Anda di halaman 1dari 48

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Traktus urinarius merupakan saluran dan reservoir untuk urine yang

diekskresikan oleh ginjal. Setelah diproduksi di parenkim ginjal, urine dikumpulkan

di pelvis renalis dan melewati ureter menuju ke kandung kemih, dimana urine

disimpan pada tekanan rendah sampai proses berkemih terjadi. Selama proses

berkemih tekanan kandung kemih meningkat, aliran urine mengalir melalui uretra

dan keluar dari tubuh (Waters, et al., 2008).

2.1.1 Ginjal

Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga

retroperitoneal bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya

menghadap ke medial. Pada sisi ini terdapat hilus ginjal yaitu tempat struktur-

struktur pembuluh darah, sistem limfatik, sistem saraf, dan ureter menuju dan

meninggalkan ginjal (Purnomo, 2003).

Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrus tipis dan mengkilat yang disebut

kapsula fibrosa (true capsule) ginjal dan di luar kapsul ini terdapat jaringan lemak

perirenal. Di sebelah kranial ginjal terdapat kelenjar anak ginjal atau glandula

adrenal / supra-renal yang berwarna kuning. Kelenjar adrenal bersama-sama ginjal

dan jaringan lemak perirenal dibungkus oleh fasia Gerota, yang berfungsi sebagai

9
10

barier yang menghambat meluasnya perdarahan dari parenkim ginjal, mencegah

ekstravasasi urine pada saat terjadi trauma ginjal, serta menghambat penyebaran

infeksi atau metastasis tumor ginjal ke organ di sekitarnya. Di luar fasia Gerota

terdapat jaringan lemak retroperitoneal atau disebut jaringan lemak pararenal

(Purnomo, 2003).

Ginjal mendapatkan aliran darah dari arteri renalis yang merupakan cabang

langsung dari aorta abdominalis, sedangkan darah vena dialirkan melalui vena

renalis yang bermuara ke dalam vena kava inferior. Sistem arteri ginjal adalah end

arteries yaitu arteri yang tidak mempunyai anastomosis dengan cabang-cabang dari

arteri lain, sehingga jika terdapat kerusakan pada salah satu cabang arteri ini,

berakibat timbulnya iskemia/nekrosis pada daerah yang dilayaninya (Purnomo,

2003).

2.1.2 Ureter

Ureter adalah organ yang berbentuk tabung kecil yang berfungsi

mengalirkan urine dari pielum ginjal ke dalam buli-buli, dengan panjang 20cm pada

orang dewasa. (Purnomo, 2003). Sepanjang perjalanan ureter dari pielum menuju

buli-buli, secara anatomis terdapat beberapa tempat yang ukuran diameternya

relatif lebih sempit daripada di tempat lain, sehingga batu atau benda-benda lain

yang berasal dari ginjal seringkali tersangkut di tempat itu. Tampak pada gambaran

ginjal dan ureter pada retrogade pyelogram di bawah ini (gambar 2.1), dimana

kontras disuntikkan ke dalam ureter dari bawah, melalui endoskopi dalam kandung

kemih (Moore, 2010) dan akan tampak tempat-tempat penyempitan di ureter


11

meliputi: (1) pada perbatasan antara pelvis renalis dan ureter atau uretero-pelvic

junction (UPJ), (2) tempat ureter menyilang arteri iliaka di rongga pelvis, dan (3)

pada saat ureter masuk ke buli-buli atau uretero-vesico junction (UVJ). Ureter

masuk ke buli-buli dalam posisi miring dan berada di dalam otot buli-buli

(intramural) dan dalam kondisi normal, UVJ akan menutup saat berkemih, hal ini

dapat mencegah terjadinya aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau refluks

vesiko-ureter pada saat buli-buli berkontraksi (Purnomo, 2003; Waters, et al.,

2008).

Gambar 2.1 : Ginjal dan ureter pada retrogade pyelogram..


Tanda panah menunjukkan papila yang menonjol ke dalam kaliks minor dan
nomor1-3 menunjukkan bagian-bagian ureter yang mengalami penyempitan.
Dikutip dari : Moore K, Dalley, A.F., Agur, A.M. (2010). Essential Clinical
Anatomy. Lippincot Williams and Wilkins. 5rd Edition; p1224-51

Untuk kepentingan radiologi dan pembedahan, ureter dibagi menjadi dua

bagian yaitu: ureter pars abdominalis, yaitu yang berada dari pelvis renalis sampai

menyilang vasa iliaka, dan ureter pars pelvika, yaitu mulai dari persilangan dengan
12

vasa iliaka sampai masuk ke buli-buli (Purnomo, 2003). Di samping itu secara

radiologis ureter dibagi dalam tiga bagian, yaitu (1) ureter 1/3 proksimal mulai dari

pelvis renalis sampai batas atas sakrum, (2) ureter 1/3 medial mulai dari batas atas

sakrum sampai pada batas bawah sakrum, dan (3) ureter 1/3 distal mulai batas

bawah sakrum sampai masuk ke buli-buli (Wein, et al., 2007).

Dinding ureter terdiri atas mukosa yang dilapisi oleh sel-sel transisional,

otot-otot polos sirkuler dan longitudinal yang dapat melakukan gerakan peristaltik

(berkontraksi) guna mengeluarkan urine ke buli-buli (Purnomo, 2003). Dalam

sistem yang sehat, kontraksi ureter secara ritmis (peristalsis) mendorong urine dari

ureter ke kandung kemih yag mengalir dalam kisaran 0,5-10 ml/menit untuk setiap

ginjal / ureter. Namun, ureter dapat mengalami obstruksi, baik secara internal

(misalnya batu saluran kemih) atau akibat kompresi eksternal (misalnya dari tumor)

dan kadang-kadang penyumbatan dapat berkembang dengan cepat dan

menyebabkan komplikasi, baik karena peningkatan tekanan intrarenal (yang dapat

menghentikan produksi urine dan seiring waktu menyebabkan gagal ginjal) atau

timbul infeksi. Idealnya, obstruksi ini harus dihilangkan dapat dengan drainase

langsung pada ginjal (nefrostomi) atau melalui penempatan stent ureter (Waters, et

al., 2008).

2.1.3 Buli-Buli

Buli-buli adalah organ berongga yang terdiri atas 3 lapis otot detrusor yang

saling beranyaman. Di sebelah dalam adalah otot longitudinal, di tengah merupakan

otot sirkuler, dan paling luar merupakan otot longitudinal. Mukosa buli-buli terdiri
13

atas sel-sel transisional yang sama seperti pada mukosa-mukosa pada pelvis renalis,

ureter, dan uretra posterior. Pada dasar buli-buli kedua muara ureter dan meatus

uretra internum membentuk suatu segitiga yang disebut trigonum buli-buli. Dalam

menampung urine, buli-buli mempunyai kapasitas maksimal, yang volumenya

untuk orang dewasa kurang lebih adalah 300 – 450 ml; sedangkan kapasitas buli-

buli pada anak menurut formula dari Koff adalah: Kapasitas buli-buli = {Usia

(tahun) + 2} × 30 ml (Purnomo, 2003).

Pada saat kosong, buli-buli terletak di belakang simfisis pubis dan pada saat

penuh berada di atas simfisis sehingga dapat dipalpasi dan diperkusi. Buli-buli yang

terisi penuh memberikan rangsangan pada saraf aferen dan menyebabkan aktivasi

pusat miksi di medula spinalis segmen sakral S2-4. Hal ini akan menyebabkan

kontraksi otot detrusor, terbukanya leher buli-buli, dan relaksasi sfingter uretra

sehingga terjadilah proses miksi (Purnomo, 2003).

2.1.4 Uretra

Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine ke luar dari buli-buli

melalui proses miksi. Secara anatomis uretra dibagi menjadi 2 bagian yaitu uretra

posterior dan uretra anterior. Pada laki-laki, organ ini berfungsi juga dalam

menyalurkan cairan mani. Uretra diperlengkapi dengan sfingter uretra interna yang

terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra, serta sfingter uretra eksterna yang

terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior. Proses miksi terjadi jika

tekanan intravesika melebihi tekanan intrauretra akibat kontraksi otot detrusor, dan

relaksasi sfingter uretra eksterna. Panjang uretra perempuan kurang lebih 3-5 cm,
14

sedangkan uretra laki-laki dewasa kurang lebih 23-25 cm. Perbedaan panjang inilah

yang menyebabkan keluhan hambatan pengeluaran urine lebih sering terjadi pada

laki-laki (Purnomo, 2003).

2.2 Pertahanan Alami Saluran Kemih

Faktor host berperan penting dalam patogenesis terjadinya infeksi saluran

kemih (ISK). Faktor pertahanan yang ada dalam saluran kemih meliputi area

periuretra dan uretra, kandung kemih, dan urine. Flora normal introitus vagina, area

periuretra, dan uretra biasanya mengandung mikroorganisme seperti lactobacilli,

staphylococci negatif koagulase, corynebacteria, dan streptococci yang

membentuk barier dalam melawan kolonisasi uropatogenik. Perubahan pada

lingkungan vagina yang berkaitan dengan estrogen, IgA serviks, dan pH vagina

yang rendah dapat mengubah kemampuan bakteri ini untuk berkoloni. Terjadinya

kolonisasi telah dikaitkan dengan penggunaan agen antimikroba dan agen

spermisida yang mengubah flora normal dan meningkatkan reseptivitas epitel untuk

uropatogen (Wein, et al., 2007).

Sedikit yang diketahui tentang faktor-faktor yang menjadi predisposisi

kolonisasi uretra dengan uropatogen. Dekatnya meatus uretra ke area vulva dan

perianal dapat menyebabkan kontaminasi sering terjadi. Sifat mekanisme

pertahanan uretra selain aliran urine sebagian besar tidak diketahui. Multiplikasi

bakteri pada uretra normal dapat dihambat oleh flora asli. Meskipun kolonisasi area

periuretra dan uretra merupakan prasyarat untuk terjadinya infeksi, kemampuan


15

organisme untuk melawan mekanisme pertahanan normal urine dan kandung kemih

juga berperan penting (Wein, et al., 2007).

Bakteri mungkin cukup sering masuk ke dalam kandung kemih. Apakah

hanya bakteri bertahan inokulum kecil, berkembang biak atau menginfeksi host

bergantung pada kemampuan pengosongan kandung kemih. Faktor tambahan yang

bertanggung jawab untuk pertahanan ini juga melibatkan imunitas bawaan dan

adaptif dan eksfoliasi sel epitel (Wein, et al., 2007).

