Anda di halaman 1dari 5

Pentingnya peran pemerintah sebagaimana yang di sampaikan oleh Robert Dahl dan Giddens

berkaitan keberadaan perusahaan Air dan Listrik di Batam yang sepenuhnya dikelola oleh fihak
swasta. Pemko Batam sama sekali tidak berdaya menjaga kepentingan publik ketika perusahaan
air minum PT ATB dan PLN Batam menaikkan tarif sesuka hatinya. Pemko Batam selalu
berlindung di balik status PT. ATB dan PT. PLN yang swasta murni sehingga tidak bisa berbuat
apa-apa untuk kepenting publik. Padahal PT. ATB dan PT. PLN secara terang-terangan memeras
dan merampok rakyat. Tentang hal ini, penulis telah membahas secarang panjang lebar melalui
sebuah tulisan yang berjudul “ATB Dan Piramida Kurban Manusia” di Harian Sijori Mandiri,
Selasa 20 Juli 2007. Ketidakmampuan Pemko Batam melaksanakan fungsi pelayanan publiknya
mencerminkan sebuah pemerintah - meminjam istilah John Foster Dulles, mantan Menteri Luar
negeri AS - “seperti anak-anak yang tidak memiliki kapasitas untuk memerintah diri sendiri”.  (6)
Terserapnya sebagian besar anggaran untuk belanja rutin menunjukkan bahwa Pemko Batam
lebih mementingkan dirinya sendiri daripada masyarakat luas. Diluar anggaran rutin tersebut,
sedikitnya 20 persen dari nilai proyek anggaran publik yang dialokasikan melalui dinas-dinas
terkait habis terserap untuk PNS. Misalnya untuk panitia lelang, pengguna anggaran, bendahara,
pemegang kas, perjalanan dinas, ATK dan lain-lain. Keseluruhan honorarium ini diambil dari
biaya proyek tersebut. Menurut Yudi (anggota komisi II DPRD kotaBatam, pen), jika saja
masyarakat diberi kesempatan untuk membedah APBD Kota Batam, maka akan ditemukan
begitu banyak penghamburan duit masyarakat untuk hal – hal yang tidak perlu. (Sijori Mandiri,
18 Desember 2008).
Sebagai contoh, besarnya anggaran pendidikan tahun 2008 (Rp.180,888,076,241,25,-)
ternyata tidak menjamin penduduk miskin untuk mendapatkan akses pendidikan yang baik dan
berkwalitas. Sedikitnya terdapat “175 warga berusia 05-50 tahun masih buta huruf (aksara).
Mereka tersebar di daerah kantong kemiskinan seperti di wilayah hinterland. Sebagaimana
dikatakan Aliyanto, Kepala Sub Dinas Pendidikan Luar Sekolah, hasil pendataan tahun 2008
menunjukkan masih banyaknya warga yang belum memiliki kemampuan baca tulis.
Diperkirakan masih banyak lagi masyarakat buta aksara berlanjut hingga saat ini. "Pada
umumnya mereka masih usia produktif," ujarnya, kemarin”(Sijori Mandiri,4 Maret
2009). Kebanyakan anggota masyarakat yang buta aksara tersebut tersebar di wilayah hinterland
dan mainland seperti Sagulung, Sekupang dan Nongsa. Namun kemungkinan masyarakat yang
buta aksara bisa lebih banyak jumlahnya karena jangkauan pelayanan pendidikan bagi penduduk
miskin terutama yang berada di wilayah hinterland sangat terbatas.
Yang menarik justru keterbatasan pendanaan pemerintah kota Batam dijadikan alasan
tidak maksimalnya upaya penegembangan fasiltas pendidikan bagi penduduk miskin tersebut.
Hal ini tentu saja menimbulkan tanda tanya besar, bukankah alokasi APBD untuk anggaran
pendidikan tersebut diatas seharusnya mampu menjamin pelayanan pendidikan bagi penduduk
miskin? Seharusnya Pemko Batam dapat meniru kebijakan Pemkab Sinjai yang menerpkan
jaminan pendidikan bagi rakyatnya. Anekdot ini mungkin dapat menggambarkan alasan-alasan
tentang keterbatasan pendanaan tersebut, yaitu “perbedaan antara mafia dan pemerintah
