Anda di halaman 1dari 20

HUKUM DI INDONESIA

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum agama,


dan hukum adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana berbasis
pada hukum Eropa, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang
merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum
agama karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum
atau syariat Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan, dan warisan.
Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat yang diserap dalam perundang-
undangan atau yurisprudensi,[1] yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari
masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian
kekuasaan kelembagaan, dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang
politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai
perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi
dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut
pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan
hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta
cara perwakilan mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk
meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional
mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan
lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristotle menyatakan bahwa
"Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik daripada dibandingkan dengan
peraturan tirani yang merajalela.

Hingga saat ini, belum ada kesepahaman dari para ahli mengenai pengertian
hukum. Telah banyak para ahli dan sarjana hukum yang mencoba untuk
memberikan pengertian atau definisi hukum, namun belum ada satupun ahli atau
sarjana hukum yang mampu memberikan pengertian hukum yang dapat diterima
oleh semua pihak.

Ketiadaan definisi hukum yang dapat diterima oleh seluruh pakar dan ahli hukum
pada gilirannya memutasi adanya permasalahan mengenai ketidaksepahaman dalam
definisi hukum menjadi mungkinkah hukum didefinisikan atau mungkinkah kita
membuat definisi hukum? Lalu berkembang lagi menjadi perlukah kita
mendefinisikan hukum?.
Begitu banyak pengertian hukum yang dapat kita temui, hal ini karena di dunia ini
memiliki banyak kepala dan setiap kepala memiliki argument atau pendapat sendiri
mengenai hukum, dan argment atau pendapat tersebut bisa masuk akal atau pola
pikir manusia, sehingga ada banyak pengertian hukum, nah untuk para pembaca
yang ingin memiliki pendapat sendiri, mungkin bisa menggabungkan beberapa
referensi pengertian hukum dibawah ini, dan mungkin para pembaca bisa
medapatkan pengertian hukum sendiri dengan menggabungkan beberapa pendapat
dibawah ini.
Ketidaan definisi hukum yang jelas menjadi masalah bagi mereka yang baru saja
ingin mengkaji atau mempelajari ilmu hukum. tentu hal tersebut membutuhkan
pemahaman awal atau pengertian hukum secara umum sebelum memulai untuk
mempelajari apa itu hukum dengan berbagai bentuk aspek. Untuk masyarakat awam
pengertian hukum itu tidaklah penting.
Lebih penting penegakan hukumnya dan perlindungan hukum yang diberikan
kepada masyarakat. Tetapi, bagi mereka yang ingin lebih mendalami soal hukum,
tentu saja perlu untuk mengertahui pengertian hukum. Secara umum, rumusan
perngertian hukum setidaknya mengandung beberapa unsur, yaitu sebagai berikut:
 Hukum mengatur tingkah laku atau tindakan manusia yang ada didalam
masyarakat. Peraturan berisikan perintah serta larangan utnuk melakukan hal atau
tidak melakukan hal tersebut. Hal tersebut dimaksudkan sebagai aturan perilaku
manusia agar tidak bersinggungan serta merugikan kepentingan umum.
 Pengaturan hukum ditetapkan oleh sebuah lembaga atau badan yang
memiliki wewenang untuk hal itu. Peraturan hukum tidak dibuat oleh setiap orang
namun melainkan oleh lembaga atau badan yang memang mempunyai wewenang
utnuk nenetapkan suatu aturan yang bersifat mengikat bagi masyarakat luas.
 Penegakan aturan hukum bersifat memaksa. Peraturan hukum dibuat bukan
untuk dilanggar tetapi untuk dipatuhi. Untuk menegakannya diatur pula tentang
aparat yang berwenang untuk dapat mengatasi serta untuk dapat menegakannya
sekalipun dengan tindakan yang represif. Walaupun demikian, ada pula norma
hukum yang bersifat fakulatif/melengkapi.
 Hukum mempunyai sanksi serta setiap pelanggaran dan perbuatan yang
melawan hukum dan akan dikenakan sanksi tegas. Sanksi juga diatur dalam
peraturan hukum.

SISTEM HUKUM DI INDONESIA


Sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang terorganisasi dan kompleks, suatu
himpunan atau perpaduan ha-hal atau bagian yang membentuk suatu kebulatan atau
keseluruhan yang kompleks. Terdapat komponen yang terhubung dan mempunyai fungsi
masing-masing terhubung menjadi sistem menurut pola. Sistem merupakan susunan
pandangan, teori, asas yang teratur.
Sistem Hukum di Indonesia
Sistem hukum Indonesia merupakan perpaduan beberapa sistem hukum. Sistem hukum
Indonesia merupakan perpaduan dari hukum agama, hukum adat, dan hukum negara eropa
terutama Belanda sebagai Bangsa yang pernah menjajah Indonesia. Belanda berada di
Indonesia sekitar 3,5 abad lamanya. Maka tidak heran apabila banyak peradaban mereka yang
diwariskan termasuk sistem hukum. Bangsa Indonesia sebelumnya juga merupakan bangsa
yang telah memiliki budaya atau adat yang sangat kaya. Bukti peninggalan atau fakta sejarah
mengatakan bahwa di Indonesia dahulu banyak berdiri kerajaan-kerajaan hindu-budha seperti
Sriwijaya, Kutai, Majapahit, dan lain-lain. Zaman kerajaan meninggalkan warisan-warisan
budaya yang hingga saat ini masih terasa. Salah satunya adalah peraturan-peraturan adat yang
hidup dan bertahan hingga kini. Nilai-nilai hukum adat merupakan salah satu sumber
hukum di Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar maka
tidak heran apabila bangsa Indonesia juga menggunakan hukum agama terutama Islam
sebagai pedoman

