Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Diabetes mellitus merupakan penyakit menahun yang akan diderita
seumur hidup. Dalam pengelolaan penyakit tersebut, selain dokter, perawat,
ahli gizi, dan tenaga kesehatan lain, peran pasien dan keluarga menjadi sangat
penting. Edukasi kepada pasien dan keluarganya bertujuan dengan
memberikan pemahaman mengenai perjalanan penyakit, pencegahan,
penyulit, dan penatalaksanaan DM, akan sangat membantu meningkatkan
keikutsertaan keluarga dalam usaha memperbaiki hasil pengelolaan
(PERKENI, 2011).
Diabetes Mellitus merupakan salah satu penyakit metabolik yang
prevalensinya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data yang
ada, diketahui bahwa penyakit diabetes mellitus adalah salah satu penyakit
yang masuk ke dalam 10 (sepuluh) besar penyakit di Indonesia. Populasi
penderita diabetes di Indonesia diperkirakan berkisar antara 1,5 sampai 2,5%.
Dengan jumlah penduduk sekitar 200 juta jiwa, berarti lebih kurang 3-5 juta
penduduk Indonesia menderita diabetes Berdasarkan data yang ada, diketahui
bahwa penyakit diabetes mellitus adalah salah satu penyakit yang masuk ke
dalam 10 (sepuluh) besar penyakit di Indonesia. Populasi penderita diabetes
di Indonesia diperkirakan berkisar antara 1,5 sampai 2,5%. Dengan jumlah
penduduk sekitar 200 juta jiwa, berarti lebih kurang 3-5 juta penduduk
Indonesia menderita Diabetes (Yulianti et al., 2014).
Perubahan dalam diagnosis dan klafisikasi DM terus menerus terjadi baik
oleh WHO maupun American Diabetes Association (ADA). Para pakar di
indonesia pun bersepakat melalui PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia) pada tahun 1993 untuk membicarakan standar pengelolaan
diabetes melitus, kemudian juga melakukan revisi konsensus tersebut pada

1
tahun 1998 dan 2002 yang menyesuaikan dengan perkembangan baru
(Purnamasari, 2009).
Meningkatnya prevalensi diabetes mellitus di beberapa negara
berkembang, akibat peningkatan kemakmuran di negara bersangkutan,
Komplikasi vaskular jangka panjang dari DM melibatkan pembuluh-
pembuluh kecil-mikroangiopati dan pembuluh-pembuluh sedang dan besar-
makroangiopati. Komplikasi mikrovaskular menyerang kapiler dan arteriol
retina (retinopati diabetika), glomerulus ginjal (nefropati diabetik) serta saraf-
saraf perifer (neuropati diabetik) dan komplikasi makrovaskular meliputi
penyakit jantung koroner (PJK), penyakit serebrovaskular dan penyakit
vaskular perifer. (Widiarto et al., 2013)

B. Tujuan
Untuk mengetahui Definisi, Klasifikasi, Etiologi, Epidemiologi,
Patogenesis, Manifestasi Klinis, Pemeriksaan Fisik, Pemeriksaan Penunjang,
Penegakan Diagnosis, Diagnosis Banding, Penatalaksanaan, serta Prognosis
pada penyakit Diabetes Mellitus.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Diabetes mellius (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes
berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan
beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh
darah (PERKENI, 2011).

B. Klasifikasi
Klasifikasi diabetes mellitus berdasarkan ADA (2012) dan Perkeni
(2011) adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1 Klasifikasi DM berdasarkan Etiologi
Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya
menjurus ke defisiensi insulin absolut
- Melalui proses imunologi
- Idiopatik
Tipe 2 Bervariasi mulai dari dominan
resistensi insulin disertai defisiensi
insulin relatif sampai yang dominan
defek sekresi insulin disertai resistensi
insulin
Tipe lain - Defek genetik fungsi sel beta:
kromosom 7, 12, 20, 13, 17 dan 2.
- Defek genetik kerja insulin:
resistensi insulin tipe A,
eprechaunism, sindrom Rabson
Mendenhall diabetes lipoatrofik.
- Penyakit eksokrin pankreas:
pankreatitis,
trauma/pankreatektomi,
neoplasma, fibsosis kistik
hemokromatosis, pankreatopati
fibro kalkulus.
- Endokrinopati: akromegali,
sindrom chusing, feokromasitoma,

3
hipertiroidisme, aldosteronoma
- Karena obat atau zat kimia: vacor,
pentamidin, asam nikotinat,
glukokortikoid, hormon tiroid,
diazoxid, aldosteronoma.
- Infeksi: rubella congenital, CMV.
- Sebab inumologi yang jarang:
sindrom Stiffman, antibodi
antireseptor insulin.
- Sindrom genetik lain yang
berkaitan dengan DM; sindrom
Down, sindrom Klinefelter,
sindrom Wolfarm, ataksia
Friedreich, chorea huntington,
sindrom laurence moon bield,
porfiria, sindrom prader willi.
Diabetes Mellitus Gestational

(Sumber: PERKENI, 2011)

C. Epidemiologi
Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan
peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM. Laporan hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 oleh Departemen Kesehatan,
menunjukkan bahwa prevalensi DM di daerah urban Indonesia untuk usia
diatas 15 tahun sebesar 5,7%. Prevalensi terkecil terdapat di provinsi Papua
sebesar 1,7% dan terbesar di provinsi Maluku Utara dan Kalimantan Barat
yang mencapai 11,1%. Sedangkan prevalensi toleransi glukosa terganggu
(TGT), berkisar antara 4,0% di provinsi Jambi sampai 21,8% di provinsi
Papua Barat (PERKENI, 2011).

