Anda di halaman 1dari 25

Dwi Hardiyanti Nurdin

 Beranda
 KESEHATAN
 Photo
 Puisi

Sabtu, 23 Juni 2012


ASUHAN KEPERAWATAN DIABETES MELITUS

ANATOMI FISIOLOGI PANKREAS


A.      ANATOMI PANKREAS

Pankreas terletak melintang dibagian atas abdomen dibelakang gaster didalam ruang
retroperitoneal. Disebelah kiri ekor pankreas mencapai hilus limpa diarah kronio – dorsal dan
bagian atas kiri kaput pankreas dihubungkan dengan corpus pankreas oleh leher pankreas yaitu
bagian pankreas yang lebarnya biasanya tidak lebih dari 4 cm, arteri dan vena mesentrika
superior berada dileher pankreas bagian kiri bawah kaput pankreas ini disebut processus
unsinatis pankreas.
Pankreas terdiri dari dua jaringan utama yaitu :
1)      Asinus, yang mengekskresikan pencernaan ke dalam duodenum.
2)      Pulau Langerhans, yang tidak mempunyai alat untuk mengeluarkan getahnya namun sebaliknya
mensekresi insulin dan glukagon langsung kedalam darah.
Pankreas manusia mempunyai 1 – 2 juta pulau langerhans, setiap pulau langerhans hanya
berdiameter 0,3 mm dan tersusun mengelilingi pembuluh darah kapiler.
Pulau langerhans mengandung tiga jenis sel utama, yakni sel-alfa, beta dan delta. Sel beta yang
mencakup kira-kira 60 % dari semua sel terletak terutama ditengah setiap pulau dan
mensekresikan insulin. Granula sel B merupakan bungkusan insulin dalam sitoplasma sel. Tiap
bungkusan bervariasi antara spesies satu dengan yang lain. Dalam sel B , molekul insulin
membentuk polimer yang juga kompleks dengan seng. Perbedaan dalam bentuk bungkusan ini
mungkin karena perbedaan dalam ukuran polimer atau agregat seng dari insulin. Insulin
disintesis di dalam retikulum endoplasma sel B, kemudian diangkut ke aparatus golgi, tempat ia
dibungkus didalam granula yang diikat membran. Granula ini bergerak ke dinding sel oleh suatu
proses yang tampaknya sel ini yang mengeluarkan insulin ke daerah luar dengan eksositosis.
Kemudian insulin melintasi membran basalis sel B serta kapiler berdekatan dan endotel
fenestrata kapiler untuk mencapai aliran darah (Ganong, 1995). Sel alfa yang mencakup kira-kira
25 % dari seluruh sel mensekresikan glukagon. Sel delta yang merupakan 10 % dari seluruh sel
mensekresikan somatostatin (Pearce, 2000).
Pankreas dibagi menurut bentuknya :
1.      Kepala (kaput) yang paling lebar terletak di kanan rongga abdomen, masuk lekukan sebelah kiri
duodenum yang praktis melingkarinya.
2.      Badan (korpus) menjadi bagian utama terletak dibelakang lambung dan di depan vertebra
lumbalis pertama.
3.      Ekor (kauda) adalah bagian runcing di sebelah kiri sampai menyentuh pada limpa (lien)

B.      Fisiologi Pankreas


Pankreas disebut sebagai organ rangkap, mempunyai dua fungsi yaitu sebagai kelenjar eksokrin
dan kelenjar endokrin. Kelenjar eksokrin menghasilkan sekret yang mengandung enzim yang
dapat menghidrolisis protein, lemak, dan karbohidrat; sedangkan endokrin menghasilkan hormon
insulin dan glukagon yang memegang peranan penting pada metabolisme karbohidrat
Kelenjar pankreas dalam mengatur metabolisme glukosa dalam tubuh berupa hormon-hormon
yang disekresikan oleh sel – sel dipulau langerhans. Hormon-hormon ini dapat diklasifikasikan
sebagai hormon yang merendahkan kadar glukosa darah yaitu insulin dan hormon yang dapat
meningkatkan glukosa darah yaitu glukagon.

Fisiologi Insulin :
Hubungan yang erat antara berbagai jenis sel dipulau langerhans menyebabkan timbulnya
pengaturan secara langsung sekresi beberapa jenis hormone lainnya, contohnya insulin
menghambat sekresi glukagon, somatostatin menghambat sekresi glukagon dan insulin.
Pankreas menghasilkan :
a)      Garam NaHCO3 : membuat suasana basa.
b)      Karbohidrase : amilase ubah amilum → maltosa.
c)      Dikarbohidrase : a.maltase ubah maltosa → 2 glukosa.
d)      Sukrase ubah sukrosa → 1 glukosa + 1 fruktosa.
e)      Laktase ubah laktosa → 1 glukosa + 1 galaktosa.
f)       lipase mengubah lipid → asam lemak + gliserol.
g)      enzim entrokinase mengubah tripsinogen → tripsin dan ubah pepton → asam amino.
Pulau Langerhans

