Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

HUBUNGAN NEGARA DAN AGAMA

Disusun oleh:
Reska Amelia 1204040094
Rifan Nur Rohmatullah 1204040097
Rozanah Dhatil Bayan 1204040101
Siti Nuraisah 1204040108

Dosen Pengampu PPKN: Dr. H. Dadang Kuswana, M. Ag.

PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
BANDUNG
ANGKATAN 2020/2021

1
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik
dan Hidayahnya,sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah mengenai
Hubungan Negara dan Agama ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun
pedoman bagi pembaca.

Makalah ini kami susun guna memenuhi tugas Mata Kuliah PPKN dari Bapak Dr. H. Dadang
Kuswana, M.Ag. selaku Dosen Pengampu.

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca. Oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.sehingga
kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih
baik.

Bandung, 15 April 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI
Cover
Kata Pengantar.......................................................................................................................... 2
Daftar isi.................................................................................................................................... 3
BAB I
PENDAHULUAN..................................................................................................................... 4
Latar belakang........................................................................................................................... 4
Rumusan Masalah..................................................................................................................... 4
Tujuan Penulisan....................................................................................................................... 4
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Negara dan Agama.................................................................................................. 5
Hubungan Agama dan Negara Menurut para Ulama............................................................... 7
Akar Historis Hubungan Agama dan Negara........................................................................... 9
Hubungan Antara Agama dan Negara di Indonesia............................................................... 13
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan............................................................................................................................ 17
Daftar Pustaka....................................................................................................................... 18

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Modernisasi politik di Indonesia dalam tingkat tertentu telah menimbulkan
sekularisasi politik. Namun, di negara yang ber ideologi pancasila ini, proses itu tidak
akan mengarah kepada negara sekuler. Hubungan antara agama dan negara, adalah
hubungan persinggungan, tidak sepenuhnya ter integrasi dan tidak pula sepenuhnya
terpisah. Di era reformasi ini, modernisasi politik yang demokratis ber implikasi
kepada munculnya partai partai baru , termasuk partai-partai Islam. Di sisi lain,
ekspresi kebebasan dalam dalam kasus-kasus tertentu telah menimbulkan perselisihan
dan konflik yang bisa mengganggu harmoni sosial dan integrasi bangsa. Dalam
konteks ilmiah agama dapat memberikan kontribusi yang positif sebagai faktor
integratif yang menghargai kemajemukan masyarakat dan bukan sebagai faktor
disintegratif yang mendukung eksklusifisme dalam masyarakat.
Makalah ini akan menganalisis hubungan negara dengan agama dalam
pandangan pemikiran masyarakat Islam.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian negara dan agama?
2. Bagaimana hubungan negara dan agama menurut para ulama?
3. Bagaimana akar historis hubungan negara dan agama?
4. Bagaimana hubungan antara negara dan agama di Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui pengertian negara dan agama
2. Mengetahui hubungan negara dan agama menurut para ulama
3. Mengetahui akar historis hubungan negara dan agama
4. Mengetahui hubungan antara negara dan agama di Indonesia

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian negara dan agama

Negara dalam terminologi secara umum, melahirkan beberapa pengertian Namun,


negara dalam terminologi Islam yang diistilahkan dengan dawlah, pengertiannya selalu
merujuk pada Al-Qur’an yang menggunakan term al-balad dan derivasinya. Kata al-balad
secara leksikal berarti tinggal di suatu tempat, kota atau daerah, dan negeri. Kata al-balad
yang berarti kota ditemukan dalam QS. al-Balad (90): yang artinya “(Aku benar-benar ber
sumpah dengan kota ini (Mekah), dan kamu (Muhammad) bertempat di kota Mekah ini)”.
Sedangkan derivasi kata al-balad yang berarti negeri ditemukan dalam QS. al-Fajr (89):11,
yang artinya: “yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri ini).” Pengertian yang sama,
juga terdapat dalam QS. al-Furqân (25): 49, yakni “(agar Kami menghidupkan dengan air itu
negeri yang mati)”
Berdasarkan ayat-ayat di atas, dapat dipahami bahwa masalah negara memang ada
dalilnya dalam Al-Qur’an. Namun, dari dalil-dalil tersebut tidak ditemukan pengertian negara
secara akurat. Karena itu, Muhammad Izzat Darwazah ketika mengelompokkan ayat-ayat
tentang negara, ia berkesimpulan bahwa di dalam Al-Qur’an tidak terdapat ayat yang
menyebut sistem dan bentuk negara dalam Islam. Berdasar pada kesimpulan tersebut, dan
untuk menemukan pengertian negara dalam perspektif Islam, terlebih dahulu harus merujuk
pada unsur-unsur negara itu sendiri. Dalam hal ini, al-Mawardi menyebutkan unsur-unsur
negara sebagai berikut:
1. Di dalam negara ada agama yang dihayati. Agama yang diperlukan sebagai
pengendali hawa nafsu dan pengawas melekat atas hati manusia, karenaya merupakan
sendi sekaligus unsur yang terkuat bagi kesejahteraan dan ketenangan negara.
2. Di dalam negara, ada penguasa yang berwibawa. Dengan wibawanya dia dapat
mempersatukan aspirasi-aspirasi yang berbeda, dan membina negara untuk mencapai
sasaran-sasarannya yang luhur.
3. Di dalam negara, harus ada keadilan yang menyeluruh. Terwujudnya keadilan akan
menciptakan persatuan, membangkitkan kesetiaan rakyat, memakmurkan negara yang
akhirnya mengamankan kedudukan penguasa serta menjamin stabilitas dalam negeri.

