Anda di halaman 1dari 62

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI

TRIANANDRA

Drs. Hardjadinata, BAc. MM. MSi.


Wakil Ketua III - Bidang Kemahasiswaan & Kerjasama

Jakarta, 23 Maret 2021


I. PENGANTAR
Pada prinsipnya setiap orang pribadi yang memenuhi kewajiban subjektif dan
objektifnya, wajib mendaftarkan diwi sebagai Wajib Pajak (WP) berdasarkan sistem
“self assessment”. Ketika orang pribadi mendaftarkan diri mendapatkan Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP)., selanjutnya oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) akan dicatat
sebagai WP dan diberikan NPWP, itu terdiri dari 15 digit angka spesifik yang hanya
dimiliki oleh WP yang bersangkutan. NPWP terdiri dari 15 digit, 9 digit pertama
merupakan identitas WP dan 6 digit berikutnya merupakan kode adnibistrasi
perpajakan. Contohnya: 01.234.567.8.411.000
Kewajiban umum perpajakan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP ) adalah
menghitung PPh WPOP selama setahun dan menyetorkan PPh dengan sarana Surat
Setoran Pajak (SSP) jika terdapat PPh yang “kurang bayar” serta melaporkan pajak
dengan sarana Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh OP.
PPh dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam tahun pajak.
PPh yang diakui berdasarkan basis kas (diterima) atau basis akrual (diperoleh atau
yang akan diterima), sedangkan tahun pajak adalah tahun takwim, namun WP dapat
menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim, sepanjang tahun
buku tersebut meliputi jangka waktu 12 bulan.

2
II. SUBJEK PAJAK ORANG PRIBADI
Pasal 2 ayat (1) UU PPh, menyebutkan bahwa yang dimaksud Subjek Pajak adalah:
1. Orang pribadi dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan
yang berhak;
2. Badan; dan
3. Bentuk Usaha Tetap.
Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia
ataupun di luar Indonesia, sedangkan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris, hal
ini dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut
tetap dapat dilaksanakan.
SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI DAN SUBJEK PAJAK LUAR NEGERI
Pasal 2 UU PPh subjek pajak orang pribadi terdiri dari: Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN),
dan Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN).
Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN):
1. Orang pribadi yang: (a) bertempat tinggal di Indonesia; atau (b) berada di Indonesia
lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan; atau (c) dalam suatu tahun pajak
berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.
2. Kewajiban Pajak Subjektif. Kewajiban pajak subjekifnya dimulai pada saat orang pribadi
tersebut dilahirkan, berada atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan
berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-
lamanya.
3
II. SUBJEK PAJAK ORANG PRIBADI
Subjek Pajak Dalam Negeri:
3. Pengenaan dan konsekwensi perpajakan: Dikenai pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia berdasarkan
penghasilan neto dengan tarif umum dan wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh.
Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN):
1. Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) merupakan subjek pajak yang dapat terdiri dari: (a)
Orang pribadi yang tinggal kurang dari 183 hari; atau (b) Orang pribadi yang tidak
tinggal di Indonesia atau badam asing yang memperoleh penghasilan dari
Indonesia.
2. SPLN, adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada
di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dan tidak berniat menetap di Indonesia
dengan memperoleh penghasilan dari Indonesia.

4
II. SUBJEK PAJAK ORANG PRIBADI
BENTUK USAHA TETAP (BUT) BAGI ORANG PRIBADI SEBAGAI SPLN
Dalam UU PPh, WP Badan berupa BUT dipisahkan dari WP Badan. BUT adalah bentuk
usaha yang dipergunakan oleh:
 Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan; atau
 Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa: (a)
Tempat kedudukan manajemen; (b) Cabang perusahaan; (c) Kantor perwakilan; (d)
Gedung kantor; (e) Pabrik; (f) Bengkel; (g) Gudang; (h) Ruang untuk promosi dan
penjualan; (i) Pertambangan dan penggalian sumber alam; (j) Wilayah kerja
pertambangan minyak dan gas bumi; (k) Perikanan - peternakan - pertanian -
perkebunan - dan kehutanan; (l) Proyek kontruksi - instalasi – atau proyek perakitan; (m)
Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan
lebih dari 60 hari dalam jangka 12 bulan; (n) Orang atau badan yang bertindak selaku
agen yang kedudukannya tidak bebas; (o) Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi
asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; (p) Komputer, agen elektronik atau
peralatan otomatis yang dimiliki, disewa atau digunakan oleh penyelenggara transaksi
elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

5
II. SUBJEK PAJAK ORANG PRIBADI

NON SUBJEK PAJAK ORANG PRIBADI


Sesuai dengan Pasal 3 UU PPh, yang tidak termasuk subjek adalah:
1. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat atau pejabat-pejabat lain dari
negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja
dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga negara
Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di
luar jabatan atau pekerjaan tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan
perlukan timbal balik.
Apabila salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, maka orang tersebut tidak dapat
dikecualikan sebagai Subjek Pajak Orang Pribadi.
Contoh: duta besar, konsulat, atase beserta keluarganya.
2. Pejabat-pejabat perwakilan organisasiinternasional yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan
tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia.
Contoh: staf organisasi UNESCO, ILO.

6
II. SUBJEK PAJAK ORANG PRIBADI
WARISAN YANG BELUM TERBAGI
1. Pengertaian subjek pajak untuk warisan yang belum terbagi suatu kesatuan
menggantikan yang berhak:
a. Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh pribadi sebagai SPDN.
b. Warisan yang belum terbagi ini dianggap sebagai SPDN dalam pengertian UU
PPh mengikuti status pewaris. Untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban
perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang
berhak. Apabila warisan tersebut telah dibagi, kewajiban perpajakannya beralih
kepada ahli waris.
c. Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai SPLN
yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk
usaha tetap di Indonesia.
Warisan seperti ini tidak dianggap sebagai Subjek Pajak pengganti karena
pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau yang diperoleh orang
pribadi dimaksud melekat pada objeknya sebagai satu kesatuan menggantikan
yang berhak.
2, Kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi dimulai pada saat timbulnya
warisan yang belum terbagi tersebut dan berakhir pada saat warisan tersebut
selesai dibagi.
7
III. PENGHASILAN ORANG PRIBADI
PENGERTIAN PENGHASILAN
Pasal 4 UU PPh, penghasilan didefinisikan sebagai:
• setiap kemampuan tambahan ekonomis
• yang diterima (cash basic) atau diperoleh (accrual basic) WP
• baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia
• yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan WP yang
bersangkutan
• dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Pengertian dari penghasilan bruto adalah untuk penghasilan yang diterima oleh WP dalam
bentuk uang, natura/barang serta kenimkatan dengan nama apapun selama setahun.
Penghasilan ini jika dikelompokan berdasarkan sumber penghasilan maka terdapat
beberapa kategori yaitu penghasilan yang berasal dari pekerjaan, penghasilan dari usaha,
penghasilan dari investasi, dan penghasilan di luar itu atau disebut penghasilan lain-lain.
Pada prinsipnya seluruh penghasilan akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) kecuali
ditentukan lain oleh UU PPh.
UU PPh menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu
bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh WP dari mana pun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau
menambah kekayaan WP tersebut.
8
III. PENGHASILAN ORANG PRIBADI
PENGERTIAN PENGHASILAN
Pasal 4 UU PPh terdiri dari 3 ayat dibagi menjadi seperti gambar di bawah ini:

Tidak Dikenakan
PPh Final (Pasal 4(1))
Objek
Dikenakan
Penghasilan PPh Final (Pasal 4(2))
Non Objek

Pengertian penghasilan dalam UU PPh tidak memperhatikan adanya penghasilan dari


sumber tertentu tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh WP merupakan ukuran terbaik
mengenai kemampuan WP tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang
diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.