dalam kehidupan dan juga menjadi sumber hukum Indonesia.


Sejarah Hukum di Indonesia
 Periode Kolonialisme
Periode kolonialisme dibedakan menjadi tiga era, yaitu: Era VOC, Liberal Belanda dan
Politik etis hingga pendudukan Jepang.
a. Era VOC
Pada era penjajahan VOC, sistem hukum yang digunakan bertujuan untuk:
1. Keperluan ekspolitasi ekonomi untuk membantu krisis ekonomi di negera Belanda;
2. Pendisiplinan rakyat asli Indonesia dengan sistem yang otoriter
3. Perlindungan untuk orang-orang VOC, serta keluarga, dan para imigran Eropa.
Hukum Belanda diterapkan terhadap bangsa Belanda atau Eropa. Sedangkan untuk rakyat
pribumi, yang berlaku ialah hukum-hukum yang dibuat oleh tiap-tiap komunitas secara
mandiri. Tata politik & pemerintahan pada zaman itu telah mengesampingkan hak-hak dasar
rakyat di nusantara & menjadikan penderitaan yang pedih terhadap bangsa pribumi di masa
itu.
b. Era Liberal Belanda
Tahun 1854 di Hindia-Belanda dikeluarkan Regeringsreglement (kemudian dinamakan RR
1854) atau Peraturan mengenai Tata Pemerintahan (di Hindia-Belanda) yang tujuannya
adalah melindungi kepentingan usaha-usaha swasta di tanah jajahan & untuk yang pertama
kalinya mencantumkan perlindungan hukum untuk rakyat pribumi dari pemerintahan jajahan
yang sewenang-wenang. Hal ini bisa dilihat dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang
mengatur soal pembatasan terhadap eksekutif (paling utama Residen) & kepolisian, dan juga
jaminan soal proses peradilan yg bebas.
Otokratisme administrasi kolonial masih tetap terjadi pada era ini, meskipun tidak lagi
sekejam dahulu. Pembaharuan hukum yang didasari oleh politik liberalisasi ekonomi ini
ternyata tidak dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat pribumi, sebab eksploitasi masih
terus terjadi.
c. Era Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang
Politik Etis diterapkan  di awal abad ke-20. Kebijakan-kebijakan awal politik etis yang
berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum antara lain:
1. Pendidikan bagi rakyat pribumi, termasuk juga pendidikan lanjutan hukum; 
2. Pendirian Volksraad, yaitu lembaga perwakilan untuk kaum pribumi; 
3. Manajemen organisasi pemerintahan, yang utama dari sisi efisiensi; 
4. Manajemen lembaga peradilan, yang utama dalam hal profesionalitas; 
5. Pembentukan peraturan perundang-undangan yg berorientasi pada kepastian hukum. 
Sampai saat hancurnya kolonialisme Belanda, pembaruan hukum di Hindia Belanda
meninggalkan warisan: i) Pluralisme/dualisme hukum privat dan pluralisme/dualisme
lembaga-lembaga peradilan; ii) Pengelompokan rakyat ke menjadi tiga golongan; Eropa dan
yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa & Non-Tionghoa, & Pribumi.
Masa penjajahan Jepang tidak banyak terjadi pembaruan hukum di semua peraturan
perundang-undangan yang tidak berlawanan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku
sambil menghapus hak-hak istimewa orang-orang Belanda & Eropa lainnya. Sedikit
perubahan perundang-undangan yang dilakukan: i) Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
yang awalnya hanya berlaku untuk golongan Eropa & yang setara, diberlakukan juga untuk
kaum Cina; ii) Beberapa peraturan militer diselipkan dalam peraturan perundang-undangan
pidana yang berlaku. Di bidang peradilan, pembaharuan yang terjadi adalah: i) Penghapusan
pluralisme/dualisme tata peradilan; ii) Unifikasi kejaksaan; iii) Penghapusan pembedaan
polisi kota & lapangan/pedesaan; iv) Pembentukan lembaga pendidikan hukum; v) Pengisian
secara besar-besaran jabatan-jabatan administrasi pemerintahan & hukum dengan rakyat
pribumi.
 Era Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal 
a. Era Revolusi Fisik
i) Melanjutkan unfikasi badan-badan peradilan dengan melaksanakan penyederhanaan; 
ii) Mengurangi serta membatasi peranan badan-badan pengadilan adat & swapraja, terkecuali
badan-badan pengadilan agama yg bahkan diperkuat dengan pembentukan Mahkamah Islam
Tinggi.
b. Era Demokrasi Liberal
Undang-undang Dasar Sementara 1950 yang sudah mengakui HAM. Namun pada era ini
pembaharuan hukum & tata peradilan tidak banyak terjadi, yang terjadi adalah dilema untuk
mempertahankan hukum & peradilan adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya
menjadi hukum nasional yang peka terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan
internasional. Selajutnya yang terjadi hanyalah unifikasi peradilan dengan menghapuskan
seluruh badan-badan & mekanisme pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan
negara, yang ditetapkan melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat
No. 1/1951 tentang Susunan & Kekuasaan Pengadilan.
 Era Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru 
a. Era Demokrasi Terpimpin
Perkembangan dan dinamika hukum di era ini
i) Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan & mendudukan MA & badan-badan
pengadilan di bawah lembaga eksekutif; 
ii) Mengubah lambang hukum "dewi keadilan" menjadi "pohon beringin" yang berarti
pengayoman; 
iii) Memberikan kesempatan kepada eksekutif untuk ikut campur tangan secara langsung atas
proses peradilan sesuai UU No.19/1964 & UU No.13/1965; 
iv) Menyatakan bahwa peraturan hukum perdata pada masa pendudukan tidak berlaku
kecuali hanya sebagai rujukan, maka dari itu hakim harus mengembangkan putusan-putusan
yang lebih situasional & kontekstual.
b. Era Orde Baru
Pembaruan hukum pada masa Orde Baru dimulai dari penyingkiran hukum dalam proses
pemerintahan dan politik, pembekuan UU Pokok Agraria, membentuk UU yang
mempermudah modal dari luar masuk dengan UU Penanaman modal Asing, UU
Pertambangan, dan UU Kehutanan. Selain itu, orde baru juga melancarkan: i) Pelemahan
lembaga hukum di bawah kekuasaan eksekutif; ii) Pengendalian sistem pendidikan &
pembatasan pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum; Kesimpulannya, pada era
orba tidak terjadi perkembangan positif  hukum Nasional.
 Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)
Semenjak kekuasaan eksekutif beralih ke Presiden Habibie sampai dengan sekarang, sudah
dilakukan 4 kali amandemen UUD RI 1945. Beberapa pembaruan formal yang terjadi antara
lain: 1) Pembaruan sistem politik & ketetanegaraan; 2) Pembaruan sistem hukum & HAM;
dan 3) Pembaruan sistem ekonomi.
Ciri-ciri Sistem Hukum
 terdapat perintah dan larangan
 terdapat sanksi tegas bagi yang melanggar
 perintah dan larangan harus ditaati untuk seluruh masyarakat
Tiap-tiap orang harus bertindak demikian untuk menjaga ketertiban dalam bermasyarakat.
Oleh karena itu, hukum meliputi berbagai peraturan yang menentukan dan mengatur
hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain yang dapat disebut juga kaedah
hukum yakni peraturan-peraturan kemasyarakatan.

