Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pelayanan prima merupakan terjemahan istilah ”excellent service” yang
secara harfiah berarti pelayanan terbaik atau sangat baik. Disebut sangat baik
atau terbaik karena sesuai dengan standar pelayanan yang berlaku atau
dimiliki instansi pemberi pelayanan. Hakekat pelayanan publik adalah
pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan
kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat, dalam hal ini
termasuk intitusi pendidikan pada jenjang sekolah menengah. Agenda perilaku
pelayanan sektor publik (SESPANAS LAN dalam Nurhasyim, 2004:16).
Layanan publik di Indonesia masih sangat rendah. Demikian salah satu
kesimpulan Bank Dunia yang dilaporkan dalam World Development Report
2002.  Hasil penelitian Governance and Desentralization Survey (GDS) 2002
menemukan tiga masalah penting yang banyak terjadi di lapangan dalam
penyelenggaraan pelayanan publik, yaitu pertama, besarnya diskriminasi
pelayanan. Penyelenggaraan pelayanan masih amat dipengaruhi oleh
nepotisme, kesamaan afiliasi politik, etnis, dan agama.
Fenomena semacam ini tetap marak walaupun telah diberlakukan UU No.
28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN yang
secara tegas menyatakan keharusan adanya kesamaan pelayanan, bukannya
diskriminasi. Kedua, tidak adanya kepastian biaya dan waktu pelayanan.
Ketidakpastian ini sering menjadi penyebab munculnya KKN, sebab para
pengguna jasa cenderung memilih menyogok dengan biaya tinggi kepada
penyelenggara pelayanan untuk mendapatkan kepastian dan kualitas
pelayanan. Ketiga, rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap layanan
publik. Ini merupakan konsekuensi logis dari adanya diskriminasi pelayanan
dan ketidak pastian.
Optimalisasi pelayanan publik oleh birokrasi pemerintahan bukanlah
pekerjaan mudah, mengingat optimalisasi menyangkut berbagai aspek yang

1
telah membudaya dalam lingkaran birokrasi pemerintahan. Salah satu aspek
tersebut adalah kultur birokrasi yang tidak kondusif.
Prosedur dan etika pelayanan yang berkembang dalam birokrasi
pemerintah sangat jauh dari nilai-nilai dan praktik yang menghargai warga
bangsa sebagai warga negara yang berdaulat. Prosedur pelayanan, misalnya,
tidak dibuat untuk mempermudah pelayanan, tetapi lebih untuk melakukan
kontrol terhadap perilaku warga, sehingga prosedurnya berbelit-belit dan
rumit. Tidak hanya itu, mulai masa orde baru hingga kini, eksistensi PNS
merupakan jabatan terhormat yang begitu dihargai tinggi dan diidolakan
publik, khususnya Jawa, sehingga filosofi PNS sebagai pelayan publik (publik
servant) dalam arti riil menghadapi kendala untuk direalisasikan. Hal ini
terbukti dengan sebutan pangreh raja (pemerintah negara) dan pamong praja
(pemelihara pemerintahan) untuk pemerintahan yang ada pada masa tersebut
yang menunjukkan bahwa mereka siap dilayani bukan siap untuk melayani.

1.2 Rumusan Masalah


1. Menjelaskan pengertian dari pelayanan prima dan pelayanan publik dalam
bidang pendidikan?
2. Menjelaskan konsep pelayanan?
3. Menjelaskan konsep pelayanan prima?
4. Menjelaskan kelemahan-kelemahan pelayanan publik dalam bidang
pendidikan?
5. Menjelaskan standar pelayanan minimal dalam bidang pendidikan?
6. Menjelakan peningkatan standar mutu dalam bidang pendidikan?
7. Mengetahui permasalahan pendidikan di Indonesia?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui tentang peranan dan kebijakan pelayanan publik dalam bidang
pendidikan kepada masyarakat
2. Mengetahui tentang perubahan kualitas pelayanan publik dalam bidang
pendidikan

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian pelayanan prima dan pelayanan publik


pelayanan prima (service excellent)  ditujukan untuk memberikan
pengetahuan dan ketrampilan mengenai bagaimana memperlakukan
stakeholder/konsumen sehingga merasa puas dan dapat terjalin relasi jangka
panjang. Lembaga pendidikan memiliki berbagi stakeholder yang memiliki
keinginan dan harapan yang berbeda-beda. Ketrampilan hubungan personal
dan memahami aspirasi konsumen (stakeholder) menjadi pusat dari pelatihan
pelayanan prima ini, termasuk didalamnya bagaimana memperlakukan
stakeholder yang kecewa terhadap layanan pendidikan yang telah diberikan.
Excellent service atau disebut juga Pelayanan Prima adalah melakukan
pelayanan sebaik mungkin kepada para pelanggan, sehingga pelanggan
menjadi merasa puas. Atau definisi pelayanan prima yaitu melakukan
pelayanan sebaik mungkin kepada para pelanggan atau konsumen sehingga
menimbulkan rasa yang puas. Secara umum tujuan pelayanan prima yaitu
memberikan pelayanan sehingga bisa memenuhi dan memuaskan para
pelanggan sehingga perusahaan mendapatkan keuntungan yang maksimal.
Manfaat dari pelayanan prima salah satunya untuk upaya meningkatkan
kualitas pelayanan perusahaan ataupun pemerintah kepada para pelanggan
atau masyarakat, serta dapat menjadi acuan untuk pengembangan penyusunan
standar pelayanan. Standar pelayanan dapat diartikan sebagai tolak ukur atau
patokan yang digunakan untuk melakukan pelayanan dan juga sebagai acuan
untuk menilai kualitas suatu pelayanan. Pelayanan disebut prima jika
pelanggan sudah merasa puas dan sesuai dengan harapan pelanggan.
Pengertian lebih luas mengenai pelayanan disampaikan Daviddow dan
Uttal dalam Sutopo dan Suryanto (2003) bahwa pelayanan merupakan usaha
apa saja yang meningkatkan kepuasan pelanggan. 
Pelayanan yang menjadi produk dari organisasi pemerintahaan adalah
pelayanan masyarakat (publik service). Pelayanan tersebut diberikan untuk
memenuhi hak masyarakat, baik layanan sipil maupun publik. Artinya

3
kegiatan pelayanan pada dasarnya menyangkut pemenuhan suatu hak dan
melekat pada setiap orang, baik secara pribadi maupun berkelompok
(organisasi), serta dilakukan secara universal. Teori ini sesuai dengan
pendapat Moenir (1998) yang menjelaskan bahwa hak atas pelayanan itu
sifatnya universal, berlaku terhadap siapa saja yang berkepentingan atas hak
tersebut. 
pelayanan publik menurut pedoman umum penyelenggaraan pelayanan
publik yang dikeluarkan oleh Menpan tahun 2003 adalah : "segala kegiatan
pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai
upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan". Penyelenggara pelayanan
publik adalah instansi pemerintah" yang merupakan sebutan kolektif meliputi
kementrian, departemen, lembaga pemerintah lainnya, baik pusat maupun
daerah termasuk BUMN dan BUMD.
Menurut pedoman tersebut kelompok pelayanan publik terdiri dari: (1)
kelompok pelayanan administratif, (2) kelompok pelayanan barang dan (3)
kelompok pelayanan jasa. Departemen Pendidikan Nasional, Dinas
Pendidikan Propinsi, dan Dinas Kabupaten/kota pada umumnya
menyelenggarakan pelayanan publik yang termasuk pada kelompok
pelayanan administrasi. Oleh karena itu, istilah "pelayanan publik bidang
pendidikan" bisa membuat rancu. mungkin lebih baik dinyatakan sebagai
pelayanan publik di lingkungan Depdiknas; pelayanan publik di lingkungan
Dinas Pendidikan Provinsi dst.
Jika digunakan istilah pelayanan publik bidang pendidikan, apakah
termasuk penyelenggaraan pendidikan SD, SLB, SMP, SMA, SMK dan
perguruan tinggi? kesemua institusi ini bukanlah instansi
pemerintah/pemerintah daerah atau badan usaha milik negara/badan usaha
milik daerah (BUMN/BUMD), meskipun institusi tersebut melayani publik
dalam proses pembelajaran, penerimaan siswa/mahasiswa baru, pengesahan
ijazah dan sebagainya.

