Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

ISLAM TEKNOLOGI DAN SENI BUDAYA

DISUSUN OLEH
Nurul Khotijah (J1A220005)
Muhammad Fauzan adhzim (J1A220051)

UNIVERSITAS JAMBI
FAKULTAS PERTANIAN
TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya
sehingga kami sanggup menyelesaikan penyusunan makalah pendidikan agama islam dengan
judul "ISLAM, TEKNOLOGI, DAN SENI BUDAYA" tepat pada waktunya.

Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung tunjangan


banyak sekali pihak, sehingga sanggup memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak
lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
menyelesaikan makalah ini

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh alasannya ialah itu,
dengan nrimo kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi
saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.

Akhirnya penyusun sangat mengharapkan biar dari makalah sederhana ini sanggup
diambil keuntungannya dan besar keinginan kami sanggup menginspirasi para pembaca untuk
mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.

Jambi, 16 Februari 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3

PENDAHULUAN 4
A. LATAR BELAKANG 4
B. RUMUSAN MASALAH 5
C. TUJUAN 5

PEMBAHASAN ………………………………………………………………………..........8

A. ISLAM DAN KEMAJUAN TEKNOLOGI………………………...………………….....…9

B. ISLAM DAN SENI…………………………………………………………………..……10

C. ISLAM DAN BUDAYA……………………………………………………………………..11

PENUTUP…………………………………..………………………………………………19

A. SIMPULAN …………...…………………………………………………………….19
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Islam telah lahir sejak 1400 tahun silam. Sepanjang sejarah itu, selain menyiarkan ajaran
agama, para pemimpin Islam juga turut menyebarkan budaya, ilmu pengetahuan, dan
teknologi pada setiap wilayah masyarakat yang didatanginya. Sejak zaman Nabi Muhammad,
Islam telah menyebar luas hingga ke luar wilayah jazirah Arab. Dan pada masa-masa puncak
kejayaan kekuasaan para khalifah agung, Islam merambah masuk (sebagian menjadi
penguasa) di Afrika, Asia Pasifik, dan Eropa bahkan juga ke Amerika. 1 Islam yang begitu
cepat menyebar hampir ke seluruh dunia membawa pandangan baru dan nilai-nilai baru
dalam kehidupan masyarakat. Islam datang dengan membawa pesan-pesan untuk sebuah
kemajuan peradaban yang bernilai dan bertuju pada kebahagiaan yang haq bagi seluruh
ummat manusia. Peradaban yang dibangun di atas pondasi ilmu yang kuat. Kedudukan ilmu
pengetahuan dalam Islam, adalah pegetahuan sebagai kebudayaan. 2 Islam yang sangat
memperhatikan bahkan menjunjung tinggi ilmu pengetahuan.

Kedatangan Islam sendiri dengan diutusNya Nabi Muhammad telah membawa manusia
untuk berfikir, beranjak dari sebuah kemunduran dan keterbelakangan mereka menuju
kemajuan peradaban yang ideal. Kemajuan peradaban tersebut tidak terlepas dari ajaran
Islam kepada umatnya agar selalu menggunakan instrumen ilmu pengetahuan sebagai alat
untuk menuju kemajuan peradaban. Kemajuan peradaban umat Islam dalam ilmu
pengetahuan dapat dilihat pada era dinasti Abbasiyah maupun pada abad pertengahan, ketika
umat Islam tidak hanya tampil sebagai komunitas ritual namun juga sebagai komunitas
intelektual. Secara historis umat Islam mengalami kemajuan dengan majunya ilmu
pengetahuan dalam berbagai bidang disiplin ilmu saat itu. Sebagai ilustrasi, dapat disebutkan
di sini beberapa cendekiawan yang telah memberikan kontribusi kreatif, misalnya observasi
astronomikal dari Mahani (855-866), risalah atromosforik dan spherical astrolobe serta tabel-
tabel astronomikal karya Naziri dan observasi astronomikal karya Qurra Al Bittani, seorang
astronom besar pada tahun 880 telah berhasil menyusun buku katalog bintang-bintang yang
didasarkan pada observasinya. 3 Dapat dikatakan bahwa majunya sebuah peradaban adalah
karena majunya ilmu pengetahuan di kalangan umat manusia. Begitu juga sebaliknya
kemunduran suatu peradaban selalu diawali dengan memudarnya budaya ilmu 3 Mehdi
Nakosteen, Kontribusi Islam Atas Dunia Inteletual Barat,Deskripsi Analisis Abad Keemasan
Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 2003), hlm. 213 3 dalam masyarakat di suatu negeri. Ketika
materi menjadi satu-satunya ukuran dalam pencapaian individu maka hal itu harus diiringi
dengan kehancuran berbagai aspek kehidupan. Termasuk bidang pendidikan yang seharusnya
menjadi ruh dari peradaban itu sendiri. Kondisi tersebut terjadi karena umat Islam tidak
menjadikan pendidikan sebagai sarana strategis untuk mengembalikan kembali peradaban
Islam yang telah lama tidak berkembang karena telah tertinggal jauh dari perdaban
materialistik Barat. Tanpa terciptanya tradisi intelektual yang dilandasi oleh iman kepada
Allah SWT dalam sebuah masyarakat, cita-cita tentang kebangkitan Islam adalah utopis.
RUMUSAN MASALAH

