Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
OLEH KELOMPOK 3
1. PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetorkan paling lambat
tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah bulan Masa Pajak.
2. PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP harus
dibayar/disetor sesuai batas waktu yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP
tersebut.
3. PPN/PPnBM atas Impor, harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea
Masuk, dan apabila pembayaran Bea Masuk ditunda/dibebaskan, harus dilunasi pada
saat penyelesaian dokumen Impor.
4. PPN/PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh:
- Bendaharawan Pemerintah, harus disetor paling lambat tanggal 7 bulan takwim
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
- Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang memungut PPN / PPnBM atas Impor,
harus menyetor dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan pajak dilakukan.
5. PPN dari penyerahan tepung terigu oleh Badan Urusan Logistik (BULOG), harus
dilunasi sendiri oleh PKP sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang (D.O) ditebus.
Catatan :
Apabila tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran jatuh pada hari libur,
maka pembayaran atau penyetoran dapat dilaksanakan pada hari kerja berikutnya.
1. PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa
dan disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak setempat paling lambat 20 hari
setelah Masa Pajak berakhir.
2. PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP yang telah
dilunasi segera dilaporkan ke KPP yang menerbitkan.
3. PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan:
a. Bendaharawan Pemerintah harus dilaporkan paling lambat 14 hari setelah bulan
dilakukannya pembayaran atas tagihan.
b. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas Impor, harus dilaporkan secara mingguan
selambat-lambatnya 7 hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.
4. Untuk penyerahan tepung terigu oleh BULOG, maka PPN dan PPnBM dihitung
sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan disampaikan kepada KPP
setempat paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
Catatan :
Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPN bertepatan dengan
hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau pelaporan dapat
dilakukan pada hari kerja berikutnya
1. Untuk membayar/menyetor PPN dan PPnBM digunakan formulir Surat Setoran Pajak
(SSP) yang tersedia di Kantor-kantor Pelayanan Pajak dan Kantor-kantor Penyuluhan
dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) di seluruh Indonesia.
2. Surat Setoran Pajak (SSP) menjadi lengkap dan sah bila jumlah PPN/ PPn BM yang
disetorkan telah sesuai dengan yang tercantum di dalam Daftar Nominatif Wajib Pajak
(DNWP) yang dibuat oleh: Bank penerima pembayaran, Kantor Pos dan Giro, atau
Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai penerima setoran.
1.2 PPN Keluaran Atas Penjualan ke PKP, Pemerintah dan ke Bonded Zone Area
Pajak keluaran ialah pajak yang dikenakan ketika subjek pajak melakukan penjualan
terhadap barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP) yang tergolong barang
mewah. Dalam hal ini subjek pajak yang dimaksud adalah pengusaha kena pajak atau
PKP yang melakukan transaksi jual beli barang. Artinya PKP mengambil atau memungut
rupiah yang dihasilkan dari penjualan BKP miliknya yang dibeli konsumen. Yang
nantinya dapat berpungsi sebagai kredit atau pengurang pajak. Menjadi kredit atau
pengurang karena sebelumnya PKP telah dikenakan tarif pajak yang sama atas pembelian
barang tersebut. Jadi PPN dalam hal ini hanya terjadi pelimpahan beban. Adapun batas
waktu untuk melakukan kredit pajak keluaran adalah tiga bulan setelah masa pajak
berakhir sehingga PKP memiliki banyak waktu untuk melakukan pengkreditan pajak.
Pengertian Kawasan Berikat adalah suatu bangunan, tempat, atau kawasan dengan
batas-batas tertentu yang di dalamnya dilakukan kegiatan usaha industri pengolahan
barang dan bahan, kegiatan rancang bangun, perekayasaan, penyortiran, pemeriksaan
awal, pemeriksaan akhir, dan pengepakan atas barang dan bahan asal impor atau barang
dan bahan dari dalam Daerah Pabean Indonesia lainnya, yang hasilnya terutama untuk
tujuan ekspor. (Peraturan Pemerintah no 33 tahun 1996)
Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 1986, yang dimaksud
dengan Kawasan Berikat (Bonded Zone) yaitu suatu kawasan dengan batas-batas tertentu
di wilayah pabean Indonesia yang didalamnya diberlakukan ketentuan khusus di bidang
kepabeanan, yaitu barang-barang yang dimasukkan dari luar daerah pabean atau dari
dalam daerah pabean Indonesia lainnya tanpa terlebih dahulu terkena pungutan bea-
cukai, dan atau pungutan negara lainnya sampai barang tersebut dikeluarkan dengan
tujuan impor, ekspor atau re-ekspor.
