaku Usaha
Definisi Pelaku Usaha adalah berdasarkan pengertian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 5 yaitu setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah negara republik Indonesia,
baik sendiri maupun bersama-sama melalui pernjanjian, menyelenggarakan
berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.

− Perjanjian
Pengertian perjanjian adalah berdasarkan Pasal 1 Angka 7 yang mendefinisikan
perjanjian sebagai : suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha yang
mengikatkan diri terhadap satu atau lebih usaha lain dengan nama apapun, baik
tertulis maupun tidak tertulis.

Selanjutnya karena Pasal 6 merupakan Bagian Kedua dari UU No. 5/1999 yang
mengatur Penetapan Harga maka Diskriminasi harga yang dimaksud dalam Pasal 6
adalah diskriminasi harga yang disepakati. Diskriminasi harga yang dilakukan
secara sepihak (tanpa perjanjian) diatur dalam Pasal 19 Huruf d.

Hal lainnya adalah Perjanjian yang dimaksud dalam pasal 6 adalah perjanjian
antara para pihak yang berbeda dalam hubungan vertikal seperti produsen dengan
pembeli, distributor dengan peritel. Ini berarti perjanjian yang dimaksud bukan
antara produsen dengan pesaingnya atau pesaing potensialnya yang diatur dalam
Pasal 5 ayat 1.

Mengingat perjanjian tertulis yang dapat merugikan persaingan sehat dan


konsumen dapat menjadi bukti dalam pengadilan, maka pelaku usaha memiliki
insentif kuat untuk tidak membuatnya. Sebaliknya pelaku usaha akan melakukan
perjanjian tidak tertulis dalam bentuk koordinasi dan mekanisme lainnya yang
merupakan tacit collusion.

Dari sisi ekonomi, perjanjian yang bersifat tidak tertulis lebih sukar dibuktikan dan
hanya akan efektif bila disertai sistem dan mekanisme hukuman yang kredibel
7

sehingga membuat pelaku usaha tidak memiliki dorongan untuk melanggar apa
yang telah berjalan selama ini.

Persyaratan agar koordinasi dan mekanisme tersebut dapat berjalan optimal adalah
sebagai berikut :

1. Faktor yang bergantung pada struktur pasar. Misalnya : apakah market leader
akan memaafkan pelaku usaha lain yang melanggar kesepakatan tidak tertulis
atau menghukum seberat-beratnya dengan tujuan untuk tidak ada pelaku usaha
yang mengulangi kesalahan tersebut.
2. Adanya siklus teratur dalam melakukan penyesuaian harga
3. Adanya perusahaan yang menjadi price leader.
4. Adanya pengumuman terbuka tentang rencana perubahan harga
5. Dimungkinkan adanya pasal kontrak yang memungkinkan produsen
memberikan perlakuan istimewa kepada pelaku usaha tertentu.
6. Adanya praktek harga penyerahan yang seragam untuk semua pelaku usaha.

− Pembeli
Pihak yang akan menjual kembali atau mengkonsumsi barang atau jasa yang
ditransaksikan.

− Harga
Harga adalah monetary value dari barang atau jasa yang ditransaksikan. Harga
merupakan harga satuan dan tidak dipengaruhi volume transaksi.

− Harga yang berbeda


Harga yang terjadi apabila untuk barang yang sama pembeli berbeda diharuskan
membayar dengan nilai berbeda.

− Barang/Jasa yang sama


Barang dan/atau jasa yang sama atau identik berdasarkan kriteria : fungsi dan sifat,
jumlah, biaya produksi jangka waktu perngiriman yang dikaitkan dengan wilayah
geografis, waktu penggunaan, cara pembayaran dan strategi pemasaran.

Barang yang dimaksud adalah barang dengan fungsi dan spesifikasi teknis yang
sama. Jasa yang dikonsumsi banyak orang pada saat bersamaan
mengkonsumsinya seperti angkutan udara, darat dan laut mudah untuk didentifikasi
kalau terjadi diskriminasi harga. Tetapi untuk jasa yang disediakan sangat
tergantung pada kondisi individual yang mengkonsumsinya menyebabkan biaya
produsen berbeda-beda untuk setiap konsumen. Sehingga sukar untuk dianggap
sebagai diskriminasi harga apabila pelaku usaha melakukan diskriminasi harga.
Singkatnya, baik produk maupun jasa diferensiasi tidak termasuk dalam kelompok
tersebut.
8