1. Arti islam dan kemajuan teknologi


2. Arti islam dan seni
3. Arti islam dan budaya

TUJUAN

1. Agar pemabaca dapat memahami hubungan tentang pandangan dan arti islam dan
kemajuan teknologi
2. Agar pembaca dapat memahami tentang islam dan seni
3. Agar pembaca dapat memahami arti islam dan budaya
PEMBAHASAN

A. ISLAM DAN KEMAJUAN TEKNOLOGI

ISLAM mendorong umatnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Berbeda dengan pandangan dunia Barat yang melandasi pengembangan ipteknya untuk
kepentingan materiel, Islam mementingkan pengembangan dan penguasaan iptek untuk menjadi
sarana ibadah. Selain itu iptek juga sebagai pengabdian muslim kepada Allah (spiritual) dan
mengembangkan amanat khalifatullah (wakil Allah) di muka bumi untuk berkhidmat kepada
kemanusiaan dan menyebarkan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin).

Suprodjo Pusposutardjo dalam tulisannya, Posisi Alquran terhadap Ilmu dan Teknologi,
mengatakan bahwa bagi umat Islam yang beriman kepada Alquran, belajar mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan atribut dari keimanannya. Secara jelas juga telah
ditunjukkan bahwa orang-orang berilmu akan memperoleh pahala yang tidak ternilai di hari
akhir.

Belajar dan mengembangkan iptek merupakan bentuk keimanan seseorang dan menjadi daya
penggerak untuk menggali ilmu. Memandang betapa pentingnya mempelajari ilmu-ilmu lain
(selain ilmu syariat, yakni iptek) dalam perspektif Alquran, Mehdi Golshani dalam bukunya, The
Holy Qur'an and The Science Of Nature (2003), mengajukan beberapa alasan.

Pertama, jika pengetahuan dari suatu ilmu merupakan persyaratan pencapaian tujuan Islam
sebagaimana dipandang oleh syariat, mencarinya merupakan sebuah kewajiban karena ia
merupakan kondisi awal untuk memenuhi kewajiban syariat. Contohnya, kesehatan badan bagi
seseorang dalam satu masyarakat adalah penting. Oleh sebab itu, sebagian kaum muslim harus
ada yang mempelajari ilmu mengenai pengobatan.

Kedua, masyarakat yang dikehendaki Alquran adalah masyarakat yang agung dan mulia, bukan
masyarakat yang takluk dan bergantung pada nonmuslim (QS An-Nisa’: 141). Agar dapat
merealisasikan tujuan yang dibahas Alquran itu, masyarakat Islam benar-benar harus
menemukan kemerdekaan kultural, politik, dan ekonomi.

Pada gilirannya, hal itu membutuhkan pelatihan para spesialis spesifikasi tinggi di dalam segala
lapangan dan penciptaan fasilitas ilmiah dan teknik dalam masyarakat Islam. Sebab, pada abad
modern, kehidupan manusia tidak dapat dipecahkan kecuali dengan upaya pengembangan ilmiah
dan kunci sukses seluruh urusan bersandar pada ilmu.

Ketiga, Alquran menyuruh manusia mempelajari sistem dan skema penciptaan, keajaiban-
keajaiban alam, sebab-sebab, akibat-akibat seluruh benda, dan organisme hidup. Pendek kata,
seluruh tanda kekuasaan Tuhan di alam eksternal dan kedalaman batin jiwa manusia, seperti
tersirat dalam Alquran, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya
malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan
apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah
mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan
awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan
kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”. (QS Al-Baqarah: 164).

