Anda di halaman 1dari 15

1.

LATAR BELAKANG
Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari
dua kata bahasa Sansekerta yaitu : pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau
asas. Sehingga dapat disimpulkan pancasila merupakan rumusan dan pedoman
kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Lima sendi
utama penyusun Pancasila adalah
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
dimana isi pancasila ini juga tercantum pada paragraf ke-4 Preambule
(Pembukaan) Undang-Undang Dasar 1945.
Meskipun terjadi perubahan kandungan dan urutan lima sila Pancasila
yang berlangsung dalam beberapa tahap selama masa perumusan Pancasila di
tahun 1945, akhirnya pada tanggal 1 Juni dirumuskan juga sebagai hari lahirnya
Pancasila.
Sebagai dasar dan ideologi Negara Indonesia sudah seharusnya seluruh
masyarakat mampu bersikap sebagaiamana dijelaskan dalam pancasila. Namun
tidak sedikit masyarakat kita yang masih belum benar-benar memahami makna
yang terkandung dalam setiap sila. Sebagaiaman bunyi sila pertama, yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana cara membumikan sila Ketuhanan yang Maha Esa dan menyikapi
penyimpangan terhadap sila tersebut?
3. LANDASAN TEORI
3.1 PENDEKATAN HISTORIS
Dasar pemikiran Bung Karno dalam mencetuskan istilah Pancasila
sebagai Dasar Negara adalah mengadopsi istilah praktek-praktek moral
orang Jawa kuno yang di dasarkan pada ajaran Buddhisme. Dalam ajaran
Buddhisme terdapat praktek-praktek moral yang disebut dengan Panca
Sila (bahasa Sanskerta / Pali) yang berarti lima (5) kemoralan yaitu :
bertekad menghindari pembunuhan makhluk hidup, bertekad menghindari
berkata dusta, bertekad menghindari perbuatan mencuri, bertekad
menghindari perbuatan berzinah, dan bertekad untuk tidak minum
minuman yang dapat menimbulkan ketagihan dan menghilangkan
kesadaran. Sila pertama dari Pancasila Dasar Negara NKRI adalah
Ketuhanan Yang Maha Esa. Kalimat pada sila pertama ini tidak lain
menggunakan istilah dalam bahasa Sanskerta ataupun bahasa Pali.
Banyak di antara kita yang salah paham mengartikan makna dari sila
pertama ini. Baik dari sekolah dasar sampai sekolah menengah umum kita
diajarkan bahwa arti dari Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tuhan Yang
Satu, atau Tuhan Yang jumlahnya satu. Jika kita membahasnya dalam
sudut pandang bahasa Sanskerta ataupun Pali, Ketuhanan Yang Maha Esa
bukanlah bermakna Tuhan Yang Satu. Lalu apa makna sebenarnya ? Mari
kita bahas satu persatu kata dari kalimat dari sila pertama ini. Ketuhanan
berasal dari kata tuhan yang diberi imbuhan berupa awalan ke- dan
akhiran –an. Penggunaan awalan ke- dan akhiran –an pada suatu kata
dapat merubah makna dari kata itu dan membentuk makna baru
Penambahan awalan ke- dan akhiran -an dapat memberi perubahan
makna menjadi antara lain : mengalami hal...., sifat – sifat .... Contoh
kalimat : ia sedang kepanasan. Kata panas diberi imbuhan ke- dan –an