9
III. PENGHASILAN ORANG PRIBADI
SUMBER PENGHASILAN BAGI ORANG PRIBADI
Dlihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada WP Orang Pribadi,
penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:
1. Penghasilan Dalam Negeri
a. Penghasilan dari usaha dan kegiatan, yang terdiri dari usaha dagang, jasa, industri,
serta lainnya seperti: peternakan, pertanian, perikanan, dan perkebunan sesuai
dengan KLU (Klasifikasi Lapangan Usaha) yang telah ditetapkan oleh KPP tempat WP
terdaftar.
b. Penghasilan dari pekerjaan bebas, yaitu pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi
yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang
tidak terikat oleh suatu hubungan kerja, seperti praktek dokter, notaris, aktuaris,
akuntan, dan pengacara.
c. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja, sebagaimana tentang penggantian
atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh.
d. Penghasilan dari modal, berupa harta gerak atau pun harta tak gerak seperti: (1)
bunga, (2) dividen, (3) royalty, (4) sewa, dan (5) keuntungan penjualan harta atau hak
yang tidak dipergunakan untuk usaha.
e. Penghasilan lain-lain tentang: (1) hadiah dan penghargaan; (2) penerimaan kembali
pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya, dan pembayaran tambahan
pengembalian pajak; (3) penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; (4)
pembebasan utang; (5) keuntungan karena selisih kurs mata uang asing; dan (6)
tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
10
III. PENGHASILAN ORANG PRIBADI

SUMBER PENGHASILAN BAGI ORANG PRIBADI


Dlihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada WP Orang Pribadi,
penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:
2. Penghasilan Luar Negeri
Menurut definisi penghasilan di atas, UU PPh menganut prinsip Worldwide Income.
Artinya, penghasilan yang berasal dari luar negeri dengan nama dan dalam bentuk
apa pun harus dilaporkan di Indonesia.

11
III. PENGHASILAN ORANG PRIBADI
PENGHASILAN YANG MENJADI OBJEK PPh
1. Penghasilan atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upaj tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam UU PPh.
Pengecualian ini diatur dalam Pasal 4 ayat 3d UU PPh termasuk memori penjelasannya.
Lihat Non Objek PPh Orang Pribadi, khususnya penggantian atau imbalan sehubungan
dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau
kenikmatan (benefit in kind) dari WP atau Pemerintah.
Jika kedua klausul digabungkan perbedaan objek dan non objek pajak terlihat dalam
tabel ini:
Jenis Penghasilan
Pemberi Penghasilan Benefit in cash (BIC) Benefit in kind (BIK)
 Pemerintah Objek Pajak Non Objek Pajak
 Non Wajib Pajak Objek Pajak Objek Pajak
 WP yang dikenakan PPh Final Objek Pajak Objek Pajak
 WP yang dikenakan PPh berdasarkan Objek Pajak Objek Pajak
norma penghitungan khusus (deemed
profit ./ dianggap untung)
 WP Lainnya Objek Pajak Non Objek Pajak

12
III. PENGHASILAN ORANG PRIBADI
PENGHASILAN YANG MENJADI OBJEK PPh
1. Lanjutan ........
Pemberi penghasilan Non WP yang dimaksud di dalam tabel di atas diantaranya
adalah kantor perwakilan negara asing dan organisasi internasional yang
digolongkan sebagai non subjek pajak menurut Kepmenkeu. Untuk WP yang
dikenakan PPh Final contaohnya: perusahaan yang bergerak di dalam persewaan
tanah/bangunan, sedangkan WP dengan deemed profit (dianggap untung)
diantaranya adalah:
 Perurahaan carter pesawat (475/KMK.04/1996)
 Perusahaan pelayaran dalam negeri (416/KMK.04/1996)
 WP Luar Negeri (WPLN) yang bergerak di bidang pelayaran/penerbangan dalam
jalur internasional (417/KMK.04/1995); dan
 WPLN yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia
(634/KMK.04/1994)
Pengertian deemed profit ini sesuai dengan Pasal 13 UU PPh yang pengaturannya
lebih lanjut melalui Keputusan Menteri Keuangan (Kemenkeu).

13
III. PENGHASILAN ORANG PRIBADI
PENGHASILAN YANG MENJADI OBJEK PPh
2. Hadiah dan undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan
Hadiah diatur secara terpisah di dalam UU PPh, termasuk peraturan pelaksanaannya. Berikut
ini tabel yang menjelaskan posisi hadiah sebagai objek pajak dan non objek pajak.
Jenis Objek Pajak Keterangan Tarif Referensi
a. Hadiah langsung Non Objek Pajak -.- Keputusan Dirjek
Pajak No.395/PJ/2001
b. Hadiah Undian Dipotong PPh Final 25% PP No.132/2000
c. Hadiah/penghargaan Dipotong PPh Pasal 21 Tarif Peraturan Dirjen Pajak
sehubungan dengan Progresif Per-31/PJ/2012
pekerjaan , kegiatan, atau sesuai
perlombaan yang Pasal 17
diperoleh/diterima WP UU PPh
Orang Pribadi
a. Hadiah/penghargaan yang Dipotong PPh Pasal 26 20% UU PPh
diperoleh/diterima oleh
WPLN

14
III. PENGHASILAN ORANG PRIBADI
PENGHASILAN YANG MENJADI OBJEK PPh
3. Laba Usaha
4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
a. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
b. keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena
pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh
perseroan;
c. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, persekutuan, dan
badan lainnya, pemecahan, atau pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan
nama dan dalam bentuk apapun;
d. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali
yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus atau sederajat,
dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan,
koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil yang ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
5. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan
tanda turut serta dalam pembiayaan permodalan dalam perusahaan pertambangan.
6. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya, dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak.
15
III. PENGHASILAN ORANG PRIBADI
PENGHASILAN YANG MENJADI OBJEK PPh
7. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
8. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk dividen dari perusahaan
suransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
9. Royalti.
10. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
11. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
12. Keuntungan karena pembebasan utang.
13. Keuntungan selisih kurs mata uang asing.
14. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
15. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
16. Premi asuransi.
17. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
Wajib Pajak yang menjalankan usaha / pekerjaan bebas.
18. Penghasilan dari usaha yang berbasis syariah.
19. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam UU KUP.
20. Surplus Bank Indonesia.

16
III. PENGHASILAN ORANG PRIBADI
PENGHASILAN YANG DIKENAI PPh YANG BERSIFAT FINAL
Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya,
penghasilan berupa persewaan tanah dan/atau bangunan, penghasilan deviden
yang diterima oleh WPOP, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya
di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta dengan tanah dan/atau bangunan
serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan
Pemerintah (Lihat Tabel dalam PPh Pasal 4 (2)).
Karakteristik penghasilan yang menjadi Objek PPh Final adalah:
1. Penghasilan yang dikenakan PPh Final tidak perlu digabungkan dengan
penghasilan terutang lain (yang Non Final) dalam penghitungan PPh pada SPT
Tahunan.
2. Jumlah PPh Final yang telah dibayar sendiri atau dipotong pihak lain
sehubungan dengan penghasilan tersebut tidak dapat dikreditkan (non prepaid
taxes).
3. Biaya-biaya yang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang pengenaan PPh-nya bersifat final tidak dapat dikurangkan.

17
III. PENGHASILAN ORANG PRIBADI
PENGHASILAN YANG DIKECUALIKAN DARI OBJEK PPh
Penghasilan bagi WPOP yang dikecualikan dari pengenaan PPh (Bukan Objek PPh) sesuai dengan
Pasal 4 ayat (3) UU PPh adalah:
a. 1. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh
penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk
agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk
atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak,
yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah, dan
2. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
sederajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi,
atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan diantara pihak-pihak yang
bersangkutan.
b. Warisan
c. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari WP atau Pemerintah, kecuali yang
diberikan oleh bukan Wajib Pajak, WP yang dikenakan pajak secara final atau WP yang
menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagimana dimaksud dalam
Pasal 15 UU PPh.
18
III. PENGHASILAN ORANG PRIBADI
PENGHASILAN YANG DIKECUALIKAN DARI OBJEK PPh
Penghasilan bagi WPOP yang dikecualikan dari pengenaan PPh (Bukan Objek PPh) sesuai dengan
Pasal 4 ayat (3) UU PPh adalah:
d. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepda orang pribadi sehubungan dengan asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.
e. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan konditer yang modalnya
tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma,d an kongsi, termasuk
pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.
f. Bea siswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
g. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh BPJS kepada WP tertentu, yang ketentuannya
diatur lebih lanjut atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Contoh Pemahaman Objek PPh
Tuan Hafiz, pegawai di PT, ABC Pusat, selama tahun 2019 memperoleh penghasilan sebagai
berikut : (1) Gaji (Netto), (2) THR, (3) Bunga Tabungan/Deposito, (4) Menyewakan Rumah, (5)
Mendapat pembayaran klaim asuransi kesehatan, (6) Dividen dari PT XYZ, (7) Warisan berupa
tanah 1.000 m2, (8) Hadiah undian bank; (9) Hadiah Juara I Bulutangkis pada perayaan HUT RI,
(10) Sumbangan ketika menikah dari teman-teman kuliah, (11) Sumbangan ketika menikah dari
perusahaan.
Diminta: Menentukan penghasilan yang menjadi Objek Paja Tidak final; Objek Pajak Final; atau
Bukan Objek Pajak.
19
III. PENGHASILAN ORANG PRIBADI
PENGHASILAN YANG DIKECUALIKAN DARI OBJEK PPh
Contoh Pemahaman Objek PPh
No Penghasilan OP Final OP Tdak Bukan OP
Final
1 Gaji -  -
2 THR -  -
3 Bunga deposito  - -
4 Sewa rumah  - -
5 Klaim asuransi kesehatan - - 
6 Dividen  - -
7 Warisan - - 
8 Hadiah undian  - -
9 Hadiah perlombaahn HUT RI -  -
10 Sumbangan teman kulian -  -
11 Sumbangan dari perusahaan -  -