Kaedah Hukum
Sumber-sumber yang menjadi kaedah hukum atau peraturan kemasyarakatan:
1. Norma Agama merupakan peraturan hidup yang berisi perintah dan larangan yang
bersumber dari Yang Maha Kuasa. Contoh: jangan membunuh, hormati orang tua, berdoa, dll
2. Norma Kesusilaan merupakan peraturan yang bersumber dari hati sanubari. contohnya:
melihat orang yang sedang kesulitan maka hendaknya kita tolong.
3. Norma Kesopanan merupakan peraturan yang hidup di masyarakat tertentu. contohnya:
menyapa orang yang lebih tua dengan bahasa yang lebih tinggi atau baik.
4. Norma Hukum merupakan peraturan yang dibuat oleh penguasa yang berisi perintah dan
larangan yang bersifat mengikat: contohnya: ttiap indakan pidana ada hukumannya.
Unsur-unsur Hukum
Di dalam sebuah sistem hukum terdapat unsur-unsur yang membangun sistem tersebut yaitu:
1. Peraturan yang mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan bermasyarakat
2. Peraturan yang ditetapkan oleh instansi resmi negara
3. Peraturan yang bersifat memaksa
4. Peraturan yang memiliki sanksi tegas.
Sifat Hukum
Agar peraturan hidup kemasyarakatan agar benar-benar dipatuhi dan di taati sehingga
menjadi kaidah hukum, peraturan hidup kemasyarakata itu harus memiliki sifat mengatur dan
memaksa. Bersifat memaksa agar orang menaati tata tertib dalam masyarakaty serta
memberikan sanksi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa yang tidak mau patuh
menaatinya.
Tujuan Hukum
Hukum bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum harus
pula bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat itu. Sementara itu,
para ahli hukum memberikan tujuan hukum menurut sudut pandangnya masing-masing.
1. Prof. Subekti, S.H. hukum itu mengabdi pada tujuan Negara yang dalam pokoknya
ialah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya.
2. Prof. MR. dr. L.J. Van Apeldoorn, tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup
manusia secara damai.
3. Geny, hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai keadilan, dan sebagai unsur
daripada keadilan disebutkannya “kepentingan daya guna dan kemanfaatan”.
4. Jeremy Betham (teori utilitas), hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-mata apa
yang berfaedah bagi orang.
5. Prof. Mr. J. Van Kan, hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap manusia
supaya kepentingan-kepentingan itu tidak dapat diganggu.

