Mengapa Wirausahawan di Indonesia Masih Kalah dengan Negara Lain
Istilah kewirausahaan (interpreneur) pertama kali di perkenalkan pada awal abad ke 18 oleh ekonom prancis, Ricard Cantillon. Menurutnya, enterpreneur adalah agent who buys of production at certain prices in order to combine them (agen yang membeli produksi dengan harga tertentu untuk menggabungkannya). Adapun makna secara etimologis, kewirausahaan adalah padanan kata dari enterpreneurship dalam bahasa inggris, unternehmer dalam bahasa jerman. Sedangkan di indonesia di beri nama kewirausahaan. yang berarti peluang, pengambil resiko, Kontraktor, pengusaha (orang yang mengusahakan suatu pekerjaan tertentu) dan pencipta yang menjual hasil ciptaanya. Dibandingkan dengan negara-negara lain, perkembangan kewirausahaan di Indonesia masih sangat kurang yaitu dibawah 2%. Sebagai pembanding, kewirausahaan di Amerika Serikat tercatat mencapai 11 persen dari total penduduknya, Singapura sebanyak 7 persen, dan Malaysia sebanyak 5 persen. Jadi, pengembangan SDM dengan kompetisi semacam ini dari para generasi muda tepat dan relevan untuk membibitkan para pelajar agar menjadi wirausaha dan menciptakan lapangan kerja. Kewirausahaan di Indonesia belum sepenuhnya memberikan sumbangan positif terhadap kecerdasan dan kesejahteraan bangsa, padahal potensi wirausaha di Indonesia sangat besar terutama jika dilihat dari data jumlah usaha kecil menengah yang ada. Sampai dengan tahun 2006, menurut data BPS (Biro Pusat Statistik), di Indonesia terdapat 48,9 juta UKM (Usaha Kecil dan Menengah) yang menyerap sekitar 80% dari tenaga kerja serta menyumbang 62% pada PDB (diluar migas). Data tersebut memberikan gambaran betapa besarnya aktivitas kewirausahaan (yang dicerminkan banyaknya UKM) di Indonesia dan dampaknya bagi kemajuan ekonomi bangsa, terutama pasca krisis moneter 1998. Tetapi sayangnya potensi yang masih besar ini belum dimanfaatkan secara optimal, masih banyak masalah pengangguran dan masyarakat miskin serta pendapatan rakyat Indonesia yang dibawah garis kemiskinan.
Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki membenarkan jumlah wirausaha
Indonesia masih rendah. Untuk itu, perlu mendorong para pengusaha muda untuk menggunakan teknologi berbasis tinggi. Hal ini dilakukan guna mendorong Indonesia masuk ke Global Value Chain. Presiden Joko Widodo mengemukakan alasan terkait masih sedikitnya jumlah pengusaha di Indonesia dibandingkan negara lain di kawasan ASEAN. Hal tersebut disebabkan karena ketakutan masyarakat di Tanah Air untuk bersaing atau berkompetisi. Oleh karena itu menurut dia, modal semangat untuk berwirausaha saja tidak cukup tetapi seseorang harus mampu merespon perkembangan zaman. Presiden Jokowi mencontohkan dunia berubah dalam hitungan detik termasuk kemajuan teknologi yang menjadikan dunia seolah sudah tanpa batas. Kita tahu sekarang berjualan kadang-kadang sudah tidak langsung di pasar atau mal, tapi e-commerce, online store semua tersedia dari mulai kelas internasional seperti Alibaba, e-bay, Lazada kemudian yang kita juga ada Bukalapak, Traveloka, Blibli, dan juga yang start up yang sudah mulai kita kenal. Selain kemajuan teknologi, ia menekankan rantai pasok bahan baku produk saat ini sudah sangat global sehingga tidak mungkin lagi untuk dibatasi. Apalagi dengan adanya sosial media yang semakin terbuka sehingga segala sesuatu tersaji sangat cepat tanpa mungkin untuk dibendung lagi. Dalam situasi perubahan yang sangat cepat pilihan hanya dua kita mau yang terbuka atau tertutup. Tapi di manapun negara sama saja pilihannya hanya dua itu saja. Pemerintah terus menggenjot pertumbuhan wirausaha Indonesia sehingga bisa menjadi seperti negara maju yang pertumbuhan ekonominya dimotori oleh wiraswasta. Menteri Koperasi dan UKM, Syarif Hasan, mengatakan sebuah negara maju ialah negara yang memiliki 2 persen wirausaha dari jumlah penduduk. Maka dari itu pemerintah berusaha mencapai target tersebut. Saat ini Indonesia hanya memiliki 1,56 persen wirausaha dari total penduduknya. Amerika saja sekitar 12 persen, Jepang 10 persen, Singapura 7 persen. Kita masih jauh. Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim juga mendorong mahasiswa untuk bercita-cita menjadi wirausahawan. Bukan hanya berambisi menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Wakil Rektor Universitas Indonesia Bambang Wibawarta mengakui, sistem
pendidikan di Indonesia kurang sukses menanamkan kesadaran berwirausaha. Dampaknya, jumlah masyarakat berminat menjadi pengusaha sampai sekarang masih minim. "Wirausaha itu harus dibangun melalui budaya kita, hal itu kemudian didampingi dengan ilmu pengetahuan, sayangnya kurikulum 2013 yang baru ini masih belum jelas, kacau, apalagi mengenai ilmu kesenian dan budayanya," kata Bambang.
