Anda di halaman 1dari 8

KONSEP DASAR DAN

MANAJEMEN PENANGANAN PADA HIV/AIDS

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1
ARJUNA G GAGOLA
ALFANY N TORAR
GRACE Y S KAPUGU
LINGKAN PANDEIROT
RIRI V DONDO

POLTEKKES KEMENKES MANADO


JURUSAN KEPERAWATAN/NERS LANJUTAN
2020
A. Konsep Dasar HIV/AIDS
1. Pengertian HIV/AIDS

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis virus yang


menyerang/menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh
manusia. Sedangkan AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah berbagai
kumpulan gejala-gejala penyakit yang timbul karena terjadi penurunan sistem kekebalan
tubuh yang disebabkan oleh infeksi virus HIV. Human immunodeficiency virus (HIV)
merupakan virus yang dapat menginfeksi sel darah putih untuk menurunkan sistem
kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. Sedangkan AIDS atau
Acquired immunodeficiency syndrome adalah tahapan peningkatan dari perkembangan
akibat terinfeksi virus HIV.1 Sebelum virus HIV berubah menjadi AIDS, penderitanya
akan tampak sehat dalam waktu kira-kira 5 sampai 10 tahun.

2. Tanda Dan Gejala HIV

Tanda dan gejala HIV sangat bervariasi tergantung dengan tahapan infeksi yang
diderita. Berikut adalah tanda dan gejala HIV :

a. Individu yang terkena HIV jarang sekali merasakan dan menunjukkan


timbulnya suatu tanda dan gejala infeksi. Jika ada gejala yang timbul
biasanya seperti flu biasa, bercak kemerahan pada kulit, sakit kepala, ruam-
ruam dan sakit tenggorokan.
b. Jika sistem kekebalan tubuhnya semakin menurun akibat infeksi tersebut
maka akan timbul tanda-tanda dan gelaja lain seperti kelenjar getah bening
bengkak, penurunan berat badan, demam, diare dan batuk.Selain itu juga ada
tanda dan gejala yang timbul yaitu mual, muntah dan sariawan.
c. Ketika penderita masuk tahap kronis maka akan muncul gejala yang khas dan
lebih parah. Gejala yang muncul seperti sariawan yang banyak, bercak
keputihan pada mulut, gejala herpes zooster, ketombe, keputihan yang parah
dan gangguan psiskis. Gejala lain yang muncul adalah tidak bisa makan
candidiasis dan kanker servis.
d. Pada tahapan lanjutan, penderita HIV akan kehilangan berat badan, jumlah
virus terus meningkat, jumlah limfosit CD4+ menurun hingga <200 sel/ul.
Pada keadaan ini dinyatakan AIDS.
e. Pada tahapan akhir menunjukkan perkembangan infeksi opurtunistik seperti
meningitis, mycobacteruim avium dan penurunan sistem imum.28 Jika tidak
melakukan pengobatan maka akan terjadi perkembangan penyakit berat
seperti TBC, meningitis kriptokokus, kanker seperti limfoma dan sarkoma
Kaposi.

3. Faktor Risiko

Kelompok berisko yang berpeluang besar terkena infeksi HIV/AIDS adalah


heteroseksual, bisesksual, homoseksual, perinatal dan penasun. Populasi kunci yang
menjadi sasaran dalam strategi penanggulan HIV/ADIS yaitu pengguna napza suntik,
wanita pekerja seks (WPS), pelanggan atau pasangan seks WPS, gay, waria dan warga
binaan lapas atau rutan.

Perilaku dan kondisi yang menempatkan individu berisiko tinggi tertularnya


infeksi HIV/AIDS yaitu :

a. Melakukan hubungan seksual secara anal, oral maupun vagina tanpa


menggunakan kondom. Berdasarkan penelitian di Yogyakarta menunjukkan hasil
bahwa mayoritas kelompok homoseksual melakukan hubungan seksual
menggunakan kondom (50%), seksual anal (53,8%), mengeluarkan sperma
didalam anus (52,6%) dan seksual oral (47,4%).
b. Mempunyai infeksi menular seksual lain seperti sifilis, herpes, klamidia, gonore,
dan vaginosis bakteri.
c. Hasil penelitian di Denpasar menunjukkan bahwa infeksi menular seksual (IMS)
yang paling sering terjadi adalah servisitis dengan jumlah 200 kasus (33,3%),
diikuti oleh gonore sebanyak 14 kasus (2,3%), serta sifilis dan urethritis masing-
masing sebanyak 10 kasus (1,7%).
d. Penggunaan jarum suntik secara bergantian dan mendapatkan suntikan yang tidak
aman.
e. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia menunjukkan bahwa angka presentase
penasun sebesar 9,3% Tahun 2013,32 3,3% Tahun 201415 dan 2,6% Tahun
2015.3
f. Saat melakukan transfusi darah, transpalasi jaringan dan prosedur medis tidak
steril.
g. Presentase kasus AIDS menurut faktor risiko transfusi darah sebesar 0,5 %, lain-
lain 0,2% dan tidak diketahui 4,0% Tahun 2013.32 Transfusi darah sebanyak
0,20 %, lain-lain 0,8 % dan tidak diketahui 4,8% Tahun 2014.15 Transfusi darah
sebesar 0,26 %, lain-lain 0,2 % dan tidak diketahui 1,6 % pada Tahun 2015 di
Indonesia.
h. Penularan dari orang tua ke anak yang di lahirkan (perinatal). Berdasarkan faktor
risiko kasus AIDS, presentase perinatal sebanyak 2,6 % Tahun 2013,32 3,5 %
Tahun 2014 dan 4,2 % 15 Tahun 2015 di Indonesia.

