Anda di halaman 1dari 17

PERPAJAKAN

TATA CARA PERHITUNGAN PPN DAN PPnBM

OLEH KELOMPOK 3

MARIA ELSIANA LOBE (1907341041)


DEWAYU KOMANG DIARASITADEWI (1907341042)
I GUSTI AYU AGUNG PRADNYA WIJAYANTI (1907341043)

DIPLOMA III PERPAJAKAN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2020/2021
1.1 Tata cara Perhitungan, Penyetoran dan Pelaporan

a. Yang Wajib Membayar/Menyetor Dan Melapor PPN Dan PPnBM


1. Pengusaha Kena Pajak (PKP)
2. Pemungut PPN/PPnBM
- Kantor Perbendaharawan dan Kas Negara;
- Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah;
- Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

b. Yang Wajib Disetor


1. Oleh Pengusaha Kena Pajak adalah:
- PPN yang dihitung sendiri melalui pengkreditan Pajak Masukan dan Pajak
Keluaran. Yang disetor adalah selisih Pajak Masukan dan Pajak Keluaran, bila
Pajak Masukan lebih kecil dari Pajak Keluaran;
- PPnBM yang dipungut oleh PKP Pabrikan Barang Kena Pajak (BKP) yang
tergolong mewah;
- PPN/PPnBM yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
(SKPKBT), dan Surat Tagihan Pajak (STP).

2. Oleh Pemungut PPN/PPnBM adalah PPN/PPnBM yang dipungut oleh Pemungut


PPN/ PPnBM.

Tempat Pembayaran/Penyetoran Pajak


1. Kantor Pos dan Giro;
2. Bank Pemerintah, kecuali BTN;
3. Bank Pembangunan Daerah;
4. Bank Devisa;
5. Bank-Bank Lain Penerima Setoran Pajak;
6. Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Khusus untuk Impor Tanpa LKP.

c. . Saat Pembayaran/Penyetoran PPN Dan PPnBM

1. PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetorkan paling lambat
tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah bulan Masa Pajak.
2. PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP harus
dibayar/disetor sesuai batas waktu yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP
tersebut.
3. PPN/PPnBM atas Impor, harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea
Masuk, dan apabila pembayaran Bea Masuk ditunda/dibebaskan, harus dilunasi pada
saat penyelesaian dokumen Impor.
4. PPN/PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh:
- Bendaharawan Pemerintah, harus disetor paling lambat tanggal 7 bulan takwim
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
- Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang memungut PPN / PPnBM atas Impor,
harus menyetor dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan pajak dilakukan.
5. PPN dari penyerahan tepung terigu oleh Badan Urusan Logistik (BULOG), harus
dilunasi sendiri oleh PKP sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang (D.O) ditebus.

Catatan :
Apabila tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran jatuh pada hari libur,
maka pembayaran atau penyetoran dapat dilaksanakan pada hari kerja berikutnya.

d. Saat Pelaporan PPN Dan PPnBM

1. PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa
dan disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak setempat paling lambat 20 hari
setelah Masa Pajak berakhir.
2. PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP yang telah
dilunasi segera dilaporkan ke KPP yang menerbitkan.
3. PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan:
a. Bendaharawan Pemerintah harus dilaporkan paling lambat 14 hari setelah bulan
dilakukannya pembayaran atas tagihan.
b. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas Impor, harus dilaporkan secara mingguan
selambat-lambatnya 7 hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.
4. Untuk penyerahan tepung terigu oleh BULOG, maka PPN dan PPnBM dihitung
sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan disampaikan kepada KPP
setempat paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.

Catatan :
Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPN bertepatan dengan
hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau pelaporan dapat
dilakukan pada hari kerja berikutnya

Sarana Pembayaran/Penyetoran Pajak

1. Untuk membayar/menyetor PPN dan PPnBM digunakan formulir Surat Setoran Pajak
(SSP) yang tersedia di Kantor-kantor Pelayanan Pajak dan Kantor-kantor Penyuluhan
dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) di seluruh Indonesia.
2. Surat Setoran Pajak (SSP) menjadi lengkap dan sah bila jumlah PPN/ PPn BM yang
disetorkan telah sesuai dengan yang tercantum di dalam Daftar Nominatif Wajib Pajak
(DNWP) yang dibuat oleh: Bank penerima pembayaran, Kantor Pos dan Giro, atau
Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai penerima setoran.

