Masa : 2021.5
Petunjuk
1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover Buku Jawaban Tugas
(BJT) pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJT dan surat pernyataan kejujuran akademik.
NIM : 820621458
Fakultas : FKIP
1. Saya tidak menerima naskah TR/TK dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi TR/TK
pada laman https://remediasi.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah TR/TK kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan
soal TR/TK .
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya
sebagai pekerjaan saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai
dengan aturan akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan
tidak melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban TR/TK melalui
media apapun, serta tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan
akademik Universitas Terbuka.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari
terdapat pelanggaran atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung
sanksi akademik yang ditetapkan oleh Universitas Terbuka.
Yoseva Victoria
1. Faktor Perkembangan Intelektual Yang Mempengaruhi Moral anak Banyak yang
secara langsung maupun tidak langsung mepengaruhi perkembangan intelektual.
Menurut Ngalim Purwanto (1986) faktor-faktor yang mepengaruhi perkembangan
intelektual antara lain.
a) Faktor pembawaan (genetik)
Banyak teori Sedangkan pengertian moralitas berhubungan dengan keadaan nilai-nilai
moral yang berlaku dalam suatu kelompok sosial atau masyarakat. Jadi,suatu tingkah
laku di katakan bermoral jika tingkah laku itu sesusai dengan nilai-nilai moral yang
berlaku dalam kelompok sosial di mana seseorang itu berada. Nilai moral ini tidak
sama dalam setiap masyarakat. Karena pada umumnya nilai moral ini di pengaruhi
oleh kebudayaan dari kelompok atau masyarakat itusendiri.
b) Faktor gizi
Perkembangan intelektual baik dari segi kualitas maupun kuantitas tidak terlepas dari
pengaruh factor gizi. Kuat atau lemahnya fungsi intelegensi juga ditentukan oleh gizi
yang memberikan energi/tenaga bagi anak sehingga dapat tumbuh dan berkembang
dengan baik. Kebutuhan akan makanan bernilai gizi tinggi (gizi berimbang) terutama
yang besar pengaruhnya pada perkembangan intelegensiialah pada masa prenatal
(anak dalam kandungan) hingga usia balita, sedangkan usia di atas lima tahun
pengaruhnya tidak signifikan lagi.
c) Faktor kematangan
Perkembangan fungsi intelegensi dipengaruhi oleh kematangan organ intelegensi itu
sendiri.Menurut piaget (dalam mudjiran, 2007) seorang psikologi dari swiss membuat
empat pentahapan kematangan dalam perkembangan intelegensi. Tahap pertama
disebut periode sensorik motorik (0-2 tahun), tahap kedua disebut periode
preoperasional (2-7 tahun), tahap ketiga disebut periode operasional konkret (7-11
tahun), dan tahap ke empat disebut periode operasional formal (11-16
tahun).Pendapat Piaget (dalam mudjiran, 2007) membuktikan bahwa semakin
bertambah usia seseorang, intelegensinya makin berfungsi dengan sempurna. Ini
berarti factor kematangan mempengaruhi struktur intelegensi, sehingga menimbulkan
perubahan-perubahan kualitatif dari fungsi intelegensi. Perkembangan intelegensi
semakin meningkat usia ke arah dewasa bahkan semakin tua, orang semakin cermat
menganalisis suatu persoalan karena didukung oleh pengalaman-pengalaman hidupnya.
d) Faktor Pembentukan
Pendidkan dan latihan yang bersifat kognitif dapat memberikan sumbangan terhadap
fungsi intelegensi seseorang. Misalnya, orang tua yang menyediakan fasilitas sarana
seperti bahan bacaan majalah anak-anak dan sarana bermain yang memadai. Semua ini
dapat membentuk anak dengan meningkatkan fungsi dan kualitas pikirannya. Situasi
ini akan meningkatkan perkembangan intelegensi anak disbanding anak seusianya.
e) Kebebasan Psikologis
Perlu dikembangkan kebebasan psikologis pada anak agar intelegensinya berkembang
dengan baik. Orang tua atau orang dewasa lainnya yang suka mengatur, mendikte,
membatasi anak untuk berpikir dan melakukan sesuatu, membuat kecerdasan anak
tidak berfungsi dan tidak berkembang dengan baik, terutama aspek kreativitasnya.