Urine berperan dalam sistem pertahanan tubuh karena mengandung faktor-

faktor inhibitor yang dapat menghambat menempelnya bakteri, seperti uromodulin

(Tamm-Horsfall protein). Protein ini membantu mengeleminasi infeksi bakteri

dalam saluran kemih dan berperan sebagai faktor pertahanan tubuh dalam melawan

ISK. Lapisan epitel dalam saluran kemih juga tidak hanya sebagai barier fisik

terhadap infeksi, tetapi memiliki kemampuan dalam mengenali bakteri yang

mengganggu imunitas bawaan host. Sel uroepitelial mengekspresikan toll-like

receptors (TLRs) yang dapat mengikat komponen bakteri spesifik, sehingga dapat

memproduksi mediator inflamasi. Respon lapisan sel saluran kemih terhadap

kehadiran bakteri adalah dengan mensekresi chemoattractans, seperti interleukin-8

untuk merekrut neutrofil ke area dan membatasi invasi ke jaringan. Antibodi serum

dan urine yang spesifik diproduksi oleh ginjal untuk meningkatkan osponisasi dan

fagositosis bakteri serta menghambat adesi bakteri. Perlindungan dari imunitas

seluler dan humoral dalam mencegah terjadinya ISK masih belum jelas; dimana

defisiensi fungsi sel B dan sel T ternyata tidak berhubungan dengan meningkatnya

frekuensi ISK. Bagaimananpun juga harus diingat bahwa sistem pertahanan tubuh
16

dalam membantu mencegah dan/atau membatasi infeksi (contohnya respon

inflamasi) dapat menyebabkan terjadinya kerusakan sel dan jaringan. Pada ginjal,

kerusakan sel dan terbentuknya jaringan parut akibat infeksi dapat menyebabkan

timbulnya keadaan patologik, seperti hipertensi, preeklampsi selama kehamilan,

disfungi ginjal, dan gagal ginjal (Tanagho, 2008).

Beberapa studi menunjukkan bahwa ada selektifitas dalam proses adesi

bakteri ke lapisan sel saluran kemih dan tingkat adesi itu sendiri berhubungan

dengan proses terjadinya kolonisasi dan infeksi. Meningkatnya adesi bakteri

disebabkan oleh karena sel mukosa memiliki banyak tempat untuk berikatan

dengan adhesin bakteri. Penjelasan lain, penederita mungkin tidak mensekresi

soluble compound yang secara normal bersaing untuk reseptor yang sama yang

mengikat adhesin bakteri. Kelompok antigen darah dapat membentuk soluble

compound ini yang dapat menghambat menempelnya bakteri. Penemuan ini

menjelaskan predisposisi genetik seseorang yang rentan terhadap ISK (Tanagho,

2008).

2.3 Perubahan Dalam Mekanisme Pertahanan Host

Abnormalitas baik anatomi maupun fungsional saluran kemih dapat

berdampak pada terganggunya aliran urine sehingga meningkatkan kerentanan host

terhadap ISK. Abnormalitas yang terjadi meliputi obstruksi saluran kemih, penyakit

neurologi yang menyebabkan gangguan fungsi saluran kemih bagian bawah,

kehamilan, dan pemkaian intrumen urologi, seperti stent ureter dan kateter uretra

(Tanagho, 2008).
17

Obstruksi saluran kemih dapat diklasifikasikan menjadi obstruksi internal

misalnya akibat batu saluran kemih dan tumor, dan obstruksi eksternal seperti pada

kehamilan atau lesi vaskular seperti aneurisma arteri aorta atau iliaka, keganasan

retroperitoneal seperti kanker usus besar atau metastase kanker kandung kemih atau

keganasan ginekologi pada perempuan (Tseng, 2009). Obstruksi aliran urine pada

semua tingkat anatomi merupakan faktor penyebab utama host rentan terhadap ISK.

Obstruksi dapat menghambat aliran urine normal, dan menyebabkan terjadinya

stasis urine yang akan mengganggu mekanisme pertahanan kandung kemih dan

ginjal. Stasis urine juga berkontribusi terhadap pertumbuhan bakteri dalam urine

dan kemampuan mereka untuk menempel pada sel-sel urotelial. Meskipun

obstruksi dapat meningkatkan tingkat keparahan infeksi, namun obstruksi bukan

menjadi faktor predisposisi utama. Dengan adanya benda asing, seperti batu saluran

kemih, stent ureter, maupun kateter uretra dapat sebagai tempat untuk berlindung

bakteri dari mekanisme pertahanan tubuh host. Misalnya, seorang pria dengan

residual urin yang banyak mungkin tetap tidak terinfeksi selama bertahun-tahun.

Namun, jika dipasang kateter, maka terbentuknya inokulum bakteri yang kecilpun

dapat menyebabkan infeksi yang berat dan sulit untuk diobati (Wein, et al., 2007;

Tanagho, 2008).

2.4 Batu Saluran Kemih

Batu ginjal terbentuk pada tubuli ginjal kemudian berada di kaliks,

infundibulum, pelvis ginjal, dan bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh kaliks

ginjal. Batu yang mengisi pielum dan lebih dari dua kaliks ginjal memberikan
18

gambaran menyerupai tanduk rusa sehingga disebut batu staghorn. Batu yang tidak

terlalu besar didorong oleh peristaltik otot-otot sistem pelvikalises dan turun ke

ureter menjadi batu ureter. Tenaga peristaltik ureter mencoba untuk mengeluarkan

batu hingga turun ke buli-buli (Purnomo, 2003; Badalato, 2016)

Batu yang ukurannya kecil (<5mm) pada umumnya dapat keluar spontan

sedangkan yang lebih besar seringkali tetap berada di ureter dan menyebabkan

reaksi keradangan (periureteritis) serta menimbulkan obstruksi kronis berupa

hidroureter atau hidronefrosis. Jika disertai dengan infeksi sekunder dapat

menimbulkan pionefrosis, urosepsis, abses ginjal, abses perinefrik, abses

paranefrik, ataupun pielonefritis. Pada keadaan yang lanjut dapat terjadi kerusakan

ginjal, dan jika mengenai kedua sisi mengakibatkan gagal ginjal permanen

(Purnomo, 2003).

Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah

terjadinya batu saluran kemih pada seseorang. Faktor-faktor itu adalah faktor

intrinsik yaitu keadaan yang berasal dari tubuh seseorang dan faktor ekstrinsik yaitu

pengaruh yang berasal dari lingkungan di sekitarnya. Faktor intrinsik itu antara lain

herediter (keturunan), usia, dan jenis kelamin. Beberapa faktor ekstrinsik

diantaranya geografi, iklim serta temperatur, asupan air, diet, pekerjaan (Purnomo,

2003), dan penyakit lain, seperti penyakit gout, obesitas, diabetes melitus (DM),

dan hipertensi (Denstedt, 2008).


19

2.4.1 Jenis Batu Saluran Kemih

Batu saluran kemih mengandung berbagai komposisi, dari frekuensi yang

paling banyak sampai terendah, meliputi kalsium oksalat, asam urat, struvit atau

infeksi (triple phosphate = magnesium ammonium calcium phosphate), kalsium

fosfat dan santin, sistin, silikat, dan senyawa lainnya (Badalato, 2016 ; Purnomo

2003) Batu biasanya terdiri dari bahan kimia kemih yang biasanya larut tetapi

terjadi dalam jumlah terlalu tinggi untuk tetap larut dalam urine. Sebagai hasil dari

perubahan supersaturasi, beberapa zat terlarut cenderung mengendap dan

mengumpul membentuk kumpulan kristal yang mengeras atau batu (Badalato,

2016). Data mengenai kandungan atau komposisi zat yang terdapat pada batu

sangat penting untuk usaha pencegahan terhadap kemungkinan timbulnya batu

residif (Purnomo, 2003).

Kalsium oksalat merupakan tipe mineral yang dominan ditemukan dalam

batu, diikuti dengan sulvit, dan telah ditunjukkan bahwa komposisi mineral yang

terkandung dalam stent ureter secara signifikan berkorelasi dengan analisa batu

pada penderita dengan batu saluran kemih (Zumstein, 2017). Faktor terpenting yang

meningkatkan supersaturasi dan pengendapan kalsium oksalat dan adalah dehidrasi,

hiperkalsiuria, hiperoksaluria, hipernatrituria, hipositraturia dan hiperurikosuria.

(Badalato, 2016; Purnomo, 2003).

Di antara 75-80% batu asam urat terdiri atas asam urat murni dan sisanya

merupakan campuran kalsium oksalat (Purnomo, 2003). Sumber asam urat berasal

dari diet yang mengandung purin dan metabolisme endogen di dalam tubuh. Faktor

yang menyebabkan terbentuknya batu asam urat meliputi (1) urine yang terlalu
20

asam (pH urine <6 ), (2) volume urine yang jumlahnya sedikit (<2 liter/hari) atau

dehidrasi, dan (3) hiperurikosuria atau kadar asam urat yang tinggi. (Purnomo,

2003). Asam urat 100 kali lebih larut pada pH> 6 dibandingkan dengan pH <5,5.

Hiperurikosuria juga terkait dengan penyakit seperti resistensi insulin, diabetes

melitus dan sindroma Lesch-Nyhan (Badalato, 2016).

Batu struvit disebut juga sebagai batu infeksi, karena terbentuknya batu ini

disebabkan oleh adanya infeksi saluran kemih (Badalato, 2016). Kuman penyebab

infeksi ini adalah kuman golongan pemecah urea atau urea splitter yang dapat

menghasilkan enzim urease dan merubah urine menjadi bersuasana basa melalui

hidrolisis urea menjadi amoniak (Purnomo, 2003). Kuman-kuman yang termasuk

pemecah urea di antaranya adalah : Proteus spp, Klebsiella, Serratia, Enterobacter,

Pseudomonas dan Staphylococcus. Escherichia coli banyak menimbulkan infeksi

saluran kemih tetapi kuman ini bukan termasuk pemecah urea. Karena bakteri yang

memproduksi urease tetap berada di dalam batu dan di dalam urin, urease yang terus

dihasilkan bakteri-bakteri ini terus memecah urea sehingga menghasilkan

alkalinasasi urine yang terus-menerus. Dengan kondisi ini, terbentuk batu staghorn

yang sangat besar, yang dapat berkembang dengan cukup cepat, mengisi seluruh

pelvis ginjal dan semua ruang kaliks ginjal (Badalato, 2016).

Sistinuria merupakan penyakit resesif autosomal, yang ditandai dengan

adanya defek transport dibasic asam amino pada intestinal dan tubular ginjal (Wein,

et al., 2007), menyebabkan kelainan dalam absorbsi sistin di mukosa usus

(Purnomo, 2003) dan ekskresi sistin yag berlebih dalam uine (Wein, et al., 2007),

Kontributor utama kristalisasi sistin, sehingga menyebabkan terbentuknya batu


21

sistin adalah supersaturasi karena tidak ada inhibitor kristalisasi sistin yang spesifik

dalam urin (Badalato, 2016; Wein, et al., 2007).

