JAKARTA
LAPORAN KASUS
“ STROKE HEMORAGIK “
Diajukan Kepada:
Pembimbing: dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, MSc
Disusun Oleh:
Anak Agung Ketut Tri Kurniyati 1420221151
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara Autoanamnesis dengan pasien tanggal 23
Januari 2016, pukul 12.30 WIB.
Keluhan utama :
Anamnesis Sistem :
1. Sistem Serebrospinal :
nyeri kepala (+), muntah menyembur tiba-tiba (-), pingsan (+), kelemahan
anggota gerak (-), perubahan tingkah laku (-), wajah merot (-), bicara pelo (-),
kesemutan/baal (-), BAB (+), BAK (+)
2. Sistem Kardiovaskuler :
Riwayat hipertensi (-), riwayat sakit jantung (-), nyeri dada (-)
3
3. Sistem Respirasi :
Sesak napas (-), batuk (-), riwayat sesak napas (-)
4. Sistem Gastrointestinal :
Mual (-), muntah (-), BAB (+)
5. Sistem Muskuloskeletal :
Kelemahan anggota gerak (-)
6. Sistem Integumen :
Ruam merah (-)
7. Sistem Urogenital :
BAK (+)
RESUME ANAMNESIS
Pasien laki-laki berusia 56 tahun tidak sadarkan diri setelah tertabrak motor.
15 menit sebelum masuk rumah sakit pasien sedang meyebrang jalan raya kemudian
pasien ditabrak motor dari arah samping kanan dengan kecepatan motor yang
menabrak sekitar 15-20 km/jam. Pasien kemudian tidak sadarkan diri dan tidak
megingat kejadian apapun. Ketika sadar, pasien mengeluhkan sakit kepala. Sakit
kepala dirasakan diseluruh bagian kepala, nyeri menjalar sampai daerah leher, nyeri
dirasa seperti ditekan, NPS 6-7. Pasien mengaku selama ini tidak ada keluhan BAK
maupun BAB. Pasien juga mampu berkomunikasi dengan baik.
4
DISKUSI I
Dari anamnesa didapatkan pasien sempat tidak sadarkan diri setelah tertabrak
motor hal ini dapat disebabkan karena terganggunya fungsi otak yang dapat
disebabkan oleh cedera kepala. Dari anamnesis didapatkan pasien mengalami cedera
kepala tumpul dimana pasien mengalami kecelakaan yaitu ditabrak oleh motor. Dari
anamnesis juga didapatkan bahwa kemungkinan pasien mengalami cedera kepala
ringan-sedang karena pasien tidak sadar selama 15 menit dan tidak didapatkan
kelainan neurologis. Pasien sempat tidak sadarkan diri disebebkan karena batang otak
mengalami akselerasi yaitu gerakan yang cepat dan mendadak kemudian teregang
dan terjadi blokade reversible pada lintasan retikularis asendens difus kemudian otak
tidak mendapat input aferan mengakibatkan pingsan.
CEDERA KEPALA
Definisi
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik.
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di
rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala
ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah
cedera kepala berat (CKB).
Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara
15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48 %-53% dari insiden
5
cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya dise babkan tindak
kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi.
Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah
sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-
70% dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian
tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak
ada yang meninggal.
Klasifikasi
Beratnya Cedera
Glascow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan
neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera
kepala
6
Catatan: Pada pasien cedera kranioserebral dengan SKG 13-15, pingsan <10 menit,
tanpa defisit neurologik, tetapi pada hasil skening otaknya terlihat perdarahan,
diagnosisnya bukan cedera kranioserebral ringan (CKR)/komosio, tetapi menjadi
cedera kranioserebral sedang (CKS)/kontusio.
Morfologi Cedera
Secara morfologi, kejadian cedera kepala dibagi menjadi:
1. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat terbentuk
garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak
biasanya merupakan pemeriksaan CT Scanuntuk memperjelas garis frakturnya.
Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan
untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.
Tanda-tanda tersebut antara lain :
Ekimosis periorbital ( Raccoon eye sign)
Ekimosis retro aurikuler (Battle`sign )
7
Kebocoran CSS ( rhono
rrea, ottorhea) dan
Parese nervus facialis ( N VII )
2. Lesi Intrakranial
a. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya terjadi pada
regon temporal atau temporopariental akibat pecahnya arteri meningea media.
Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran sebentar dan dengan bekas gejala
(interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan kesadaran progresif
disertai kelainan neurologist unilateral yang diikuti oleh timbulnya gejala neurologi
yang secara progresif berupa pupil anisokor, hemiparese, papil edema dan gejala
herniasi transcentorial.
b. Perdarahan Subdural
8
ARAS, dan terjadi penurunankesadaran. GambaranCT scankepala berupalesi
hiperdens berbentuk bulan sabit. Biladarah lisis menjadi cairan, disebut
higroma(hidroma) subdural.
9
mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa bulan.
Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan
motorik.
10
retrograde lebih cepat pulih dibandingkan dengan amnesia anterograde. Gejala
tambahan : bradikardi dan tekanan darah naik sebentar, muntah-muntah, mual,
vertigo. (vertigo dirasakan berat bila disertai komosio labirin). Bila terjadi
keterlibatan komosio medullae akan terasa ada transient parestesia ke empat
ekstremitas. Gejal-gejala penyerta lainnya (sindrom post trauma kapitis), adalah nyeri
kepala, nausea, dizziness, sensitif terhadap cahaya dan suara, iritability, kesukaran
konsentrasi pikiran, dan gangguan memori. Sesudah beberapa hari atau beberapa
minggu ; bisa di dapat gangguan fungsi kognitif (konsentrasi, memori), lamban,
sering capek-capek, depresi, iritability. Jika benturan mengenai daerah temporal
nampak gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol. Prosedur Diagnostik : 1.
X foto tengkorak 2. LP, jernih, tidak ada kelaina 3. EEG normal Terapi untuk
komosio serebri yaitu : istirahat, pengobatan simptomatis dan mobilisasi bertahap.
Setiap penderita komosio serebri harus dirawat dan diobservasi selama minimal 72
jam. Awasi kesadarannya, pupil dan gejala neurologik fokal, untuk mengantisipasi
adanya lusid interval hematom
d. Kontusio cerebri
Lesi kontusio adalah suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan
otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa adanya kerusakan duramater.
Lesi kontusio bisa terjadi tanpa adanya dampak yang berat, yang penting
untuk terjadinya lesi kontusio ialah adanya akselerasi kepala, yang seketika itu juga
menimbulkan penggeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif.
Akselerasi yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Karena itu otak membentang
batang otak terlampau kuat, sehingga menimbulkan blokade reversibel terhadap
lintasan asendens retikularis difus.
Pada kontusio atau memar otak terjadi perdarahan-perdarahan di dalam
jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-
neuron mengalami kerusakan atau terputus. Pada trauma yang membentur dahi
kontusio terjadi di daerah otak yang mengalami benturan. Pada benturan di daerah
parietal, temporalis dan oksipital selain di tempat benturan dapat pula terjadi kontusio
pada sisi yang bertentangan pada jalan garis benturan. Lesi kedua ini disebut lesi
11
kontra benturan (lesi kontusio “contrecoup”). Perdarahan mungkin pula terjadi
disepanjang garis gaya benturan ini, dan pada permukaan bagian otak yang
menggeser karena gerakan akibat bentur
e. Cedera difus
12
diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemik. Biasanya penderita dalam
keadaan kooma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktuu.Penderita sering
menuunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam
keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup.Penderita seringg menunjukan gejala
disfungsi otonom seperti hipotensi,hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga
akibat cedera aksonal difus dan cedeera otak kerena hipoksiia secara klinis tidak
mudah, dan memang dua keadaan tersebut sering terjadi bersamaan.