4
2.2 Konsep pelayanan
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Dahlan, dkk., 1995:646) menjelaskan
pelayanan adalah usaha melayani kebutuhan orang lain. Pelayanan pada
dasarnya adalah kegiatan yang ditawarkan kepada konsumen atau pelanggan
yang dilayani, yang bersifat tidak berwujud dan tidak dapat dimiliki. Sejalan
dengan hal tersebut, Norman (1991:14) menyatakan karakteristik pelayanan
sebagai berikut:
a. Pelayanan bersifat tidak dapat diraba, pelayanan sangat berlawanan
sifatnya dengan barang jadi.
b. Pelayanan pada kenyataannya terdiri dari tindakan nyata dan
merupakan pengaruh yang bersifat tindakan sosial.
c. Kegiatan produksi dan konsumsi dalam pelayanan tidak dapat
dipisahkan secara nyata, karena pada umumnya terjadi dalam waktu
dan tempat bersamaan.
Pengertian lebih luas mengenai pelayanan disampaikan Daviddow dan
Uttal dalam Sutopo dan Suryanto (2003) bahwa pelayanan merupakan usaha
apa saja yang meningkatkan kepuasan pelanggan.
Pelayanan yang menjadi produk dari organisasi pemerintahaan adalah
pelayanan masyarakat (publik service). Pelayanan tersebut diberikan untuk
memenuhi hak masyarakat, baik  layanan sipil maupun publik. Artinya
kegiatan pelayanan pada dasarnya menyangkut pemenuhan suatu hak dan
melekat pada setiap orang, baik secara pribadi maupun berkelompok
(organisasi), serta dilakukan secara universal. Teori ini sesuai dengan
pendapat Moenir (1998) yang menjelaskan bahwa hak atas pelayanan itu
sifatnya universal, berlaku terhadap siapa saja yang berkepentingan atas hak
tersebut.
Thoha (1995) menjelaskan bahwa tugas pelayanan lebih menekankan
kepada mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik, dan
mempersingkat waktu proses. Sedangkan tugas mengatur lebih menekankan
kepada kepuasan atau power yang melekat pada posisi jabatan birokrasi.
Lebih lanjut Pasolong (2007) berpendapat bahwa pelayanan pada dasarnya
dapat didefinisikan sebagai aktivitas seseorang, sekelompok, dan organisasi

5
baik langsung maupun tidak langsung untuk memenuhi kebutuhan.
Sedangkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (1993), mengemukakan
pelayanan adalah segala bentuk kegiatan pelayanan dalam bentuk barang atau
jasa dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No
63/KEP/M.PAN7/2003, tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan
Publik, yang disebut pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang
dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan penerima layanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-Undangan.
Lebih spesifik lagi Dwiyanto (2005:141) mendefinisikan Pelayanan
Publik sebagai serangkaian aktivitas yg dilakukan oleh birokrasi publik untuk
memenuhi kebutuhan warga pengguna. Betapa penting nya birokrasi dalam
pelayanan publik sehingga birokrasi selalu menjadi sorotan dan perhatian
masyarakat baik pengguna layanan secara langsung maupun tidak . Tidak
hanya barang yang dihasilkan dalam pelayanan publik, tetapi juga jasa dalam
hal memberikan pelayanan administrasi
Berdasarkan teori para ahli tersebut di atas, maka pelayanan adalah suatu
kegiatan atau tindakan yang dilakukan oleh penyelenggara pelayanan baik
berupa barang ataupun jasa yang menghasilkan manfaat bagi penerima
layanan.

2.3 Konsep pelayanan prima


Pelayanan prima merupakan terjemahan istilah ”excellent service” yang
secara harfiah berarti pelayanan terbaik atau sangat baik. Disebut sangat baik
atau terbaik karena sesuai dengan standar pelayanan yang berlaku atau
dimiliki instansi pemberi pelayanan.
Jika pelayanan prima dikaitkan dengan pelayanan publik, berarti
pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan
kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat. Nurhasyim (2004)
menyebut beberapa perilaku pelayanan prima pada sektor publik sebagai
berikut:

6
a. Pelayanan yang terbaik dari pemerintah kepada pelanggan atau
pengguna jasa.
b. Pelayanan prima ada bila ada standar pelayanan.
c. Pelayanan prima bila melebihi standar atau sama dengan standar.
Sedangkan yang belum ada standar pelayanan yang terbaik dapat
diberikan pelayanan yang mendekati apa yang dianggap pelayanan
standar dan pelayanan yang dilakukan secara maksimal.
d. Pelanggan adalah masyarakat dalam arti luas masyarakat eksternal
dan internal.
Apabila pelayanan prima dikaitkan dengan pelayanan umum, maka
pelayanan prima dapat diartikan sebagai suatu proses pelayanan kepada
masyarakat, baik berupa barang atau jasa melalui tahapan, prosedur,
persyaratan-persyaratan, waktu dan pembiayaan yang dilakukan secara
transparan untuk mencapai kepuasan sebagaimana visi yang telah ditetapkan
dalam organisasi.
Pelayanan prima sebagaimana tuntutan pelayanan yang memuaskan
pelanggan atau masyarakat memerlukan persyaratan, bahwa setiap pemberi
layanan harus memiliki kualitas kompetensi yang professional. Oleh sebab itu
kualitas kompetensi profesional menjadi aspek penting dan wajar dalam
setiap transaksi. Pelayanan prima dikembangkan berdasarkan konsep A3,
yaitu Attitude (sikap), Attention (perhatian), Action (tindakan).
Pelayanan prima berdasarkan konsep sikap (attitude) meliputi tiga prinsip
berikut ini:
a. Melayani pelanggan berdasarkann penampilan yang sopan dan
serasi
b. Melayani pelanggan dengan berpikiran positif, what dan logis.
c. Melayani pelanggan dengan sikap menghargai.
Pelayanan prima berdasarkan attention ( perhatian)  meliputi tiga prinsip
berikut ini.
a. Mendengarkan dan memahami secara sungguh-sungguh kebutuhan
para pelanggan.
b. Mengamati dan menghargai perilaku para pelanggan.

7
c. Mencurahkan perhatian penuh kepada para pelanggan.
Pelayanan prima berdasarkan action (tindakan)  meliputi lima prinsip
berikut ini.
a. Mencatat setiap pesanan para pelanggan.
b. Mencatat kebutuhan para pelanggan.
c. Menegaskan kembalii kebutuhan para pelanggan.
d. Mewujudkan kebutuhan para pelanggan.
e. Menyatakan terima kasih dengan harapan pelanggan mau kembali.
Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan konsep Pelayanan
Prima adalah sebagai berikut.
a. Apabila dikaitkan dengan tugas pemerintah dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat maka pelayanan prima adalah
pelayanan yang terbaik dari pemerintah kepada masyarakat.
b. Pelayanan prima didasarkan pada standar pelayanan yang terbaik.
c. Untuk instansi yang sudah mempunyai standar pelayanan maka
pelayanan prima adalah yang memenuhi standar.
d. Apabila pelayanan selama ini sudah memenuhi standar maka
pelayanan prima berarti adanya terobosan baru, yaitu pelayanan
yang melebihi standarnya.
e. Untuk instansi yang belum mempunyai standar pelayanan maka
pelayanan prima adalah pelayanan yang terbaik dari instansi yang
bersangkutan. Usaha selanjutnya adalah menyusun standar
pelayanan.
Hasil pengkajian para ahli menunjukkan pentingnya pelayanan prima
kepada pelanggan dengan mengembangkan konsep Total Quality Service
(TQS). Tujuan dari TQS adalah mewujutkan tercapainya kepuasan pelanggan,
memberikan tanggung jawab kepada setiap orang dan melakukan perbaikan
pelayanan secara berkesinambungan. Konsep TQS menurut Tjipto (1997 ),
yaitu:

8
1. Berfokus kepada Pelanggan
Prioritas utama adalah mengidentifikasi keinginan, kebutuhan dan
harapan pelanggan. Selanjutnya dirancang sistem yang dapat memberikan
jasa atau layanan tertentu yang memenuhi keinginan pelanggan.
2. Keterlibatan Pegawai secara Menyeluruh
Semua pihak yang terkait dengan upaya peningkatan pelayanan hares
dilibatkan secara total menyeluruh. Karena itu, pimpinan harus dapat
memberikan peluang perbaikan kualitas terhadap semua pegawai. Selain
itu, kepemimpinan harus pula memberikan kesempatan berpartisipasi
kepada semua pegawai yang ada dalam organisasi, serta memperdayakan
pegawai atau karyawan dalam merancang dan memperbaiki barang,
jasa,sistem dan organisasi.
3. Sistem Pengukuran
            Komponen dalam sistem pengukuran terdiri hal-hal berikut ini:
a. Menyusun standar proses dan produk
b. Mengidentifikasi ketidaksesuaian dan mengukur kesesuaiannya dengan
keinginan pelanggan
c. Mengoreksi penyimpangan dan meningkatkan kinerja.
4. Perbaikan Kesinambungan.
a. Memandang bahwa semua pekerjaan sebagai suatu proses
b.Mengantisipasi perubahan keinginan, kebutuhan dan harapan para
pelanggan.
c. Mengurangi waktu siklus proses produksi dan distribusi.
d. Dengan senang hati menerima umpan balik dari pelanggan.

2.4 Kelemahan-kelemahan pelayanan publik dalam bidang pendidikan


Permasalahan utama pelayanan publik pada dasarnya berkaitan dengan
peningkatan kualitas pelayanan itu sendiri. Pelayanan yang berkualitas sangat
tergantung pada berbagai aspek, yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya
(tata laksana),dukungan sumber daya manusia, dan kelembagaan serta adanya
konsep yang jelas. Dilihat dari sisi pola penyelenggaraannya, pelayanan publik
masih memiliki berbagai kelemahan antara lain :

9
1.  Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur
pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai
dengan tingkatan penanggungjawab instansi. Respon terhadap berbagai
keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau
bahkan diabaikan sama sekali.
2.  Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan
lambat atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat.
3.  Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari
jangkauan masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang
memerlukan pelayanan tersebut.
4. .Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan
lainnya sangat kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang
tindih ataupun pertentangan kebijakan antara para instansi pelayanan
dengan instansi pelayanan lain yang terkait.
5. Birokratis.  Pelayanan, khususnya pelayanan perijinan pada umumnya
dilakukan
6. melalui proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga menyebabkan
penyelesaian pelayanan yang terlalu lama.
7. Kurang mau mendengar keluhan, saran, dan aspirasi masyarakat. Pada
umumnya aparat pelayanan kurang memiliki kemauan untuk mendengar
keluhan, saran dan aspirasi dari masyarakat. Akibatnya, pelayanan
dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke
waktu.
8.  Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan, khususnya dalam
pelayanan perijinan seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang
diberikan.

2.5 Standar Pelayanan Minimal


Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Provinsi sebagai daerah otonom mengisyaratkan adanya hak dan kewenangan
pemerintah pusat untuk menetapkan kebijakan tentang perencanaan nasional
yang menjadi pedoman atau acuan bagi penyelenggaraan pendidikan di
provinsi, kabupaten/ kota sebagai daerah otonom. Dalam rangka standardisasi

10
itulah, maka Mendiknas menerbitkan Kepmen No. 053/U/2001 tanggal 19
April 2001 tentang pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Menurut Peraturan Pemerintah nomor 65 tahun 2005 Standar Pelayanan
Minimal yang selanjutnya disingkat SPM adalah ketentuan tentang jenis dan
mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak
diperoleh setiap warga secara minimal.
Isi SPM tersebut adalah Pedoman SPM Penyelenggaraan TK, SD, SMP.
SMA, SMK, dan SLB sebagai berikut: (1) Dasar hukum (2) Tujuan
penyelenggaraan sekolah (3) Standar kompetensi (4) Kurikulum (5) Peserta
didik (6) Ketenagaan (7) Sarana dan prasarana (8) Organisasi (9) Pembiayaan
(10) Manajemen (11) Peran serta masyarakat.
Pedoman administrasi Sekolah Menengah Pertama berisikan.
1.  Pendahuluan (latar belakang, tujuan, pendekatan, dan ruang lingkup)
2. Organisasi sekolah (struktur, fungsi dan tugas, mekanisme hubungan kerja,
dan alur kerja)
3. Penyelenggaraan administrasi sekolah (pengertian, tujuan, dan ruang
lingkup)
4. Komponen administrasi (kurikulum, kesiswaan, tenaga kependidikan,
sarana, persuratan dan kearsipan, dan peran serta masyarakat.
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor
129a/U/2004 Tentang Standar Pelayanan Minimal ( SPM ) bidang
Pendidikan,
(1) SPM Pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP)/ Madrasah
Tsanawiyah (MTs) terdiri atas :
a. 90 persen anak dalam kelompok usia 13-15 tahun bersekolah di
SMP/MTs
b. Angka Putus Sekolah (APS) tidak melebihi 1 persen dari jumlah
siswa yang ber-sekolah
c. 90 persen sekolah memiliki sarana dan prasarana minimal sesuai
dengan standar teknis yang di-tetapkan secara nasional

11
d. 80 persen sekolah memiliki tenaga kependidikan non guru untuk
melaksanakan tugas administrasi dan kegiatan non mengajar
lainnya
e. 90 persen dari jumlah guru SMP yang diperlukan ter-penuhi
f. 90 persen guru SMP/MTs memiliki kualifikasi, sesuai dengan
kompetensi yang ditetapkan secara nasional
g. 100 persen siswa memiliki buku pelajaran yang lengkap setiap
mata pelajaran
h. Jumlah siswa SMP/MTs per kelas antara 30– 40 siswa
i. 90 persen dari siswa yang mengikuti uji sampel mutu pendidikan
standar nasional mencapai nilai “memuaskan” dalam mata
pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA, dan
IPS di kelas I dan II
j. 70 persen dari lulusan SMP/ MTs melanjutkan ke Sekolah
Menengah Atas (SMA)/ Madrasah Aliyah (MA)/ Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK).
Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pendidikan Dasar
Kemdiknas terbitkan Permendiknas nomor 15 tahun 2010 tentang
Standar Pelayanan Minimal atau SPM pendidikan dasar.
Kemdiknas telah menerbitkan regulasi baru yakni Permendiknas nomor 15
tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal atau SPM pendidikan dasar.
Oleh karen itu Direktorat Mandikdasmen mengadakan sosialisasi Standar
pelayanan Minimal Pendidikan Dasar di Jakarta. SPM Pendidikan Dasar ini
bertujuan untuk peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan SD/MI dan
SMP/ MTs.
SPM pendidikan dasar dapat diartikan sebagai ketentuan tentang jumlah
dan mutu layanan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah
kabupaten/kota untuk SD dan SMP dan Kandepag untuk MI dan MTs secara
langsung maupun secara tidak langsung melaluisekolahdan\madrasah.
SPM diharapkan mampu mempersempit kesenjangan mutu pendidikan
yang kedepannya juga diharapkan berimplikasi pada mengecilnya
kesenjangan sosial ekonomi. SPM mulai diberlakukan tahun 2011 dengan