D. Patogenesis DM Tipe 2
Hiperglikemia pada semua kasus disebabkan oleh defisiensi fungsional
kerja insulin. Defisiensi efek insulin dapat disebabkan oleh penurunan sekresi
insulin oleh sel B pankreas, penurunan respons terhadap insulin jaringan
(resistensi insulin atau peningkatan hormon counterregulatory yang
melawanefek insulin. Awalnya resistensi insulin masih belum menyebabkan

4
diabetes secara klinis. Pada saat tersebut sel beta pankreas masih dapat
mengkompensasi keadaan ini dan terjadi suatu hiperinsulinemia dan glukosa
darah masih normal atau baru sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi
ketidaksanggupan sel beta pankreas, baru akan terjadi diabetes mellitus secara
klinis, yang ditandai dengan terjadinya peningkatan kadar glukosa darah yang
memenuhi kriteria diagnosis diabetes mellitus. Otot adalah pengguna glukosa
yang paling banyak sehingga resistensi insulin mengakibatkan kegagalan
ambilan glukosa oleh otot. Fenomena resistensi insulin ini terjadi beberapa
dekade sebelum onset DM dan telah dibuktikan pada saudara kandung DM
Tipe 2 yang normoglikemik. Selain genetik, faktor lingkungan juga
mempengaruhi kondisi resistensi insulin. Pada awalnya, kondisi resistensi
insulin ini dikompensasi oleh peningkatan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas. Seiring dengan progresifitas penyakit maka produksi insulin ini
berangsur menurun menimbulkan klinis hiperglikemia yang nyata.
Hiperglikemia awalnya terjadi pada fase setelah makan saat otot gagal
melakukan ambilan glukosa dengan optimal. Pada fase berikutnya dimana
produksi insulin semakin menurun, maka terjadi produksi glukosa hati yang
berlebihan dan mengakibatkan meningkatnya glukosa darah pada saat puasa.
Hiperglikemia yang terjadi memperberat gangguan sekresi insulin yang sudah
ada dan disebut fenomena glukotoksisitas. Selain pada otot, resistensi insulin
juga terjadi pada jaringan adiposa sehingga merangsang proses lipolisis dan
meningkatkan asam lemak bebas. Hal ini juga mengakibatkan gangguan
proses ambilan glukosa oleh sel otot dan mengganggu sekresi insulin oleh sel
beta pankreas. Fenomena ini yang disebut dengan lipotoksisitas (McPhee,
2010).

E. Manifestasi Klinis
PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar
berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM.
A. Gejala khas DM terdiri dari :
1. poliuria,

5
2. polidipsi,
3. polifagia,
4. penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas,
B. Sedangkan gejala tidak khas DM diantaranya :
1. lemas,
2. kesemutan,
3. luka yang sulit sembuh,
4. gatal,
5. mata kabur,
6. disfungsi ereksi & balanitis (Pria),
7. pruritus vulva & vulvovaginitis kandida (Wanita) (McPhee,
2010).
F. Pemeriksaan fisik
1. Pengukuran tinggi badan dan berat badan.
2. Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam
posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik,
serta ankle brachial index (ABI) untuk mencari kemungkinan penyakit
pembuluh darah arteri tepi.
3. Pemeriksaan funduskopi untuk melihat tanda-tanda retinopati diabetik.
4. Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
5. Pemeriksaan jantung
6. Evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop.
7. Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari.
8. Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan
insulin) dan pemeriksaan neurologis.
9. Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain
(PERKENI, 2011).
G. Pemeriksaan penunjang
1. Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial
2. HbA1c

6
3. Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL dan
Trigliserida)
4. Kreatinin dan urea serum
5. Albumin serum/urin
6. Keton, sedimen dan protein dalam urin
7. EKG
8. Foto sinar-X Thoraks (PERKENI, 2011)
H. Penegakan diagnosis Diabetes Mellitus
Penegakan diagnosis DM Tipe 2 berdasarkan kriteria diagnosis DM
yakni;
Tabel 2.2 Kriteria Diagnosis DM
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL (11,1
mmol/L) Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil peperiksaan sesaat
pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
atau
2. Gejala klasik DM
+
Kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL (7.0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
atau
3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L)
TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban
glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke
dalam air.
4. Pemeriksaan HbA1c (≥6,5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan
menjadi salah satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada
sarana laboratorium yang telah terstandarisasi dengan baik.
(Sumber: PERKENI, 2011)
Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):
1. Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan
sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan
kegiatan jasmani seperti biasa.
2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum
pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.
3. Diperiksa kadar glukosa darah puasa.