maka menjadi kata kepanasan yang bermakna mengalami hal yang panas.
Begitu juga dengan kata ketuhanan yang berasal dari kata tuhan yang
diberi imbuhan ke- dan –an yang bermakna sifat-sifat tuhan. Dengan kata
lain Ketuhanan berarti sifat-sifat tuhan atau sifat-sifat yang berhubungan
dengan tuhan.
Kata “maha” berasal dari bahasa Sanskerta / Pali yang bisa berarti
mulia atau besar (bukan dalam pengertian bentuk). Kata “maha” bukan
berarti “sangat”. Jadi adalah salah jika penggunaan kata “maha”
dipersandingkan dengan kata seperti besar menjadi maha besar yang
berarti sangat besar. Kata “esa” juga berasal dari bahasa Sanskerta / Pali.
Kata “esa” bukan berarti satu atau tunggal dalam jumlah. Kata “esa”
berasal dari kata “etad” yang lebih mengacu pada pengertian keberadaan
yang mutlak atau mengacu pada kata “ini” (this – Inggris). Sedangkan
kata “satu” dalam pengertian jumlah dalam bahasa Sanksertamaupun
bahasa Pali adalah kata “eka”. Jika yang dimaksud dalam sila pertama
adalah jumlah Tuhan yang satu, maka kata yang seharusnya digunakan
adalah “eka”, bukan kata “esa”.
Dari penjelasan yang telah disampaikan di atas dapat di tarik
kesimpulan bahwa arti dari Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah berarti
Tuhan Yang Hanya Satu, bukan mengacu pada suatu individual yang kita
sebut Tuhan yang jumlahnya satu. Tetapi sesungguhnya, Ketuhanan Yang
Maha Esa berarti Sifat-sifat Luhur / Mulia Tuhan yang mutlak harus ada.
Jadi yang ditekankan pada sila pertama dari Pancasila ini adalah sifat-sifat
luhur / mulia, bukan Tuhannya. Dan apakah sifat-sifat luhur / mulia (sifat-
sifat Tuhan) itu ?
Sifat-sifat luhur / mulia itu antara lain : cinta kasih, kasih sayang,
jujur, rela berkorban, rendah hati, memaafkan, dan sebagainya.Setelah
kita mengetahui hal ini kita dapat melihat bahwa sila pertama dari
Pancasila NKRI ternyata begitu dalam dan bermakna luas , tidak
membahas apakah Tuhan itu satu atau banyak seperti anggapan kita
selama ini, tetapi sesungguhnya sila pertama ini membahas sifat-sifat
luhur / mulia yang harus dimiliki oleh segenap bangsa Indonesia. Sila
pertama dari Pancasila NKRI ini tidak bersifat arogan dan penuh paksaan
bahwa rakyat Indonesia harus beragama yang percaya pada satu Tuhan
saja, tetapi membuka diri bagi agama lain yang dianggap percaya pada
banyak Tuhan, atau pun sistem kepercayaan lainya, karena yang
ditekankan dalam sila pertama Pancasila NKRI ini adalah sifat-sifat
luhur / mulia. Dan diharapkan Negara di masa yang akan datang dapat
membuka diri bagi keberadaan agama yang juga mengajarkan nilai-nilai
luhur dan mulia apa pun jenis kepercayaannya.
Hal-hal yang bersifat esensial begini saja Indonesia masih salah
kaprah, gimana mau sejahtera, tak mengherankan betapa akutnya
penyakit moral dan psikis Indonesia kita tercinta ini akhir-akhir ini. Dikit-
dikit bawa nama agama, dikit-dikit main dalil, hanya dipakai legalitas
semu, pencitraan semata.

