Anda di halaman 1dari 12

CATAN SINGKAT

LANDASAN FUNDAMENTAL UU NO 19 TAHUN 2019 TENTANG


PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG
KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh

FADLI
Pengantar
Perubahan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
menjadi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, memicu polemik yang berimbas pada
gelombang demontrasi yang terjadi hampir diseluruh
daerah. Revisi tersebut kemudian menuai berbagai
gelombang protes karena dilakukan menjelang
berakhirnya masa bakti DPR periode 2014-2019 yang
berakhir pada September 2019. Berbagai pihak, selain
sangat terkejut dengan kelahiran revisi UU KPK di atas
yang terasa sangat tiba-tiba, lantas mempersoalkan
proses penyusunan yang tidak transparan dan lebih-lebih
lagi substansinya yang dianggap memperlemah
keberadaan institusi Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pada draf revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, Dewan Perwakilan
Rakyat RI mengusulkan poin-poin revisi yaitu: Pembentukan dewan pengawas untuk
mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK; penyadapan harus seizin tertulis dewan
pengawas yang kemudian dipertanggungjawabkan ke pimpinan KPK; KPK berwenang
mengeluarkan SP3 untuk penyidikan dan penuntutan perkara korupsi yang tidak selesai
dalam waktu paling lama satu tahun; seluruh pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara
(ASN); KPK hanya boleh merekrut penyidik dari kepolisian; penuntutan perkara korupsi
harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung; pelaporan LHKPN tak lagi di KPK melainkan
di masing-masing instansi.
Meski mendapatkan penolakan dari berbagai pihak, pembahasan revisi Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK tetap berjalan. DPR dan Pemerintah telah sepakat
melakukan revisi yang poin-poinya yaitu pertama, terkait kedudukan KPK sebagai lembaga
penegak hukum berada pada rumpun eksekutif yang dalam pelaksanaan kewenangan dan
tugasnya tetap independen. Kedua, mengenai pembentukan Dewan Pengawas KPK.
Ketiga, terkait pelaksanaan fungsi penyadapan. Keempat, mengenai mekanisme penerbitan
Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) perkara tindak pidana korupsi oleh KPK.
Kelima, terkait koordinasi kelembagaan KPK
1
dengan penegak hukum sesuai dengan hukum acara pidana, kepolisian, kejaksaan,
dan kementerian atau lembaga lainnya dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan perkara tindak pidana korupsi. Keenam, mengenai mekanisme penggeledahan
dan penyitaan. Ketujuh, terkait sistem kepegawaian KPK.
Adanya revisi undang-undang KPK ditengarai menghianati amanat reformasi yang
melahirkan gagasan pemberantasan korupsi sebagaimana tertuang dalam Ketetapan MPR No.
XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN dan Tap MPR No.
VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan
KKN. Intinya, publik mengkritik langkah gegabah pemerintah dalam melakukan
perubahan UU KPK. Memang begitulah hukum sebab-akibatnya apabila hasil legislasi
mengabaikan aspirasi publik, akibatnya kritik datang dari segala arah.
Masih kuatnya penolakan publik terhadap hasil legislasi pemerintah mengenai perubahan
UU KPK bukan tampa alasan. Dalilnya, substansi pasal dalam perubahan UU KPK mengandung
racun hukum, akibatnya sistem dalam tubuh KPK akan melemah. Sekadar contoh, penyadapan
dengan izin dewan pengawas, alasan waktu selama 2 (dua) tahun dapat menghentikan
penyidikan serta perubahan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN)
adalah alasan-alasan mengapa perubahan UU KPK ditolak.
LandasanFundamental Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019.
Berangkat dari uraian di atas, muncul pertanyaan benarkah pengesahan revisi undang-
undang KPK bermasalah? Untuk menjawab hal tersebut mari kita lihat sekilas terkait
landasan fundamental penyusunan undang-undang tersebut.
Dalam revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang disahkan pada bulan
September 2019 dan menjadi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, tentunya dalam proses pembuatannya tidak boleh asal. Terdapat landasan
hukum Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang harus ditaati oleh pihak yang
berwenang. Landasan utama dari Peraturan Perundang-undangan tentu mengacu pada