Pemungut PPn adalah bendaharawan, pemerintah, badan, atau instansi pemerinta yang
ditunjuk oleh menteri keuangan untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan pajak
yang terutang oleh PKP atas penyerahan BKP dan atau penyerahan JKP kepada
bendaharawan pemerintah, badan, atau instansi pemerintah tersebut. Namun demikian,
sejak satu januari 2004 pihak-pihak yang ditunjuk sebagai pemungut PPn adalah hanya
bendaharawan pemerintah dan KPKN. Bendaharawan pemerintah adalah bendaharawan
pejabat yang melakukan pembayaran yang dananya berasal dari APBN atau APBD yang
terdiri dari bendaharawan pemerintah pusat dan daerah baik provinsi, kabupaten
atau kota. PKP rekanan pemerintah adalah PKP yang menyerahkan BKP atau JKP
kepada bendaharawan pemerintah atau KPKN.
1.3 PPN Masukan Yang Dapat Dikreditkan, Pembayaran Pendahuluan Yang Tidak Dapat
Dikreditkan Perhitungan Kembali PPN Masukan
Pengkreditan pajak masukan merupakan suatu upaya dari Pengusaha Kena Pajak untuk
memasukkan kembali PPN yang telah dibayar melalui pajak keluaran yang telah dipungut
a. Syarat Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan
Beberapa syarat berikut ini harus dipenuhi dan berlaku untuk seluruh bidang usaha agar
pajak masukan suatu masa pajak dapat dikreditkan. Syarat pajak masukan dapat dikreditkan
antara lain:
1. Tercantum dalam faktur pajak lengkap atau dokumen tertentu yang diperlakukan sama
dengan faktur pajak.
2. Berhubungan langsung dengan kegiatan usaha.
Dalam rangka menghitung besaran pajak masukan yang dapat dikreditkan, pastikan
Anda menggunakan Dasar Hukum Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan.
Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan telah diatur dalam PMK No.
74/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan bagi
Pengusaha Kena Pajak yang Mempunyai Peredaran Usaha Tidak Melebihi Jumlah
Tertentu.
Syarat Pengusaha Kena Pajak Gunakan Pengkreditan Pajak Masukan
1. Mempunyai peredaran usaha dalam dua tahun buku sebelumnya, tidak melebihi
Rp1,8 Miliar untuk setiap satu tahun buku.
2. Wajib Pajak yang baru saja dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Selain itu, PKP juga harus memberitahukan secara tertulis kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak di tempat PKP tersebut dikukuhkan, paling lambat:
1. Pada saat batas waktu penyampaian SPT Masa PPN Masa Pajak Pertama dalam
tahun buku dimulainya penggunaan pedoman penghitungan pengkreditan pajak
masukan tersebut. Contoh: Jika Pengusaha Kena Pajak mulai menggunakan
pedoman tersebut pada tahun buku 2019, maka pada 28 Februari 2019 PKP
tersebut sudah harus menyampaikan pemberitahuan penggunaan pedoman
penghitungan tersebut.
2. Saat batas waktu penyampaian SPT Masa PPN Masa Pajak dikukuhkan sebagai
PKP, bagi Wajib Pajak yang baru saja dikukuhkan sebagai PKP. Contoh: Jika
Wajib Pajak baru saja dikukuhkan pada Mei 2019, maka pada 30 Juni 2019 PKP
tersebut sudah harus menyampaikan pemberitahuan.
Pengkreditan Pajak Masukan sebagai Lampiran SPT Masa PPN
Dalam proses penyelesaian SPT, Anda juga diminta untuk melampirkan bukti-bukti
berikut pada Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Pertambahan Nilai, di antara lain:
1. Bagi wajib pajak yang mengadakan pembukuan Laporan Keuangan berupa neraca
dan laporan laba rugi serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.