12
tahapan rehabilitasi sarana dan prasarana sekolah pelatihan guru dan tenaga
pendidik, maka diharapkan dalam waktu tiga tahun atau pada tahun 2013
seluruh SD/MI dan SMP/MT sudah melaksanakan SPM.
Standar pelayanan minimal pendidikan dasar selanjutnya disebut SPM
Pendidikan Dasar adalah tolok ukur kinerja pelayanan pendidikan dasar
melalui jalur pendidikan formal yang diselenggarakan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota. Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pendidikan merupakan
ketentuan tentang jumlah dan mutu layanan pendidikan yang diselenggarakan
oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, Kantor Wilayah Kementerian Agama, dan
Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota secara langsung maupun secara
tidak langsung melalui sekolah dan madrasah. Penerapan SPM dimaksudkan
untuk memastikan bahwa di setiap sekolah dan madrasah terpenuhi kondisi
minimum yang dibutuhkan untuk menjamin terselenggaranya proses
pembelajaran yang memadai.
SPM Pendidikan meliputi layanan-layanan:
1. Merupakan tanggung-jawab langsung Pemerintah Kabupaten/Kota yang
menjadi tugas pokok dan fungsi dinas pendidikan untuk sekolah atau
kantor departemen agama untuk madrasah (misalnya: penyediaan ruang
kelas dan penyediaan guru yang memenuhi persyaratan kualifikasi
maupun kompetensi)
2. Merupakan tanggung-jawab tidak langsung Pemerintah Kabupaten/Kota
Dinas Pendidikan dan Kantor Kementerian Agama, karena layanan
diberikan oleh pihak sekolah dan madrasah, para guru dan tenaga
kependidikan, dengan dukungan yang diberikan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota dan Kantor Kementerian Agama (contoh: persiapan
rencana pembelajaran dan evaluasi hasil belajar siswa terjadi di sekolah,
dilaksanakan oleh guru tetapi diawasi oleh Pemerintah Kabupaten/Kota).
SPM Pendidikan menyatakan secara tegas dan rinci berbagai
tanggungjawab Pemerintah Kabupaten/Kota c/q oleh Dinas Pendidikan dan
Kantor Kementerian Agama dalam menyelenggarakan layanan pendidikan.
SPM Pendidikan menyatakan secara tegas dan rinci berbagai hal yang harus

13
disediakan dan dilakukan oleh dinas pendidikan, sekolah/madrasah untuk
memastikan bahwa pembelajaran bisa berjalan dengan baik.
SPM menyatakan dengan jelas dan tegas kepada warga masyarakat tentang
tingkat layanan pendidikan yang dapat mereka peroleh dari sekolah/
madrasah di daerah mereka masing-masing. SPM tidak berdiri sendiri,
melainkan merupakan tahapan menuju pencapaian Standar Nasional
Pendidikan (SNP).
Dengan ditetapkannya SPM Bidang Pendidikan Dasar maka setiap daerah
perlu menyusun perencanaan program/kegiatan untuk mencapai SPM. Untuk
mengukur sejauh mana kinerja dinas pendidikan telah mencapai SPM atau
belum maka dinas pendidikan perlu melakukan pemetaan terhadap kinerja
layanan dinas pendidikan/depag serta sekolah-sekolah (SD/MI dan
SMP/MTs). Dari pemetaan tersebut diketahui kinerja mana yang belum
mencapai SPM dan kinerja mana yang sudah mencapai SPM.
Berdasarkan data yang telah dikumpulkan, dinas pendidikan perlu
menganalisis pencapaian masing-masing indikator yang tercantum dalam
standar pelayanan minimum (SPM) bidang pendidikan. Hasil analisis kondisi
pencapaian SPM digunakan sebagai bahan masukan dalam merumuskan
kebijakan, program, kegiatan dan juga pembiayaan ketika menyusun
dokumen rencana strategis pencapaian SPM.
Pengembangan rencana peningkatan mutu pendidikan setiap
kabupaten/kota perlu memperhatikan kondisi pencapaian SPM di daerah
masing-masing. Setiap tahun program pencapaian SPM perlu dilaksanakan
sampai SPM benar-benar tercapai. Pelaksanaan dan capaian program juga di
monitor dan dievaluasi sehingga diketahui indikator apa saja yang belum
dicapai, dan berapa perkiraan biaya yang diperlukan untuk mencapai SPM.
Sehingga diharapkan semua kabupaten/kota telah mencapai SPM pada tahun
2014.

14
2.6 Peningkatan Standar Mutu
Standar mutu adalah suatu standar yang ditetapkan oleh institusi penghasil
produk terhadap mutu produk yang dihasilkannya untuk memenuhi harapan
dan kebutuhan pelanggan terhadap kualitas produk yang digunakannya.
Kajian tentang standar mutu pada awal perkembangannya banyak
dilakukan dalam dunia bisnis dan industri. Para pengusaha berusaha sekuat
tenaga menghasilkan produk yang bermutu yang dapat diterima secara baik
oleh masyarakat. Pada tahap-tahap selanjutnya, seperti yang diketahui bahwa
kajian tentang standar mutu terus mengalami perkembangan dan evolusi,
menjadi semakin matang dan mengalami diversifikasi untuk aplikasi di
berbagai bidang seperti manufactur, industri jasa, kesehatan, dan dewasa ini
juga di bidang pendidikan.
Beberapa tahun belangan ini telah banyak standar mutu yang
diperkenalkan, seperti BS5750, Standar Internasional ISO9000, BS7850,
Investor in People, The Deming Prize, The Malcolm Baldridge Award, The
European Quality Award, The Citizen ‘s Charter, Akreditasi BAN-PT,
Standar Nasional Indonesia - Badan Standardisasi Nasional (SNI – BSN).
Standar mutu Inggris BS5750 dan standar internasional ISO9000
mendapatkan perhatian yang serius dari dunia pendidikan. terutama dari
Amerika dan Eropa. Pertumbuhan gerakan kerjasama Pendidikan dan Bisnis
(Educartional Business Partnership) telah berhasil merangsang ketertarikan
dan perhatian masyarakat terhadap berbagai metodologi bisnis, termasuk
BS5750.
Ketertarikan pendidikan terhadap BS5750 merupakan hal yang baru.
Meskipun harus diakui, bahwa baik British Standards Institution (BSI)
maupun Internasional Standards Organization (ISO) belum menunjukan
ketertarikan terhadap dunia pendidikan sebelum tahun 1989. Mayoritas
perusahaan yang terdaftar pada standar BS5750 adalah perusahaan yang
bergerak di bidang produk, namun berkembang ke dalam dunia industri jasa
dan praktek-praktek professional, seperti badan amal, arsitek, dan konsultan
manajemen. Walaupun demikian belum ada praktek pendidikan yang

15
memberikan jawaban terhadap kesesuaian BS5750/ISO9000 dalam
pendidikan.
Namun demikian ada sejumlah kecil perguruan tinggi dan organisasi
pelatihan swasta yang berhasil memperoleh status perusahaan, meskipun
demikian, saat ini minat dan ketertarikan terhadap standar tersebut betul-betul
telah menyebar dalam pendidikan tinggi dan sekolah-sekolah.
1. BS5750 DAN ISO 9000
BS5750 dan ISO9000 adalah alat pemasaran yang sangat jitu bagi
organisasi  dengan menunjukan logo registrasinya. BS5750 identik
dengan standar Eropa EN29000, standar mutu internasional ISO9000, dan
standar mutu Amerika Serikat Q90. Perbandingan tersebut adalah sebagai
tambahan informasi bagi lembaga-lembaga yang berkeinginan untuk
membina hubungan atau kontrak internasional. Keuntungan yang bisa
diraih institusi pendidikan apabila sudah terdaftar adalah lembaga-
lembaga tersebut akan mengupayakan disiplin untuk menspesifikasikan
dan mendokumentasikan sistem mutu mereka dan akreditasi dari pihak
ketiga. BS5750 dipublikasikan pertama kali pada tahun 1979 dengan
nama Quality Systems. Pada mulanya, ia adalah sistem yang diterapkan
oleh Menteri Pertahanan dan NATO yang dikenal sebagai AQAP, Allied
Quality Assurance Procedures ( Prosedur Jaminan Mutu Sekutu), yang
menjadi kebutuhan organisasi dalam posisi mereka sebagai agen-agen
belanja mereka.
Seri-seri BS5750/ISO9000 dikenal sebagai skema penilaian pihak
ketiga. Penilaian pihak pertama adalah penilaian sebuah organisasi
terhadap mutu organisasi mereka dengan standar-standar mereka sendiri.
Masalah yang muncul dalam metode ini adalah pelanggan tidak begitu
yakin terhadap proses jaminan yang tidak membuka penilaian eksternal
secara obyektif. Untuk  menjawab masalah ini maka konsumen diberi
kesempatan seluas-luasnya untuk mengirim penilaian kepada pihak
pertama, organisasi produsen. Ini dikenal sebagai penilaian pihak kedua
dan ini merupakan metode yang sangat terkenal yang digunakan.
Misalnya Marks dan Spencer. Masalah penilaian pihak kedua adalah jelas,