Kepulauan Langerhans Membentuk organ endokrin yang menyekresikan insulin, yaitu


sebuah homron antidiabetika, yang diberikan dalam pengobatan diabetes. Insulin ialah sebuah
protein yang dapat turut dicernakan oleh enzim-enzim pencerna protein dan karena itu tidak
diberikan melalui mulut melainkan dengan suntikan subkutan.
Insulin mengendalikan kadar glukosa dan bila digunakan sebagia pengobatan dalam hal
kekurangan seperti pada diabetes, ia memperbaiki kemampuan sel tubuh untuk mengasorpsi dan
menggunakan glukosa dan lemak.
Pada pankreas paling sedikit terdapat empat peptida dengan aktivitas hormonal yang
disekresikan oleh pulau-pulau (islets) Langerhans. Dua dari hormon-hormon tersebut, insulin dan
glukagon memiliki fungsi penting dalam pengaturan metabolisme karbohidrat, protein, dan
lemak. Hormon ketiga, somatostatin berperan dalam pengaturan sekresi sel pulau, dan yang
keempat polipeptida pankreas berperan pada fungsi saluran cerna.
Hormon Insulin
Insulin merupakan protein kecil, terdiri dari dua rantai asam amino yang satu sama
lainnya dihubungkan oleh ikatan disulfida. Bila kedua rantai asam amino dipisahkan, maka
aktivitas fungsional dari insulin akan hilang. Translasi RNA insulin oleh ribosom yang melekat
pada reticulum endoplasma membentuk preprohormon insulin -- melekat erat pada reticulum
endoplasma -- membentuk proinsulin -- melekat erat pada alat golgi -- membentuk insulin --
terbungkus granula sekretorik dan sekitar seperenam lainnya tetap menjadi proinsulin yang tidak
mempunyai aktivitas insulin.
Insulin dalam darah beredar dalam bentuk yang tidak terikat dan memilki waktu paruh 6
menit. Dalam waktu 10 sampai 15 menit akan dibersihkan dari sirkulasi. Kecuali sebagian
insulin yang berikatan dengan reseptor yang ada pada sel target, sisa insulin didegradasi oleh
enzim insulinase dalam hati, ginjal, otot, dan dalam jaringan yang lain.
Reseptor insulin merupakan kombinasi dari empat subunit yang saling berikatan bersama
oleh ikatan disulfide, 2 subunit alfa ( terletak seluruhnya di luar membrane sel ) dan 2 subunit
beta ( menembus membrane, menonjol ke dalam sitoplasma ). Insulin berikatan dengan subunit
alfa -- subunit beta mengalami autofosforilasi -- protein kinase -- fosforilasi dari banyak enzim
intraselular lainnya.
Insulin bersifat anabolik, meningkatkan simpanan glukosa, asam-asam lemak, dan asam-
asam amino. Glukagon bersifat katabolik, memobilisasi glukosa, asam-asam lemak, dan asam-
asam amino dari penyimpanan ke dalam aliran darah. Kedua hormon ini bersifat berlawanan
dalam efek keseluruhannya dan pada sebagian besar keadaan disekresikan secara timbal balik.
Insulin yang berlebihan menyebabkan hipoglikemia, yang menimbulkan kejang dan koma.
Defisiensi insulin baik absolut maupun relatif, menyebabkan diabetes melitus, suatu
penyakit kompleks yang bila tidak diobati dapat mematikan. Defisiensi glukagon dapat
menimbulkan hipoglikemia, dan kelebihan glukagon menyebabkan diabetes memburuk.
Produksi somatostatin yang berlebihan oleh pankreas menyebabkan hiperglikemia dan
manifestasi diabetes lainnya.
a)      Sintesis Insulin
  Insulin disintesis oleh sel-sel beta, terutama ditranslasikan ribosom yang melekat pada retikulum
endoplasma (mirip sintesis protein) dan menghasilkan praprohormon insulin dengan berat
molekul sekitar 11.500.
  Kemudian praprohormon diarahkan oleh rangkaian "pemandu" yang bersifat hidrofibik dan
mengandung 23 asam amino ke dalam sisterna retikulumendoplasma.

Struktur kovalen insulin manusia


  Di retikulum endoplasma, praprohormon ini dirubah menjadi proinsulin dengan berat molekul
kira-kira 9000 dan dikeluarkan dari retikulum endoplasma.
  Molekul proinsulin diangkut ke aparatus golgi, di sini proteolisis serta pengemasan ke dalam
granul sekretorik dimulai.
  Di aparatus golgi, proinsulin yang semua tersusun oleh rantai B—peptida (C) penghubung—
rantai A, akan dipisahkan oleh enzim mirip tripsin dan enzim mirip karboksipeptidase.
  Pemisahan itu akan menghasilkan insulin heterodimer (AB) dan C peptida. Peptida-C dengan
jumlah ekuimolar tetap terdapat dalam granul, tetapi tidak mempunyai aktivitas biologik yang
diketahui.