Dalam beberapa referensi, trauma maxillo facial juga termasuk dalam bahasan
cedera kepala. Karenanya akan dibahas juga mengenai trauma wajah ini, yang meski
bukan penyebab kematian namun kecacatan yang akan menetap seumur hidup perlu
menjadi pertimbangan.
Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer
dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat
langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan
suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi deselarasi gerakan kepala.
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera
primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah
sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan
akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala
13
bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan
densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid)
menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam
tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup)
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis
yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan,
edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan
intrakranial dan perubahan neurokimiawi.
Penatalaksanaan
Pada pasien ini, biasanya tidak ada riwayat penurunan kesadaran sama sekali dan
tidak ada defi sit neurologik, dan tidak ada muntah. Tindakan hanya perawatan luka.
Pemeriksaan radiologik hanya atas indikasi.
Umumnya pasien SHI boleh pulang dengan nasihat dan keluarga diminta
mengobservasi kesadaran. Bila dicurigai kesadaran menurun saat diobservasi,
misalnya terlihat seperti mengantuk dan sulit dibangunkan, pasien harus segera
dibawa kembali ke rumah sakit.
14
2. Penderita mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah trauma kranioserebral,
dan saat diperiksa sudah sadar kembali. Pasien ini kemungkinan mengalami cedera
kranioserebral ringan (CKR).
15
leher dengan pemasangan kerah leher dan atau fi ksasi tulang ekstremitas
bersangkutan
b. Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer.
16
Kelainan sentral disebabkan oleh depresi per- napasan yang ditandai dengan pola
pernapasan Cheyne Stokes, hiperventilasi neuroge- nik sentral, atau ataksik.
Kelainan perifer disebabkan oleh aspirasi, trauma dada, edema paru, emboli paru,
atau infeksi.
Tata laksana:
• Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten
• Cari dan atasi faktor penyebab
• Kalau perlu pakai ventilato
c. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan tekanan darah sistolik
<90 mm Hg yang terjadi hanya satu kali saja sudah dapat meningkatkan risiko
kematian dan kecacatan. Hipotensi kebanyakan terjadi akibat faktor ekstrakranial,
berupa hipovolemia karena perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada
disertai tamponade jantung/pneumotoraks, atau syok septik.
Tata laksananya dengan cara menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi
jantung, mengganti darah yang hilang, atau sementara dengan cairan isotonik NaCl
0,9%.
2. Pemeriksaan fisik
Setelah resusitasi ABC, dilakukan pemeriksaan fisik yang meliputi kesadaran, tensi,
nadi, pola dan frekuensi respirasi, pupil (besar, bentuk dan reaksi cahaya), defisit
fokal serebral dan cedera ekstrakranial.
Hasil pemeriksaan dicatat dan dilakukan pemantauan ketat pada hari-hari pertama.
Bila terdapat perburukan salah satu komponen, penyebabnya dicari dan segera
diatasi.
3. Pemeriksaan radiologi
17
Dibuat foto kepala dan leher, bila didapatkan fraktur servikal, Collar yang telah
terpasang tidak dilepas. Foto ekstremitas, dada, dan abdomen dilakukan atas indikasi.
CT scan otak dikerjakan bila ada fraktur tulang
tengkorak atau bila secara klinis diduga ada hematoma intrakranial.
4. Pemeriksaan laboratorium
• Hb, leukosit, diferensiasi sel
Penelitian di RSCM menunjukkan bahwa leukositosis dapat dipakai sebagai salah
satu indikator pembeda antara kontusio (CKS) dan komosio (CKR). Leukosit
>17.000 merujuk pada CT scan otak abnormal, sedangkan angka leukositosis
>14.000 menunjukkan kontusio meskipun secara klinis lama penurunan kesadaran
<10 menit dan nilai SKG 13-15 adalah acuan klinis yang mendukung ke arah
komosio. Prediktor ini bila berdiri sendiri tidak kuat, tetapi di daerah tanpa fasilitas
CT scan otak, dapat dipakai sebagai salah satu acuan prediktor yang sederhana.