Batu xanthin, batu triamteren, dan batu silikat batu jenis lain yang sangat

jarang dijumpai. Batu xanthin terbentuk karena penyakit bawaan berupa defisiensi

enzim xanthin oksidase yang mengkatalisis perubahan hipoxanthin menjadi xanthin

dan xanthin menjadi asam urat. Pemakaian antasida yang mengandung silikat

(magnesium silikat atau aluminometilsalisilat) yang berlebihan dan dalam jangka

waktu lama dapat menyebabkan timbulnya batu silikat (Purnomo, 2003)

Mariappan et al., menegaskan bahwa bakteri di dalam batu berperan dalam

proses timbulnya infeksi sistemik (Lojanapiwat, 2016). Bakteri penghasil urease

seperti Proteus spp., dikenal dalam batu infeksi dan batu staghorn. Pada beberapa

studi telah ditunjukkan bahwa pada kultur batu ditemukan patogen menempel pada

batu sekitar 30-70% kasus. Walaupun kultur urine direkomendasikan untuk

dilakukan sebelum intervensi, namun belum sebagai prediktor yang baik untuk

menunjukkan kehadiran mikroba. Dengan demikian, semua kasus batu saluran

kemih, baik batu ginjal maupun batu di ureter proksimal, terutama dengan

timbulnya obstruksi saluran kemih, mengandung mikroba yang berpotensi tumbuh

dan berkembang meskipun tidak ditemukannya pertumbuhan pada kultur urine

(Grabe, et al., 2012). Dengan ditemukannya organisme yang terisolasi dari batu dan

kultur darah, menurut Lifshitz et al., pada kasus batu saluran kemih kolonisasi stent

dapat berfungsi sebagai tempat perlindungan bakteri (Lifshitz, et al., 1999).


22

2.4.2 Tindakan Endourologi Pada Batu Saluran Kemih

Urologi adalah salah satu bidang di dunia di mana tindakan operasi sebagian

besar telah berganti dari pembedahan terbuka menjadi minimal invasif, terutama

tindakan endoskopi untuk penyakit batu saluran kemih bagian atas dan stent ureter

telah menjadi bagian penting didalamnya (Javed, et al., 2016).

Beberapa tindakan endourologi meliputi ureteroscopy (URS), dan

percutaneous nephrolithotomy (PCNL) (Purnomo, 2003). Al Ghazo et al.,

menyebutkan sampel terbanyak dalam penelitiannya berasal dari tindakan

endourologi dibandingkan operasi terbuka, dengan tindakan ureteroscopy (URS)-

litotripsi yang mendominasi (Al-Ghazo, et al., 2009). Begitupula dengan Aydin et

al., menyebutkan sampel penelitian yang terbanyak juga berasal dari penderita

dengan tindakan endourologi (Aydin, et al., 2015).

Namun di sisi lain, setiap prosedur urologis dengan penggunaan instrumen,

seperti stent ureter dikaitkan dengan peningkatan risiko infeksi saluran kemih dan

bakteremia (Junuzovic, et al., 2014). Manipulasi stent selama ureteroskopi atau

intervensi lainnya dapat menyebabkan bakteriuria dan yang kemudian dapat

berkembang menjadi bakteriemia. Rao et al., telah menunjukkan bahwa kejadian

bakteremia setelah URS atau PCNL adalah 15% dan 37% (Lifshitz, et al., 1999).

Keadaan bakteremia dapat terjadi akibat kolonisasi stent, karena kolonisasi ini

dapat berfungsi sebagai nidus untuk bakteriuria yang memainkan peran penting

dalam infeksi terkait stent. (Lojanapiwat, 2006). Jika dibandingkan tindakan

endoskopi dengan pembedahan terbuka, kolonisasi stent ditemukan sebanyak


23

18,2% pada tindakan URS, dan 18,6% pada tindakan pembedahan terbuka

(Yeniyol, et al., 2003)

Saat ini URS telah menjadi pilihan penanganan batu ureter, khususnya batu

ureter tengah dan distal (Harrech, et al., 2014). Ureteroscopy (URS) retrograde,

melewatkan ureteroskop digital yang fleksibel dari kandung kemih, kemudian naik

ke ureter dan masuk ke collecting system ginjal untuk penanganan batu saluran

kemih. Dengan perangkat laser litotripsi yang canggih dan pencitraan ureteroskopik

digital, kebanyakan batu dapat tertangani dengan memecah batu menjadi potongan

kecil (<1 mm) yang bisa dilewati tanpa nyeri. Lebih dari 90% kasus batu ureter

dinyatakan bebas batu setelah prosedur URS tunggal (Badalato, 2016).

Penempatan rutin stent ureter pada semua penderita setelah URS dianggap

penting, karena dapat mengurangi edema pasca dilatasi ureter. Pemasangan stent

pasca URS dapat tidak dilakukan pada jenis tindakan URS yang tidak kompleks,

yaitu tanpa dilatasi ureter intraoperatif. Faktor lain seperti waktu operasi dan lokasi

batu ginjal juga dapat sebagai pertimbangan. Ini akan membantu dalam memilih

penderita yang sesuai dengan prosedur tanpa pemasangan stent ureter (Hollenbeck,

et al., 2003).

Sohn et al., menyebutkan faktor risiko komplikasi infeksi yang terjadi

setelah tindakan URS berhubungan dengan tindakan instrumentasi urologi (stent

ureter atau nephrostomy tube) dan demam pasca tindakan (Sohn, et al., 2013).

Manipulasi pada batu saluran kemih dan litotripsi dapat menyebabkan pelepasan

bakteri dari batu sehingga dapat mengkontaminasi urine dan memungkinkan bakteri

melepaskan endotoksin sehingga timbul Systemic Inflammatory Response


24

Syndrome (SIRS) dan sepsis (Wong, 2014). Menurut Ozgur et al., dalam

penelitiannya menunjukkan semua penderita kolonisasi stent berasal dari kelompok

tindakan ekstraksi batu atau tindakan litotripsi, dibandingkan dengan tindakan URS

diagnostik maupun endopyelotomy (Ozgur, 2013)

Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL) merupakan prosedur pilihan untuk

penderita dengan batu ginjal dan batu ureter yang besar (Wong, 2014), dimana

tindakan ini umumnya lebih invasif dibandingkan dengan ESWL (Badalato, 2016),

namun kurang invasif dibandingkan dengan operasi terbuka (Wong, 2014). Indikasi

untuk tindakan PCNL meliputi, ukuran batu >2cm, batu yang berlokasi di pelvis

renalis atau kaliks ginjal, dan batu multipel (Bawari, 2017). Batu staghorn yang

mengandung struvit sebagai komposisi utama, merupakan indikasi dilakukannya

tindakan PCNL (Wong, 2014). Batu jenis ini dikenal dengan batu infeksius (Wein,

et al., 2007).

PCNL dikategorikan sebagai operasi yang clean-contaminated atau

contaminated surgery. Bakteriuria pasca operasi biasanya terjadi pada penderita

batu dengan urine yang steril sebelum operasi terutama pada mereka yang tidak

menggunakan antibiotika profilaksis. Sepsis pasca operasi merupakan salah satu

komplikasi paling serius setelah tindakan PCNL dan dapat disebabkan oleh infeksi

bakteri dari batu ginjal atau urine di pelvis renalis, yang memasuki aliran darah

selama tindakan manipulasi batu melalui pyelovenous, pyelolymphatic, dan

pylotubular backflows, dan ruptur forniceal. Faktor terjadinya bakteremia selama

PCNL diduga karena kolonisasi batu oleh bakteri dan pelepasan endotoksin selama

fragmentasi batu (Lojanapiwat, 2016).


25

2.5 Stent Ureter

Stent ureter merupakan salah satu alat yang paling umum digunakan dalam

urologi yang berfungsi untuk menjaga drainase urine agar adekuat mulai dari ginjal

sampai ke kandung kemih melewati obstruksi ureter (Elwood, et al., 2013). Stent

ureter pertama kali dideskripsikan oleh Zimskind et al. pada tahun 1967 (Dyer, et

al., 2002; Al-Marhoon, 2012). Stent ureter telah menjadi bagian integral dari pilihan

terapi urologis. Indikasi awal untuk menempatkan stent ureter adalah untuk

mengatasi obstruksi atau fistula ureter, namun indikasi saat ini telah meningkat

secara signifikan (Al-Marhoon, 2012). Saat ini stent ureter sering digunakan

sebagai bypass obstruksi internal di ureter (misalnya karena batu) atau kompresi

dari ekternal ureter (misalnya keganasan). Stent ureter memungkinkan aliran urine

melewati lumen sistem genitourinari yang mengalami obstruksi (Hessen, 2000).

Batu saluran kemih merupakan salah satu indikasi yang paling sering untuk

dilakukannya insersi stent ureter. Stent ureter sering digunakan sebagai tambahan

pada prosedur ESWL atau endoskopi pada penderita yang memerlukan tindakan

bedah akibat batu (Chew, 2003). Stent memfasilitasi pelepasan batu selama ESWL

dan memungkinkan penyembuhan anastomosis ureter atau kebocoran dari operasi

atau trauma (Hessen, 2000; Aydin, et al., 2015). Stent dapat menyebabkan dilatasi

ureter dan orifisiumnya, sehingga dapat memudahkan pelepasan spontan batu-batu

yang berukuran lebih kecil (Chew, 2003), dan menyediakan drainase urine yang

baik selama proses penyembuhan mukosa ureter (Javed, et al., 2016).

Sejumlah komplikasi dapat timbul akibat penggunaan stent ureter (Waters,

2008). Komplikasi awal seperti nyeri suprapubik, hematuria, frekuensi berkemih


26

yang meningkat, dan nyeri saat berkemih, sampai komplikasi yang lebih serius

seperti infeksi, migrasi stent, fragmentasi stent, enkrustasi, refluks vesikoureteral,

dan gagal ginjal kronis dapat terjadi. Kolonisasi bakteri stent berperan utama

terjadinya infeksi yang terkait dengan stent yang dapat berkembang menjadi sepsis

dan menyebabkan kematian (Aydin, et al., 2015).

Dalam upaya mengurangi komplikasi stent, terutama infeksi yang terkait

stent, beberapa material dan pelapis stent telah dikembangkan (Chew, 2003).

Biomaterial stent ureter yang ideal belum ditemukan dan area pengembangan yang

menjanjikan adalah drug eluting stent untuk mencegah infeksi dan enkrustasi (Al-

Ghazo, et al., 2009). Modifikasi stent ureter meliputi desain, diameter, dan jenis

material yang digunakan. Modifikasi permukaan stent seperti silver coating,

diamond–like coating, hydrophobicity change, atau antimicrobial activity

molecules (heparin, triclosan) telah diciptakan untuk menghambat atau bahkan

mungkin di masa depan untuk mencegah pembentukan kolonisasi stent (Klis, et al.,

2014).