Sebaliknya, anak yang memiliki kebesan untuk berpendapat, tanpa disertai perasaan
takut atau cemas, dapat merangsang berkembangnya kreativitas dan pola pikir. Mereka
bebas memilih cara (metode) tertentu dalam memecahkan persoalan.Hal ini
mempunyai sumbangan yang berarti dalam perkembangan intelegensi.
2. Skenario pembelajaran untuk melatih duduk dan fokus pada anak autis
menggunakan teori A-B-C (Antecendent-Behavior-Consequence) dari Lovass :
3. Cara bu Lince melakukan hal seperti itu adalah hal yang kurang benar.
Mengapa ?Karena pada anak seumur 9 tahun seperti marcel, dia mulai mampu
berpikir deduktif, bermain dan belajar menurut peraturan yang ada. Dimensi
psikososial yang muncul pada masa ini adalah: sense of industry sense of
inferiority. Anak didorong untuk membuat, melakukan dan mengerjakan
dengan benda-benda yang praktis, dan mengerjakannya sampai selesai
sehingga menghasilkan sesuatu. Berdasarkan hasilnya mereka dihargai dan
bila perlu diberi hadiah. Dengan demikian rasa/sifat ingin menghasilkan
sesuatu dapat dikembangkan.Pada usia sekolah dasar ini dunia anak bukan
hanya lingkungan rumah saja melainkan mencakup juga lembaga-lembaga
lain yang mempunyai peranan penting dalam perkembangan individu
Pengalaman pengalaman sekolah anak mempengaruhi industry dan inferiority
anak Anak dengan IQ 80 atau 90 akan mempunyai pengaisman sekolah yang
kurang memuaskan walaupun sifat industri dipupuk dan dikembangkan di
rumah Ini dapat menimbulkan rasa inferiority (rasa tidak mampu
keseimbangan industry dan inferiorits bukan hanya bergantung kepada orang
tuanya, tetapI dipengaruhi pula oleh orang-orang dewasa lain yang dekat dan
berhubungan dengan anak.Sedangkan pada Timothy sendiri, anak seumuran
dia sudah menuju kematangan fisik dan mental. Ia mempunyai perasaan-
perasaan dan keinginan keinginan baru sebagai akibat perubahan tubuhnya.
Pandangan dan pemikirannya tentang dunia sekelilingnya mengalami
perkembangan. la mulai dapat berpikir tentang pikiran orang lain. Ia berpikir
pula apa yang dipikirkan orang lain tentang dirinya. Ia mulai mengerti tentang
keluarga yang ideal, agama, dan masyarakat, yang dapat diperbandingkannya
dengan apa yang dialaminya sendiri. Pada masa ini remaja harus dapat
mengintegrasikan apa yang telah dialami dan dipelajarinya tentang dirinya
sebagai anak siswa teman, anggota pramuka, dan lain sebagainya menjadi
suatu kesatuan sehingga menunjukkan peran orang tua yang pada masa lalu
berpengaruh secara langsung pada krisis perkembangan, maka pada masa ini
pengaruhnya tidak langsung. Jika anak mencapai masa remaja dengan rasa
terima kasih kepada orang tua. dengan penuh kepercayaan, mempunyai
autonomy berinisiatif, memiliki sifat-sifat industri. maka kesempatannya
kepada ego identiti sudah berkembang.
4. Konsep untuk firza adalah konsep belajar untuk tuna netra :Metode Belajar Anak
Tunanetra Anak tunanetra membutuhkan metode pembelajaran khusus. Menurut
Smart (2010), prinsip-prinsip pembelajaran pada anak tunanetra yang perlu
diperhatikan adalah sebagai berikut:
Prinsip Individual. Prinsip individual yakni suatu kondisi dimana guru harus
memperhatikan setiap perbedaan yang dimiliki oleh peserta didik tunanetra. Seperti
perbedaan umum, mental, fisik, kesehatan dan tingkat ketunanetraan masing-masing
siswa.
