Bab Ii Tinjauan Pustaka
Bab Ii Tinjauan Pustaka
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
di pelvis renalis dan melewati ureter menuju ke kandung kemih, dimana urine
disimpan pada tekanan rendah sampai proses berkemih terjadi. Selama proses
berkemih tekanan kandung kemih meningkat, aliran urine mengalir melalui uretra
2.1.1 Ginjal
menghadap ke medial. Pada sisi ini terdapat hilus ginjal yaitu tempat struktur-
struktur pembuluh darah, sistem limfatik, sistem saraf, dan ureter menuju dan
Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrus tipis dan mengkilat yang disebut
kapsula fibrosa (true capsule) ginjal dan di luar kapsul ini terdapat jaringan lemak
perirenal. Di sebelah kranial ginjal terdapat kelenjar anak ginjal atau glandula
dan jaringan lemak perirenal dibungkus oleh fasia Gerota, yang berfungsi sebagai
9
10
ekstravasasi urine pada saat terjadi trauma ginjal, serta menghambat penyebaran
infeksi atau metastasis tumor ginjal ke organ di sekitarnya. Di luar fasia Gerota
(Purnomo, 2003).
Ginjal mendapatkan aliran darah dari arteri renalis yang merupakan cabang
langsung dari aorta abdominalis, sedangkan darah vena dialirkan melalui vena
renalis yang bermuara ke dalam vena kava inferior. Sistem arteri ginjal adalah end
arteries yaitu arteri yang tidak mempunyai anastomosis dengan cabang-cabang dari
arteri lain, sehingga jika terdapat kerusakan pada salah satu cabang arteri ini,
2003).
2.1.2 Ureter
mengalirkan urine dari pielum ginjal ke dalam buli-buli, dengan panjang 20cm pada
orang dewasa. (Purnomo, 2003). Sepanjang perjalanan ureter dari pielum menuju
relatif lebih sempit daripada di tempat lain, sehingga batu atau benda-benda lain
yang berasal dari ginjal seringkali tersangkut di tempat itu. Tampak pada gambaran
ginjal dan ureter pada retrogade pyelogram di bawah ini (gambar 2.1), dimana
kontras disuntikkan ke dalam ureter dari bawah, melalui endoskopi dalam kandung
meliputi: (1) pada perbatasan antara pelvis renalis dan ureter atau uretero-pelvic
junction (UPJ), (2) tempat ureter menyilang arteri iliaka di rongga pelvis, dan (3)
pada saat ureter masuk ke buli-buli atau uretero-vesico junction (UVJ). Ureter
masuk ke buli-buli dalam posisi miring dan berada di dalam otot buli-buli
(intramural) dan dalam kondisi normal, UVJ akan menutup saat berkemih, hal ini
dapat mencegah terjadinya aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau refluks
2008).
bagian yaitu: ureter pars abdominalis, yaitu yang berada dari pelvis renalis sampai
menyilang vasa iliaka, dan ureter pars pelvika, yaitu mulai dari persilangan dengan
12
vasa iliaka sampai masuk ke buli-buli (Purnomo, 2003). Di samping itu secara
radiologis ureter dibagi dalam tiga bagian, yaitu (1) ureter 1/3 proksimal mulai dari
pelvis renalis sampai batas atas sakrum, (2) ureter 1/3 medial mulai dari batas atas
sakrum sampai pada batas bawah sakrum, dan (3) ureter 1/3 distal mulai batas
Dinding ureter terdiri atas mukosa yang dilapisi oleh sel-sel transisional,
otot-otot polos sirkuler dan longitudinal yang dapat melakukan gerakan peristaltik
sistem yang sehat, kontraksi ureter secara ritmis (peristalsis) mendorong urine dari
ureter ke kandung kemih yag mengalir dalam kisaran 0,5-10 ml/menit untuk setiap
ginjal / ureter. Namun, ureter dapat mengalami obstruksi, baik secara internal
(misalnya batu saluran kemih) atau akibat kompresi eksternal (misalnya dari tumor)
menghentikan produksi urine dan seiring waktu menyebabkan gagal ginjal) atau
timbul infeksi. Idealnya, obstruksi ini harus dihilangkan dapat dengan drainase
langsung pada ginjal (nefrostomi) atau melalui penempatan stent ureter (Waters, et
al., 2008).
2.1.3 Buli-Buli
Buli-buli adalah organ berongga yang terdiri atas 3 lapis otot detrusor yang
otot sirkuler, dan paling luar merupakan otot longitudinal. Mukosa buli-buli terdiri
13
atas sel-sel transisional yang sama seperti pada mukosa-mukosa pada pelvis renalis,
ureter, dan uretra posterior. Pada dasar buli-buli kedua muara ureter dan meatus
uretra internum membentuk suatu segitiga yang disebut trigonum buli-buli. Dalam
untuk orang dewasa kurang lebih adalah 300 – 450 ml; sedangkan kapasitas buli-
buli pada anak menurut formula dari Koff adalah: Kapasitas buli-buli = {Usia
Pada saat kosong, buli-buli terletak di belakang simfisis pubis dan pada saat
penuh berada di atas simfisis sehingga dapat dipalpasi dan diperkusi. Buli-buli yang
terisi penuh memberikan rangsangan pada saraf aferen dan menyebabkan aktivasi
pusat miksi di medula spinalis segmen sakral S2-4. Hal ini akan menyebabkan
kontraksi otot detrusor, terbukanya leher buli-buli, dan relaksasi sfingter uretra
2.1.4 Uretra
melalui proses miksi. Secara anatomis uretra dibagi menjadi 2 bagian yaitu uretra
posterior dan uretra anterior. Pada laki-laki, organ ini berfungsi juga dalam
menyalurkan cairan mani. Uretra diperlengkapi dengan sfingter uretra interna yang
terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra, serta sfingter uretra eksterna yang
terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior. Proses miksi terjadi jika
tekanan intravesika melebihi tekanan intrauretra akibat kontraksi otot detrusor, dan
relaksasi sfingter uretra eksterna. Panjang uretra perempuan kurang lebih 3-5 cm,
14
sedangkan uretra laki-laki dewasa kurang lebih 23-25 cm. Perbedaan panjang inilah
yang menyebabkan keluhan hambatan pengeluaran urine lebih sering terjadi pada
kemih (ISK). Faktor pertahanan yang ada dalam saluran kemih meliputi area
periuretra dan uretra, kandung kemih, dan urine. Flora normal introitus vagina, area
lingkungan vagina yang berkaitan dengan estrogen, IgA serviks, dan pH vagina
yang rendah dapat mengubah kemampuan bakteri ini untuk berkoloni. Terjadinya
spermisida yang mengubah flora normal dan meningkatkan reseptivitas epitel untuk
kolonisasi uretra dengan uropatogen. Dekatnya meatus uretra ke area vulva dan
pertahanan uretra selain aliran urine sebagian besar tidak diketahui. Multiplikasi
bakteri pada uretra normal dapat dihambat oleh flora asli. Meskipun kolonisasi area
organisme untuk melawan mekanisme pertahanan normal urine dan kandung kemih
hanya bakteri bertahan inokulum kecil, berkembang biak atau menginfeksi host
bertanggung jawab untuk pertahanan ini juga melibatkan imunitas bawaan dan
dalam saluran kemih dan berperan sebagai faktor pertahanan tubuh dalam melawan
ISK. Lapisan epitel dalam saluran kemih juga tidak hanya sebagai barier fisik
receptors (TLRs) yang dapat mengikat komponen bakteri spesifik, sehingga dapat
untuk merekrut neutrofil ke area dan membatasi invasi ke jaringan. Antibodi serum
dan urine yang spesifik diproduksi oleh ginjal untuk meningkatkan osponisasi dan
seluler dan humoral dalam mencegah terjadinya ISK masih belum jelas; dimana
defisiensi fungsi sel B dan sel T ternyata tidak berhubungan dengan meningkatnya
frekuensi ISK. Bagaimananpun juga harus diingat bahwa sistem pertahanan tubuh
16
inflamasi) dapat menyebabkan terjadinya kerusakan sel dan jaringan. Pada ginjal,
kerusakan sel dan terbentuknya jaringan parut akibat infeksi dapat menyebabkan
bakteri ke lapisan sel saluran kemih dan tingkat adesi itu sendiri berhubungan
disebabkan oleh karena sel mukosa memiliki banyak tempat untuk berikatan
soluble compound yang secara normal bersaing untuk reseptor yang sama yang
2008).