2.5.1 Desain Stent

Karakteristik stent ureter yang ideal, meliputi mudah saat dilakukan insersi,

tidak mudah terjadi migrasi, memberikan aliran urine yang optimal, dapat

ditoleransi dengan baik oleh penderita, biokompatibel, biodurabiliti (Zumstein, et

al., 2017), tidak mudah terjadi enkrustasi, tidak menyebabkan refluks, mudah

terlihat dengan ultrasonografi, mudah diganti dan dilepas; dan terjangkau (Al-

Marhoon 2012). Seiring dengan perkembangan teknologi, maka desain stent ureter
27

juga berkembang. Namun, harus diakui, bahwa tidak ada stent yang tersedia saat

ini dapat memenuhi semua kriteria stent yang "ideal" (Dyer, et al., 2002 dan

Altunal, 2007).

Gambar 2.2 Double-J stent ureter.


Dikutip dari : Yachia, D., Paterson, P. (2005). Stenting the urinary system. Taylor
and Francis e-Library. 2; 20-37.

. Untuk menjamin aliran yang optimal maka dikembangkanlah stent dengan

ukuran diameter luar mulai 4,8 F sampai 6 F, dengan panjang 12-30cm (Singh,

2003; Wein, et al., 2007). Untuk orang dewasa rata-rata memakai ukuran 24 cm

(Wein, et al., 2007), untuk anak-anak, biasanya digunakan 4,8 fr dan 20-24cm

(Singh, 2003). Sebagian besar stent memiliki lubang-lubang sepanjang sisinya

(sidehole) untuk menjamin aliran urine yang maksimal. Untuk menjaga posisi stent

tetap stabil ditentukan oleh bentuk ujungnya, single atau double pigtail atau

Double-J stent. Double-J stent pertama kali dilaporkan pada tahun 1978 oleh

Finney, mewakili arsitektur stent yang paling banyak digunakan dalam praktik

klinis. Migrasi stent dicegah oleh bagian terminal stent double-J yang melengkung

di dalam pelvis renalis ginjal dan kandung kemih (Zhao, 2014). Double-J stent

terbentuk dalam arah yang berlawanan, memungkinkan J bagian proksimal untuk


28

menghubungkan ke kaliks inferior atau pelvis ginjal, sementara J bagian distal

melengkung ke dalam rongga kandung kemih, seperti yang tampak pada gambar

2.2 dan panjang stent diukur di sepanjang segmen lurus stent dari onset satu curl ke

yang lainnya (Yachia, 2005). Ada beberapa cara untuk menentukan panjang stent

yang akan dipasang, yaitu ; (1) dengan mengukur panjang ureter mempergunakan

fluoroskopi, (2) menentukan panjang ureter dari gambaran urografi intravena, dan

(3) memperkirakan panjang ureter berdasarkan tinggi badan penderita (Wein, et al.,

2007).

Gambar 2.3 Double-J stent (Curl diperbesar).


Dikutip dari : Chew, B. H., & Denstedt, J. D. (2003). Access, Stents, and Urinary
Drainage. Available from : http://ac.els-cdn.com/S141386701630575X/1-
s2.0-S141386701630575X-main.pdf?_tid=16b5eeaa-4391-11e7-ba1f-
00000aacb35e&acdnat=1495967788_d38cbe5802e14634391489ea3053d
fe6

Stent ureter ditempatkan secara endoskopi melalui kandung kemih atau

secara perkutaneus menuju ginjal maupun saat operasi terbuka (Hessen, 2000;

Aydin, et al., 2015). Penempatan stent ureter menggunakan guidewire melewati

sidehole di bagian distal, sampai ke ujung proksimal, tujuannya untuk meluruskan

stent saat penempatan dengan sitoskopi. Sideholes membantu drainase dan tanda

hitam di kedua ujungnya stent memfasilitasi visualisasi curl saat menempatkan


29

stent secara visual melalui sistoskopi (gambar 2.3). Guidewire dimasukkan terlebih

dahulu dari distal sideholes ke arah proksimal atau sebagai alternatif lain ujung

distal stent dapat dipotong. Begitu stent ditempatkan, guidewire ditarik,

membiarkan stent terbentuk di bagian ginjal dan kandung kemih, seperti tampak

pada gambar 2.4 di bawah ini. Penempatan stent saat operasi terbuka adalah dengan

dengan memasukkan guidewire melalui sidehole di tengah stent. Stent dilepas

dengan endoskopi menggunakan forseps kaku atau fleksibel untuk menangkap

ujung distal distal di kandung kemih, menariknya bersamaan dengan sistoskopi

(Yachia, 2005)

Gambar 2.4 Penempatan stent ureter secara endoskopi


.Dikutip dari : Yachia, D., Paterson, P. (2005). Stenting the urinary system.
Taylor and Francis e-Library. 2; 20-37

2.5.2 Material Stent

Polyethylene adalah polimer sintetis pertama yang digunakan dalam

pembuatan stent, namun telah ditinggalkan karena kerapuhannya dan stent menjadi

mudah patah. Berbagai bahan telah digunakan untuk pembuatan stent termasuk
30

silicone dan polyurethane (Wein, et al., 2007). Soft material – polimer sintesis

teridiri dari silicone atau polyurethane ini berhubungan dengan risiko terhadap

terjadinya iritasi (Zumstein, et al., 2017). Stent dari bahan silicone adalah bahan

yang paling biokompatibel, namun kekurangannya karena bersifat fleksibel dan

elastis, kadang sulit untuk dilakukan implantasi stent ke dalam saluran kemih.

Perkembangan biomaterial telah berevolusi menghasilkan polyurethane, polimer

yang saat ini paling umum digunakan (Wein, et al., 2007). Material stent dari

polyurethane kurang mudah bermigrasi dibandingkan dengan yang bermaterial

silicone (Ahallal, 2010). Polyurethane sampai saat ini terus digunakan dalam

pembuatan stent, baik sendiri maupun dikombinasikan dengan bahan lainnya (Dyer,

et al., 2002). Sebagai polimer tunggal, polyurethane sangat kaku dan menyebabkan

ketidaknyamanan pada penderita dan ulserasi ureter, serta erosi pada ureter hewan

coba. Campuran polimer polyurethane saat ini cenderung mengurangi terjadinya

kerusakan mukosa. Material stent yang baru dan kombinasi polimer bersifat lebih

lembut, lebih nyaman, dan lebih mudah bermanuver di dalam saluran kemih (Wein,

et al., 2007). Contohnya meliputi Percuflex, Silitek , C-Flex, dan Tecoflex (Wein,

et al., 2007), telah digunakan dalam pembuatan double-J stent atau double-pigtail

(Dyer, et al., 2002). Stent dari bahan metal tampak lebih baik digunakan pada

kompresi ureter yang disebabkan obstruksi ekstrinsik dari keganasan. Tetapi

potensinya sama untuk terjadinya enkrustasi dan adesi bakteri (Zumstein, et al.,

2017).

Pada penderita yang memerlukan penggunaan stent dalam jangka panjang,

stent harus diganti setiap 3 sampai 4 bulan, untuk mencegah terjadinya infeksi dan
31

enkrustasi. Perbaikan pada biomaterial dan pelapis permukaan stent merupakan

usaha untuk mengurangi pembentukan biofilm dan, dengan demikian juga untuk

mengurangi infeksi dan enkrustasi (Wein, et al., 2007).

Dalam penelitian yang dilakukan Klis et al., hanya 1 jenis stent yang

digunakan, yaitu polyurethane. Data yang ada menunjukkan bahwa penggunaannya

dikaitkan dengan risiko kolonisasi bakteri yang tinggi, jika dibandingkan dengan

jenis stent lainnya (silicone, latex, hydrogel coated) (Klis, et al., 2009). Jenis stent

ureter mempengaruhi tingkat kolonisasi stent dan penelitian telah menemukan

kolonisasi stent masing-masing sebanyak 55%, 62,6%, 100 dan 50% pada jenis

stent C-flex, silicone, uretan dan urosoft (Lojanapiwat, 2006). Cardella et al.,

menunjukkan bahwa tingkat infeksi yang relatif lebih rendah berhubungan dengan

stent dari bahan silicone (Kehinde, et al., 2002). Cormie et al., melaporkan dengan

pemeriksaan mikroskop elektron tampak tidak ada perbedaan dalam adesi bakteri

di antara berbagai bahan stent pasca 6 minggu insersi stent (Lojanapiwat, 2006).

2.5.3 Pelapis Stent Ureter (Coating)

Pendekatan lebih lanjut untuk mencegah pembentukan biofilm adalah bahan

pelapis stent ureter (Zumstein, et al., 2017). Lapisan yang melapisi permukaan

untuk stent ureter biasanya dirancang untuk mncegah infeksi dan enkrustasi dengan

menghambat keterikatan bakteri, serta mencegah pembentukan kristal (Yang,

2015). Pelapis stent seperti hydrophilic polymers, heparin, pentosan polysulfate,

atauoxalate-degrading enzymes telah digunakan dalam percobaan untuk

mengurangi enkrustasi stent (Wein, et al., 2007). Berbagai strategi lain juga telah
32

dikembangkan dan diuji, sebagian besar didasarkan pada penerapan anti-adesi

(modifikasi muatan permukaan, hidrofobisitas dan kekasaran) dan senyawa

antimikroba (silver, antibiotika, detergent) (Yang, 2015).

Antibiotika sebagai pelapis stent masuk dalam agenda dalam beberapa

tahun terakhir untuk mencegah kolonisasi bakteri. Namun, terlepas dari kemajuan

sekarang ini, stent ideal yang tidak menyebabkan komplikasi sejauh ini belum dapat

diproduksi (Altunal, 2017). Beberapa penelitian telah menunjukkan keberhasilan

Fluoroquinolone dalam mencegah pembentukan biofilm. Bagaimanapun juga

penggunaan antibiotika pada waktu insersi srent ureter hanya dapat memperlambat

tapi tidak mencegah pembentukan biofilm dan tidak dapat menghilangkan biofilm

yang sudah terbentuk. Untuk memperkuat aktivitas antibakterial dari

Fluoroquinolone, beberapa macam kombinasi menujukkan efek yang menjanjikan.

Pentacylic Triterphene, N-acetylcysteine, atau Rimfapicin dapat meningkatkan

aktivitas antibiotika Fluoroquinolone (Zumstein, et al., 2017).