Keempat, alasan lain untuk mempelajari fenomena-fenomena alam dan skema penciptaan adalah
bahwa ilmu tentang hukum-hukum alam dan karakteristik benda serta organisme dapat berguna
untuk perbaikan kondisi manusia. Ini misalnya yang tersirat dalam Alquran, “Dan Dia
menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai
rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
(kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir”. (QS Al-Jatsiyah: 13)

Di antara ayat-ayat Alquran yang menjadi landasan iptek, antara lain QS Ar-Rum: 22, QS Al-
An’am: 97, dan QS Yunus: 5. Ayat-ayat itu secara jelas menggambarkan fenomena alam yang
selalu dihadapi dan mengiringi perjalanan hidup umat manusia untuk dipahami, diteliti, sehingga
lahirlah pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, seperti diisyaratkan dalam ayat-ayat di atas,
yang mengetahui hakikat alam ini hanyalah orang-orang yang mengetahui, yakni mereka yang
intens bergerak untuk mencari dan mencari karena kuriositasnya yang tinggi dengan
memaksimalkan kerja pikiran.

Allah tidak menciptakan alam ini dengan sia-sia. Dia menciptakan alam ini mempunyai maksud
dan hikmah. Muhammad Imaduddin Abdulrahim dalam tulisannya, Sains dalam Perspektif
Alquran, mengatakan bahwa sunatullah sebagai ketetapan Allah terhadap alam ciptaan-Nya ini
dimaksudkan untuk kelestarian, keharmonisan, dan kesejahteraan manusia di dunia ini.

Tujuan itu tidak akan terealisasi tanpa pengungkapan terhadap alam. Oleh karena itu, usaha-
usaha manusia untuk mengungkapkan rahasia alam ini juga harus diselaraskan dengan tujuan
penciptaan sebenarnya. Jangan sampai sains itu digunakan untuk hal-hal yang merusak
keharmonisan alam dan menimbulkan bencana bagi kehidupan manusia.

Nurcholish Madjid dalam tulisannya, Pandangan Dunia Alquran: Ajaran tentang Harapan kepada
Allah dan Seluruh Ciptaan, mengatakan bahwa alam raya ini diciptakan Allah dengan benar
(haq) (QS Az-Zumar: 5). Sebab, ia itu benar atau diciptakan dengan benar, alam ini mempunyai
hakikat, yaitu kenyataan yang benar. Kosmologi haqqiyah mengandung dalam dirinya
pandangan bahwa alam adalah tertib atau harmonis, indah, dan bermakna.

Dengan kata lain, kosmologi haqqiyah membimbing kita kepada sikap berpengharapan atau
optimistis kepada alam ciptaan Allah itu. Dan sikap itu sendiri merupakan kelanjutan atau
konsekuensi sikap serupa kepada Allah. Dengan pandangan seperti itu, berbagai macam
pengembangan pengetahuan terhadap realitas alam raya ini juga menjadi hal yang mesti dan
bahkan diharuskan.
Menengok sejarah peradaban Islam zaman dulu, kita akan menemukan para ilmuwan muslim
yang mengembangkan iptek. Tokoh-tokoh semisal Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (780—
850, matematikawan), Abu Ar-Raihan Muhammad bin Ahmad al-Biruni (973—1048,
fisikawan), Jabir bin Hayyan al-Kufi as-Sufi (781—815, kimiawan), ad-Dinawari (w. 895,
biolog), dan Muhammad al-Fazari (w. 777, astronom), merupakan beberapa di antara ilmuwan
Islam yang sangat genius saat itu.

Mereka membaca Alquran, mencipta karya, teori, dan penemuan baru yang luar biasa. Jadi,
Islam tidak anti-iptek, tetapi mendorong pengembangannya.

B. ISLAM DAN SENI

Seni adalah ekspresi ruh yang mengandung dan mengungkap keindahan. Syair, nyanyian, tarian,
dan peragaan di pentas, lukisan atau pahatan, semuanya adalah seni, selama terpenuhi unsur
keindahan.

Tidak mudah mendefinisikan keindahan. Kendati nalar meletakkan syarat dan ukuran, tetapi
bukan nalar itu yang menetapkannya. Ukuran dan syarat itu bersumber dari dalam diri manusia
atau masyarakat. Allah swt. menganugerahkan manusia rasa bagaikan reciever yang peka
sehingga dengan mudah seseorang menangkap, merasakan, dan menyambutnya. Itulah salah satu
fitrah yang dianugerahkan Allah kepada manusia.