3.4. Relevansinya dengan pasal lain

Dalam bagian ini menjelaskan relevansi Pasal 6 ini dengan Pasal-pasal lain dalam
Undang-undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat.

a. Pasal 5 ayat (1)


Perjanjian yang dimaksud dalam pasal 6 adalah perjanjian antara para pihak yang
berada dalam hubungan vertikal seperti produsen dengan pembeli, distributor dengan
peritel. Hal tersebut berarti bahwa Pasal 6 tidak mencakup perjanjian yang dibuat antara
produsen dengan pesaingnya atau pesaing potensinya (perjanjian horisontal). Perjanjian
horisontal tersebut tercakup dalam Pasal 5 ayat (1). Dengan demikian apabila dua
pesaing usaha sepakat bahwa mereka akan memperlakukan pembeli tertentu berbeda
berkaitan dengan harga maka dapat diterapkan ketentuan Pasal 5 (1).

b. Pasal 19 Huruf d
Selanjutnya karena pasal 6 merupakan Bagian Kedua dari UU No. 5/1999 yang
mengatur Penetapan Harga maka Diskriminasi harga yang dimaksud dalam pasal 6
adalah diskriminasi harga yang disepakati. Sedangkan Diskriminasi harga yang
dilakukan secara sepihak (tanpa perjanjian) diatur dalam Pasal 19 Huruf d. Diskriminasi
harga secara sepihak tersebut dapat dilaksanakan apabila pelaku usaha yang
menetapkan harga berbeda tersebut mempunyai posisi dominan. Dalam prakteknya
tidak tertutup kemungkinan pelaku usaha terkena pasal ganda yaitu pelanggaran Pasal
6 dan Pasal 19 huruf (d). Dalam hal ini berlaku pengawasan berganda, yaitu perilaku
bersangkutan dapat diawasi baik melalui penerapan Pasal 6 maupun Pasal 19 huruf (d).
9

BAB IV
DISKRIMINASI HARGA DAN CONTOH KASUS

4.1. Definisi dan Indikasi Terjadinya Diskriminasi Harga

Diskriminasi Harga adalah kemampuan pelaku usaha untuk menentukan harga pada
barang dan jasa yang sama pada kualitas yang sama pada konsumen yang berbeda.

Diskriminasi Harga harus dibedakan dengan diferensiasi Harga. Dalam pandangan


ekonomi secara teknis, Diferensiasi Harga juga didefinisikan penjualan komoditas yang sama
kepada pembeli yang berbeda dengan harga yang berbeda-beda. Dalam teknis implementasi
suatu perusahaan bisa melakukan teknis-teknis strategi Harga yang indentik dengan teknik-
teknik yang dilakukan dalam Diskriminasi Harga. Suatu strategi Harga yang diterapkan
perusahaan terkategorikan sebagai perilaku Diskriminasi Harga yang dilarang jika kondisi-
kondisi berikut terjadi:

z Penjual/produsen memiliki kekuatan monopolistik (market power) tertentu setidaknya di


satu pasar.
z Ada separasi antar pasar yang tidak memungkinkan pembeli melakukan penjualan
kembali (no arbitrage).
z Pembeli-pembeli pada pasar-pasar yang berbeda memiliki tingkat permintaan dan
elastisitas permintaan yang berbeda-beda.
z Penjual/produsen monopolistik bisa memanfaatkan adanya perbedaan willingness to pay
dari tiap-tiap konsumen.

Ketika 4 kondisi tersebut terjadi maka ketika suatu perusahaan melakukan penetapan
harga yang berbeda untuk barang dan jasa yang sama dengan kualitas dan kuantitas yang
sama pada pembeli yang berbeda, dipastikan telah melakukan Diskriminasi Harga yang
dilarang oleh Pasal 6.

4.2. Contoh Kasus Diskriminasi Harga yang Dilarang

1) Diskriminasi Harga dalam bentuk pemberian rabat (potongan harga)

Rabat adalah bentuk Diskriminasi Harga karena pembeli yang mendapatkan rabat
membayar harga yang lebih murah dibanding dengan pembeli lain yang membeli barang
yang sama pada satu pasar yang sama.

Ada tiga bentuk rabat yakni:

a) Quantity rebate yakni potongan yang dikenakan karena volume pembelian barang.