3.2 NILAI FILOSOFIS SILA KETUHANAN YANG MAHA ESA


Secara umum nilai yang terkandung pada sila ketuhanan Yang
Maha Esa diintepretasikan:
1. Sikap takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
2. Nilai kebebasan untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinan
3. Manusia Indonesia wajib beragama dan manusia yang religius

3.3 PENGERTIAN PAHAM KETUHANAN DALAM SILA I :


3.3.1 SECARA IMPLISIT
Untuk sampai pada pengertian Tuhan, manusia bisa berpangkal
pada pengetahuannya tentang alam dan dirinya sendiri. Segala
sesuatu yang ada di dunia ini:
 memiliki sifat-sifat terbatas (fana)
 relatif
 tergantung
 diciptakan (terjadi)
 tidak niscaya (tidak sempurna)
 tidak mutlak
Dibandingkan sifat Tuhan yang adikodrati. Maka Sila I muncul
sebagai dari kodrat manusia yaitu usaha manusia untuk lebih
mengenal dan dekat pada sang Maha Sempurna.

3.3.1 SECARA EKSPLISIT


Keber-ada-an Tuhan juga timbul karena pengaruh-pengaruh
agama-agama besar di dunia. Agama-agama ini menyebarkan
pemahaman dan penghayatan bahwa selain fenomena alami, ada
kekuatan Adikuasa yang menguasai alam semesta, yaitu Tuhan yang
diyakini keesaan-Nya dimana tidak ada kekuasaan lain yang dapat
menandinginya.
Rumusan Ketuhanan YME mengandung muatan konsensus
yang tinggi. Konsensus ini mengakui keragaman bangsa dari barat
sampai ke timur. Penggunaan ini juga berkonsekuensi serius untuk
hidup bersama sebagai bangsa yang majemuk (suku, budaya, agama,
strata, ekonomi).
Maka Perumusan Satu Tuhan ini sebenarnya menegaskan satu
arah bersama yang hendak dituju oleh berbagai unsur yang beragam.

3.4 HUBUNGAN ANTARA NEGARA DAN AGAMA


Sedangkan menurut Pancasila hubungan agama dengan negara
adalah negara berdasar atas ketuhanan dan bangsa Indonesia adalah
bangsa yang berketuhanan, tidak ada tempat bagi atheisme dan
sekulerisme, tidak ada tempat bagi pertentangan dan pemaksaan agama,
adanya toleransi, segala aspek pelaksanaan dan penyelenggaraan negara
berdasarkan nilai ketuhanan. Dan dalam sila Pancasila ketuhanan berada
pada tingkatan yang paling atas, yang menjadi naungan atau landasan
atau dasar dari sila-sila berikutnya. Dapat dikatakan negara Indonesia
membutuhkan agama. Tetapi jika dalam kaitan ini ditanyakan apakah
negara Indonesia menganut paham teokrasi, sekuler, hubungan
integralistik atau simbiosis mutualistik? Sebenarnya Indonesia 80%
menganut paham sekuler yang moderat, sebab negara Indonesia
membutuhkan agama.
Selanjutnya di negara Indonesia terdapat berbagai macam agama,
meliputi Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Kong Hu Cu.
Keberagaman agama ini terkadang menimbulkan konflik social diantara
penganutnya. Menurut Hasrul Hanif dalam film Para Liyan, beliau
berpendapat bahwa konflik social merupakan sesuatu yang wajar, dalam
arti perbedaan nilai atau perbedaan pandangan tetapi yang perlu
diminimalisasi apabila konflik tersebut berubah menjadi kekerasaan”.
Konflik tersebut dapat dipicu karena adanya perbedaan dalam hal
keadilan ekonomi, politik atau tokoh-tokoh yang hanya mengedepankan
kepentingan kelompoknya. Selain itu konflik, perbedaan, dan kebencian
antar beragama dapat muncul karena persepi awal dalam diri seseorang
yang tertanam dari kebiasaan yang timbul dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam film para liyan, anak-anak TPA ditanamkan dalam dirinya tentang
kebencian terhadap orang lain melalui lagu anak sholeh dan juga
kebiasaan di masyarakat yang hanya menyediakan suatu hal bagi
penganut agama tertentu, yaitu kos bagi muslim. Inilah yang
menyebabkan mengapa keberagaman agama masih menjadi polemik di
Indonesia. Ditambah lagi dalam satu agamapun masih banyak konflik
yang muncul, seperti perusakan dan pembakaran yang dilakukan oleh
ormas Islam terhadap masjid jamaah Ahmadiyah yang nota-bene
beragama Islam.