Seni adalah keindahan. Ia dapat tampil dalam beragam bentuk dan cara. Apa pun bentuk dan
caranya, selama arah yang ditujunya mengantar manusia ke nilai-nilai luhur, maka ia adalah seni
Islami. Karena itu, Islam dapat menerima aneka ekspresi keindahan selama tidak bertentangan
dengan nilai-nilai al-Khair dan al-Ma’ruf, yakni nilai-nilai universal yang diajarkan Islam serta
nilai lokal dan temporal yang sejalan dengan budaya masyarakat selama tidak bertentangan
dengan al-Khair tersebut. “Allah Maha-indah menyukai keindahan,” sabda Rasul saw. Dia
menganugerahi manusia fitrah menyenangi keindahan. Karena itu, mustahil seni dilarang-Nya,
kecuali jika ada unsur luar yang menyertai seni itu. Siapa yang tidak tergerak hatinya di musim
bunga dengan kembang-kembangnya atau oleh alat musik dengan getaran nadanya, maka
fitrahnya telah mengidap penyakit parah yang sulit diobati. Demikian kata al-Ghazaly.

Dari sini setiap karya, karsa, dan rasa yang mengantar kepada peningkatan, bukan saja diizinkan-
Nya, tetapi direstui dan didorong-Nya, sebaliknya semua yang mengantar ke selera rendah
dibenci dan dikutuk-Nya.

Siapa pun yang mempertemukan secara indah wujud ini dengan Tuhan, maka upayanya itu
adalah seni Islami. Yang tidak mempertemukannya bukanlah seni Islami. “Art for Art” tidak
dikenal oleh kamus ajaran Islam karena bagi seorang Muslim, seluruh gerak dan diamnya harus
diarahkan kepada-Nya, “Shalatku, ibadahku, hidup dan matiku adalah untuk Allah swt.” (QS. al-
An’âm [6]: 162).
Setiap seniman, bahkan siapa pun yang jujur dengan profesinya, pasti memiliki pandangan hidup
menyangkut manusia, alam, dan kehidupan. Pandangan itu bisa luas dan langgeng, bisa juga
terbatas wilayah dan masanya. Seni Islami menuntut seniman untuk memandang alam ini tidak
terbatas pada sisi materialnya atau hanya di sini dan sekarang, tetapi jauh ke sana, bersama “ruh
kehidupan” yang menyertainya—kendati sesuatu itu tidak bernyawa—lalu pada akhirnya
bergerak mengarah dan bertemu dengan Sang Pencipta. Langit dan bumi serta segala isinya
dalam pandangan kitab suci al-Qur’an amat indah, seimbang, dan serasi serta hidup, bahkan
bertasbih memuji dan mengarah kepada-Nya (QS. al-Isrâ’ [17]: 44). Bukit Uhud dilukiskan oleh
Nabi saw. sebagai mencintai kita dan kita pun mencintainya.

Banyak yang menyalahpahami sikap Islam terhadap seni atau paling tidak mempersempit ruang
lingkup yang dibenarkan agama ini, padahal ruang lingkupnya amat luas. Bermula dalam bentuk
mengekspresikan keindahan lahiriah manusia—pakaian, penampilan, cara dan susunan tuturnya
—hingga keindahan batin melalui kepekaan rasa yang melahirkan budi pekerti dan interaksi
harmonis. Setiap agama memunyai keindahan dan keindahan Islam adalah pada budi pekertinya.
Keindahan yang diajarkan serta dianjurkan untuk diekspresikan adalah yang lahir dari rasa yang
suci, jiwa yang bersih serta akal yang cerdas guna menonjolkan keindahan ciptaan Allah atau
kebesaran Kuasa-Nya.

Puluhan ayat-ayat al-Qur’an yang menggugah manusia memandang keindahan yang terhampar
di bumi seperti keindahan terbitnya matahari hingga terbenamnya atau kebun-kebun yang
melahirkan pandangan indah, demikian juga keindahan yang terbentang di langit dari curahan
airnya yang menumbuhkan aneka bunga dan kembang sampai dengan taburan bintang-
bintangnya yang memesona. Kitab suci al-Qur’an menggunakan keindahan bahasa dan ketelitian
makna untuk mengekspresikan keindahan-keindahan itu.