b)      Sekresi Insulin


Sekresi insulin merupakan proses yang memerlukan energi dengan melibatkan sistem
mikrotubulus-mikrofilamen dalam sel B pada pulau Lengerhans. Sejumlah kondisi intermediet
turut membantu pelepasan insulin :
  Glukosa: apabila kadar glukosa darah melewati ambang batas normal—yaitu 80-100 mg/dL–
maka insulin akan dikeluarkan dan akan mencapai kerja maksimal pada kadar glukosa 300-500
mg/dL.
  Dalam waktu 3 sampai 5 menit sesudah terjadi peningkatan segera kadar glukosa darah, insulin
meningkat sampai hampir 10 kali lipat. Keadaan ini disebabkan oleh pengeluaran insulin yang
sudah terbentuk lebih dahulu oleh sel beta pulau langerhans pancreas. Akan tetapi, kecepatan
sekresi awal yang tinggi ini tidak dapat dipertahankan, sebaliknya, dalam waktu 5 sampai 10
menit kemudian kecepatan sekresi insulin akan berkurang sampai kira-kira setengah dari kadar
normal.
  Kira-kira 15 menit kemudian, sekresi insulin meningkat untuk kedua kalinya, sehingga dalam
waktu 2 sampai 3 jam akan mencapai gambaran seperti dataran yang baru, biasanya pada saat ini
kecepatan sekresinya bahkan lebih besar daripada kecepatan sekresi pada tahap awal. Sekresi ini
disebabkan oleh adanya tambahan pelepasan insulin yang sudah lebih dahulu terbentuk dan oleh
adanya aktivasi system enzim yang mensintesis dan melepaskan insulin baru dari sel.
  Naiknya sekresi insulin akibat stimulus glukosa menyebabkan meningkatnya kecepatan dan
sekresi secara dramatis. Selanjutnya, penghentian sekresi insulin hampir sama cepatnya, terjadi
dalam waktu 3 sampai 5 menit setelah pengurangan konsentrasi glukosa kembali ke kadar puasa.
  Peningkatan glukosa darah meningkatkan sekresi insulin dan insulin selanjutnya meningkatkan
transport glukosa ke dalam hati, otot, dan sel lain, sehingga mengurangi konsentrasi glukosa
darah kembali ke nilai normal. Insulin dilepaskan pada suatu kadar batas oleh sel-sel beta pulau
langerhans. Rangsangan utama pelepasan insulin diatas kadar basal adalah peningkatan kadar
glukosa darah. Kadar glukosa darah puasa dalam keadaan normal adalah 80-90 mg/dl. Insulin
bekerja dengan cara berkaitan dengan reseptor insulin dan setelah berikatan, insulin bekerja
melalui perantara kedua untuk menyebabkan peningkatan transportasi glukosa kedalam sel dan
dapat segera digunakan untuk menghasilkan energi atau dapat disimpan didalam hati (Guyton &
Hall, 1999)

DIABETES MELLITUS
A.     Pengertian
Diabetes Melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetic dan klinis termasuk
heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat (Price dan Wilson, 1995).
Diabetes melitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai keluhan
metabolic akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada
berbagai organ dan system tubuh seperti mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah, dan lain-lain
(Mansjoer, 1999).
Diabetes melitus adalah sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan
kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Brunner dan Suddarth, 2002).
Diabetes mellitus adalah sindrom yang disebabkan oleh ketidaseimbangan antara tuntutan
dan suplai insulin (H. Rumahorbo, 1999).
Diabetes mellitus adalah kumpulan gejala yang timbul pada seseorang akibat peningkatan
kadar glukosa darah yang disebabkan oleh kekurangan insulin baik absolut maupun relatif
(Suyono, 2002).

B.      Klasifikasi
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan bentuk diabetes mellitus berdasarkan
perawatan dan simtoma:[2]

1.      Diabetes tipe 1, yang meliputi simtoma ketoasidosis hingga rusaknya sel beta di dalam pankreas
yang disebabkan atau menyebabkan autoimunitas, dan bersifat idiopatik. Diabetes mellitus
dengan patogenesis jelas, seperti fibrosis sistik atau defisiensi mitokondria, tidak termasuk pada
penggolongan ini.
2.      Diabetes tipe 2, yang diakibatkan oleh defisiensi sekresi insulin, seringkali disertai dengan
sindrom resistansi insulin
3.      Diabetes gestasional, yang meliputi gestational impaired glucose tolerance, GIGT dan
gestational diabetes mellitus, GDM.

dan menurut tahap klinis tanpa pertimbangan patogenesis, dibuat menjadi:

1.      Insulin requiring for survival diabetes, seperti pada kasus defisiensi peptida-C.
2.      Insulin requiring for control diabetes. Pada tahap ini, sekresi insulin endogenus tidak cukup
untuk mencapai gejala normoglicemia, jika tidak disertai dengan tambahan hormon dari luar
tubuh.
3.      Not insulin requiring diabetes.

Kelas empat pada tahap klinis serupa dengan klasifikasi IDDM (bahasa Inggris: insulin-
dependent diabetes mellitus), sedang tahap kelima dan keenam merupakan anggota klasifikasi
NIDDM (bahasa Inggris: non insulin-dependent diabetes mellitus). IDDM dan NIDDM
merupakan klasifikasi yang tercantum pada International Nomenclature of Diseases pada tahun
1991 dan revisi ke-10 International Classification of Diseases pada tahun 1992.

Klasifikasi Malnutrion-related diabetes mellitus, MRDM, tidak lagi digunakan oleh karena,
walaupun malnutrisi dapat memengaruhi ekspresi beberapa tipe diabetes, hingga saat ini belum
ditemukan bukti bahwa malnutrisi atau defisiensi protein dapat menyebabkan diabetes. Subtipe
MRDM; Protein-deficient pancreatic diabetes mellitus, PDPDM, PDPD, PDDM, masih
dianggap sebagai bentuk malnutrisi yang diinduksi oleh diabetes mellitus dan memerlukan
penelitian lebih lanjut. Sedangkan subtipe lain, Fibrocalculous pancreatic diabetes, FCPD,
diklasifikasikan sebagai penyakit pankreas eksokrin pada lintasan fibrocalculous pancreatopathy
yang menginduksi diabetes mellitus.
Klasifikasi Impaired Glucose Tolerance, IGT, kini didefinisikan sebagai tahap dari cacat regulasi
glukosa, sebagaimana dapat diamati pada seluruh tipe kelainan hiperglisemis. Namun tidak lagi
dianggap sebagai diabetes.