Zimmerer, menyatakan bahwa salah satu faktor pendorong
pertumbuhan kewirausahaan di suatu negara terletak pada peran universitas
melalui penyelenggaraan pendidikan kewirausahaan. Pihak universitas
bertanggung jawab dalam mendidik dan memberikan kemampuan wirausaha
kepada para lulusannya dan memberikan motivasi untuk berani memilih
berwirausaha.
Akibat dari minimnya kesadaran berwirausaha, lulusan sekolah di negara ini,
menurut Bambang kurang bermental baja dalam pekerjaan. "Lebih cenderung melahirkan orang-orang yang pandai membuat perencanaan dibandingkan orang yang tipe pekerja."
Menurut Ramayah dan Harun, niat berwirausaha didefinisikan sebagai
tendensi keinginan individu untuk melakukan tindakan wirausaha dengan
peluang bisnis dan pengambilan risiko. Kegiatan kewirausahaan sangat
ditentukan oleh niat individu itu sendiri. Orang-orang tidak akan menjadi
pengusaha secara tiba-tiba tanpa pemicu tertentu.
Dengan dibekali kewirausahaan, sarjana dapat menjadi individu yang mandiri
sekaligus membuka kesempatan kerja bagi yang lain. Permasalahan bangsa yang menyangkut tingginya jumlah penggangguran terdidik (educated unemployment) merupakan tantangan tersendiri bagi perguruan tinggi yang bersangkutan. Sejak dini, di awal seseorang memasuki dunia pendidikan tinggi sudah selayaknya memperoleh kegiatan ekstra kurikuler dilengkapi aktivitas intra kurikuler yang saling menunjang proses sosialisasi kewirausahaan. Mahasiswa perlu dilibatkan secara partisipatif dalam ceramah interaktif, diskusi terfokus, pelatihan, demonstrasi cara, pameran, magang dan studi banding yang memperkaya perilaku dalam adopsi kewirausahaan. Disamping itu, upaya pembentukan jalinan kemitraan dengan berbagai pihak terkait yang mendukung sosialisasi kewirausahaan pada kalangan mahasiswa perlu terus dilakukan secara intensif. Program lain yang potensial dilaksanakan ialah kampanye nasional yang bergerak dalam rangka memasyarakatkan semangat, jiwa dan perilaku kewirausahaan mahasiswa. Peran perguruan tinggi dituntut semakin konkrit dalam menggiatkan jiwa, semangat dan perilaku kewirausahaan mahasiswa. Sudah saatnya kewirausahaan untuk mahasiswa bukan lagi hanya slogan belaka. Akan tetapi, yang lebih penting adalah menumbuhkan kesadaran bahwa kewirausahaan bagian integral dan tak terpisahkan dari eksistensi mahasiswa agar dapat bergerak menuju pada suatu kenyataan yang lebih baik. Hal ini tentu perlu didukung bersama oleh semua komponen anak bangsa. Pengembangan jiwa, semangat dan perilaku kewirausahaan pada mahasiswa merupakan salah satu kebutuhan mendasar dan syarat penting bagi Bangsa Indonesia sehubungan dengan tujuan peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang produktif, kreatif dan inovatif. Berbagai permasalahan yang merintangi pengembangan kewirausahaan mahasiswa perlu diantisipasi secara bijak dalam rangka menemukan solusi yang tepat. Difusi semangat kewirausahaan pada mahasiswa membutuhkan komitmen dan kerjasama yang integratif antar berbagai pihak terkait. Proses pengembangan kewirausahaan pada mahasiswa perlu dilaksanakan secara berkelanjutan sebagai proses sejak dini memasuki pendidikan di perguruan tinggi, on going sampai mencapai kelulusan sebagai sarjana. Jadikan kewirausahaan sebagai jiwa, semangat dan perilaku mahasiswa pada khususnya dan mentalitas masyarakat Indonesia pada umumnya. Momen ini mestinya jangan sampai terputus dari mulai proses pembentukan mind set dan awareness kewirausahaan, rencana aksi dan praktek kewirausahaan sampai pada tingkat realisasi aksi dan sekaligus evaluasi secara terpadu.