5
4. Di dalam negara, harus tercipta keamanan yang merata. Dengan meratanya keamanan,
rakyat dapat menikmati ketenangan batin, inisiatif dan daya kreasi akan berkembang
di kalangan rakyat.
5. Di dalam negara, terwujud kesuburan tanah. Dengan kesuburan tanah, kebutuhan
rakyat akan bahan makanan dan kebutuhan materi yang lain dapat terpenuhi, dan
dengan demikian dapat dihindarkan perebutan dengan segala akibat buruknya.
6. Di dalam negara, ada generasi. Generasi sekarang punya kaitan erat dengan generasi
yang akan datang, maka generasi sekarang pewaris generasi yang lalu. Karenanya
harus dipersiapkan generasi yang bersikap optimisme
Sedangkan Ibn Abi Râbi’ berpendapat, bahwa untuk mendirikan negara diperlukan
dua unsur dan sendi. Pertama, harus ada wilayah di dalamnya, terdapat terdapat air bersih,
tempat mata pencaharian, terhindar dari serangan musuh, jalan-jalan raya, tempat shalat
di tengah kota, dan pasar-pasar. Kedua, harus ada raja atau penguasa sebagai pengelola
negara yang akan menyelenggarakan segala urusan negara dan rakyat.
Relevan dengan uraian di atas, negara dalam perspektif Islam menurut rumusam
penulis adalah suatu daerah kekuasaan yang memiliki batas-batas wilayah, di dalam
wilayah tersebut ada kelompok, persekutuan manusia yang beragama, ada penguasa, ada
keadilan dan tercipta suasana yang aman, kesuburan tanah, serta ada generasi pelanjut.
Berdasarkan pengertian negara yang telah dikemukakan di atas, terungkap bahwa
salah satu unsur terpenting dalam suatu negara adalah agama itu sendiri. Dengan adanya
agama, maka tercipta keadilan dan suasana yang aman. Ajaran agama juga memotivasi
penganutnya untuk menjadikan negara yang dihuninya menjadi subur, dan mereka yang
ditugasi dalam pengelolaan negara adalah para generasi sekarang dan mendatang. Jadi,
kelihatan bahwa agama merupakan unsur terpenting dalam sebuah negara menurut
perspektif Islam.
Agama secara redaksional memiliki banyak pengertian. Di dalam Al-Qur’an disebut
dengan term al-dîn dan atau al-millah. al-dîn dan al-millah adalah sama-sama bersumber
dari Tuhan. Namun, kata al-dîn dalam Al-Qur’an kelihatannya selalu merujuk pada
pengertian Islam yang dianut oleh Nabi Muhammad saw,22 sementara al-millah adalah
merujuk pada agama Islam yang dianut oleh nabi-nabi atau orang-orang selain Nabi
Muhammad saw. Dari sini, dapat dipahami bahwa agama apa pun namanya, ketika ia
bersumber dari Tuhan dan menyembah Tuhan satu, kemudian penganutnya mengerjakan
amal shaleh maka diberi pahala dari Tuhan.

6
Dalam QS. al-Baqarah (2): 62, yang artinya “‘Sesungguhnya orang-orang mu'min,
orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di
antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal
saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Ayat ini secara jelas menyatakan bahwa kaum Shabi’ûn, di samping Yahûdi dan
Nashrâni yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian serta melakukan
amal shaleh, akan mendapat pahala di sisi Tuhan. Penafsiran lebih lanjut mengenai ayat
tersebut, kebanyakan ulama menyata-kan bahwa kedudukan agama yang dipeluk oleh
kaum penganut Kristen, Hinduisme, Budhisme, Kon Fu Tse, Shinto dan Islam adalah
sama.24 Pendapat senada, juga dikemukakan oleh Muhammad Rasyid Ridha. Sekaitan
dengan ini, Dr. H. Moh. Qashim Mathar, MA juga menyatakan bahwa Tuhan yang
mereka sembah adalah sama dengan Tuhannya agama Islam.
Berdasarkan pendapat-pendapat sebelumnya dapat dipahami, bahwa semua agama
yang menganggap bahwa “Tuhan itu Esa” adalah sama dengan Tuhannya agama Islam.
Tuhan yang disembah oleh Islam, itu pula Tuhan yang disembah oleh agama lain.
Menurut penulis bahwa pendapat demikian, didasarkan pada kenyataan sejarah dan
informasi Al-Qur’an sendiri bahwa semua umat sebelum diutusnya Nabi saw telah diutus
kepada mereka rasul-rasul. Akan tetapi, sebagian di antara mereka tidak diinformasikan
oleh Al-Qur’an. Dengan demikian dapat dipahami, bahwa ajaran agama-agama yang ada
sekarang, tidak mustahil bersumber pula dari Allah swt.
Agama diturunkan oleh Allah swt, berfungsi sebagai pembimbing dan pemberi
petunjuk. Dengan fungsi seperti ini, maka agama memiliki tujuan untuk untuk memberi
keselamatan dan kebahagiaan yang abadi kepada penganutnya, sehingga hidupnya
menjadi tenteram (al-amn), baik di dunia maupun di akhirat kelak. Fungsi-fungsi agama
tersebut, tentu pula mencakup untuk kesejahteraan dan kedamaian masayarakat dalam
sebuah negara, bilamana penganutnya menjalankan ajaran agama dengan sebaik-baiknya.
2.2 Hubungan agama dan negara menurut para ulama
Pandangan mengenai hubungan antara agama dengan Negara ada tiga. Pertama,
mereka berpendirian bahwa, Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat,
yakni hanya menyangkut hubungan antar manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah satu.
Agama yang sempurna dan yang lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan
manusia termasuk kehidupan bernegara. Ulama-ulama utama yang memiliki pandangan
seperti ini antara lain, Syekh Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Syekh Muhammad Rasyid