1.2 PPN Keluaran Atas Penjualan ke PKP, Pemerintah dan ke Bonded Zone Area
Pajak keluaran ialah pajak yang dikenakan ketika subjek pajak melakukan penjualan
terhadap barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP) yang tergolong barang
mewah. Dalam hal ini subjek pajak yang dimaksud adalah pengusaha kena pajak atau
PKP yang melakukan transaksi jual beli barang. Artinya PKP mengambil atau memungut
rupiah yang dihasilkan dari penjualan BKP miliknya yang dibeli konsumen. Yang
nantinya dapat berpungsi sebagai kredit atau pengurang pajak. Menjadi kredit atau
pengurang karena sebelumnya PKP telah dikenakan tarif pajak yang sama atas pembelian
barang tersebut. Jadi PPN dalam hal ini hanya terjadi pelimpahan beban. Adapun batas
waktu untuk melakukan kredit pajak keluaran adalah tiga bulan setelah masa pajak
berakhir sehingga PKP memiliki banyak waktu untuk melakukan pengkreditan pajak.
Pengertian Kawasan Berikat adalah suatu bangunan, tempat, atau kawasan dengan
batas-batas tertentu yang di dalamnya dilakukan kegiatan usaha industri pengolahan
barang dan bahan, kegiatan rancang bangun, perekayasaan, penyortiran, pemeriksaan
awal, pemeriksaan akhir, dan pengepakan atas barang dan bahan asal impor atau barang
dan bahan dari dalam Daerah Pabean Indonesia lainnya, yang hasilnya terutama untuk
tujuan ekspor. (Peraturan Pemerintah no 33 tahun 1996)
Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 1986, yang dimaksud
dengan Kawasan Berikat (Bonded Zone) yaitu suatu kawasan dengan batas-batas tertentu
di wilayah pabean Indonesia yang didalamnya diberlakukan ketentuan khusus di bidang
kepabeanan, yaitu barang-barang yang dimasukkan dari luar daerah pabean atau dari
dalam daerah pabean Indonesia lainnya tanpa terlebih dahulu terkena pungutan bea-
cukai, dan atau pungutan negara lainnya sampai barang tersebut dikeluarkan dengan
tujuan impor, ekspor atau re-ekspor.
Pemungut PPn adalah bendaharawan, pemerintah, badan, atau instansi pemerinta yang
ditunjuk oleh menteri keuangan untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan pajak
yang terutang oleh PKP atas penyerahan BKP dan atau penyerahan JKP kepada
bendaharawan pemerintah, badan, atau instansi pemerintah tersebut. Namun demikian,
sejak satu januari 2004 pihak-pihak yang ditunjuk sebagai pemungut PPn adalah hanya
bendaharawan pemerintah dan KPKN. Bendaharawan pemerintah adalah bendaharawan
pejabat yang melakukan pembayaran yang dananya berasal dari APBN atau APBD yang
terdiri dari bendaharawan pemerintah pusat dan daerah baik provinsi, kabupaten
atau kota. PKP rekanan pemerintah adalah PKP yang menyerahkan BKP atau JKP
kepada bendaharawan pemerintah atau KPKN.
1.3 PPN Masukan Yang Dapat Dikreditkan, Pembayaran Pendahuluan Yang Tidak Dapat
Dikreditkan Perhitungan Kembali PPN Masukan
Pengkreditan pajak masukan merupakan suatu upaya dari Pengusaha Kena Pajak untuk
memasukkan kembali PPN yang telah dibayar melalui pajak keluaran yang telah dipungut
a. Syarat Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan
Beberapa syarat berikut ini harus dipenuhi dan berlaku untuk seluruh bidang usaha agar
pajak masukan suatu masa pajak dapat dikreditkan. Syarat pajak masukan dapat dikreditkan
antara lain:
1. Tercantum dalam faktur pajak lengkap atau dokumen tertentu yang diperlakukan sama
dengan faktur pajak.
2. Berhubungan langsung dengan kegiatan usaha.

 Dasar Hukum Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan

Dalam rangka menghitung besaran pajak masukan yang dapat dikreditkan, pastikan
Anda menggunakan Dasar Hukum Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan.
Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan telah diatur dalam PMK No.
74/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan bagi
Pengusaha Kena Pajak yang Mempunyai Peredaran Usaha Tidak Melebihi Jumlah
Tertentu.
 Syarat Pengusaha Kena Pajak Gunakan Pengkreditan Pajak Masukan

Jika seorang PKP akan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak


masukan, maka harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut ini:

1. Mempunyai peredaran usaha dalam dua tahun buku sebelumnya, tidak melebihi
Rp1,8 Miliar untuk setiap satu tahun buku.
2. Wajib Pajak yang baru saja dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Selain itu, PKP juga harus memberitahukan secara tertulis kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak di tempat PKP tersebut dikukuhkan, paling lambat:

1. Pada saat batas waktu penyampaian SPT Masa PPN Masa Pajak Pertama dalam
tahun buku dimulainya penggunaan pedoman penghitungan pengkreditan pajak
masukan tersebut. Contoh: Jika Pengusaha Kena Pajak mulai menggunakan
pedoman tersebut pada tahun buku 2019, maka pada 28 Februari 2019 PKP
tersebut sudah harus menyampaikan pemberitahuan penggunaan pedoman
penghitungan tersebut.
2. Saat batas waktu penyampaian SPT Masa PPN Masa Pajak dikukuhkan sebagai
PKP, bagi Wajib Pajak yang baru saja dikukuhkan sebagai PKP. Contoh: Jika
Wajib Pajak baru saja dikukuhkan pada Mei 2019, maka pada 30 Juni 2019 PKP
tersebut sudah harus menyampaikan pemberitahuan.
 Pengkreditan Pajak Masukan sebagai Lampiran SPT Masa PPN

Dalam proses penyelesaian SPT, Anda juga diminta untuk melampirkan bukti-bukti
berikut pada Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Pertambahan Nilai, di antara lain:

1. Bagi wajib pajak yang mengadakan pembukuan Laporan Keuangan berupa neraca
dan laporan laba rugi serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.
2. Untuk SPT Masa PPN sekurang-kurangnya memuat jumlah Dasar Pengenaan Pajak,
jumlah Pajak Keluaran, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, jumlah
Kekurangan atau Kelebihan Pajak.
3. Bagi wajib pajak yang menggunakan norma penghitungan jumlah peredaran yang
terjadi dalam tahun pajak yang bersangkutan.
b. Pengembalian Pendahuluan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak atau Restitusi Pendahuluan adalah
pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak
Patuh atau kepada WP lain yang memenuhi persyaratan tertentu.
1. Wajib Pajak Patuh
Wajib Pajak Patuh adalah Wajib Pajak (WP) yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak sebagai WP
yang memenuhi kriteria tertentu yang dapat diberikan restitusi pendahuluan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Wajib Pajak lain yang Memenuhi Persyaratan Tertentu
WP yang tidak berstatus sebagai WP Patuh dapat pula diberikan restitusi pendahuluan
asalkan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. WP orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
2. WP orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan jumlah
peredaran usaha yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh kurang dari Rp
1.800.000.000 dan jumlah lebih bayarnya kurang dari Rp 1.000.000 atau paling
banyak 0,5% dari jumlah peredaran usaha yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh
tersebut;
3. Wajib Pajak Badan dengan jumlah peredaran usaha yang tercantum dalam SPT
Tahunan PPh paling banyak Rp 5.000.000.000 dan jumlah lebih bayarnya kurang dari
Rp 10.000.000; atau
4. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai
dengan jumlah penyerahan untuk suatu Masa Pajak paling banyak Rp 150.000.000
dan jumlah lebih bayarnya paling banyak Rp 150.000.
Terhadap permohonan restitusi pendahuluan dari WP bukan WP Patuh yang memenuhi
persyaratan tersebut, Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) melakukan:
 Penelitian atas:
o Kelengkapan SPT dan lampiran-lampirannya;
o Kebenaran penulisan dan penghitungan pajak;
o Kebenaran pembayaran pajak yang telah dilakukan oleh WP; dan
o Kebenaran alamat yang tercantum dalam SPT tersebut atau dalam SPT
perubahan alamat.
 Penerbitan SKPPKP paling lama tiga bulan sejak permohonan diterima secara
lengkap untuk Pajak Penghasilan dan paling lama satu bulan sejak permohonan
diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai. Dalam hal hasil penelitian
menyatakan tidak lebih bayar, lampiran SPT tidak lengkap, pembayaran pajak tidak
benar, atau alamat tidak sesuai dengan yang tercantum dalam SPT atau dengan
pemberitahuan perubahan alamat sehingga SKPPKP tidak diterbitkan, maka Kepala
KPP harus memberitahukan secara tertulis kepada WP.
Pada umumnya pajak masukan yang diterima atas peroleh barang dapat dikreditkan
seluruhnya. Namun untuk pengusaha tertentu, pajak masukan tidak dapat dikreditkan
seluruhnya. PKP yang melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya sebagian terutang
pajak dan sebagian lainnya tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk Penyerahan
yang Terutang Pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan untuk Penyerahan yang Terutang Pajak dihitung dengan menggunakan pedoman
penghitungan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. 
Dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2009, Pada tanggal 30 Januari 2014, Pemerintah menetapkan Peraturan Menteri
Keuangan No 21/PMK.011/2014  tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak
Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan
Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak. Kemudian pada tanggal 18 Juni 2014, PMK No.
21/PMK.011/2014 diubah menjadi PMK No. 135/PMk.011/2014. Berikut ini merupakan
contoh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan
Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak antara lain :
1.1. PKP yang melakukan dan/atau memanfaatkan kegiatan usaha terpadu (integrated).
Misalnya PKP yang menghasilkan jagung, dan juga mempunyai pabrik minyak
jagung (minyak jagung merupakan Barang Kena Pajak), yang sebagian jagung yang
dihasilkannya dijual kepada pihak lain dan sebagian lainnya diolah menjadi minyak
jagung.
2. PKP yang melakukan usaha jasa yang atas penyerahannya terutang dan tidak terutang
PPN.
Misalnya PKP yang bergerak di bidang perhotelan, disamping melakukan usaha jasa
di bidang perhotelan, juga melakukan penyerahan jasa persewaan ruangan untuk
tempat usaha.
3. PKP yang melakukan penyerahan barang dan jasa yang atas penyerahannya terutang
dan yang tidak terutang PPN.
Misalnya PKP yang kegiatan usahanya menghasilkan atau menyerahkan Barang Kena
Pajak berupa roti juga melakukan kegiatan di bidang jasa angkutan umum yang
merupakan jasa yang tidak dikenakan PPN.
4.4. PKP yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang terutang PPN dan yang
dibebaskan dari pengenaan PPN.
Misalnya pengusaha pembangunan perumahan yang melakukan penyerahan berupa
rumah mewah yang terutang PPN dan rumah sangat sederhana yang dibebaskan dari
pengenaan PPN.
 
