Anda di halaman 1dari 13

TATALAKSANA

Sebelumnya perlu dikemukakan bahwa prognosis lesi medulla spinalis


(kecuali komosio medulla spinalis) adalah buruk, hal itu disebabkan oleh karena
daya regenerasi serabut-serabut saraf di medulla spinalis sangat sedikit. Pada
pengobatan lesi medulla spinalis akibat trauma terdapat dua kemungkinan, yaitu :
1,2

1. Tindakan Pembedahan
2. Pengobatan Konservatif

 Tindakan Pembedahan
Pembedahan dimaksudkan untuk mengadakan dekompresi, kadang-kadang
untuk maksud fiksasi vertebra dan juga bila mungkin reposisi suatu dislokasi.
Tindakan pembedahan jarang dilakukan bila waktu trauma tidak lebih dari 2 bulan
dan bila tidak terdapat indikasi. Indikasi untuk melakukan tindakan pembedahan
adalah : 1,2
a. Bila terdapat halangan pada jalan likour serebrospinalis, yang dapat
diketahui dengan percobaan quekenstedt pada pungsi lumbal
b. Adanya pecahan-pecahan tulang yang masuk dalam kanalis vertebralis
c. Adanya fraktur terbuka
d. Bila gejala bertambah hebat secara progresif

 Pengobatan Konservatif
Dalam keadaan ini diutamakan adalah perawatan dan fisioterapi.1,2
a. Untuk kelainan postural reduction
Untuk ini diperlukan tempat tidur alas keras, kasur yang lunak dan elastic
dan ganjal kaki. Untuk daerah lumbal, dan daerah servikal di butuhkan
bantal servikal. Pada subluksasio di daerah servikal dapat dipertimbangkan
untuk melakukan traksi dengan lis glisson, dan pemasangan gips di
sekeliling leher. 1,2
b. Mencegah lesi yang ada bertambah besar
Penderita jangan diangkat tanpa perhatian khusus terhadap kelainan
tulangnya/frakturnya, badannya jangan dibungkukkan, terutama pada hari-
hari pertama. Juga pengambilan foto rontgen harus secara hati-hati dan
hendaknya dilakukan di tempat tidur penderita. 1,2

 Penatalaksanaan Pra-Rumah Sakit


Penatalaksanaan TMS dimulai segera setelah terjadinya trauma. Berbagai
studi memperlihatkan pentingnya penatalaksanaan prarumah sakit dalam
menentukan prognosis pemulihan neurologis pasien TMS. 2,3

 Evaluasi
Fase evaluasi meliputi observasi primer dan sekunder (primary and
secondary survey). Observasi primer terdiri atas :2,3
A. : Airway maintenance dengan kontrol pada vertebra spinal
B. : Breathing dan ventilasi
C. : Circulation dengan kontrol perdarahan
D. : Disabilitas (status neurologis)
E. : Exposure/environmental control
Klasifikasi trauma medula spinalis komplet atau inkomplet serta level trauma
dapat diketahui melalui pemeriksaan motorik dan sensorik. Pemeriksaan motorik
dilakukan secara cepat dengan meminta pasien menggenggam tangan pemeriksa dan
melakukan dorsofleksi. Fungsi autonomy dinilai dengan melihat ada tidaknya retensi
urin, priapismus atau hilang tidaknya tonus sfingterani. Temperatur kulit yang hangat
dan adanya flushing menunjukkan hilangnya tonus vaskuler simpatis di bawah level
trauma.2,3