7
Ridhâ, dan yang paling vokal adalah Abû al-A’lâ al-Mawdûdi. Abû al-A’lâ al-Mawdûdi
menegaskan, bahwa ajaran Islam yang berkaitan dengan pemerintahan, dan yang
diimplementasikan oleh Nabi saw dengan membangun negara Madinah
Pandangan atau aliran yang kedua mengemukakan, bahwa Islam adalah agama dalam
pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut
pandangan ini, Nabi Muhammad saw, hanyalah seorang rasul biasa seperti halnya rasul-rasul
sebelumnya yang bertugas tunggal mengajak manusia kembali ke jalan yang mulia dan
menjunjung tinggi budi pekerti luhur, tidak pernah dimaksudkan mendirikan dan mengepalai
suatu negara. Ulama atau tokohnya adalah ‘Âli Abd. al-Râziq dan Thâha Husain.
Pandangan atau aliran yang ketiga menolak pendapat yang menyatakan bahwa Islam
adalah agama yang serba lengkap, menolak pula bahwa Islam terdapat sistem kenegaraan.
Pandangan ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat
yang hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Maha Penciptanya. Pandangan ini
berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat
seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Ulama atau tokohnya yang tekenal
antara lain Muhammad Husain Haikal.
Menurut Muhammad Haikal, bahwa kehidupan bernegara bagi umat Islam itu baru
dimulai pada waktu Nabi saw berhijrah dan menetap di Madinah. Di tempat yang baru itulah
Nabi saw berdasarkan wahyu-wahyu melatakkan ketentuan-ketentuan dasar bagi kehidupan
keluarga, pembagian waris, usaha dan jual beli. Tentang apakah ajaran Islam lebih dekat
dengan sistem republik dari pada sistem kerajaan, Haikal menyatakan bahwa memang
khalifah pada periode pertama Islam itu dibaiat berdasarkan musyawarah, dan tidak selalu
melalui pemilihan langsung, dan oleh karenanya tidak dapat dikatakan serupa dengan sistem
parlementer atau sistem perwakilan. Dengan pembaitan oleh rakyat setelah konsultasi dengan
tokoh-tokoh masyarakat kiranya dapat dikatakan bahwa kedudukan para khalifah tersebut
lebih dekat dengan kedudukan presiden daripada kedudukan raja.
Pada awal tahun 40-an, Soekarno telah mulai melontarkan gagasan-gagasannya
mengenai Islam tatkala dia meringkuk dalam penjara di Bandung tahun 1929-1931 dan ketika
dibuang di Flores tahun 1934-1938. Pada masa itu, ia dipaksa mempelajari Islam. Menurut
Deliar Noer dorongan itu timbul karena gencarnya arus kristenisasi saat berada di lingkungan
penjara. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan buku mengenai Islam, Soekarno dikirimi
oleh Tuan Hasan pemimpin Persis Bandung. Hasan juga melakukan surat-menyurat dengan
Soekarno untuk meladeni pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya.

8
Gagasan Soekarno tersebut dimuat dalam Panji Islam Nomor 12 tanggal 25 Maret
1940 dengan judul “Memudahkan Pengertian Islam.” Dalam artikelnya tersebut, Soekarno
mengecam sikap taqlid dan menyatakan ketidak setujuannya pada hukum fiqh. Ia mengajak
untuk melakukan interpretasi ajaran Islam dengan menggunakan rasio, Islam bisa
berkembang apabila ada kemerdekaan roh, kemerdekaan akal dan kemerdekaan ilmu
pengetahuan. Namun yang lebih mengejutkan Soekarno kelihatannya hendak meniru
modernisasi di Turki seperti yang dilakukan Kemal al-Tattûr pada waktu memimpin revolusi
kaum muda yang menghapuskan lembaga khilâfat, dalam usahanya memajukan Turki
memisahkan agama dalam kehidupan negara serta menghapuskan syariat sebagai sumber
hukum agama tertinggi dalam negara.
Tampaknya Soekarno sepaham dengan konsep agama dan negara. Dalam
pandangannya mengenai Turki, Soekarno melihat dari segi sejarah bahwa Turki mengalami
keterbelakangan pada masa dinasti Usmani yaitu ketika agama dan negara masih jadi satu.
Pada masa itu berkembang sikap fitalisme dan kepercayaan total pada takdir. Karena itu,
Soekarno berpandangan kemajuan Turki masa al-Tattûr disebabkan pemisahan agama dalam
kehidupan politik.
Kalau di Indonesia, Soekarno berpendapat, bahwa cita-cita kemerdekaan Indonesia
adalah kehidupan demokrasi dengan mengadakan badan perwakilan rakyat. Pada lembaga ini
hukumhukum Islam bisa saja dimasukkan asalkan mendapatkan persetujuan para anggota,
itulahsebabnya dianjurkan agar umat Islam merebut kursi mayoritas dalam parlemen, dan
tetap memisahkan agama dengan kehidupan politik. Gagasan Soekarno tersebut timbul reaksi
dari kalangan Islam di antaranya dari Muhammad Natsir memberikan tanggapan bahwa
menilai suatu keadaan di dunia Islam dengan menggunakan referensi Barat sesungguhnya
sangatlah tidak obyektif, sebab dalam kacamata mereka ada perasaaan apriori terhadap apa
yang berbau Islam, karena itu Natsir menganjurkan agar pandangan negatif terlebih dahulu
harus dibuang.
Ulama lain, seperti Hamka, menolak konsep pemisahan agama dan negara.
Menurutnya ajaran Islam tidak mengenal sama sekali pemisahan agama dengan negara. Yang
dikenal dalam ajaran Islam hanyalah perhubungan antara dua kehidupan, yaitu kehidupan
dunia dan kehidupan akhirat. Ajaran Islam menunjukkan jalan bagaimana agar manusia
selamat dalam kedua kehidupan itu.
Berdasarkan pandangan para ulama yang telah dipaparkan di atas, dapat
dikemukakan, bahwa konsep negara dan agama memiliki relevansi yang sangat signifikan
pada aspek demokrasi. Tidak berlebihan, jika saat ini bentuk negara demokrasi justru