Pancasila yang merupakan sumber segala sumber hukum negara 1dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) merupakan hukum dasar dalam
Peraturan Perundang- undangan 2 selaku konstitusi utama Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Pada Pasal 22A UUD 1945 menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara pembentukan undang- undang yang diatur dengan undang-undang.
Kemudian Peraturan Perundang-undangan kembali dijabarkan dalam UU RI No. 12 Tahun
2011 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan. Secara umum terdapat 3
(tiga) landasan hukum Pembentukan Peraturan perundang- undangan yang utama. Adapun 3
landasan tersebut adalah landasan filosofis, landasan sosiologis dan landasan yuridis. Berikut
landasan hukum pembentukan Peraturan Perundang-undangan selengkapnya.
Landasan filosofis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yaitu Peraturan
Perundang-undangan bisa dikatakan memiliki landasan filosofis apabila rumusannya
ataupun
1
Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
2
Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
normanya mendapatkan pembenaran setelah dikaji secara filosofis. Definisi landasan
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berupa pertimbangan pandangan hidup
ini sesuai dengan cita-cita pandangan hidup manusia dalam pergaulan hidup bermasyarakat
dan cita-cita kebenaran, keadilan, jalan kehidupan, filsafat hidup bangsa serta
kesusilaan.
Landasan sosiologis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yaitu suatu Peraturan
Perundang-undangan bisa dikatakan memiliki landasan sosiologis bila sesuai dengan keyakinan
umum, kesadaran hukum masyarakat, tata nilai dan hukum yang hidup di masyarakat.
Secara umum, landasan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus berkaitan dengan
kondisi atau kenyataan yang ada supaya peraturan yang dibuat dapat dijalankan.
Landasan yuridis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yaitu Peraturan
Perundang-undangan bisa dikatakan memiliki landasan yudiris bila terdapat dasar hukum,
legalitas atau landasan yang terdapat dalam ketentuan hukum yang lebih tinggi
derajatnya. Dalam landasan yuridis menekankan bahwa landasan Pembentukan Peraturan
Perundang- undangan harus berkaitan dengan kondisi hukum di Indonesia.3
Pada konteks Revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang saat ini telah
menjadi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, seharusnya
memuat ketiga landasan fundamental yaitu landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan
yuridis. Penulis beranggapan bahwa lahirnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hanya memuat Landasan “yuridis” saja artinya
secara hukum pembentukan undang-undang tersebut terpenuhi memiliki dasar hukum dan
pembentukan undang-undang tersebut sah secara hukum karena dibentuk oleh
lembaga dan pihak yang berwenang yaitu Legislatif dan eksekutif. Kemudian secara
subjektif pembentukan undang- undang tersebut dimaksudkan oleh pembuat undang-
undang untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengatasi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna
menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Secara subtansi atau materi
yang diatur perlu dibentuk undang-undang yang baru dengan beranggapan bahwa kurang
lebih selama 17 tahun aturan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi harus di ubah dengan
maksud untuk memperkuat, sebab saat ini dipandang sudah tidak relevan lagi, selain itu
para pembuat undang-undang menganggap ada ketidak harmonisan atau tumpang tindih
dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK sehingga perlu di revisi. Alasan-alasan subjektif
tersebut yang oleh penulis telah memenuhi landasan yuridis, namun tidak demikian dengan
landasan filosofis dan landasan sosiologis.
Penulis beranggapan bahwa Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, tidak memiliki landasan “Filosofis” sebagaimana yang bersumber dari Pancasila
dan UUD 1945 yaitu tidak mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran dan cita hukum
yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia. Kita ketahui bersama
bahwa korupsi

3
3
https://www.zonareferensi.com/landasan-hukum-pembentukan-peraturan-perundang-undangan/ diakses
pada tanggal, 20 Oktober 2019, Jam, 10 WIB.

