Anda di halaman 1dari 35

PROPOSAL KARYA TULIS ILMIAH

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK YANG MENGALAMI GANGGUAN


KEBUTUHAN RASA AMAN DENGAN MASALAH HIPERTERMI
PADA PENYAKIT BRONCHOPNEUMONIA DI RUANG
PERAWATAN ANAK BADAN LAYANAN UMUM
DAERAH RUMAH SAKIT
KONAWE

Oleh :

NURFIANA SAPUTRI
Nim. 18.028

AKADEMI KEPERAWATAN PEMERINTAH KABUPATEN KONAWE


PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN
UNAAHA
2021

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebutuhan dasar manusia merupakan unsur-unsur yang dibutuhkan

oleh manusia dalam mempertahankan keseimbangan fisiologis maupun

psikologis yang tentunya bertujuan untuk mempertahankan kehidupan dan

kesehatan. Teori Hierarki kebutuhan dasar manusia yang dikemukakan oleh

Abraham Maslow menyatakan bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan

dasar, yaitu kebutuhan cairan, kebutuhan eliminasi, kebutuhan istirahat dan

tidur, kebutuhan nutrisi, keseimbangan suhu tubuh, kebutuhan oksigenasi

dan kebutuhan rasa aman (Ernawati, 2012 di kutip dalam Herlina, 2017).

Keamanan adalah keadaan bebas dari cedera fisik dan psikologis atau bisa

juga keadaan aman dan tentram (Potter & Perry, 2008 dikutip dalam Kasiati

& Rosmalawati, 2016). Salah satu penyakit yang berhubungan dengan

gangguan kebutuhan rasa aman yang sering terjadi pada manusia adalah

penyakit bronchopneumonia. Bronkopneumonia adalah peradangan yang

mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup

bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan

paru dan gangguan pertukaran gas setempat dan sering di jumpai dengan

gejala awal batuk, dispnea, demam (Sudoyo, 2010 dikutip dalam Anggraeni,

2017).

Penyakit bronkopneumonia sering terjadi pada anak, penyebabnya adalah

bakteri (pneumococus, streptocucus), virus (pneumony hypostatic,syindroma

loffller), jamur dan benda asing. Masuk melalui saluran nafas atas dan dapat

1
menyebabkan infeksi saluran napas bagian bawah sehingga menyebabkan

peradangan alveolus (parenkim paru) ditandai dengan terjadinya peningkatan

suhu tubuh. (Ngastiyah, 2005 dikutip dalam Anggraeni, 2017).

Masalah yang sering muncul pada penderita bronkopneumonia adalah

hipertermi. Hipertermi merupakan suatu keadaan suhu tubuh berada diatas

normal sebagai akibat peningkatan pusat pengatur suhu di hipotalamus.

Sebagian besar demam pada anak merupakan akibat dari perubahan pada

pusat panas (termoregulasi) di hipotalamus (Sodikin, 2012).

hipertermi di tandai dengan tanda dan gejala peningkatan suhu tubuh

yang mendadak biasanya di dahului oleh infeksi traktus respiratorius bagian

atas, kadang timbulnya kejang, pernafasan cepat dan dangkal disekitar

pernafasan cuping hidung, sianosis sekitar hidung dan mulut, kadang-kadang

muntah dan diare dan biasanya terjadi pada permulaan penyakit tidak

ditemukan, tapi setelah beberapa hari, mula- mula kering, kemudian menjadi

produktif (Wijaya & Putri, 2013).

Menurunkan dan mengontrol demam pada anak dapat dilakukan

dengan berbagai cara. Dalam intervensi keperawatan penanganan masalah

hipertermi dapat dilakukan dengan kompres pasien dengan menggunakan air

hangat, meningkatkan intake cairan dan nutrisi dan memonitor suhu sesering

mungkin, monitor intake dan output, beri minum sesering mungkin, monitor

warna dan suhu kulit dan lain-lain (Nurarif & Kusuma, 2015).

Penelitian yang pernah dilakukan oleh Anggraeni (2017) dengan judul:

Asuhan keperawatan dengan masalah keperawatan hipertermi di Ruang

Seruni Rumah Sakit Umum Daerah Jombang dengan hasil bahwa selama 3 x

2
24 jam pada klien menunjukkan hasil yaitu adanya penurunan suhu tubuh,

keadaan umum yang mulai baik, tidak ada perubahan warna kulit dengan

assessment masalah teratasi.

Berdasarkan survey awal peneliti di BLUD Rumah Sakit Konawe di

ruang Perawatan Anak jumlah kunjungan anak usia toodler (1-3 tahun)

dengan kasus bronchopneumonia pada tahun 2019 berjumlah 56 kasus dan di

tahun 2020 berjumlah 47 kasus ( Rekam Medik BLUD RS Konawe )

Dari data dan penelitian sebelumnya di atas, maka penulis tertarik untuk

melakukan studi kasus dengan judul “Asuhan Keperawatan Anak Yang

Mengalami Gangguan Kebutuhan Rasa Aman Dengan Masalah Hipertermi

Pada Penyakit Bronchopneumonia Di Ruang Perawatan Anak Badan Layanan

Umum Daerah Rumah Sakit Konawe Tahun 2020”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam

proposal penelitian ini adalah “Bagaimanakah gambaran Asuhan

Keperawatan Anak Yang Mengalami Gangguan Kebutuhan Rasa Aman

Dengan Masalah Hipertermi Pada Penyakit Bronchopneumonia Di Ruang

Perawatan Anak Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Konawe?”.

C. Tujuan Studi Kasus

1. Tujuan Umum

Untuk memperoleh gambaran pelaksanaan Asuhan Keperawatan Anak

Yang Mengalami Gangguan Kebutuhan Rasa Aman Dengan Masalah

Hipertermi Pada Penyakit Bronchopneumonia Di Ruang Perawatan Anak

Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Konawe.