16
terutama jika pembelinya adalah organisasi kecil, Sertifikasi pihak ketiga
menyebabkan organisasi bekerja dengan menggunakan standar, dengan
pemeriksaan dan penilaian yang dilakukan oleh pihak-pihak yang
memenuhi syarat.
ISO 9000 sendiri adalah suatu rangkaian dari lima standar mutu
internasional. Seri tersebut diberi nama sedemikian rupa sehingga terdiri
dari lima set standar atau kriteria, dengan modifikasi angka berurutan
mulai dari 9000. Standar pertama yaitu ISO 9000 merupakan suatu peta
jaringan yang memberikan definisi dasar dan konsep-konsep, serta
menerangkan bagaimana suatu perusahaan memilih dan menggunakan
standar-standar yang lain dalam seri tersebut.
Tujuan dari standar ISO 9001, 9002, dan 9003 adalah untuk
memberikan jaminan kualitas dalam hal kontraktual dengan pihak luar.
Ini merupakan standar yang digunakan untuk mencatat sistem kualitas
pemasok. Ketiga standar ini bersifat saling melengkapi dan pemilihannya
tergantung pada ruang lingkup dan kompleksitas operasi perusahaan, serta
ukuran bisnisnya.
ISO 9001 adalah standar yang paling komprehenshif dan digunakan
untuk menjamin kualitas pada tahap perancangan dan pengembangan,
produksi, instalasi, dan pelayanan jasa. Standar ini digunakan khususnya
oleh perusahaan manufaktur yang merancang produk dan membuatnya
sendiri. ISO 9002 digunakan untuk memenuhi persyaratan produksi dan
instalasi yang memerlukan jaminan. Sebagai contoh, bila suatu produk
dibuat dengan sprsifikasi yang ditentukan oleh pihak lain.
ISO 9004 digunakan untuk kepentingan intern dan bukan untuk
situasi kontraktual. Standar ini antara lain mencangkup unsur-unsur
pokok yang ikut menpengaruhi sistem jaminan kualitas, termasuk di
dalamnya tanggung jawab manajemen, pemasaran, pengadaan, langkah
pengendalian, pemanfaatan SDM, faktor keamanan produk, dan
penggunaan metode statistik.

17
2. Mengaplikasikan BS5750 dan ISO9000 dalam Pendidikan.
BS5750/ISO9000 adalah hal baru dalam pendidikan. BSI
mengeluarkan panduan aplikasi Standar dalam pendidikan dan pelatihan
pada tahun 1992. Salah satu konsep yang ada dalam Standar adalah sistem
mutu harus dapat menghasilkan produk dan mutu yang konsisten serta
menyakinkan. Namun sejauh ini BS5750/ ISO9000 belum menghasilkan
dampak konsistensi layanan terhadap interaksi murid atau staf.
Berdasarkan alasan tersebut, sekolah, perguruan tinggi dan universitas
meninggalkan BS5750/ ISO9000.
3. Investor in People.
Investor in People (IIP) diluncurkan pada bulan Oktober 1991. Ia
berbeda dengan BS7850. IIP adalah sebuah standar bagi pengembangan
dan pelatihan sumber daya manusia yang bisa dikembangkan bersama
TQM.
Investor in People diawasi oleh Departermen of Employment
(Departermen Ketenagakerjaan) dan standarnya dikembangkan oleh
National Training Task Force. IIP telah diatur dan diawasi secara local
oleh Training and Enterprise Councils and Local Enterprice Companise
di Skotlandia. Salah satu kekurangannya adalah IIP merupakan standar
Inggris Raya yang tidak sejajar dengan standar internasional.
Elemen-elemen penting yang harus dipenuhi organisasi untuk menjadi
Investor in People adalah:
a. Sebuah komitmen publik dari atas untuk mengembangkan seluruh staf
untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi;
b. Sebuah rencana institusional tertulis yang mengidentifikasikan tujuan
dan target organisasi. Rencana tersebut mengidentifikasikan kebijakan
pelatihan dan sumber-sumber daya yang tersedia untuk itu dan harus
disampaikan secara terbuka serta dipahami oleh seluruh staf;
c. Tinjauan teratur terhadap pelatihan dan pengembangan seluruh staf;
d. Tindakan untuk melatih dan mengembangkan individu-individu
melalui karir mereka;

18
e. Evaluasi terhadap investasi dalam pelatihan dan pengembangan dan
evaluasi terhadap efektifitas proses pengembangan staf.
Investor in People dikembangkan dalam dunia bisnis, namun dapat
diadaptasikan dalam pendidikan. Sejumlah sekolah, perguruan tinggi dan
lembaga pendidikan tinggi dapat melihat kemungkinan penerapan IIP
untuk mewujudkan inisiatif pengembangan mutu. Kesulitan utamanya
adalah beberapa sekolah dan perguruan tinggi tidak memiliki kebebasan
yang sangat luas untuk mengembangkan sumber daya pengembangan
staf yang sepenuhnya konsisten terhadap tujaun-tujuan startegisnya.
4. The Deming Prize
Deming Prize adalah penghargaan mutu tingkat Nasional Jepang.
Penghargaan mutu nasional Jepang diluncurkan pada tahun 1951. Dana
untuk penghargaan ini dikumpulkan dari royalti kuliah pengukuhan Dr.
Deming di Jepang. Deming, menjelaskan bahwa peran manajemen sangat
besar dalam mencapai mutu. Menurutnya sekitar 15% dari kualitas buruk
dihasilkan oleh pekerja, sementara 85% disebabkan manajemen, system,
dan proses yang kurang tepat. Deming berpendapat bahwa manajer
seharusnya melibatkan karyawan dalam memecahkan permasalahan,
bukan hanya sekedar menyalahkan karena buruknya kualitas.
5. The Malcolm Baldridge Award
Malcolm Baldridge Award adalah penghargaan Amerika yang setara
dengan Hadiah Deming. Penghargaan tersebut didirikan oleh kongres
Amerika pada tahun 1987. Hadiah Malcolm Baldridge bukan sebuah
standar, namun seperti halnya Hadiah Deming, ia merupakan sebuah
penghargaan tahunan di Amerika. Penghargaan tersebut dirancang untuk
menghargai perusahaan-perusahaan Amerika yang unggul dalam prestasi
mutu dan manajemen mutu. Penghargaan tersebut dirancang untuk
mempromosikan beberapa hal berikut ini:
a. Kesadaran mutu
b. Pemahaman terhadap syarat-syarat mutu;
c. Pemberian informasi tentang strategi-strategi yang jitu dan
menguntungkan selama pelaksanaan.

19
Hadiah Malcolm Baldridge sebagai standar pengukuran peningkatan
mutu internal dapat memberikan kontribusi proses yang bermanfaat pada
beberapa lembaga pendidikan. Kriteria-kriteria tersebut bisa digunakan
sebagai bagian dari proses audit internal.
6. The European Quality Award
The European Quality Award diperkenalkan pada tahun 1991 dalam
pertemuan Forum Manajemen Mutu Eropa di Paris. Forum tersebut
merupakan organisasi baru yang dibentuk pada tahun 1988 oleh 14
perusahaan besar Eropa. Sekarang telah berkembang menjadi 170
perusahaan yang bertujuan untuk merangsang dan membantu perusahaan-
perusahaan Eropa dalam mengembangkan mutu terpadu. Komisi Eropa
memainkan peran penting dalam pengembangannya. Tujuan dari Forum
dan Penghargaan tersebut adalah untuk mendorong perkembangan TQM.
Penghargaan tersebut bertujuan untuk menghargai organisasi-organisasi
yang memberikan perhatian besar terhadap mutu terpadu, dan mendorong
yang lainnya untuk mengikuti percontohan mereka.
Penghargaan Mutu Eropa juga bukan sebuah standar mutu,
melainkan hadiah dari sebuah kompetisi seperti halnya Hadiah Deming di
Jepang dan Hadiah Malcolm Baldridge di Amerika. Penghargaan Mutu
Eropa merupakan penghargaan tunggal tahunan yang diberikan pada
eksponen TQM yang paling sukses di Eropa Barat, penghargaan pertama
kali diberikan pada tahun 1992. Di samping Penghargaan tersebut, ada
juga European Quality Prizes  yang diberikan kepada perusahaan-
perusahaan yang telah menunjukan prestasi dalam manajemen mutunya.
Kriteria penghargaan tersebut memiliki gaya Eropa yang khas dan
dirancang untuk diberikan kepada perusahaan-perusahaan berprestasi
tanpa memperhatikan ukuran dan tipe bisnis perusahaan tersebut.
Organisasi yang menginginkan penghargaan tersebut, akan dinilai
berdasarkan hasil dan peningkatan prestasi yang diraih melalui beberapa
kriteria dibawah ini :
a. Kepuasan pelanggan
b. Kepuasan karyawan