3
merupakan musuh bersama yaitu musuh seluruh komponen anak bangsa yang
menginginkan bahwa perbuatan korupsi harus diberantas dan dimusnahkan dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia karena merupakan perbuatan tercela, kejahatan luar biasa
serta merupakan perbuatan yang tidak beradab.
Salah satu Tokoh mengungkapkan bahwa korupsi adalah pengingkaran terhadap nilai-nilai
kemanusiaan dan keadilan karena menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri
sendiri. Korupsi menciptakan kemiskinan, penderitaan, dan penghinaan terhadap Pancasila.
Dengan demikian jika seseorang melakukan korupsi maka sebenarnya yang bersangkutan
sedang menghina Pancasila yaitu penghinaan terhadap sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Jadi jika orang yang beriman maka seharusnya peduli terhadap mereka yang kecil, lemah,
dan miskin. Tapi dengan korupsi berarti menggunakan kewenangannya atau menyalahgunakan
kewenangannya untuk diri sendiri dan memiskinkan orang lain. Oleh karena itu orang
yang tidak mencintai manusia sama halnya tidak mencintai Tuhannya. Jadi korupsi itu
sebenarnya adalah orang yang tidak mencintai Tuhan. Jika Tuhan dicintai maka dia tidak akan
menyalahgunakan kekuasaan atau kewenangannya untuk memperkaya diri sendiri,
golongan, atau kelompoknya. Karena itu melakukan korupsi berarti penghinaan terhadap
sila Ketuhanan Yang Maha Esa yaitu Pancasila. Korupsi itu sederhananya orang yang
sebenarnya menghina terhadap Tuhan-nya.4
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Basaria Panjaitan menyatakan, mereka yang
melakukan korupsi berarti bukan Pancasilais. Di dalam Pancasila sudah terkandung nilai-
nilai yang sesuai dengan semangat anti-korupsi. Pada sila pertama misalnya, yang berkaitan
dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak ada satu agama pun yang mengatakan
bahwa korupsi itu diperbolehkan. Pada sila kedua terkait kemanusiaan yang adil dan
beradab, keadilan tidak akan tercipta kalau ada seseorang atau sekelompok melakukan
korupsi. Akibatnya, rakyat menjadi miskin dan sulit untuk menempuh pendidikan atau
sekolah. Untuk akses terhadap kesehatan jika sakit pun akhirnya harus mengeluarkan biaya.
Padahal, ada penelitian yang menyatakan kalau tidak ada korupsi di Indonesia maka akses
ke pendidikan dan kesehatan di Tanah Air bisa gratis. Untuk sila ketiga yaitu persatuan
Indonesia, bahwa korupsi bisa menimbulkan perpecahan. Dengan adanya korupsi
menimbulkan satu sama lain ketidak-kompakan. Ini bisa juga mengakibatkan keributan
satu sama lain dan menimbulkan perpecahan. Korupsi itu riil sangat berbahaya. Terkait sila
keempat, bahwa korupsi bertentangan dengan prinsip musyawarah- mufakat. Sila terakhir,
keadilan sosial tidak akan tercapai jika ada korupsi. Jadi semua, sebenarnya orang yang
melakukan korupsi berarti tidak Pancasilais. Pancasila itu jika benar- benar diterapkan
dalam kehidupan, kita tidak akan melakukan korupsi.5
Maka dengan demikian apabila ada aturan yang dibuat justeru memperlemah upaya
pemberantasan korupsi wajar jika kemudian landasan filosofisnya dipertanyakan karena
sama halnya tidak mengambil nilai-nilai falsafah yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945.
Selain itu adanya aturan yang ditengarai memperlemah pemberantasan korupsi
merupakan penghianatan amanat reformasi yang melahirkan gagasan pemberantasan korupsi
sebagaimana

4
https://antikorupsi.org/id/news/korupsi-itu-penghinaan-terhadap-pancasila diakses pada tanggal 21
Oktober Tahun 2019, jam 15.00 WIB

4
5
https://nasional.kompas.com/read/2017/10/02/08543541/pimpinan-kpk-orang-yang-korupsi-bukan-
pancasilais diakses pada tanggal 21 Oktober 2019, jam 16.00 WIB.