terhadap ISK. Abnormalitas yang terjadi meliputi obstruksi saluran kemih, penyakit
kehamilan, dan pemkaian intrumen urologi, seperti stent ureter dan kateter uretra
(Tanagho, 2008).
17
misalnya akibat batu saluran kemih dan tumor, dan obstruksi eksternal seperti pada
kehamilan atau lesi vaskular seperti aneurisma arteri aorta atau iliaka, keganasan
retroperitoneal seperti kanker usus besar atau metastase kanker kandung kemih atau
keganasan ginekologi pada perempuan (Tseng, 2009). Obstruksi aliran urine pada
semua tingkat anatomi merupakan faktor penyebab utama host rentan terhadap ISK.
stasis urine yang akan mengganggu mekanisme pertahanan kandung kemih dan
ginjal. Stasis urine juga berkontribusi terhadap pertumbuhan bakteri dalam urine
menjadi faktor predisposisi utama. Dengan adanya benda asing, seperti batu saluran
kemih, stent ureter, maupun kateter uretra dapat sebagai tempat untuk berlindung
bakteri dari mekanisme pertahanan tubuh host. Misalnya, seorang pria dengan
residual urin yang banyak mungkin tetap tidak terinfeksi selama bertahun-tahun.
Namun, jika dipasang kateter, maka terbentuknya inokulum bakteri yang kecilpun
dapat menyebabkan infeksi yang berat dan sulit untuk diobati (Wein, et al., 2007;
Tanagho, 2008).
infundibulum, pelvis ginjal, dan bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh kaliks
ginjal. Batu yang mengisi pielum dan lebih dari dua kaliks ginjal memberikan
18
gambaran menyerupai tanduk rusa sehingga disebut batu staghorn. Batu yang tidak
terlalu besar didorong oleh peristaltik otot-otot sistem pelvikalises dan turun ke
ureter menjadi batu ureter. Tenaga peristaltik ureter mencoba untuk mengeluarkan
Batu yang ukurannya kecil (<5mm) pada umumnya dapat keluar spontan
sedangkan yang lebih besar seringkali tetap berada di ureter dan menyebabkan
paranefrik, ataupun pielonefritis. Pada keadaan yang lanjut dapat terjadi kerusakan
ginjal, dan jika mengenai kedua sisi mengakibatkan gagal ginjal permanen
(Purnomo, 2003).
terjadinya batu saluran kemih pada seseorang. Faktor-faktor itu adalah faktor
intrinsik yaitu keadaan yang berasal dari tubuh seseorang dan faktor ekstrinsik yaitu
pengaruh yang berasal dari lingkungan di sekitarnya. Faktor intrinsik itu antara lain
diantaranya geografi, iklim serta temperatur, asupan air, diet, pekerjaan (Purnomo,
2003), dan penyakit lain, seperti penyakit gout, obesitas, diabetes melitus (DM),
paling banyak sampai terendah, meliputi kalsium oksalat, asam urat, struvit atau
fosfat dan santin, sistin, silikat, dan senyawa lainnya (Badalato, 2016 ; Purnomo
2003) Batu biasanya terdiri dari bahan kimia kemih yang biasanya larut tetapi
terjadi dalam jumlah terlalu tinggi untuk tetap larut dalam urine. Sebagai hasil dari
2016). Data mengenai kandungan atau komposisi zat yang terdapat pada batu
batu, diikuti dengan sulvit, dan telah ditunjukkan bahwa komposisi mineral yang
terkandung dalam stent ureter secara signifikan berkorelasi dengan analisa batu
pada penderita dengan batu saluran kemih (Zumstein, 2017). Faktor terpenting yang
Di antara 75-80% batu asam urat terdiri atas asam urat murni dan sisanya
merupakan campuran kalsium oksalat (Purnomo, 2003). Sumber asam urat berasal
dari diet yang mengandung purin dan metabolisme endogen di dalam tubuh. Faktor
yang menyebabkan terbentuknya batu asam urat meliputi (1) urine yang terlalu
20
asam (pH urine <6 ), (2) volume urine yang jumlahnya sedikit (<2 liter/hari) atau
dehidrasi, dan (3) hiperurikosuria atau kadar asam urat yang tinggi. (Purnomo,
2003). Asam urat 100 kali lebih larut pada pH> 6 dibandingkan dengan pH <5,5.