7
4. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/kgBB
(anak-anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu
5 menit.
5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk
pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai.
6. Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa.
7. Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan
tidak merokok.
Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa
dilakukan sesuai dengan kriteria diagnosis. Seperti pada tabel 2.3 dibawah
ini;
Tabel 2.3 Langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa

Sumber : (PERKENI, 2011)

8
Kemudian dapat dilakukan pemeriksaan penyaring melalui pemeriksaan
konsentrasi glukosa darah sewaktu atau konsentrasi glukosa darah puasa,
kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar,
seperti pada tabel 2.4 dibawah ini;
Tanel 2.4 Konsentrasi Glukosa darah sewaktu dan Puasa sebagai patokan
penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)
Konsentrasi glukosa Bukan Belum DM
DM pasti DM
Darah sewaktu Plasma vena < 100 100 - 199 ≥ 200
(mg/dl) Darah kapiler <90 90 - 199 ≥ 200
Darah puasa Plasma vena <100 100 - 125 ≥ 126
(mg/dl) Darah kapiler <90 90 - 99 ≥ 100
(Sumber: PERKENI, 2011)

I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara umum pada pasien DM bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup penyandang diabetes. Dalam prakteknya sehari-
hari tujuan penatalaksanaan pasien DM antara lain;
1. Jangka pendek : menghilangkan keluhan dan tanda DM,
mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian
glukosa darah.
2. Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas
DM.
Terdapat 4 pilar penatalaksanaan DM diantaranya adalah;
1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan
perilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang
diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan
masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju
perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan
perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya

9
peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa
darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya
harus diberikan kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa darah
dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.
2. Terapi gizi medis
 Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari
penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM
adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter,
ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan
keluarganya).
 Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai
dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi.
 Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir
sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu
makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan
zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu
ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal
makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin
a. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
1. Karbohidrat
 Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total
asupan energi.
 Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak
dianjurkan
 Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang
berserat tinggi.
 Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga
penyandang diabetes dapat makan sama dengan
makanan keluarga yang lain
 Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.

10
 Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti
gula, asal tidak melebihi batas aman konsumsi harian
(Accepted- Daily Intake)
 Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan
karbohidrat dalam sehari. Kalau diperlukan dapat
diberikan makanan selingan buah atau makanan lain
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
2. Lemak
 Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan
kalori. Tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan
energi.
 Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
 Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari
lemak tidak jenuh tunggal.
 Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang
banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans
antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole
milk).
 Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari.
3. Protein
 Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.
 Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang,
cumi,dll), daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit,
produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan
tempe.
 Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan
protein menjadi 0,8 g/KgBB perhari atau 10% dari
kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik
tinggi.
4. Natrium

11
 Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes
sama dengan anjuran untuk masyarakat umum yaitu
tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 gram (1
sendok teh) garam dapur.
 Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai
2400 mg.
 Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin,
soda, dan bahan pengawet seperti natrium benzoat dan
natrium nitrit.
5. Serat
 Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes
dianjurkan mengonsumsi cukup serat dari kacang-
kacangan, buah, dan sayuran serta sumber karbohidrat
yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral,
serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.
 Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari.
6. Pemanis alternatif
 Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori
dan pemanis tak berkalori. Termasuk pemanis berkalori
adalah gula alkohol dan fruktosa.
 Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol,
mannitol, sorbitol dan xylitol.
 Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu
diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai bagian
dari kebutuhan kalori sehari.
 Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang
diabetes karena efek samping pada lemak darah.
 Pemanis tak berkaloriyang masih dapat digunakan
antara lain aspartam, sakarin, acesulfame potassium,
sukralose, dan neotame.

12
 Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi
batas aman (Accepted Daily Intake / ADI)
b. Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang
dibutuhkan penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan
memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-
30 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung
pada beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas,
berat badan, dll.
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca
yang dimodifikasi adalah sbb:
 Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
 Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan
wanita di bawah 150 cm, rumus dimodifikasi menjadi :
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
BB Normal : BB ideal ± 10 %
Kurus : < BBI - 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa
Tubuh (IMT).Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan
rumus: IMT = BB(kg)/ TB(m2).
Klasifikasi IMT menurut WHO WPR/IASO/IOTF dalam
The Asia-Pacific Perspective: Redefining Obesity and its
Treatment.
 BB Kurang < 18,5
 BB Normal 18,5-22,9
 BB Lebih ≥ 23,0
 Dengan resiko 23,0 – 24,9
 Obes I 25,0 – 29,9
 Obes II > 30