2. Untuk SPT Masa PPN sekurang-kurangnya memuat jumlah Dasar Pengenaan Pajak,
jumlah Pajak Keluaran, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, jumlah
Kekurangan atau Kelebihan Pajak.
3. Bagi wajib pajak yang menggunakan norma penghitungan jumlah peredaran yang
terjadi dalam tahun pajak yang bersangkutan.
b. Pengembalian Pendahuluan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak atau Restitusi Pendahuluan adalah
pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak
Patuh atau kepada WP lain yang memenuhi persyaratan tertentu.
1. Wajib Pajak Patuh
Wajib Pajak Patuh adalah Wajib Pajak (WP) yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak sebagai WP
yang memenuhi kriteria tertentu yang dapat diberikan restitusi pendahuluan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Wajib Pajak lain yang Memenuhi Persyaratan Tertentu
WP yang tidak berstatus sebagai WP Patuh dapat pula diberikan restitusi pendahuluan
asalkan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. WP orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
2. WP orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan jumlah
peredaran usaha yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh kurang dari Rp
1.800.000.000 dan jumlah lebih bayarnya kurang dari Rp 1.000.000 atau paling
banyak 0,5% dari jumlah peredaran usaha yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh
tersebut;
3. Wajib Pajak Badan dengan jumlah peredaran usaha yang tercantum dalam SPT
Tahunan PPh paling banyak Rp 5.000.000.000 dan jumlah lebih bayarnya kurang dari
Rp 10.000.000; atau
4. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai
dengan jumlah penyerahan untuk suatu Masa Pajak paling banyak Rp 150.000.000
dan jumlah lebih bayarnya paling banyak Rp 150.000.
Terhadap permohonan restitusi pendahuluan dari WP bukan WP Patuh yang memenuhi
persyaratan tersebut, Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) melakukan:
Penelitian atas:
o Kelengkapan SPT dan lampiran-lampirannya;
o Kebenaran penulisan dan penghitungan pajak;
o Kebenaran pembayaran pajak yang telah dilakukan oleh WP; dan
o Kebenaran alamat yang tercantum dalam SPT tersebut atau dalam SPT
perubahan alamat.
Penerbitan SKPPKP paling lama tiga bulan sejak permohonan diterima secara
lengkap untuk Pajak Penghasilan dan paling lama satu bulan sejak permohonan
diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai. Dalam hal hasil penelitian
menyatakan tidak lebih bayar, lampiran SPT tidak lengkap, pembayaran pajak tidak
benar, atau alamat tidak sesuai dengan yang tercantum dalam SPT atau dengan
pemberitahuan perubahan alamat sehingga SKPPKP tidak diterbitkan, maka Kepala
KPP harus memberitahukan secara tertulis kepada WP.
Pada umumnya pajak masukan yang diterima atas peroleh barang dapat dikreditkan
seluruhnya. Namun untuk pengusaha tertentu, pajak masukan tidak dapat dikreditkan
seluruhnya. PKP yang melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya sebagian terutang
pajak dan sebagian lainnya tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk Penyerahan
yang Terutang Pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan untuk Penyerahan yang Terutang Pajak dihitung dengan menggunakan pedoman
penghitungan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2009, Pada tanggal 30 Januari 2014, Pemerintah menetapkan Peraturan Menteri
Keuangan No 21/PMK.011/2014 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak
Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan
Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak. Kemudian pada tanggal 18 Juni 2014, PMK No.
21/PMK.011/2014 diubah menjadi PMK No. 135/PMk.011/2014. Berikut ini merupakan
contoh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan
Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak antara lain :
1.1. PKP yang melakukan dan/atau memanfaatkan kegiatan usaha terpadu (integrated).
Misalnya PKP yang menghasilkan jagung, dan juga mempunyai pabrik minyak
jagung (minyak jagung merupakan Barang Kena Pajak), yang sebagian jagung yang
dihasilkannya dijual kepada pihak lain dan sebagian lainnya diolah menjadi minyak
jagung.
2. PKP yang melakukan usaha jasa yang atas penyerahannya terutang dan tidak terutang
PPN.