3.4.1 IMPLIKASI SILA KETUHANAN DALAM KEHIDUPAN


Allah adalah figur yang diyakini menciptakan alam semesta
dan isinya. Mempersoalkan penciptaan berarti mempersoalkan titik
awal kehidupan. Adalah fakta. Kehidupan adalah sesuatu yang
bernilai, berharga. Diwakili ‘membangun’, ‘merawat’, ‘memelihara’.
Kebalikan istilah itu dalam se:jarah manusia berusaha dihindari
‘menghancurkan’, ‘memusnahkan’ adalah fakta yang dicegah
sepanjang umur manusia.
Maka sikap menjaga kehidupan yang lahir dari pemahaman kultur
kehidupan :
1. Segala benda dan mahluk berada dalam kedudukan yang sama.
Sama-sama diciptakan Tuhan. Melecehkan salah satu bentuk dari
tingkat kedupn sama saja dengan tidak menghormati Allah. Sikap
pelecehan yaitu segala sikap yang bernuansa subordinatif,
diskriminatif, otoritarianistik, terhadap mahluk lain dapat
dikatagorikan sikap ini.
2. Upaya pelestarian alam menjadi penting. Tidak hanya bertujuan
memperbaharui sumber alam saja, upaya ini bersifat konservasi
alam dan pengembangan kemampuan bumi sebagai tempat hidup
yang laya
3. Penelitian dan upaya memerangi penyakit juga penting bagi
upaya merawat kehidupan. Upaya ini bisa dikembangkan dengan
bantuan sains dan teknologi. Persoalannya bagaimana
mengarahkan perkembangan sains dan teknologi sebagai sarana
konstruktif.
4. Penolakan upaya peghancuran misalnya perang, mengedepankan
sikap anti kekerasan.

3.5 MAKNA PANCASILA


1. Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama
dan kepercayaannya masing-maisng menurut dasar kemanusiaan yang adil
dan beradab.
2. Hormat dan menghormati serta bekerjasama antara pemeluk agama dan
penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina
kerukunan hidup.
3. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama
dan kepercayaan masing-masing
4. memaksakan suatu agama atau kepercayaannya kepada orang lain.
5. Frasa Ketuhanan Yang Maha Esa bukan berarti warga Indonesia harus
memiliki agama monoteis namun frasa ini menekankanke-esaan dalam
beragama.
6. Mengandung makna adanya Causa Prima (sebab pertama) yaitu Tuhan
Yang Maha Esa.
7. Menjamin peenduduk untuk memeluk agama masing-masing dan
beribadah menurut agamanya.
8. Negara memberi fasilitas bagi tumbuh kembangnya agama dan dan iman
warga negara dan mediator ketika terjadi konflik agama.
9. Bertoleransi dalam beragama, dalam hal ini toleransi ditekankan dalam
beribadah menurut agama masing-masing.
Negara Indonesia didirikan atas landasan moral luhur, yaitu berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa yang sebagai konsekuensinya, maka negara
menjamin kepada warga negara dan penduduknya untuk memeluk dan untuk
beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya, seperti pengertiannya
trkandung dalam:
1. Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga, yang antara lain berbunyi:
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa….” dari bunyi kalimat ini
membuktikan bahwa negara Indonesia bukan negara agama, yaitu negara
yang didirikan atas landasan agama tertentu, melainkan sebagai negara
yang didirikan atas landasan Pancasila atau negara Pancasila.
2. Pasal 29 UUD 1945
 Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa
 Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing  dan untuk beribadah menurut agamanya
dan kepercayaannya
Oleh karena itu di dalam negara Indonesia tidak boleh ada pertentangan
dalam hal Ketuhanan Yang Maha Esa, dan sikap atau perbuatan yang anti
terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa, anti agama. Sedangkan sebaliknya
dengan paham Ketuhanan Yang Maha Esa ini hendaknya diwujudkan
kerukunan hidup beragama, kehidupan yang penuh toleransi dalam batas-batas
yang diizinkan oleh atau menurut tuntutan agama masing-masing, agar
terwujud ketentraman dan kesejukan di dalam kehidupan beragama .
Untuk senantiasa memelihara dan mewujudkan 3 model hidup yang meliputi:
1. Kerukunan hidup antar umat seagama
2. Kerukunan hidup antar umat beragama
3. Kerukunan hidup antar umat beragama dan Pemerintah
Tri kerukunan hidup tersebut merupakan salah satu faktor perekat kesatuan
bangsa.
Di dalam memahami sila 1 Ketuhanan Yang Maha Esa, hendaknya
para pemuka agama senantiasa berperan di depan dalam menganjurkan kepada
pemeluk agama masing-masing untuk menaati norma-norma kehidupan
beragama yang dianutnya.