3
2. Tujuan Khusus

a. Untuk melakukan pengkajian keperawatan yang mengalami gangguan

kebutuhan rasa aman dengan masalah hipertermi pada penyakit

bronchopneumonia di Ruang Perawatan Anak Badan Layanan Umum

Daerah Rumah Sakit Konawe.

b. Untuk menegakkan diagnosa keperawatan yang mengalami gangguan

kebutuhan rasa aman dengan masalah hipertermi pada penyakit

bronchopneumonia di Ruang Perawatan Anak Badan Layanan Umum

Daerah Rumah Sakit Konawe.

c. Untuk menyusun rencana keperawatan yang mengalami gangguan

kebutuhan rasa aman dengan masalah hipertermi pada penyakit

bronchopneumonia di Ruang Perawatan Anak Badan Layanan Umum

Daerah Rumah Sakit Konawe.

d. Untuk melaksanakan tindakan keperawatan yang gangguan kebutuhan

rasa aman dengan masalah hipertermi pada penyakit bronchopneumonia

di Ruang Perawatan Anak Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit

Konawe.

e. Untuk mengevaluasi tindakan keperawatan yang mengalami gangguan

kebutuhan rasa aman dengan masalah hipertermi pada penyakit

bronchopneumonia di Ruang Perawatan Anak Badan Layanan Umum

Daerah Rumah Sakit Konawe.

4
D. Manfaat Studi Kasus

1. Manfaat Teoritis

a. Institusi Pendidikan Akper Pemkab Konawe

Untuk sebagai bahan bacaan dan dapat menambah pengetahuan bagi

mahasiswa – mahasiswi Akper Pemkab Konawe, serta dapat digunakan

sebagai referensi untuk peneliti selanjutnya khususnya terkait asuhan

keperawatan pada pasien anak yang mengalami bronchopneumonia

dengan masalah keperawatan hipertermi.

b. Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Konawe

Untuk sebagai bahan informasi bagi Institusi kesehatan terkait

asuhan keperawatan pada pasien anak yang mengalami

bronchopneumonia dengan masalah keperawatan hipertermi.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Profesi Perawat

Sebagai sumbangan pemikiran dan sebagai bahan informasi

mengenai asuhan keperawatan pada pasien anak bronchopneumonia

dengan masalah keperawatan hipertermi.

b. Bagi Klien/ Keluarga

Sebagai bahan informasi untuk masyarakat umumnya dan

keluarga klien khususnya terkait asuhan keperawatan dalam mengatasi

masalah keperawatan hipertermi khususnya pada penyakit

bronchopneumonia.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Kebutuhan Rasa Aman

1. Pengertian

Keamanan atau keselamatan adalah suatu keadaan seseorang atau lebih

yang terhindar dari ancaman bahaya atau kecelakaan. Kecelakaan

merupakan kejadian yang tidak dapat diduga dan tidak diharapakan karena

dapat menimbulkan kerugian, sehingga keamanan bisa juga diartikan aman

dan tentram dari cedera fisik. Keamanan dan keselamatan merupakan

suatu kesatuan yang saling berhubungan ( Hidayat, 2014)

Kebutuhan akan keselamatan atau keamanan adalah kebutuhan untuk

melindungi diri dari bahaya fisik. Ancaman terhadap keselamatan

seseorang dapat dikategorikan sebagai ancaman mekanis, kimiawi, retmal

dan bakteriologis. Kebutuhan akan rasa aman terkait dengan konteks

fisiologis dan hubungan interpersonal. Keamanan fisiologis berkaitan

dengan sesuatu yang mengancam tubuh dan kehidupan seseorang.

Ancaman itu bisa nyata atau hanya imajinasi (misalnya: penyakit, nyeri,

cemas, dan sebagainya). Dalam konteks hubungan interpersonal

bergantung pada banyak faktor, seperti kemampuan berkomunikasi,

kemampuan mengontrol masalah, kemampuan memahami, tingkah laku

yang konsisten dengan orang lain, serta kemampuan memahami orang-

orang di sekitarnya dan lingkungannya. Ketidaktahuan akan sesuatu

kadang membuat perasaan cemas dan tidak aman (Asmadi, 2005 di kutip

dalam Kasiati & Rosmalawati, 2016).

6
2. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Rasa Aman

a. Emosi kecemasan, depresi, dan marah akan mudah terjadi dan

mempengaruhi keamanan dan kenyamanan.

b. Status mobilisasi keterbatasan aktivitas, paralisis, kelemahan otot, dan

kesadaran menurun memudahkan terjadinya resiko injury.

c. Gangguan persepsi sensory mempengaruhi adaptasi terhadap

rangsangan yang berbahaya seperti gangguan penciuman dan

penglihatan.

d. Keadaan imunitas gangguan ini akan menimbulkan daya tahan tubuh

kurang sehingga mudah terserang penyakit.

e. Tingkat kesadaran pada pasien koma, respons akan menurun terhadap

rangsangan, paralisis, disorientasi, dan kurang tidur.

f. Informasi atau komunikasi gangguan komunikasi seperti aphasia atau

tidak dapat membaca dapat menimbulkan kecelakaan.

g. Gangguan tingkat pengetahuan kesadaran akan terjadi gangguan

keselamatan dan keamanan dapat diprediksi sebelumnya.

h. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional antibiotik dapat

menimbulkan resisten dan anafilaktik syok.

i. Status nutrisi keadaan kurang nutrisi dapat menimbulkan kelemahan

dan mudah menimbulkan penyakit, demikian sebaliknya dapat

berisiko terhadap penyakit tertentu.

j. Usia pembedaan perkembangan yang ditemukan diantara kelompok

usia anak-anak dan lansia mempengaruhi reaksi terhadap nyeri.

7
k. Jenis kelamin secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara

bermakna dalam merespon nyeri dan tingkat kenyamanannya.

l. Kebudayaan dan nilai- nilai kebudayaan mempengaruhi cara individu

mengatasi nyeri dan tingkat kenyamanan yang mereka punyai.

Jenis dasar risiko terhadap keamanan klien di dalam lingkungan

pelayanan kesehatan adalah jatuh, kecelakaan yang disebabkan oleh

klien, kecelakaan yang disebabkan oleh prosedur, dan kecelakaan yang

disebabkan oleh penggunaan alat (Potter & Perry, 2005 di kutip dalam

Kasiati & Rosmalawati, 2016).

3. Klasifikasi Kebutuhan Keselamatan dan Keamanan

a. Keselamatan fisik

Mempertahankan keselamatan fisik melibatkan keadaan

mengurangi atau mengeluarkan ancaman pada tubuh atau kehidupan.