5
tertuang dalam Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas KKN dan Tap MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah
Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN.
Lebih lanjut penulis berpendapat bahwa lahirnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak memandatkan landasan “sosiologis” hal ini dapat
dibuktikan dengan terang benderang yaitu perubahan tersebut menimbulkan polemik,
gelombang demonstrasi terjadi hampir diseluruh daerah. Polemik yang menyebabkan
gelombang demonstrasi bukan tanpa alasan, dalilnya subtansi pasal dalam Undang-undang
Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengandung “racun hukum yang
sangat berbahaya,” akibatnya sistem dalam tubuh KPK akan melemah. Sekedar contoh,
penyadapan dengan izin dewan pengawas, alasan waktu selama 2 (dua) tahun dapat
menghentikan penyidikan serta perubahan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara
(ASN) adalah alasan-alasan mengapa perubahan UU KPK yang lama ditolak. Intinya, publik
mengkritik langkah gegabah pemerintah (Presiden dan DPR RI) dalam melakukan perubahan
UU KPK yang lama. Dengan adanya penolakan berbagai tokoh baik dari kalangan
akademisi, mahasiswa, pelajar, pakar, peneliti, masyarakat umum hingga pelaksana
pemberantasan korupsi itu sendiri, menandakan bahwa landasan sosiologis dalam UU KPK yang
baru bisa dikatakan tidak ada sebab UU KPK yang dibentuk tidak memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam berbagai aspek, tidak sesuai dengan keyakinan masyarakat umum, tidak
sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat dan bertentangan dengan tata nilai dan
hukum yansg hidup dimasyarakat, bertentangan dengan keinginan masyarakat pada
umumnya dan itu artinya UU KPK bertentangan dengan keinginan masyarakat, maka tidak
salah apabila penulis beranggapan bahwa UU No 19 Tahun 2019 tentang KPK tidak
memuat landasan sosiologis.
Bagaimana Seharusnya Landasan Fundamental Pembentukan UU No. 19 Tahun 2019
tentang KPK.
Pembentukan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, tersebut seharusnya berdasarkan program legislasi6 dan tidak dibuat dalam
keadaan tergesa-gesa atau waktu yang sangat singkat, tertutup serta harus melalui
partisipasi masyarakat7 terlebih dahulu dan tidak disahkan menjelang berakhirnya periode
Anggota DPR RI.