TIK normal adalah 0-15 mm Hg. Di atas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan
cara:
a. Posisi tidur: Bagian kepala ditinggikan 20-30 derajat dengan kepala dan dada pada
satu bidang.
b. Terapi diuretik:
• Diuretik osmotik (manitol 20%) dengan dosis 0,5-1 g/kgBB, diberikan dalam 30
menit. Untuk mencegah rebound, pemberian diulang setelah 6 jam dengan dosis 0,25-
0,5/kgBB dalam 30 menit. Pemantauan: osmolalitas tidak melebihi 310 mOsm.
• Loop diuretic (furosemid)
Pemberiannya bersama manitol, karena mempunyai efek sinergis dan
memperpanjang efek osmotik serum manitol. Dosis: 40 mg/hari IV.
6. Nutrisi
Pada cedera kranioserebral berat, terjadi hipermetabolisme sebesar 2-2,5 kali normal
dan akan mengakibatkan katabolisme protein.
19
Pada pasien dengan kesadaran menurun, pipa nasogastrik dipasang setelah terdengar
bising usus. Mula-mula isi perut dihisap keluar untuk mencegah regurgitasi sekaligus
untuk melihat apakah ada perdarahan lambung. Bila pemberian nutrisi peroral sudah
baik dan cukup, infus dapat dilepas untuk mengurangi risiko flebitis.
7. Neurorestorasi/rehabilitasi
Posisi baring diubah setiap 8 jam, dilakukan tapotase toraks, dan ekstremitas
digerakkan pasif untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik. Kondisi
kognitif dan fungsi kortikal luhur lain perlu diperiksa. Saat Skala Koma Glasgow
sudah mencapai 15, dilakukan tes orientasi amnesia Galveston (GOAT ). Bila GOAT
sudah mencapai nilai 75, dilakukan pemeriksaan penapisan untuk menilai kognitif
dan domain fungsi luhur lainnya dengan Mini-Mental State Examination (MMSE);
akan diketahui domain yang terganggu dan dilanjutkan dengan konsultasi ke klinik
memori bagian neurologi.
Prognosis
Setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien dengan
cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostik yang
besar: skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam
kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan
meninggal atau vegetatif hanya 5 – 10%. Sindrom pascakonkusi berhubungan dengan
sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi,
iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien setelah
cedera kepala. Sering kali berturnpang-tindih dengan gejala depresi.
Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada pasien cedera kepala antara lain : cedera otak sekunder
akibat hipoksia dan hipotensi, edema serebral, peningkatan tekanan intra kra nial,
herniasi jaringan otak, infeksi, hidrosefalus
20
IV. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 21 Januari 2016, pukul 06.30 WIB.