Misalnya PKP yang bergerak di bidang perhotelan, disamping melakukan usaha jasa
di bidang perhotelan, juga melakukan penyerahan jasa persewaan ruangan untuk
tempat usaha.
3. PKP yang melakukan penyerahan barang dan jasa yang atas penyerahannya terutang
dan yang tidak terutang PPN.
Misalnya PKP yang kegiatan usahanya menghasilkan atau menyerahkan Barang Kena
Pajak berupa roti juga melakukan kegiatan di bidang jasa angkutan umum yang
merupakan jasa yang tidak dikenakan PPN.
4.4. PKP yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang terutang PPN dan yang
dibebaskan dari pengenaan PPN.
Misalnya pengusaha pembangunan perumahan yang melakukan penyerahan berupa
rumah mewah yang terutang PPN dan rumah sangat sederhana yang dibebaskan dari
pengenaan PPN.
Untuk Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan
Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak sebagaimana tersebut di atas, perlakuan
pengkreditan Pajak Masukan adalah sebagai berikut :
1. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang nyata-
nyata hanya digunakan untuk kegiatan yang atas penyerahannya terutang Pajak
Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan seluruhnya, seperti misalnya :
c. Pajak Masukan untuk pembelian bahan baku yang digunakan untuk membangun rumah
sangat sederhana, karena atas penyerahan rumah sangat sederhana dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
3. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang belum
dapat dipastikan penggunaannya untuk penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan
yang tidak terutang pajak, pengkreditannya menggunakan pedoman penghitungan
pengkreditan pajak masukan sebagaimana diatur dalam PMK No. 78/PMK.011/2010 sttd
PMK No. 135/PMK.011/2014. Misalnya :
Pajak Masukan untuk perolehan truk yang digunakan baik untuk perkebunan jagung
a.
maupun untuk pabrik minyak jagung;
Pajak Masukan untuk perolehan komputer yang digunakan baik untuk kegiatan
b.
penyerahan jasa perhotelan maupun untuk kegiatan penyerahan jasa persewaan kantor.
2. Waktu Penghitungan Kembali
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dari hasil penghitungan kembali, diperhitungkan
dengan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan pada suatu Masa Pajak, paling lama pada
bulan ketiga setelah berakhirnya tahun buku.
Penghitungan kembali Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tidak perlu dilakukan dalam hal
masa manfaat Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak telah berakhir.
Gambar 1 Pedoman Penghitungan Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan
Sumber : Diolah penulis berdasarkan PMK Nomor 78/PMK.03/2010
Berdasarkan PMK Nomor 163/PMK.03/2012, berikut ini cara menghitung PPN membangun
sendiri:
Tarif PPN membangun sendiri adalah 2%. Sementara, dasar pengenaan pajaknya adalah 20%
X total biaya yang dikeluarkan dan/atau dibayarkan setiap bulannya.
Penyetoran PPN terutang dilakukan melalui SSP dengan Kode Akun Pajak (KAP) 411211
dan Kode Jenis Setoran (KJS) 103.
Apabila bangunan didirikan di wilayah kerja KPP Pratama tempat orang pribadi/badan yang
melakukan kegiatan membangun sendiri terdaftar, maka kolom NPWP yang tercantum pada
SSP diisi dengan NPWP orang pribadi atau badan tersebut.
Namun, jika bangunan didirikan di wilayah kerja KPP Pratama yang berbeda dengan KPP
orang pribadi atau badan, maka SSP diisi dengan ketentuan berikut ini:
Pada kolom “Wajib Pajak/Penyetor isi dengan nama dan NPWP orang pribadi/badan yang
melakukan kegiatan membangun sendiri.
Pada kolom NPWP diisi dengan 00.000.000.0-KPP-000. Pada KPP diisi dengan 3 digit kode
KPP terdaftar.
Sejak berlakunya Undang - Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan Barang Mewah mulai 1 April 2010 , salah satunya diatur bahwa ekspor
Jasa Kena Pajak terutang PPN . Yang dimaksud Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap
kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar Daerah Pabean . Besarnya tarif Pajak PPN
adalah 0 % ( nol persen ) , dimana yang Dasar Pengenaan Pajak ( DPP ) adalah nilai
Penggantian . Yang dimaksud dengan Penggantian adalah nilai berupa uang , termasuk semua
biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena
Pajak , ekspor Jasa Kena Pajak , atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud , tetapi tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang - Undang Pajak
Pertambahan Nilai dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai
berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dan / atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean .
Pengenaan tarif 0 % ( nol persen ) tidak berarti bebas dari pengenaan PPN . Dengan demikian
Pajak Masukan yang telah dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan / atau Jasa Kena
Pajak yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan . Batasan kegiatan Jasa Kena
Pajak yang atas ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah sebagai berikut :
a. untuk Jasa Maklon :
1. pemesan atau penerima Jasa Kena Pajak berada di luar Daerah Pabean dan
merupakan Wajib Pajak Luar Negeri serta tidak mempunyai Bentuk Usaha Tetap
( BUT ) sebagaimana dimaksud dalam Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan dan perubahannya ;
2. spesifikasi dan bahan disediakan oleh pemesan atau penerima Jasa Kena Pajak ;
bahan adalah bahan baku , barang setengah jadi , dan / atau bahan penolong
pembantu yang akan diproses menjadi Barang Kena Pajak yang dihasilkan ;
3. kepemilikan atas barang jadi berada pada pemesan atau penerima Jasa Kena Pajak ;
dan
4. pengusaha Jasa Maklon mengirim barang hasil pekerjaannya berdasarkan permintaan
pemesan atau penerima Jasa Kena Pajak ke luar Daerah Pabean .
b. untuk selain Jasa Maklon :
1. jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang bergerak yang dimanfaatkan di luar
Daerah Pabean ; atau
2. jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang tidak bergerak yang terletak di luar
Daerah Pabean .
Jenis Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah sebagai
berikut :
a . Jasa Maklon yang batasan kegiatannya memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf a ;
b. jasa perbaikan dan perawatan yang batasan kegiatannya memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b angka 1 ;
c . jasa konstruksi , yaitu layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi , layanan
jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi , dan layanan jasa konsultasi pengawasan
pekerjaan konstruksi , yang batasan kegiatannya memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf b angka 2 .
Atas pengiriman Barang Kena Pajak yang dihasilkan dari kegiatan ekspor jasa Maklon oleh
PKP eksportir Jasa Maklon tidak dilaporkan sebagai ekspor BKP dalam SPT Masa PPN .
Dengan adanya batasan kegiatan Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai PPN , maka
dapat disimpulkan bahwa atas penyerahan JKP lain ( selain yang telah diatur di dalam
Permenken 70 / PMK . 03 / 2010 , yang dijelaskan di atas ) , tidak termasuk dalam pengertian
ekspor JKP yang merupakan objek PPN dengan tarif 0 % . Bila ekspor barang dibuktikan
dengan Pemberitahuan Ekspor Barang ( PEB ) , ekspor jasa dibuktikan dengan
Pemberitahuan Ekspor JKP ( PEJ ) . Dan bila PEB dibuat oleh otoritas Ditjen Bea dan Cukai ,
PEJ dibuat oleh PKP yang melakukan ekspor JKP . Pastinya format PEJ harus sesuai dengan
yang telah distandarisasi dalam PMK No . : 70 / PMK . 03 / 2010 . Dokumentasi yang sangat
relevan dengan ekspor ini wajib dibuat pada saat ekspor telah dianggap terutang , yaitu pada
saat penggantian atas jasa yang diekspor tersebut dicatat atau diakui sebagai penghasilan .
Bagaimana halnya jika PEJ tidak dibuat ? Jika PEJ tidak dibuat , sangat besar
kemungkinannya transaksi tersebut tidak akan diakui sebagai ekspor JKP yang dikenai PPN
sebesar 0 % . Bahkan kemungkinan terburuknya , transaksi itu tidak dianggap sebagai ekspor
yang tidak terutang PPN , tetapi dianggap sebagai transaksi lokal yang wajib dipungut PPN
sebesar 10 % . Hal yang sama juga berlaku jika PEJ telah dibuat , namun jasa yang diekspor
tidak termasuk 3 ( tiga ) jenis JKP yang dapat dikenai tarif 0 % .