6
Pasal 1 angka 9 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan menyatakan bahwa Program Legislasi Nasional yang selanjutnya disebut Prolegnas adalah instrumen
perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis
dan Pasal 45 ayat
(1) menyatakan bahwa pembahasan RUU harus berdasarkan program legislasi nasional (prolegnas).
7
Pasal 96 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ayat
(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan
Perundang- undangan. (2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan melalui:
a. rapat dengar pendapat umum; b. kunjungan kerja; c. sosialisasi; dan/atau d. seminar, lokakarya, dan/atau
diskusi.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang
mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan. (4) Untuk memudahkan
masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Pasal 1 angka 9 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang- undangan jelas menyebutkan bahwa Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Jika
mengacu pada pengertian pasal tersebut maka setidaknya ada 5 (lima) tahap yang harus
dilalui dalam membuat satu undang-undang. Itu artinya dalam hal proses pembuatan
undang-undang membutuhkan waktu yang cukup panjang, perlu kehati-hatian karena
menyangkut hajat hidup orang banyak, perlu transparansi, ada keterlibatan elemen
masyarakat sebagai perwakilan masyarakat, ada kajian akademis, dan yang terpenting
undang-undang itu dapat diterima oleh masyarakat pada umumnya. Dengan demikian,
apabila ada produk undang-undang yang dapat diselesaikan hanya dalam waktu kurang lebih 1
(satu) bulan maka kemudian wajar jika hal tersebut dipertanyakan. Pembuatan Peraturan
Perundang-undangan harus memenuhi prosedur yang telah ditetapkan tidak boleh ada
cacat prosedur dalam pembuatan Peraturan Perundang-undangan sebab Peraturan
Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat
secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan8.
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, demikian pula halnya dengan
Pembentukan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, harus memenuhi asas:
Kejelasan Tujuan adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap jenis
Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat
Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-
undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga
negara atau pejabat yang tidak berwenang.
Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan adalah bahwa dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan harus benarbenar memperhatikan materi muatan yang
tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.
Dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundangundangan tersebut di dalam
masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
Kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap Peraturan Perundangundangan
dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kejelasan rumusan adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi
persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata
atau
8
Pasal 1 angka 2 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
Keterbukaan adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan
bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai
kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
Salah satu asas di atas yaitu asas dapat dilaksanakan yang memiliki arti bahwa setiap
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan
Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis,
maupun yuridis. Landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis dimuat dalam pokok pikiran pada
konsiderans Unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis tersebut menjadi pertimbangan dan
alasan pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis,
sosiologis, dan yuridis
Penutup
Secara keseluruhan mengenai tata cara maupun asas-asa Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan telah diuraikan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Jika mengacu pada undang-undang
tersebut maka pembentukan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, masih jauh dari cita-cita yang diharapkan.
Dengan adanya penolakan berbagai tokoh baik dari kalangan akademisi, mahasiswa,
pelajar, pakar, peneliti, masyarakat umum hingga pelaksana pemberantasan korupsi itu
sendiri, serta tidak mempertimbangkan nilai-nilai falsafah pancasila dalam penyusunan UU
KPK yang baru, menandakan bahwa landasan sosiologis dan filosofisnya dalam UU KPK yang
baru, bisa dikatakan tidak terakomodir. UU No. 19 Tahun 2019 tidak mengandung makna
landasan sosiologis hal ini dikarenakan undang-undang tersebut tidak memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam berbagai aspek, tidak sesuai dengan keyakinan masyarakat umum, tidak
sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat dan bertentangan dengan tata nilai dan
hukum yansg hidup dimasyarakat, bertentangan dengan keinginan masyarakat pada
umumnya. Pembuat undang-undang tidak melihat Indonesia secara utuh sebagai negara
yang menganut sistem demokrasi. Menurut Abraham Lincoln, demokrasi adalah sistem
pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sistem
pemerintahan demokrasi mengandung makna bahwa kekuasaan tertinggi berada di
tangan rakyat melalui wakil-wakilnya di DPR. Jika mayoritas masyarakat Indonesia
menolak UU KPK yang dianggap melemahkan KPK. Apalagi para pakar akademisi memiliki
pendapat serupa maka hal tersebut menandakan bahwa landasan sosiologis dalam
undang-undang tersebut tidak ada.
Demikian pula dengan landasan filosofisnya seharusnya mempertimbangkan pandangan hidup,
kesadaran dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia. Kita
ketahui bersama bahwa korupsi merupakan musuh bersama yaitu musuh seluruh komponen
anak bangsa yang menginginkan bahwa perbuatan korupsi harus diberantas dan
dimusnakan
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia karena merupakan perbuatan tercela, kejahatan
luar biasa serta merupakan perbuatan yang tidak beradab. Maka seharusnya yang
dibutuhkan adalah penguatan dalam undang-undang baru bukan justeru sebaliknya yaitu
mengamputasi sejumlah kewenagan KPK yang selama ini telah berjalan sesuai dengan
landasan falsafahnya yang tertuang dalm nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

Anda mungkin juga menyukai