Contoh 1. Perusahaan A mempunyai 10 Ditributor (B, C, D, E, F, G, H, I, J, K) yang


menyalurkan produk Z yang diproduksi Perusahaan A di Kabupaten X. Perusahaan A
10

menawarkan kepada distributor yang mampu menyerap minimal 15% dari produknya
untuk disalurkan dari total produk yang dialokasikan di Kabupaten Z tersebut akan
mendapat potongan Harga. Karena kendala skala ekonomi maka hanya tiga
perusahaan (C, G dan H) yang mampu memenuhi kesepakatan tersebut sehingga
hanya tiga perusahaan tersebutlah yang mendapatkan rabat/potongan harga. Adapun
persentase produk Z dari Perusahaan yang disalurkan masing-masing distributor itu
adalah B=5%, C=15%, D=5%, E=5% , F= 10%, G=20% ,H=30% , I=5%, J= 2,5% dan
K=2,5%. Tindakan Perisahaan A tersebut terkategori sebagai melakukan praktek
Diskriminasi Harga yang dilarang.

b) Fidelity rebate; diskon yang ditawarkan kepada pembeli yang telah mengikatkan diri
kepada penjual sehingga rabat diberikan baik dalam volume yang besar ataupun kecil.
Fidelity rebate umumnya dinilai sebagai strategi yang ditujukan untuk mencegah
kompetitor berkembang.

Contoh Kasus Fidelity rebate 1:


Suatu perusahaan obat X yang berposisi pemasok utama obat X di Kota Y menjamin
kepada semua distributor yang bersedia mengambil obat dari perusahaan mereka
akan mendapat potongan harga untuk setiap pengambilan obat yang di produksi oleh
perusahaan obat tersebut. Strategi Harga yang dilakukan perusahaan X tersebut
tergolong sebagai Perilaku Diskriminasi Harga yang dilarang.

Contoh Kasus Fidelity Rebate 2:


Perusahaan X yang merupakan produser dominan barang Y dimana pada saat yang
sama menghadapi peningkatan persaingan dari produk Y yang berasal dari negara
Cina dan Thailand. Perusahaan X akan menarik rabat dari distributor yang dinilainya
akan mengimpor produk Y dari Negara Cina dan Thailand. Sebaliknya Perusahaan X
akan memberikan rabat bagi distributor yang bersedia hanya membeli produk Y
tersebut dari mereka saja dan tidak mengambil produk Y impor dari Cina dan
Thailand. Strategi Harga yang dilakukan perusahaan X tersebut tergolong sebagai
Perilaku Diskriminasi Harga yang dilarang.

c) Target rebate; Rabat yang diberikan kepada counterpart bisnis yang target
penjualannya lebih dari periode-periode sebelumnya.

Contoh Kasus 1 target rebate:


Dua pembeli/pelanggan (Travel Agent) membeli tiket Maskapai Penerbangan G pada
level yang sama (jumlah, tujuan, kelas) tetapi pada kenyataan mendapatkan rabat
yang berbeda dimana A mendapat rabat yang lebih besar dari travel agent B karena
penjualan tiket dari travel A pada tahun sebelumnya lebih besar dari Agent perjalanan
B. Strategi Harga yang dilakukan perusahaan Maskapai Penerbangan G tersebut
tergolong sebagai Perilaku Diskriminasi Harga yang dilarang.
11

Contoh Kasus 2 target rebate:


Perusahaan Y yang berposisi dominan dalam industri ban kendaraan bermotor. Untuk
meningkatkan penjualan ban yang diproduksinya perusahaan Y memberikan bonus
pada semua dealer dimana besar bonus yang diberikan tergantung dari besarnya
penjualan yang berhasil mereka capai pada periode sebelumnya. Walaupun demikian
harga beli ban yang dikenakan pada semua dealer adalah sama. Strategi Harga yang
dilakukan perusahaan Y tersebut tergolong sebagai Perilaku Diskriminasi Harga yang
dilarang.

2) Diskriminasi Harga dalam bentuk Selective Price Cut (Pemotongan Harga Selektif)

Dimana penjual memotong harga secara selektif pada pembeli tertentu yang diduga akan
beralih ke kompetitornya tetapi bagi pembeli lainnya tetap dikenakan harga yang lebih
tinggi.

Contoh Kasus: Pemotongan Harga Selektif

Perusahaan A mempunyai dua daerah pemasaran utama produk Z yakni Kabupaten


B dan Kota C di Provinsi X. Di Kota C perusahaan A mempunyai sejumlah kompetitor
sedangkan di Kabupaten B perusahaan A relatif berposisi dominan. Untuk
meningkatkan penjualan di Kota C maka perusahaan A memberikan pemotongan
pada semua distributor yang menyalurkan produknya tetapi tidak diberikan pada
distributornya di Kabupaten B. Strategi Harga yang dilakukan perusahaan A tersebut
tergolong sebagai Perilaku Diskriminasi Harga yang dilarang.