13
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :
 Jenis Kelamin
 Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria.
Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal/kg BB dan
untuk pria sebesar 30 kal/ kg BB.
 Umur
 Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori
dikurangi 5% untuk dekade antara 40 dan 59 tahun,
dikurangi 10% untuk dekade antara 60 dan 69 tahun
dan dikurangi 20%, di atas usia 70 tahun.
 Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
 Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan
intensitas aktivitas fisik.
 Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal
diberikan pada kedaaan istirahat, 20% pada pasien
dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang,
dan 50% dengan aktivitas sangat berat.
 Berat Badan
 Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% tergantung
kepada tingkat kegemukan
 Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan
kebutuhan untuk meningkatkan BB.
 Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori
yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kkal perhari
untuk wanita dan 1200-1600 kkal perhari untuk pria.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi
tersebut di atas dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi
(20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan
ringan (10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan
pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan

14
kebiasaan. Untuk penyandang diabetes yang mengidap
penyakit lain, pola pengaturan

c. Pilihan makanan
Pilihan makanan untuk penyandang diabetes dapat
dijelaskan melalui piramida makanan untuk penyandang
diabetes.

 Sumber karbohidrat dikonsumsi 3-7 porsi/penukar sehari


(tergantung status gizi).
 Sumber vitamin dan mineral: sayuran 2-3 porsi/penukar,
buah 2-4 porsi/penukar sehari.
 Sumber protein: lauk hewani 3 porsi/penukar, lauk nabati
2-3 porsi/penukar sehari.
 Batasi konsumsi gula, lemak / minyak dan garam.
3. Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-
4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah
satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti
berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap
dilakukan (lihat tabel 4). Latihan jasmani selain untuk menjaga
kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa

15
darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang
bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan
berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan
status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas
latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat
komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang
kurang gerak atau bermalas-malasan.
4. Intervensi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan
dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri
dari obat oral dan bentuk suntikan.
a. OHO (Obat Hiperglikemik Oral). OHO dimulai dengan dosis
kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons kadar
glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal.
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
1. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea
dan glinid.
 Sulfoniurea
 Obat golongan ini mempunyai efek utama
meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas,
dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan
berat badan normal dan kurang. Namun masih boleh
diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih.
Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada
berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal
ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit
kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan
sulfonilurea kerja panjang. Sulfonilurea: 15 –30 menit
sebelum makan.
 Glinid

16
 Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama
dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada
peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini
terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat
asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin).
Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian
secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.
Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan
2. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan
tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatu
reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini
mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas
I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan
juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang
menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan
faal hati secara berkala. Tiazolidindion: tidak bergantung
pada jadwal makan.
3. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi
glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga
memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai
pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-
pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya

17
penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung).
Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk
mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau
sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa
pemberian metformin secara titrasi pada awal penggunaan
akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping
obat tersebut. Metformin : sebelum / pada saat / sesudah
makan
4. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa
di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar
glukosa darah sesudah makan. Acarbosetidak menimbulkan
efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling
sering ditemukan ialah kembung dan flatulens. Penghambat
glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama
5. DPP-IV inhibitor.
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu
hormon peptida yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus.
Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan
yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1
merupakan perangsang kuat penglepasan insulin dan
sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun
demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl
peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide
yang tidak aktif. DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama
makan dan atau sebelum makan.
b. Suntikan
1. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
 Penurunan berat badan yang cepat
 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

18
 Ketoasidosis diabetik
 Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
 Hiperglikemia dengan asidosis laktat
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
 Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang
tidak terkendali dengan perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Jenis dan lama kerja insulin
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat
jenis, yakni:
 Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
 Insulin kerja pendek (short acting insulin)
 Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
 Insulin kerja panjang (long acting insulin)
 Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah
(premixed insulin).
2. Agonis GLP-1/incretin mimetic
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan
pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1
dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin yang
tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat
badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin
ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin
menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain
adalah menghambat penglepasan glukagon yang diketahui
berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan
binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta
pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat
ini antara lain rasa sebah dan muntah.

19
c. Terapi kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan
dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap
sesuai dengan respons kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani,
bila diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau
kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi
(secara terpisah ataupun fixed-combination dalam bentuk
tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok
yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran
kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan
kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau
kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai
dengan alasan klinis di mana insulin tidak memungkinkan
untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO dapat
menjadi pilihan. (lihat bagan 2 tentang algoritma pengelolaan
DM tipe 2) (PERKENI, 2011).
E. Kriteria pengendalian diabetes melitus

20
Keterangan : KV = Kardiovaskular, PP = post prandial
(Sumber: PERKENI, 2011)
F. Komplikasi diabetes melitus
a. Komplikasi Akut
- Ketoasidosis diabetik (KAD)
Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL),
disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma
keton(+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/ mL)
dan terjadi peningkatan anion gap
- Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH)
Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi
(600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas
plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton (+/-),
anion gap normal atau sedikit meningkat.
Catatan:

21
kedua keadaan (KAD dan SHH) tersebut mempunyai angka
morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Memerlukan perawatan di
rumah sakit guna mendapatkan penatalaksanaan yang memadai.
- Hipoglikemia
Menurunnya kadar glukosa dara < 60 mg/dl, bila terdapat penurunan
kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan
kemungkinanterjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering
disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia
akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi
sampai seluruh obat dieksresi dan waktu kerja obat telah habis.
Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk pengawasannya
(24-72 jam atau lebih, terutama pada pasien dengan gagal ginjal
kronik atau yang mendapatkan terapi dengan OHO kerja panjang).
Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (palpitasi, banyak
keringat, gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik
(pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma). Pada pasien
dengan kesadaran baik diberikan makanan yang mengandung
karbohidrat atau minuman yang mengandung gula berkalori atau
glukosa 15-20 gram intravena. Untuk pasien diabetes dengan
hipoglikemik dan tidak sadar, sementara dapat diberikan glukosa
40% intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum
dapat dipastikan penyebab menurunnya kesadaran.
b. Komplikasi Kronis
1. Makroangiopati
- Pembuluh darah jantung
- Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer sering terjadi pada
penyandang diabetes. Biasanya terjadi dengan gejala tipikal
claudicatio intermittent, meskipun sering tanpa gejala.
Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang
pertama muncul.
- Pembuluh darah otak

22
2. Mikroangiopati:
- Retinopati diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi
risiko dan memberatnya retinopati. Terapi aspirin tidak
mencegah timbulnya retinopati.
- Nefropati diabetik.
- Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi
risiko nefropati.
- Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kgBB) juga akan
mengurangi risiko terjadinya nefropati.
3. Neuropati
- Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati
perifer, berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk
terjadinya ulkus kaki dan amputasi.
- Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar
sendiri, dan lebih terasa sakit di malam hari.
- Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu
dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati distal
dengan pemeriksaan neurologi sederhana, dengan monofilamen
10 gram sedikitnya setiap tahun.
- Apabila ditemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki
yang memadai akan menurunkan risiko amputasi.
- Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan duloxetine,
antidepresan trisiklik, atau gabapentin.
- Semua penyandang diabetes yang disertai neuropati perifer
harus diberikan edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko
ulkus kaki. Untuk penatalaksanaan penyulit ini seringkali
diperlukan kerja sama dengan bidang/disiplin ilmu lain
(PERKENI, 2011).

G. Pengecahan diabetes melitus

23
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang
memiliki faktor resiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi
berpotensi untuk mendapatkan DM dan kelompok intoleransi glukosa.
Contoh kelompok faktor resiko DM :
 Kelompok faktor resiko yang tidak bisa dimodifikasi:
a. Ras dan etnik
b. Riwayat keluarga dengan diabetes (anak penyandang diabetes)
c. Umur (usia >45 tahun harus dilakukan pemeriksaan DM.
d. Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram atau
riwayat pernah menderita DM gestasional (DMG).
e. Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi
lahir dengan BB rendah mempunyai resiko yang lebih tinggi dibanding
dengan bayi lahir dengan BB normal.
 Kelompok faktor resiko yang bisa dimodifikasi:
a. Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m2.
b. Kurangnya aktivitas fisik.
c. Hipertensi (> 140/90 mmHg).
d. Dislipidemia ( HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL)
e. Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah
serat akan meningkatkan resiko menderita prediabetes/intoleransi
glukosa dan DM tipe 2.
Faktor lain yang terkait dengan resiko diabetes:
a. Penderita Policystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain
yang terkait dengan resistensi insulin.
b. Penderita sindrom metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa
terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT)
sebelumnya.
Contoh kelompok faktor resiko intoleransi glukosa

24
a. Intoleransi glukosa merupakan suatu keadaan yang mendahului timbulnya
diabetes. Angka kejadian intoleransi glukosa dilaporkan terus mengalami
peningkatan.
b. Istilah ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 2002 oleh Department of
Health and Human Services (DHHS) dan The American Diabetes
Association (ADA). Sebelumnya istilah untuk menggambarkan keadaan
intoleransi glukosa adalah TGT dan GDPT. Setiap tahun 4-9% orang
dengan intoleransi glukosa akan menjadi diabetes.
c. Intoleransi glukosa mempunyai risiko timbulnya gangguan kardiovaskular
sebesar satu setengah kali lebih tinggi dibandingkan orang normal.
d. Diagnosis intoleransi glukosa ditegakkan dengan pemeriksaan TTGO
setelah puasa 8 jam. Diagnosis intoleransi glukosa ditegakkan apabila hasil
tes glukosa darah menunjukkan salah satu dari tersebut di bawah ini.
e. Glukosa darah puasa antara 100–125 mg/dL
f. Glukosa darah 2 jam setelah muatan glukosa (TTGO) antara 140-199
mg/dL.
g. Pada pasien dengan intoleransi glukosa anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang dilakukan ditujukan untuk mencari faktor risiko yang dapat
dimodifikasi (PERKENI, 2011)
BAB III
LAPORAN KASUS