Untuk Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan
Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak sebagaimana tersebut di atas, perlakuan
pengkreditan Pajak Masukan adalah sebagai berikut :
1. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang nyata-
nyata hanya digunakan untuk kegiatan yang atas penyerahannya terutang Pajak
Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan seluruhnya, seperti misalnya :

Pajak Masukan untuk perolehan mesin-mesin yang digunakan untuk memproduksi


  a.
minyak jagung;
Pajak Masukan untuk perolehan alat-alat perkantoran yang hanya digunakan untuk
  b.
kegiatan penyerahan jasa persewaan kantor.
2. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang nyata-
nyata hanya digunakan untuk kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak
Pertambahan Nilai atau mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan seluruhnya, seperti misalnya :
  a. Pajak Masukan untuk pembelian traktor dan pupuk yang digunakan untuk perkebunan
jagung, karena jagung bukan merupakan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya
tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai;
  b. Pajak Masukan untuk pembelian truk yang digunakan untuk jasa angkutan umum,
karena jasa angkutan umum bukan merupakan Jasa Kena Pajak yang atas
penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai;

  c. Pajak Masukan untuk pembelian bahan baku yang digunakan untuk membangun rumah
sangat sederhana, karena atas penyerahan rumah sangat sederhana dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
3. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang belum
dapat dipastikan penggunaannya untuk penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan
yang tidak terutang pajak, pengkreditannya menggunakan pedoman penghitungan
pengkreditan pajak masukan sebagaimana diatur dalam PMK No. 78/PMK.011/2010 sttd
PMK No. 135/PMK.011/2014. Misalnya :

Pajak Masukan untuk perolehan truk yang digunakan baik untuk perkebunan jagung
  a.
maupun untuk pabrik minyak jagung;
Pajak Masukan untuk perolehan komputer yang digunakan baik untuk kegiatan
  b.
penyerahan jasa perhotelan maupun untuk kegiatan penyerahan jasa persewaan kantor.
2. Waktu Penghitungan Kembali
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dari hasil penghitungan kembali, diperhitungkan
dengan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan pada suatu Masa Pajak, paling lama pada
bulan  ketiga setelah berakhirnya tahun buku.
Penghitungan kembali Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tidak perlu dilakukan dalam hal
masa manfaat Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak telah berakhir.
 