3.6 TOLERANSI DAN DIALOG


Tolerate (Ing), Tolerare (Lat) berarti memikul, menanggung (endure, Ing) atau
mengizinkan (allow, Ing).
Toleransi : berarti memberi kesempatan kepada atau membiarkan
pihak lain untuk menyelenggarakan kegiatan. Mengakui adanya perbedaan,
sikap tidak saling mengganggu, membiarkan penganut agama lain
menjalankan ibadah dan misinya sejauh tidak mengganggu ibadah dan misi
agama saya. Toleransi memberi rasa aman, damai dan menjamin situasi
harmonis. Namun toleransi hanya membuat orang mengakui, namun belum
tentu menerima. Toleransi hanya mengiyakan perbedaan agama di negara ini,
tetapi tidak mengakomodasi perbedaan ini menjadi peluang untuk bertemu
membahas kesejahteraan dan kepentingan bersama.

Dialog : komunikasi dua arah


Dalam konteks agama-agama biasa disebut interaksi dialogis, berupa
aktivitas verbal diskursif maupun non verbal diskursif. Dalam konteks
pluralitas di Indonesia, orang tidak bisa bersembunyi dan berkomunikasi
dengan golongannya saja. Di dunia kerja, di dunia pendidikan, di pergaulan
sosial lain orang ‘dipaksa’ bertemu orang lain dengan latar belakang yang
kompleks. Di sini pluralitas dapat menjadi sarana konflik dan sumber krisis,
sekaligus pertemuan ini bisa menjadi sarana penyelesaian konflik. Maka tidak
cuku jika dikatakan “yang penting hidup damai berdampingan” (peacefull-
coexistence) tanpa usaha untuk saling memahami dan mengerti.
Diperlukan sikap keterbukaan menerima perbedaan, mengusahakan
pertemuan unsur majemuk tersebut dan mengarahkan pluralitas agama bukan
untuk mencari siapa yang unggul (doktrin supersessionisme), tetapi pada
mencari inspirasi untuk memecahkan masalah kemanusiaan. Perhatian agama
bukan hanya mencari kebenaran dalam agamanya sendiri (melalui dialog intra
religius), tetapi tertuju pada masalah kemanusiaan (dalam dialog inter
religius). Melalui pergumulan secara langsung dengan peristiwa ketidak
adilan, penindasan, pengucilan. Yang akan menyadarkan bahwa religi benar-
benar memiliki daya pembebas (emansipatoris) Perlu diwaspadai agama
jangan sampai menjadi alat politik, tetapi peran untuk memberikan jalan
keluar kreatif mengingat harkat dan martabat kita sebagai gambaran (citra)
Allah.
Interaksi dialogis mengandaikan sikap terbuka terhadap tradisi agama
sendiri dan agama lain yang memungkinkan terjadinya otokritik. Dialog atau
intersubjektivitas antar tradisi religius akan menghantar kita pada pemahaman
mendalam pada masalah manusia yang akhirnya mempertajam pengenalan
kita pada TUHAN. Agama hendaknya menjadi titik konvergen (pertemuan)
dari berbagai ajaran moral, kepentingan, keyakinan, serta niat untuk
membangun.
Ada beberapa syarat dialog antar umat beragama:
1. Dialog beragama mesti berdasarkan pengalaman religius atau pengalaman
beriman yang kokoh.
2. Dialog menuntut keyakinan bahwa religi lain juga memiliki dasar
kebenaran pula.
3. Dialog harus didasari keterbukaan pada kemungkinan perubahan yang
tulus (pemahaman)
3.7 PENYIMPANGAN TERHADAP SILA PERTAMA
Berdasarkan laporan yang diperoleh Jurnalis Islam Bersatu (JITU) dari
Forum Umat Islam Aceh Singkil, terkait kronologis awal kerusuhan antar