Batu struvit disebut juga sebagai batu infeksi, karena terbentuknya batu ini
disebabkan oleh adanya infeksi saluran kemih (Badalato, 2016). Kuman penyebab
infeksi ini adalah kuman golongan pemecah urea atau urea splitter yang dapat
menghasilkan enzim urease dan merubah urine menjadi bersuasana basa melalui
saluran kemih tetapi kuman ini bukan termasuk pemecah urea. Karena bakteri yang
memproduksi urease tetap berada di dalam batu dan di dalam urin, urease yang terus
alkalinasasi urine yang terus-menerus. Dengan kondisi ini, terbentuk batu staghorn
yang sangat besar, yang dapat berkembang dengan cukup cepat, mengisi seluruh
adanya defek transport dibasic asam amino pada intestinal dan tubular ginjal (Wein,
(Purnomo, 2003) dan ekskresi sistin yag berlebih dalam uine (Wein, et al., 2007),
sistin adalah supersaturasi karena tidak ada inhibitor kristalisasi sistin yang spesifik
Batu xanthin, batu triamteren, dan batu silikat batu jenis lain yang sangat
jarang dijumpai. Batu xanthin terbentuk karena penyakit bawaan berupa defisiensi
dan xanthin menjadi asam urat. Pemakaian antasida yang mengandung silikat
seperti Proteus spp., dikenal dalam batu infeksi dan batu staghorn. Pada beberapa
studi telah ditunjukkan bahwa pada kultur batu ditemukan patogen menempel pada
dilakukan sebelum intervensi, namun belum sebagai prediktor yang baik untuk
kemih, baik batu ginjal maupun batu di ureter proksimal, terutama dengan
(Grabe, et al., 2012). Dengan ditemukannya organisme yang terisolasi dari batu dan
kultur darah, menurut Lifshitz et al., pada kasus batu saluran kemih kolonisasi stent
Urologi adalah salah satu bidang di dunia di mana tindakan operasi sebagian
besar telah berganti dari pembedahan terbuka menjadi minimal invasif, terutama
tindakan endoskopi untuk penyakit batu saluran kemih bagian atas dan stent ureter
al., menyebutkan sampel penelitian yang terbanyak juga berasal dari penderita
seperti stent ureter dikaitkan dengan peningkatan risiko infeksi saluran kemih dan
bakteremia setelah URS atau PCNL adalah 15% dan 37% (Lifshitz, et al., 1999).
Keadaan bakteremia dapat terjadi akibat kolonisasi stent, karena kolonisasi ini
dapat berfungsi sebagai nidus untuk bakteriuria yang memainkan peran penting
18,2% pada tindakan URS, dan 18,6% pada tindakan pembedahan terbuka
Saat ini URS telah menjadi pilihan penanganan batu ureter, khususnya batu
ureter tengah dan distal (Harrech, et al., 2014). Ureteroscopy (URS) retrograde,
melewatkan ureteroskop digital yang fleksibel dari kandung kemih, kemudian naik
ke ureter dan masuk ke collecting system ginjal untuk penanganan batu saluran
kemih. Dengan perangkat laser litotripsi yang canggih dan pencitraan ureteroskopik
digital, kebanyakan batu dapat tertangani dengan memecah batu menjadi potongan
kecil (<1 mm) yang bisa dilewati tanpa nyeri. Lebih dari 90% kasus batu ureter
Penempatan rutin stent ureter pada semua penderita setelah URS dianggap
penting, karena dapat mengurangi edema pasca dilatasi ureter. Pemasangan stent
pasca URS dapat tidak dilakukan pada jenis tindakan URS yang tidak kompleks,
yaitu tanpa dilatasi ureter intraoperatif. Faktor lain seperti waktu operasi dan lokasi
batu ginjal juga dapat sebagai pertimbangan. Ini akan membantu dalam memilih
penderita yang sesuai dengan prosedur tanpa pemasangan stent ureter (Hollenbeck,
et al., 2003).
ureter atau nephrostomy tube) dan demam pasca tindakan (Sohn, et al., 2013).
Manipulasi pada batu saluran kemih dan litotripsi dapat menyebabkan pelepasan
bakteri dari batu sehingga dapat mengkontaminasi urine dan memungkinkan bakteri
Syndrome (SIRS) dan sepsis (Wong, 2014). Menurut Ozgur et al., dalam
tindakan ekstraksi batu atau tindakan litotripsi, dibandingkan dengan tindakan URS
penderita dengan batu ginjal dan batu ureter yang besar (Wong, 2014), dimana
tindakan ini umumnya lebih invasif dibandingkan dengan ESWL (Badalato, 2016),
namun kurang invasif dibandingkan dengan operasi terbuka (Wong, 2014). Indikasi
untuk tindakan PCNL meliputi, ukuran batu >2cm, batu yang berlokasi di pelvis
renalis atau kaliks ginjal, dan batu multipel (Bawari, 2017). Batu staghorn yang
tindakan PCNL (Wong, 2014). Batu jenis ini dikenal dengan batu infeksius (Wein,
et al., 2007).
batu dengan urine yang steril sebelum operasi terutama pada mereka yang tidak
komplikasi paling serius setelah tindakan PCNL dan dapat disebabkan oleh infeksi
bakteri dari batu ginjal atau urine di pelvis renalis, yang memasuki aliran darah
PCNL diduga karena kolonisasi batu oleh bakteri dan pelepasan endotoksin selama
Stent ureter merupakan salah satu alat yang paling umum digunakan dalam
urologi yang berfungsi untuk menjaga drainase urine agar adekuat mulai dari ginjal
sampai ke kandung kemih melewati obstruksi ureter (Elwood, et al., 2013). Stent
ureter pertama kali dideskripsikan oleh Zimskind et al. pada tahun 1967 (Dyer, et
al., 2002; Al-Marhoon, 2012). Stent ureter telah menjadi bagian integral dari pilihan
terapi urologis. Indikasi awal untuk menempatkan stent ureter adalah untuk
mengatasi obstruksi atau fistula ureter, namun indikasi saat ini telah meningkat
secara signifikan (Al-Marhoon, 2012). Saat ini stent ureter sering digunakan
sebagai bypass obstruksi internal di ureter (misalnya karena batu) atau kompresi
dari ekternal ureter (misalnya keganasan). Stent ureter memungkinkan aliran urine
Batu saluran kemih merupakan salah satu indikasi yang paling sering untuk
dilakukannya insersi stent ureter. Stent ureter sering digunakan sebagai tambahan
pada prosedur ESWL atau endoskopi pada penderita yang memerlukan tindakan
bedah akibat batu (Chew, 2003). Stent memfasilitasi pelepasan batu selama ESWL
atau trauma (Hessen, 2000; Aydin, et al., 2015). Stent dapat menyebabkan dilatasi
yang berukuran lebih kecil (Chew, 2003), dan menyediakan drainase urine yang
yang meningkat, dan nyeri saat berkemih, sampai komplikasi yang lebih serius
dan gagal ginjal kronis dapat terjadi. Kolonisasi bakteri stent berperan utama
terjadinya infeksi yang terkait dengan stent yang dapat berkembang menjadi sepsis
stent, beberapa material dan pelapis stent telah dikembangkan (Chew, 2003).