Ancaman tersebut mungkin penyakit, kecelakaan,bahaya,atau

pemajanan pada lingkungan. Pada saat sakit, seorang klien mungkin

rentan terhadap komplikasi seperti infeksi, oleh karena itu bergantung

pada profesional dalam sistem pelayanan kesehatan untuk

perlindungan.

Memenuhi kebutuhan keselamatan fisik kadang mengambil

prioritas lebih dahulu diatas pemenuhan kebutuhan fisiologis.

Misalnya,seorang perawat perlu melindungi klien dari kemungkinan

jatuh dari tempat tidur sebelum memberikan perawatan untuk

memenuhi kebutuhan nutrisi, di sini perawat memasang pelindung

8
klien (Potter & Perry, 2005, di kutip dalam Kasiati & Rosmalawati,

2016 ).

b. Keselamatan psikologis

Untuk selamat dan aman secara psikologi, seorang manusia harus

memahami apa yang diharapkan dari orang lain, termasuk anggota

keluarga dan profesional pemberi perawatan kesehatan. Seseorang

harus mengetahui apa yang diharapkan dari prosedur, pengalaman

yang baru, dan hal-hal yang dijumpai dalam lingkungan. Setiap orang

merasakan beberapa ancaman keselamatan psikologis pada

pengalaman yang baru dan yang tidak dikenal (Potter & Perry, 2005 di

kutip dalam Kasiati & Rosmalawati, 2016).

Orang dewasa yang sehat secara umum mampu memenuhi

kebutuhan keselamatan fisik dan psikologis merekat tanpa bantuan

dari profesional pemberi perawatan kesehatan. Bagaimanapun, orang

yang sakit atau cacat lebih renta untuk terancam kesejahteraan fisik

dan emosinya, sehingga intervensi yang dilakukan perawat adalah

untuk membantu melindungi mereka dari bahaya. Keselamatan

psikologis justru lebih penting dilakukan oleh seorang perawat karena

tidak tampak nyata namun memberi dampak yang kurang baik bila

tidak diperhatikan (Potter & Perry, 2005 di kutip dalam Kasiati &

Rosmalawati, 2016)

4. Lingkup Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan

Lingkungan Klien mencakup semua faktor fisik dan psikososial yang

mempengaruhi atau berakibat terhadap kehidupan dan kelangsungan hidup

9
klien. Di sini menyangkut kebutuhan fisiologis juga. Teman-teman pasti

masih ingat kebutuhan fisiologis kita, itu yang terdiri dari kebutuhan

terhadap oksigen, kelembaban yang optimum, nutrisi, dan suhu yang

optimum akan mempengaruhi kemampuan seseorang (Kasiati &

Rosmalawati, 2016).

5. Macam – Macam Bahaya / Kecelakaan

a. Di rumah

b. Di Rumah Sakit : mikroorganisme

c. Cahaya

d. Kebisingan

e. Cedera

f. Kesalahan prosedur

g. Peralatan medik, dan lain-lain.

6. Cara Meningkatkan Keamanan

a. Mengkaji tingkat kemampuan pasien untuk melindungi diri;

b. Menjaga keselamatan pasien yang gelisah

c. Mengunci roda kereta dorong saat berhenti

d. Penghalang sisi tempat tidur

e. Bel yang mudah dijangkau

f. Meja yang mudah dijangkau

g. Kereta dorong ada penghalangnya

h. Kebersihan lantai

i. Prosedur tindakan.

10
B. Hipertermi Pada Pasien Bronchopneumonia

1. Pengertian

Hipertermi adalah keadaan dimana seseorang mengalami

peningkatan suhu tubuh lebih tinggi dari 37,5oC. Peningkatan suhu tubuh

tersebut berhubungan dengan ketidakmampuan tubuh untuk

menghilangkan panas ataupun mengurangi produksi panas. Hipertermi

terjadi karena adanya beban yang berlebihan pada mekanisme pengaturan

suhu tubuh (Tasnim, 2017). Adapun yang menyebakan terjadinya

hipertemi pada bronchopneumonia adalah karena adanya bakteri

pneumococus, streptococcus, dengan manifestasi klinik/ gejala yang

terjadi pada pasien adalah menggigil mendadak demam yang tinggi

dengan cepat dan berkeringat banyak, nyeri dada, takipneu dan dispnea,

nadi cepat, bradikardia, sputum purulen, tanda- tanda lain: demam,

krakles dan tanda- tanda konsolidasi lebar (Anggraeni, 2017).

2. Klasifikasi Hipertermi

Menurut Rini (2013) klasifikasi hipertermi terdiri dari :

a. Hipertermi yang disebabkan oleh peningkatan produksi panas

1) Hipertermi maligna

Hipertermi maligna biasanya dipicu oleh obat-obatan

anesthesia. Hipertermi ini merupakan miopati akibat mutasi gen

yang diturunkan secara autosomal dominan. Pada episode akut

terjadi peningkatan kalsium intraseluler dalam otot rangka

sehingga terjadi kekakuan otot dan hipertermi. Pusat pengaturan

11
suhu dihipotalamus normal sehingga pemberian antipiretik tidak

bermanfaat.

2) Exercise-Induced hyperthermia (EIH)

Hipertermi jenis ini dapat terjadi pada anak besar/ remaja yang

melakukan aktivitas fisik intensif dan lama pada suhu cuaca yang

panas. Pencegahan dilakukan dengan pembatasan lama latihan fisik

terutama bila dilakukan pada suhu 30oC atau lebih dengan

kelembaban lebih dari 90%, pemberian minuman lebih sering (150

ml air dingin tiap 30 menit), dan pemakaian pakaian yang

berwarna terang, satu lapis, dan berbahan menyerap keringat.

3) Endocrine Hyperthermia (EH)

Kondisi metabolic / endokrin yang menyebabkan hipertermia

lebih jarang dijumpai pada anak dibandingkan dengan pada

dewasa. Kelainan endokrin yang sering dihubungkan dengan

hipertermia antara lain hipertiroidisme, diabetes mellitus,

phaeochromocytoma, insufisiensi adrenal dan Ethiocolanolone

suatu steroid yang diketahui sering berhubungan dengan demam

(merangsang pembentukan pirogen leukosit).

b. Hipertermi yang disebabkan oleh penurunan pelepasan panas.