9
dianggap yang paling refresentatif terhadap nilai-nilai agama, ketimbang bentuk-bentuk lain
yang berkembang di negara-negara muslim. Karema itu, demokrasi dalam sebuah negara di
pandang sebagai aturan politik yang paling layak, dan agama diposisikan sebagai wasit moral
dalam mengaplikasikan demokrasi itu sendiri.
2.3 Akar Historis Hubungan Negara dan Agama
Secara teoritis, negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena memiliki
wewenang yang memaksa secara sah, lebih unggul daripada kelompok atau individu yang
merupakan bagian dari masyarakat tersebut. Ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa
negara adalah daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat atau yang
berhasil mewajibkan warganya untuk taat melalui kontrol kekuasaan. Sementara itu, bangsa
adalah suatu kelompok yang memiliki kesamaan kehendak, berada dalam satu wilayah, dan
ada kehendak untuk membentuk pemerintahan. Oleh sebab itu, negara bangsa dapat dipahami
sebagai suatu kelompok warga negara yang memiliki kesamaan cita-cita untuk membangun
suatu sistem pemerintahan dengan mentaati peraturan perundang-undangan yang
diberkalukan, termasuk di dalamnya membangun hubungan antara negara dengan agama
yang dianut oleh warganya dalam suatu wilayah. Adapun kata Islam berarti masuk ke dalam
kedamaian, sedangkan secara istilah, Islam berarti agama yang mengajarkan kepasrahan
kepada Allah, bertauhid dan tunduk kepada-Nya, dan kedamaian, sehingga kata ad-din
menurut Ibn Abbas mencakup akidah, hukum, etika dan ibadah yang dijelaskan secara rinci,
sedangkan masalah interaksi sosial (mu’amalat) hanya dijelaskan secara global. Adapun
Islam yang dimaksud di sini adalah norma agama Islam mengajarkan kedamaian atau
kemasahatan sosial masalih al-‘amm yang berada dalam lingkup mu’amalat walaupun aspek
lainnya masih terkait. Islam sebagai agama yang sempurna selalu mengakui sifat alami
perkembangan manusia dan tidak menghalanginya.
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa adanya organisasi kemasyarakatan menjadi
keniscayaan bagi manusia sebagai makhluk sosial atau politik. Manusia tidak dapat hidup
tanpa adanya organisasi. Berkaitan dengan masalah negara, umat Islam mulai hidup
bernegara sejak Nabi saw hijrah ke Yastrib, yang kemudian diubah menjadi Madinah. Di
Madinah inilah lahirlah suatu komunitas bangsa yang hidup bersama dengan satu tujuan
untuk membangun negara berdasarkan kehidupan yang majemuk, baik dari segi agama (ada
golongan Muslim dan non-Muslim) maupun dari segi golongan, yaitu golongan Anshar
(pengikut Nabi yang berasal dari Madinah) dan Muhajirin (pengikut Nabi dari Makkah).
Setelah menetap di Madinah, Nabi saw kemudian merumuskan dan mengumumkan Piagam
Madinah. Menurut para ahli politik, Piagam Madinah dipandang sebagai konstitusi atau