3) Tied and Bundled Pricing

Suatu perusahaan menjual dengan harga murah jika membeli satu barang tertentu jika
dipaketkan dengan barang lain dibanding jika pembeli membeli barang secara tersebut
terpisah.

Contoh Kasus Tied and Bundled Pricing:

Perusahaan A adalah distributor tunggal Main board Personal Computer dari PT X di


Kota A yang umum digunakan pengguna komputer di Kota A. Pada suatu saat
perusahaan A mendapat kesempatan bisnis untuk menyalurkan Hard disk Baru
keluaran dari PT Y yang belum dikenal di Kota A. Untuk meningkatkan penjualan
Hard disk Baru tersebut Perusahaan A menjual Hardisk Baru PT Y dan Main Board
PC PT X dalam satu paket dimana harga jual Main board dalam satu paket tersebut
lebih murah dibanding jika pembeli membeli Main Board tersebut secara individual.
12

4.3. Diskriminasi Harga yang tidak Dilarang

Di bawah ini diberikan beberapa contoh tentang diskriminasi harga yang tidak
melanggar Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1999. Contoh tersebut antara lain adalah sebagai
berikut :

a. Diskriminasi harga karena perbedaan tingkat persaingan

PT A adalah produsen alat elektronik. Misalkan perubahaan memiliki pangsa pasar


di Kalimantan Timur, Sumatra Barat dan Jakarta. Rata-rata tingkat daya beli di
Jakarta jauh lebih tinggi dibandingkan dengan konsumen di Sumatra Barat dan di
Kalimantan Timur. Supaya tetap dapat memiliki pangsa pasar di Sumatra Barat dan
Kalimantan Timur, ia mengenakan harga lebih rendah di kedua daerah tersebut
dibandingkan dengan harga yang ia tetapkan di Jakarta. Tujuannya adalah agar
perusahaan mampu akses pasar dan membangun pangsa pasar di ketiga wilayah
tersebut. Tentunya pesaing dapat meniru strategi ini, sehingga persaingan di
Sumatra Barat dan Kalimantan Timur menjadi lebih ketat dibandingkan dengan
pesaingan di Jakarta.

b. Struktur Biaya
Penyediaan produk bagi konsumen di Jogja lebih mahal dibandingkan bagi pembeli
di Surabaya karena perbedaan biaya transportasi. Pengiriman barang ke Surabaya
dapat dilakukan dengan kapal laut yang nilainya bisa sangat murah bila produsen
melakukan kontrak jangka panjang dengan pemiliki kapal dibandingkan dengan
pengiriman ke Jogja yang menggunakan modal transportasi darat.

c. Transaksi dengan Usaha Kecil


Kegiatan usaha yang bertujuan untuk mengingkatkan nilai penjualan pengusaha
kecil dan menengah. Misalnya : Pelaku usaha menjadi pembeli utama dari produk
yang dihasilkan petani pada saat panen dengan harga berbeda atau dengan
persyaratan pembayaran yang lebih ringan bila pembeli dari produsen yang bukan
tergolong pengusaha kecil dan menengah. Contoh lainnya adalah perusahaan yang
mengenakan tarif lebih murah kepada Usaha Kecil dalam menyewa ruang
dibandingkan dengan tarif sewa normal pada pengusaha non Usaha Kecil.

d. Pembeli memperoleh value manfaat berbeda dari produk/jasa yang


dikonsumsinya maka pelaku usaha dapat mengenakan harga berbeda.

Perusahaan transportasi darat (kereta api, bis), laut (Kapal penumpang, kapal
pesiar) dapat mengenakan tarif berbeda untuk tempat duduk yang berbeda di kelas
berbeda karena perbedaan kelas mengindikasikan adanya manfaat berbeda yang
diterima penumpang. Untuk transportasi udara, perbedaan harga tidak hanya
dipengaruhi oleh kelas tetapi juga perbedaan waktu ketika membeli. Untuk
optimalisasi pengisian tempat duduk, perusahaan harus melakukan apa yang
disebut yield management. Pembelian tiket jauh-jauh hari sebelum hari
13

penerbangan akan membantu memberi kepastian kepada perusahaan dalam upaya


meminimalisasi kerugian dari setiap penerbangan. Sementara dari sisi penumpang
akan memberikan manfaat berupak kepastian jadwal penerbangan selain harga
yang lebih murah. Sebaliknya, harga tiket lebih tinggi dikenakan pada calon
penumpang yang membeli tiket mendekati hari penerbangan. Contoh lainnya adalah
asuransi kerugian/jiwa yang mengenakan biaya premi berbeda pada setiap
tertanggung hal tersebut dikarenakan kondisi setiap tertanggung tidak sama, ini
sesuai dengan prinsip equitable premium.