Berdasarkan pada beberapa tujuan hukum yang dikemukakan para ahli di atas, dapat
disimpulkan bahwa tujuan hukum itu memiliki dua hal, yaitu :
1. untuk mewujudkan keadilan
2. semata-mata untuk mencari faedah atau manfaat.
Selain tujuan hukum, ada juga tugas hukum, yaitu :
1. menjamin adanya kepastian hukum.
2. Menjamin keadilan, kebenaran, ketentraman dan perdamaian.
3. Menjaga jangan sampai terjadi perbuatan main hakim sendiri dalam pergaulan
masyarakat.
Sumber Hukum
Sumber hukum ialah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai
kekuatan-kekutatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang jika dilanggar
mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Sumber hukum dapat ditinjau dari segi :
1. Sumber hukum material, sumber hukum yang dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang,
misalnya ekonomi, sejarah, sosiologi, dan filsafat. Seorang ahli kemasyarakatan (sosiolog)
akan menyatakan bahwa yang menjadi sumber hukum adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi
dalam masyarakat. Demikian sudut pandang yang lainnya pun seterusnya akan bergantung
pada pandangannya masing-masing bila kita telusuri lebih jauh.
2. Sumber hukum formal, membagi sumber hukum menjadi :
 Undang-undang (statue), yaitu suatu peraturan Negara yang mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa Negara.
                   a) Dalam arti material adalah setiap peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah
yang dilihat dari isinya mengikat secara umum seperti yang diatur dalam TAP MPRS No.
XX/MPRS/1966.
                   b) Dalam arti formal adalah keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang
karena bentuknya dan dilibatkan dalam pembuatannya disebut sebagai undang-undang
 Kebiasaan (custom/adat), perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang
dalam hal yang sama kemudian diterima dan diakui oleh masyarakat. Apabila ada
tindakan atau perbuatan yang berlawanan dengan kebiasaan tersebut, hal ini dirasakan
sebagai pelanggaran.
 Keputusan Hakim (Jurisprudensi); adalah keputusan hakim terdahulu yang dijadikan
dasar keputusan oleh hakim-hakim lain dalam memutuskan perkara yang sama.
 Traktat (treaty); atau perjanjian yang mengikat warga Negara dari Negara yang
bersangkutan. Traktat juga merupakan perjanjian formal antara dua Negara atau lebih.
Perjanjian ini khusus menyangkut bidang ekonomi dan politik.
 Pendapat Sarjana Hukum (doktrin); merupakan pendapat para ilmuwan atau para
sarjana hukum terkemuka yang mempunyai pengaruh atau kekuasaan dalam
pengambilan keputusan.

STUDI KASUS :
 Respon masyarakat terhadap rancangan Undang-Undang yang melemahkan
KPK
7 Poin Revisi UU KPK Disahkan DPR, Isi yang Dinilai Lemahkan KPK,
Sikap Jokowi, Pegawai KPK Ricuh
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengesahkan revisi Undang-Undang Komisi
Pemberantasan Korupsi (UU KPK) pada rapat paripurna, Selasa (17/9/2019).
Rapat pengesahan UU KPK Nomor 30 Tahun 2002 tersebut dipimpin oleh Wakil
Ketua DPR RI, Fahri Hamzah.
Sebelumnya, berdasarkan rapat kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR dan pemerintah, Senin
(16/9/2019), ada tujuh poin perubahan RUU KPK yang disepakati.
Sejak awal bergulir, revisi UU KPK menuai kontroversi, pro dan kontra, hingga kritik dari
berbagai kalangan.
Meski demikian, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menegaskan, revisi UU Nomor 30
Tahun 2002 tentang KPK jalan terus meski mendapat kritik dari banyak pihak.
Isi yang Dinilai Lemahkan KPK
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Laode M Syarif menyebut ada sejumlah
isi revisi UU KPK yang dapat melemahkan penindakan di KPK.
Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif
Laode membeberkan, poin-poin tersebut antara lain dewan pengawas yang diangkat oleh
presiden yang menyebabkan komisioner tak lagi menjadi pimpinan tertinggi di KPK.