umat beragama di Kabupaten Aceh Singkil, ternyata sudah berlangsung 36
tahun yang lalu, tepatnya sejak tahun 1979.
11 Juli 1979 - Ditandatanginya perjanjian untuk tidak melaksanakan
ataupun membangun kembali (rehab) gereja sebelum
mendapat izin dari Pemerintah Daerah Tingkat II oleh 8
perwakilan ulama dan 8 pengurus gereja.
13 Oktober 1979 - dibuatlah ikrar bersama untuk menjaga kerukunan antar
umat beragama dan menaati perjanjian yang telah dibuat
11 Juli 1979 ditandatangani oleh 11 perwakilan ulama
dan 11 pengurus gereja.
11 Oktober 2001 - dibuat surat perjanjian, setelah sebelumnya, salah satu
gereja di Kecamatan Suro dibakar diduga karena
melanggar aturan yang telah ditandatangani sebelumnya,
30 April 2012 - umat Islam di Kabupaten Aceh Singkil turun ke jalan
untuk protes ke kantor Bupati Kabupaten Singkil terkait
maraknya bangunan gereja liar di Kabupaten Aceh
Singkil sebanyak 27 unit di 7 Kecamatan
1 Mei 2012 - Tim Penertiban yang dibentuk oleh Pemda Aceh Singkil
turun ke lokasi untuk menyegel 5 unit gereja, namun
keesokan harinya tim penertiban itu tidak jadi turun ke
lokasi, karena ada acara Hardiknas (2 Mei).
3 Mei 2012 - Tim Penertiban kembali turun ke lapangan dan berhasil
menyegel 13 gereja
8 Mei 2012 - Tim Penertiban kembali turun ke jalan menyegel 2 gereja
13 Oktober 2015 - Terjadi bentrokan pertama sejak konflik di tahun 1979
Difasilitasi Muspika dan Muspida, lalu dibuatlah ruang dialog dalam sebuah
pertemuan. Hasil dialog tersebut adalah sebagai berikut: Gereja di Aceh Singkil hanya
boleh satu unit, yaitu Gereja Kuta Kerangan dengan ukuran 12×24 meter dan tidak
bertingkat. Undung-undung (rumah ibadah berukuran kecil, red) hanya boleh 4, yaitu:
1 gereja di Desa Keras Kecamatan Suro, 1 gereja di Desa Napagaluh Kecamatan
Danau Paris, dan 1 gereja di Desa Suka Marmur Kecamatan Gunung Meriah, dan 1
gereja lagi di Desa Lae Gecih Kecamatan Simpang Kanan.
Apabila terdapat gereja atau undung-undung selain tersebut di atas, harus dibongkar
oleh umat Kristen itu sendiri. Dalam hal ini, umat Kristen harus menepati janji dan
mentaati hukum, aturan dan perjanjian yang telah disepakati. Kenyataannya,
bukannya dibongkar, tapi malah memperbanyak bangunan gereja baru dan direhab.
Menurut catatan Forum Umat Islam Aceh Singkil, saat ini sudah 27 unit gereja yang
telah berdiri di Aceh Singkil.
“Kenapa umat Islam takut bersuara. Apakah kita harus menggadaikan akidah kita
demi alasan klasik tidak toleran,” ujar tokoh masyarakat muslim Aceh Singkil,
Hambalisyah Sinaga. [baca:Cerita Da’i Terpencil di Singkil: Tanpa Diketahui
Pemerintah, Sekarang Ada Sekitar 30 Gereja]
DAFTAR PUSTAKA
https://dindhut.wordpress.com/2014/03/07/hubungan-agama-dengan-negara/
MEMBUMIKAN SILA PERTAMA
Ketuhanan Yang Maha Esa

Ditujukan untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah Pancasila

Oleh : Kelokmpok 1 (Kelas C)


Ananda D. (1572002)
Gisela K. (1572008)
Christopher S. (1572027)
Muftah A P. (1572054)

JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA


FAKULTAS TEKNOLOGI INFORMASI
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
BANDUNG
2016

Anda mungkin juga menyukai