Biomaterial stent ureter yang ideal belum ditemukan dan area pengembangan yang
menjanjikan adalah drug eluting stent untuk mencegah infeksi dan enkrustasi (Al-
Ghazo, et al., 2009). Modifikasi stent ureter meliputi desain, diameter, dan jenis
mungkin di masa depan untuk mencegah pembentukan kolonisasi stent (Klis, et al.,
2014).
Karakteristik stent ureter yang ideal, meliputi mudah saat dilakukan insersi,
tidak mudah terjadi migrasi, memberikan aliran urine yang optimal, dapat
al., 2017), tidak mudah terjadi enkrustasi, tidak menyebabkan refluks, mudah
terlihat dengan ultrasonografi, mudah diganti dan dilepas; dan terjangkau (Al-
Marhoon 2012). Seiring dengan perkembangan teknologi, maka desain stent ureter
27
juga berkembang. Namun, harus diakui, bahwa tidak ada stent yang tersedia saat
ini dapat memenuhi semua kriteria stent yang "ideal" (Dyer, et al., 2002 dan
Altunal, 2007).
ukuran diameter luar mulai 4,8 F sampai 6 F, dengan panjang 12-30cm (Singh,
2003; Wein, et al., 2007). Untuk orang dewasa rata-rata memakai ukuran 24 cm
(Wein, et al., 2007), untuk anak-anak, biasanya digunakan 4,8 fr dan 20-24cm
(sidehole) untuk menjamin aliran urine yang maksimal. Untuk menjaga posisi stent
tetap stabil ditentukan oleh bentuk ujungnya, single atau double pigtail atau
Double-J stent. Double-J stent pertama kali dilaporkan pada tahun 1978 oleh
Finney, mewakili arsitektur stent yang paling banyak digunakan dalam praktik
klinis. Migrasi stent dicegah oleh bagian terminal stent double-J yang melengkung
di dalam pelvis renalis ginjal dan kandung kemih (Zhao, 2014). Double-J stent
melengkung ke dalam rongga kandung kemih, seperti yang tampak pada gambar
2.2 dan panjang stent diukur di sepanjang segmen lurus stent dari onset satu curl ke
yang lainnya (Yachia, 2005). Ada beberapa cara untuk menentukan panjang stent
yang akan dipasang, yaitu ; (1) dengan mengukur panjang ureter mempergunakan
fluoroskopi, (2) menentukan panjang ureter dari gambaran urografi intravena, dan
(3) memperkirakan panjang ureter berdasarkan tinggi badan penderita (Wein, et al.,
2007).
secara perkutaneus menuju ginjal maupun saat operasi terbuka (Hessen, 2000;
stent saat penempatan dengan sitoskopi. Sideholes membantu drainase dan tanda
stent secara visual melalui sistoskopi (gambar 2.3). Guidewire dimasukkan terlebih
dahulu dari distal sideholes ke arah proksimal atau sebagai alternatif lain ujung
membiarkan stent terbentuk di bagian ginjal dan kandung kemih, seperti tampak
pada gambar 2.4 di bawah ini. Penempatan stent saat operasi terbuka adalah dengan
(Yachia, 2005)
pembuatan stent, namun telah ditinggalkan karena kerapuhannya dan stent menjadi
mudah patah. Berbagai bahan telah digunakan untuk pembuatan stent termasuk
30
silicone dan polyurethane (Wein, et al., 2007). Soft material – polimer sintesis
teridiri dari silicone atau polyurethane ini berhubungan dengan risiko terhadap
terjadinya iritasi (Zumstein, et al., 2017). Stent dari bahan silicone adalah bahan
elastis, kadang sulit untuk dilakukan implantasi stent ke dalam saluran kemih.
yang saat ini paling umum digunakan (Wein, et al., 2007). Material stent dari
silicone (Ahallal, 2010). Polyurethane sampai saat ini terus digunakan dalam
pembuatan stent, baik sendiri maupun dikombinasikan dengan bahan lainnya (Dyer,
et al., 2002). Sebagai polimer tunggal, polyurethane sangat kaku dan menyebabkan
ketidaknyamanan pada penderita dan ulserasi ureter, serta erosi pada ureter hewan
kerusakan mukosa. Material stent yang baru dan kombinasi polimer bersifat lebih
lembut, lebih nyaman, dan lebih mudah bermanuver di dalam saluran kemih (Wein,
et al., 2007). Contohnya meliputi Percuflex, Silitek , C-Flex, dan Tecoflex (Wein,
et al., 2007), telah digunakan dalam pembuatan double-J stent atau double-pigtail
(Dyer, et al., 2002). Stent dari bahan metal tampak lebih baik digunakan pada
potensinya sama untuk terjadinya enkrustasi dan adesi bakteri (Zumstein, et al.,
2017).
stent harus diganti setiap 3 sampai 4 bulan, untuk mencegah terjadinya infeksi dan
31
usaha untuk mengurangi pembentukan biofilm dan, dengan demikian juga untuk
Dalam penelitian yang dilakukan Klis et al., hanya 1 jenis stent yang
dikaitkan dengan risiko kolonisasi bakteri yang tinggi, jika dibandingkan dengan
jenis stent lainnya (silicone, latex, hydrogel coated) (Klis, et al., 2009). Jenis stent
kolonisasi stent masing-masing sebanyak 55%, 62,6%, 100 dan 50% pada jenis
stent C-flex, silicone, uretan dan urosoft (Lojanapiwat, 2006). Cardella et al.,
menunjukkan bahwa tingkat infeksi yang relatif lebih rendah berhubungan dengan
stent dari bahan silicone (Kehinde, et al., 2002). Cormie et al., melaporkan dengan
pemeriksaan mikroskop elektron tampak tidak ada perbedaan dalam adesi bakteri
di antara berbagai bahan stent pasca 6 minggu insersi stent (Lojanapiwat, 2006).