2.6 Kolonisasi Bakteri Stent Ureter

Pada permukaan stent dapat terbentuk lapisan biofilm, yang kemudian dapat

membentuk kolonisasi (Tenke, 2004). Di bawah lapisan biofilm ini, bakteri dapat

berkembang dan bertambah jumlahnya membentuk mikrokoloni (Al-Ghazo, et al.,

2009). Pembentukan biofilm pertama kali dikemukakan pada awal tahun 1990 oleh

Reid et al. (Bonkat, et al., 2011). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi adesi

bakteri pada stent, meliputi karakteristik permukaan biomaterial stent, fitur

permukaan bakteri, dan kondisi klinis penderita (Choong, 2000)


33

Proses ini umumnya melewati beberapa langkah utama (Tenke, 2004).

Dimana proses ini berawal dengan deposisi komponen urine host pada permukaan

stent sehingga menyebabkan terbentuknya conditioning film yang terdiri dari

protein, elektrolit, dan molekul yang tidak diktetahui (Akay, et al., 2007 ; Aydin, et

al., 2015) Struktur biofilm dari kolonisasi bakteri berperan sebagai barier terhadap

pertahanan host, termasuk penetrasi antibiotika. Karena sulitnya eradikasi

kolonisasi bakteri stent ureter, pemberian antibiotika selama pemakaian stent

mungkin tidak diperlukan (Lojanapiwat, 2006).

Setelah dilakukan insersi, material stent ureter akan mengadakan kontak

dengan cairan tubuh, seperti urine dan darah, dan dengan jaringan uroepitelial

(Zumstein, 2017). Bakteri yang hadir dalam saluran kemih, seperti yang telah

dijelaskan di atas, dapat mengkontaminasi urine secara ascending, hematogen,

maupun limfogen. Stent ureter dapat memfasilitasi terjadinya kolonisasi bakteri

dengan menyediakan permukaan yang tertutup dengan komponen urine, sehingga

dapat dikenali beberapa struktur permukaan dari bakteri dan akhirnya bakteri dapat

berikatan dan menempel pada permukaan stent (Chew, 2009). Menurut Elwood et

al., yang meniliti secara in vitro, pembentukan conditioning film pada stent setelah

diinkubasi dalam urine secara khusus ditemukan sitokeratin yang terasorbsi. Ini

merupakan gylcocylated cell, protein permukaan yang secara berlimpah hadir pada

permukaan sel uroepitelial. Selain itu, protein darah seperti hemoglobin dan

fibrinogen dan protein inflamasi terlibat dalam proses ini, yang mungkin akibat

cedera dan inflamasi yang sering berhubungan dengan tindakan insersi stent ureter

(Zumstein, et al., 2017).


34

Pada proses berikutnya, protein conditioning film ini memfasilitasi

terjadinya penyerapan beberapa molekul dari cairan dan jaringan sekitar, seperti

kolagen, fibrinogen, dan albumin, yang dapat merubah permukaan stent ureter dan

memungkinkan terjadinya adesi mikroorganisme pada permukaan stent seperti

tampak pada gambar 2.5 (Tenke, 2004) Tahap terakhir perkembangan biofilm

adalah terbentuknya struktur biofilm, dimana kelompok bakteri dibagi menjadi

ruang yang penuh dengan cairan disekitarnya dan pintu saluran air yang terbuka

yang memungkinkan penyaluran oksigen dan nutrisi untuk pertumbuhan seluler

bakteri (Zumstein, et al., 2017).

Gambar 2.5 Pembentukan biofilm dan adesi bakteri.


Dikutip dari : Tenke, P., Jackel, M., & Nagy, E. (2004). Prevention and treatment
of catheter-associated infections: Myth of reality? EAU Update
Series, 2(3), 106–115. Alvailable from :
https://doi.org/10.1016/j.euus.2004.06.002
35

Conditioning film melekat pada permukaan jaringan atau biomaterial, basis

biofilm yang terdiri dari mikroorganisme dan film permukaan bertindak sebagai

lapisan luar dimana organisme planktonik (free-floating) dapat dilepaskan dan

menyebar ke kompartemen sekitarnya (Tenke, 2004). Jika pertahanan tubuh host

tidak mampu melawan organsme planktonik ini, maka biofilm ini dapat bertahan

sehingga bakteri di dalamnya dapat terus tumbuh dan berkoloni, menyebabkan

timbulnya infeksi terkait stent (Yeniyol, et al., 2003)

Kolonisasi bakteri berperan penting dalam patogenesis stent-associated

infection (Paick, et al., 2003; Al-Ghazo, et al., 2009). Kolonisasi stent merupakan

komplikasi yang penting diketahui untuk mencegah risiko bakteremia selama

tindakan operasi (Lojanapiwat, 2006). Kolonisasi stent normalnya secara klinis

bersifat “silent”, namun stent yang terkolonisasi tersebut dapat sebagai sumber

infeksi lokal, menyebabkan terjadinya bakteremia dan sepsis, terutama pada

penderita dengan gangguan sistem imun (Yeniyol, et al., 2003). Insersi stent ureter

setelah prosedur endourologi, seperti URS atau PCNL, ditemukan kejadian

bakteriemia sebesar 15-37%. Bakteriuria dan bakteremia dapat terjadi akibat

kolonisasi, oleh karena kolonisasi ini dapat berfungsi sebagai nidus untuk

bakteriuria yang berperan penting dalam menimbulkan infeksi yang terkait stent

(Kehinde, et al., 2004; Lojanapiwat, 2006).

Kolonisasi pada stent dilaporkan mendahului terjadinya kolonisasi pada

urine. Bagaimanapun juga kolonisasi pada stent, tidak selalu menyebabkan infeksi

saluran kemih yang simptomatik jika bakteri hanya menempel dan hidup sebagai

kelompok plantonik (Kehinde, et al., 2004). Meskipun semua penderita dengan


36

bakteriuria ditemukan dengan kolonisasi stent, tingkat bakteriuria adalah 40% pada

stent dengan kolonisasi. Hal ini menunjukkan bahwa kolonisasi bakteri stent ureter

tidak selalu menyebabkan infeksi saluran kemih (Paick, et al., 2003). Timbulnya

infeksi pada urine yang diakibatkan oleh pemasangan stent ureter, juga dipengaruhi

oleh penyakit yang menurunkan imunitas penderita, seperti diabetes melitus,

kanker, penyakit sistemik, dan tindakan operasi (Yeniyol, et al., 2003).

Kolonisasi bakteri stent ureter dapat terjadi dalam hitungan jam, karena

lapisan protein host yang selanjutnya menyebabkan adeesi bakteri akan menutupi

benda asing di saluran kemih. Penelitian in vitro telah menunjukkan bahwa

Escherichia coli, Proteus mirabilis, Staphylococcus epidermidis dan Enterococcus

faecalis dapat menempel dan membentuk biofilm pada permukaan stent ureter

dalam waktu 24 jam. Baru-baru ini, Paick et al., melaporkan bahwa kolonisasi

bakteri dimulai 2 minggu setelah dilakukan insersi stent (Paick, et al, 2003), dan

diikuti dengan kolonisasi di urine (Josh, et al., 2011). Data peneltian lain juga

menunjukkan bahwa kolonisasi stent ureter terdeteksi satu hari setelah insersi dan

kolonisasi ini dapat menghilang 38 hari setelah stent dilepas (Altunal, 2017).

Demirel et al., menemukan bahwa kolonisasi yang signifikan dapat ditemukan

dalam tiga minggu pertama (Aydin, et al., 2015).

2.6.1 Urinalisis

Ginjal berperan penting dalam menjaga keseimbangan asam-basa tubuh.

Oleh karena itu, setiap kondisi yang menghasilkan asam atau basa dalam tubuh,

seperti asidosis atau alkalosis, atau konsumsi makanan bersifat asam atau basa
37

dapat secara langsung mempengaruhi pH urin (Wein, et al., 2007). Urine lebih

banyak mengandung air dan mengandung elektrolit, urea dan produk limbah

metabolisme protein lainnya yang lebih kompleks, dan sedikit albumin (Waters, et

al., 2008). Kadar bakteri dalam urine biasanya sangat rendah (kurang dari 103 per

mm3) dengan jumlah biasanya lebih tinggi pada kandung kemih daripada di pelvis

ginjal, mungkin karena kebanyakan kolonisasi bakteri berasal dari organisme yang

mengisi usus dan perineum (Waters, et al., 2008).

Urine mempunyai pH yang berkisar antara 4,5 sampai 8 namun biasanya

sedikit asam (yaitu, 5,5 sampai 6,5) karena aktivitas metabolik. Metabolisme

protein dan buah asam dapat menyebabkan urine menjadi asam, dan diet sitrat yang

tinggi dapat menyebabkan urine menjadi basa. Nilai pH urine umumnya

mencerminkan pH serum, kecuali pada pasien dengan asidosis tubulus ginjal.

Penentuan pH urin bermanfaat dalam diagnosis dan penanganan infeksi dan batu

saluran kemih (Purnomo, 2003; Simerville, et al., 2005). Mekanisme menempelnya

mikroorganisme pada permukaan stent juga dipengaruhi pH urine (Zumstein, et al.,

2017) Nilai pH urin yang mendekati 6,0 mengurangi risiko pembentukan batu

ginjal. Namun risiko pembentukan batu asam urat dan kalsium semakin meningkat

pada pH urine <5,5 dan> 6,5 (Sakhae, et al., 2007) Urine yang bersifat basa pada

penderita dengan ISK`menunjukkan adanya organisme pemecah urea, yang

mungkin terkait dengan kristal magnesium-amonium fosfat dan dapat membentuk

batu staghorn. Bakteri asam urat berhubungan dengan urine yang bersifat asam

(Simerville, et al., 2005)


38

Tes nitrit urine dan leukosit esterase (LE) sering dilakukan untuk

mendeteksi penderita yang berisiko tinggi terkena infeksi saluran kemih, termasuk

wanita hamil, remaja usia sekolah, usia lanjut, dan orang-orang dengan riwayat

ISK. Ditemukannya sel darah putih dalam urine biasanya menunjukkan adanya

ISK. Tes leukosit esterase (LE) mendeteksi esterase, enzim yang dilepaskan oleh

sel darah putih. Tes ini adalah cara tidak langsung untuk mendeteksi bakteri dalam

urine (Simerville, et al., 2005), yang akan dideteksi oleh tes kimiawi carik celup

(dipstick) untuk pemeriksaan leukosit esterase. Intensitas warna yang dihasilkan

oleh tes dipstick ini sesuai dengan jumlah esterase dan jumlah leukosit dalam urine

(Davies, 2004). Tes ini terdeteksi pada urine yang mengandung leukosit yang utuh

maupun yang lisis oleh karena reaksi inflamasi di saluran kemih (Semeniuk dan

Church, 1999). Ekstrak dari granula primer azurifilik dari neutrophil manusia berisi

berbagai jenis protein. Protein-protein ini memperlihatkan aktivitas esterolitik dan

esterase yang dapat digunakan sebagai penanda keberadaan leukosit neutrophil.