20
IV. PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO
Untuk menghitung besarnya PPh Terutang, WP harus terlebih dahulu mengetahui besarnya
Penghasilan Neto. Besarnya Penghasilan Neto dapat dihitung melalui pembukuan atau
pencatatan. WPOP yang menyelenggarakan pembukuan harus membuat catatan mengenai
Harta, Kewajiban, Modal, Penghasilan, dan Biaya, serta Penjualan dan Pembelian sehingga
dapat dihitung besarnya Pajak Terutang. Penghasilan Neto dari pembukuan ini diperoleh
selah dilakukan krek fikal atau yang dihasilkan dari pembukuan dengan memperhitungkan
biaya-biaya yang dapat dikurangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UU PPh dan
biaya-biaya yang tidak dapat dikurangkan dari Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 UU PPh.
Untuk memberikan kemudahan bagi WPOP yang belum dapat menyelenggarakan
pembukuan dalam menghitung Penghasilan Neto, maka WPOP dapat menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto (selanjutnya disebut dengan Norma) sepanjang memenuhi
kriteria sebagaimana dimaksud Pasal 24 ayat (3) UU PPh, yaitu:
1. WPOP yang melakukan kegiatan usaha atau pekerja bebas,
2. Memiliki peredaran bruto dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp 4,8milyar, dan
3. Menyampaikan pemberitahuan kepada Dirjen Pajak dalam waktu 3 (tiga) bulan pertama
dari tahun pajak yang bersangkutan.
WPOP yang menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma wajib
menyelenggarakan pencatatan yaitu jumlah peredaran atau penerimaan bruto dan/atau
jumlah penghasilan bruto, serta penghasilan yang bukan oebjek PPh atau penghasilan yang
dikenakan PPh bersifat final.
21
IV. PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO
Penghitungan Penghasilan Neto bagi WPOP yang menggunakan Norma dihitung
dengan cara:
PENGHASILAN NETO = PENGHASILAN BRUTO X NORMA

Besarnya persentase Norma dan pengelompokan menurut wilayah untuk WPOP yang
menggunakan Norma diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor: KEP-536/PJ/2000
tentang Nor,a Penghitungan Penghasilan Neto bagi WPOP yang dapat menghitung
Penghasilan Neto dengan menggunakan Norma Penghitungan.
Norma Penghitungan Penghasilan Neto dikelompokan menurut wilayah sebaga
berikut:
1. 10 (sepuluh) Ibu Kota Provinsi yaitu: Medan, Palembang, Jakarta, Bandung,
Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makasar, dan Pontianak.
2. Ibu Kota Provinsi Lainnya.
3. Daerah Lainnya.

22
IV. PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO
Berikut ini contoh daftar persentse Penghasilan Neto berdasarkan PER-17/PJ/2015
yang efektif mulai berlaku bulan Januari 2016, sebagai berikut:

Kode Jenis Usaha 10 Ibu Kota Kota Provinsi Daerah


Provinsi Lainnya Lainnya
18111 Industri percetakan 33 33 33
53200 Kurir 62,5 62,5 62,5
56101 Restoran 36 29 29
61924 Warung internet (Warnet) 22 19 17
66291 Aktuaria 62,5 62,5 62,5
69200 Jasa akuntan, pembukuan, dan 62,5 62,5 62,5
pemeriksa, konsultasi pajak
86201 Praktik dokter umum 62,5 62,5 62,5
96112 Jasa salon kecantikan 43 40 39
78103 Jasa penyaluran tenaga kerja 46 45 42
23
IV. PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO
Contoh: Penghasilan Bruto jasa kantor akuntan publik di kota Jakarta dengan KLU
69200 adalah sebesar Rp 1.000.000.000 dengan persentase Norma 62,5%,
perhitungan pajak yang terutang:
Penghasilan Neto = 62,5% x Tp 1.000.000.000 = Rp 625.000.000
PTKP setahun untuk WPOPsendiri = Rp 54.000.000 (-)
Penghasilan Kena Pajak (PKP) = Rp 571.000.000
Pajak Penghasilan Terutang (PPh Pasal 25/29):
5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000
15% x Rp 200.000.000 = Rp 30.000.000
25% x Rp 250.000.000 = Rp 62.500.000
30% x Rp 71.000.000 = Rp 21.300.000 (+)
Jumlah PPh Teruang = Rp 116,300.000
Tarif Efektif = 116.300.000 / 571.000.000 = 20,37%

Jika KAP sebagai WPOP menyelenggarakan pembukuan dengan biaya setahun sebesar
Rp 300.000.000 atas penghasilan brutonya. Maka Penghasilan Netonya adalah Rp
700.000.000 (Rp 1milyar dikurang 300juta). Maka Total Pajak Terutang adalah Rp
156.000.000 dengan demikian Tarif Efektifnya adalah 22,29%.
24
IV. PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO
PENYESUAIAN FISKAL
Penyesuaian fiskal dimaksudkan untuk menyesuaikan pengasilan komersial menajdi
penghasilan neto fiskal Penghasilan Neto Fiskal ini merupakan dasar penghitungan PPh
Terutag. Penyesuaian fiskal dilakuka atas penghasilan Orang Pribadi yang berasal dari usaha
dan/atau pekerjaan bebas. Penyesuaian fiskal dapat dibedakan menjadi “penyesuaian
fiskal positif” dan “penyesuaian fiskal negatif”:
1. Penyesuaian Fiskal Positif
Penyesuaian fiskal positif akan menyebabkan bertambahnya jumlah PPh Terutang. Jadi,
penyesuaian fiskal positif dapat terjadi karena jumah penghasilan secara fiskal lebih
kecil dari jumlah pengasilan secara komersial atau beban secara komersial lebih lebih
besar dari jumlah yang dapat dikurangkan secara fiskal. Contoh penyesuaian fiskal
positif diantaranya adalah:
a. Biaya yang dibebankan/dikeluarkan untuk kepentingan pribadi WP atau orang yang
menjadi tanggungannya;
b. Premi asuransi kesehatan, asansi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa yang dibayarkan oleh WP;
c. Antian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam
bentuk natura atau kenikmatan;
d. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pihak yang mempunyai
hubungan istimewa sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
e. Harta yang dihibahkan, bantuan, atau sumbangan;
25
IV. PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO
PENYESUAIAN FISKAL
1. Penyesuaian Fiskal Positif
e. Harta yang dihibahkan, bantuan, atau sumbangan;
f. Pajak penghasilan;
g. Gaji ang dibayarkan kepada apemilik;
h. Sanksi administrasi;
i. Selisih penyusutan/amortisasi komersial di atas penyusutan/amortisasi fiskal;
j. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dikenakan
PPh Final dan penghasilan yang tidak termasuk objek Pajak.
2. Penyesuaian Fiskal Negatif
Kebalikan dari penyesuaian Fiskal Positif, Penyesuaian Fiskal Negatif akan menyebabkan
berkurangnya jumlah PPh Terutang. Hal ini dapat disebabkan oleh lebih kecilnya jumlah
penghasilan sea komersial dibanding dengan jumlah penghasilan secara fiskal ataua
karena beban secara komersial lebih besar dari biaya yang dapat dikurangkan secara
fiskal. Contoh Penyesuaian Fiskal Negatif diantaranya adalah:
a. Penghasilan yang dikenakan PPh Final dan penghasilan yang tidak termasuk Objek
Pajak tetapi termasuk dalam peredaran usaha.
b. Selisih penyusutan/amortisasi komersial di bawah penyusutan/amortisasi fiskal.