pelapis stent ureter (Zumstein, et al., 2017). Lapisan yang melapisi permukaan
untuk stent ureter biasanya dirancang untuk mncegah infeksi dan enkrustasi dengan
mengurangi enkrustasi stent (Wein, et al., 2007). Berbagai strategi lain juga telah
32
tahun terakhir untuk mencegah kolonisasi bakteri. Namun, terlepas dari kemajuan
sekarang ini, stent ideal yang tidak menyebabkan komplikasi sejauh ini belum dapat
penggunaan antibiotika pada waktu insersi srent ureter hanya dapat memperlambat
tapi tidak mencegah pembentukan biofilm dan tidak dapat menghilangkan biofilm
Pada permukaan stent dapat terbentuk lapisan biofilm, yang kemudian dapat
membentuk kolonisasi (Tenke, 2004). Di bawah lapisan biofilm ini, bakteri dapat
2009). Pembentukan biofilm pertama kali dikemukakan pada awal tahun 1990 oleh
Reid et al. (Bonkat, et al., 2011). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi adesi
Dimana proses ini berawal dengan deposisi komponen urine host pada permukaan
protein, elektrolit, dan molekul yang tidak diktetahui (Akay, et al., 2007 ; Aydin, et
al., 2015) Struktur biofilm dari kolonisasi bakteri berperan sebagai barier terhadap
dengan cairan tubuh, seperti urine dan darah, dan dengan jaringan uroepitelial
(Zumstein, 2017). Bakteri yang hadir dalam saluran kemih, seperti yang telah
dapat dikenali beberapa struktur permukaan dari bakteri dan akhirnya bakteri dapat
berikatan dan menempel pada permukaan stent (Chew, 2009). Menurut Elwood et
al., yang meniliti secara in vitro, pembentukan conditioning film pada stent setelah
diinkubasi dalam urine secara khusus ditemukan sitokeratin yang terasorbsi. Ini
merupakan gylcocylated cell, protein permukaan yang secara berlimpah hadir pada
permukaan sel uroepitelial. Selain itu, protein darah seperti hemoglobin dan
fibrinogen dan protein inflamasi terlibat dalam proses ini, yang mungkin akibat
cedera dan inflamasi yang sering berhubungan dengan tindakan insersi stent ureter
terjadinya penyerapan beberapa molekul dari cairan dan jaringan sekitar, seperti
kolagen, fibrinogen, dan albumin, yang dapat merubah permukaan stent ureter dan
tampak pada gambar 2.5 (Tenke, 2004) Tahap terakhir perkembangan biofilm
ruang yang penuh dengan cairan disekitarnya dan pintu saluran air yang terbuka
biofilm yang terdiri dari mikroorganisme dan film permukaan bertindak sebagai
tidak mampu melawan organsme planktonik ini, maka biofilm ini dapat bertahan
infection (Paick, et al., 2003; Al-Ghazo, et al., 2009). Kolonisasi stent merupakan
bersifat “silent”, namun stent yang terkolonisasi tersebut dapat sebagai sumber
penderita dengan gangguan sistem imun (Yeniyol, et al., 2003). Insersi stent ureter
kolonisasi, oleh karena kolonisasi ini dapat berfungsi sebagai nidus untuk
bakteriuria yang berperan penting dalam menimbulkan infeksi yang terkait stent
urine. Bagaimanapun juga kolonisasi pada stent, tidak selalu menyebabkan infeksi
saluran kemih yang simptomatik jika bakteri hanya menempel dan hidup sebagai
bakteriuria ditemukan dengan kolonisasi stent, tingkat bakteriuria adalah 40% pada
stent dengan kolonisasi. Hal ini menunjukkan bahwa kolonisasi bakteri stent ureter
tidak selalu menyebabkan infeksi saluran kemih (Paick, et al., 2003). Timbulnya
infeksi pada urine yang diakibatkan oleh pemasangan stent ureter, juga dipengaruhi
Kolonisasi bakteri stent ureter dapat terjadi dalam hitungan jam, karena
lapisan protein host yang selanjutnya menyebabkan adeesi bakteri akan menutupi
faecalis dapat menempel dan membentuk biofilm pada permukaan stent ureter
dalam waktu 24 jam. Baru-baru ini, Paick et al., melaporkan bahwa kolonisasi
bakteri dimulai 2 minggu setelah dilakukan insersi stent (Paick, et al, 2003), dan
diikuti dengan kolonisasi di urine (Josh, et al., 2011). Data peneltian lain juga
menunjukkan bahwa kolonisasi stent ureter terdeteksi satu hari setelah insersi dan
kolonisasi ini dapat menghilang 38 hari setelah stent dilepas (Altunal, 2017).
2.6.1 Urinalisis
Oleh karena itu, setiap kondisi yang menghasilkan asam atau basa dalam tubuh,
seperti asidosis atau alkalosis, atau konsumsi makanan bersifat asam atau basa
37
dapat secara langsung mempengaruhi pH urin (Wein, et al., 2007). Urine lebih
banyak mengandung air dan mengandung elektrolit, urea dan produk limbah
metabolisme protein lainnya yang lebih kompleks, dan sedikit albumin (Waters, et
al., 2008). Kadar bakteri dalam urine biasanya sangat rendah (kurang dari 103 per
mm3) dengan jumlah biasanya lebih tinggi pada kandung kemih daripada di pelvis
ginjal, mungkin karena kebanyakan kolonisasi bakteri berasal dari organisme yang
sedikit asam (yaitu, 5,5 sampai 6,5) karena aktivitas metabolik. Metabolisme
protein dan buah asam dapat menyebabkan urine menjadi asam, dan diet sitrat yang
Penentuan pH urin bermanfaat dalam diagnosis dan penanganan infeksi dan batu
2017) Nilai pH urin yang mendekati 6,0 mengurangi risiko pembentukan batu
ginjal. Namun risiko pembentukan batu asam urat dan kalsium semakin meningkat
pada pH urine <5,5 dan> 6,5 (Sakhae, et al., 2007) Urine yang bersifat basa pada
batu staghorn. Bakteri asam urat berhubungan dengan urine yang bersifat asam
Tes nitrit urine dan leukosit esterase (LE) sering dilakukan untuk
mendeteksi penderita yang berisiko tinggi terkena infeksi saluran kemih, termasuk
wanita hamil, remaja usia sekolah, usia lanjut, dan orang-orang dengan riwayat
ISK. Ditemukannya sel darah putih dalam urine biasanya menunjukkan adanya
ISK. Tes leukosit esterase (LE) mendeteksi esterase, enzim yang dilepaskan oleh
sel darah putih. Tes ini adalah cara tidak langsung untuk mendeteksi bakteri dalam
urine (Simerville, et al., 2005), yang akan dideteksi oleh tes kimiawi carik celup
oleh tes dipstick ini sesuai dengan jumlah esterase dan jumlah leukosit dalam urine
(Davies, 2004). Tes ini terdeteksi pada urine yang mengandung leukosit yang utuh
maupun yang lisis oleh karena reaksi inflamasi di saluran kemih (Semeniuk dan
Church, 1999). Ekstrak dari granula primer azurifilik dari neutrophil manusia berisi
Neutrofil bersifat labil dalam urine dan mudah rusak, namun aktivitas esterase tetap
didalam urine. Adanya esterase ini digunakan sebagai petunjuk adanya leukosit
petunjuk adanya infeksi saluran kemih. Hasil positif leukosit esterase memiliki
hubungan yang bermakna terhadap jumlah neutrofil baik dalam keadaan utuh
maupun lisis.