20
c. Prestasi bisnis
d. Pengaruh organisasi terhadap masyarakat.
Ada delapan kriteria spesifik serta nilai relatifnya masing-masing
dalam nilai keseluruhan penghargaan tersebut, yaitu:
1. Kepuasan pelanggan: Persepsi pelanggan eksternal, baik secara
langsung maupun tidak langsung, terhadap perusahaan atau terhadap
produk dan layanannya (20%).
2. Orang-orang: Orang-orang yang ada dalam manajemen perusahaan
dan perasaan mereka terhadap perusahaan (18%).
3. Hasil bisnis: Prestasi perusahaan dalam kaitannya dengan rencana
prestasi bisnis mereka (15%)
4. Proses: Manajemen seluruh kegiatan yang memiliki nilai tambah
dalam perusahaan (14%)
5. Kepemimpinan: Sikap seluruh manajer dalam transformasikan
perusahaan pada Mutu Terpadu (10%)
6. Sumberdaya: Pemanfaatan dan pemeliharaan manajemen terhadap
sumberdaya financial, sumberdaya informasi, dan sumberdaya
teknologi (9%).
7. Strategi dan kebijakan – visi. Nilai dan arah perusahaan, serta cara
untuk mencapainya (8%)
8. Pengaruh terhadap masyarakat – persepsi komunitas secara umum
terhadap perusahaan. Pandangan pendekatan perusahaan terhadap
kehidupan, lingkungan dan kebutuhan pemeliharaan sumberdaya
global (6%).
7. The Citizen ‘s Charter
The Citizen ‘s Charter memiliki publisitas yang luas, dan pada tahun
1992, setelah melakukan pemilihan umum internalnya, lembaga tersebut
memiliki Kabinet Menteri sendiri. Piagam tersebut merupakan program
yang dirancang untuk meningkatkan pelayanan terhadap publik dan
menyediakan pilihan bagi mereka. Piagam tersebut melakukan publikasi
secara detail tentang pelayanan seperti apa yang diinginkan oleh publik
dan menjelaskan kepada mereka prosedur Komplain yang tepat. Prinsip

21
dasar piagam tersebut mencangkup semua layanan public termasuk
pendidikan. Dalam pendidikan, dikenal The Parent’s Charter, dan yang
berhubungan dengan piagam tersebut adalah Charter Mark, yaitu
penghargaan terhadap keunggulan dalam pemberian layanan public.
Organisasi publik dan swasta bisa mendaftarkan diri untuk mendapatkan
piagam tersebut, termasuk sekolah.
Tanda Piagam adalah sebuah kompetisi dan pada tahun pertamanya,
1992, sedikitnya 50 institusi layak mendapatkan piagam tersebut. Tanda
Piagam tersebut berlaku selama 3 tahun dan diberikan sesuai dengan
kriteria yang telah ditentukan. Ada enam prinsip dalam The Citizen ‘s
Charter,  yaitu :
1. Publikasi standar layanan serta prestasi terhadap standar tersebut.
2. Konsultasi pelanggan
3. Informasi yang jelas tentang layanan
4. Layanan pelanggan yang jelas dan efisien
5. Prosedur pengaduan dan complain
6. Pengesahan prestasi yang independen dan komitmen terhadap nilai
uang.
8. Akriditasi BAN-PT
Majelis BAN-PT pertama kali diangkat oleh menteri Pendidikan dan
Kebudayaan melalui Kepmen Dikbud No. 187/U/1994, tanggal 7 Agustus
1994. Sekertariat BAN-PT pertama kali beroperasi mulai Agustus–1994,
sedangkan proses akreditasi pertama kali dilakukan pada tahun 1996.
Akreditasi dipahami sebagai penentuan standar mutu serta penilaian
terhadap suatu lembaga pendidikan (dalam hal ini pendidikan tinggi) oleh
pihak di luar lembaga pendidikan itu sendiri. Mengingat adanya berbagai
pengertian tentang hakikat perguruan tinggi (Barnet, 1992) maka kriteria
akreditasi pun dapat berbeda-beda. Barnet menunjukkan, bahwa setidak-
tidaknya ada empat pengertian atau konsep tentang hakikat perguruan
tinggi :
a. Perguruan tinggi sebagai penghasil tenaga kerja yang bermutu
(qualified manpower). Dalam pengertian ini pendidikan tinggi

22
merupakan suatu proses dan mahasiswa dianggap sebagai keluaran
(output) yang mempunyai nilai atau harga (value) dalam pasaran
kerja, dan keberhasilan itu diukur dengan tingkat penyerapan lulusan
dalam masyarakat (employment rate) dan kadang-kadang diukur juga
dengan tingkat penghasilan yang mereka peroleh dalam karirnya.
b. Perguruan tinggi sebagai lembaga pelatihan bagi karier peneliti. Mutu
perguruan tinggi ditentukan oleh penampilan/prestasi penelitian
anggota staf. Ukuruan masukan dan keluaran dihitung dengan jumlah
staf yang mendapat hadiah/penghargaan dari hasil penelitiannya (baik
di tingkat nasional maupun di tingkat internasional), atau jumlah dana
yang diterima oleh staf dan/atau oleh lembaganya untuk kegiatan
penelitian, ataupun jumlah publikasi ilmiah yang diterbitkan dalam
majalah ilmiah yang diakui oleh pakar sejawat (peer group).
c. Perguruan tinggi sebagai organisasi pengelola pendidikan yang
efisien. Dalam pengertian ini perguruan tinggi dianggap baik jika
dengan sumber daya dan dana yang tersedia, jumlah mahasiswa yang
lewat proses pendidikannya (throughput) semakin besar.
d. Perguruan tinggi sebagai upaya memperluas dan mempertinggi
pengkayaan kehidupan. Indikator sukses kelembagaan terletak pada
cepatnya pertumbuhan jumlah mahasiswa dan variasi jenis program
yang ditawarkan. Rasio mahasiswa-dosen yang besar dan satuan biaya
pendidikan setiap mahasiswa yang rendah juga dipandang sebagai
ukuran keberhasilan perguruan tinggi.
Perguruan tinggi di Indonesia merupakan campuran yang
mengandung unsur-unsur dari keempatnya, oleh karena itu sistem
akreditasi BAN-PT memperhatikan konsep dasar tersebut.
Peningkatan mutu berkaitan dengan target yang harus dicapai,
proses untuk mencapai dan faktor-faktor yang terkait. Dalam peningkatan
mutu ada dua aspek yang perlu mendapat perhatian, yakni aspek kualitas
hasil dan aspek proses pencapaian hasil tersebut. Ada dua macam
peningkatan mutu yaitu peningkatan mutu untuk mencapai standar mutu
yang ditetapkan dan peningkatanmutu dalam konteks peningkatan