 
Gambar 1 Pedoman Penghitungan Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan
Sumber : Diolah penulis berdasarkan PMK Nomor 78/PMK.03/2010

3.4 PPN Membangun Sendiri


PPN membangun sendiri adalah pajak terutang bagi orang pribadi atau badan yang
melakukan kegiatan membangun sendiri. Namun, seperti apa perlakuan PPN membangun
sendiri jika kegiatan membangun dilakukan oleh kontraktor PKP?
Sementara, pengertian kegiatan membangun sendiri adalah aktivitas membangun bangunan
yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi maupun badan
yang hasilnya digunakan sendiri maupun pihak lainnya.
Pengertian ini tercantum dalam pasal 2 Ayat 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
163/PMK.03/2012 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Atas
Kegiatan Membangun Sendiri.
Seperti disinggung di awal artikel, pajak yang dikenakan atas kegiatan membangun
sendiri merupakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kegiatan membangun sendiri. PPN
membangun sendiri merupakan pajak terutang baik bagi orang pribadi atau wajib pajak badan
yang melakukan kegiatan membangun sendiri.
1. PPN Membangun Sendiri Ditanggung oleh Kontraktor

Pada umumnya, kegiatan membangun bisa dilakukan sendiri atau menggunakan jasa


kontraktor. Nah, jika Anda menggunakan kontraktor untuk membangun sebuah bangunan,
maka perlakukan PPN-nya akan berbeda tergantung dari status kontraktor PKP atau bukan
PKP.
Apabila gedung dibangun oleh kontraktor PKP, maka kontraktor wajib memungut PPN atas
nilai kontraknya. Biasanya, nilai kontrak ini berdasarkan Rencana Anggaran Biaya (RAB)
yang telah disepakati antara pihak yang ingin membangun maupun kontraktor.
Kontraktor memungut PPN kepada konsumen karena konsumenlah yang akan menikmati
nilai tambah atas gedung yang dibangun tersebut. Sebaliknya, apabila Anda menggunakan
kontraktor yang bukan PKP, maka kontraktor tidak memungut PPN dan kasus ini disebut
kegiatan membangun sendiri. Sehingga kewajiban menyetor dan melaporkan PPN menjadi
tanggung jawab Anda.
2. Cara Setor PPN Membangun Sendiri

Berdasarkan PMK Nomor 163/PMK.03/2012, berikut ini cara menghitung PPN membangun
sendiri:
Tarif PPN membangun sendiri adalah 2%. Sementara, dasar pengenaan pajaknya adalah 20%
X total biaya yang dikeluarkan dan/atau dibayarkan setiap bulannya.
Penyetoran PPN terutang dilakukan melalui SSP dengan Kode Akun Pajak (KAP) 411211
dan Kode Jenis Setoran (KJS) 103.
Apabila bangunan didirikan di wilayah kerja KPP Pratama tempat orang pribadi/badan yang
melakukan kegiatan membangun sendiri terdaftar, maka kolom NPWP yang tercantum pada
SSP diisi dengan NPWP orang pribadi atau badan tersebut.
Namun, jika bangunan didirikan di wilayah kerja KPP Pratama yang berbeda dengan KPP
orang pribadi atau badan, maka SSP diisi dengan ketentuan berikut ini:
Pada kolom “Wajib Pajak/Penyetor isi dengan nama dan NPWP orang pribadi/badan yang
melakukan kegiatan membangun sendiri.
Pada kolom NPWP diisi dengan 00.000.000.0-KPP-000. Pada KPP diisi dengan 3 digit kode
KPP terdaftar.