1) Hipertermi neonatal

Peningkatan suhu tubuh secara cepat pada hari kedua dan

ketiga kehidupan bisa disebabkan oleh :

a) Dehidrasi

Dehidrasi pada masa ini sering disebabkan oleh kehilangan

12
cairan atau paparan oleh suhu kamar yang tinggi. Hipertermi

jenis ini merupakan penyebab kenaikan suhu ketiga setelah

infeksi dan trauma lahir. Sebaiknya dibedakan antara kenaikan

suhu karena hipertermia dengan infeksi. Pada demam karena

infeksi biasanya didapatkan tanda lain dari infeksi seperti

leukositosis/ leucopenia, CRP yang tinggi, tidak berespon baik

dengan pemberian cairan, dan riwayat persalinan

prematur/resiko infeksi.

b) Overheating

Pemakaian alat-alat penghangat yang terlalu panas, atau

bayi terpapar sinar matahari langsung dalam waktu yang lama.

c) Trauma lahir

Hipertermi yang berhubungan dengan trauma lahir timbul

pada 24% dari bayi yang lahir dengan trauma. Suhu akan

menurun pada1-3 hari tapi bisa juga menetap dan menimbulkan

komplikasi berupa kejang. Tatalaksana dasar hipertermi pada

neonatus termasuk menurunkan suhu bayi secara cepat dengan

melepas semua baju bayi dan memindahkan bayi ke tempat

dengan suhu ruangan. Jika suhu tubuh bayi lebih dari 39oC

dilakukan tepid sponged 35oC sampai dengan suhu tubuh

mencapai 37oC.

d) Heat stroke

Tanda umum heat stroke adalah suhu tubuh > 40.5oC atau

sedikit lebih rendah, kulit teraba kering dan panas, kelainan

13
susunan saraf pusat, takikardia, aritmia, kadang terjadi

perdarahan miokard, dan pada saluran cerna terjadi mual,

muntah, dan kram. Komplikasi yang bisa terjadi antara lain

DIC, lisis zeritrosit, trombositopenia, hiperkalemia, gagal

ginjal, dan perubahan gambaran EKG. Anak dengan serangan

heat stroke harus mendapatkan perawatan intensif di ICU,

suhu tubuh segera diturunkan (melepas baju dan sponging

dengan air es sampai dengan suhu tubuh 38,5oC kemudian

anak segera dipindahkan ke atas tempat tidur lalu dibungkus

dengan selimut), membuka akses sirkulasi, dan memperbaiki

gangguan metabolik yang ada.

e) Haemorrhargic Shock and Encephalopathy (HSE)

Gambaran klinis mirip dengan heat stroke tetapi tidak ada

riwayat penyelimutan berlebihan, kekurangan cairan, dan suhu

udara luar yang tinggi. HSE diduga berhubungan dengan cacat

genetic dalam produksi atau pelepasan serum inhibitor alpha-

1-trypsin. Kejadian HSE pada anak adalah antara umur 17 hari

sampai dengan 15 tahun (sebagian besar usia < 1 tahun dengan

median usia 5 bulan). Pada umumnya HSE didahului oleh

penyakit virus atau bakterial dengan febris yang tidak tinggi

dan sudah sembuh (misalnya infeksi saluran nafas akut atau

gastroenteritis dengan febris ringan). Pada 2 – 5 hari kemudian

timbul syok berat, ensefalopati sampai dengan kejang/koma,

hipertermia (suhu > 41oC), perdarahan yang mengarah pada

14
DIC, diare, dan dapat juga terjadi anemia berat yang

membutuhkan transfusi. Pada pemeriksaan fisik dapat timbul

hepatomegali dan asidosis dengan pernafasan dangkal diikuti

gagal ginjal. Pada HSE tidak ada tatalaksana khusus, tetapi

pengobatan suportif seperti penanganan heat stroke dan

hipertermia maligna dapat diterapkan. Mortalitas kasus ini

tinggi sekitar 80% dengan gejala sisa neurologis yang berat

pada kasus yang selamat. Hasil CT scan dan otopsi

menunjukkan perdarahan fokal pada berbagai organ dan

edema serebri.

f) Sudden Infant Death Syndrome (SIDS)

Definisi SIDS adalah kematian bayi (usia 1-12 bulan)

yang mendadak, tidak diduga, dan tidak dapat dijelaskan.

Kejadian yang mendahului sering berupa infeksi saluran nafas

akut dengan febris ringan yang tidak fatal. Hipertermia diduga

kuat berhubungan dengan SIDS. Angka kejadian tertinggi

adalah pada bayi usia 2- 4 bulan. Hipotesis yang dikemukakan

untuk menjelaskan kejadian ini adalah pada beberapa bayi

terjadi mal-development atau maturitas batang otak yang

tertunda sehingga berpengaruh terhadap pusat

chemosensitivity, pengaturan pernafasan, suhu, dan respons

tekanan darah. Beberapa faktor resiko dikemukakan untuk

menjelaskan kerentanan bayi terhadap SIDS, tetapi yang

terpenting adalah ibu hamil perokok dan posisi tidur bayi

15
tertelungkup. Hipertermia diduga berhubungan dengan SIDS

karena dapat menyebabkan hilangnya sensitivitas pusat

pernafasan sehingga berakhir dengan apnea.

3. Fungsi Fisiologis

Menurut Andreoli, et al, 1993 di kutip dalam Bambang (2011) tubuh

manusia adalah organ yang mampu menghasilkan panas secara mandiri

dan tidak tergantung pada suhu lingkungan. Tubuh manusia memiliki

seperangkat system yang memungkinkan tubuh menghasilkan,

mendistribusikan, dan mempertahankan suhu tubuh dalam keadaan

konstan. Suhu tubuh dihasilkan dari :

a. Laju metabolisme basal (basal metabolism rate / BMR ) disemua sel

tubuh.

b. Laju cadangan metabolisme yang disebabkan aktivitas otot (termasuk

kontraksi otot akibat menggigil).

c. Metabolisme tambahan akibat pengaruh hormon tiroksin dan sebagian

kecil hormon lain, misalnya hormon pertumbuhan (Growth hormone

dan testosterone).

d. Metabolisme tambahan akibat pengaruh epinephrine, nonepineprine,

dan rangsangan simpatis pada sel.

e. Metabolisme tambahan akibat peningkatan aktivitas kimiawi dalam sel

itu sendiri terutama bila temperature menurun.