Klasifikasi Impaired Fasting Glycaemia, IFG, diperkenalkan sebagai simtoma rasio gula darah
puasa yang lebih tinggi dari batas atas rentang normalnya, tetapi masih di bawah rasio yang
ditetapkan sebagai dasar diagnosa diabetes.

C.      Etiologi
1.      Diabetes tipe I:
a.      Faktor genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi mewarisi suatu predisposisi
atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan
pada individu yang memiliki tipe antigen HLA.
b.      Faktor-faktor imunologi
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi terarah pada
jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-
olah sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin
endogen.
c.       Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi selbeta.
2.      Diabetes Tipe II
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada
diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang peranan dalam proses
terjadinya resistensi insulin.
Faktor-faktor resiko :
a.         Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)
b.         Obesitas
c.         Riwayat keluarga

D.     PATOFISIOLOGI DIABETES MELLITUS


Kemungkinan induksi diabetes tipe 2 dari berbagai macam kelainan hormonal, seperti
hormon sekresi kelenjar adrenal, hipofisis dan tiroid merupakan studi pengamatan yang sedang
baik di saat ini. Sebagai contoh, timbulnya IGT dan diabetes mellitus sering disebut terkait oleh
akromegali dan hiperkortisolisme atau sindrom Cushing. Hipersekresi hormon GH pada
akromegali dan sindrom Cushing sering berakibat pada resistansi insulin, baik pada hati dan
organ lain, dengan simtoma hiperinsulinemia dan hiperglisemia, yang berdampak pada penyakit
kardiovaskular dan berakibat kematian.
GH memang memiliki peran penting dalam metabolisme glukosa dengan menstimulasi
glukogenesis dan lipolisis, dan meningkatkan kadar glukosa darah dan asam lemak. Sebaliknya,
insulin-like growth factor 1 (IGF-I) meningkatkan kepekaan terhadap insulin, terutama pada otot
lurik. Walaupun demikian, pada akromegali, peningkatan rasio IGF-I tidak dapat menurunkan
resistansi insulin, oleh karena berlebihnya GH.
Terapi dengan somatostatin dapat meredam kelebihan GH pada sebagian banyak orang,
tetapi karena juga menghambat sekresi insulin dari pankreas, terapi ini akan memicu komplikasi
pada toleransi glukosa. Sedangkan hipersekresi hormon kortisol pada hiperkortisolisme yang
menjadi penyebab obesitas viseral, resistansi insulin, dan dislipidemia, mengarah pada
hiperglisemia dan turunnya toleransi glukosa, terjadinya resistansi insulin, stimulasi
glukoneogenesis dan glikogenolisis. Saat bersinergis dengan kofaktor hipertensi, hiperkoagulasi,
dapat meningkatkan risiko kardiovaskular. Hipersekresi hormon juga terjadi pada kelenjar tiroid
berupa tri-iodotironina dengan hipertiroidisme yang menyebabkan abnormalnya toleransi
glukosa.
Pada penderita tumor neuroendokrin, terjadi perubahan toleransi glukosa yang disebabkan
oleh hiposekresi insulin, seperti yang terjadi pada pasien bedah pankreas, feokromositoma,
glukagonoma dan somatostatinoma.
Hipersekresi hormon ditengarai juga menginduksi diabetes tipe lain, yaitu tipe 1. Sinergi
hormon berbentuk sitokina, interferon-gamma dan TNF-α, dijumpai membawa sinyal apoptosis
bagi sel beta, baik in vitro maupun in vivo.[31] Apoptosis sel beta juga terjadi akibat mekanisme
Fas-FasL,[32][33] dan/atau hipersekresi molekul sitotoksik, seperti granzim dan perforin; selain
hiperaktivitas sel T CD8- dan CD4
a. DM Tipe I
Pada Diabetes tipe I terdapat ketidak mampuan pankreas menghasilkan insulin karena hancurnya
sel-sel beta pulau langerhans. Dalam hal ini menimbulkan hiperglikemia puasa dan
hiperglikemia post prandial.
Dengan tingginya konsentrasi glukosa dalam darah, maka akan muncul glukosuria (glukosa
dalam darah) dan ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan
(diuresis osmotic) sehingga pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliurra) dan
rasa haus (polidipsia).
Defesiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak sehingga terjadi penurunan
berat badan akan muncul gejala peningkatan selera makan (polifagia). Akibat yang lain yaitu
terjadinya proses glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukogeonesis tanpa
hambatan sehingga efeknya berupa pemecahan lemak dan terjadi peningkatan keton yangdapat
mengganggu keseimbangan asam basa dan mangarah terjadinya ketoasidosis (Corwin, 2000)

b. DM Tipe II
Terdapat dua masalah utama pada DM Tipe II yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin. Normalnya insulin akan berkaitan pada reseptor kurang dan meskipun kadar insulin
tinggi dalam darah tetap saja glukosa tidak dapat masuk kedalam sel sehingga sel akan
kekurangan glukosa.
Mekanisme inilah yang dikatakan sebagai resistensi insulin. Untuk mengatasi resistensi insulin
dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah yang berlebihan maka harus terdapat
peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Namun demikian jika sel-sel beta tidak mampu
mengimbanginya maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadilah DM tipe II (Corwin, 2000)