4. Perkembangan HIV

Beberapa tahap perkembangan HIV dalah sebagai berikut :

Setelah HIV masuk ke dalam tubuh manusia maka virus tersebut akan menyerang
dan merusak sejumlah besar sel darah putih serta berkembang biak dengan cepat.

Ada sejumlah tahapan perkembangan virus HIV di dalam tubuh.

a. Periode jendela
Tahap ini disebut dengan periode jendela, berkisar antara 1 hingga 3 bulan
bahkan ada yang hingga 6 bulan (HIV masih ‘bersembunyi’, belum bisa
dideteksi).33 Selama periode ini, orang tersebut di dalam tubuhnya sudah
terdapat virus dan bisa menularkannya kepada orang lain. Meskipun tidak
akan teruji positif secara laboratoris.
b. Tahapan Tanpa gejala
Pada tahap ini , HIV telah berkembang biak dalam tubuh sehingga dapat
diketahui dari tes HIV. Orang yang tertular HIV tetap tampak sehat selama 5
sampai 10 tahun, dikenal dengan masa laten HIV/AIDS.33 Daya tahan tubuh
masih mampu mengatasi serangan dari berbagai penyebab penyakit
oportunis. Rata-rata tahapan ini berlangsung selama 7 tahun.
c. Tahapan gejala mulai muncul
Pada ini, sistem kekebalan tubuh semakin menurun, orang yang HIV+ akan
mulai menampakkan gejala-gejala AIDS. Misalnya dengan adanya
pembengkakan kelenjar limfa pada seluruh tubuh. Tahap ini kira-kira
berlangsung selama lebih dari 1 bulan. Tahapan ini merupakan tahapan
penghancuran dan perusakan secara progresif sel darah putih oleh virus HIV
sehingga dapat melumpuhkan sistem kekebalan tubuh. Dan pada saat ini
mulai muncul penyakit oportunis karena daya tahan tubuh sudah sangat
menurun.
d. Tahapan AIDS
Pada tahap akhir, ketika sudah menjadi AIDS, penderita akan semakin lemah
kondisinya akibat berbagai penyakit yang tidak dapat dilawan oleh sistem
kekebalan tubuhnya. Tahapan akhir dengan berbagai jenis infeksi oportunis
seperti radang paru-paru, gangguan syaraf, jamur, kanker kulit. Pada
akhirnya penderita akan meninggal karena penyakit oportunis tersebut.
e. Infeksi Oportunistik
Macam-macam infeksi opurtunistik adalah TB, Pneumonia, Kandidiasis,
Herpes, Diare, Toksoplasma dan Sarkoma Kaposi.

5. Pencegahan HIV/AIDS

Pencegahan HIV/AIDS bertujuan untuk melindungi diri dari tertularnya HIV dan
tidak menularkan virus kepada orang lain. Berikut adalah cara pencegahan penularan
HIV/AIDS :

a. Tidak melakukan hubungan seksual berisiko.


b. Tidak berganti-ganti pasangan atau setia kepada satu pasangan yang tidak
terkena infeksi HIV.
c. Menggunakan kondom secara konsisten saat berhubungan seksual yang
berisiko.
d. Hindari penggunaan jarum suntik yang tidak steril dan secara bergantian.
Terutama bagi pengguna narkoba suntik. Terdapat cara untuk mengurangi
resiko tertular HIV pada penggunaan narkoba yaitu beralih dari napza yang
harus disuntikkan ke yang dapat diminum secara oral, jangan pernah
menggunakan dan bergantian alat untuk menyiapkan napza.
e. Memberikan pendidikan tentang Informasi seputar HIV dan AIDS terutama
kepada populasi kunci.
f. Penghapusan penularan HIV dari ibu ke anak.
B. Manajemen Masalah Psikososiospiritual Pasien HIV/AIDS

Manajemen masalah psikososiospiritual pasien HIV/Aids pada penelitian ini


bersumber pada pasien, support sistem yaitu keluarga, KDS dan manajer kasus dan
petugas kesehatan.