26
V. PENGURANGAN YANG DIPERBOLEHKAN
PENGURANGAN YANG TERKAIT DENGAN USAHA/PEKERJAAN BEBAS
Pengurangan yang terkait dengan usaha diatur di dalam Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 9
ayat (1) UU PPh. Setiap pengeluaran dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
sepanjang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha dalam hal mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan. Berikut ini adalah rinciannya:
1. Biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
a. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kebiatan
usaha, antara lain:
1) Biaya pembelian bahan;
2) Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,
honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk
uang;
3) Bunga, Sewa, dan Royalti;
4) Biaya perjalanan;
5) Biaya pengolahan limbah;
6) Premi asuransi;
7) Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan;
8) Biaya administrasi; dan
9) Pajak, kecuali Pajak Penghasilan.
27
V. PENGURANGAN YANG DIPERBOLEHKAN
PENGURANGAN YANG TERKAIT DENGAN USAHA/PEKERJAAN BEBAS
1. Biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan amortisasi
atas pengeluaran untuk memperolah hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 tahun sebagaiman a dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 12A;
c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan;
e. Kerugian selisih kurs mata uang asing;
f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
g. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
1) Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
2) WP harus menyerahkan Daftar Piutang Yang Tidak Dapat Ditagih kepada Dirjen
Pajak; dan
3) Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi
pemerintah yang menangani piutang negara atau adanya perjanjian tertulis
mengenai penghapusan piutanhg / pembebasan utang antara kreditur dan debitur
yang bersangkutan atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus,
atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk
jumlah utang tertentu.
28
V. PENGURANGAN YANG DIPERBOLEHKAN
PENGURANGAN YANG TERKAIT DENGAN USAHA/PEKERJAAN BEBAS
1. Biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
4) Syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan
piutang tak tertagih debitur kecilsebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf k; yang pelaksanaanya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
i. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannyadiatur
dengan Peraturan Pemerintah;
j. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia
yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
k. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah; dan
l. Sumbangan dalam rangka pembinaan olah raga yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
2. Biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk
dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan
pembagian sisa hasil usaha koperasi;
b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham,
sekutu, atau anggota;
29
V. PENGURANGAN YANG DIPERBOLEHKAN
PENGURANGAN YANG TERKAIT DENGAN USAHA/PEKERJAAN BEBAS
2. Biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
1) Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang
menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan
pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
2) Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang
dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS);
3) Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS);
4) Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
5) Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
6) Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah
industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang ketentuan dan syarat-
syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna,
dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh WP orang pribadi, kecuali jika dibayar
oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi WP
yang bersangkutan;
30
V. PENGURANGAN YANG DIPERBOLEHKAN
PENGURANGAN YANG TERKAIT DENGAN USAHA/PEKERJAAN BEBAS
2. Biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan
dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi
pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di
daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau
kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan yang dilakukan;
g. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf mserta zakat yang diterima oleh badan
amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau
sumbangan-sumbangan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di
Indonesia., yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;
h. Pajak Penghasilan;
i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan WP atau orang yang
menjadi tanggungannya;

31
V. PENGURANGAN YANG DIPERBOLEHKAN
PENGURANGAN YANG TERKAIT DENGAN USAHA/PEKERJAAN BEBAS
2. Biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
j. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham;
k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sank pidana berupa denda
yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan:
Hubungan usaha pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan antara Pemberi dan Penerima
Jenis Penghasilan Ada Hubungan Tidak Ada Hubungan
Pemberi Penerima Pemberi Penerima
Bantuan sumbangan Dapat Objek Pajak Tidak dapat Non Objek
menjadi biaya menjadi biaya Pajak
Harta hibahan yang Dapat Objek Pajak Tidak dapat Non Objek
diterima oleh: menjadi biaya menjadi biaya Pajak
 Keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus
satu derajat, dan
 Pengusaha kecil yang
ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.
32
V. PENGURANGAN YANG DIPERBOLEHKAN
PENGURANGAN YANG TERKAIT DENGAN USAHA/PEKERJAAN BEBAS
3. Zakat dan Iuran Wajib Keagamaan
Jumlah zakat dan sumbangan keagamaan yang wajib yang dapat dikurangkan adalah
yang nyata-nyata dibayarkan oleh WPOP.
4. Kompensasi Kerugian
Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan Pasal 6 ayat (1) UU PPh didapat
kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak
berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 tahun (Pasal 6 ayat (2) UU PPh).

33
V. PENGURANGAN YANG DIPERBOLEHKAN
PENGURANG YANG TERKAIT DENGAN PEKERJAAN
1. Biaya Jabatan
Yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sebesar 5%
(Lima Persen) dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud Peraturan Menkeu No.
32/PMK .03/2015 dengan jumlah maksimum / setinggi-tingginya yang diperkenankan
sejumlah Rp 6.000.000 setahun atau Rp 500.000 sebulan.
2. Biaya Pensiun
Yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara uang pensiun sebesar
5% dari penghasilan bruti berupa uang pensium dengan jumlah maksimun /
setinggi-tingginya yang diperkenankan sejumlah Rp 2.400.000 setahun atau Rp
200.000 sebulan.
3. Iuran Pensiun / Jaminan Hari Tua
Yaitu iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada Dana
Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan
Penyelenggara Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang dipersamakan
dengan Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan,
untuk lebih rinci tentang pengurang yang terkait dengan pekerjaan WPOP yang
memiliki penghasilan dari pemberi kerja pembahasannya dapat dilihat dalam PPh
Pasal 21.
34
V. PENGURANGAN YANG DIPERBOLEHKAN
PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP)
1. PTKP
Sesuai dengan Pasal 6 ayat (3) UU PPh, kepada orang pribadi sebagai WP Dalam
Negeri diberikan pengurangan berupa PTKP. Berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan No. 101/PMK.010/2016 Tarif PTKP, PTKP dalam setahun ditetapkan:
 Besar PTKP wajib pajak orang pribadi sejumlah Rp 54.000.000
 Tambahan wajib pajak yang sudah menikah sebesar Rp 4.500.000
 PTKP istri yang pendapatannya digabung dengan suami sebanyak Rp 54.000.000
 Tambahan maksimal 3 (tiga) orang untuk tanggungan keluarga sedarah dalam
satu garis keturunan, semenda, atau anak angkat, sejumlah Rp 4.500.000
Contoh keluarga sedarah yang dimaksud dalam poin empat adalah orang tua
kandung, saudara kandung dan anak. Sementara yang dimaksud keluarga semenda
adalah mertua, anak tiri, dan ipar.
2. Beberapa hal lain yang perlu diperhatikan dalam menentukan PTKP adalah:
a. Besarnya PTKP tersebut di atas ditentukan berdasarkan keadaan pada awal
tahun pajak atau bagian tahun pajak (Pasal 7 ayat (2) UU PPh).

35
V. PENGURANGAN YANG DIPERBOLEHKAN
PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP)
2. Beberapa hal lain yang perlu diperhatikan dalam menentukan PTKP adalah:
b. Untuk penghasilan isteri yang digabung tambahan untuk seorang isteri (hanya
seorang isteri) dilakukan dalam hal isteri:
1) Bukar karyawati, tetapi mempunyai penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas
yang tidak ada hubungannya dengan usaha/pekerjaan bebas suami, anak /
anak angkat yang belum dewasa.
2) Bekerja sebagai karyawati pada pemberi kerja yang bukan sebagai Pemotong
Pajak walaupun tidak mempunyai penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas.
3) Bekerja sebagai karyawati pada lebih dari 1 (satu) pemberi kerja.
c. Warisan yang belum terbagi sebagai WP menggantikan yang berhak tidak
memperoleh pengurangan PTKP;
d. PTKP bagi WP masing-masing suami isteri yang hidup berpisah untuk diri
masing-masing WP diperlakukan seperti WP Tidak Kawin, sedangkan
tanggungan sesuai dengan kenyataan sebenarnya yang diperkenankan.