Neutrofil bersifat labil dalam urine dan mudah rusak, namun aktivitas esterase tetap

didalam urine. Adanya esterase ini digunakan sebagai petunjuk adanya leukosit

neutrophil di dalam urine meskipun pada pemeriksaan mikroskopik seringkali tidak

ditemukan leukosit. Peningkatan jumlah neutrofil dalam urine dapat menjadi

petunjuk adanya infeksi saluran kemih. Hasil positif leukosit esterase memiliki

hubungan yang bermakna terhadap jumlah neutrofil baik dalam keadaan utuh

maupun lisis.

Pengukuran nitrit dalam urin sebagai indikator adanya bakteri pada awalnya

dijelaskan pada tahun 1879 oleh Criess. Hasilnya bergantung pada pengurangan
39

nitrat menjadi nitrit oleh tindakan enzimatik bakteri tertentu dalam urin. Nitrit

normalnya tidak ditemukan dalam urine, Nitrit dapat ditemukan dalam urine ketika

bakteri mereduksi nitrat urin menjadi nitrit. Banyak organisme gram negatif dan

beberapa organisme gram positif mampu melakukan konversi ini, dan hasil tes nitrit

dipstick yang positif menunjukkan bahwa organisme ini hadir dalam jumlah yang

signifikan (yaitu lebih dari 10.000 per mL) (Simerville, et al., 2005).

Dalam hal jumlah leukosit, ketika jumlahnya lebih dari 30, tingkat

kolonisasi stent secara signifikan lebih besar dari pada sampel urine dengan jumlah

leukosit kurang dari 30 (79% berbanding 33%; P<0,05). Sensitivitas urinalisis dan

kultur urine untuk mendeteksi kolonisasi bakteri masing-masing adalah 58% dan

40%, dan nilai prediksi positif masing-masing adalah 79% dan 100%. Jika kultur

urin positif atau jumlah leukosit per High Power Field (HPF) pada sampel urin

lebih besar dari 30, penggunaan antibiotika dan pelepasan atau penggantian stent

harus dipertimbangkan, karena kemungkinan adanya kolonisasi bakteri stent ureter

(Paick, et al., 2003).

2.6.2 Kultur Urine

Kultur urine merupakan metode non-invasif untuk mendeteksi kolonisasi

stent namun sensitivitasnya rendah (hanya 21-49%). Biofilm bakteri memang

terjadi pada stent ureter tetapi mungkin tidak terdeteksi oleh kultur urine, sehingga

tidak dapat mengesampingkan adanya kolonisasi stent pada hasil kulltur urine yang

steril (Lojanapiwat, 2006). Retensi stent ureter pada saluran kemih dikaitkan

dengan risiko kolonisasi bakteri yang sangat tinggi, sementara untuk risiko infeksi
40

urine sekitar 8 kali lipat lebih rendah. Tidak konsistennya besar antara infeksi urine

dengan kolonisasi stent, mengindikasikan nilai prediksi kultur urine rendah untuk

menggambarkan kolonisasi stent (Klis, et al., 2014). Pengamatan yang dilakukan

oleh Farsi et al., melaporkan mengenai risiko kolonisasi stent yang jauh lebih tinggi

dibandingkan infeksi urine, dimana tingkat bakteriuria 29,9% sedangkan tingkat

kolonisasi stent lebih dari dua kali lipat lebih tinggi dan mencapai presentase 67,9%

(Farsi, et al., 1995). Demikian pula Kehinde et al., melaporkan risiko kolonisasi

stent yang jauh lebih tinggi (42%) dibandingkan dengan infeksi urine (17%), yang

menunjukkan nilai prediksi infeksi urine yang sangat rendah untuk kolonisasi stent

(Kehinde, et al., 2002).

Klis et al., berpendapat bahwa kultur urine tidak dapat memprediksi dengan

benar hasil kultur stent dan ditemukan perbedaan yang signifikan (Klis, et al.,

2009). Menurut Lifshitz et al., kultur urine yang steril tidak mengesampingkan

adanya kolonisasi bakteri stent ureter. Sensitivitas kultur urine terhadap kolonisasi

stent dinilai kurang, hanya menunjukkan 31% (Lifshitz, et al., 1999). Tidak adanya

hubungan yang signifikan antara kultur urine dan jumlah patogen yang terisolasi

pada permukaan stent, serta kultur bagian stent. Selain itu, tidak adanya hubungan

dari jumlah patogen yang berkolonisasi pada bagian stent dengan spesies bakteri

yang terisolasi pada spesimen urine (Klis, et al., 2009).

2.6.3 Kultur Stent Ureter

Kolonisasi stent didefinisikan sebagai jumlah koloni 10 per plate (Yeniyol,

et al., 2003). Untuk pola distribusinya, massa biofilm tampaknya menurun di bagian
41

ujung distal dari stent ureter dan deposit didalamnya juga jarang walaupun dalam

kondisi stent yang terobstruksi (Zumstein, et al., 2017). Akay, et al., Melaporkan

kolonisasi stent sebanyak 31% di bagian proksimal stent dan 34% di bagian distal

stent (Akay, et al., 2007). Sedangkan dalam penelitian Klis et al. dan Aydin, et al.,

tingkat kolonisasi sama untuk setiap potongan stent (proksimal, sentral dan distal)

(Klis, et al., 2009 ; Aydin, et al., 2015).

Menurut Paick et al., pada kolonisasi bakteri stent ureter, bakteri diisolasi

lebih awal di ujung distal (Paick, et al., 2003), oleh karena itu, dapat diasumsikan

bahwa pada saat proses instrumentasi, bakteri berasal dari tempat keluarnya stent

(meatus uretra atau dinding abdomen) dan bakteri dari meatus uretra memiliki

kemampuan untuk naik dan menempel pada stent ureter melalui urin dalam

kandung kemih (Paick, et al., 2003; Lojanapiwat, 2006; Chew, 2009).

2.7 Bakteriologi Pada Kolonisasi Stent dan Sampel Urine

Bakteri dalam biofilm berbeda baik dalam perilaku maupun dalam bentuk

fenotipik dari bakteri planktonik, free-floating bacteria. Mikrobiologi klinis

konvensional hanya dapat mendeteksi bakteri planktonik ini, yang sangat berbeda

dari bakteri yang tertutup dalam biofilm. Bakteri dalam biofilm mengaktifkan

banyak gen, yang mengubah permukaan dan target molekuler lainnya, mengurangi

kerentanan terhadap agen antimikroba (resistensi intrinsik). Perubahan fenotipik

ini lebih penting untuk resistensi antimikroba daripada mekanisme resistensi

eksternal seperti matriks biofilm atau glikokaliks. Bakteri dalam biofilm dapat

menganalisa lingkungan luar, mengembangkan komunikasi antar bakteri dan dapat


42

mentransfer informasi genetik dan plasmid di dalam biofilm. Sebagai

konsekuensinya, bakteri dalam biofilm dapat bertahan dalam penggunaan agen

antibakteri pada konsentrasi 1000-1500 kali lebih tinggi daripada yang dibutuhkan

untuk menghilangkan bakteri planktonik dari spesies yang sama (Tenke, 2004).

Terkadang sulit membedakan bakteriuria yang diakibatkan setelah

instrumentasi urologi dengan kontaminasi urine dengan flora periuretral

(Junuzovic, 2014). Sebagian besar infeksi saluran kemih berasal dari flora kolon

penderita sendiri (Grabe, 2012). Pada infeksi yang terkait dengan intrumentasi di

bidang urologi ditemukan fakta bahwa sebagian besar uropatogen dapat

membentuk kelompok biofilm yang kompleks termasuk bakteri Gram positif dan

Gram negatif, serta jamur (Lo, 2014).

Bakteri dapat menempel pada permukaan benda asing dengan beberapa

strategi spesies yang dikenal sebagai biofilm-building potential dari suatu

organisme (Zumstein, et al., 2017). Dimana proses kolonisasi dimediasi oleh

struktur luar membran patogen yang dikenal dengan adhesin, yang dapat

menyebabkan bakteri dapat menempel pada stent. Adhesin bakteri ini dikenal

dalam beberapa bentuk, dapat berupa protein atau struktur permukaan, yaitu

fimbriae, pili, lipo polysaccharide, dan capsular polysaccharide. Pili tipe 1 dikenal

sebagai adhesin dari Escherichia coli (Chew, 2009). Contoh lain, pelengkap sel

bakteri permukaan, fimbriae tipe 3, dikenal sebagai faktor virulensi penting untuk

proses menempel pada permukaan dan pembentukan biofilm oleh Klebsiella

Pneumoniae dan Escherichia Coli, sepert tampak pada gambar (Wein, et al., 2007;

Zumstein, et al., 2017).


43

Gambar 2.6 Mekanisme adesi bakteri uropatogen


Dikutip dari : Wein, A.J, Kavoussi, L. R, Novick, A.C, Partin, A.W, Peters, C.A.
(2007) Campbell-Walsh Urology. 9th Edition. Philadelphia : Saunders.

Strategi untuk adesi lainnya, meliputi sekresi substansi polimer

ekstraseluler dari bakteri yang kemungkinan juga berperan dalam pembentukan

film. Organisme lain, khususnya Pseudomonas Aerugenosa dan Proteus Mirabilis,

yang termasuk dalam urease-secreting strains, enzim yang mampu menghidrolisis

urea hingga 10 kali lebih cepat dari pada tingkat spesies bakteri lainnya. Proses ini

menghasilkan amonia, yang dengan cepat meningkatkan alkalinitas urine secara

signifikan, meningkatkan pH urine, sehingga menyebabkan presipitasi kristal

struvit dan hidroksipitat, faktor adesi, transporter, faktor transkripsi, enzim, dan dua

sistem komponen. Interaksi kedua bakteri ini menimbulkan induksi yang sinergis

dari aktivitas urease. Aktivitas urease menyebabkan alkalisasi urine sehingga

terjadi undersaturation dari magnesium dan kalsium yang menyebabkan terjadinya

pembentukan biofilm dan presipitasi pada stent (Zumstein, et al., 2017).

Begitu bakteri menempel pada stent, mereka akan melepaskan homoserine

lactone, yang bertindak sebagai zat pembawa untuk pembentukan koloni bakteri.

Ketika diproduksi oleh sejumlah besar bakteri, konsentrasi homoserine lactone


44

akan mencapai ambang batas dan mengakibatkan bakteri menghasilkan 'faktor

sigma'. Protein ini merupakan subunit dari enzim RNA polimerase, yang membantu

dalam transkripsi informasi genetik yang diperlukan untuk membentuk biofilm dan

mengaktifkan gen untuk metabolisme yang berbeda dari free-floating bacteria

(Yeniyol, et al., 2003).