10
undang-undang dasar negara bagi negara Madinah yang pertama yang didirikan oleh Nabi
saw. Isi pokok Piagam Madinah menggambarkan sifat kemajemukan sebagai suatu bangsa,
bukan sebagai suatu negara yang berdasarkan agama tertentu. Hal ini dapat dilihat dari isi
Piagam Madinah yang dinyatakan di antaranya; “Kaum Muslimin adalah umat yang bersatu
utuh, mereka hidup berdampingan dengan kelompok-kelompok masyarakat yang lain”,
“Semua warga akan saling bahu-membahu dalam menghadapi pihak lain yang melancarkan
serangan terhadap Yasrib (Madinah)”, dan “Surat Perjanjian ini tidak mencegah (membela)
orang yang berbuat aniaya dan dosa. Setiap orang dijamin keamanannya, baik sedang berada
di Madinah maupun sedang berada di luar Madinah, kecuali berbuat aniaya dan dosa”.
Prinsip hidup berbangsa dan bernegara yang dibangun Nabi saw tersebut bersifat
egaliter, inklusif, pluralis dan aspiratif. Salah satu contoh prinsip tersebut digambarkan dalam
penyusunan naskah Perjanjian Hudaibiyah, Nabi saw. menerima masukan dan aspirasi dari
utusan Qurasy, Suhail ibn Amr. Suhail memiliki kehendak politik yang bertahan dengan
kepentingan politiknya dan tidak mau kompromi dengan rumusan yang ditawarkan Nabi saw.
Munawir Syadzali mengambarkan:
Sebagai awal perjanjian Nabi memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk menuliskan: “
Dengan Nama Tuhan Maha Penyayang dan Maha Pengasih”, Suhail memotongnya dengan
mengatakan bahwa ia tidak mengenal sifat-sifat “Maha Penyayang dan Maha Pengasih” itu,
dan dia memintah untuk diganti menjadi “Dengan nama-Mu ya Tuhan”, dan Nabi
perintahkan kepada Ali untuk mengikuti keinginan Suhail. Ketika Nabi meminta Ali untuk
menulis: “Berikut ini adalah naskah perjanjian yang dicapai oleh Muhammad utusan Allah
dan Suhail bin Amr”, Suhail juga memotongnya dengan mengatakan bahwa kalau ia terima
atau percaya bahwa Beliau adalah utusan Allah, ia tidak akan memusuhinya, dan dia meminta
agar kata-kata “Muhammad utusan Allah” diganti dengan hanya “Muhammad bin Abdullah”-
suatu hal yang membuat marah para sahabat. Tetapi Nabi sekali lagi minta kepada Ali untuk
menulis sesuai dengan yang dikehendaki oleh Suhail.
Penyusunan naskah Perjanjian Hudaibiyah tersebut menjadi peristiwa penting bahwa
Nabi saw. memiliki sikap inklusif dan aspiratif dalam membangun naskah perjanjian tersebut.
Walaupun ada upaya untuk menghapus simbol-simbol formal ketuhanan dan kerasulan dalam
naskah tersebut, tetapi Nabi saw tetap menerimanya karena substansi norma agama Islam
dapat dilaksanakan dengan baik. Dengan sikapnya yang inklusif dan aspiratif tersebut, Nabi
saw mampu membangun kesepakatan dengan orang-orang Qurasy Makkah, sehingga Nabi
saw. dan para sahabatnya bisa melaksanakan ibadah umrah di Makkah pada tahun berikutnya.

11
Nabi saw. sebagai pemimpin mengatur masyarakat Madinah dengan cara menetralisir
kekuasaan kelompok-kelompok sosial yang sering menimbulkan konflik fisik. Kekuatan
politik kenegaraan yang dibangun Nabi ditujukan untuk mengatur hubungan manusia dalam
masyarakat, mengontrol dan menertibkan tata kehidupan masyarakat yang berpotensi konflik.
Lahirnya sejumlah pernjanjian menurut Muhammad Marmaduke Picktal dalam bukunya The
Meaning of Glorious Koran menjadi bukti bahwa Nabi saw. telah membangun tata kehidupan
politik kenegaraan dan keagamaan untuk mengatur kepentingan umum sebagai undang-
undang dasar negara. Lahirnya sejumlah naskah perjanjian menjadi bukti bahwa negara
Madinah telah terbentuk, walaupun Nabi saw tidak pernah mendeklarasikan pendirian Negara
Islam, tetapi dengan negara Madinah, norma agama Islam yang mengatur urusan duniawi dan
ukhrawi dapat dijalankan sebagaimana mestinya.
Dalam ilmu politik, negara pimpinan Nabi saw memenuhi syarat sebagai negara
karena adanya unsur wilayah, kota Madinah, rakyat yang terdiri dari kaum Muhajirin, kaum
Anshar dan kaum non-Muslim, dan pemerintahan yang berdaulat berlandaskan Piagam
Madinah. Piagam Madinah menjadi dasar konstitusional untuk menjalankan sistem
pemerintahan yang mampu melindungi dan mengayomi hak-hak warganya yang majemuk
dan menjalin kerjasama dengan negara-negara tetangga. Negara pimpinan Nabi saw. terus
menjaga ketertiban dan keamanan, mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran,
mewujudkan keadilan dan memberantas segala bentuk pelanggaran hukum.
Sifat inklusif dan aspiratif Nabi saw. kemudian diikuti oleh para sahabatanya. Abu
Bakar ketika terpilih menjadi khalifah pertama setelah wafatnya Nabi saw, ia menyatakan
secara terbuka bahwa ia bukanlah yang terbaik dari warganya walaupun menjadi pemimpin.
Warganya diminta untuk mendukung jika menjalankan pemerintahan dengan benar, tetapi
hendaknya mengoreksi jika berada dalam jalan yang salah. Umar ibn Khattab juga
menyampaikan pidato pertamanya setelah terpilih menjadi khalifah yang kedua dengan
menyatakan bahwa jika ia memerintah negara dengan benar, bantulah, tetapi jika berjalan
pada jalan yang salah, perbaikilah.
Utsman bin Affan sebagai khalifah ketiga memerintah dengan jalan yang lebih lunah
berbeda dengan Umar, ia memberikan intruksi kepada para pembantuya untuk mengayomi
dan melindungi warganya seraya memenuhi hak-hak warganya bukan hanya meminta
kewajiban rakyat untuk membayar zakat atau pajak. Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah
terakhir menyampaikan pidato pertamanya untuk mengikuti perintah al-Qur’an dan Sunnah
serta melindungi hak-hak warganya.