a. Manajemen masalah psikologis


Temuan penelitian menunjukkan bahwa manajemen masalah psikologis yang
dilakukan oleh pasien HIV/ Aids antara lain: 1) peningkatan koping, 2)
konseling, 3) upaya spiritual dan 4) meningkatkan dukungan suport sosial.
Temuan dalam penelitian ini selaras dengan yang disampaikan Bulechek,
Butcher, Dochterman dan Wagner (2012). bahwa manajemen permasalahan
untuk mengatasi masalah psikologis berupa kecemasan pada pasien HIV/Aids
diantaranya yaitu penurunan kecemasan, peningkatan koping, dukungan
kelompok, dukungan keluarga.
b. Manajemen masalah spiritual
Penelitian ini menunjukkan bahwa responden ODHA tidak ada yang mengalami
permasalahan spiritual. ODHA justru menjadi lebih rajin beribadah setelah
didiagnosis HIV. Upaya positif yang sudah dilakukan oleh ODHA dapat
mencegah terjadinya distress spiritual yang mungkin akan terjadi. Upaya
dukungan spiritual yang dilakukan pada ODHA di Semarang meliputi
peningkatan partisipasi dalam beribadah, fasilitasi pelaksanaan ibadah; fasilitasi
pemenuhan kebutuhan spiritual; keterlibatan keluarga dalam penyediaan
perlengkapan. Temuan penelitian ini mendukung upaya positif aspek spiritual
yang sudah dilakukan ODHA seperti dalam pernyataan berikut:

“Saya juga rutin ikut pengajian di kampung, tiap minggu tiga kali rutin, selasa,
kamis dan minggu.... ....”(Ibu HIV Positif HIV,52 tahun, wiraswasta)

“Semenjak sakit saya merasa harus lebih dekat sama Allah... saya ikut juga
pengajian rutin di kampung”. (Ibu HIV Positif HIV, 36 tahun, tidak bekerja)

Temuan dalam penelitian sesuai dengan yang disampaikan oleh Bulechek, Butcher,
Dochterman dan Wagner (2012) bahwa aktifitas dukungan spiritual meliputi: evaluasi
kemampuan beribadah; tingkatkan partisipasi dalam beribadah, fasilitasi pelaksanaan
ibadah; ketenangann beribadah; pemenuhan kebutuhan spiritual; libatkan system
pendukung dalam penyediaan perlengkapan; dukung penggunaan sumber spiritual.

C. Manajemen Masalah Sosial

Intervensi untuk mengatasi masalah gangguan sosialisasi dan perubahan proses


keluarga akibat HIV/Aids meliputi: konseling, dukungan emosi, keluarga dan kelompok,
peningkatan peran dan support system enhancement, konseling, dukungan emosi, dan
keluarga serta edukasi (Bulechek, Butcher, Dochterman & Wagner, 2012). Strategi yang
dilakukan pasien agar tetap bersosialisi dengan baik adalah tidak menceritakan
permasalahan sakitnya kepada selain keluarga inti. Strategi lain adalah dengan tetap
bergaul melalui media sosial dan membatasi diri untuk bersosialisasi yang “beresiko”
seperti disampaikan berikut:

“Saya tidak bergaul dengan menemui teman perempuan, saya bergaulnya hanya sekedar
chating saja agar tetap bisa bergaul bu...saya tidak mau menularkan penyakit saya,
kasihan nanti orang yang tidak bersalah bisa tertular...” (Remaja positif HIV, 27 tahun)

“...Saya nggak pernah ikut pertemuan ODHA disini karena saya pernah lihat suami dan
anak teman SMA saya...saya takut ketahuan jadi terus saya nggak ikut lagi...” (Ibu
positif HIV, ibu rumah tangga, 30 tahun)

Permasalahan dalam aspek sosialisasi pada ODHA perlu agar tidak mencetuskan
masalah yang lain terutama masalah psikologis. Sosialisasi diperlukan agar ODHA
mendapat dukungan yang optimal. Dukungan dari teman, sahabat, masyarakat dapat
tejadi jika tidak ada permasalahan dalam aspek sosialisasi. Dukungan sosial diperlukan
agar hidup ODHA menjadi lebih bermakna, sehingga menjadi lebih bersemangat dalam
hidup. Justifikasi ini didukung hasil penelitian menunjukkan ada hubungan positif antara
dukungan sosial yang diterima dengan kebermaknaan hidup pada ODHA (r= 0,885;
p<0,01). Semakin tinggi tingkat dukungan sosial yang diterima maka semakin tinggi pula
kebermaknaan hidup yang dirasakan ODHA dan dukungan support system berperan
penting dalam mengatasi permasalahan psikososialspiritual klien HIV/Aids

Saran dari penelitian ini adalah:


1) Perlu ditingkatkan dan dioptimakan peran support system (tenaga
kesehatan)
2) Dukungan keluarga, tenaga kesehatan, KDS perlu ditingkatkan untuk
mencegah dan mengatasi permasalahan psikososialspiritual pada pasien
HIV/Aids
3) Pemerintah melalui media informasi dan tenaga kesehatan perlu
menggalakkan pemberian informasi yang benar pada masyarakat tentang
pencegahan dan perawatan HIV/Aids.

Anda mungkin juga menyukai