Spesies yang sering ditemukan terisolasi pada stent ureter adalah

Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, Enterococcus fecalis, dan

Escherichia coli (Al-Ghazo, et al., 2009; Klis, et al., 2014). Escherichia coli

merupakan bakteri yang paling sering ditemukan sebagai penyebab infeksi urine

dan juga yang paling sering ditemukan pada hasil kultur stent (Klis, et al., 2014).

Sedangkan menurut Paick et al., spesies Enterococcus dan E. coli merupakan

organisme yang paling dominan, oleh karena organisme ini dapat menyebar dengan

cepat (Paick, et al., 2003). Untuk organisme yang paling banyak diitemukan di

sampel urine, menurut Kehinde et al., adalah Staphylococcus (Kehinde, et al.,

2002), begitupula dengan Klis et al., menemukan dalam kultur urine banyak

ditemukan Staphylococcus epidermidis, S.aureus, atau E.coli (Klis, et al., 2009).

Aydin et al, berpendapat identifikasi bakteri pada kultur urine sama dengan yang

ditemukan pada kolonisasi stent (Aydin, et al., 2015). Begitupula oleh Yeniyol et

al., bahwa kultur urine dan stent menunjukkan mikroorganisme yang identik

(Yeniyol, et al., 2003).

Pseudomonas Aeruginosa merupakan mikroorganisme yang paling sering

ditemukan baik di kolonisasi urine maupun stent ureter (Farsi, et al., 1995).

Chatterjee, dkk juga mendapatkan bahwa mikroorganisme Pseudomonas


45

Aeruginosa yang paling sering ditemukan pada kultur stent (Chatterjee, et al.,

2014). Hasil serupa juga didapatkan dalam penelitian Ozgur, dkk serta Klis, dkk

bahwa spesies yang sering ditemukan terisolasi pada stent ureter adalah

Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococci (Ozgur, et al., 2013; Klis, et al., 2014)

namun keduanya muncul dengan presentasi yang sama. Pseudomonas aeruginosa

merupakan jenis patogen opertunistik yang berhubungan dengan infeksi akibat

pemasangan kateter atau implant dalam tubuh manusia seperti stent ureter (Wang,

et al., 2016). Pseudomonas Aerugenosa mensekresi substansi polimer ekstraseluler

dari bakteri yang berperan dalam pembentukan biofilm pada permukaan stent

(Zumstein, et al., 2017) dan muncul pada kolonisasi dengan lama pemakaian stent

yang lebih lama (Farsi, et al., 1995).

Lama pemakaian stent ureter merupakan faktor risiko yang paling penting

untuk diketahui. Sebagian besar episode bakteriuria terkait pemakaian stent jangka

pendek disebabkan oleh satu organisme. Bila pemakaian stent berlangsung lama,

ada kecenderungan terjadi kolonisasi beberapa strain organisme. Kultur urine yang

standar mungkin tidak akan selalu mendeteksi fokus infeksi ini (Grabe, et al.,

2012).

Kolonisasi bakteri tampaknya juga bergantung pada penggunaan antibiotika

profillaksis (Klis, et al., 2014). Bakteri pada stent yang ditemukan pada kultur stent

maupun kultur urine, biasanya resisten terhadap pemberian antibiotika

dibandingkan dengan kultur urine saat sebelum insersi stent ureter. Hal ini mungkin

berhubungan dengan ekspresi dari gen spesifik biofilm (Zumstein, et al., 2017).

Dalam studi yang dilakukan oleh Farsi et al., dan Lifshitz et al., pada penderita yang
46

tidak diberikan antibiotika profilaksis, paling banyak ditemukan Pseudomonas

aeruginosa pada permukaan stent dan kultur urine (Klis, et al., 2014). Klis et al.,

menemukan bahwa hampir di semua kasus (58/60) tersisolasi lebih dari satu

patogen. Hal ini sangat penting untuk menjadi perhatian, karena mengacu pada

kebutuhan pemberian antibiotika dengan spektrum luas untuk terapi profilaksis

pasca tindakan insersi stent (Klis, et al., 2014).

Pada kondisi yang tidak normal dan penderita dengan underlying disease,

jamur selalu menjadi penyebab ISK atau kolonisasi stent. Jenis jamur yang dominan

adalah Candida albicans (Farsi, et al., 1995). Temuan ini mengkonfirmasi bahwa

penderita dengan diabetes melitus, gagal ginjal kronis atau nefropati diabetes telah

menurunkan imunitas host, sehingga mudah terjadi kolonisasi stent oleh spesies

Candida (Kehinde, et al., 2002). Tidak ditemukan hubungan antara jumlah patogen

yang terisolasi pada permukaan stent dengan jenis kelamin, durasi stenting, indikasi

tindakan stent, dan cara insersi stent (Klis, et al., 2009).

2.8 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Kolonisasi Bakteri

Pada Stent Ureter

Berbagai faktor yang dapat mempengaruhi kolonisasi bakteri telah diteliti

(Aydin, et al., 2015), meliputi usia, jenis kelamin, faktor komorbid, dan status

imunologi penderita. Pada studi yang dilakukan oleh Farsi, et al., kolonisasi dapat

bervariasi tergantung dari karakteristik polimer stent (Farsi, et al., 1995). Chew,

menyebutkan faktor risiko infeksi akibat stent ureter, meliputi jenis kelamin

perempuan, ada faktor komorbid diabetes melitus dan gagal ginjal kronis, serta
47

durasi pemakaian stent lebih dari 90 hari (Chew, 2003). Durasi pemberian

antibiotika tidak berkorelasi dengan hasil kultur urine maupun stent. Kolonisasi

stent pada penderita yang diberikan terapi infeksi saluran kemih sebelum insersi

stent tidak berbeda dengan penderita dengan kultur urine yang steril (Lifshitz, et

al., 1999).

2.8.1 Usia dan Jenis Kelamin

Kehinde, et al., menyebutkan bahwa risiko kolonisasi bakteri stent ureter

meningkat 2 kali pada perempuan (Kehinde, et al., 2002). Demikian pula menurut

Akay, et al. yang juga menemukan tingkat kolonisasi yang lebih tinggi pada

perempuan (Aydin, et al., 2015). Cormio et al., dibandingkan laki-laki tingkat

kolonisasi pada perempuan lebih tinggi dengan perbandingan 74% : 65%

(Lojanapiwat, 2006). Usia juga dikatakan mempengaruhi kolonisasi bakteri stent

ureter (Bonkat, et al., 2011).

Zona perineum dan periuretral dan uretra bagian distal secara alami

ditemukan kolonisasi dari bakteri Gram negatif dan Gram positif yang dapat

memasuki kandung kemih baik melalui migrasi bakteri itu sendiri, melalui kateter

kandung kemih atau selama instrumentasi lain. Kehadiran bakteri secara alami

meningkat seiring dengan bertambahnya usia, terutama pada perempuan (Grabe, et

al., 2012). Pada perempuan, infeksi saluran kemih lebih sering terjadi oleh karena

uretra pendek, flora vagina sering terinfeksi oleh flora enterik dan juga karena

perubahan hormon (Al-Ghazo, 2009).


48

Perempuan dikaitkan dengan tingkat bakteriuria dan kolonisasi stent yang

lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Lebih jauh lagi, hubungan ini meningkat

dengan adanya diabetes melitus, gagal ginjal kronis atau nefropati diabetes

(Kehinde, 2002). Farsi et al., menemukan 100% kolonisasi stent yang positif pada

penderita perempuan dengan nefropati diabetes (Farsi, et al., 1995).

2.8.2 Indikasi Pemasangan Stent

Penyakit yang mendasari tindakan insersi stent mempengaruhi tingkat

kolonisasi bakteri (Paick, et al., 2003). Pada kasus obstruksi saluran kemih yang

memerlukan tindakan pemasangan stent, seperti hidronefrosis berat, ukuran batu

yang besar (lebih dari 2cm) dan serum kreatinin yang tinggi tekait dengan gagalnya

terapi dengan stent (Subramanian, 2015). Ditemukan kolonisasi dalam 9 stent

(32%) pada kasus batu saluran kemih dan 10 (46%) pada keganasan. Tingkat

kolonisasi meningkat secara signifikan pada penderita dengan kasus keganasan

(Paick, et al., 2003). Namun menurut Aydin et al., dalam penelitiannya kolonisasi

stent paling banyak ditemukan pada kasus obstruksi akibat batu saluran kemih,

dibandingan dengan etiologi lain (hidronefrosis akibat stenosis ureter, keganasan,

maupun kehamilan) (Aydin, et al., 2015). Tingkat kolonisasi secara signifikan lebih

besar (86%; P <0,05) dengan ditemukannya hidronefrosis. Oleh karena itu,

perbedaan tingkat kolonisasi ini dapat disebabkan karena hidronefrosis yang berat

sebagai akibat stasis urine yang sudah berlangsung lama (Paick, et al., 2003).

Obstruksi menghambat aliran urin normal, dan stasis yang dihasilkan akan

mengganggu mekanisme pertahanan kandung kemih dan ginjal. Stasis urine juga
49

berkontribusi terhadap pertumbuhan bakteri dalam urine dan kemampuan mereka

untuk menempel pada sel-sel urothelial (Wein, et al., 2007).

2.8.3 Lama Pemakaian Stent Ureter

Pembahasan mengenai lama waktu yang optimal untuk pemasangan stent

ureter masih terus diteliti. Tahap awal dari pembentukan biofilm, yaitu

terbentuknya conditioning film, terjadi segera setelah insersi stent, dimana untuk

terjadinya komplikasi lain seperti enkustrasi pada stent diperlukan waktu yang lama

(Zumstein, et al., 2017).

Lama pemakaian stent ureter tergantung pada kondisi individual penderita,

namun kebanyakan penderita hanya memerlukan pemakaian stent ureter yang

sementara. Kolonisasi bakteri stent ureter dapat terjadi dalam jangka waktu pendek

(7-14 hari) terutama pada penderita dengan kelemahan sistem imun (Chew, 2009).

Penderita yang dengan faktor komorbid, seperti diabetes meilitus, gagal ginjal

kronis, nefropati diabetes memilki risiko tinggi untuk terjadinya kolonisasi stent

dan bakteriuria, sehingga perlu dilakukan pemasangan stent dalam jangka pendek

(Zumstein, et al., 2017).