A. Kasus
a. Identitas pasien
Nama : Ny. O
Umur : 67 tahun
Alamat : Jl. Kancil
Pendidikan terakhir : D3
Agama : Kristen protestan
Tanggal pemeriksaan : 01-11-2015

25
Ruangan : Pav. Seroja

b. Anamnesis
Keluhan utama : lemah seluruh badan.
Riwayat Penyakit Sekarang : pasien perempuan umur 67 tahun datang
dengan keluhan lemah seluruh badan dirasakan sejak 3 hari yang lalu,
disertai rasa ngilu pada ujung tangan dan kaki, sakit ulu hati (+), sakit
pinggang (-), sesak (-), Mual (+), Muntah (-). pasien mengeluh tegang
pada leher bagian belakang, batuk (-), mengeluh sering buang air kecil
terutama pada malam hari dan pasien selalu merasa haus dan sering
makan tetapi tetap merasa lapar. Buang air besar frekuensi 2x/ hari warna
kuning biasa. Buang air kecil warna jernih kekuningan.

Riwayat Penyakit Terdahulu: riwayat hipertensi (+) & riwayat diabetes


melitus (+), riwayat penggunaan obat metformin.

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga: Ibu pernah mengalami DM dan


Hipertensi.

c. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum:
SP: Sakit sedang/ Komposmentis/ gizi lebih
BB: 60 kg
TB: 153 cm
IMT: 25,63 kg/m2

Vital Sign:
Tekanan darah : 130/90 mmhg
Nadi : 92 kali/menit
Pernapasan : 22 kali/menit
Suhu axilla : 36,5 0C

26
Pemeriksaan fisik.
Kepala : bentuk normocephalus, deformitas (-), jejas (-), benjolan (-).
Rambut : warna hitam, distribusi normal.
Wajah : tampak lemas, warna normal, edema (-), ruam (-), jejas (-).
Mata :
- Palpebra : normal, edema (-), radang (-).
- Konjungtiva : warna pucat, anemis (+).
- Sklera : warna putih, ikterik (-).
- Pupil : ukuran ± 3 mm, bentuk bulat, isokor, refleks pupil +/+
- Kornea: arcus senilis (-)/(-)
- Lensa: jernih, katarak (-)
Mulut:
- Bibir: sianosis (-), kelembaban normal
- Gigi: susunan normal, karies (-), oklusi (+)
- Lidah: bentuk normal, warna merah muda, tremor (-)
- Mukosa mulut: kesan normal, lesi (-), peradangan
(-)
- Faring: warna merah muda, kesan normal
- Tonsil: ukuran T1/T1
Hidung: Bentuk simetris, deviasi (-), depresi (-), sekret (-), darah (-),
benjolan (-).
Telinga: bentuk normal, warna normal, jejas (-), thopus (-)
Pemeriksaan leher
- Otot: bentuk eutrofi, tonus normal, kekuatan otot 5/5
- Kelenjar getah bening: pembesaran (-), nyeri tekan (-)
- Kelenjar tiroid: pembesaran (-), nyeri tekan (-)
- JVP: R + 0 H20
- Arteri karotis: pulsasi teraba, frekuensi 90 x/m, regular
- Trakea: deviasi (-)
Pemeriksaan paru-paru

27
- Inspeksi: ekspansi dada simetris bilateral, retraksi otot interkosta
(-), jejas (-), bentuk dada normal, jenis pernapasan thoraco-
abdominal, pola pernapasan normal.
- Palpasi: pembesaran getah bening (-), ekspansi dada simetris, taktil
fremitus simetris kanan = kiri, nyeri tekan (-).
- Perkusi
Bunyi sonor disemua lapang paru
- Auskultasi
Suara napas vesikular dikedua lapang paru kecuali SIC I dan II.
Suara napas tambahan (+), Ronkhi (-), Whezzing (-).
Pemeriksaan jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : pulsasi di apeks jantung SIC 5 linea midklavikula sinistra.
- Perkusi : Batas atas (SIC II Linea sternalis kanan), Batas kiri (SIC
IV Linea midklavikula kiri), Batas kanan (SIC IV Linea
parasternalis kanan).
- Auskultasi : Bunyi jantung S1 dan S2 murni regular, bunyi
tambahan (-).

Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Perut datar
Auskultasi Peristaltik Usus (+) normal
Perkusi : Timpani, Nyeri ketuk (-)
Palpasi : Nyeri Tekan (+) Epigastrik
Pemeriksaan anggota gerak :
1. Atas
- Kulit: warna normal, kelembaban normal, edema (-), akral
hangat, fungsi sensorik normal
- Otot: bentuk eutrofi, tonus normal, kekuatan otot 5/5
- Sendi: luas pergerakan normal, nyeri tekan (-)
2. Bawah

