Anda di halaman 1dari 3

Daya Matematika dan Realitanya

Eva Julianingsih_20709251019
Pend.Matematika 2020

Senin tanggal 15 Februari 2021 merupakan pertemuan kedua dari mata kuliah Daya
Matematika. Perkuliahan dimulai dengan berdoa menurut keyakinan masing-masing. Absensi
dilakukan satu jam sebelum perkuliahan.
Perkuliahan dimulai dengan pernyataan dari Prof. Dr. Marsigit, MA yaitu landasan
psikologi dan filsafat itu berdampingan, jika diterapkan maka itu adalah psikologis, jika
diwacanakan itu menjadi filsafat. Kemampuan matematika adalah diri kita masing-masing dalam
memutuskan sesuatu.

Sejarah perjalanan ide matematika dari sisi konsep dimulai dari mitos, seperti bilangan-
bilangan itu memiliki nilai magic. Setelah itu muncul gagasan untuk membuat matematika itu
sebagai cabang dari ilmu pengetahuan atau sebagai sesuatu yang dapat dipercaya, atau
meningkatkan validitas dari matematika yang dirintis oleh Thales. Dan pada zaman Phytagoras,
matematika sudah semakin solid menjadi ilmu bahkan dikatakan bahwa bilangan mengatur alam
semesta. Bahkan mencoba untuk menghubungkan matematika dengan matematika. Zaman Plato
konsep matematika mulai lebih rinci, memisahkan Geometri dengan Bilangan, bahkan mulai
dillakukan kaian-kajian yang bersifat abstrak, membedakan objek pikir dan objek nyata. Plato
lebih mengembangkan matematika yang bersifat abstrak. Pemikiran plato mempengaruhi Euclides
dan di sinilah muncul geometri aksiomatis pertama dengan mengambil unsur-unsur yang tidak
didefinisikan, seperti definisi titik, garis, sudut, lingkaran, dan sebagainya. Plato dan Euclides
menjadi pelopor Rasionalisme yang mengatakan bahwa “tidak ada ilmu jika tidak ada logika”.
Prof. Marsigit mengungkapkan bahwa “wadah itu isi, isi itu wadah” “tiadalah wadah tanpa
isi, tiadalah isi tanpa wadah” artinya wadah adalah pikiran, isinya adalah realita atau wadah itu
rumus, isinya itu contoh. Wadah itu identitas, isi itu kontradiksi. Maka, rumus itu identitas, dan
contoh itu kontradiksi. Tidak ada di dunia ini suatu konsep atau suatu hal yang sama, jangankan
benda yang berbeda, benda yang sama sekalipun akan berbeda jika ada perubahan ruang dan
waktu.
Untuk anak-anak atau siswa SD dan SMP, sulit mempelajari benda piker melainkan mereka
akan mudah jika mempelajari objek matematika yang konkret atau realita. Matematika objek pikir
atau bisa disebut dengan matematika aksiomatik terbebas dari ruang dan waktu. Matematika
aksiomatik atau matematika murni adalah konsisten tidak boleh kontradiksi. Hal inilah disebut
sebagai analytic a priori. Nilai kebenaran dari matematika yang bersifat abstrak atau matematika
murni adalah bersifat koherensi atau indentik, sedangkan kebenaran realita adalah kebenaran
kecocokan atau korespondensi bersifat sintetik a posteriori yang artinya paham setelah melihat
kejadiannya.
Aristoteles menggali matematika berdasarkan pengalaman atau realita. Artinya dia
mengambil sikap yang bertolak belakang dengan sang guru yaitu Plato. Platonisme merupakan
pembelajaran matematika di perguruan tinggi, sedangkan matematika sekolah menggunakan
Aristotelianisme. Selanjutnya pada zaman Leibniz dan Hume adalah seorang empiricism yang
menyakini bahwa ilmu adalah berdasarkan realita. Di sinilah terjadi perang konsep antara Hume
dan Descartes, antara Rasionalsm dan Empiricism. Dan akhirnya mempengaruhi Kantianism yang
mempercayai kedua teori tersebut. Emanuel Kant sebagai pelopor Kantianism mencari unsur-
unsur yang bisa disinggungkan dari dua teori tersebut dan menjadi penengah dari perang konsep
ini. Menurut Kant, ilmu adalah a priori yang di ambil dari rasionalisme dan sintetik yang diambil
dari empirisime, maka ilmu itu adalah sintetik a priori.
Absolutism menggabungkan antara rasionalism dan logika. Ini biasanya digunakan pada
tingakat perguruan tinggi, matematika formal, hanya mementingkan hasil. Untuk anak-anak tidak
cocok untuk diterapkan teori ini. Maka muncullah Fallibism dan constructivism yang menganggap
matematika sebagai kreativitas dan kegiatan. Siswa SD dan SMP sangat cocok diterapkan dua teori
ini. Itulah the power of matematika.
Zaman sekarang, mau tidak mau, sebagai guru harus move-on dari pembelajaran tradisional
ke pembelajaran inovatif. Harus memandang siswa itu sebagai individu-individu yang punya
potensi untuk berkembang, tumbuh dan membangun. Ambisi guru dalam mengajar dapat membuat
siswa hancur. Guru memaksa siswanya untuk memikirkan matematika abstrak akan membuat
siswa menjadi robot.

Anda mungkin juga menyukai