Banyak fungsi fisiologis lainnya, fungsi tubuh mengenai batasan

normal. Terdapat beberapa pendapat. Umumnya berkisar antara 36,1oC

atau lebih rendah sampai 37,4oC pada sore hari atau 36,5oC. Lebih lanjut

16
dijelaskan, suhu tubuh rata-rata orang sehat 36,8oC. dengan titik terendah

pada jam 6 pagi sampai titik tertinggi jam 16.00. Suhu normal maksimum

(oral) pada jam 06.00 adalah 37,2oC dan suhu maksimum pada jam 16.00

adalah 37,7oC. Dengan demikian suhu tubuh > 37,2oC pada pagi hari dan >

37,7oC pada sore hari disebut demam (Gelfand,et al, 2009). Sebaliknya

bennet dan plum (2008) mengatakan demam atau hipertermi bila suhu

>37,2oC. Walaupun tidak ada batasan yang tegas, namun dikatakan apabila

terdapat variasi suhu tubuh harian yang lebih 1-1,5oC adalah abnormal.

Suhu tubuh dapat diukur melalui rektal,oral atau aksila,dengan perbedaan

kurang lebih 0,5-0,6oC, serta suhu rektal biasanya lebih tinggi.

4. Fase-Fase Terjadinya Hipertermi

Menurut Narayana (2018), terdapat beberapa fase dan tanda gejala

dalam terjadinya hipertermi, yaitu sebagai berikut:

a. Fase I: awal (awitan dingin atau menggigil)

Pada fase ini penderita akan merasakan peningakatn denyut

jantung, peningkatan laju dan kedalaman pernapasan, menggigil akibat

tegangan dan kontraksi obat, kulit pucat dan dingin karena

vasokontriksi, merasakan sensasi dingin, dasar kuku mengalami

sianosis karena vasokontruksi, rambut kulit berdiri, pengeluaran

keringat berlebih, peningkatan suhu tubuh.

b. Fase II: proses hipertermi

Pada fase ini dimuali dari proses menggigil telah lenyap. Pada fase

ini penderita akan merasakan kulit terasa hangat/ panas, merasa tidak

panas/ dingin, peningkaatn nadi dan laju pernapasan, peningkatan rasa

17
haus, dehidrasi ringan sampai berat, mengantuk, delerium/ kejang

akibat iritasi sel saraf, lesi mulut herpetic, kehilangan nafsu makan,

kelemahan, keletihan dan nyeri ringan pada otot akibat katabolisme

protein.

c. Fase III : pemulihan

Pada fase ini merupakan fase pemulihan. Pada kondisi ini

penderita akan merasakan kulit tampak merah dan hangat, berkeringat,

menggigil ringan, kemungkinan mengalami dehidrasi.

Pada mekanisme tubuh alamiah, hipertermi yang terjadi dalam diri

manusia bermanfaat sebagai proses imun. Pada proses ini, terjadi

pelepasan interleukin-1 yang akan mengaktifkan sel T. Suhu tinggi

(hipertermi) juga berfungsi meningkatkan keaktifan ( kerja ) sel T dan B

terhadap organisme pathogen. Namun konsekuensi hipertermi secara

umum timbul segera setelah pembangkitan demam (peningkatan suhu).

Perubahan anatomis kulit dan metabolisme menimbulkan konsekuensi

berupa gangguan keseimbangan cairan tubuh, peningkatan metabolisme,

juga peningkatan kadar sisa metabolisme. Selain itu, pada keadaan tertentu

hipertermi dapat mengaktifkan kejan.

5. Etiologi

a. Dehidrasi

b. Penyakit atau trauma

c. Ketidakmampuan atau menurunnya kemampuan untuk berkeringat

d. Pakaian yang tidak layak

e. Kecepatan metabolisme meningkat

18
f. Pengobatan/anesthesia

g. Terpajan pada lingkungan yang panas (jangka panjang)

h. Aktivitas yang berlebihan (Ida, 2014).

6. Faktor Yang Mempengaruhi Suhu Tubuh

Menurut Potter dan Perry (2010 dikutip dalam Sari, M. 2017).

dikatakan bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi suhu tubuh.

Perubahan pada suhu tubuh dalam rentang normal terjadi ketika hubungan

antara produksi panas dan kehilangan panas diganggu oleh variabel

fisiologis atau perilaku.

a. Usia

Pada saat lahir, bayi mekanisme kontrol suhu masih imatur.

Produksi panas akan meningkat seiring dengan perkembangan dan

pertumbuhan seseorang yang dimulai pada fase bayi hingga memasuki

tahapan anak-anak dan dewasa. Perbedaan secara individu 0,25 0 C sampai

0,550C adalah normal. Regulasi suhu tidak stabil sampai pubertas.

Rentang suhu normal turun secara berangsur-angsur sampai seseorang

mendekati masa lansia.

b. Irama sirkadian

Suhu tubuh berubah secara normal 0,5 oC sampai 1oC selama

periode 24 jam. Bagaimana pun, suhu merupakan irama paling stabil

pada manusia. Suhu tubuh biasanya paling rendah antara pukul 01.00

dan 04.00 dini hari. Sepanjang hari suhu tubuh akan naik sampai

sekitar pukul 18.00 dan kemudian turun seperti pada dini hari.

19
c. Olahraga

Aktivitas otot memerlukan peningkatan suplai darah dalam

pemecahan karbohidrat dan lemak. Hal ini menyebabkan peningkatan

metabolism dan produksi panas.

d. Kadar hormone

Secara umum, wanita mengalami fluktuasi suhu tubuh yang lebih

besar dibandingkan pria. Variasi hormonal selama siklus menstruasi

menyebabkan fluktuasi suhu tubuh.

e. Gangguan organ

Kerusakan organ seperti trauma atau keganasan pada hipotalamus.,

dapat menyebabkan mekanisme regulasi tubuh mengalami gangguan.