12
Dalam teori perubahan sosial sebagaimana dikemukakan Umar Kayam dalam
karyanya yang berjudul Pergeseran Sosial Budaya dan Implikasinya dalam Pembangunan,
apa yang dilakukan Nabi saw dan para sahabatnya merupakan proses pembebasan dari segala
bentuk penindasan dan belenggu, yaitu belenggu jahiliyah. Namun tidak hanya itu yang
dilakukan Nabi saw. dan para sahatnya, tetapi juga sekaligus melakukan pembentukan nilai-
nilai baru, yaitu tata kehidupan kenegaraan berdasarkan Piagam Madinah. Dengan Piagam
Madinah, Nabi dan para sahabatnya kemudian melakukan integrasi nilai-nilai universal
norma agama Islam ke dalam tata kehidupan kenegaraan.
Dalam sudut pandang non-Muslim, Uskup Sidon Paul of Antioch, seorang pemuka
agama dari sekte Malikite, yang hidup pada awal abad ke-12 mengakui bahwa ia tidak saja
mengakui nilai luhur norma agama Nabi saw yang mampu menata kehidupan kenegaraan,
bahkan mengakuinya sebagai salah seorang Nabi yang diutus kepada bangsa Arab.
Montgomery Watt juga mengakui bahwa Nabi saw adalah benar-benar Nabi dan umat
Kristen harus mengakui hal ini berdasarkan agama Kristen. Sebab, sepanjang masa, agama
Islam telah melahirkan banyak orang-orang lurus yang mampu menegakkan keadilan dan
hukum.
3.4 Hubungan Antara Agama dan Negara di Indonesia
Dalam sejarah Islam, ada tiga tipologi hubungan antara agama dan negara. Din
Syamsudin membaginya sebagai berikut: Pertama, golongan yang berpendapat bahwa
hubungan antara agama dan negara berjalan secara integral. Domain agama juga menjadi
domain negara, demikian sebaliknya, sehingga hubungan antara agama dan negara tidak ada
jarak dan berjalan menjadi satu kesatuan. Tokoh pendukungan gerakan ini adalah al-
Maududi. Kedua, golongan yang berpendapat bahwa hubungan antara agama dan negara
berjalan secara simbiotik dan dinamis-dialektis, bukan berhubungan langsung, sehingga
kedua wilayah masih ada jarak dan kontrol masing-masing, sehingga agama dan negara
berjalan berdampingan. Keduanya bertemu untuk kepentingan pemenuhan kepentingan
masing-masing, agama memerlukan lembaga negara untuk melakukan akselerasi
pengembangannya, demikian juga lembaga negara memerlukan agama untuk membangun
negara yang adil dan sesuai dengan spirit ketuhanan. Tokoh Muslim dunia dalam golongan
ini di antaranya adalah Abdullahi Ahmed An-Na’im, Muhammad Syahrur, Nasr Hamid Abu
Zaid, Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid. Ketiga, golongan yang berpendapat
bahwa agama dan negara merupakan dua domian yang berbeda dan tidak ada hubungan sama
sekali. Golongan ini memisahkan hubungan antara agama dan politik/negara. Oleh sebab itu,
golongan ini menolak pendasaran negara pada agama atau formalisasi norma-norma agama

13
ke dalam sistem hukum negara. Salah satu tokoh Muslim dunia yang. masuk golongan ini
adalah Ali Abd Raziq. Dalam hal yang sama, R R Alford dalam penelitiannya yang berjudul
Agama dan Politik menyebutkan bahwa agama tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap
perilaku politik pemeluknya, bahkan terkadang memiliki kecenderungan yang sebaliknya, di
dunia Barat, sehingga orientasi utama politiknya sekularisasi
Dalam sejarah bangsa Indonesia, hubungan antara agama (Islam) dan negara
berkembang menjadi empat golongan. Pertama, golongan yang mengintegrasikan antara
agama dan negara sebagai dua hal yang tidak terpisahkan. Sejarah integrasi agama dan negara
berjalan dengan intensif pada masa pertumbuhan kerajaan-kerajaan Islam, seperti Kerajaan
Islam Perelak, Kerajaan Islam Samudera dan Pasai di Aceh. Dalam sistem ketatanegaraan
tersebut, hukum negara menjadi hukum agama dan hukum agama juga menjadi hukum
negara. Relasi agama dan negara tersebut berjalan aman dan damai tanpa adanya konflik.
Kedua, golongan yang berpendapat bahwa agama dan negara berjalan dalam pusaran konflik
dan saling menafikan di antara keduanya sebagaimana terjadi di Sumatera Barat. Konflik
kaum agamawan memiliki kehendak untuk menerapkan norma-norma agama/Islam secara
totalitas, sedangkan warga masyarakat lokal menolak pemberlakuan norma agama tersebut.
Kejadian tersebut menimbulkan perang terbuka yang dikenal dengan perang Paderi (perang
para pemuka agama). Dari kejadian itu kemudian muncul semboyan “adat bersendi syara’
dan syara’ bersendi Kitābullah” yang artinya; eksistensi hukum adat diakui selama tidak
bertentangan dengan ketentuan syariat agama Islam. Ketiga, golongan yang membangun
hubungan dinamis-dialektis antara agama dan negara. Norma-norma agama diberlakukan
secara gradual dalam sistem hukum nasional dan berjalan tanpa konflik sebagaimana sistem
ketatanegaraan kerajaan Goa. Keempat, golongan yang membangun hubungan sekular-
ritualistik antara agama dan negara. Norma-norma agama diberlakukan dalam tradisi ritual
keagamaan oleh pemerintah sebagai simbol pengayoman kepada warganya, sehingga
masyarakat merasa diayomi dengan kedatangan pemimpin, sebagaimana tradisi kerajaan
Jawa. Para raja Jawa menghadiri kegiatan ritual keagamaan hanya dua kali setahun di Masjid
atau sekatenan. Para raja Jawa memberikan kebebasan kepada warganya untuk memeluk
agama tertentu, yang penting juga taat kepada raja.
Dari segi gerakan politik, hubungan antara agama dan negara di Indonesia mengalami
perkembangan dalam bentuk oposisi, alienasi dan integrasi. Tiga tipologi gerakan agama
tersebut telah mengalami dinamika yang progresif dan silih berganti. Islam sebagai agama
memainkan peran politik oposisi terhadap pemerintahan Majapahit, sejak awal berdirinya
Kerajaan Islam Demak. Sedangkan pada masa pemerintahan kerajaan Islam Demak, Islam