36
V. PENGURANGAN YANG DIPERBOLEHKAN
PENGHASILAN WANITA KAWIN DAN ANAK BELUM DEWASA
1. Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak
atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari tahun-
tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (2) UU PPh dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suami, kecuali:
a. Penghasilan tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi
kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21, dan
b. Pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha/pekerjaan bebas suami
atau anggota keluarga lainnya.
Contoh-contoh kasus diantaranya:
 Suami bekerja sebagai karyawan PT.X, sedangkan isteri sebagai karyawati PT.Y,
maka penghasilan isteri tidak digabung kepada penghasilan suami;
 Suami bekerja sebagai karyawan PT.X, sedangkan isteri punya usaha salon, maka
penghasilan isteri dari usaha salon harus digabung kepada penghasilan suami;
 Suami bekerja sebagai karyawan PT.X, sedangkan isteri bekerja sebagai
karyawati di PT.Y dan karyawati dari PT.Z, maka penghasilan isteri dari PT.Y dan
PT.Z harus digabung kepada penghasilan suami;
 Suami bekerja sebagai karyawan PT.X, sedangkan isteri bekerja sebagai
karyawati PT.Y dan juga punya usaha salon, maka penghasilan isteri dari PT.Y dan
usaha salon harus digabung kepada penghasilan suami;
37
V. PENGURANGAN YANG DIPERBOLEHKAN
PENGHASILAN WANITA KAWIN DAN ANAK BELUM DEWASA
b. Pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha/pekerjaan bebas suami atau
anggota keluarga lainnya.
Contoh-contoh kasus diantaranya:
 Suami bekerja sebagai karyawan PT.X, sedangkan isteri bekerja sebagai staf lokal
Kedutaan Besar Palestina di Indonesia, maka penghasilan isteri dari Kedutaan Besar
Palestina harus digabung kepada penghasilan suami;
 Suami mempunyai penghasilan dari usaha bengkel motor, sedangkan isteri bekerja
sebagai manajer di bengkel motor suami, maka penghasilan isteri dari bengkel
motor harus digabung kepada penghasilan suami.
2. Penghasilan suami-isteri dikenai pajak secara terpisah apabila:
a. Suami-isteri tela hidup secara terpisah berdasarkan putusan hakim;
b. Dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta
dan penghasilan;
c. Dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri.
Penghasilan neto suami-isteri pada huruf b dan c di atas dikenakan pajak berdasarkan
penggabungan penghasilan neto suami-isteri, dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh
masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto
mereka.
3. Penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan penghasilan orang tuanya, kecuali
penghasilan dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha orang yang
mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf c
UU PPh.
38
VI. PENGHITUNGAN PAJAK
TARIF PAJAK
1. Tarif Pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi WPOP Dalam Negeri
sesuai dengan Pasal 17 UU PPh adalah sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
 Sampai dengan Rp 50.000.000 5%
 Di atas Rp 50.000.000 s.d. Rp 250.000.000 15%
 Di atas Rp 250.000.000 s.d. Rp 500.000.000 25%
 Di atas Rp 500.000.000 30%
2. Untuk keperluan penerapan tarif pajak di atas, jumlah Penghasilan Kena Pajak
dibulatkan ke bawah dalam satuan ribu rupiah penuh.
Contoh: Penghasilan Kena Pajak Rp 700.000.000
Pajak Penghasilan Terutang (PPh Pasal 25/29):
5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000
15% x Rp 200.000.000 = Rp 30.000.000
25% x Rp 250.000.000 = Rp 62.500.000
30% x Rp 200.000.000 = Rp 60.000.000 (+)
Jumlah PPh Teruang = Rp 155,000.000
Tarif Efektif = 155.00.000 / 700.000.000 = 22,14%
39
VI. PENGHITUNGAN PAJAK
KREDIT PAJAK
Kredit Pajak adalah pengurangan PPh Terutang yang merupakan rincian kredit PPh
yang Dipotong/Dipungut pihak lain yang tidak termasuk yang bersifat final dan
dikenakan pajak tersendiri serta rincian penghasilan neto dari luar negeri yang
diterima WP sendiri, isteri dan anak / anak angkat yang belum dewasa dalam tahun
pajak yang bersangkutan, kecuali isteri yang telah hidup berpisah atau yang
mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan berdasarkan UU PPh Pasal
29 terdiri dari:
 Pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan, jasa dan kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21;
 Pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan
usaha di bidang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22;
 Pemotongan pajak atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, sewa, hadiah
dan penghargaan, dan imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23;
 Pajak yang dibayar atas penghasilan luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24;
 Pembayaran yang dilakukan oleh WP sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;
 Pemotongan pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5).

40
VI. PENGHITUNGAN PAJAK
PENGEMBALIAN/PENGURANGAN PPH PASAL 24 YANG TELAH DIKREDITKAN
Pengembalian/pengurangan PPh Paal 24 yang telah dikreditkan adalah selisih antara
besarnya pajak yang telah dikreditkan dengan besarnya pajak yang dapat dikreditkan
di Indonesia setelah adanya pengembalian/pengurangan PPh yang dibayar/dipotong/
terutang di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5) UU PPh, yang
diterima dalam tahun pajak yang bersangkutan sepanjang pengembalian/pengurangan
bukan disebabkan oleh adanya perubahan penghasilan.
Karena PPh yang dibayar/dipotong/terutang di luar negeri tersebut semula sudah
dikreditkan dari PPh yang terutang dalam SPT Tahunan PPh, maka dengan
pengurangan/restitusi atas PPh yang dibayar/dipotong/terutang di luar negeri tersebut
menyebabkan pengkreditan tersebut menjadi lebih besar dari yang seharusnya.
Selisihnya harus dibayar kembali dengan menambahkan pada PPh Terutang dalam
tahun ini.
Dalam hal pengembalian/pengurangan PPh tersebut disebabkan oleh adanya
penambahan penghasilan, maka WP harus memberitahukan digabungkannya
penghasilan tersebut kepada Dirjen Pajak dengan melakukan Pembetulan SPT Tahunan
PPh Tahun Pajak yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Keputusan
Menkeu Nomor 164/KMK.03/2002 tanggal 19 April 2002.

41
VI. PENGHITUNGAN PAJAK
PPH YANG DIBAYAR SENDIRI
PPh yang dibayar sendiri diatur dalam Pasal 25 UU PPh, yang ringkasannya pada tabel
di bawah ini:
Jenis PPh Dibayar Sendiri Deskripsi
 PPh Pasal 25 ayat (1) Jumlah PPh yang telah dibayar sendiri oleh WP selama Tahun Pajak
yang bersangkutan berupa PPh Pasal 25 Tahun Pajak yang
bersangkutan termasuk jumlah pelunasan PPh yang terutang
berdasarkan penghitungan sementara dalam hal WP mengajukan
permohonan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT
Tahunan.
 PPh Pasal 25 ayat (7) Jumlah PPh yang dibayar sendiri (0,75% dari peredaran usaha) oleh
Orang Pribadi Pengusaha Tertentu yang menerima atau memper-
oleh penghasilan lain yang tidak dikenakan PPh yang bersifat final.
 STP PPh Pasal 25 Jumlah PPh yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak (STP) untuk
Hanya Pokok Pajak Tahun Pajak yang bersangkutan termasuk STP PPh Pasal 25 ayat (7)
dari Pengusaha tertentu yang menerima atau memperoleh
penghasilan lain yang tidak dikenakan PPh yang bersifat final, tidak
termasuk sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.