Berbagai zat pirogen yang dikeluarkan pada saat terjadi infeksi dapat

merangsang peningkatan suhu tubuh.

f. Peradangan

Proses peradangan dan demam dapat menyebabkan

peningkatan metabolisme sebesar 120% untuk tiap peningkatan

metabolisme sebesar 120% untuk tiap peningkatan suhu 10 0C.

7. Tanda dan Gejala

Menururt PPNI, (2016) Hipertermia terdiri dari dua gejala yakni tanda

gejala mayor dan gejala minor :

a. Gejala dan tanda mayor

Suhu tubuh diatas normal yaitu > 37,8 0C (1000F) per oral atau

38,80C (1010F) per rektal.

20
b. Gejala dan tanda minor

Kulit merah dan terdapat bintik- bintik merah (ptekie), kejang,

takikardia, takipnea, kulit terasa hangat.

8. Penatalaksanaan Keperawatan

Demam merupakan mekanisme pertahanan diri atau reaksi fisiologis

terhadap perubahan titik patokan di hipotalamus. Penatalaksanaan demam

bertujuan untuk merendahkan suhu tubuh yang terlalu tinggi bukan untuk

menghilangkan demam. Penatalaksanaan hipertermi dapat dibagi menjadi dua

garis besar yaitu : nonfarmakologi dan farmakologi (Kaneshiro & Zieve,

2010 di kutip dalam Dewi, E.K, 2017).

a. Terapi non- farmakologi

Adapun yang termaksud dalam terapi non- farmakologi dari

penatalaksanaan demam :

1) Pemberian cairan dalam jumlah banyak untuk mencegah dehidrasi

dan beristrahat yang cukup.

2) Tidak memberikan penderita pakaian panas yang berlebihan pada

saat menggigil. Kita lepaskan pakaian dan selimut yang terlalu

berlebihan. Memakai satu lapis pakaian dan satu lapis selimut sudah

dapat memberikan rasa nyaman kepada penderita.

3) Memberikan kompres hangat pada penderita. Pemberian kompres

hangat efektif terutama setelah pemberian obat. Jangan berikan

kompres dingin karena akan menyebabkan keadaan menggigil dan

meningkatkan kembali suhu inti (Kaneshiro & Zieve, 2010 dikutip

dalam Dewi, E.K, 2017).

21
9. Penatalaksanaan Medis

Menurut Bambang (2011), hipertermi dapat diatasi dengan beberapa

penatalaksanaan yang dapat dilakukan. Beberapa tindakan tersebut adalah

sebagai berikut:

a. Antipiretik tidak diberikan secara otomatis pada setiap penderita panas

karena panas merupakan usaha pertahanan tubuh, pemberian

antipiretik juga dapat menutupi kemungkinan komplikasi. Pengobatan

terutama ditujukan terhadap penyakit penyebab panas, adapun obat

yang sering di konsumsi adalah :

1) Parasetamol : 10 - 15 mg/kg BB/ kali (dapat diberikan secara oral

atau rektal).

2) Metamizole (novalgin): 10 mg/kg BB/kali per oral atau

intravenous.

3) Ibuprofen : 5-10 mg/kg BB/ kali, per oral atau rektal.

b. Pendinginan Secara fisik: Merupakan terapi pilihan utama. Kecepatan

penurunan suhu > 0,10oC /menit sampai tercapai suhu 38,5oC.

c. Evaporasi: penderita dikompres dingin seluruh tubuh, disertai kipas

angin untuk mempercepat penguapan. Cara ini paling mudah, tidak

invasif dan efektif.

d. Cara lain yang bisa digunakan : kumbah lambung dengan air dingin,

infus cairan dingin, enema dengan air dingin atau humidifier oksigen

dingin, tetapi cara ini kurang efektif.

22
e. Penurunan suhu tubuh yang cepat dapat terjadi refleks vasokonstriksi

dan shivering yang akan meningkatkan kebutuhan oksigen dan

produksi panas yang merugikan tubuh. Untuk mengurangi dampak ini

dapat diberi :

1) Diazepam: merupakan pilihan utama dan lebih menguntungkan

karena mempunyai efek antikonvulsi dan tidak punya efek

hipotensi.

C. Konsep Asuhan Keperawatan Gangguan Kebutuhan Rasa Aman

Asuhan keperawatan merupakan suatu proses keperawatan yang bersifat

sistematis dalam menyelesaikan masalah klien berdasarkan kebutuhan dasar

yang terdiri dari :

1. Pengkajian Keperawatan

Pengkajian keperawataan adalah tahap awal dari proses keperawatan

dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data

dari berbagai sumber data unuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status

kesehatan klien (Budiono & Sumirah, 2015 )

Menurut Wijaya & Putri (2013) di dalam pengkajian keperawatan

adalah Kaji gejala dan tanda meningkatnya suhu tubuh, terutama pada

malam hari, nyeri kepala, lidah kotor, tidak ada nafsu makan, epistaksis,

penurunan kesadaran.

a. Data biografi : nama, alamat, umur, status perkawinan, tanggal MRS,

diagnose medis, catatan kedatangan, keluarga yang dapat dihubungi.

b. Riwayat kesehatan sekarang

23
Mengapa pasien masuk rumah sakit dan apa keluhan utama pasien,

sehingga dapat ditegakkan prioritas masalah keperawatan yang dapat

muncul.

c. Riwayat kesehatan dahulu

Apakah sudah pernah sakit dan dirawat dengan penyakit yang sama.

d. Riwayat kesehatan keluarga

Apakah ada dalam keluarga pasien yang sakit seperti pasien.

e. Riwayat psikososial

Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas / sedih)

Interpersonal : hubungan dengan orang lain

f. Pola fungsi kesehatan

1) Pola nutrisi dan metabolisme :

Biasanya nafsu makan klien berkurang karena terjadi gangguan

pada usus halus.

2) Pola istirahat dan tidur

Selama sakit pasien merasa tidak dapat istirahat karena pasien

merasakan sakit pada perutnya, mual, muntah, kadang diare.

g. Pemeriksaan fisik

1) Kesadaran dan keadaan umum pasien

Kesadaran pasien perlu dikaji dari sadar-tidak sadar

(composmentis-coma) untuk mengetahui berat ringannya

prognosis penyakit pasien.