14
dan politik kenegaraan terbangun secara terintegrasi, tetapi ketika pusat kekuasaan Islam
beralih kepada kerajaan Mataram, maka tipologi hubungan Islam tidak mengambil pola
integrasi sebagaimana praktik kerajaan Islam Demak, tetapi kerajaan Mataram Islam
mengambil model moderat yang berkarakter sinkretis. Peran raja sebagai simbol keagamaan
cukup hadir dua kali selama setahun, walaupun kesehariannya tidak datang ke Masjid.
Sementara itu, kekuatan politik agama mengambil peran oposisi yang ketat ketika
Belanda datang menjajah Nusantara. Para ulama dan da’i berjuang melawan kekuatan
kolonial Belanda dengan membentuk organisasi-organisasi keagamaan seperti Serikat Islam
pimpinan HOS Cokroaminoto tahun 1911, pada tahun 1912 juga berdiri orgnanisasi
Muhammadiyah pimpinan KH Ahmad Dahlan, dan pada tahun 1926 di kalangan ulama
Nusantara lahir Jamiyah Nahdlatul Ulama pimpinan KH Hasyim Asy’arie.33 Usaha-usaha
kaum agamawan dalam berjuang melawan kolonial Belanda tersebut akhirnya membuahkan
hasil Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Pada masa awal
kemerdekaan, agama dan neara mengalami masa-masa krusial, mengingat persepsi hubungan
agama dan negara masih belum tuntas di kalangan tokoh agama pejuang kemerdekaan
Mereka memiliki tafsir berbeda-beda mengenai hubungan agama dan negara yang ideal,
sehingga sebagian kelompok menganggap bahwa yang dimaksud hubungan agama dan
negara yang ideal adalah Piagam Jakarta, tetapi hal itu setelah melalui perdebatan dan diskusi
yang serius, maka KH A Wahid Hasyim sebagai salah satu tim mengakomodir dan menerima
penghapusan tujuh kata dengan hasil sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia (UUD-NRI) Tahun 1945 dengan ideologi Pancasila. Dalam
rumusan ideologi dan konstitusi tersebut, substansi negara Indonesia adalah berbentuk negara
yang religius (religious nation state). Negara tidak menafikan peran agama, dan agama juga
tidak menolak eksistensi negara. Antara agama dan negara memiliki peran penting dalam
menyukseskan cita-cita kemerdekaan RI, yaitu mewujudkan kesejahteraan sosial dan
mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Keputusan KH Wahid Hasyim tersebut telah melampaui pemahaman keagamaan pada
masanya, dimana ia telah berhasil mencari nilai-nilai transendental yang bisa menjadi dasar
pijak semua agama dan golongan, sehingga pandangan keagamaan yang berbeda-beda -yang
dapat memicu konflik dan pertikaian- dapat dinetralisir dan dikompromikan. Keputusan ini
memiliki kesamaan dengan hasil penelitian R R Alford yang berjudul “Agama dan Politik”,
yang menyebutkan bahwa paham keagamaan yang plural jika masuk ke arena politik praktis

15
akan menimbulkan pertikaian dan jauh dari kompromi, sehingga jalan pencarian nilai-nilai
transendental menjadi keniscayaan.
Keputusan KH Wahid Hasyim tersebut juga memiliki kesamaan dengan sejarah
penyusunan naskah Perjanjian Hudaibiyah dan Piagam Madinah dimana Nabi saw
mengambil kebijakan substantif, bukan formalistik. Walaupun simbol-simbol formal
ketuhanan dan kerasulan dihapus dalam naskah perjanjian tersebut, tetapi Nabi saw tetap
menerimanya karena substansi dan tujuan agama dapat dijalankan sebagaimana mestinya,
misalnya Nabi saw masih bisa menjalanan ibadah umrah di Makkah, memberikan
perlindungan kepada semua warga dan memajukan kesejahteraannya. Sila pertama
Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi bukti bahwa NKRI merupakan negara yang secara
substansial memiliki kesamaan dengan negara bentukan Nabi saw sebagai negara religius
(religious nation state). Nabi saw memerangi orang–orang ateis (kafir) dan pemerontak,
tetapi Nabi saw menjaga dan melindungi kaum non-Muslim. Demikian juga NKRI melarang
adanya sikap anti Ketuhanan dan anti Keagamaan, tetapi “Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya”.
Pasal 1 ayat (1) UUD-NRI Tahun 1945 yang merupakan naskah asli mengandung
prinsip bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan”, yang berbentuk Republik. Pasal
yang dirumuskan PPKI tersebut menjadi tekad bulat bangsa Indonesia dalam Sumpah
Pemuda tahun 1928, yaitu satu nusa, satu bangsa, satu bahasa persatuan, satu tanah air, yaitu
Indonesia. Tekad bangsa Indonesia yang menghendaki negara kesatuan tersebut kemudian
dituangkan dalam pedoman dasar bagi Majlis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
(MPR-RI) 1999-2000 dalam melakukan Amandemen UUD-NRI Tahun 1945. Semangat dan
tekad untuk mempertahankan NKRI semakin kukuh setelah MPR-RI menyepakati bahwa
amandemen tidak mengubah Pembukaan UUD-NRI 1945 dan tetap mempertahankan NKRI.
Para ulama yang menjadi pendiri negara (KH Abdul Wahid Hasyim, Abdul Kahar
Muzakkir, H Agus Salim dan Abikusno Tjokrosurojo) menyadari bahwa pendirian negara
bukanlah tujuan bagi dirinya sendiri, tetapi sebagai sarana untuk mencapai kemaslahatan
hidup manusia. Demikian juga tujuan norma agama Islam (maqa>s}id asy-syari’ah) adalah
untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia secara keseluruhan tanpa membedakan ras,
agama ataupun golongan. Pluralitas beragama ini disadari oleh para ulama yang menjadi
pendiri negara, sehingga mereka mengambil kebijakan dengan merumuskan ideologi
Pancasila dan UUD-NRI 1945 yang mengakomodir aspirasi seluruh golongan dan agama.
Dengan demikian, jika NKRI dengan ideologi Pancasila sudah dianggap final, maka hal itu