e. Dengan kehadiran globalisasi maka sangat terbuka kesempatan untuk terjadinya


saling mempengaruhi suatu transaksi di suatu negara atau wilayah regional dengan
transaksi di Negara atau wilayah regional lainnya. Artinya, dalam konteks disini,
ruang lingkup transaksi yang berdasarkan diskriminasi harga tidak hanya berada di
wilayah Republik Indonesia. Misalnya ada pelaku usaha yang memasok bahan baku
pada pelaku usaha lainnya yang memiliki pasar domestik tetap juga pasar ekspor.
Karena besarnya nilai transaksi dan menyangkut kepentingan jangka panjang kedua
belah pihak, maka secara alami transaksi ini mendasarkan pada kesepakatan atau
perjanjian jangka panjang. Tetapi bila pembeli dan penjual di Indonesia merupakan
bagian perusahaan multi nasional yang mengadakan kesepakatan untuk mengatur
tentang akses pada pasar di luar Indonesia dengan mengakibatkan rusaknya
persaingan dan merugikan pesaing serta pembeli lainnya di Indonesia, maka ini
merupakan pelanggaran Pasal 6 UU NO. 5 Tahun 1999.

f. Diskriminasi harga yang termasuk dalam pengecualian sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 50 dan Pasal 51 UU No. 5/1999.

3.5. Sanksi

Dalam upaya melakukan penegakan hukum persaingan berdasarkan UU No. 5/1999,


Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) memiliki kewenangan menjatuhkan sanksi
berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan UU No.
5/1999. Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 pada Undang-Undang
tersebut dapat berupa
a. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti melakukan
Diskriminasi Harga sebagai yang dimaksud Pasal 6 (Pasal 47 ayat (2) butir c dan/atau
b. Penetapan pembayaran Ganti Rugi (pasal 47 ayat (2) butir f dan/atau
c. Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000, 00 (dua puluh lima miliar rupiah) (pasal 47 ayat
(2) butir g)

Terhadap pelanggaran pasal 6 juga dapat dikenakan hukuman pidana pokok


sebagaimana diatur dalam pasal 48 ayat (2) UU no 5 1999 berupa pidana denda serendah-
rendahnya Rp 5000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp
25.000.000.000,00 (dua puluh lima rupiah) atau pidana kurungan pengganti denda selama-
lamanya 5 (lima) bulan.
14

Terhadap pidana pokok tersebut juga dapat dijatuhkan pidana tambahan terhadap
pelanggaran Pasal 6 sebagaimana yang diatur dalam Pasal 49 UU no 5 /1999 berupa:
a. Pencabutan izin usaha, atau
b. Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran
terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun atau
c. Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian
pada pihak lain.
15

BAB V
Penutup

Pedoman ini mengatur tentang bentuk Diskriminasi Harga yang dilarang oleh Pasal 6
UU No. 5 Tahun 1999 karena dapat menghambat persaingan usaha dan merugikan
kepentingan umum. Untuk memperjelas pengaturan tentang larangan Diskriminasi Harga yang
dimaksud oleh Pasal 6 UU no tahun 1999 maka para pelaku usaha dapat menggunakan
Pedoman ini sebagai salah satu pedoman dalam menjalankan aktivitas bisnis/ekonominya
sehingga tidak melanggar Undang-undang no 5 tahun 1999. Tidak tertutup kemungkinan
bahwa Pedoman ini belum mengakomodir seluruh kegiatan dan bentuk diskriminasi Harga
yang dilarang oleh Pasal 6 UU no 5 tahun 1999, oleh karenanya akan disempurnakan seiring
dengan perkembangan dunia usaha yang memungkinkan ditemukannya bentuk-bentuk
Diskriminasi Harga yang lain yang belum terurai jelas dalam Pedoman ini yang menyebabkan
persaingan usaha tidak sehat dan merugikan kepentingan umum.
16

Anda mungkin juga menyukai