2) Tanda-tanda vital dan pemeriksaan fisik kepala-kaki

24
TD, Nadi, Respirasi, Temperatur yang merupakan tolak ukur

dari keadaan umum pasien/ kondisi pasien yang termasuk

pemeriksaan dari kepala sampai kaki yang menggunakan prinsip-

prinsip inspeksi, auskultasi, palpasi, perkusi, di samping itu juga

penimbangan BB untuk mengetahui adanya penurunan BB karena

peningkatan gangguan nutrisi yang terjadi, sehingga dapat

dihitung kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah merupakan suatu pertanyaan yang

menggambarkan respon manusia (keadaan sehat atau perubahan pola

interaksi aktual/ potensial) dari individu atau kelompok tempat anda secara

legal mengindentifikasi dan anda dapat memberikan intervensi secara pasti

untuk menjaga status kesehatan atau untuk mengurangi, menyingkirkan

atau mencegah perubahan (Budiono & Sumirah, 2015).

Menurut Nurarif & Kusuma (2015) menjelaskan bahwa diagnosa

keperawatan yang umumnya muncul pada gangguan kebutuhan rasa aman

adalah :

a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi

3. Rencana Keperawatan

Rencana keperawatan adalah pengembangan strategi desain untuk

mencegah, mengurangi, dan mengatasi masalah- masalah yang telah

diidentifikasi dalam diagnosis keperawatan (Budiono & Pertami, 2016).

Tabel 2.1 Rencana Keperawatan Gangguan Kebutuhan Rasa Aman:


Hipertermi (Nurarif & Kusuma, 2015)

Diagnosa Tujuan Dan Kriteria Rencana Keperawatan

25
Keperawatan Hasil
Hipertermi NOC : NIC :
Definisi : Thermoregulation Fever treatment
peningkatan suhu Kriteria Hasil : 1) Monitor suhu sesering mngkin
tubuh di atas kisaran 1) Suhu tubuh dalam 2) Monitor warna dan suhu kulit
normal rentang normal 3) Monitor TD, nadi dan RR
Batasan 2) Nadi dan RR 4) Monitor penurunan tingkat
karakteristik : dalam rentang kesadaran
1) Konvulsi normal 5) Monitor intake dan output
2) Kulit kemerahan 3) Tidak ada 6) Berikan anti piretik
3) Peningkatan suhu perubahan warna 7) Berikan pengobatan untuk
tubuh di atas kulit dan tidak ada mengatasi penyebab demam
kisaran normal pusing 8) Selimuti pasien
4) Kejang 9) Kolaborasi pemberian cairan
5) Takikardi intravena
6) Takipnea 10) Kompres pasien pada lipat paha
7) Kulit terasa dan aksila
hangat 11) Tingkatkan sirkulasi udara
Faktor yang 12) Berikan pengobatan untuk
berhubungan : mencegah terjadinya menggigil
1) Anastesia Temperature regulation
2) Penurunan 1) Monitor suhu minimal tiap 2 jam
respirasi 2) Monitor TD, nadi, dan RR
3) Dehidrasi 3) Monitor warna dan suhu kulit
4) Pemajanan 4) Monitor tanda-tanda hiipertermi
lingkungan Yang dan hipotermi
panas 5) Tingkatkan intake cairan dan
5) Penyakit nutrisi
6) Pemakaian 6) Selimuti pasien untuk mencegah
pakaian yang hilangnya kehangatan tubuuh
tidak sesuai 7) Ajarkan pada pasien cara
dengan suhu mencegah keletihan akibat panas
lingkungan 8) Diskusikan tentang pentingnya
7) Peningkatan laju pengaturan suhu dan kemungkinan
metabolism efek negatif dari kedinginan
8) Medikasi 9) Berikan anti piretik jika perlu
9) Infeksi
10) Trauma Vital sign monitorin
11) Aktivitas 1) Monitor TD, nadi, suhu dan RR
berlebihan 2) Catat adanya fluktuasi tekanan
darah
3) Monitor VS saat pasien
berbaring,duduk, atau berdiri
4) Auskultasi TD pada kedua lengan
dan bandingkan
5) Monitor TD, nadi, RR, selama,
dan setelah aktivitas
6) Monitor kualitas dari nadi
7) Monitor frekuensi dan irama
pernapasan
8) Monitor suara paru
9) Monitor suara pernapasan
abnormal
10) Monitor suhu,warna, dan
kelembaban kulit
11) Monitor sianosis perifer
12) Identifikasi penyebab dari
perubahan vital sign

26
4. Implementasi Keperawatan

Menurut Kowalski & Rosdahl (2014), mengatakan bahwa implementasi

keperawatan adalah melakukan rencana asuhan keperawatan, yang dimana

implementasi keperawatan tersebut mencakup melaksanakan rencana asuhan

keperawatan, melanjutkan pengumpulan data, mengkomunikasikan asuhan

dengan tim layanan kesehatan serta mendokumentasikan asuhan.

Mengimplementasikan asuhan keperawatan berarti melakukan tindakan

keperawatan yang mungkin bersifat dependen, interdependen atau mandiri.

Tindakan dependen yaitu tindakan yang bertujuan melaksanakan program dari

dokter mengenai medikasi atau terapi. Tindakan interdependen yaitu tindakan

yang dilakukan secara kolaboratif dengan penyedia asuhan lain dan tindakan

mandiri yaitu tindakan keperawatan yang tidak memerlukan program dari

dokter, tindakan yang dilakukan untuk membantu klien melaksanakan

aktivitas kehidupan sehari-hari (Kowalski & Rosdahl, 2014).

5. Evaluasi Keperawatan

Tahap evaluasi merupakan tahap pengukuran keefektifitan pengkajian,

diagnosis, perencanaan dan implementasi. Langkah-langkah dalam

mengevaluasi asuhan keperawatan adalah menganalisis respon klien,

mengidentifikasi faktor yang berkontribusi terhadap keberhasilan atau

kegagalan serta perencanaan untuk asuhan dimasa depan (Kowalski &

Rodsdahl, 2014).