E. Manifestasi Klinik
a.      Poliuria
Kekurangan insulin untuk mengangkut glukosa melalui membrane dalam sel menyebabkan
hiperglikemia sehingga serum plasma meningkat atau hiperosmolariti menyebabkan cairan
intrasel berdifusi kedalam sirkulasi atau cairan intravaskuler, aliran darah ke ginjal meningkat
sebagai akibat dari hiperosmolariti dan akibatnya akan terjadi diuresis osmotic (poliuria).
b.      Polidipsia
Akibat meningkatnya difusi cairan dari intrasel kedalam vaskuler menyebabkan penurunan
volume intrasel sehingga efeknya adalah dehidrasi sel. Akibat dari dehidrasi sel mulut menjadi
kering dan sensor haus teraktivasi menyebabkan seseorang haus terus dan ingin selalu minum
(polidipsia).
c.       Poliphagia
Karena glukosa tidak dapat masuk ke sel akibat dari menurunnya kadar insulin maka produksi
energi menurun, penurunan energi akan menstimulasi rasa lapar. Maka reaksi yang terjadi adalah
seseorang akan lebih banyak makan (poliphagia).
d.      Penurunan berat badan
Karena glukosa tidak dapat di transport kedalam sel maka sel kekurangan cairan dan tidak
mampu mengadakan metabolisme, akibat dari itu maka sel akan menciut, sehingga seluruh
jaringan terutama otot mengalami atrofidan penurunan secara otomatis.
e.      Malaise atau kelemahan (Brunner & Suddart, 2002)

F.       KOMPLIKASI
Diabetes Mellitus bila tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan komplikasi pada berbagai
organ tubuh seperti mata, ginjal, jantung, pembuluh darah kaki, saraf, dan lain-lain (corwin,
2000)
Komplikasi jangka lama termasuk penyakit kardiovaskular (risiko ganda), kegagalan kronis
ginjal (penyebab utama dialisis), kerusakan retina yang dapat menyebabkan kebutaan, serta
kerusakan saraf yang dapat menyebabkan impotensi dan gangren dengan risiko amputasi.
Komplikasi yang lebih serius lebih umum bila kontrol kadar gula darah buruk.
Diabetes Mellitus (DM) dengan karakteristik hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dapat
mengakibatkan berbagai macam komplikasi berupa komplikasi akut (yang terjadi secara
mendadak) dan komplikasi kronis (yang terjadi secara menahun).

Komplikasi akut dapat berupa :

1.      Hipoglikemia yaitu menurunnya kadar gula darah < 60 mg/dalam


2.      Keto Asidosis Diabetika (KAD) yaitu DM dengan asidosis metabolic dan hiperketogenesis
3.      Koma Lakto Asidosis yaitu penurunan kesadaran hipoksia yang ditimbulkan oleh
hiperlaktatemia.
4.      Koma Hiperosmolar Non Ketotik, gejala sama dengan no 2 dan 3 hanya saja tidak ada
hiperketogenesis dan hiperlaktatemia.

Komplikasi kronis :

Biasanya terjadi pada penderita DM yang tidak terkontrol dalam jangka waktu kurang lebih 5
tahun. Dapat dibagi berdasarkan pembuluh darah serta persarafan yang kena atau berdasakan
organ. Pembagian secara sederhana sebagai berikut :

1.      Makroangiopati, mengenai pembuluh darah besar (pembuluh darah yang dapat dilihat secara
mikroskopis) antara lain pembuluh darah jantung / Penyakit Jantung Koroner, pembuluh darah
otak /stroke, dan pembuluh darah tepi / Peripheral Artery Disease.
2.      Mikroangiopati, mengenai pembuluh darah mikroskopis antara lain retinopati diabetika
(mengenai retina mata) dan nefropati diabetika (mengenai ginjal).
3.      Neuropati, mengenai saraf tepi. Penderita bisa mengeluh rasa pada kaki/tangan berkurang atau
tebal pada kaki atau kaki terasa terbakar/bergetar sendiri.

Selain di atas, komplikasi kronis DM dapat dibagi berdasarkan organ yang terkena yaitu

1.      Kulit : Furunkel, karbunkel, gatal, shinspot (dermopati diabetik: bercak hitam di kulit daerah
tulang kering), necrobiosis lipoidica diabeticorum (luka oval, kronik, tepi keputihan), selulitis
ganggren,
2.      Kepala/otak : stroke, dengan segala deficit neurologinya
3.      Mata :Lensa cembung sewaktu hiperglikemia (myopia-reversibel,katarax irreversible),
Glaukoma, perdarahan corpus vitreus, Retinopati DM (non proliperative, makulopati,
proliferatif), N 2,3,6 (neuritis optika) & nerve centralis lain
4.      Hidung : penciuman menurun
5.      Mulut :mulut kering, ludah kental = verostamia diabetic, Lidah (tebal, rugae, gangguan rasa),
ginggiva (edematus, merah tua, gingivitis, atropi), periodontium (makroangiopati periodontitis),
gigi (caries dentis)
6.      Jantung : Penyakit Jantung Koroner, Silent infarction 40% kr neuropati otonomik, kardiomiopati
diabetika (Penyakit Jantung Diabetika)
7.      Paru : mudah terjangkit Tuberculosis (TB) paru dengan berbagai komplikasinya.
8.      Saluran Cerna : gastrointestinal (neuropati esofagus, gastroparese diabetikum (gastroparese
diabeticum), gastroatropi, diare diabetic)
9.      Ginjal dan saluran kencing : neuropati diabetik, sindroma kiemmelstiel Wilson, pielonefritis,
necrotizing pappilitis, Diabetic Neurogenic Vesical Disfunction, infeksi saluran kencing,
disfungsi ereksi/ impotensi, vulvitis.
10.  Saraf : Perifer: parestesia, anestesia, gloves neuropati, stocking, neuropati, kramp
11.  Sendi : poliarthritis
12.  Kaki diabetika (diabetic foot), merupakan kombinasi makroangiopati, mikroangopati, neuropati
dan infeksi pada kaki.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Glukosa darah sewaktu