42
VI. PENGHITUNGAN PAJAK
PPH LEBIH / KURANG BAYAR
1. Apabila jumlah pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil
dari jumlah kredit pajaknya, setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan
pembayaran pajak tersebut dikembalikan setelah diperhitungkan dengan utang
pajak berikut sanksi-sanksinya.
2. Apabila jumlah pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar
dari jumlah kredit pajaknya, kekurangan pajak yang terutang tersebut harus
dilunasi SEBELUM spt Tahunan PPh disampaikan.
Contoh:
Pajak Penghasilan (PPh) yang terutang = Rp 80.000.000
Kredit Pajak:
Pemotongan pajak dari pekerjaan (Pasal 21) = Rp 5.000.000
Pemotongan pajak oleh pihak lain (Pasal 22) = Rp 10.000.000
Pemotongan pajak dari modal (Pasal 23) = Rp 5.000.000
Kredit pajak luar negeri (Pasal 24) = Rp 15.000.000
Wajib Pajak (Pasal 25) = Rp 10.000.000 (+)
Jumlah Pajak Penghasilan (PPh) yang dapat dikreditkan = Rp 45.000.000 (-)
Pajak Penghasilan (PPh) yang masih harus dibayar = Rp 35.000.000
43
VII. ANGSURAN PPH PASAL 25
Salah satu implementasi dari asas pemungutan pajak “convinience for pay” adalah adanya
sistem pembayaran pajak di muka berupa PPh Pasal 25 yang merupakan angsuran PPh yang
harus dibayar sendiri oleh WP untuk setiap bulan dalam tahun berjalan. Dengan diberlakukannya
sistem ini, diharapkan dapat meringankan WP dalam membayar pajak pada akhir tahun. Dari sisi
lain, negara diuntungkan karena adanya pemasukan kas bulanan yang digunakan untuk
pembayaran negara. Namum demikian, dari sisi WP, mengabaikan pembayaran PPh Pasal 25
tersebut dapat mengakibatkan timbulnya sanksi administrasi.
Pada akhir pajak PPh Pasal 25 diperhitungkan sebagai kredit pajak terhadap PPh Terutang.
CARA UMUM MENGHITUNG PPH PASAL 25
Secara umum besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk suatu tahun pajak dihitung sebesar PPh
Terutang menurut SPT Tahunan PPh Tahun Pajak yang lalu dikurangi dengan PPh yang
dipotong/dipungut pihak lain serta PPh yang dibayar, dipotong/terutang di luar negeri,
sebagaimana diatur di dalam Pasal 21, 22, 23, dan 24. Hasil dari pengurangan tersebut kemudian
dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak diperolehnya penghasilan
tersebut.
Pembayaran angsuran PPh Pasal 25 tersebut dilakukan paling lambat tanggal 15 bulan
berikutnya setelah berakhirnya masa pajak. Laporan atas pembayaran tersebut dilakukan paling
lambat tanggal 20 setelah dilakukan pembayaran.
Apabila WP tidak membayar atau kurang membayar PPh Pasal 25 pada waktu jatuh tempo, KPP
akan menagih PPh tersebut dengan menggunakan Surat Tagihan Pajak (STP) PPh Pasal 25. Di
dalam perhitungan STP biasanya terdapat 2 (dua) unsur yaitu Pokok Pajak dan Sanksi
Administrasi. Jumlah yang dapat diperhitungkan sebagai cicilan pajak hanyalah pokok pajaknya
saja.
44
VII. ANGSURAN PPH PASAL 25
PENGHITUNGAN PPH PASAL 25 DALAM HAL-HAL TERTENTU
Terdapat banyak variasi penghitungan dalam kasus tertentu dan bidang usaha tertentu yang
diperlakukan perhitungan tersendiri yang sangat berbeda dengan perhitungan secara umum.
Misalnya dalam hal:
 Terjadi kompensasi kerugian,
 Terdapat penghasilan tidak teratur,
 Terjadi lebih bayar, dan
 Terdapat penerbitan SKP.
Sementara itu, untuk bidang-bidang usaha tertentu diatur dengan Peraraturan Menkeu
No.255/PMK.03/2008 jo PMK No.208/PMK.03/2009 jo KEP.537/PJ/2000.
1. PPh Pasal 25 untuk masa sebelum SPT Tahunan PPh OP disampaikan
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh WP untuk bulan-bulan sebelum SPT
Tahunan PPh disampaikan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh sama
dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu.
Pada umumnya dasar penghitungan angsuran PPh Pasal 25 adalah hasil perhitungan SPT
Tahunan PPh tahun sebelumnya. Masalahnya, SPT Tahunan dilaporkan paling lambat tanggal
terakhir bulan ketiga setelah berakhirnya tahun pajak (misalnya 31 Maret). Demikian
perhitungan angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan Januari dan Pebruari belum dapat diketahui
pada tanggal 15 Pebruari dan 15 Maret (saat pembayaran). Karena itu, jumlah angsuran PPh
Pasal 25 untuk masa tersebut besarnya sama dengan jumlah angsuran PPh Pasal 25 bulan
terakhir tahun pajak sebelumnya (misalnya bulan Desember).
Disping itu, apabilakrena suatu hal peyampaian SPT Tahunan melebihi batas waktu 3 (tiga)
bulan setelah tahn pajak berakhir, besarnya angsuran PPh Pasal adalah sama dengan
besarnya pajak penghasilan bulan terakhir tahun pajak yang lalu dan bersifat sementara.
45
VII. ANGSURAN PPH PASAL 25
PENGHITUNGAN PPH PASAL 25 DALAM HAL-HAL TERTENTU
2. PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak baru
Wajib Pajak baru adalah WP Orang Pribadi dan Badan yang baru pertama kali memperoleh
penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan.
a. Sarnya ngsuran PPh Pasal 25 untuk WP baru adalah sebesar PPh yangdihitung
berdasaranpenerapan tari umum atas penghasilanneto sebulan yang disetahunkan
dbagi 12 (dua belas).
b. Penghasan Neto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:
 Dalam hal WP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menyelenggarakan
pembukuan dan dari pembukuannya dapat dihitung besarnya penghasilan neto
setiap bulan, penghasilan neto fiskal dihitung berdasarkan pembukuannya.
 Dalam hal WP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya menyelenggarakan
pencatatan dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto atau
menggunakan pembukuan tetapi dari pembukuannya tidak dapat dihitung besarnya
penghasilan neto setiap bulan, penghasilan neto fiskal dihitung berdasarkan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto atas peredaran atau penerimaan neto.
c. Untuk WP orang pribadi baru, jumlah penghasilan neto fiskal yang disetahunkan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikurangi terlebih dahulu dengan
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
d. Dalam hal WP baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa WP Badan yang
mempunyai kewajiban membuat laporan berkala, besarnya angsuran PPh Pasal 25
adalah sebesar PPh yang dihitung berdasarkan penerapan Tarif Umum atas proyeksi
laba-rugi pada laporan berkala pertama yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).
46
VII. ANGSURAN PPH PASAL 25
PENGHITUNGAN PPH PASAL 25 DALAM HAL-HAL TERTENTU
3. Dalam hal WP menerima Ketetapan Pajak untuk tahun yang lalu
Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) untuk tahun
pajak yang lalu, besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan SKP tersebut
berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan SKP (Pasal 25 ayat (4) UU PPh).
4. PPh Pasal 26 untuk WP yang masih terdapat sisa kerugian tahun sebelumnya yang
dikompensasikan:
a. Apabila jumlah sisa kerugian habis dikompensasikan dengan penghasilan neto tahun
pajak yang bersangkutan atau tahun pajak yang bersangkutan merupakan tahun pajak
terakhir untuk dapat melakukan kompensasi kerugian, angsuran PPh Pasal 25 tahun
pajak berikutnya dihitung berdasarkan PPh Terutang atas penghasilan tahun pajak yang
bersangkutan tanpa memperhitungkan lagi kompensasi kerugian.
b. Apabila jumlah sisa kerugian tidak habis dikompensasi dengan penghasilan neto tahun
pajak yang terakhir untuk dapat melakukan kompensasi, sehingga masih terdapat sisa
kerugian yang dapat dikompensasi dengan penghasilan neto tahun pajak berikutnya,
angsuran bulanan PPh Pasal 25 tahun pajak berikutnya dihitung berdasarkan PPh
Terutang atas penghasilan neto tahun pajak yang bersangkutan dikurangi dengan sisa
kerugian yang masih dapat dikompensasi dengan penghasilan neto tahun pajak yang
bersangkutan.
c. Apabila penghasilan neto tahun pajak yang bersangkutan lebih kecil dari sisa kerugian
yang masih dapat dikompensasi dengan penghasilan neto tahun pajak berikutnya,
angsuran PPh Pasal 25 tahun pajak berikutnya adalah NIHIL.

47
VII. ANGSURAN PPH PASAL 25
PENGHITUNGAN PPH PASAL 25 DALAM HAL-HAL TERTENTU
5. Terdapat Penghasilan Tidak Teratur
Penghasilan Tidak Teatur adalah penghasilan yang tidak termasuk penghasilan yang
teratur. Contohnya: keuntungan karena selisih kurs dari utang/piutang dalam mata usang
asing dan keuntungan dari penghasilan harta (capital gain) sepanjang bukan merupakan
penghasilan dari kegiatan usaha pokok serta penghasilan lainnya yang bersifat insidentil
(Keputusan Dirjen Pajak No. Kep-537/PJ/2000 tanggal 29 Desember 2000) .
6. Terdapat Pembayaran Zakat atas Penghasilan
Dalam hal terdapat zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh WP OP
pemeluk agama Islam kepada Badan |Amil Zakat dan sumbangan keagamaan yang sifatnya
wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh lembaga
keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah terdapat hal-hal tertentu (misal
terdapat sisa kerugian tahun sebelumnya yang dikompensasikan atau terdapat
penghasilan tidak teratur), penghasilan angsuran PPh Pasl 25 mengikuti pola penghitungan
sebagaimana contoh penghitungan angsuran PPh Pasal 25 sebelumnya dengan
memperhitungkan zakat dan sumbangan keagamaan atas penghasilan yang telah
dibayarkan.
Catatan:
a. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dapat berubah sesuai dengan perubahan yang terjadi
atas dasar penghitungan angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun pajak berjalan.
b. Angsuran PPh Pasal 25 untuk tahun pajak yang bersangkutan dapat dibayar di muka
sekaligus.