 Penatalaksanaan Gawat Darurat Stabilisasi Vertebra


Instabilitas vertebra berisiko merusak saraf. Vertebra servikal dapat
diimobilisasi sementara menggunakan hard cervical collar dan meletakkan bantal
pasir pada kedua sisi kepala. Bila terdapat abnormalitas struktur vertebra, tujuan
penatalaksanaan adalah realignment dan fiksasi segmen bersangkutan. Indikasi
operasi meliputi fraktur tidak stabil, fraktur yang tidak dapat direduksi dengan
traksi, gross spinal misalignment, kompresi medula spinalis pada trauma
inkomplet, penurunan status neurologis, dan instabilitas menetap pada manajemen
konservatif.2,3
 Medikamentosa
Selain faktor mekanik yang merusak fungsi medula spinalis, perfusi
jaringan dan oksigenasi juga mempengaruhi luasnya kerusakan akibat stres
mekanik. Proses lain yang terjadi di daerah trauma dapat berupa edema,
perdarahan, degenerasi akson, demielinisasi, juga dapat mengubah bioenergetik
seluler. Pada tingkat seluler, terjadi peningkatan kadar asam amino eksitatorik,
glutamat, produksi radikal bebas, opioid endogen serta habisnya cadangan ATP
yang pada akhirnya menyebabkan kematian sel. Bertambahnya pemahaman
fisiologi trauma medula spinalis akan menambah pilihan terapi farmakologi.
Terapi farmakologi, seperti kortikosteroid, 21-amino steroid, antagonis reseptor
opioid, gangliosida, thyrotropin releasing hormone (TRH),antioksidan, kalsium,
termasuk golongan imunomodulator, sedang diteliti; semuanya memberikan hasil
baik namun sampai saat ini baru kortikosteroid yang secara klinis bermakna.2,3

 Terapi kerusakan primer


Trauma medula spinalis paling sering menimbulkan syok neurogenik yang
berhubungan dengan beratnya trauma dan level kerusakan yang terjadi. Pada
awalnya, akan terjadi peningkatan tekanan darah, detak jantung serta nadi, dan
kadar atekolamin yang tinggi, diikuti oleh hipotensi serta bradikardia. Terapi lebih
ditujukan untuk mencegah hipoperfusi sistemik yang akan memperparah
kerusakan medula spinalis, menggunakan vasopresor; namun, penggunaan
vasopresor ini harus diimbangi dengan pemantauan status cairan karena
penggunaan vasopresor yang berlebihan justru akan membuat vasokonstriksi
perifer yang akan menurunkan aliran darah ke perifer.2,3