2. Kadar glukosa darah puasa
3. Tes toleransi glukosa

Kadar darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring diagnosis DM (mg/dl)
Bukan DM Belum pasti DM DM
Kadar glukosa darah sewaktu
        Plasma vena < 100 100-200 >200
<80 80-200 >200
        Darah kapiler
Kadar glukosa darah puasa <110 110-120 >126
        Plasma vena <90 90-110 >110
        Darah kapiler

Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan :
1.      Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
2.      Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
3.      Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75 gr
karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl.
H. TES DIAGNOSTIK
a.    Adanya glukosa dalam urine. Dapat diperiksa dengan cara benedict (reduksi) yang tidak
khasuntuk glukosa, karena dapat positif pada diabetes.
b.    Diagnostik lebih pasti adalah dengan memeriksa kadar glukosa dalam darah dengan cara
Hegedroton Jensen (reduksi).
1)      Gula darah puasa tinggi < 140 mg/dl.
2)      Test toleransi glukosa (TTG) 2 jam pertama < 200 mg/dl.
3)      Osmolitas serum 300 m osm/kg.
4)      Urine = glukosa positif, keton positif, aseton positif atau negative (Bare & suzanne, 2002)

I.        PENATALAKSANAAN MEDIK


Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan
kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi komplikasi vaskuler serta neuropati. Tujuan
terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal.
Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan diabetes :
1.      Diet
2.      Latihan
3.      Pemantauan
4.      Terapi (jika diperlukan)
5.      Pendidikan

Diabetes Mellitus jika tidak dikelola dengan baik akamn menimbulkan berbagai penyakit dan
diperlukan kerjasama semua pihak ditingkat pelayanan kesehatan. Untuk mencapai tujuan
tersebut dilakukan berbagai usaha dan akan diuraikan sebagai berikut :
a.      Perencanaan Makanan.
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal
karbohidrat, protein dan lemak yang sesuai dengan kecukupan gizi baik yaitu :
1) Karbohidrat sebanyak 60 – 70 %
2) Protein sebanyak 10 – 15 %
3) Lemak sebanyak 20 – 25 %
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut dan kegiatan
jasmani. Untuk kepentingan klinik praktis, penentuan jumlah kalori dipakai rumus Broca yaitu
Barat Badan Ideal = (TB-100)-10%, sehingga didapatkan =
1)      Berat badan kurang = < 90% dari BB Ideal
2)      Berat badan normal = 90-110% dari BB Ideal
3)      Berat badan lebih = 110-120% dari BB Ideal
4)      Gemuk = > 120% dari BB Ideal.
Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari BB Ideal dikali kelebihan kalori basal yaitu untuk
laki-laki 30 kkal/kg BB, dan wanita 25 kkal/kg BB, kemudian ditambah untuk kebutuhan kalori
aktivitas (10-30% untuk pekerja berat). Koreksi status gizi (gemuk dikurangi, kurus ditambah)
dan kalori untuk menghadapi stress akut sesuai dengan kebutuhan.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut diatas dibagi dalam beberapa
porsi yaitu :
1) Makanan pagi sebanyak 20%
2) Makanan siang sebanyak 30%
3) Makanan sore sebanyak 25%
4) 2-3 porsi makanan ringan sebanyak 10-15 % diantaranya.
b. Latihan Jasmani
Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30 menit yang
disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penyakit penyerta.
Sebagai contoh olah raga ringan adalah berjalan kaki biasa selama 30 menit, olehraga sedang
berjalan cepat selama 20 menit dan olah raga berat jogging.
a.      Obat Hipoglikemik
1)      Sulfonilurea
Obat golongan sulfonylurea bekerja dengan cara :
1)      Menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan.
2)      Menurunkan ambang sekresi insulin.
3)      Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa.
Obat golongan ini biasanya diberikan pada pasien dengan BB normal dan masih bisa dipakai
pada pasien yang beratnya sedikit lebih.
Klorpropamid kurang dianjurkan pada keadaan insufisiensi renal dan orangtua karena resiko
hipoglikema yang berkepanjangan, demikian juga gibenklamid. Glukuidon juga dipakai untuk
pasien dengan gangguan fungsi hati atau ginjal.
2)      Biguanid
Preparat yang ada dan aman dipakai yaitu metformin.
Sebagai obat tunggal dianjurkan pada pasien gemuk (imt 30) untuk pasien yang berat lebih (imt
27-30) dapat juga dikombinasikan dengan golongan sulfonylurea
3)      Insulin
Indikasi pengobatan dengan insulin adalah :
a)      Semua penderita DM dari setiap umur (baik IDDM maupun NIDDM) dalam keadaan
ketoasidosis atau pernah masuk kedalam ketoasidosis.
b)      DM dengan kehamilan/ DM gestasional yang tidak terkendali dengan diet (perencanaan
makanan).
c)      DM yang tidak berhasil dikelola dengan obat hipoglikemik oral dosif maksimal. Dosis insulin
oral atau suntikan dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan perlahan – lahan sesuai dengan
hasil glukosa darah pasien. Bila sulfonylurea atau metformin telah diterima sampai dosis
maksimal tetapi tidak tercapai sasaran glukosa darah maka dianjurkan penggunaan kombinasi
sulfonylurea dan insulin.
d)     Penyuluhan untuk merancanakan pengelolaan sangat penting untuk mendapatkan hasil yang
maksimal. Edukator bagi pasien diabetes yaitu pendidikan dan pelatihan mengenai pengetahuan
dan keterampilan yang bertujuan menunjang perubahan perilaku untuk meningkatkan
pemahaman pasien akan penyakitnya, yang diperlukan untuk mencapai keadaan sehat yang
optimal. Penyesuaian keadaan psikologik kualifas hidup yang lebih baik. Edukasi merupakan
bagian integral dari asuhan keperawatan diabetes (Bare & Suzanne, 2002)
J.        ASKEP TEORITIS
1.      Pengkajian
         Riwayat Kesehatan Keluarga
         Adakah keluarga yang menderita penyakit seperti klien ?
         Riwayat Kesehatan Pasien dan Pengobatan Sebelumnya
         Berapa lama klien menderita DM, bagaimana penanganannya, mendapat terapi insulin jenis
apa, bagaimana cara minum obatnya apakah teratur atau tidak, apa saja yang dilakukan klien
untuk menanggulangi penyakitnya.
         Aktivitas/ Istirahat :
Letih, Lemah, Sulit Bergerak / berjalan, kram otot, tonus otot menurun.
         Sirkulasi
Adakah riwayat hipertensi,AMI, klaudikasi, kebas, kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki
yang penyembuhannya lama, takikardi, perubahan tekanan darah
         Integritas Ego
Stress, ansietas
         Eliminasi
Perubahan pola berkemih ( poliuria, nokturia, anuria ), diare
         Makanan / Cairan
Anoreksia, mual muntah, tidak mengikuti diet, penurunan berat badan, haus, penggunaan
diuretik.
         Neurosensori
Pusing, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan pada otot, parestesia,gangguan penglihatan.
         Nyeri / Kenyamanan
Abdomen tegang, nyeri (sedang / berat)
         Pernapasan
Batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergangung adanya infeksi / tidak)
         Keamanan
Kulit kering, gatal, ulkus kulit.