Keindahan bahasanya, saat dibaca, melahirkan apa yang dinamai oleh sementara pakar dengan
“Musik al-Qur’an”, yakni nada dan langgam yang menyentuh pendengarnya, baik dipahami
makna ayatnya maupun tidak. Bukan hanya itu, Nabi Muhammad saw. pun membenarkan
nyanyian-nyanyian yang menggugah hati atau yang menimbulkan semangat. Jangan duga bahwa
nyanyian Islami harus berbahasa al-Qur’an. Lagu-lagu Barat pun dapat merupakan eskpresi
keindahan yang sejalan dengan nilai-nilai Islam, dan sebaliknya tidak jarang lagu-lagu berirama
Timur Tengah yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam dalam syair atau penampilan
penyanyinya.

Memang sebagian di antara ekspresi keindahan yang kita kenal dewasa ini belum terjamah pada
masa Nabi Muhammad saw. dan sahabat-sahabat beliau atau bahkan terlarang akibat kondisi-
kondisi tertentu ketika itu. Sebagai contoh, seni pahat. Dahulu “seni” ini secara tegas terlarang
karena ia dijadikan sarana ibadah kepada selain Allah. Jika pahatan itu tidak mengarah kepada
penyembahan selain Allah, tetapi merupakan ekspresi keindahan, maka ia boleh-boleh saja.
Bukankah—kata ulama—Nabi Sulaiman pun memerintahkan untuk membuat antara lain patung-
patung (QS. Saba’ [34]: 13) yang tentunya bukan untuk disembah, tetapi antara lain untuk
dinikmati keindahannya.

Ketika sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw. menduduki Mesir, di sana mereka menemukan
aneka patung peninggalan dinasti-dinasti Fir’aun. Mereka tidak menghancurkannya karena
ketika itu, ia tidak disembah tidak juga dikultuskan, bahkan kini peninggalan-peninggalan
tersebut dipelihara dengan amat baik, antara lain untuk menjadi pelajaran dan renungan bagi
yang memandangnya.

Benar bahwa ada riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa “Malaikat tidak masuk ke satu
rumah bila di dalamnya terdapat patung,” tetapi itu bila patung tersebut disembah, atau
melanggar sopan santun atau mengundang selera rendah. Menikmati keindahan adalah fitrah
manusia secara universal, sedang Islam adalah agama universal yang bertujuan membangun
peradaban. Kebenaran, kebaikan, dan keindahan adalah tiga unsur mutlak bagi satu peradaban.
Mencari yang benar menghasilkan ilmu, menampilkan kebaikan mencerminkan moral, dan
mengekspresikan keindahan melahirkan seni. Namun, ketiganya tidak berarti jika tidak ada yang
menggali, menampilkan, dan mengeksperesikannya.

Selanjutnya perlu dicatat bahwa peradaban tidak dapat dibangun dengan mengabaikan hasil
positif yang telah dicapai oleh siapa pun pada masa lalu. Karena itu, dari mana pun sumber
kebenaran, maka Islam menerimanya. “Hikmah adalah milik orang mukmin; di mana pun ia
temukan, maka ia lebih berhak mengambilnya. Kenalilah kebenaran pada ide, bukan pada
pencetusnya,” demikian beberapa ungkapan populer yang dikenal dalam literatur Islam. Prinsip
di atas berlaku juga menyangkut keindahan dan kebaikan. Di mana atau siapa pun yang
mencetuskan atau mengeksperesikannya, selama sejalan/tidak bertentangan dengan nilai-nilai
yang dibenarkan Islam, maka itu dapat saja diterima, tanpa harus mempertimbangkan agama,
bangsa, atau ras pencetusnya.