 Terapi kerusakan sekunder


Merupakan sasaran terapi berikutnya karena hal ini akan memperburuk
keluaran (outcome) apabila tidak dilakukan intervensi farmakologis yang tepat
mengingat patofisiologi yang sangat variatif.2,3
a. Kortikosteroid
Steroid berfungsi menstabilkan membran, menghambat oksidasi
lipid, mensupresi edema vasogenik dengan memperbaiki sawar darah
medula spinalis, menghambat pelepasan endorfin dari hipofisis, dan
menghambat respons radang. Penggunaannya dimulai tahun 1960 sebagai
antiinflamasi dan antiedema. Metilprednisolon menjadi pilihan dibanding
steroid lain karena kadar antioksidannya, dapat menembus membrane sel
saraf lebih cepat, lebih efektif menetralkan factor komplemen yang
beredar, inhibisi peroksidasi lipid, prevensi iskemia pascatrauma, inhibisi
degradasi neurofi lamen, menetralkan penumpukan ion kalsium, serta
inhibisi prostaglandin dan tromboksan. Studi NASCIS I (The National
Acute Spinal Cord Injury Study) menyarankan dosis tinggi sebesar 30
mg/kgBB sebagai pencegahan peroksidasi lipid, diberikan sesegera
mungkin setelahtrauma karena distribusi metilprednisolon akan terhalang
oleh kerusakan pembuluh darah medula spinalis pada mekanisme
kerusakan sekunder. Penelitian NASCIS II membandingkan
metilprednisolon dosis 30 mg/kgBB bolus IV selama 15 menit dilanjutkan
dengan 5,4mg/kgBB/jam secara infuse selama 23 jam berikutnya dengan
nalokson (antireseptor opioid) 5,4 mg/kgBB bolus IV, dilanjutkan dengan
4 mg/kgBB/jam secara infus selama 23 jam. Hasilnya, metilprednisolon
lebih baik dan dapat digunakan sampai jeda 8 jam pascatrauma. Pada
NASCIS III, metilprednisolon dosis yang sama diberikan secara infus
sampai 48 jam ternyata memberikan keluaran lebih baik dibanding
pemberian 24 jam. Selain itu, dicoba pula tirilazad mesilat (TM), yakni
inhibitor peroksidasi lipid nonglukokortikoid, dan ternyata tidak lebih baik
disbanding metilprednisolon. Terapi ini masih kontroversial; studi terbaru
mengatakan belum ada studi kelas 1 dan 2 yang mendasari terapi ini, serta
ditemukan efek samping berupa perdarahan lambung, infeksi, sepsis,
meningkatkan lama perawatan di intensive care unit (ICU),dan kematian.2,3
b. 21-Aminosteroid (Lazaroid)
21-aminosteroids atau U-74600F (tirilazad mesilat [TM]) bekerja
dengan mengurangi proses peroksidasi lipid melalui perantaraan vitamin
E. Efek lainnya adalah mengurangi enzim hidroksi peroksidase serta
menstabilkan membran sel, namun penggunaannya masih belum terbukti
menghasilkan keluaran yang lebih baik. 2,3
c. GM-1 Gangliosid
Merupakan asam sialat yang mengandung glikolipid pada membran
sel. Glikolipid ini berperan meningkatkan neuronal Sprout dan transmisi
sinaptik. Monosialotetraheksosilgangliosid (GM-1 gangliosid) memiliki
fungsi faktor pertumbuhan neurit, menstimulasi pertumbuhan sel saraf,
serta meregulasi protein kinase C untuk mencegah kerusakan sel saraf
pascaiskemia. Pada percobaan, dilakukan terapi 72 jam pascatrauma dan
dimulai dengan dosis 100 mg/hari. Studi terbaru menyatakan masih kurang
bukti ilmiah terkait obat ini. 2,3
d. Antagonis Opioid
Opioid endogen memperparah kerusakan sekunder. Penggunaan
nalokson sebagai antagonis opioid pada NASCIS II menunjukkan hasil