48
VII. ANGSURAN PPH PASAL 25
WPOP YANG MEMILIKI PENGHASILAN PENGUSAHA TERTENTU (WP OP PT)
WP OP Pengusaha Tertentu adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan
usaha dengan pedagang pengecer yang mempunyai 1 (satu) atau lebih tempat usaha.
Termasuk pengertian sebagai pedagang pengecer adalah WP OP yang melakukan
penjualan barang baik secara grosir maupun eceran, dan/atau penyerahan jasa
melaluisuatu tempat usaha.
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dihitung sebesar 0,75% dari jumlah peredaran bruto
(omzet) perbulan dari masing-masing tempat usaha sesuai dengan Pasal 25 ayat (7) UU
PPh dan bersifat tidak final. Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OP PT) harus
menghitung ulang PPh-nya dan angsurannya dijadikan sebagai kredir pajak pada akhir
tahun untuk mengisi SPT Tahunannya.

49
VII. ANGSURAN PPH PASAL 25
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013
Pada tahun 2013 pemerintah mengeluarkan PP Nomor 16 Tahun 2013 tentang penghasilan dari
usaha yang diterima atau diperoleh WP yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai PPh
yang bersifat Final.
WP yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah WP yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. WP orang pribadi tidak termasuk Bentuk Usaha Tetap (BUT).
b. Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan
pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.800.000.000 dalam 1 (satu)
tahun pajak.
Tidak termasuk pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa
yang dalam usahanya:
a. Menggunakan sarana yang dapat dibongkar pasang baik yang menetap maupun tidak
menetap, dan
b. Menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak
diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
Maksudnya WPOP yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/jasa melalui suatu tempat
usaha yang dapat dibongkar pasang, termasuk yang menggunakan gerobak, dan menggunakan
untuk kepentingan umum yang menurut peraturan perundang-undangan bahwa tempat tersebut
tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan, misalnya pedagang makanan keliling ,
pedagang asongan, warung tenda di trotoar, dan sejenisnya. Terhadap WP tersebut atas
penghasilannya tidak dikenai PPh yang bersifat Final berdasarkan Peraturan Pemerintah
tersebut.
50
VII. ANGSURAN PPH PASAL 25
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013
Tarif
Berdasarkan tarif Pajak Penghasilan yang bersifat Final sebagaimana dimaksud di atas
adalah 1% (satu persen).
Peredaran Bruto
Pengenaan pajak penghasilan didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu)
tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan. Apabila
peredaran bruto kumulatif WP pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp 4.800.000.000
dalam suatu Tahun Pajak, WP tetap dikenai tarif PPh 1% (satu persen) sampai dengan akhir
Tahun Pajak yang bersangkutan.
Apabila peredaran bruto WP telah melebihi jumlah Rp 4.800.000.000 pada suatu Tahun
Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wp PADA Tahun Pajak berikutnya
dikenai tarif PPh berdasarkan ketentuan UU PPh.
Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
a. Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung PPh yang bersifat Final
adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan,
b. Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan Tarif dikalikan DPP.
Ketentuan sebagaimana dimaksud di atas tidak berlaku atas penghasilan dari usaha yang
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat Final berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan.
51
VII. ANGSURAN PPH PASAL 25
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013
Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
WP yang dikenai PPh yang bersifat Final berdasarkan PP ini dan menyelenggarakan
pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai
PPh yang bersifat Final dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Kompensasi kerugiandilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut sampai
dengan 5 (lima) Tahun Pajak;
b. Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat Final berdasarkan PP ini
tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
huruf a;
c. Kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat Final
berdasarkan PP ini tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya.
Ketentuan lebihlanjut mengenai penghitungan, penyetoran, dan pelaporan PPh atas
penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh WP yang memiliki peredaran bruto
tertentu dan kriteria beroperasi secara kopersial diatur atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor PER-107/PMK.011/2013.
Peredaran bruto sebagai dasar untuk dapat dikenai PPh yang bersifat Final sebagaimana
diatur dalam PP ini, diatur sebagai berikut:
1. Jumlah peredaran bruto Tahun Pajak berakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya PP ini
yang disetahunkan, dalam hal ini Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berikutnya
PP ini meliputi kurang dari jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
52
VII. ANGSURAN PPH PASAL 25
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013
Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
Peredaran bruto sebagai dasar untuk dapat dikenai PPh yang bersifat Final sebagaimana
diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, diatur sebagai berikut:
2. Jumlah peredaran bruto dari bulan saat WP terdaftar sampai dengan bulan sebelum
berlakunya PP ini yang disetahunkan, dalam hal WP terdaftar pada Tahun Pajak yang
sama dengan Tahun Pajak saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini di bulan sebelum
Peraturan Pemerintah ini berlaku;
3. Jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang
disetahunkan dalam hal WP yang baru terdaftar sebagai WP sejak berlakunya Peraturan
Pemerintah ini.

53
VIII. PENGISIAN SPT PPH ORANG PRIBADI
JENIS SPT PPH ORANG PRIBADI
Berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak No. PER-34/PJ/2010 jo PER-19/PJ/2014, Jenis SPT
PPh Orang Pribadi terdiri dari:
1. Formulir 1770 yang digunakan untuk WP Orang Pribadi mempunyai penghasilan
a. Dari usaha/pekerjaan bebas;
b. Dari satu atau lebih pemberi kerja;
c. Yang dikenakan PPh Final dan/atau bersifat Final; dan/atau
d. Dalam negeri lainnya / luar negeri.
2. Formulir 1770S yang digunakan untuk WP Orang Pribadi yang mempunyai
penghasilan:
a. Dari satu atau lebih pemberi kerja;
b. Yang dikenakan PPh Final dan/atau bersifal Final; dan /atau
c. Dalam negeri lainnya.
3. Formulir 1770SS yang digunakan bagi WP yang mempunyai penghasilan selain dari
usaha dan/atau pekerjaan bebas dengan jumlah penghasilan lebih dari Rp
60.000.000 (enam puluh juta rupiah) setahun.

54
VIII. PENGISIAN SPT PPH ORANG PRIBADI
PROSEDUR PRAKTIS
Agar aman dan mudah dalam mengisi SPT PPh Orang Pribadi, baik Formulir 1770, Formulir
1770S, atau Formulir 1770SS, setiap WPOP perlu melakukan prosedur sebagai berikut:
1. Baca buku petunjuk secara seksama.
2. Pahami ketentuan perpajakan dengan baik, diantaranya adalah bahwa setiap SPT lebih
bayar akan diperiksa lebih dulu sebelum kelebihan bayar tersebut dikabulkan.
3. Siapkan Laporan Rugi-Laba, dan Neraca untuk Tahun yang akan dilaporkan, khusus
untuk WPOP yang melakukan kegiatan usaha dan menyelenggarakan pembukuan dan
lakukan rekonsiliasi fiskal sehingga diperoleh penghasilan neto dari usaha/pekerjaan
bebas.
4. Siapkan Bukti Potong PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan/atau PPh Pasal 24,
jika ada.
5. Siapkan Bukti Asli Setoran Zakat Penghasilan.
6. Siapkan fotokopi Izin Kerja Tenaga Asing (IKTA) yang masih berlaku untuk WP Orang
Asing.
7. Siapkan Surat Keterangan Penghasilan (certificate of Income) dari perusahaahn induk
untuk WP Orang Asing.
8. Hitung PPh Orang Pribadi sesuai dengan data-data yang ada.
9. Buat Daftar Harta dan Kewajiban yang dimiliki oleh setiap WPOP.
10. Lakukan analisis biaya hidup dan tambahan harta kekayaan.
55
VIII. PENGISIAN SPT PPH ORANG PRIBADI
ANALISIS BIAYA HIDUP DAN TAMBAHAN HARTA KEKAYAAN
Kedua analisis ini perlu dilakukan oleh setiap WPOP sebelum menyampaikan SPT-nya ke
KPP terkait. Kedua analisis ini merupakan prosedur standar yang ditempuh oleh pemeriksa
pajak ketika melakukan pemeriksaan dan kewajiban pajak WPOP:
1. Analisis Biaya Hidup
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui besaran biaya hidup rata-rata sebulan setiap
WPOP, seperti biaya rumah tangga, pendidikan, rekreasi, transportasi, kesehatan dan
seluruh pengeluaran harian lainnya. Jika besaran selama sebulan sudah diketahui,
untuk mengetahui biaya hidup setahun, besaran tersebut harus dikali 12 (dua belas)
bulan.
2. Analisis Tambahan Harta Kekayaan
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui tambahan harta kekayaan dalan suatu Tahun
Pajak. Pemeriksa pajak biasanya meminta WPOP yang sedang diperiksanya untuk
membuat Daftar Harta Kekayaan yang dimiliki. Daftar tersebut memberi informasi
nama harta, tahun perolehan, dan nilai perolehannya.
Untuk keperluan pemeriksaan data harta kekayaan tersebut disortir sehingga nilai
perolehan harta selama tahun dilakukannya pemeriksaan dapat diketahui.