Prinsip Pengalaman Pengindraan. Pengalaman pengindraan siswa tunanetra sangat
penting bagi pemahaman yang akan mereka peroleh. Siswa membutuhkan
pengalaman nyata dari apa yang mereka pelajari. Dengan demikian strategi
pembelajaran guru harus memungkinkan adanya pengalaman langsung siswa
tunanetra terkait materi yang mereka pelajari.
Prinsip Totalitas. Prinsip totalitas maksudnya pembelajaran yang diterapkan pada
siswa tunanetra hendaknya menggunakan seluruh fungsi indra yang masih berfungsi
dengan baik pada diri mereka. Indra ini digunakan oleh guru untuk mengenali objek
yang dipelajari siswa secara utuh dan menyeluruh. Misalnya seorang tunanetra ingin
mengenali bentuk burung, pembelajaran yang diterapkan harus dapat memberikan
informasi yang utuh dan baik mengenai bentuk, ukuran, sifat permukaan,
kehangatan, suara dan ciri khas burung tersebut. Sehingga anak mampu mengenali
objek secara sempurna.
Prinsip Aktivitas Mandiri (Selfactivity). Dalam proses pembelajaran guru dapat
menjadi fasilitator dan motivator anak untuk dapat belajar secara aktif dan mandiri.
Dalam prinsip ini proses pembelajaran bukan sekedar mendengar dan mencatat,
akan tetapi juga ikut merasakan dan mengalaminya secara langsung.
Keunikan setiap anak merupakan landasan bagi pendidikan inklusif Suatu sistem yang
memungkinkan anak meraih optimalisasi potensinya Sebagai pendidik tidak hanya
membimbing anak dalam waktu yang relatif singkat dan padat dalam alur pembelajaran,
akan tetap membimbingnya sampai anak menemukan kemandiriannya.Pendidikan inklusif
merupakan ideologi atau cita-cita yang ingin dicapai. Pendidikan inklusif harus menjadi
arah dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan secara keseluruhan. Oleh karena itu
pendidikan inklusif tidak diartikan sebagai model pendidikan atau pendekatan pendidikan
yang memasukkan anak penyandang cacat ke sekolah reguler, tetapi bagaimana pendidikan
itu dapat mengakomodasi kebutuhan peserta didik yang beragam dalam kelas yang sama.
Konsekuensi dari pandangan bahwa pendidikan inklusif itu sebagai ideologi dan cita-cita
bukan sebagai model, maka akan terjadi keragaman dalam implementasinya, antara
negara yang satu dengan yang lainnya, antara daerah yang satu dengan yang lainnya,
atau bahkan antara sekolah yang satu dengan sekolah lainnya. Proses menuju pendidikan
inklusif akan sangat tergantung kepada sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing
negara, daerah atau sekolah. Meskipun terjadi keragaman dalam implementasi, tidak ada
perbedaan filosofi dan konsep yang digunakannya, karena berangkat dari sumber yang
sama. Untuk memperkenalkan pendidikan inklusif menuju pendidikan yang berkualitas
diperlukan adanya perubahan opini, pemahaman, dan sikap para penyelenggara pendidikan
(kepala sekolah, guru, administrator/ pengambil kebijakan pendidikan, orang tua, dan
masyarakat pada umumnya) terhadap anak dan pendidikannya, sejalan dengan pendirian
pendidikan kebutuhan khusus dan pendidikan inklusif Sosialisasi pendidikan inklusif
kepada masyarakat, diperlukan strategi dan metode yang tepat dan sistematik agar tidak
terjadi resistensi dan kesalahpahaman. Sebagai langkah awal dapat ditempuh dengan mulai
memperkenalkan konsep sekolah yang ramah dan terbuka (welcoming school) sebagai
sekolah masa depan dan guru yang ramah (welcoming teachers) kepada penyelenggara dan
pengambil kebijakan pendidikan Pendidikan inklusif menghendaki penyatuan bagi semua
anak tanpa kecuali ke dalam program program sekolah reguler semua sekolah harus dapat
memberi perlakuan yang bersifat terbuka terhadap kehadiran setiap peserta didik apapun
kondisinya.