23
standar mutu yang telah dicapai. Peningkatan standar mutu dilakukan
melalui kegiatan monitoring dan evaluasi (monev), evaluasi diri, audit,
dan benchmarking.
Evaluasi diri dilakukan terutama untukmelihat kekuatan dan
kelemahan satuan pendidikan kaitannyadengan upaya pemenuhan
standar. Tahapan selanjutnya adalah Audit Mutu Akademik Internal
untuk melihat kepatuhan terhadapstandar mutu yang telah ditetapkan.
Hasil-hasil yang diperoleh dari tahapan monitoring dan evaluasi, evaluasi
diri, dan audit mutu internal serta ditambah dengan masukan dari seluruh
stakeholders, digunakan sebagai pertimbangan di dalam melakukan
peningkatan mutu.
Apabila hasil evaluasi diri dan audit menunjukkan bahwa standar
mutu yang telah ditetapkan belumtercapai, maka harus segera dilakukan
tindakan perbaikan untukmencapai standar tersebut. Sebaliknya apabila
hasil evaluasi diridan audit menyatakan bahwa standar mutu yang
ditetapkan telah tercapai, maka pada proses perencanaan berikutnya
standar mutu tersebut ditingkatkan melalui benchmarking.
Benchmarking adalah upaya pembandingan standar baik antar bagian
internal organisasi maupun dengan standar eksternal secara berkelanjutan
dengan tujuan untuk peningkatan standar mutu. Terdapat tiga pertanyaan
mendasar yang akan dijawab oleh proses benchmarking adalah:1)
Seberapa baik kondisi kita sekarang? (Evaluasi Diri), 2. Harus menjadi
seberapa baik? (Target), 3. Bagaimana cara untuk mencapai yang baik
tersebut? (Rencana Tindakan)
Perumusan standar mutu harus mengandung unsur ABCD (audiens,
behavior, competence, degree) dan tidak sekaligus jadi.
Contoh Standar Mutu pada Dunia Pendidikan Nasional diartikan sebagai
sebagai kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah
hukum NKRI. Standar mutu dalam dunia pendidikan selanjutnya disebut
Standar Nasional Pendidikan (SNP).

24
Lingkup Standar Nasional Pendidikan meliputi:
a. standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan
yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan
b. standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang
dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi
bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran
yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis
pendidikan tertentu.
c. standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan
dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk
mencapai standar kompetensi lulusan.
d. standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah kriteria pendidikan
prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan
dalam jabatan.
e. standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang
berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat
berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel
kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber
belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran,
termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.
f. standar pengelolaan adalah standar nasional pendidikan yang
berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan  pengawasan
kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota,
provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pendidikan.
g. standar pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan
besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu
tahun; dan
h. standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang
berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil
belajar peserta didik.

25
Tingkat keberhasilan peningkatkan standar mutu ditentukan oleh
banyak faktor. Sebagai contoh peningkatan standar mutu  sekolah sangat
ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1. Kepemimpinan Kepala Sekolah
Kepala sekolah harus memiliki dan memahami visi kerja secara jelas,
mampu dan mau bekerja keras, mempunyai dorongan kerja yang
tinggi, tekun dan tabah dalam bekerja, memberikan layananyang
optimal, dan disiplin kerja yang kuat.
2. Siswa
Pendekatan yang harus dilakukan adalah “anak sebagai pusat “
sehingga kompetensi dan kemampuan siswa dapat digali sehingga
sekolah dapat menginventarisir kekuatan yang ada pada siswa .
3. Guru
Pelibatan guru secara maksimal dengan meningkatkan kompetensi
dan profesi kerja guru dalam kegiatan seminar, Musyawarah Guru
Mata Pelajaran, lokakarya serta pelatihan sehingga hasil dari kegiatan
tersebut diterapkan disekolah.
4. Kurikulum
Adanya kurikulum yang ajeg dan tetap tetapi dinamis, dapat
memungkinkan dan memudahkan standar mutu yang diharapkan
sehingga tujuan dapat dicapai secara maksimal
5. Jaringan Kerjasama
Jaringan kerjasama tidak hanya terbatas pada lingkungan sekolah dan
masyarakat semata tetapi dengan organisasi lain, seperti perusahaan,
instansi sehingga output dari sekolah dapat terserap didalam dunia
kerja
6. Tim Pengendali Mutu
Tim Pengendali Mutu mempunyai peranan penting dalam menjamin
keberlangsungan standar mutu secara terus menerus dan
berkesinambungan. Tim ini merupakan tim independen yang
melaksanakan dan melakukan audit mutu secara berkala.

26
2.7 Permasalahan pendidikan di Indonesia
Indonesia semakin hari kualitasnya makin rendah. Berdasarkan Survey
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization
(UNESCO), terhadap kualitas pendidikan di Negara-negara berkembang di
Asia Pacific, Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara. Sedangkan
untuk kualitas para guru, kulitasnya berada pada level 14 dari 14 negara
berkembang.
Salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah
karena lemahnya para guru dalam menggali potensi anak. Para pendidik
seringkali memaksakan kehendaknya tanpa pernah memperhatikan
kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki siswanya. Kelemahan para
pendidik kita, mereka tidak pernah menggali masalah dan potensi para siswa.
Pendidikan seharusnya memperhatikan kebutuhan anak bukan malah
memaksakan sesuatu yang membuat anak kurang nyaman dalam menuntut
ilmu. Proses pendidikan yang baik adalah dengan memberikan kesempatan
pada anak untuk kreatif. Itu harus dilakukan sebab pada dasarnya gaya
berfikir anak tidak bisa diarahkan.
Selain kurang kreatifnya para pendidik dalam membimbing siswa,
kurikulum yang sentralistik membuat potret pendidikan semakin buram.
Kurikulum hanya didasarkan pada pengetahuan pemerintah tanpa
memperhatikan kebutuhan masyarakat. Lebih parah lagi, pendidikan tidak
mampu menghasilkan lulusan yang kreatif. Ini salahnya, kurikulum dibuat di
Jakarta dan tidak memperhatikan kondisi di masyarakat bawah. Jadi, para
lulusan hanya pintar cari kerja dan tidak pernah bisa menciptakan lapangan
kerja sendiri, padahal lapangan pekerjaan yang tersedia terbatas. Kualitas
pendidikan Indonesia sangat memprihatinkan. Berdasarkan analisa dari badan
pendidikan dunia (UNESCO), kualitas para guru Indonesia menempati
peringkat terakhir dari 14 negara berkembang di Asia Pacifik. Posisi tersebut
menempatkan negeri agraris ini dibawah Vietnam yang negaranya baru
merdeka beberapa tahun lalu. Sedangkan untuk kemampuan membaca,
Indonesia berada pada peringkat 39 dari 42 negara berkembang di dunia.
Lemahnya input quality, kualitas guru kita ada diperingkat 14 dari 14 negara

27
berkembang. Ini juga kesalahan negara yang tidak serius untuk meningkatkan
kualitas pendidikan. Dari sinilah penulis mencoba untuk membahas lebih
dalam mengenai pendidikan di Indonesia dan segala dinamikanya.
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan
menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami
“sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit” ini disebabkan karena pendidikan
yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam
kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak
memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh
sistem pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia,
menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian karena pendidikan
yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang.
Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar
yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur
integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal
belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang
yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti
mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan
sebagainya. Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali
dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi
dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai
“pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai. Dan “siap pakai” di sini
berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan
dan persaingan bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara kritis
hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama
seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga
pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil
bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan
ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak lembaga
pendidikan.