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4M6V5
Vital sign
TD : 130/80 mmHg
Nadi : 80 x /menit, irama regular, isi dan tegangan cukup
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,5 0 C secara aksiler
Status Internus
Kepala : Mesocephal
Mata : Konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
(3mm/3mm), reflek pupil direk (+/+), reflek pupil indirek (+/+)
Telinga : Sekret (-/-)
Hidung : Napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), septum deviasi (-/-)
Mulut : Bibir sianosis (-), karies dentis (-)
Leher : Simetris, pembesaran KGB (-), tiroid (Normal)
Thorax :
Cor :
Inspeksi : Tampak ictus cordis
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC IV LMCS
Perkusi :
- Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I & II (+) normal, bising (-), gallop (-)
21
Pulmo :
Depan Dextra Sinistra
Inspeksi Pergerakan simetris, Pergerakan simetris,
retraksi (-) retraksi (-)
Palpasi Vokal fremitus normal Vokal fremitus normal
kanan = kiri kanan = kiri
Perkusi Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang
paru
Auskultasi SD paru vesikuler (+), SD paru vesikuler (+),
suara tambahan paru: suara tambahan paru:
wheezing (-), ronki (-) wheezing (-), ronki (-)
Abdomen :
Inspeksi : Dinding abdomen datar, spider naevi (-), warna kulit sama
dengan warna kulit sekitar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani seluruh regio abdomen, ascites (-)
Palpasi : Hepar & lien tak teraba
Ekstremitas :
Atas : Oedem (-/-), CRT (<2 dtk), Akral dingin (-/-)
Bawah : Oedem (-/-), CRT(< 2 dtk), Akral dingin (-/-)
Status Neurologis
Sikap Tubuh : Simetris
Gerakan Abnormal : -
22
N. I. Olfaktorius Daya penghidu N N
N. II. Optikus Daya penglihatan N N
Pengenalan warna N N
Lapang pandang N N
N. III. Ptosis - -
Gerakan mata ke medial N N
Okulomotor
Gerakan mata ke atas N N
Gerakan mata ke bawah N N
Ukuran pupil 3 mm 3 mm
Bentuk pupil Bulat Bulat
Refleks cahaya langsung + +
Refleks cahaya konsensual + +
N. IV. Troklearis Strabismus divergen - -
Gerakan mata ke lat-bwh - -
Strabismus konvergen - -
N. V. Trigeminus Menggigit - -
Membuka mulut - -
Sensibilitas muka - -
Refleks kornea N N
Trismus - -
N. VI. Abdusen Gerakan mata ke lateral N N
Strabismus konvergen - -
N. VII. Fasialis Kedipan mata N N
Lipatan nasolabial Simetris Simetris
Sudut mulut Simetris Simetris
Mengerutkan dahi Simetris Simetris
Menutup mata N N
Meringis N N
Menggembungkan pipi N N
Daya kecap lidah 2/3 ant + +
N. VIII. Mendengar suara bisik + +
Mendengar bunyi arloji + +
Vestibulokokleari
Tes Rinne TDL TDL
s Tes Schwabach TDL TDL
Tes Weber TDL TDL
N. IX. Arkus faring Simetris Simetris
Daya kecap lidah 1/3 post N
Glosofaringeus
Refleks muntah N
Sengau -
Tersedak -
N. X. Vagus Denyut nadi 80 x/menit
Arkus faring Simetris Simetris
Bersuara N
Menelan N
23
N. XI. Aksesorius Memalingkan kepala N N
Sikap bahu N N
Mengangkat bahu N N
Trofi otot bahu Eutrofi Eutrofi
N. XII. Sikap lidah N
Artikulasi N
Hipoglossus
Tremor lidah -
Menjulurkan lidah Simetris
Trofi otot lidah -
Fasikulasi lidah -
Pemeriksaan Motorik
B B 5555 5555 N N Eu Eu
G K Tn Tr
B B 5555 5555 N N Eu Eu
+ + - - -
RF RP Cl
+ + - - -
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
24
1. Laboratorium
a. Tanggal 20/1/2016
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan
Hemoglobin 14,8 13,2 - 17,3 g/dl
Leukosit 8,6 3,8-10,5 ribu
Eritrosit 4,62 4,5-5,8 juta
Hematokrit 44,2 37-47 %
Trombosit 185 150-400 ribu