Kemudian, Laode menyebut status kepegawaian KPK akan berubah drastis dengan beralih


menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Lalu, penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan yang dilakukan KPK pun harus berdasarkan
izin dewan pengawas.
Menurut Laode, hal-hal di atas berpotensi mengganggu independensi KPK dalam mengusut
sebuah kasus korupsi.
DPR RI telah mengesahkan revisi UU KPL pada rapat paripurna Selasa siang.
Perjalanan revisi ini berjalan singkat.
Sebab, DPR baru saja mengesahkan revisi UU KPK sebagai inisiatif DPR pada 6 September
2019.
Dengan demikian, hanya butuh waktu sekitar 11 hari hingga akhirnya UU KPK yang baru ini
disahkan. Hanya 102 dari 560 anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna pengesahan
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU  KPK), Selasa (17/9/2019) siang.
Meski begitu, DPR dan pemerintah tetap mengesahkan UU KPK undang-undang tersebut.
Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengatakan, mekanisme rapat paripurna
di DPR tidak dihitung berdasar anggota DPR yang hadir secara fisik.
Melainkan dari jumlah tanda tangan di daftar hadir.
"Bahwa sistem di DPR itu yang izin yang sudah menandatangani daftar hadir itu yang
dianggap hadir," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa
(17/9/2019).
Menurut Arsul, tidak masalah jika anggota DPR hanya mengikuti rapat paripurna sebentar
lalu meninggalkan ruangan.
Sebab, kehadiran anggota dewan dihitung berdasar tanda tangan daftar hadir.
Dalam rapat paripurna siang tadi, anggota DPR yang menandatangani daftar hadir sebanyak
289. Artinya, jumlah tersebut dinilai sudah kuorum.
"Walaupun setelah katakanlah rapat paripurna berlangsung, beberapa saat kemudian
(anggota DPR) meninggalkan ruang rapat paripurna, yang paling penting secara tanda tangan
itu telah memenuhi kuorum," kata Arsul dikutip Kompas.com.
DPR telah mengesahkan revisi UU KPK. Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna pada
Selasa (17/9/2019).
Rapat paripurna pengesahan revisi Undang-undang KPK menjadi undang-undang
berlangsung selama 30 menit.

Tak ada satupun fraksi yang menolak pengesahan revisi Undang-undang KPK.


Hanya tiga fraksi yang menginterupsi rapat. Ketiga fraksi itu ialah Fraksi PKS, Gerindra, dan
Demokrat.
Namun, interupsi mereka tidak menolak pengesahan, melainkan hanya memberi catatan.
Penolakan Pegawai KPK Ricuh
Aksi protes para pegawai KPK sempat ricuh di halaman Gedung KPK, Kuningan, Jakarta
Selatan, Selasa (17/9/2019).
Aksi tersebut menyikapi Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang
disahkan DPR.
Keadaan sempat memanas ketika para pegawai KPK menyanyikan lagu Gugur
Bunga sebelum menutup aksi.
Saat itu, ada teriakan dari luar kelompok pegawai KPK. Akhirnya, nyanyian terhenti.
Dalam waktu bersamaan, ada kelompok lain yang juga berunjuk rasa di depan Gedung KPK.
Mereka mengaku mendukung revisi UU KPK.
Setelah teriakan tersebut, Kapolsek Setiabudi AKBP Tumpak berdebat dengan seorang
peserta aksi dari KPK.
Sontak, peristiwa itu mencuri perhatian peserta aksi lain yang langsung menyoraki Kapolsek.
"Tugasmu mengayomi, tugasmu mengayomi. Pak polisi, pak polisi, jangan ganggu aksi
kami," teriak pegawai KPK dikutip dari Kompas.com.
Setelah itu, Tumpak langsung meninggalkan lokasi dan situasi mereda.
Tumpak mengaku berusaha meredam suasana agar tidak terjadi bentrok dengan massa yang
sedang menggelar aksi di luar Gedung KPK.
"Yang massa di sini kan harus diam, nah masa di sana (dalam gedung) KPK biar diam ya. 
biar nggak bentrok. Gitu loh. Semua aman-aman saja," kata dia saat dikonfirmasi di lokasi.
Pantauan Kompas.com situasi depan gedung KPK sudah kondusif.
Sebelumnya, para pegawai KPK mengibarkan bendera kuning di depan gedung KPK.
Mereka keluar secara bersamaan. Masing-masing memegang bendera kuning, tanda duka
cita.
Aksi ini sebagai bentuk kekecewaan pegawai KPK atas Revisi UU KPK yang telah
disahkan DPR.
Mereka menganggap situasi KPK saat ini sedang dalam masa krisis. Mereka
merasa KPK dilemahkan.
"Kedekatan emosional karena mencintai KPK inilah yang membuat suasana sendu
ketika KPK dikebiri. Hanya koruptor yang akan tertawa melihat KPK lemah seperti ini.