Pengukuran nitrit dalam urin sebagai indikator adanya bakteri pada awalnya
dijelaskan pada tahun 1879 oleh Criess. Hasilnya bergantung pada pengurangan
39
nitrat menjadi nitrit oleh tindakan enzimatik bakteri tertentu dalam urin. Nitrit
normalnya tidak ditemukan dalam urine, Nitrit dapat ditemukan dalam urine ketika
bakteri mereduksi nitrat urin menjadi nitrit. Banyak organisme gram negatif dan
beberapa organisme gram positif mampu melakukan konversi ini, dan hasil tes nitrit
dipstick yang positif menunjukkan bahwa organisme ini hadir dalam jumlah yang
signifikan (yaitu lebih dari 10.000 per mL) (Simerville, et al., 2005).
Dalam hal jumlah leukosit, ketika jumlahnya lebih dari 30, tingkat
kolonisasi stent secara signifikan lebih besar dari pada sampel urine dengan jumlah
leukosit kurang dari 30 (79% berbanding 33%; P<0,05). Sensitivitas urinalisis dan
kultur urine untuk mendeteksi kolonisasi bakteri masing-masing adalah 58% dan
40%, dan nilai prediksi positif masing-masing adalah 79% dan 100%. Jika kultur
urin positif atau jumlah leukosit per High Power Field (HPF) pada sampel urin
lebih besar dari 30, penggunaan antibiotika dan pelepasan atau penggantian stent
terjadi pada stent ureter tetapi mungkin tidak terdeteksi oleh kultur urine, sehingga
tidak dapat mengesampingkan adanya kolonisasi stent pada hasil kulltur urine yang
steril (Lojanapiwat, 2006). Retensi stent ureter pada saluran kemih dikaitkan
dengan risiko kolonisasi bakteri yang sangat tinggi, sementara untuk risiko infeksi
40
urine sekitar 8 kali lipat lebih rendah. Tidak konsistennya besar antara infeksi urine
dengan kolonisasi stent, mengindikasikan nilai prediksi kultur urine rendah untuk
oleh Farsi et al., melaporkan mengenai risiko kolonisasi stent yang jauh lebih tinggi
kolonisasi stent lebih dari dua kali lipat lebih tinggi dan mencapai presentase 67,9%
(Farsi, et al., 1995). Demikian pula Kehinde et al., melaporkan risiko kolonisasi
stent yang jauh lebih tinggi (42%) dibandingkan dengan infeksi urine (17%), yang
menunjukkan nilai prediksi infeksi urine yang sangat rendah untuk kolonisasi stent
Klis et al., berpendapat bahwa kultur urine tidak dapat memprediksi dengan
benar hasil kultur stent dan ditemukan perbedaan yang signifikan (Klis, et al.,
2009). Menurut Lifshitz et al., kultur urine yang steril tidak mengesampingkan
adanya kolonisasi bakteri stent ureter. Sensitivitas kultur urine terhadap kolonisasi
stent dinilai kurang, hanya menunjukkan 31% (Lifshitz, et al., 1999). Tidak adanya
hubungan yang signifikan antara kultur urine dan jumlah patogen yang terisolasi
pada permukaan stent, serta kultur bagian stent. Selain itu, tidak adanya hubungan
dari jumlah patogen yang berkolonisasi pada bagian stent dengan spesies bakteri
et al., 2003). Untuk pola distribusinya, massa biofilm tampaknya menurun di bagian
41
ujung distal dari stent ureter dan deposit didalamnya juga jarang walaupun dalam
kondisi stent yang terobstruksi (Zumstein, et al., 2017). Akay, et al., Melaporkan
kolonisasi stent sebanyak 31% di bagian proksimal stent dan 34% di bagian distal
stent (Akay, et al., 2007). Sedangkan dalam penelitian Klis et al. dan Aydin, et al.,
tingkat kolonisasi sama untuk setiap potongan stent (proksimal, sentral dan distal)
Menurut Paick et al., pada kolonisasi bakteri stent ureter, bakteri diisolasi
lebih awal di ujung distal (Paick, et al., 2003), oleh karena itu, dapat diasumsikan
bahwa pada saat proses instrumentasi, bakteri berasal dari tempat keluarnya stent
(meatus uretra atau dinding abdomen) dan bakteri dari meatus uretra memiliki
kemampuan untuk naik dan menempel pada stent ureter melalui urin dalam
Bakteri dalam biofilm berbeda baik dalam perilaku maupun dalam bentuk
konvensional hanya dapat mendeteksi bakteri planktonik ini, yang sangat berbeda
dari bakteri yang tertutup dalam biofilm. Bakteri dalam biofilm mengaktifkan
banyak gen, yang mengubah permukaan dan target molekuler lainnya, mengurangi
eksternal seperti matriks biofilm atau glikokaliks. Bakteri dalam biofilm dapat
antibakteri pada konsentrasi 1000-1500 kali lebih tinggi daripada yang dibutuhkan
untuk menghilangkan bakteri planktonik dari spesies yang sama (Tenke, 2004).
(Junuzovic, 2014). Sebagian besar infeksi saluran kemih berasal dari flora kolon
penderita sendiri (Grabe, 2012). Pada infeksi yang terkait dengan intrumentasi di
membentuk kelompok biofilm yang kompleks termasuk bakteri Gram positif dan
struktur luar membran patogen yang dikenal dengan adhesin, yang dapat
menyebabkan bakteri dapat menempel pada stent. Adhesin bakteri ini dikenal
dalam beberapa bentuk, dapat berupa protein atau struktur permukaan, yaitu
fimbriae, pili, lipo polysaccharide, dan capsular polysaccharide. Pili tipe 1 dikenal
sebagai adhesin dari Escherichia coli (Chew, 2009). Contoh lain, pelengkap sel
bakteri permukaan, fimbriae tipe 3, dikenal sebagai faktor virulensi penting untuk
Pneumoniae dan Escherichia Coli, sepert tampak pada gambar (Wein, et al., 2007;
urea hingga 10 kali lebih cepat dari pada tingkat spesies bakteri lainnya. Proses ini
struvit dan hidroksipitat, faktor adesi, transporter, faktor transkripsi, enzim, dan dua
sistem komponen. Interaksi kedua bakteri ini menimbulkan induksi yang sinergis
lactone, yang bertindak sebagai zat pembawa untuk pembentukan koloni bakteri.
sigma'. Protein ini merupakan subunit dari enzim RNA polimerase, yang membantu
dalam transkripsi informasi genetik yang diperlukan untuk membentuk biofilm dan
Escherichia coli (Al-Ghazo, et al., 2009; Klis, et al., 2014). Escherichia coli
merupakan bakteri yang paling sering ditemukan sebagai penyebab infeksi urine
dan juga yang paling sering ditemukan pada hasil kultur stent (Klis, et al., 2014).
organisme yang paling dominan, oleh karena organisme ini dapat menyebar dengan
cepat (Paick, et al., 2003). Untuk organisme yang paling banyak diitemukan di
2002), begitupula dengan Klis et al., menemukan dalam kultur urine banyak
Aydin et al, berpendapat identifikasi bakteri pada kultur urine sama dengan yang
ditemukan pada kolonisasi stent (Aydin, et al., 2015). Begitupula oleh Yeniyol et
al., bahwa kultur urine dan stent menunjukkan mikroorganisme yang identik
ditemukan baik di kolonisasi urine maupun stent ureter (Farsi, et al., 1995).