2.      Diagnose Keperawatan


1.      Defisit volume cairan berhubungan dengan hiperglikemia, diare, muntah, poliuria, evaporasi.
2.      Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan
masukan oral, anoreksia, mual, peningkatan metabolisme protein, lemak.
3.      Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka.
4.      Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan fungsi leucosit/ gangguan sirkulasi.
5.      Resiko gangguan persepsi sensoris : penglihatan berhubungan dengan perubahan fungsi
fisiologis akibat ketidakseimbangan glukosa/insulin atau karena ketidakseimbangan elektrolit.
6.      Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan energi, perubahan kimia darah,
insufisiensi insulin, peningkatan kebutuhan energi, infeksi, hipermetabolik.
7.      Nyeri berhubungan dengan adanya ulcus (luka diabetes mellitus).
8.      Penurunan rawat diri berhubungan dengan kelemahan.
9.      Kurang pengetahuan mengenai penyakitnya, prognosis penyakit dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kesalahan interprestasi (Doengoes, 2001).
3.      INTERVENSI
Diagnosa : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka.
Tujuan : Klien akan mempertahankan integritas kulit tetap utuh dan terhindar dari inteksi dengan
kriteria :
1) Tidak ada tanda – tanda infeksi.
2) Tidak ada luka.
3) Tidak ditemukan adanya perubahan warna kulit.
Intervensi :
INTERVENSI RASIONAL
1.      Observasi tanda – tanda
1.      Kemerahan, edema, luka
infeksi drainase, cairan dari luka
menunjukkan adanya infeksi.

2.      Ajarkan klien untuk mencuci


2.      Mencegah cross contamination.
tangan dengan baik, untuk
mempertahankan kebersihan
tangan pada saat melakukan
prosedur.
3.      Pertahankan kebersihan kulit.3.      Gangguan sirkulasi perifer
dapat terjadi bila menempatkan
pasien pada kondisi resiko
4.      Dorong klien mengkonsumsi iritasi kulit.
diet secara adekuat dan intake
cairan 3000 ml/hari. 4.      Peningkatan pengeluaran urine
akan mencegah statis dan
mempertahankan PH urine yang
dapat mencegah terjadinya
5.      Antibiotik bila ada indikasi perkembangan bakteri.

5.      Mencegah terjadinya


perkembangan bakteri.