Mereka seolah-olah menemukan kebebasan setelah 16 tahun dalam ketakutan akibat bayang-
bayang OTT KPK," kata Ketua Wadah Pegawai KPK, Yudi Purnomo dalam keterangan
persnya.
"Karena entah besok KPK akan dimiliki siapa. Karena dengan revisi ini, KPK tidak seperti
dulu lagi, gedung tetap ada namun nilai-nilainya tergerus," tambah dia.
Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK akhirnya disahkan dalam rapat
paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa.
Sikap Jokowi
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) (Instagram Jokowi @jokowi)
Presiden Joko Widodo menegaskan, revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jalan terus meski mendapat kritik dari banyak
pihak.
Jokowi pun mengajak semua pihak untuk mengawasi jalannya
pembahasan revisi UU KPK antara pemerintah dan DPR.
"Mengenai revisi UU KPK itu kan ada di (gedung) DPR (pembahasannya). Marilah kita
awasi bersama-sama, semuanya awasi," kata Jokowi di Hotel Sultan, Jakarta, Senin
(16/9/2019).
Jokowi juga menegaskan bahwa substansi revisi UU KPK yang diinginkan pemerintah
sampai saat ini tidak berubah dari yang sudah disampaikan sebelumnya.
Pemerintah menyetujui pembentukan Dewan Pengawas, penyadapan yang harus seizin
Dewan Pengawas.
Wewenang KPK bisa menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), hingga
status penyidik KPK sebagai aparatur sipil negara.
Substansi yang disusulkan pemerintah itu hanya sedikit berubah dari draf RUU KPK yang
diusulkan di DPR.
Misalnya, jangka waktu penghentian penyidikan yang diperpanjang dari satu tahun menjadi
dua tahun.
Lalu, Jokowi juga menolak KPK harus berkoordinasi dengan kejaksaan dalam melakukan
penuntutan.
Jokowi juga tidak setuju jika pengelolaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara
(LHKPN) dikeluarkan dari KPK.
"Saat ini pemerintah sedang bertarung memperjuangkan substansi-substansi yang ada
di revisi UU KPK yang diinisiasi oleh DPR seperti yang sudah sampaikan beberapa waktu
yang lalu," kata Jokowi.

Salah satu kritik terhadap revisi UU KPK adalah berpotensi hilangnya KPK sebagai lembaga


yang independen. 
Sebab, revisi UU KPK akan menghapuskan frasa KPK sebagai lembaga negara yang
independen dan "bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun".
Meski demikian, Jokowi tetap mengklaim bahwa revisi UU KPK dilakukan untuk
memperkuat lembaga antirasuah itu. Harapan itu kembali diungkap Jokowi.
"KPK tetap dalam posisi kuat dan terkuat dalam pemberantasan korupsi. Ini tugas kita
bersama," tuturnya.
Sebelumnya, revisi UU KPK mendapat kritik dan penolakan dari kalangan akademisi, aktivis
antikorupsi, hingga pimpinan KPK sendiri.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai klaim Presiden Joko Widodo yang ingin
memperkuat KPK lewat revisi Undang-Undang hanya delusi semata.
Donal menilai, sikap Presiden Jokowi atas revisi Undang-Undang KPK sebenarnya tak
berbeda jauh dari draf yang disusun DPR.
Ia menyimpulkan Presiden dan DPR sama-sama ingin merevisi UU untuk melemahkan KPK.
"Kalau DPR itu drafnya sangat melemahkan, presiden kadarnya lebih kecil dari DPR. Itu
saja. Poinnya tetap bertemu untuk memperlemah," ucap Donal dikutip dari Kompas.com.
Sementara itu, tiga pimpinan KPK menyatakan menyerahkan mandat pengelolaan
lembaganya ke Presiden karena merasa tidak pernah diajak bicara dalam
pembahasan revisi UU KPK.
Tiga pimpinan KPK itu yakni Agus Rahardjo, Saut Situmorang dan Laode Syarif. Ketiganya
juga beranggapan revisi UU yang dilakukan bisa melemahkan KPK.
7 Poin Revisi UU KPK
Sebelumnya, DPR dan pemerintah akhirnya menyepakati seluruh poin revisi Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(UU KPK).
Kesepakatan tersebut diambil dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) di ruang Badan Legislasi
(Baleg) DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/9/2019).
"Ada beberapa hal-hal pokok yang mengemuka dan kemudian disepakati dalam rapat panja,"
ujar Ketua Tim Panja DPR Revisi UU KPK Totok Daryanto saat menyampaikan laporan
hasil rapat.
Menurut Totok dilansir Kompas.com, ada tujuh poin perubahan yang telah disepakati
dalam revisi UU KPK.