Aeruginosa yang paling sering ditemukan pada kultur stent (Chatterjee, et al.,
2014). Hasil serupa juga didapatkan dalam penelitian Ozgur, dkk serta Klis, dkk
bahwa spesies yang sering ditemukan terisolasi pada stent ureter adalah
Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococci (Ozgur, et al., 2013; Klis, et al., 2014)
pemasangan kateter atau implant dalam tubuh manusia seperti stent ureter (Wang,
dari bakteri yang berperan dalam pembentukan biofilm pada permukaan stent
(Zumstein, et al., 2017) dan muncul pada kolonisasi dengan lama pemakaian stent
Lama pemakaian stent ureter merupakan faktor risiko yang paling penting
untuk diketahui. Sebagian besar episode bakteriuria terkait pemakaian stent jangka
pendek disebabkan oleh satu organisme. Bila pemakaian stent berlangsung lama,
ada kecenderungan terjadi kolonisasi beberapa strain organisme. Kultur urine yang
standar mungkin tidak akan selalu mendeteksi fokus infeksi ini (Grabe, et al.,
2012).
profillaksis (Klis, et al., 2014). Bakteri pada stent yang ditemukan pada kultur stent
dibandingkan dengan kultur urine saat sebelum insersi stent ureter. Hal ini mungkin
berhubungan dengan ekspresi dari gen spesifik biofilm (Zumstein, et al., 2017).
Dalam studi yang dilakukan oleh Farsi et al., dan Lifshitz et al., pada penderita yang
46
aeruginosa pada permukaan stent dan kultur urine (Klis, et al., 2014). Klis et al.,
menemukan bahwa hampir di semua kasus (58/60) tersisolasi lebih dari satu
patogen. Hal ini sangat penting untuk menjadi perhatian, karena mengacu pada
Pada kondisi yang tidak normal dan penderita dengan underlying disease,
jamur selalu menjadi penyebab ISK atau kolonisasi stent. Jenis jamur yang dominan
adalah Candida albicans (Farsi, et al., 1995). Temuan ini mengkonfirmasi bahwa
penderita dengan diabetes melitus, gagal ginjal kronis atau nefropati diabetes telah
menurunkan imunitas host, sehingga mudah terjadi kolonisasi stent oleh spesies
Candida (Kehinde, et al., 2002). Tidak ditemukan hubungan antara jumlah patogen
yang terisolasi pada permukaan stent dengan jenis kelamin, durasi stenting, indikasi
(Aydin, et al., 2015), meliputi usia, jenis kelamin, faktor komorbid, dan status
imunologi penderita. Pada studi yang dilakukan oleh Farsi, et al., kolonisasi dapat
bervariasi tergantung dari karakteristik polimer stent (Farsi, et al., 1995). Chew,
menyebutkan faktor risiko infeksi akibat stent ureter, meliputi jenis kelamin
perempuan, ada faktor komorbid diabetes melitus dan gagal ginjal kronis, serta
47
durasi pemakaian stent lebih dari 90 hari (Chew, 2003). Durasi pemberian
antibiotika tidak berkorelasi dengan hasil kultur urine maupun stent. Kolonisasi
stent pada penderita yang diberikan terapi infeksi saluran kemih sebelum insersi
stent tidak berbeda dengan penderita dengan kultur urine yang steril (Lifshitz, et
al., 1999).
meningkat 2 kali pada perempuan (Kehinde, et al., 2002). Demikian pula menurut
Akay, et al. yang juga menemukan tingkat kolonisasi yang lebih tinggi pada
Zona perineum dan periuretral dan uretra bagian distal secara alami
ditemukan kolonisasi dari bakteri Gram negatif dan Gram positif yang dapat
memasuki kandung kemih baik melalui migrasi bakteri itu sendiri, melalui kateter
kandung kemih atau selama instrumentasi lain. Kehadiran bakteri secara alami
al., 2012). Pada perempuan, infeksi saluran kemih lebih sering terjadi oleh karena
uretra pendek, flora vagina sering terinfeksi oleh flora enterik dan juga karena
lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Lebih jauh lagi, hubungan ini meningkat
dengan adanya diabetes melitus, gagal ginjal kronis atau nefropati diabetes
(Kehinde, 2002). Farsi et al., menemukan 100% kolonisasi stent yang positif pada
kolonisasi bakteri (Paick, et al., 2003). Pada kasus obstruksi saluran kemih yang
yang besar (lebih dari 2cm) dan serum kreatinin yang tinggi tekait dengan gagalnya
(32%) pada kasus batu saluran kemih dan 10 (46%) pada keganasan. Tingkat
(Paick, et al., 2003). Namun menurut Aydin et al., dalam penelitiannya kolonisasi
stent paling banyak ditemukan pada kasus obstruksi akibat batu saluran kemih,
maupun kehamilan) (Aydin, et al., 2015). Tingkat kolonisasi secara signifikan lebih
perbedaan tingkat kolonisasi ini dapat disebabkan karena hidronefrosis yang berat
sebagai akibat stasis urine yang sudah berlangsung lama (Paick, et al., 2003).
Obstruksi menghambat aliran urin normal, dan stasis yang dihasilkan akan
mengganggu mekanisme pertahanan kandung kemih dan ginjal. Stasis urine juga
49
ureter masih terus diteliti. Tahap awal dari pembentukan biofilm, yaitu
terbentuknya conditioning film, terjadi segera setelah insersi stent, dimana untuk
terjadinya komplikasi lain seperti enkustrasi pada stent diperlukan waktu yang lama
sementara. Kolonisasi bakteri stent ureter dapat terjadi dalam jangka waktu pendek
(7-14 hari) terutama pada penderita dengan kelemahan sistem imun (Chew, 2009).