TINJAUAN KASUS
Kasus
Anakku sering mengompol
Ibu An B (3 Tahun) mengatakan anaknya sering mengompol,sering minum dan sering
merasa lapar,dan tampak mudah lelah. Dokter menghimbau untuk memberikan perhatian ekstra
kepada anaknya agar tidak mengalami obesitas dan memiliki kegiatan fisik untuk menjaga
kebugaran tubuhnya. Setelah melakukan pemeriksaan gula darah,dokter memberikan terapi
insulin.
Proses keperawatan
1. PENGKAJIAN
a)      Anamnesis
a.      Identitas Pasien
Nama : Ibu An B
Umur : 3 Tahun.
Agama : Islam.
Suku Bangsa : Jawa Indonesia.
b.      Riwayat kesehatan

1.      Keluhan utama.


Sering mengompol
2.      Riwayat penyakit sekarang.
Sering merasa lapar dan mudah lelah
3.      Riwayat penyakit dahulu : -
4.      Riwayat penyakit keluarga : -
5.      Riwayat psikososial : -

b)     Pemeriksaan fisik (HEAD TO TOE)


1)      Keadaan umum : ComposMentis (CM)
2)      Kesadaran :-
3)      Vital Sign:
a.      RR : - x/Menit.
b.      Nadi: - x/Menit.
c.       Suhu: - C.
d.      TD: - mmHg.
4)      BB/TB : BB- Kg,TB - cm
5)      Kepala :
a.      Mata : -
b.      Telinga :-
c.       Hidung :-
d.      Mulut :-
e.      Tenggorokan : -
6)      Leher :-
7)      Dada/Thorax :
a.      Simetris :-
b.      Retraksi dada :-
c.       Ketinggalan gerak:-
8)      Paru-paru :-
a.      Suara dasar :-
b.      Suara tambahan :-
c.       Suara nafas :-
d.      Bunyi nafas :-
e.      Respirasi spontan :-
9)      Jantung :
a.      Bunyi jantung 1-2 murni :-
b.      Bunyi jantung tambahan :-
c.       Batas jantung kanan ;-
10)  Abdomen :
a.      Bentuk:
b.      Bising usus :-
c.       Peristaltik :-
d.      Nyeri Tekan :-
11)  Genitalia :-
12)  Extremitas :-
Kanan Kiri

Gerak - -
Tonus - -
Trofi - -
Reflek fisiologis - -
Reflek patologis - -
Meningeal sign - -

ANALIA DATA
N
SYMPTOM ETIOLOGI MASALAH
O
1 DS:

        Ibu klien mengeluh anaknya Ketonemia Resti Nutrisi

sering merasa lapar dan mudah kurang dari

lelah. Ph kebutuhan
Mual Muntah
DO:
Nutrisi kurang dari
        TD - mmHg, N - x/m,
kebutuhan
        BB: -
DS :
Hiperglikemia
        Klien sering mengompol dan
2. Glukosuria Kekurangan
sering merasa haus
Osmotic diuresis volume cairan
DO :
Kekurangan volume
        BB - kg,
cairan
        TB - cm

B.      Perumusan Diagnosa


a.      Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan
masukan oral, anoreksia, mual, peningkatan metabolisme protein, lemak.
b.      Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotic

C.      Intervensi
a.      Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan
masukan oral, anoreksia, mual, peningkatan metabolisme protein, lemak.
Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil :
  Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang tepat
  Berat badan stabil atau penambahan ke arah rentang biasanya
Intervensi :
  Timbang berat badan setiap hari atau sesuai dengan indikasi.
  Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat
dihabiskan pasien.
  Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen / perut kembung, mual, muntahan makanan
yang belum sempat dicerna, pertahankan keadaan puasa sesuai dengan indikasi.
  Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrien) dan elektrolit dengan segera jika
pasien sudah dapat mentoleransinya melalui oral.
  Libatkan keluarga pasien pada pencernaan makan ini sesuai dengan indikasi.
  Observasi tanda-tanda hipoglikemia seperti perubahan tingkat kesadaran, kulit lembab/dingin,
denyut nadi cepat, lapar, peka rangsang, cemas, sakit kepala.
  Kolaborasi melakukan pemeriksaan gula darah.
  Kolaborasi pemberian pengobatan insulin.
  Kolaborasi dengan ahli diet.

b.      Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik.


Tujuan : kebutuhan cairan atau hidrasi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil :
Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat
diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urin tepat secara individu dan kadar
elektrolit dalam batas normal.
Intervensi :
  Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan TD ortostatik
  Pantau pola nafas seperti adanya pernafasan kusmaul
  Kaji frekuensi dan kualitas pernafasan, penggunaan otot bantu nafas
  Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa
  Pantau masukan dan pengeluaran
  Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit 2500 ml/hari dalam batas yang dapat
ditoleransi jantung
  Catat hal-hal seperti mual, muntah dan distensi lambung.
  Observasi adanya kelelahan yang meningkat, edema, peningkatan BB, nadi tidak teratur
  Kolaborasi : berikan terapi cairan normal salin dengan atau tanpa dextrosa, pantau pemeriksaan
laboratorium (Ht, BUN, Na, K)
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilyn E, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien edisi 3 alih bahasa I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, Jakarta : EGC, 1999.
Arjatmo Tjokronegoro. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu.Cet 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI,
2002
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8
Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih, Jakarta : EGC,
2002.
Gibson, John, 2003, Anatomi dan Fisiologi Modern untuk Perawat, EGC, Jakarta

Ikram, Ainal, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Diabetes Mellitus Pada Usia Lanjut jilid I Edisi ketiga,
Jakarta : FKUI, 1996.

Anda mungkin juga menyukai