Pertama, soal kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun
eksekutif dan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tetap independen.
Kedua, terkait pembentukan dewan pengawas.
Ketiga, mengenai pelaksanaan fungsi penyadapan oleh KPK.
Keempat, mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan Perkara (SP3)
oleh KPK.
Kelima, koordinasi kelembagaan KPK dengan aparat penegak hukum yang ada dalam
pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Keenam, terkait mekanisme penyitaan dan penggeledahan.
Ketujuh, sistem kepegawaian KPK.(*)
3 Cara yang Bisa Ditempuh untuk Gagalkan Revisi UU KPK
Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI) Ahmad Khoirul Umam
menyatakan masih ada setidaknya tiga cara menggagalkan pengesahan Revisi Undang
Undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
atau UU KPK.
Cara pertama, kata Khoirul, ialah melalui kewenangan Presiden Joko Widodo untuk tidak
menyetujui revisi UU KPK yang telah dibahas dan disetujui DPR.
Presiden masih memiliki waktu 60 hari mempertimbangkan UU yang kemarin disahkan
paripurna. Ini momentumnya.
Waktu 60 hari ini bisa jadi ajang pembuktian Presiden Jokowi tentang keberpihakannya
terhadap upaya pemberantasan korupsi. Interpretasi negatif bisa muncul dari publik jika
Jokowi tak mengambil sikap.
Ini momentum paling tepat kalau beliau ingin menunjukkan legacy yang kuat. Kalau tidak
sejarah akan mencatat Pak Jokowi peletak dasar pelemahan KPK.
Cara kedua, Presiden mengeluarkan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang atau Perppu. Langkah ini masih mungkin ditempuh oleh Jokowi jika benar punya
semangat memperkuat KPK.
Namun disebut Khoirul kans Jokowi mengeluarkan Perppu sangat kecil mengingat Jokowi
sendiri yang mengeluarkan surat rekomendasi kepada DPR tentang pembahasan Revisi UU
KPK.
Terakhir cara yang paling mungkin dilakukan ialah dengan cara mengajukan uji materi atau
Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Menurut pengakuan Khoirul, sudah banyak
lembaga masyarakat yang bersiap mengajukan Judicial Review jika Presiden menyetujui UU
KPK.

Secara prosedur masih ada permainan belum selesai kita berharap ada miracle di sana.
Teman-teman civil society sudah menyiapkan material JR.
Beberapa kelompok masyarakat yang diklaim Khoirul sudah menyiapkan draft JR ialah ICW
hingga kalangan akademisi. Salah satu poin yang akan diajukan sebagai JR disamping
substansial ialah kejanggalan proses pengesahan revisi UU KPK.
Dia berharap nantinya proses pengajuan JR bisa diterima baik oleh para hakim. Jika tidak,
menurut Khoirul, maka semua lembaga negara di Indonesia telah bersepakat untuk
melemahkan KPK.
Revisi UU Jangan Memperlemah KPK
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menyampaikan usulan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jangan sampai melemahkan peran
KPK dalam memberantas korupsi. 
"Kami menangkap kekhawatiran dari masyarakat bahwa jangan sampai revisi undang-undang
membuat peran KPK sebagai anak kandung reformasi dalam memberantas korupsi malah
menjadi lemah,” kata juru bicara PSI, Surya Tjandra.
Seluruh partai di DPR yang mengusulkan itu, menurut dia, harus bisa menjelaskan alasan
mereka mengajukan usulan revisi terhadap UU KPK.
Hal itu, kata dia, agar rencana revisi UU KPK tersebut tak menjadi “overkill” atau tindakan
yang berlebihan, di mana masalah yang memang dihadapi KPK mau diselesaikan dengan
mengubah KPK itu sendiri.
“KPK memang butuh banyak perbaikan, khususnya dari mekanisme internal penanganan
perkara, mekanisme penetapan tersangka, maupun sinergi antara direktorat di dalamnya.
Tetapi, ini sebagian bisa dilakukan dengan perbaikan SOP di dalam,” ucap Surya.
Menurut dia, pelaksanaan SOP dibutuhkan agar ada kepastian sistem internal karena
tantangan KPK kini bukan hanya dari luar, akan tetapi terutama dari dalam, guna menjaga
kepercayaan masyarakat.
“Revisi UU KPK harus bisa membantu menata sistem internal KPK yang lebih transparan,
akuntabel, dan tidak tercemar intervensi dari ideologi atau kekuatan politik tertentu,” katanya.
Untuk memastikan revisi UU KPK tidak melemahkan pemberantasan korupsi, Surya
mengajak masyarakat ikut memperhatikan manuver politik DPR.
Ia juga mengingatkan bahwa KPK juga mempunyai tanggung jawab untuk mendukung
kondisi yang baik untuk pembangunan, melalui sikap yang akuntabel dan profesional.
"Sekali lagi, kami mendukung KPK yang profesional dan transparan. Revisi UU KPK jangan
sampai memperlemah upaya pemberantasan korupsi di Indonesia," ujar dia.
PBNU Dukung Revisi
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Kiai Haji Said Aqil
Siroj mendukung revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh fraksi-
fraksi di DPR RI.
"Memang Undang-Undang KPK sudah berapa tahun? Sudah 10 tahun lebih 'kan? Semua
undang-undang kalau sudah terlalu lama harus dievaluasi," ujar Said Agil ketika ditemui usai
menghadiri Pelatihan NU Mobile di XOX Mobile, Petaling Jaya, Selangor, Malaysia, Jumat
(6/9) .
Said Agil menegaskan bahwa semua UU kalau sudah terlalu lama harus dievaluasi dan
diperbaiki sana sini karena sudah tidak relevan lagi.
"Pasti ada yang sudah tidak relevan. Jadi, saya mendukung sekali. Setiap undang-undang
setiap 10 tahun sekali harus dievaluasi," kata dia.
Menanggapi penolakan pimpinan KPK, Said Agil mengatakan, "Yang jelas semua harus
lebih lagi seperti penyadapan harus ada aturannya, kemudian penyidikan harus ada fatsun,
norma, atau akhlak dalam bahasa agamanya."