Lama pemakaian stent ureter mempengaruhi tingkat bakteriuria dan

kolonisasi stent (Farsi, et al., 1995). Korelasi lamanya pemakaian stent ureter

dengan kolonisasi bakteri ditemukan pada semua penderita dengan stent permanen

(100%), dan 67,9-69,3% pada stent temporer (Lojanapiwat, 2006). Demikian pula

Kehinde et al., menyatakan bahwa, seiring dengan lamanya waktu pemakaian stent,

maka risiko bakteriuria dan kolonisasi akan meningkat (bulan pertama 4,2%, 3
50

bulan 34%) (Kehinde, et al., 2004). Paick et al., dan Kehinde et al., mencatat

hubungan yang signifikan antara durasi stenting dengan kolonisasi stent. Akay et

al., berpendapat bahwa durasi pemakaian stent yang lebih lama berkorelasi dengan

tingkat kolonisasi stent yang lebih tinggi namun tidak pada infeksi urine.

Kemungkinan penyebab ketidakcocokan antara tingkat kolonisasi stent dan urine

karena retensi jangka panjang dan posisi immobile dari stent ureter di saluran

kemih. Kolonisasi urine nampaknya jauh lebih sulit, mungkin karena urine terus

mengalir turun dari ginjal ke dalam kandung kemih (Klis, et al., 2009).

2.8.4 Infeksi Saluran Kemih

Penderita dengan obstruksi saluran kemih akibat batu saluran kemih, yang

ditandai dengan hidronefrosis dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri dalam

saluran kemih akibat statis urine yang lama, dimulai dari bakteriuria yang

asimptomatik sampai infeksi saluran kemih yang complicated (Tseng, 2009).

Infeksi saluran kemih didefinisikan sebagai bakteriuria yang signifikan dengan

adanya gejala seperti disuria (nyeri saat berkemih), peningkatan frekuensi dan

urgensi, nyeri suprapubik dan nyeri tekan pada costovertebral angle (Altunal,

2017). Bakteriuria yang signifikan didefinisikan sebagai 105 colony-forming units

(CFU) per milliliter urine dengan kultur yang hanya menghasilkan satu atau dua

bakteri / jamur. Hitungan 104 CFU / mL dianggap signifikan jika dihitung pada

kultur berulang dan dengan bakteri yang sama, sedangkan kultur urine yang steril

berarti tidak ada pertumbuhan bakteri (Kehinde, et al., 2004). Infeksi saluran kemih
51

dimulai dengan adanya invasi bakteri melawan imunitas host dan menimbulkan

respon inflamasi (Farsi, et al., 1995)

Penderita dengan kultur urine yang positif sebelum intervensi menunjukkan

hasil kolonisasi stent yang positif dengan nilai p signifikan 0,000 (Joshi, 2011).

Semua penderita dengan bakteriuria sebelum pemasangan stent membawa risiko

infeksi, sehingga dapat menimbulkan kolonisasi stent dan bakteriuria pasca

pemasangan stent, walaupun tidak harus oleh organisme yang sama. Paick et al.,

dalam penelitiannya menyebutkan semua penderita dengan bakteriuria positif pra-

operasi menunjukkan adanya kolonisasi pada stent mereka (Paick, et al., 2003).

Pada kondisi urine yang steril, infeksi saluran kemih dapat berkembang

dalam jangka pendek sebagai komplikasi akibat instrumentasi seperti stent ureter,

atau dapat juga sebagai perpanjangan dari proses penyakit yang mendasarinya. Pada

penderita yang sudah dengan infeksi saluran kemih, pemasangan stent harus

ditunda jika memungkinkan sampai pengobatan yang tepat dengan antibiotika

sesuai hasil kultur memungkinkan sterilisasi urine. Penanganan infeksi ini pada

akhirnya mungkin memerlukan tindakan penggantian atau pengangkatan stent

ureter (Dyer, et al., 2002).

2.8.5 Faktor Komorbid

Tingkat bakteriuria dan kolonisasi stent pada penderita dengan penyakit

komorbid secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan penderita yang

dengan tanpa kondisi seperti itu (Kehinde, et al., 2002). Diabetes melitus, gagal

ginjal kronis, obesitas, dan keganasan merupakan faktor risiko tinggi kolonisasi dan
52

infeksi saluran kemih (Al-Ghazo, et al., 2009 dan Joshi, 2011), oleh karena

penyakit-penyakit tersebut melemahkan sistem imun, dengan melemahkan

mekanisme pertahanan ekstrinsik dan intrinsik alami dari kandung kemih, sehingga

dapat meningkatkan terjadinya bakteriuria begitupula dengan kolonisasi bakteri

stent ureter (Kehinde, et al., 2002; Aydin, et al., 2015; Altunal, et al., 2017).

a. Diabetes Melitus

Diabetes melitus tipe 2 adalah kelompok penyakit heterogen yang ditandai

dengan tingkat resistensi insulin yang bervariasi, gangguan sekresi insulin, dan

peningkatan produksi glukosa. Penderita dengan diabetes melitus tipe 2 dan gagal

ginjal kronis, merupakan 2 penyakit yang berisiko tinggi untuk terjadinya infeksi di

bagian tubuh lain, dengan infeksi saluran kemih (ISK) menjadi jenis infeksi yang

paling sering terjadi (Kehinde, et al., 2002).

Pada diabetes terjadi berbagai gangguan pada sistem imun, disamping

terganggunya kontrol proses metabolik, dan pengosongan kandung kemih yang

inkomplit akibat neuropati otonom, berkontribusi pada patogenesis ISK pada

penderita diabetes (Chazan, 2015). Tingkat gula darah yang stabil dan terkoreksi

dianggap penting sebelum, selama dan setelah operasi. Hal ini juga diakui bahwa

bakteriuria lebih sering hadir pada individu dengan diabetes, dan bahkan lebih berat

dan dapat berlangsung lebih lama. Bakteriuria menjadi faktor risiko untuk

terjadinya komplikasi infeksi pasca operasi, sehingga penderita dengan diabetes

harus memiliki kadar glukosa darah yang terkontrol dan tidak ada bakteriuria

sebelum operasi (Grabe, et al., 2012).


53

b. Obesitas

World Health Organization (WHO) mendefinisikan obesitas sebagai suatu

kelainan atau penyakit yang ditandai dengan penimbunan jaringan lemak tubuh

secara berlebihan Berdasarkan US National Institutes of Health dan WHO,

klasifikasi berat badan seseorang berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT), dengan

menghitung berat badan (dalam kg) dibagi tinggi (dalam m2). Seseorang dikatakan

obesitas jika IMT 30–40 kg/m² (Falagas, 2006). Obesitas terbukti menjadi faktor

risiko independen untuk infeksi, salah satunya infeksi saluran kemih (Grabe, et al.,

2012). Penderita batu saluran kemih dengan obesitas cenderung memiliki pH urin

lebih rendah, dibandingkan dengan penderita tanpa obesitas (Denstedt, 2008).

Jaringan adiposa berpartisipasi secara aktif dalam pertahanan tubuh dan

inflmasi, menghasilkan dan melepaskan faktor pro-inflamasi dan anti inflamasi,

termasuk leptin adipokin dan adiponektin, serta sitokin dan kemokin. Adiponektin

berpotensi imunosupresif, sementara leptin mengaktifkan neutrofil

polimorfonuklear, Aktivitas proliferatif dan anti apoptosis pada limfosit T,

mempengaruhi produksi sitokin, mengatur aktivasi monosit / makrofag, dan

berkontribusi pada penyembuhan luka. Induksi leptin nampaknya merupakan

komponen pelindung dari respons imun dan defisiensi leptin pada manusia

dikaitkan dengan peningkatan angka kematian akibat infeksi (Falagas, et al., 2006;

Grabe, et al., 2012).


54

c. Gagal Ginjal Kronis

Batu saluran kemih dapat mengganggu fungsi ginjal (Gambaro, 2017), dan

merupakan risiko potensial untuk terjadinya gagal ginjal kronis, sehingga dapat

menyebabkan morbiditas dan mortalitas (Chou, 2011).

Obstruksi aliran urin dan akibat tekanan balik menyebabkan perubahan pada

filtrasi glomerulus, hemodinamika ginjal dan fungsi tubulus ginjal yang akhirnya

mempengaruhi keseluruhan fungsi ginjal. Dengan adanya tekanan balik pada

obstruksi aliran urin yang akut, tekanan intratubular ginjal mulai meningkat.

Glomerolus Filtration Rate (GFR) merupakan parameter yang paling sensitif yang

ketika terjadi obstruksi saluran kemih. Tekanan intra-tubular yang meningkat dapat

menurunkan GFR, yang awalnya dikompensasikan dengan peningkatan aliran

darah ginjal yang dimediasi oleh dilatasi arteriolar aferen. Dilatasi arteriol aferen

terjadi karena mekanisme feedback tubulo-glomerulus yang dibawa oleh PGE2 dan

nitric oxide, yang dilepaskan oleh ginjal karena tekanan tubular yang meningkat.

Perubahan tekanan interstisial ginjal dan penurunan pengangkutan sodium ke

makula densa juga menambah dilatasi dan akibatnya meningkatkan aliran darah

pada arteriole aferen. Penelitian menunjukkan bahwa jika penyumbatan berlanjut

lebih dari 24 jam, aliran darah ginjal dan GFR mulai menurun karena meningkatnya

rsistensi arteriolar aferen ginjal. Aliran darah ginjal yang berubah menyebabkan

sebagian besar korteks ginjal menjadi tidak sempurna / tidak disembuhkan, yang

selanjutnya mengurangi GFR. Dengan obstruksi progresif, vasokonstriktor ginjal

(rennin, TXA2, endothelin) dilepaskan yang selanjutnya menurunkan aliran darah

ginjal yang menyebabkan semakin jatuhnya GFR di kemudian hari (Singh, 2012).
55

Glomerolus Filtration Rate (GFR) dihitung dengan formula Cockcroft –

Gault, dengan mengalikan konstanta 0,85 bila pada perempuan seperti yang tampak

pada gambar di bawah ini (Carrol, 2006). Hubungan antara komponen dalam batu

dengan perubahan fungsi ginjal masih belum jelas. Chou et al., menyebutkan semua

penderita dengan batu saluran kemih menederita gagal ginjal kronis stadium 2 dan

3. Namun ditemukan penderita dengan batu asam urat dan struvit secara signifikan

menunjukkan nilai GFR yang lebih rendah (Chou, 2011).

Gambar 2.7 Formula Cockcroft – Gault


Dikutip dari : Carrol, L.E. (2006). The Stages of Chronic Kidney Disease and the
Estimated Glomerular Filtration Rate. The Journal of Lancaster General
Hospital. 1(2); 64-69. Available from :
http://www.jlgh.org/JLGH/media/Journal-LGH-Media-
Library/Past%20Issues/Volume%201%20-%20Issue%202/carroll_-
_the_stages_of_chronic_kidney_disease.pdf
9

Anda mungkin juga menyukai