3.5 PPN Atas Penjualan Asset


Pasal 16D UU PPN mengatur tentang pungutan pajak atas aktiva perusahaan yang semula
tidak untuk diperjualbelikan. Seperti apa perlakuan perpajakannya dan apa syarat pungutan
PPN atas aktiva perusahaan yang semula tidak untuk diperjualbelikan? Baca ulasan
lengkapnya di bawah ini.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan
nilai dari barang/jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. PPN termasuk jenis
pajak tidak langsung yang disetor oleh pihak lain. Jadi, dalam aturannya konsumen akhir
tidak menyetorkan langsung PPN yang Ia tanggung.
perlakuan perpajakan atas aktiva perusahaan yang semula tidak untuk diperjualbelikan
berdasarkan pasal 16D UU PPN tahun 1994 dan UU PPN tahun 2009.
Pasal 16D UU PPN, sesuai ketentuan dapat dibagi menjadi 2 periode yaitu
1. Masa 1 Januari 1995-1 April 2010 (sesuai UU No.11 tahun 1994)
Pada periode ini, pasal 16D UU PPN menjelaskan bahwa PPN dikenakan atas
penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan, selama PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat
dikreditkan. Contohnya penyerahan mesin, peralatan, perabotan, bangunan lain dan
aktiva yang semula tidak untuk diperjualbelikan lainnya.
Menurut pasal 16 UU PPN periode ini, penyerahan aktiva tidak dikenakan pajak apabila
PPN yang dibayar pada waktu perolehannya tidak dapat dikreditkan, kecuali jika tidak
dapat dikreditkan karena tidak memenuhi persyaratan administratif seperti faktur pajak
tidak diisi lengkap sesuai dengan ketentuan.
Jadi pengenaan PPN untuk aktiva yang semula tidak untuk diperjualbelikan dalam pasal
16D UU PPN memiliki beberapa ketentuan seperti :
Penjualan aktiva harus merupa Barang Kena Pajak (BKP).
Penjualan dilakukan oleh PKP.
Jika pada saat pembelian aktiva tidak dikenakan PPN karena membeli dari Non PKP
dan pembelian dilakukan sebelum berlakunya UU PPN 1984, maka penjualan aktiva
tidak terutang PPN.
2. Masa setelah 1 April 2010 (sesuai UU PPN No. 42 tahun 2009)
Peraturan mengenai PPN terhadap aktiva yang semula tidak untuk diperjualbelikan
diperbarui melalui UU PPN No. 42 tahun 2009. Undang-undang baru ini mengatur
bahwa penyerahan BKP berupa mesin, perabotan, peralatan atau BKP lainnya yang
semula tidak untuk diperjualbelikan oleh PKP dikenakan pajak.
Tetapi PPN tidak dikenakan atas pengalihan BKP yang tidak memiliki hubungan
langsung dengan kegiatan usaha, pengalihan aktiva yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan yaitu kendaraan bermotor station wagon dan sedan. Mengacu
pada pasal 9 ayat 8b dan 8c undang-undang ini, pajak masukan atas peroleh aktiva ini
tidak dapat dikreditkan.
Pengenaan PPN atas aktiva yang semula tidak untuk diperjualbelikan berdasarkan pasal
16D UU PPN No. 42 tahun 2009 juga memiliki beberapa ketentuan yang lebih luas
dibanding pasal 16D UU PPN tahun 1994, di antaranya :
Penyerahan aktiva harus berupa BKP.
Pihak yang melakukan penjualan adalah PKP.
Jika pada saat pembelian tidak membayar PPN karena pembelian dari non PKP atau
pembelian terjadi sebelum UU PPN 1984 maka atas penjualan tidak terutang PPN.
Semua penjualan aktiva yang memiliki pajak masukan dikenakan PPN, kecuali
penjualan aktiva yang pajak masukannya tidak dikreditkan karena berupa station wagon
& sedan (yang bukan merupakan barang dagangan/ disewakan) serta aktiva yang tidak
memiliki kegiatan langsung dengan kegiatan usaha.

3.6 PPn Atas Ekspor

Sejak berlakunya Undang - Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan Barang Mewah mulai 1 April 2010 , salah satunya diatur bahwa ekspor
Jasa Kena Pajak terutang PPN . Yang dimaksud Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap
kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar Daerah Pabean . Besarnya tarif Pajak PPN
adalah 0 % ( nol persen ) , dimana yang Dasar Pengenaan Pajak ( DPP ) adalah nilai
Penggantian . Yang dimaksud dengan Penggantian adalah nilai berupa uang , termasuk semua
biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena
Pajak , ekspor Jasa Kena Pajak , atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud , tetapi tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang - Undang Pajak
Pertambahan Nilai dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai
berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dan / atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean .

Pengenaan tarif 0 % ( nol persen ) tidak berarti bebas dari pengenaan PPN . Dengan demikian
Pajak Masukan yang telah dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan / atau Jasa Kena
Pajak yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan . Batasan kegiatan Jasa Kena
Pajak yang atas ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah sebagai berikut :
a. untuk Jasa Maklon :
1. pemesan atau penerima Jasa Kena Pajak berada di luar Daerah Pabean dan
merupakan Wajib Pajak Luar Negeri serta tidak mempunyai Bentuk Usaha Tetap
( BUT ) sebagaimana dimaksud dalam Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan dan perubahannya ;
2. spesifikasi dan bahan disediakan oleh pemesan atau penerima Jasa Kena Pajak ;
bahan adalah bahan baku , barang setengah jadi , dan / atau bahan penolong
pembantu yang akan diproses menjadi Barang Kena Pajak yang dihasilkan ;
3. kepemilikan atas barang jadi berada pada pemesan atau penerima Jasa Kena Pajak ;
dan
4. pengusaha Jasa Maklon mengirim barang hasil pekerjaannya berdasarkan permintaan
pemesan atau penerima Jasa Kena Pajak ke luar Daerah Pabean .
b. untuk selain Jasa Maklon :
1. jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang bergerak yang dimanfaatkan di luar
Daerah Pabean ; atau
2. jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang tidak bergerak yang terletak di luar
Daerah Pabean .
Jenis Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah sebagai
berikut :
a . Jasa Maklon yang batasan kegiatannya memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf a ;
b. jasa perbaikan dan perawatan yang batasan kegiatannya memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b angka 1 ;
c . jasa konstruksi , yaitu layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi , layanan
jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi , dan layanan jasa konsultasi pengawasan
pekerjaan konstruksi , yang batasan kegiatannya memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf b angka 2 .