Penderita yang dengan faktor komorbid, seperti diabetes meilitus, gagal ginjal
kronis, nefropati diabetes memilki risiko tinggi untuk terjadinya kolonisasi stent
dan bakteriuria, sehingga perlu dilakukan pemasangan stent dalam jangka pendek
kolonisasi stent (Farsi, et al., 1995). Korelasi lamanya pemakaian stent ureter
dengan kolonisasi bakteri ditemukan pada semua penderita dengan stent permanen
(100%), dan 67,9-69,3% pada stent temporer (Lojanapiwat, 2006). Demikian pula
Kehinde et al., menyatakan bahwa, seiring dengan lamanya waktu pemakaian stent,
maka risiko bakteriuria dan kolonisasi akan meningkat (bulan pertama 4,2%, 3
50
bulan 34%) (Kehinde, et al., 2004). Paick et al., dan Kehinde et al., mencatat
hubungan yang signifikan antara durasi stenting dengan kolonisasi stent. Akay et
al., berpendapat bahwa durasi pemakaian stent yang lebih lama berkorelasi dengan
tingkat kolonisasi stent yang lebih tinggi namun tidak pada infeksi urine.
karena retensi jangka panjang dan posisi immobile dari stent ureter di saluran
kemih. Kolonisasi urine nampaknya jauh lebih sulit, mungkin karena urine terus
mengalir turun dari ginjal ke dalam kandung kemih (Klis, et al., 2009).
Penderita dengan obstruksi saluran kemih akibat batu saluran kemih, yang
saluran kemih akibat statis urine yang lama, dimulai dari bakteriuria yang
adanya gejala seperti disuria (nyeri saat berkemih), peningkatan frekuensi dan
urgensi, nyeri suprapubik dan nyeri tekan pada costovertebral angle (Altunal,
(CFU) per milliliter urine dengan kultur yang hanya menghasilkan satu atau dua
bakteri / jamur. Hitungan 104 CFU / mL dianggap signifikan jika dihitung pada
kultur berulang dan dengan bakteri yang sama, sedangkan kultur urine yang steril
berarti tidak ada pertumbuhan bakteri (Kehinde, et al., 2004). Infeksi saluran kemih
51
dimulai dengan adanya invasi bakteri melawan imunitas host dan menimbulkan
hasil kolonisasi stent yang positif dengan nilai p signifikan 0,000 (Joshi, 2011).
pemasangan stent, walaupun tidak harus oleh organisme yang sama. Paick et al.,
operasi menunjukkan adanya kolonisasi pada stent mereka (Paick, et al., 2003).
Pada kondisi urine yang steril, infeksi saluran kemih dapat berkembang
dalam jangka pendek sebagai komplikasi akibat instrumentasi seperti stent ureter,
atau dapat juga sebagai perpanjangan dari proses penyakit yang mendasarinya. Pada
penderita yang sudah dengan infeksi saluran kemih, pemasangan stent harus
sesuai hasil kultur memungkinkan sterilisasi urine. Penanganan infeksi ini pada
dengan tanpa kondisi seperti itu (Kehinde, et al., 2002). Diabetes melitus, gagal
ginjal kronis, obesitas, dan keganasan merupakan faktor risiko tinggi kolonisasi dan
52
infeksi saluran kemih (Al-Ghazo, et al., 2009 dan Joshi, 2011), oleh karena
mekanisme pertahanan ekstrinsik dan intrinsik alami dari kandung kemih, sehingga
stent ureter (Kehinde, et al., 2002; Aydin, et al., 2015; Altunal, et al., 2017).
a. Diabetes Melitus
dengan tingkat resistensi insulin yang bervariasi, gangguan sekresi insulin, dan
peningkatan produksi glukosa. Penderita dengan diabetes melitus tipe 2 dan gagal
ginjal kronis, merupakan 2 penyakit yang berisiko tinggi untuk terjadinya infeksi di
bagian tubuh lain, dengan infeksi saluran kemih (ISK) menjadi jenis infeksi yang
penderita diabetes (Chazan, 2015). Tingkat gula darah yang stabil dan terkoreksi
dianggap penting sebelum, selama dan setelah operasi. Hal ini juga diakui bahwa
bakteriuria lebih sering hadir pada individu dengan diabetes, dan bahkan lebih berat
dan dapat berlangsung lebih lama. Bakteriuria menjadi faktor risiko untuk
harus memiliki kadar glukosa darah yang terkontrol dan tidak ada bakteriuria
b. Obesitas
kelainan atau penyakit yang ditandai dengan penimbunan jaringan lemak tubuh
klasifikasi berat badan seseorang berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT), dengan
menghitung berat badan (dalam kg) dibagi tinggi (dalam m2). Seseorang dikatakan
obesitas jika IMT 30–40 kg/m² (Falagas, 2006). Obesitas terbukti menjadi faktor
risiko independen untuk infeksi, salah satunya infeksi saluran kemih (Grabe, et al.,
2012). Penderita batu saluran kemih dengan obesitas cenderung memiliki pH urin
termasuk leptin adipokin dan adiponektin, serta sitokin dan kemokin. Adiponektin
komponen pelindung dari respons imun dan defisiensi leptin pada manusia
dikaitkan dengan peningkatan angka kematian akibat infeksi (Falagas, et al., 2006;
Batu saluran kemih dapat mengganggu fungsi ginjal (Gambaro, 2017), dan
merupakan risiko potensial untuk terjadinya gagal ginjal kronis, sehingga dapat
Obstruksi aliran urin dan akibat tekanan balik menyebabkan perubahan pada
filtrasi glomerulus, hemodinamika ginjal dan fungsi tubulus ginjal yang akhirnya
obstruksi aliran urin yang akut, tekanan intratubular ginjal mulai meningkat.
Glomerolus Filtration Rate (GFR) merupakan parameter yang paling sensitif yang
ketika terjadi obstruksi saluran kemih. Tekanan intra-tubular yang meningkat dapat
darah ginjal yang dimediasi oleh dilatasi arteriolar aferen. Dilatasi arteriol aferen
terjadi karena mekanisme feedback tubulo-glomerulus yang dibawa oleh PGE2 dan
nitric oxide, yang dilepaskan oleh ginjal karena tekanan tubular yang meningkat.
makula densa juga menambah dilatasi dan akibatnya meningkatkan aliran darah
lebih dari 24 jam, aliran darah ginjal dan GFR mulai menurun karena meningkatnya
rsistensi arteriolar aferen ginjal. Aliran darah ginjal yang berubah menyebabkan
sebagian besar korteks ginjal menjadi tidak sempurna / tidak disembuhkan, yang
ginjal yang menyebabkan semakin jatuhnya GFR di kemudian hari (Singh, 2012).
55
Gault, dengan mengalikan konstanta 0,85 bila pada perempuan seperti yang tampak
pada gambar di bawah ini (Carrol, 2006). Hubungan antara komponen dalam batu
dengan perubahan fungsi ginjal masih belum jelas. Chou et al., menyebutkan semua
penderita dengan batu saluran kemih menederita gagal ginjal kronis stadium 2 dan
3. Namun ditemukan penderita dengan batu asam urat dan struvit secara signifikan