MCV 95,7 82-95 fL
MCH 32,0 >27 pg
MCHC 33,5 32-37 g/dl
RDW 12,3 10-15 %
MPV 8,5 7-11 mikro m3
Limfosit 1,9 1,0-4,5 103/mikro m3
Monosit 0,3 0,2-1,0 103/mikro m3
Granulosit 6,4 H 2-4 103/mikro m3
Limfosit% 22,0 L 25 - 40 %
Monosit% 3,5 2-8 %
Granulosit% 74,5 50- 80 %
PCT 0,157 0,2 - 0,5 %
PDW 12,3 10 - 18 %
Glukosa puasa 155 H 74 – 106 mg/dL
G2PP 209 H <120
SGOT 18 0 - 50 U/L
SGPT 19 0 - 50 IU/L
Ureum 28,3 10 - 50 mg/dL
Kreatinin 1,02 0,62 - 1,1 mg/dL
Asam Urat 5,57 2-7 mg/dL
Cholesterol 260 H < 200 mg/dL
dianjurkan,
200 - 239
res sedang,
> 240 resti
HDL 42 28 - 63 mg/dL
LDL 203,4 < 150 mg/dL
H
Trigliserida 73 70 - 140 mg/dL
2. Head CT-Scan
25
Hasil
26
Tak tampak soft tissue swelling extracranial
Pada bone window dan 3D reforma, tak tampak discontinuitas pada ossa
calvaria dan fascialis
Sulci dan fissure Silvii relative menyempit
Batas grey matter dan white matter tak tegas
Tak tampak lesi hiperdens (64-76 HU) di peritentorium sinistra sapai perifalk
cerebri dengan ketebalan lesi ±11,4 mm
Sisterna ventrikel dan cysterna dalam batas normal
Tak tamak pergeseran linea mediana
Air cellulae mastoidea dan sinus paranasa tampak normodens
Kesan :
DISKUSI II
27
infeksi. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan kelainan. Namun pada pemeriksaan
penunjang yaitu CT Scan didapakan kesan gambaran perdarahan peritentorium
sinistra dan perifalk dengan gambaran brain edema ringan.
VI. PENATALAKSANAAN
Farmakologi
Non Farmakologi
Rawat Inap
Bedrest
VII. PROGNOSIS
1. Death : dubia
2. Disease : dubia
3. Disability : dubia
4. Discomfort : dubia
5. Dissatisfaction : dubia
6. Distitution : dubia
28
Diskusi III
Injeksi Brainact
Memiliki kandungan citicolin. Prekursor phospholipid, menghambat deposisi beta
amiloid di otak, membentuk acetylcholine, meningkatkan neurotransmiter
norepinephrine, dopamine, & serotonin, menghambat aktivitas fosfolipase &
sfingomielinase memberikan efek neuroproteksi.
Bioavailabilitas hampir 90% (per oral), citicoline eksogen akan dihidrolisis di dalam
usus halus, dan siap diserap dalam bentuk choline & cyctidine dan kembali dibentuk
menjadi citicoline. Choline akan didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh, termasuk
sel-sel otak (0,5%) & IV (2%)
Mecobalamin diperlukan untuk kerja normal sel saraf. Bersama asam folat dan
vitamin B6, mecobalamin bekerja menurunkan kadar homosistein dalam darah.
Homosistein adalah suatu senyawa dalam darah yang diperkirakan berperan dalam
penyakit jantung.
30
kortikosteroid, penyakit kulit dan saluran napas, penyakit endokrin, penyakit
autoimun, gangguan hematologik, sindroma nefrotik.
DAFTAR PUSTAKA
31
5. Harsono, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada Universiti Press,
Yogyakarta, 2005
6. Hasan Sjahrir, Ilmu Penyakit Saraf Neurologi Khusus, Dian Rakyat, Jakarta,
2004
7. http://thesis.umy.ac.id/datapublik/t28211.pdf
8. http://www.kalbemed.com/Portals/6/05_193Penatalaksanaan
%20Kedaruratan.pdf
9. Japardi iskandar. 2004. Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif .
SumatraUtara: USU Press.
10. Mardjono M., Sidharta P., Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2000
11. PERDOSSI cabang Pekanbaru. Simposium trauma kranio-serebral tanggal 3
November2007. Pekanbaru
12. Turner DA. Neurological evaluation of a patient with head trauma. Dalam
:Neurosurgery 2ndedition. New York: McGraw Hill, 1996.
13. Wahjoepramono, Eka. (2005). Cedera Kepala. Lippokarawaci: Universitas
Pelita Harapan
32