28
- Kulit: warna normal, kelembaban normal, edema (-), akral
hangat, fungsi sensorik normal
- Otot: bentuk eutrofi, tonus normal, kekuatan otot 5/5
- Sendi: luas pergerakan normal, nyeri tekan (-)
Pemeriksaan Khusus : (-)

d. Resume:
Pasien perempuan umur 67 tahun MRS dengan keluhan lemah seluruh
badan sejak 8 hari yang lalu SMRS, pasien mengeluh ngilu pada kaki
dan tangan, Sakit ulu hati (+), mual (+), muntah (-), tegang pada
belakang leher, Poliuri, Polidipsi, Polifagi, BAB Biasa, BAK Lancar.
Riwayat DM (+), Riwayat Hipertensi (+). IMT: 25,63.
Vital sign:
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Nadi : 92 x/menit, irama regular, pulsus magnus
Pernapasan : 22 x/menit, pola pernapasan normal
Suhu Axilla : 36,5 oC

e. Diagnosis kerja
1. Diabetes melitus tipe 2
2. Dispepsia

f. Diagnosis banding
1. Hiperglikemia
2. Toleransi glukosa terganggu (TGT)
3. Glukosa darah puasa terganggu (TTGO)

g. Penatalaksanaan
- Non medikamentosa
1. Tirah baring

29
2. Edukasi meliputi pemahaman tentang penyakit DM, perlunya
pengendalian dan pemantauan DM, penyulit DM, intervensi
farmakologis, dan non-farmakologis, hipoglikemia, masalah
khusus yang dihadapi dan sebagainya.
3. Perencanaan makan diet kalori secukupnya
- Medikamentosa
IVFD RL 20 tpm
Metformin 2x1
Injeksi Ranitidine /12 jam
h. Pemeriksaan penunjang
Darah rutin
RBC : 4,64 (N)
WBC : 10,4 (N)
HB : 13,4 (N)
MCH : 28,4 (N)
MCHC : 34,7 (N)
PLT : 215 (N)
Kimia darah
GDS : 302,5 (Meningkat)
Creatinin : 0,15 (N)
Ureum : 24,9 (N)

i. Follow up

Tanggal Follow up
02/10/2015 S: Lemah seluruh badan, ngilu kaki dan tangan,
Mual
O: TD : 120/90 mmHg, N: 76x/m, R: 22 x/m, S:
36,5 OC, SUH (+) GDS 312,4
A: DM tipe 2 + Dispepsia
P:
IVFD RL 20 tpm
Sohobion 1 ampul drips

30
Ranitidine 1 ampul/12 jam
Novorapid 6-6-6
Levemir 0-0-10
Lanzoprazole 1-0-0
Nepatic 3x1
Diet kalori 1500 kalori

03/10/2015 S: Lemah seluruh badan, ngilu kaki dan tangan,


Mual, sakit kepala
O: TD : 110/90 mmHg, N: 86x/m, R: 20 x/m, S:
36,4 OC, GDS 261
A: DM tipe 2 + Dispepsia
P:
IVFD RL 20 tpm
Sohobion 1 ampul drips
Ranitidine 1 ampul/12 jam
Novorapid 6-6-6
Levemir 0-0-10
Lanzoprazole 1-0-0
Nepatic 3x1
PCT 3x1
Diet kalori 1500 kalori

04/10/2015 S: Lemah seluruh badan berkurang, ngilu kaki dan


tangan, Mual, sakit kepala, susah tidur
O: TD : 120/70 mmHg, N: 78x/m, R: 20 x/m, S:
36,5 OC, GDS 168,0
A: DM tipe 2 + Dispepsia
P:
IVFD RL 20 tpm
Ranitidine 1 ampul/12 jam
Novorapid 6-6-6
Levemir 0-0-10
Lanzoprazole 1-0-0
Nepatic 3x1
PCT 3x1
Alprazolam 0,5 mg 0-0-1
Diet kalori 1500 kalori

05/10/2015 S: Lemah seluruh badan berkurang, ngilu kaki dan


tangan berkurang, Mual berkurang, sakit kepala
berkurang, susah tidur berkurang
O: TD : 120/80 mmHg, N: 84x/m, R: 20 x/m, S:
36,2 OC, GDS 121,4
A: DM tipe 2 + Dispepsia
P:

31
IVFD RL 20 tpm
Ranitidine 1 ampul/12 jam
Novorapid 6-6-6
Levemir 0-0-10
Lanzoprazole 1-0-0
Nepatic 3x1
PCT 3x1

06/10/2015 S: tidak ada keluhan


O: TD : 110/80 mmHg, N: 80x/m, R: 20 x/m, S:
36,4 OC, GDS 122,5
A: DM tipe 2 + Dispepsia
P:
IVFD RL 20 tpm
Metformin 1-1-0
Novorapid 3x6 unit
Boleh rawat jalan kontrol dipoli