Seni Islami tidak harus berbicara tentang Islam atau hanya dalam bentuk kaligrafi ayat-ayat al-
Qur’an. Lalu, yang pasti seni Islami bukan sekadar nasihat langsung atau anjuran mengikuti
kebajikan. Ia adalah ekspresi keindahan tentang alam, kehidupan dan manusia yang sejalan
dengan nilai-nilai Islam. Seni Islam adalah yang mempertemukan keindahan dengan
hak/kebenaran. Karya indah yang menggambarkan sukses perjuangan Nabi Muhammad saw.,
tetapi dilukiskan sebagai buah kegeniusan beliau terlepas dari bantuan Allah, karya itu bila
dilukiskan demikian tidak dapat dinilai sebagai seni Islami. Sebaliknya, mengekspresikan
keindahan yang ditemukan pada ternak ketika kembali ke kandang dan ketika melepaskannya ke
tempat penggembalaan, sebagaimana diungkapkan oleh QS. an-Nahl [16]: 6, dapat merupakan
seni Islami selama mengundang keagungan Allah. Boleh jadi ada yang menduga bahwa Islam
tidak merestui seni, pandangan itu keliru. Memang Islam tidak menyetujui seni yang terlepas
dari nilai-nilai Islami atau yang melukiskan kelemahan manusia dengan tujuan mengundang
tepuk tangan dan membangkitkan selera rendah. Demikian, wa Allâh A’lam.
C. ISLAM DAN BUDAYA

Agama merupakan bidang yang dapat dibedakan dengan budaya, tetapi tidak dipisahkan. Agama
bernilai mutlak, tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkan budaya,
sekalipun berdasarkan agama dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat.
Oleh karenanya, agama adalah kebutuhan primer, di sisi lain budaya adalah kebutuhan sekunder.
Budaya bisa merupakan ekspressi hidup keagamaan. Dengan demikian, tinggi 15 Budaya adalah
Pemahaman perasaan suatu bangsa yang kompleks, meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni,
moral, hukum, dan adat istiadat (kebiasaan), dan pembawaan lainnnya yang diperoleh dari
anggota masyarakatm(Taylor,1897). Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya
manusia bisa hidup di dalamnya. Agama Islam juga memerlukan sistem simbol, dengan kata lain
agama Islam memerlukan kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan.Agama Islam
adalah sesuatu yang final, universal, abadi (parennial) dan tidak mengenal perubahan (absolut).
Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer. Agama tanpa kebudayaan
memang dapat berkembang sebagai agama pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai
kolektivitas tidak akan mendapat tempat. Di sisi lain budaya memasukkan dunia ke wilayah
manusia, kemudian menyebabkan manusia mengolah tanah dan membangun rumah (bangunan)
sehingga menjadi halaman gerak manusia. Lihat Mawardi dan Nur Hidayati, Ilmu Alamiah
Dasar Ilmu Sosial Dasar Ilmu Budaya Dasar, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), cet. V, h. 183.16
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, rendahnya ekspressi keberagamaan
seseorang terlihat dari tingkatan ekpressi budayanya. Oleh karena itu, dapat dikatakan, pertama,
kebudayaan merupakan hasil karya, rasa, dan cita-cita manusia. Yang dapat berubah setiap
waktu, ruang dan tempat. Dengan adanya budaya, kehidupan manusia menjadi lebih terarah dan
mendapat tempat yang semestinya di mata manusia itu sendiri. Kedua, Islam bukan produk
budaya, namun budaya timbul dapat terinspirasi dari efek adanya agama itu sendiri.

Islam dalam menghadapi budaya memberi batasan-batasan yang jelas dalam implementasinya.
Dalam konsep Ikhwanul Muslimin dikenal dengan tsawabit dan mutaghayyirat. Artinya Islam
memberikan batasan antara yang tidak boleh diubah (tsawabit) karena bersifat prinsip seperti
aqidah, ushul (pokok-pokok) yang tegas, yang tidak menerima takwil, penggantian, perubahan
kapanpun dan di manapun serta oleh siapapun. Seperti rukun iman, atau bahasa arab sebagai
bahasa Al-Qur’an. Sedang mutaghayyirat memberikan fleksibilitas terhadap perkembangan
zaman, termasuk kebudayaan. Dalam khazanah ke-Islam-an, budaya biasa dinamakan dengan
‘urf atau‘adah. Qardhawi menjelaskan bahwa ‘urf merupakan kebiasaan dan perilaku masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari yang kemudian dijadikan adat-istiadat turun temurun, baik berupa
ucapan ataupn perbuatan, baik umum maupun khusus. Karena ‘urf merupakan bagian tidak
terpisahkan dari manusia, maka dalam merumuskan hukum, para ushuliyun memposisikan‘urf
sebagai salah satu instrumen penting. Hal ini dapat dilihat dari konsepsi yang dijabarkan oleh
para ushuliyun. Selain itu, pentingnya posisi ‘urf ini juga dapat dilihat dari munculnya kaidah
ushul yang menyatakan: “al-‘adahmuhakkamah”. Sebagai sebuah kenyatan sejarah, agama dan
kebudayaan dapat saling mempengaruhi, karena dalam keduanya terdapat nilai dan simbol.
Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan juga
mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya. Agama memerlukan
system simbol, dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan agama. Hal ini menunjukkan
hubungan antara agama dan budaya yang begitu erat. Tetapi perlu diperhatikan, keduanya perlu
dibedakan.

Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi (parennial), dan tidak mengenal perubahan
(absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relative, dan temporer. Agama tanpa
kebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama pribadi; namun tanpa kebudayaan agama
sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat.17

Interaksi antara agama dan kebudayaan itu dapat terjadi dengan, pertama agama mempengaruhi
kebudayaan dalam pembentukannya. Nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah
kebudayaan. Contohnya adalah bagaimana shalat mempengaruhi bangunan kehidupannya.
Kedua, kebudayaan dapat mempengaruhi simbol agama. Dalam hal ini kebudayaan Indonesia
mempengaruhi

Islam dengan pesantren dan kiai yang berasal dari padepokan dan pondok pesantren. Dan ketiga,
kebudayaan dapat menggantikan sitem nilai dan simbol agama.18 Agama dan kebudayaan
mempunyai dua persamaan, yaitu, keduanya adalah sitem nilai dan sistem symbol. Keduanya
mudah sekali terancam setiap kali ada perubahan. Agama, dalam perspektif ilmu-ilmu sosial
adalah sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas, yang
berperan besar dalam menjelaskan struktur tata normatif dan tata sosial serta memahamkan dan
menafsirkan dunia sekitar. Sementara seni tradisi merupakan ekspressi cipta, karya, dan karsa
manusia (dalam masyarakat tertentu) yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan religiusitas,
wawasan filosofis, dan kearifan lokal (local wisdom).Baik agama maupun kebudayaan, sama-
sama memberikan wawasan dan cara pandang dalam mensikapi kehidupan agar sesuai dengan
kehendak Tuhan dan kemanusiaannya. Misalnya, dalam menyambut anak yang baru lahir, bila
agama memberikan wawasan untuk melaksanakan aqiqah untuk penebusan (rahinah) anak
tersebut. Sementara kebudayaan yang dikemas dalam marhabaan dan bacaan barjanji
memberikan wawasan dan cara pandang lain, 17 Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Essai-
essai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental, tetapi memiliki
tujuan yang sama, yaitu mendo’akan kesalehan anak yang baru lahir agar sesuai dengan harapan
ketuhanan dan kemanusiaan. Demikian juga dalam upacara tahlilan, baik agama maupun budaya
lokal dalam tahlilan sama-sama saling memberikan wawasan dan cara pandang dalam menyikapi
orang yang meninggal.19 Dengan demikian, antara keduanya saling melengkapi dalam rangka
keharmonisan kehidupan manusia. Jadi kebudayaan merupakan upaya penjelmaan diri mausia
dalam usaha menegakkan eksistensinya dalam kehidupan. Sehingga kebudayaan adalah susunan
yang dinamis dari ide-ide dan aktivitas-aktivitas yang saling berhubungan dan mempengaruhi
satu sama lainnya secara terus menerus.20 Untuk kemudian agama sebagai sandarannya
berupaya menjadi fondasi keselamatan umat manusia. Oleh karena itu, pada prinsipnya agama
dan kebudayaan merupakan subjek dan objeknya, yaitu sama-sama terdapat pada diri manusia.
PENUTUP

KESIMPULAN

Dalam pandangan islam, antara agama islam dengan konsep kemajuan teknologi seni dan budaya
terdapat hubungan yang harmonis dan dinamis yang terintegrasi dengan diiringi oleh iman dan
taqwa. Artinya, perkembangan iptek, seni, dan budaya perlu diimbangi dengan iman dan taqwa
sehingga semua yang telah dihasilkan dapat berupa hasil yang baik dan berbuah pahala, dan juga
dapat terhindar dari hal-hal yang menyesatkan.Mengenai perkembangan iptek dan seni yang ada,
para ilmuwan harus disertai dengan iman, taqwa, dan ilmu yang benar dalam islam. Agar semua
perkembangan yang ada dapat digunakan dengan baik dimuka bumi ini. Maraknya
penyalahgunaan iptek dan seni membuat generasi muda dan tua menjadi buta akan ajaran agama.

Anda mungkin juga menyukai