Atas pengiriman Barang Kena Pajak yang dihasilkan dari kegiatan ekspor jasa Maklon oleh
PKP eksportir Jasa Maklon tidak dilaporkan sebagai ekspor BKP dalam SPT Masa PPN .
Dengan adanya batasan kegiatan Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai PPN , maka
dapat disimpulkan bahwa atas penyerahan JKP lain ( selain yang telah diatur di dalam
Permenken 70 / PMK . 03 / 2010 , yang dijelaskan di atas ) , tidak termasuk dalam pengertian
ekspor JKP yang merupakan objek PPN dengan tarif 0 % . Bila ekspor barang dibuktikan
dengan Pemberitahuan Ekspor Barang ( PEB ) , ekspor jasa dibuktikan dengan
Pemberitahuan Ekspor JKP ( PEJ ) . Dan bila PEB dibuat oleh otoritas Ditjen Bea dan Cukai ,
PEJ dibuat oleh PKP yang melakukan ekspor JKP . Pastinya format PEJ harus sesuai dengan
yang telah distandarisasi dalam PMK No . : 70 / PMK . 03 / 2010 . Dokumentasi yang sangat
relevan dengan ekspor ini wajib dibuat pada saat ekspor telah dianggap terutang , yaitu pada
saat penggantian atas jasa yang diekspor tersebut dicatat atau diakui sebagai penghasilan .
Bagaimana halnya jika PEJ tidak dibuat ? Jika PEJ tidak dibuat , sangat besar
kemungkinannya transaksi tersebut tidak akan diakui sebagai ekspor JKP yang dikenai PPN
sebesar 0 % . Bahkan kemungkinan terburuknya , transaksi itu tidak dianggap sebagai ekspor
yang tidak terutang PPN , tetapi dianggap sebagai transaksi lokal yang wajib dipungut PPN
sebesar 10 % . Hal yang sama juga berlaku jika PEJ telah dibuat , namun jasa yang diekspor
tidak termasuk 3 ( tiga ) jenis JKP yang dapat dikenai tarif 0 % .

3.7 PPN Impor


Pengeritan penggantian dalam UU PPN pasal 1 angka 20 adalah nilai berupa uang yang
menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam
peraturan perundang - undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor
Barang Kena Pajak , tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah yang dipungut menurut Undang - undang PPN .
Dari pengertian tersebut dapat diambil 3 hal yang termasuk harga jual , yaitu ;
• Nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea masuk
termasuk pungutan lain berdasarkan peraturan undang - undang mengenai kepabeanan
dan cuka atas impor BKP .
• tidak termasuk PPN dan PPn BM .

3.8 Penjualan Yang Tidak Terutang PPN


Untuk lebih memahami tentang apa saja yang termasuk Objek Pajak Pertambahan Nilai
(selanjutnya disingkat PPN), silahkan disimak penjelasan seputar Objek PPN berikut ini.
Objek PPN
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas: (Pasal 4 ayat (1) UU PPN)
penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha;
impor BKP;
penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
ekspor BKP Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP);
ekspor BKP Tidak Berwujud oleh PKP; dan
ekspor JKP oleh PKP.
Secara khusus PPN juga dikenakan atas:
kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh
orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain.
penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh
PKP, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan karena
perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha
dan perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van, dan
kombi kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan.
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan BKP meliputi baik Pengusaha yang telah
dikukuhkan menjadi PKP maupun Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi PKP,
tetapi belum dikukuhkan.
Penyerahan barang yang dikenai pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
barang berwujud yang diserahkan merupakan BKP,
barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP Tidak Berwujud,
penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak meliputi baik Pengusaha
yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak maupun Pengusaha yang seharusnya
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum dikukuhkan.
Penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak,
penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
Termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena Pajak yang
dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau yang diberikan secara cuma-cuma.
Sebagaimana halnya dengan kegiatan ekspor BKP Berwujud, pengusaha yang melakukan
ekspor BKP Tidak Berwujud hanya pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi PKP.
 