Salah satu pencatatan evaluasi yang sering dilakukan dalam evaluasi

keperawatan adalah dalam bentuk SOAP, yaitu :

27
a. S (Subyektif), yaitu data subjek klien yang biasanya berupa kutipan

langsung dari klien.

b. O (Obyektif), yaitu data objektif klien diidentifikasi melalui observasi,

pemeriksaan atau wawancara.

c. A (Assessment) atau analisi, yaitu kesimpulan yang didapat dari data yang

sering dinyatakan sebagai diagnosis keperawatan atau masalah asuhan

klien.

d. P (planning) atau perencanaan, yaitu hasil yang diharapkan. Jika catatan

SOAP, ini menyatakan strategi keperawatan untuk menangani diagnosis

keperawatan atau masalah asuhan klien.

28
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Studi Kasus

Studi kasus ini adalah studi untuk mengeksplorasi masalah Asuhan

Keperawatan Anak Yang Mengalami Gangguan Kebutuhan Rasa Aman

Dengan Masalah Hipertermi Pada Penyakit Bronchopneumonia Di Ruang

Perawatan Anak Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Konawe.

B. Subyek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah anak yang terdiagnosa medik

bronchopneumonia dengan masalah kebutuhan gangguan rasa aman:

hipertermi dengan jumlah satu pasien di ruang perawatan Anak BLUD

Rumah Sakit Konawe. Kriteria subyek meliputi :

1. Kriteria Inklusi :

a. Bersedia menjadi responden

b. Anak yang berada pada usia toddler

c. Pasien anak dengan diagnosa medik Bronchopneumonia dengan

diagnosa keperawatan hipertermi > 37,50C di ruang perawatan Anak

BLUD RS Konawe

d. Pasien dengan perawatan hari pertama

2. Kriteria Ekslusi :

29
Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subyek

yang memenuhi kriteria inklusi karena berbagai sebab. Kriteria eksklusi

dalam penelitian ini ini adalah :

a. Tidak bersedia menjadi responden

b. Pasien anak dengan komplikasi penyakit lain yang dapat menyebabkan

terjadinya hipertermi seperti demam thypoid, demam berdarah.

C. Fokus Studi

Fokus studi dalam penelitian ini adalah masalah gangguan kebutuhan

rasa aman dengan masalah hipertermi klien dapat teratasi setelah diberikan

asuhan keperawatan.

D. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Ruang Perawatan Anak BLUD Rumah

Sakit Konawe pada bulan Maret Tahun 2021.

E. Definisi Operasional

1. Asuhan keperawatan adalah suatu metode yang sistematis dan

terorganisasi dalam pemberian asuhan keperawatan, yang difokuskan pada

reaksi dan respon unik individu pada suatu kelompok dan perseorangan

terhadap gangguan kesehatan yang dialami, baik aktual maupun potensial.

2. Gangguan kebutuhan rasa aman adalah keadaan dimana seseorang bebas

dari cedera fisik dan psikologis atau bisa juga keadaan aman dan tentram.

3. Hipertermi adalah keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan

suhu tubuh lebih tinggi dari 37,5oC. Peningkatan suhu tubuh tersebut

berhubungan dengan ketidakmampuan tubuh untuk menghilangkan panas

ataupun mengurangi produksi panas.

30
F. Instrumen Penelitian

Pada penelitian ini, instrument menggunakan format asuhan keperawatan

anak yang meliputi pengkajian, diagnosa, intervensi keperawatan,

implementasi dan evaluasi.

G. Metode dan Langkah –Langkah Pengumpulan Data

1. Pengumpulan data

a. Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan

wawancara, observasi dan dokumentasi pada pasien anak yang

mengalami bronchopneumonia dengan masalah keperawatan

hipertermi.

b. Langkah pengumpulan data

1) Mengurus perijinan dengan Institusi terkait yaitu Litbang Kab.

Konawe untuk melakukan penelitian di Rumah Sakit Konawe.

2) Menjelaskan maksud, tujuan, dan waktu penelitian pada Kepala

ruang atau perawat penanggung jawab di tempat penelitian dan

meminta persetujuan untuk melibatkan subyek dalam penelitian.

3) Mengidentifikasi atau mendiskusikan pada pasien yang akan

diberikan Asuhan keperawatan pada klien yang mengalami

hipertermi dengan gangguan kebutuhan rasa aman.

4) Menyepakati pasien yang akan dijadikan subyek penelitian

5) Melakukan pengkajian dengan berfokus pada masalah hipertermi.

6) Menentukan rencana keperawatan

31
7) Mengimplementasikan dan melakukan observasi keadaan pasien

yang berbeda dengan masalah keperawatan yang sama selama masa

perawatan.

8) Melakukan evaluasi terhadap pasien yang mengalami masalah

hipertermi dengan gangguan kebutuhan rasa aman.

H. Analisis dan Penyajian Data

Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif. Analisis deskriptif

adalah metode yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara

mendiskripsikan data yang terkumpul untuk membuat suatu kesimpulan

(Notoatmodjo, 2013). Analisis data ini dilakukan untuk mengetahui adanya

perubahan penurunan suhu tubuh pada dua pasien setelah dilakukan

penerapan khususnya pada penerapan tekhnik kompres air hangat.

I. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian menurut Sugiyono (2013) peneliti perlu

membawa rekomendasi dari institusinya untuk pihak lain dengan cara

mengajukan permohonan izin kepada institusi /lembaga tempat penelitian

yang dituju oleh peneliti, setelah mendapat persetujuan, barulah peneliti dapat

melakukan penelitian dengan menekankan masalah etika yang meliputi :

1. Informed consent (lembar persetujuan)

Lembar persetujuan ini diberikan pada responden yang akan diteliti.

Responden harus memenuhi kriteria. Lembar informed consent harus

dilengkapi dengan judul penelitian. Bila subjek menolak, maka tidak boleh

memaksa dan harus tetap menghormati hak-hak subjek.

2. Anonymity (tanpa nama)

32
Untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan mencamtumkan nama

responden, tetapi pada lembar tersebut diberikan kode.

3. Confidentiality (kerahasiaan)

Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti dan hanya

kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai peneliti.

4. Beneficience (bermanfaat bagi pasien)

Prinsip bioetik. Dimana seorang peneliti melakukan suatu tindakan

yang menguntungkan responden.

5. Nonmalaficience (terhindar dari cedera)

Prinsip menghindari terjadinya kerusakan atau prinsip moral yang

melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien.

33
34

Anda mungkin juga menyukai