B. Pembahasan

Dari kasus ini pasien didiagnosis dengan Diabetes Melitus tipe 2


berdasarkan anamnesis ditemukan berbagai gejala klasik seperti poliuri, polifagi,
polidipsi dan juga gejala kelemahan seluruh badan dan ngilu kaki dan tangan yang
menunjukkan adanya neuropati perifer. Dari anamnesis pasien mengatakan sudah
memiliki riwayat DM dari tahun 2013 dan juga memiliki riwayat hipertensi
dengan GDS awal saat masuk rumah sakit 302,5 mg/dl.
Dari anamnesis juga diperoleh riwayat keluarga DM dan hipertensi, karena
biasanya jika ada anggota keluarga yang menderita diabetes, maka
kemungkinan besar anaknya juga menderita penyakit yang sama. Para
ahli diabetes telah sepakat menentukan persentase kemungkinan terjadinya

32
diabetes karena keturunan. Jika kedua orang tuanya (bapak dan ibu)
menderita diabetes, maka kemungkinan anaknya menderita penyakit diabetes
yaitu 83%. Jika salah satu orang tuanya (bapak atau ibu) adalah penderita
diabetes, maka kemungkinan anaknya menderita penyakit diabetes yaitu 53%.
Sedangkan jika kedua orang tuanya normal/tidak menderita diabetes, maka
kemungkinan anaknya menderita penyakit diabetes yaitu 15%
Evaluasi adalah bagian yang sangat penting pada proses terapi gizi
medis. Dietisien dan klien bersama-sama menetapkan hasil intervensi. Pada
tahap terapi ini, pemecahan masalah mungkin penting untuk membantu pasien
menetapkan tujuan baru untuk intervensi gizi lebih lanjut. Pemantauan
keadaan glukosa darah dan hemoglobin glikat (AIC). Lipid, tekanan darah
dan fungsi ginjal peting untuk mengevaluasi hasil yang berhubungan dengan
gizi. Untuk individu, konsisiten dalam hal pola makan penting oleh karena
pola makan yang konsisten menghasilkan AIC yang lebih rendah daripada
pola makan yang serampangan. Tindaklanjut untuk anak-anak dianjurkan
dilakukan setiap 3-6 bulan sedangkan pada orang dewasa setiap 6 sampai 12
bulan.
Adapun gejala penyerta yang ditemukan dalam kasus ini yakni rasa nyeri
pada kaki dan tangan terutama pada bagian distal, hal ini akibat dari neuropati
perifer, dalam jangka waktu yang cukup lama, kadar glukosa dalam darah akan
merusak dinding pembuluh darah kapiler yang berhubungan langsung ke saraf.
Akibatnya, saraf tidak dapat mengirimkan pesan secara efektif. Keluhan yang
timbul bervariasi, yaitu nyeri pada kaki dan tangan, gangguan pencernaan,
gangguan dalam mengkontrol BAB dan BAK, dan lain-lain. Manifestasi klinisnya
dapat berupa gangguan sensoris, motorik, dan otonom. Proses terjadinya
komplikasi neuropati biasanya progresif, di mana terjadi degenerasi serabut-
serabut saraf dengan gejala nyeri, yang sering terserang adalah saraf tungkai atau
lengan.
Manajemen diet dan latihan fisik / jasmani sebenarnya sudah sangat cukup
efektif untuk dapat mengontrol keadaan metabolik pasien DM Tipe 2, akan tetapi
kebanyakan dari pasien DM Tipe 2 kurang disiplin dalam mengikuti program

33
manajemen diet dan latihan fisik yang telah dirancang oleh tenaga kesehatan,
sehingga dokter harus memberikan pengobatan farmakologi untuk memperbaiki
keadaan hiperglikemik pasien DM Tipe 2. Terapi farmakologis terdiri dari obat
oral dan bentuk suntikan. Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5
golongan: Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid,
peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion, penghambat
glukoneogenesis (metformin), penghambat absorpsi glukosa: penghambat
glukosidase alfa, DPP-IV inhibitor.

Daftar Pustaka

American Diabetes Assosiation ,2014. Diagnosis and Classification of Diabetes


Mellitus. Diabetes Care. Vol. 37. Suppt. 1. (Acessed on December 20 th
2015). From <care.diabetesjournals.org/content/37.pdf>.
Purnamasari, 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam..Edisi V. Interna Publishing
Jakarta.
McPhee, 2010. Patofisiologi Penyakit Pengantar Menuju Kedokteran Klinis. Edisi
5.EGC. Jakarta.
PERKENI, 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe
2 di indonesia.
Yulianti et al, 2014. Profil Pengobatan Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 di
Instalasi Rawat Inap RSUD UNDATA Palu Tahun 2012. Online Jurnal of

34
Natural Science. Vol. 3. No. 1. (Acessed on December 20 th 2015). From <
jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/ejurnalfmipa/article/view/2208>.

Widiarto et al., 2013. Perbandingan Jumlah Trombosit pada Diabetes Melitus tipe
2 dengan komplikasi vaskular di RSUP Prof. DR. R. D. Kandou Manado.
Jurnal e-Biomedik. Vol. 1. No. 1. (Acessed on December 20 th 2015). From
<ejournal.unsrat.ac.id/index.php/ebiomedik/article/download/4153/3673 >.

35

Anda mungkin juga menyukai