56
VIII. PENGISIAN SPT PPH ORANG PRIBADI
ANALISIS BIAYA HIDUP DAN TAMBAHAN HARTA KEKAYAAN
Selanjutnya, total nilai perolehan tersebut ditambahkan dengan hasil analisis biaya hidup.
Hasil penambahan tersebut ditandingkan dengan jumlah penghasilan neto yang dilaporkan
di dalam SPT PPh Orang Pribadi. Biasanya hasil penjumlahan kedua analisis di atas lebih
besar dari total p[enghasilan neto per SPT. Sebagai konsekwensi, ada potensi penghasilan
neto yang belum dilaporkan. Untuk memperoleh keyakinan keyakinan bahwa SPT yang
dilaporkan telah benar, pemeriksa Pajak melakukan kedua analisis di atas dan hasilnya
adalah sebagai berikut:
No Uraian Rp
1 Analisis biaya hidup rata-rata sebulan disetahunkan 120.000.000
2 Analisis tambahan harta kekayaan selama setahun / tahun dilaporkan 350.000.000
3 Total (1 + 2) 470.000.000
4 Penghasilan neto menurut SPT tahun yang dilaporkan 300.000.000
5 Selisih (3 – 4) 170.000.000
Penyebab terjadinya perbedaan sebesar Rp 170.000.000 (3 > 4) agar diketahui dengan pasti
bahwa selisih tersebut disebabkan oleh penghasilan yang merupakan objek PPh Final atau
bahkan bahkan merupakan Objek PPh.

57
IX. DAFTAR HARTA DAN KEWAJIBAN
TUJUAN, IMPLIKASI, DAN SASARAN
Mulai Tahun Pajak 2001 SPT PPh Orang Pribadi dilengkapi Daftar Harta dan Kewajiban. Daftar ini
digunakan untuk melaporkan harta dan kewajiban/utang Usaha dan harta dan kewajiban’/utang
non usaha pada akhir Tahun Pajak yang dimiliki WP sendiri, isteri, anak / anak angkat yang
belum dewasa, kecuali harta dan kewajiban/utang yang dimiliki oleh:
 Isteri yang telah hidup berpisah;
 Isteri yang melakukan perjanjian [isah harta dan penghasilan, yang harus dilaporkan dalam
SPT Tahunan Pajak Penghasilan insteri sendiri; dan
 Isteri yang memilih untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan sendiri.
1. Tujuan
Tujuan dilampirkannya daftar harta dan kewajiban dalam SPT PPh Orang Pribadi adalah:
a. Sebagai sarana untuk melihat pertambahan harta dari tahun ke tahun, apakah rasional
atau tidak, bila dibandingkan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehpada
Tahun Pajak yang bersangkutan.
b. Sebagai sarana untuk mengungkap adanya kewajiban-kewajiban pajak yang lain
berkaitan dengan harta ,seperti: PBB, BPHTB, sewa, pajak-pajak final.
c. Untuk melihat kemungkinan-kemungkinan adanya pajak penghasilan yang belum
dikenakan pajak.
2. Implikasi
Implikasi-implikasi yang mungkinterjadi dari laporan daftar harta dan kewajiban, adalah:
a. Dikoreksinya SPT Tahunan dengan adanya penerbitan Surat Ketetapan Pajak (SKP) karena
penghasilan yang diterima tidak menunjukkan ada keseimbangan dengan jumlah harta
dan kewajiban yang dimiliki WP. Koreksi ini dilakukan melalui proses pemeriksaan.
58
IX. DAFTAR HARTA DAN KEWAJIBAN
TUJUAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
2. Implikasi
Implikasi-implikasi yang mungkinterjadi dari laporan daftar harta dan kewajiban, adalah:
b. Dalam jangka panjang akan terpantau bila terjhadi penambahan dan pengurangan harta
yang mempunyai implikasi terhadap kewajiban perpajakan. Misalnya, pada tahun lalu
terdapat harta tanah/bangunan senilai Rp 60.000.000 tetapi pada tahun berjalan harta
tersebut tidak muncul lagi. Ada kemungkinan harta tersebut telah dijual sehingga
terdapat potensi BPHTB.
c. Daftar harta secara tidak langsung merupakan upaya pembuktian terbalik atas harta yang
dimiliki. Misalnya, tiba-tiba muncul adanya harta yang jauh lebih besar dari jumlah
penghasilannya, hal tersebut akan mengundang pertanyaan dan dapat ditindaklanjuti
dengan memanggil WP untuk menjelaskan dari mana sumber penghasilan tersebut.
3. Saran
Sasaran penyajian harta dan kewajiban/utang agar aman adalah:
a. Memperhatikan rasional tidaknya harta-harta yang dimiliki bila dibandingkan dengan
penghasilan yang diterima.
b. Memperhatikan hbungannya dengan kewajiban-kewajiban perpajakan.
c. Dalam menyajikan harta dalam bentuk simpanan, seperti tabungan dan deposito ,
jumlahnya harta sama dengan jumlah yang dicantumkan dalam lampiran SPT, khsususnya
yang terkait dengan penghasilan yang telah dikenakan PPh Final.
d. Mematuhi secara menyeluruh undang-undang atau aturan yang mengatur pengakuan
pendapatan dan penyajian laporannya secara material dan maupun formil.

59
IX. DAFTAR HARTA DAN KEWAJIBAN
JENIS HARTA
Jenis harta yang dilaporkan, misalnya:
1. Harta Tidak Bergerak, yaitu suatu benda yang karena sifat tujuan atau karena
ditentukan oleh undang-undang sebagai benda tak bergerak, seperti tanah
(cantumkan lokasi dan luas tanah) dan bangunan (cantumkan lokasi dan luas
bangunan).
2. Kapal dengan bobot mati lebih dari 10.000 Ton.
3. Kendaraan bermotor: mobil, sepeda motor (cantumkan merek dan tahun
perolehannya).
4. Uang tunai rupiah, valuta asing sepadan USD, simbapan, termasuk tabungan dan
deposito di bank dalam dan luar negeri, serta piutang dicantumkan secara global.
5. Efek-efek (saham, obligasi, commercial paper) dicantumkan secara global.
6. Harta berharga lainnya, misalnya batu permata, logam mulia, dan lukisan
dicantumkan secara global.

60
IX. DAFTAR HARTA DAN KEWAJIBAN
JENIS HARTA
Contoh pengisian daftar harta:
Tahun Harga
No Jenis Harta Perolehan Perolehan Keterangan
(Rp)
1 Rumah, Jl. Veteran No.6, Solo 1995 80.000.000 11.71.030.0003,0165.0
2 Rumah, Jl. Casablanca No.20, Jakarta 1998 100.000.000 11.71.029.0003.0163.0
3 Mobil (Toyota, 1990) 1990 60.000.000
4 Mobil (BMW, 2000) 2000 250.000.000 Kredit
5 Deposito 50.000.000
6 Saham 4.000.000

JENIS KEWAJIBAN
Daftar kewajiban digunakan untuk merinci kewajiban/utang dengan mengisi nama dan alamat
pemberi pinjaman, tahun peminjaman, jumlah pinjaman dan keterangan lainnya. Daftar ini tidak
mempunyai implikasi yang dapat menambah pajakyang harus dibayar.

61

Anda mungkin juga menyukai