adalah : “yang pertama tak bisa ditolak, sementara yang kedua tak bisa dimengerti”.
Adapun pelayanan publik dalam bidang kesehatan bagi penduduk miskin masih jauh dari
yang diharapkan. Berobat gratis bagi penduduk miskin yang selama ini coba diterapkan
Pemerintah kota Batam ternyata hanya sebatas uji coba, belum menjadi sebuah kebijakan politik
yang mampu menjamin hak-hak penduduk untuk mendapat pelayanan kesehatan secara baik.
Contoh kasus yang sangat merisaukan kita semua adalah ketika terjadi epidemik demam
berdarah yang telah menewaskan 6 orang yang kebanyak penduduk miskin beberapa waktu lalu.
Kepala Dinas Kesehatan kota Batam mengatakan bahwa hal tersebut belum termasuk kejadian
luar biasa karena jumlah yang meninggal baru hanya 6 orang. Tidak adanya penyikapan secara
serius dari pemerintah kota Batam menanggulangi bahaya penyakit DBD menjadi sebuah bukti
tentang rendahnya kwalitas pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin.
Dinas Kesehatan kota Batam gagal mendefinisikan penduduk miskin serta tidak mampu
merumuskan kebijakan tentang pelayanan publik bagi penduduk miskin.
Permasalahan tentang buruknya pelayanan publik lainnya adalah menyangkut lingkungan
hidup. Keberadaan Limbah B3 dari Korea Selatan sebanyak 3.800 ton yang saat ini berada di
area pemukiman penduduk di daerah Sagulung merupakan bukti nyata atas gagalnya Pemko
Batam menjamin terciptanya lingkungan hidup yang sehat dan bersih. Sejak bulan Februari
hinga saat ini Limbah B3 tersebut masih dibiarkan terletak tanpa ada upaya pencegahan dari
fihak-fihak yang terkait. Sangat jelas bahwa penimbunan Limbah B3 di wilayah pemukiman
adalah sebuah tindakan yang bukan saja mengabaikan hak-hak masyarakat atas lingkungan yang
sehat dan bersih, tetapi juga merupakan sebuah pameran arogansi kekuasaan atas penduduk
miskin di pemukiman tersebut.
Keberadaan Limbah B3 tersebut hanya salah satu contoh dari sekian banyak kasus-kasus
pencemaran lingkungan hidup di kota Batam. Ketidakmampuan pemerintah kota Batam
mengatasi persoalan pencemaran lingkungan hidup diperburuk oleh lemahnya pengawasan dari
instasi yang terkait dengan masuknya Limbah B3 ke Batam. Namun yang paling absurd bagi
masyarakat Batam terkait dengan kasus-kasus pencemaran lingkungan hidup adalah bahwa
semua semua kasus pencemaran dan perusakan lingkungan hidup berawal dari fakta, namun
berakhir menjadi fiksi. Sudah terbukti dengan kasus masuknya Limbah B3 sebesar 1.300 ton
yang yang dikelola oleh PT. APEL beberapa tahun yang lalu dan juga pengalokasian Hutan
Lindung Dam Baloi. Tidak ada satu fihak pun yang bertanggungjawab. Kasus tersebut tersebut
berubah menjadi fiksi.
Banyaknya kasus pencemaran lingkungan hidup baik yang terungkap ke publik maupun
yang tidak terungkap – maupun tentang buruknya pelayanan publik lainnya, seperti penanganan
banjir, kebersihan, pembuatan KTP, ijin usaha yang berbelit-belit, dan perusakan lingkungan
hidup membuat pemerintah kota Batam kehilangan kepercayaan publik. Kondisi ini tentu saja
berdampak atas hilangnya kepercayaan publik terhadap Pemko Batam. Pemerintah kota Batam
takkan dapat meyakinkan masyarakat dan pasar dalam jangka panjang jika kebijakannya
berlawanan dengan kebenaran. Kepercayaan itu penting, tapi kepercayaan tidak bisa dicomot
begitu saja dari antah berantah, demikian kata Allan Greenspan. Itu artinya, pemerintah yang
memang peduli kepada rakyat yang menimbulkan kepercayaan, bukan sebaliknya.(6)