16
wajar karena gagasan tersebut lahir dari tradisi dan spirit keagamaan warganya. Eksistensi
NKRI dengan Ideologi Pancasila semakin kokoh secara kultural, setelah Nahdlatul Ulama
melalui Muktamarnya Tahun 1984 di Situbondo Jawa Timur meneguhkan Pancasila sebagai
asas tunggal negara.
Secara historis-faktual, penerimaan ulama terhadap eksistensi Pancasila sebagai
ideologi negara didasari oleh fakta bahwa warga negara Indonesia bersifat majemuk,
sehingga persatuan dalam keragaman menjadi keniscayaan. Kegagalan negara-negara Eropa
seperti Jerman karena menjadikan budaya Jerman sebagai kiblat dari semua budaya lainnya
yang hidup di Jerman. Arogansi inilah yang menyebabkan Jerman gagal dalam proses
integrasi yang diterapkan kebijakan Kementerian Dalam Negeri Jerman. Fakta tersebut
berbeda dengan kondisi di Amerika yang sejak awal sudah membangun budayanya
berdasarkan prinsip melting pot atau tungku pelebur dari berbagai budaya masyarakat
lainnya. Oleh sebab itu, menjadikan budaya lokal dan kearifan lokal secara proporsional
dalam kehidupan Indonesia menjadi pilihan tepat.
Senada dengan upaya menegakkan gerakan politik fungsional, salah seorang tokoh
terkemuka Muhammadiyah, Ahmad Syafii Ma’arif, menyuarakan perlunya pemberlakuan
substansi agama, dalam arti agama harus mewarnai moralitas politik atau negara, dan
sekaligus menolak formalisasi agama, dalam artian politisasi agama. Praktik formalisasi
agama tersebut sudah pernah dilakukan pada tahun 1955. Pada waktu itu, Masjid telah
berubah menjadi ajang kampanye partai agama (Islam). Khutbah Jum’at diwarnai kampanye
politik partai sehingga masjid berhenti menjadi tempat yang nyaman untuk beribadah.
Padahal, masjid dibangun bukan untuk kepentingan kepentingan politik praktis, tetapi untuk
kepentingan ideal-keagamaan, yaitu kesejahteraan dunia dan akhirat (QS. at-Taubah: 107-108
dan QS. Ali ‘Imran: 103, 105, 112).
Akhir-akhir ini juga marak tuntutan formalisasi norma agama Islam dalam kehidupan
bernegara dan berbangsa. Kelompok yang menuntut formalisasi agama dengan upaya
mengganti ideologi negara adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majlis Mujahidin
Indonesia (MMI). Mereka tidak mau mengakui eksistensi NKRI sebagai negara yang sah dan
final, mereka tetap menyimpan ideologi laten, yaitu ideologi Islam versi mereka untuk
mengganti ideologi Pancasila dan NKRI. Mereka malakukan infiltrasi ke berbagai elemen
dan instansi pemerintah dengan tujuan untuk mengubah ideologi orang-orang di sekelilingnya
agar mengikuti ideologi mereka yang dianggap paling benar. Mereka berusaha mengganti
norma agama Islam yang fleksibel dan elastis dengan norma agama yang rigid dan tidak mau
berdamai dengan kondisi lingkungan setempat walaupun hal itu baik dan makruf.

17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas, agama diturunkan oleh Allah swt, berfungsi sebagai
pembimbing dan pemberi petunjuk. Fungsi-fungsi agama tersebut, tentu pula mencakup
untuk kesejahteraan dan kedamaian masayarakat dalam sebuah negara, bilamana
penganutnya menjalankan ajaran agama dengan sebaik-baiknya.
Konsep agama dan demokrasi memiliki relevansi yang sangat signifikan pada aspek
demokrasi. demokrasi dalam sebuah negara di pandang sebagai aturan politik yang paling
layak, dan agama diposisikan sebagai wasit moral dalam mengaplikasikan demokrasi itu
sendiri.

18
Daftar Pustaka

http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/analisis/article/viewFile/635/533
https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jphi/article/view/5511

19

Anda mungkin juga menyukai