tidak lebih baik disbanding metilprednison. Penggunaan obat satu
golongan namun beda titik tangkap, Yaitu golongan antagonis reseptor
kappa (seperti dinorfin dan norbinaltorfimin) pada hewan coba berhasil
baik; diduga berefek pada perbaikan sirkulasi pembuluh darah,
pengurangan influx kalsium, peningkatan kadar magnesium, serta
modulasi pelepasan asam amino eksitatorik. Namun, belum dilakukan uji
klinis lanjutan. Opioid endogen akan menginhibisi sistem dopaminergik
dan depresi sistem kardiovaskuler. Pemberian antagonis opioid dapat
mencegah hipotensi sehingga mikrosirkulasi medula spinalis membaik.2,3
e. Thyrotropin_Releasing Hormone (TRH) dan Analog
Thyrotropin-releasing hormone (TRH) adalah tripeptida yang
mempunyai fungsi melawan faktor-faktor pengganggu, seperti opioid
endogen, platelet activating factor, peptidoleukotrien, dan asam amino
eksitatorik, sehingga akan menguatkan aliran darah spinalis, memperbaiki
keseimbangan elektrolit dan mencegah degradasi lipid. Pemberian
thyrotropin-releasing hormone intravena bolus 0,2 mg/kgBB diikuti 0,2
mg/kgBB/jam infus sampai 6 jam, dikatakan memberikan hasil baik,
terutama perbaikan motorik dan sensorik sampai 4 bulan setelah injury. 2,3
f. Penyekat Kanal Kalsium
Peranan kalsium pada kematian sel melalui mekanisme efek
neurotoksik, vasospasme arteri, blokade kanal natrium serta NMDA dan
AMPA; obat yang dipakai adalah nimodipin, golongan lainnya adalah
benzamil dan bepridil merupakan antagonis ion kalsium dan natrium.
Nimodipin adalah golongan penyekat kanal kalsium dihidropiridin, sering
dipakai pada kasus stroke, memiliki fungsi blokade kanal ion kalsium
sehingga mencegah akumulasi ion kalsium intrasel terutama pada dinding
sel endotel pembuluh darah, oleh karena itu dianggap dapat mencegah
vasospasme dan iskemi post trauma, dibuktikan dengan efeknya pada
aliran darah di percobaan laboratorium; namun klinis masih belum terbukti
mampu meningkatkan keluaran pascatrauma karena diduga ada
keterlibatan kanal ion lain. Influks kalsium terjadi dalam hitungan detik
pascatrauma sehingga jendela terapeutiknya sempit; beberapa studi
menunjukkan bahwa peningkatan dosis justru malah memperjelek aliran
darah regional menyebabkan hipoperfusi dan iskemia. Karena itu, dosis
terapeutiknya juga sempit dan penggunaannya selektif. 2,3
g. Magnesium
Gangguan homeostasis magnesium terjadi pada trauma sekunder.
Pada tikus dengan onset 30 menit pascatrauma, dosis tinggi MgSO 600
mg/kgBB mempunyai efek baik dengan evaluasi somatosensory evoked
potential dan mempunyai efek mencegah peroksidase lipid, namun untuk
memastikan efek pada kondisi klinis sesungguhnya masih dibutuhkan
serangkaian uji klinis pada manusia. 2,3
h. Penyekat Kanal Natrium
Selain kalsium didapatkan penumpukan ion natrium intrasel
pascatrauma. Efek obat ini adalah sebagai anestesi lokal, antiaritmia, dan
antikonvulsi dengan tujuan melindungi sel pascatrauma. Studi in vivo
menggunakan tetrodotoksin dan golongan lain, seperti QX314, masih
belum menunjukkan efek yang diharapkan, begitu pula penggunaan riluzol
oleh Schwartz dan Fehlings masih belum menghasilkan perbaikan klinis.
2,3