Sumber: http://gebrakmanifesto.blogspot.com/2010/02/pelayanan-publik-pemerintah-kota-batam.html

 Segala bentuk korupsi baik penyuapan, penggelapan, penyelewengan, kolusi, nepotisme dan
gratifikasi sudah menjadi budaya dalam birokrasi pemerintahan di negara kita. Pejabat
administrasi negara dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pelayanan publik tidak
terlepas dari praktek-praktek korupsi dan budaya amplop. Saat ini masih banyak ditemui
pelayanan yang berbelit-belit dalam birokrasi sehingga memungkinkan untuk pemberian uang
pelicin kepada pejabat administrasi negara untuk memperlancar kegiatan administrasi.
b.     Banyaknya kasus penyuapan dan gratifikasi yang dilakukan oleh pejabat administrasi negara
kepada anggota DPR untuk melancarkan urusan administrasinya seperti meminta pemberian
ijin dan pengalihan pengurusan pengelolaan sumber daya alam tertentu kepada daerah. Contoh
kasusnya yaitu adanya kasus penyuapan dan gratifikasi yang dilakukan oleh Sekertaris Daerah
Bintan kepada Komisi IV DPR dalam pengalihan fungsi hutan lindung di Bintan.
c.     Masih banyaknya penyelewengan dan penggelapan dalam penggunaan dana baik dana APBN
dari pusat, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dana APBD, maupun Alokasi Dana
Desa. Biasanya harga-harga maupun jumlah item barang yang tercantum dalam laporan
keuangannya dibuat fiktif dan tidak sesuai fakta di lapangan.
d.     Adanya indikasi pemerasan, komisi, dan nepotisme yang dilakukan oleh pejabat administrasi
negara dalam sistem lelang atau tender yang diadakan pemerintah dalam pengadaan barang
dan jasa.
e.     Adanya mafia kasus dalam peradilan yang melibatkan aparat penegak hukum seperti
kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. Contoh kasus yang terjadi antara lain kasus penyuapan
Jaksa Urip oleh Artalyta Suryani untuk penanganan kasus Anggodo Widjojo. Kemudian kasus
penyuapan Kabareskrim Komjen Susno Duadji serta adanya kasus penyuapan dan pemerasan
anggota KPK Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah.
f.      Belakangan ini marak diperbincangkan di media massa maupun elektronik adanya kasus mafia
pajak yang dilakukan oleh Gayus Tambunan, salah satu dari pegawai perpajakan yang memiliki
harta milyaran dari hasil penyuapan beberapa wajib pajak dalam pengurusan dan penghapusan
tanggungan pajak beberapa wajib pajak tertentu. Kasus terbaru adalah Gayus Tambunan
berhasil menyuap pihak kepolisian dan kejaksaan senilai jutaan rupiah dengan tujuan agar
beberapa waktu dapat keluar dari tahanan dan dapat mengunjungi berbagai tempat yang
diinginkan. Gayus tertangkap kamera wartawan sedang melihat pertandingan tennis di Bali. Hal
ini memperlihatkan betapa mudahnya aparat penegak hukum disuap oleh para tersangka dan
terpidana.
Dari gambaran di atas, dapat kita ketahui bagaimana buruknya wajah para birokrat
Indonesia baik pejabat administrasi negara, kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan sebagainya
yang sarat akan praktek korupsi dalam bentuk penyuapan, pemberian gratifikasi, penggelapan,
penyelewengan dana APBN, pemerasan, komisi, dan nepotisme dalam pelaksanaan tender
dan sebagainya.
 
Kesimpulan
Di Indonesia banyak kasus yang berhubungan dengan etika dan moralitas. Kasus-kasus
seperti korupsi, penyuapan, penggelapan, gratifikasi dan mafia kasus dalam peradilan serta
mafia pajak yang terjadi belakangan ini tentunya sangat bertentangan dengan etika dan
moralitas. Etika birokrasi adalah suatu kebiasaan yang baik dalam birokrasi, yang kemudian
mengendap menjadi norma-norma atau kaidah atau dengan kata lain yang menjadi normatif
dalam perikehidupan manusia dan penyelenggaraan administrasi negara. Kode etik dapat
dijadikan sebagai pedoman bertindak bagi segenap aparat publik. Salah satu sumber formal
kode etik yang berlaku bagi setiap pegawai atau pejabat pemerintah adalah ketentuan
mengenai Sapta Prasetya KORPRI dan isi yang termuat dalam Sumpah Jabatan.

Saran
Etika dalam birokrasi pemerintahan merupakan hal yang sangat penting untuk
keberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan dan untuk menjaga citra birokrasi agar
birokrasi pemerintahan terus mendapat kepercayaan dari masyarakat. Pejabat pemerintah
dalam menjalankan pekerjaannya seharusnya sesuai dengan etika jabatannya masing-masing
dan mempunyai kewajiban serta tanggung jawab moral kepada masyarakat.
Hal yang perlu dilakukan untuk memberantas korupsi antara lain adanya komponen-
komponen yang berfungsi sebagai pengawas atau pengontrol, sehingga ada proses  check and
balance. Masyarakat seharusnya ikut berpartisipasi dalam upaya pemberantasan korupsi.
Kemudian perlu adanya perampingan birokrasi agar birokrasi lebih efektif dan efisien serta
untuk mencegah bertambahnya pegawai yang melakukan korupsi.
Dalam perumusan kebijakan, pejabat administrasi negara perlu untuk lebih
memperhatikan kepentingan umum (public interest). Pemerintah seharusnya terus melakukan
reformasi birokrasi dengan menerapkan tata pemerintahan yang baik (good governance) dalam
penyelenggaraan pemerintahan agar birokrasi pemerintahan di Indonesia lebih akuntabel,
transparan, responsive, efektif dan efisien.

Daftar Pustaka
Joeniarto. 1984. Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara. Bina Aksara : Jakarta.
1.

Anda mungkin juga menyukai