28
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke
bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik
dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini
sangat tidak membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap
manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi
mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi
pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang
diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan
dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan,
pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja
yang disampaikan guru.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek.
Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para
murid. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan
merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap
dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai
pengetahuan apa-apa.
Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang
dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan
bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang
adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak
belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-
akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-
sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-
hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus
terlebur dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang
sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi,
sosial, budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat
kalau hal ini penulis kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita
semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia
pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai
sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi

29
dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu
menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat
lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi
sangat relevan untuk direnungkan.
Kualitas Pendidikan di Indonesia
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan
tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media
belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium
tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan
sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung
sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan
sebagainya.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan.
Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk
menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No
20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran,
menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan
pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Kendati secara kuantitas jumlah guru di Indonesia cukup memadai,
namun secara kualitas mutu guru di negara ini, pada umumnya masih
rendah. Secara umum, para guru di Indonesia kurang bisa memerankan
fungsinya dengan optimal, karena pemerintah masih kurang
memperhatikan mereka, khususnya dalam upaya meningkatkan
profesionalismenya. Secara kuantitatif, sebenarnya jumlah guru di
Indonesia relatif tidak terlalu buruk. Apabila dilihat ratio guru dengan
siswa, angka-angkanya cukup bagus yakni di SD 1:22, SLTP 1:16, dan
SMU/SMK 1:12. Meskipun demikian, dalam hal distribusi guru ternyata
banyak mengandung kelemahan yakni pada satu sisi ada daerah atau
sekolah yang kelebihan jumlah guru, dan di sisi lain ada daerah atau
sekolah yang kekurangan guru. Dalam banyak kasus, ada SD yang jumlah

30
gurunya hanya tiga hingga empat orang, sehingga mereka harus mengajar
kelas secara paralel dan simultan.
Bila diukur dari persyaratan akademis, baik menyangkut
pendidikan minimal maupun kesesuaian bidang studi dengan pelajaran
yang harus diberikan kepada anak didik, ternyata banyak guru yang tidak
memenuhi kualitas mengajar (under quality).
Hal itu dapat dibuktikan dengan masih banyaknya guru yang
belum sarjana, namun mengajar di SMU/SMK, serta banyak guru yang
mengajar tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki. Keadaan
seperti ini menimpa lebih dari separoh guru di Indonesia, baik di SD,
SLTP dan SMU/SMK. Artinya lebih dari 50 persen guru SD, SLTP dan
SMU/SMK di Indonesia sebenarnya tidak memenuhi kelayakan mengajar.
Dengan kondisi dan situasi seperti itu, diharapkan pendidikan yang
berlangsung di sekolah harus secara seimbang dapat mencerdaskan
kehidupan anak dan harus menanamkan budi pekerti kepada anak didik.
“Sangat kurang tepat bila sekolah hanya mengembangkan kecerdasan
anak didik, namun mengabaikan penanaman budi pekerti kepada para
siswanya.
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu
keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral
pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar
memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi
tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga
dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat
rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Dengan pendapatan yang
rendah, terang saja banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan
sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada
sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS,
pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya.

31
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan
guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan
jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen
akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain
meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi,
dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan
tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga
berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi
masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah
kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran
Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat
dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen
sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen.
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik,
kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun
menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan
matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah.
Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004),
siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal
prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal
prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa
Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for
Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi
tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui
laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam
laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177
negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi
Indonesia berada jauh di bawahnya.

32
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992),
studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational
Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca
siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes
membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1
(Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia). Anak-anak Indonesia
ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata
mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang
memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa
menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.

Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and


Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan
bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia
berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam
dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas
yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia
hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.

5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan


Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat
Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan
Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan
Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999
mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori
tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu
54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih
sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan
menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan.
Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan
yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.

33
6. Rendahnya Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang
menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun
1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh
lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar
36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan
kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%,
14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap
tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki
keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan
tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan
dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional
terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki
dunia kerja.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk
menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk
mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman
Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat
miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin
tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp
500.000, sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1
juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari
kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis
Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya
untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan
Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur
pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas.
Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu

34
berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat
implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi
pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan
Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator
kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari
pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan
rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan
Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik
publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan
politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah
dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada
pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri
pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya
BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang
kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya
pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor
pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk
memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-
40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong
privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar
seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga
tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk
pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang
menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana
Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah
peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU
Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)
tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar.
Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal

35
53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan
formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan
hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal
untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM
Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika,
10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti
Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan
menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar.
Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan
sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan
mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan
mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu
untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat
semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan
miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir.
Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme
global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat
Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum
Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi
pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum
pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini
berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah
status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok.
Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen
ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di
beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang
bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada
yang menggratiskan biaya pendidikan.

36
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau
tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang
seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban
untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin
akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan
tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung
jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi
Pemerintah untuk cuci tangan.

Solusi Pendidikan di Indonesia


Untuk mengatasi masalah-masalah, seperti rendahnya kualitas
sarana fisik, rendahnya kualitas guru, dan lain-lain seperti yang telah
dijelaskan diatas, secara garis besar ada dua solusi yaitu:
1. Solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial
yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem
pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan.
Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks
sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip
antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam
urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
2. Solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang
berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk
menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-
upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya
kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan
kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan
untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya,
diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran,
meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan
sebagainya.

37
Maka dengan adanya solusi-solusi tersebut diharapkan pendidikan
di Indonesia dapat bangkit dari keterpurukannya, sehingga dapat
menciptakan generasi-generasi baru yang berSDM tinggi, berkepribadian
pancasila dan bermartabat.

          

38
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pelayanan adalah suatu kegiatan atau tindakan yang dilakukan oleh
penyelenggara pelayanan baik berupa barang ataupun jasa yang menghasilkan
manfaat bagi penerima layanan.
Pelayanan prima merupakan terjemahan istilah ”excellent service” yang
secara harfiah berarti pelayanan terbaik atau sangat baik. Disebut sangat baik
atau terbaik karena sesuai dengan standar pelayanan yang berlaku atau
dimiliki instansi pemberi pelayanan
Standar mutu adalah suatu standar yang ditetapkan oleh institusi penghasil
produk terhadap mutu produk yang dihasilkannya untuk memenuhi harapan
dan kebutuhan pelanggan terhadap kualitas produk yang digunakannya.
Contoh standar mutu yang diperkenalkan, seperti BS5750, Standar
Internasional ISO9000, BS7850, Investor in People, The Deming Prize, The
Malcolm Baldridge Award, The European Quality Award, The Citizen ‘s
Charter, Akreditasi BAN-PT, Standar Nasional Indonesia - Badan
Standardisasi Nasional (SNI – BSN).
Peningkatan standar mutu dilakukan melalui kegiatan monitoring dan
evaluasi (monev), evaluasi diri,audit, dan benchmarking
Tim Pengendali Mutu mempunyai peranan penting dalam menjamin
keberlangsungan standar mutu secara terus menerus dan berkesinambungan.
Tim ini merupakan tim independen yang melaksanakan dan melakukan audit
mutu secara berkala.

3.2 Saran
Sebaiknya memuaskan pelanggan, baik yang eksternal maupun yang
internal dimana diperlu kwalitas Pelayanan Sesuai kebutuhan Dan atau
Keinginan pelanggan ( sesuai antara harapan/ keinginan degan kenyataan )

39
DAFTAR PUSTAKA

Darmadi, Hamid. 2007. Dasar Konsep Pendidikan Moral. Bandung :


Alfabeta.
Dewantoro, Ki Hajar. 1962. Bagian Pertama: Pendidikan. Jogjakarta :
Taman Siswa.
Edward Sallis. 2006. Total Quality Management In Education (alih
Bahasa Ahmad Ali Riyadi ). Jogjakarta : IRCiSoD
Eti Rochaety,dkk.2005 . Sistem Informamsi Manajemen Pendidikan.
Jakarta : bumi Aksara
Indra Djati Sidi.2003. Menuju Masyarakat Belajar. Jakarta : Logos
Ismaun. 2007. Filsafat Administrasi Pendidikan. Bandung: Universitas
Pendidikan.
Lalu Sumayang.2003. Manajemen produksi dan Operasi. Jakarta :
Salemba Empat
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia..1991. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta :Balai Pustaka
Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Kloang klede Putra
Timur
Sagala,Syaiful.2005.Administrasi Pendidikan Kontemporer. Bandung:
Alfabeta
Sudarwan Danim.2007.Visi Baru Manajemen Sekolah. Jakarta : Bumi
Aksara
Suyadi Prawirosentono. 2007 . Filosofi Baru tentang Manajemen Mutu
terpadu abad 21. Jakarta : Bumi Aksara
Zamroni. 2007 . Meningkatkan Mutu Sekolah . Jakarta : PSAP Muhamadiy

40

Anda mungkin juga menyukai