i. Modulasi Metabolisme Asam Arakidonat


Perubahan asam arakhidonat menjadi tromboksan, prostaglandin,
dan leukotriene akan berefek menurunkan aliran darah, agregasi trombosit
sehingga menimbulkan iskemia. Obat yang dapat memblokade enzim
COX dianggap dapat bermanfaat. Prostasiklin yang merupakan hasil
metabolisme asam arakidonat memiliki efek berbeda, yaitu vasodilatasi
dan menghambat agregasi trombosit. Penggunaan naloxon digabung
dengan indomethacin dan prostasiklin yang dimulai 1 jam pascatrauma
memiliki efek lebih meng untungkan dibandingkan dengan naloxon
sendiri. Studi lain menggunakan ibuprofen, meclofenamat (NSAID dan
COX-inhibitor) dengan prostasiklin analog (iloprost) me nunjukkan
manfaat terhadap aliran darah. 2,3
j. Strategi Pengobatan Lain
Antagonis serotonin yang bekerja pada reseptor 5HT-1 dan 5HT-2
dalam percobaan memberikan efek cukup baik, begitu pula dengan
penggunaan neurotrophic growth factor; antibodi inhibitor degenerasi
aksonal telah dicobakan begitu pula dengan transplantasi sel saraf,
semuanya memberikan hasil baik sebatas percobaan. Target berikut yang
lebih penting adalah memotong jalur apoptosis yang dicetuskan oleh
kaspase, seperti inhibitor kaspase-3 serta antiapoptosis protein (BCl-2).
Takrolimus (FK56) dapat dipakai sebagai imunomodulator yang berfungsi
sebagai promotor regenerasi akson. 2,3
KOMPLIKASI
Komplikasi akut dari trauma vertebra yang menimbulkan cedera medulla
spinalis antara lain defisit motorik dan sensorik, instabilitas kardiovaskular, dan
gangguan termoregulasi maupun sistem bronkopulmonal. Dapat pula terjadi
gangguan urinasi dan sistem gastrointestinal serta disfungsi seksual. Cedera yang
terjadi pada medulla spinalis disebabkan oleh efek fisik primer langsung akibat
trauma serta proses patologis sekunder, seperti edema dan eskemia yang dapat
memperburuk cedera pada beberapa jam awal. Komplikasi setelah fase akut
hospitalisasi bergantung pada waktu pembedahan, operasi yang dilakukan dalam
24 jam dapat menguragi kompliakasi. Komplikasi dapat mengancam nyawa dan
atau menyebabkan rehhabilitasi yang berkepanjangan sehingga diperlukan
pengetahuan mengenai risiko komplikasi yang dapat terjadi selama fase akut
cedera vertebra. Adapun komplikasi yang dapat terjadi antara lain :4
1. Syok neurogenik
Syok neurogenik terjadi akibat hipotensi dan bradikardia akibat cedera
servikal dan menimbulkan penurunan tekanan darah. Akibat terjadinya gangguan
tonus simpatik oleh karena disrupsi kontrol supraspinal dan pengaruh
parasimpatetik yang intak melalui nervus vagus, syok neurogenik dapat terjadi
akibat imbalans kontrol otonom.
2. Gangguan kardiovaskular
Gangguan kardiovaskular akibat trauma setingkar servikal atau torakal tinggi
dapat mengancam nyawa dan memperberat disfungsi neurologis yang terjadi.
Pada fase akut, iregularitas irama jantung dapat terjadi, berupa sinus bradikardia
dan bradiaritmia (14-77%), escape beats dan irama ektopik supraventrikular (18-
27%), vaskular ectopik beats (18-27%). Hipotensi ortostatik dan peningkatan
refleks vagal, serta stasis (33-74%). Gangguan otonom 4-5 minggu setelah cedera
antara lain disrefleksia otonom, hipotensi orthostatik, penurunan refleks
kardiovaskular, dan gangguan sensasi nyeri pada iskemi kardiak.
3. Gangguan termoregulasi
Pasien dengan cedera servikal atau torakal tinggi mengalami penurunan input
sensoti ke pusat termoregulasi dan kehilangan kontrol simpatik terhadap regulasi
suhu dan keringat di bawah level cedera. Beberapa mengalami poikilotermia.
Cedera di atas thorakal 8 menimbulkan fluktuasi suhu, hipotermia, dan
hipertermia.
4. Gangguan Respirasi
Gangguan respirasi sering menjadi sebba kematian pada cedera ini, baik pada
fase akut atau fase kronik. Sebanyak 67% pasien memiliki komplikasi pernafasan
yang berat yaitu atelectasis (36,4%), pneumonia (31,4%), dan gagal nafas
(22,6%). Pada fase akut, 84% pasien dengan cedera di atas c4 dan 60% pasien
dengan cedera c5-c8 akan mengalami permasalahan respirasi. Sebanyak 75-80%
pasien tetraplegia di atas c4 dan 60% tetraplegia di bawah c4 membutuhkan
ventilasi mekanik invasif.
5. Tromboemboli dan ulkus
Gangguan koagulasi terjadi akibat inaktivitas fisik, perubahan hemostasis oleh
karena penurunan aktivitas fibrinolitik dan peningkatan faktor viii. Selama tahun
pertama cedera, insidensi trombosis vena dalam dan emboli paru mencapai 15%.
Insidensi terjadi paling tinggi pada minggu 2-3 setelah trauma. Ulkus yang terjadi
akibat tekanan adalah komplikasi jangka panjang dari trauma.
6. Osifikasi heterotopik
Kejadian ini sering terjhadi namun ireversibel, mencakup formasi
paraartikular tulang lamelar yang matur pada jaringan lunak. Sering terjadi 2-3
minggu awal di bawah level cedera. Sendi yang sering terkena adalah hip joint
(70-97%) dan sendi lutut.
7. Gangguan vesica urinaria dan usus
Setelah cedera, kandung kemih dan sfingter mengalami hipotonis. Sindrom
umn meyebabkan gangguan inhibisi korteks pada refleks arcus sacralis sehingga
menimbulkan hiperaktivitas detrusor. Sindrom lmn terjadi pada cedera sacral (s2-
s4) yang menimbulkan penurunan stimulai motorik kandung kemih dan
kehilangan kontraktiitas detrusor. Sebanyak 27-62% pasien mengalami gangguan
gastrointestinal, berupa osbtipasi, distensi, dan nyeri perut.
8. Spastisitas dan nyeri
Cedera dengan spinal syok menimbulkan paralisis otot, penurunan tonus otot,
dan kehilangan refleks tendon di bawah level cedera. Spastisitas terjadi 2-6 bulan
setelah trauma, terjadi peningkatan refleks tendon, tonus otot, dan spasme otot.
Nyeri akut terjadi ketika cedera dan menghilang seiring perbaikan. Nyeri kronik
juga dialami oleh 80% pasien, dapat berupa nyeri nosiseptif, neuropatik, atau
kombinasi keduanya.
9. Komplikasi muskuloskeletal dan metabolik
Penurunan aktivitas dapat menimbulkan atrofi otot. Pasien jua dapat
mengalami gangguan metabolim akibat proses katabolik yang tinggi yang
menimbulkan hilangnya tekanan fisik pada otot, sendi, dan ligamen. Hal ini
menyebabkan demineralisasi hingga hiperkalsiuria, urolitiasis dan vesikolitiasis.
10. Gangguan seksual, ansietas, dan depresi
11. Gangguan imunologi terkait inflamasi neuron
PROGNOSIS

Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis cedera vertebrae servikal


harus diketahui terkait manajemen tatalaksana yang cepat, tepat, dan cermat. Hal
ini penting dalam meminimaisasi komplikasi yang berkaitan dengan terapi serta
dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien. Adaun faktor-faktor yang
mempengaruhi prognosis cedera vertebra servikal antara lain defisit neurologis
yang dialami dan berkaitan dengan derajat keparahan kerusakan medulla spinalis,
keadaan medulla dari gambaran mri, keterlambatan pembedahan, cedera lainnya
yang menyertai, dan mekanisme trauma yang dialami. Beberapa faktor tersebut
memiliki resisi yang rendah, sepert studi mri yang tidak selalu tersedia di negara
berkembang atau mekaanisme trauma yang tidak dispesifikasi menjadi trauma
dengan penurunan kesadaran dan tanpa cedera tulang multipel atau cedera diskus-
ligamen. Selain itu, dilaporkan bahwa menfaat pembedahan dini belum
sepenuhnya dijelaskan, beberapa studi mempertimbangkan untuk pembedahan
dilakukan dalam 24 jam sementara studi lainnya menunda hingga 72 jam. Derajat
frankel yang buruk (seperti derajat A dan B) serta gangguan neurovegetatif dini
secara statistik menujukkan outcome yang lebih buruk baik jangka pendek
maupun jangka panjang.5
PENCEGAHAN

Faktor-faktor resiko dominan untuk trauma medula spinalis meliputi usia


dan jenis kelamin. Frekuensi dengan mana faktor-faktor resiko ini dikaitkan
dengan trauma medula spinalis untuk menekankan pentingnya penvegahan primer
diantaranya:6

1. SCI terkait kendaraan dicegah dengan tindakan termasuk upaya sosial


dan individu untuk mengurangi mengemudi di bawah pengaruh obat-
obatan atau alkohol, gangguan mengemudi dan mengemudi dalam
keadaan mengantuk.
2. Jatuh dapat dicegah dengan melakukan perubahan pada lingkungan
disekitar untuk lebih berhati-hati dalam melakukan kegiatan
dilingkungan.
3. Cedera olahraga dapat dicegah dengan perubahan pada peraturan dan
peralatan olahraga untuk meningkatkan keselamatan. Hindari
melakukan aktifitas olahraga yg terlalu berat yang bisa menyebabkan
cedera pada tulang belakang.
DAFTAR PUSTAKA

1. S M. Penuntun neurologi. Banten: Binapura Aksara pubhlisher; 2015.


2. Hadley M. clinical assessment following acute cervical and spinal cord
injury. Congr Neurol Surg. 2018;72:40–53.
3. Gondowirjaya Y. Trauma medulla spinalis : patobiologi dan tatalaksana
medikamentosa. Bali: Continuing medical education; 2014
4. Hagen EM. Acute complications of spinal cord injuries. World J Orthop.
2015;6(1):17–23.
5. Abboud H, Ziani I, Melhaoui A, Arkha Y, Elouahabi A. Traumatic
cervical spineinjury: Short-and medium-term prognostic factors in 102
patients. Surg Neurolnt\. 2020;11: 19.
6. Sabharwal S (5 September 2014). “Cedera sumsum tulang belakang (Serviks).
Di Frontera WR, Silver JK, Rizzo TD (eds). Dasar-dasar pengobatan fisik dan
rehabilitasi. Ilmu Kesehatan Elsevier.ISBN 978-0-323-22272-3,

Anda mungkin juga menyukai