Dalam pandangan Said Agil, revisi UU KPK tidak berarti melemahkan KPK, tetapi orang
malahan makin percaya dan bangga dengan KPK.
"Tidak mengkhawatirkan KPK mencoreng nama baik bangsa justru KPK memperbaiki nama
baik bangsa," kata dia.
Tentang sikap pimpinan KPK yang berkirim surat kepada Presiden Jokowi untuk menolak
revisi UU KPK, Said Agil menegaskan kembali kalau dirinya mendukung revisi undang-
undang tersebut.
"KPK itu komisi yang diandalkan masyarakat sehingga masyarakat mengharapkan KPK
benar-benar efektif. Oleh karena itu, jangan sampai tindakan kelihatan liar tanpa norma.
Makin diperbaiki normanya sehingga baik di mata masyarakat," katanya.
Said Agil ikut unjuk rasa ke KPK karena waktu itu ada pihaknya yang anti-KPK.
"Untuk calon pimpinan yang terpilih, saya yakin Pak Jokowi akan menggunakan haknya
secara logis dan rasional serta objektif tidak memiliki kepentingan apa-apa. Saya yakin itu,"
tegasnya.

PENYELESAIAN MASALAH
Harus ada jalan tengah bagi persoalan ini, jalan tengahnya adalah RUU KPK ini sebaiknya
dibahas oleh DPR periode mendatang agar dapat menghasilkan produk legislasi yang bagus
dan partisipatif.
Masyarakat memandang anggota DPR saat ini terkesan 'kejar tayang' dalam membahas revisi
UU KPK sebelum masa tugasnya berakhir akhir bulan September. Bahkan DPR sama sekali
tak melibatkan elemen masyarakat sipil antikorupsi atau para pimpinan KPK sekalipun dalam
pembahasan tersebut. Padahal revisi itu terkait dengan nasib KPK sendiri.
Jokowi dan DPR harus transparan membahas RUU ini. Publik dan KPK berhak tahu dalam
proses kebijakan sepenting ini apa saja poin-poin yang sedang dibahas.
Selain itu, masyarakat menyinggung delik dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) terdapat asas keterbukaan kepada
masyarakat dalam membuat peraturan.
Berkaca pada hal itu, masyarakat memandang setidaknya butuh waktu yang tak singkat
dalam membahas undang-undang. Sebab DPR harus memperhatikan aspirasi masyarakat.
Masyarakat pun meminta DPR untuk mengikuti prosedur dalam UU PPP itu sebagaimana
mestinya seperti yang sudah diatur secara hukum. Terlebih lagi revisi UU KPK tidak masuk
dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun 2019.

Jokowi dan DPR harus meminta pandangan KPK terhadap RUU ini. Bagaimana mungkin
kebijakan yang mempengaruhi nasib KPK secara kelembagaan, KPK sendiri tidak dimasukan
dan didengarkan sebagai pihak yang berkepentingan terhadap UU ini. Masyarakat
menekankan bahwa publik sebenarnya tak akan alergi dengan perubahan suatu peraturan
perundang-undangan bila dilibatkan secara partisipatif dalam proses pembahasannya.
Menurutnya, hal itu berbanding terbalik dengan kondisi saat ini karena masyarakat tak
dilibatkan sama sekali dalam pembahasan RUU KPK.
Publik tak anti perubahan, namun DPR dalam waktu yang singkat ini, kebijakan publik apa
yg diharapkan? Apalagi RUU ini cacat formal karena tidak masuk dalam daftar prolegnas
prioritas 2019.
Terpisah, peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo
Jati menilai tak dilibatkannya elemen masyarakat sipil dam KPK dalam pembahasan revisi
UU KPK menjadi kesalahan fatal bagi DPR dan Jokowi saat ini.

Hal itu lantas berimplikasi memunculkan gejolak masyarakat yang menilai pemerintah
sedang berusaha melemahkan KPK secara sistematis saat ini. Dia pun meminta Jokowi
bertemu dengan pimpinan KPK sebagai jalan keluar untuk meredam situasi ini.
Masyarakat menduga Jokowi saat ini tengah terjebak oleh para parpol pendukungnya.
Sehingga mau tak mau harus mendukung langkah revisi UU KPK tersebut.
Melihat kondisi itu, Wasisto menilai sudah seharusnya Jokowi dan DPR menunda sementara
pembahasannya revisi UU tersebut. Ia menyarankan pembahasan dapat dilanjutkan oleh DPR
periode selanjutnya agar lebih komprehensif.
"Revisi UU KPK yang sekarang ini kan cacat secara legal dan sosial. Kalaupun mau disahkan
itupun juga tidak bisa berlaku surut karena harus nunggu PP. Saya pikir penundaan itu adalah
hal logis," kata dia.

Anda mungkin juga menyukai