3.9 PPnBM Terutang
Saat dan Tempat Terutang PPN dan PPNBM sesuai  (Pasal  17 PP No. 1 Tahun 2012)
Terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah terjadi pada saat:
penyerahan Barang Kena Pajak;
impor Barang Kena Pajak;
penyerahan Jasa Kena Pajak;
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean;
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;
ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; atau
ekspor Jasa Kena Pajak
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum
penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya
pemanfaatan Barang Kena  Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean, saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah adalah pada saat pembayaran
Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk:
penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang
bergerak, terjadi pada saat:
Barang Kena Pajak berwujud tersebut diserahkan secara langsung kepada pembeli atau pihak
ketiga untuk dan atas nama pembeli;
Barang Kena Pajak berwujud tersebut diserahkan secara langsung kepada penerima barang
untuk pemberian cuma-cuma, pemakaian sendiri, dan penyerahan dari pusat ke cabang atau
sebaliknya dan/atau penyerahan antar cabang;
Barang Kena Pajak berwujud tersebut diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa
angkutan; atau
harga atas penyerahan Barang Kena Pajak diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada
saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak, sesuai dengan prinsip akuntansi
yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten.
penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang
tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai Barang
Kena Pajak berwujud tersebut, secara hukum atau secara nyata, kepada pihak pembeli.
penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud, terjadi pada saat:
harga atas penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud diakui sebagai piutang atau
penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak, sesuai
dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten; atau
kontrak atau perjanjian ditandatangani, atau saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan
untuk dipakai secara nyata, sebagian atau seluruhnya, dalam hal saat sebagaimana dimaksud
pada angka 1 tidak diketahui.
Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan terjadi, adalah
pada saat yang terjadi lebih dahulu di antara saat:
ditandatanganinya akta pembubaran oleh Notaris;
berakhirnya jangka waktu berdirinya perusahaan yang ditetapkan dalam  Anggaran Dasar;
tanggal penetapan Pengadilan yang menyatakan perusahaan dibubarkan; atau
diketahuinya bahwa perusahaan tersebut nyata-nyata sudah tidak melakukan kegiatan usaha
atau sudah dibubarkan, berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan data atau dokumen
yang ada.
pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, dan pengambilalihan usaha yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 1A ayat (2)
huruf d Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai atau perubahan bentuk usaha, terjadi pada
saat:
disepakati atau ditetapkannya penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan usaha, atau perubahan bentuk usaha sesuai hasil Rapat Umum Pemegang
Saham yang tertuang dalam perjanjian penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan usaha, atau perubahan bentuk usaha; atau
ditandatanganinya akta mengenai penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau
pengambilalihan usaha, atau perubahan bentuk usaha oleh Notaris.
 Impor Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terjadi pada saat
Barang Kena Pajak tersebut dimasukkan ke dalam Daerah Pabean.
Penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terjadi pada saat:
harga atas penyerahan Jasa Kena Pajak diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada
saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak, sesuai dengan prinsip akuntansi
yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten;
kontrak atau perjanjian ditandatangani, dalam hal saat sebagaimana dimaksud pada huruf a
tidak diketahui; atau
mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau
seluruhnya, dalam hal pemberian cuma-cuma atau pemakaian sendiri Jasa Kena Pajak.
Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e terjadi pada saat:
harga perolehan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut
dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya;
harga jual Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau penggantian Jasa Kena Pajak tersebut
ditagih oleh pihak yang menyerahkannya; atau
harga perolehan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut
dibayar baik sebagian atau seluruhnya oleh pihak yang memanfaatkannya, yang terjadi lebih
dahulu.
Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean terjadi pada tanggal ditandatanganinya kontrak atau perjanjian, dalam hal saat
terjadinya Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari
luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak diketahui.
Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f terjadi
pada saat Barang Kena Pajak dikeluarkan dari Daerah Pabean.
Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g
terjadi pada saat Penggantian atas Barang Kena Pajak Tidak Berwujud yang diekspor tersebut
dicatat atau diakui sebagai piutang atau penghasilan.
Ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h terjadi pada saat
Penggantian atas jasa yang diekspor tersebut dicatat atau diakui sebagai piutang atau
penghasilan.        

Anda mungkin juga menyukai