Pembimbing
1
2
yang terdapat di antara sel endotel vaskular iris dan sawar-darah akuos di ruang
posterior dibentuk oleh tautan kuat di antara sel epitel tidak berpigmen di badan
silier.6,7
Sawar darah-retina dibentuk oleh epitel pigmen retina dan endotel pembuluh
darah retina. Sawar darah-akuos dan sawar darah-retina bersifat tidak permeabel
terhadap zat larut air dan molekul-molekul besar seperti substansi kapiler.
Penetrasi antibiotik sistemik ke intraokular dapat terjadi pada keadaan inflamasi
dimana sawar darah mata menjadi lebih permeabel terhadap substansi kapiler.5-7
Dinding Peptidoglikan
Membran Sel
Dinding Sel
Ribosom
Struktur sel bakteri seperti terlihat pada gambar 3.1, menyebabkan toksisitas
selektif saat antibiotik bekerja karena terdapat banyak perbedaan antara sel bakteri
dan sel manusia. Bakteri memiliki dinding sel, yang tidak ditemukan pada sel
manusia. Bakteri memiliki lapisan peptidoglikan untuk mempertahankan
integritas dinding sel bakteri. Ribosom bakteri berbeda dengan ribosom sel
manusia, sehingga antibiotik yang bekerja dengan menghambat sintesis protein
bakteri tidak akan mengganggu sintesis protein pada sel-sel manusia. Bakteri
melakukan sintesis asam folat sendiri. Bakteri juga memiliki enzim DNA gyrase
dan topoisomerase IV yang berperan dalam sintesis DNA bakteri. Mekanisme
3
3.1.1 Penisilin
Penisilin secara alami dihasilkan oleh jamur Penicillin chrysogenum dan
berdasarkan struktur kimianya termasuk golongan β-laktam karena memiliki
struktur cincin β-laktam sebagai komponen penyusunnya. Salah satu tahapan
dalam sintesis peptidoglikan bakteri difasilitasi oleh enzim D-alanyl-D-alanine-
transpeptidase atau “penicillin-binding protein” (PBP). Gambar 3.2 menunjukkan
sisi aktif PBP akan berikatan dengan β-laktam sehingga menyebabkan kegagalan
pembentukan peptidoglikan.2,3,8
Penisilin efektif terhadap beberapa bakteri gram positif, gram negatif, dan
spiroseta. Penisilin memiliki kemampuan penetrasi yang baik ke margo palpebra,
kantung konjungtiva, kornea, kantung lakrimasi, serta melintasi plasenta dan
dieksresikan di air susu.3,8
Penisilin terbagi menjadi penisilin alami dan penisilin sintetis. Penisilin alami
adalah benzil-penisilin atau penisilin G, penisilin V, penisilin prokain, dan
penisilin benzatin. Penisilin semi-sintetik antara lain adalah ampisilin,
amoksisilin, ampisilin/sulbaktam, amoksisilin/klavulanat, dan metisilin. Bakteri
4
Membran Luar
Dinding Sel
Peptidoglikan
β-Laktamase
Ruang
Periplasma
Membran
Sitoplasma
3.1.2 Sefalosporin
Sefalosporin termasuk ke dalam golongan antibiotik β-laktam tetapi lebih
resisten terhadap β-laktamase bila dibandingkan dengan penisilin. Sefalosporin
memiliki empat generasi seperti tertulis pada tabel 3.1 dan masing-masing
generasi memiliki efektivitas berbeda terhadap bakteri gram positif ataupun
negatif, serta resistensi berbeda terhadap β-laktamase.2,8
Sefalosporin generasi pertama efektif terhadap bakteri gram positif, sebagian
besar kokus gram positif, kecuali enterokokus dan MRSA. Sefalosporin generasi
kedua efektif terhadap bakteri gram positif dan kokus gram negatif yaitu Neisseria
gonorrhoea, serta terhadap Haemophilus influenzae, Proteus, dan Enterobacter
tetapi tidak efektif terhadap Pseudomonas.2,3,6,8
Sefalosporin generasi ketiga lebih efektif terhadap bakteri gram negatif seperti
Haemophilus penghasil β-laktamase dan Neisseria tetapi kurang efektif terhadap
5
3.1.3 Vankomisin
Vankomisin adalah antibiotik yang dihasilkan oleh Streptococcus orientalis
dan bekerja dengan menghambat tahap konstruksi polimer linear pada rantai
peptidoglikan bakteri. Vankomisin hanya efektif terhadap bakteri gram positif
seperti Staphylococcus epidermidis dan enterokokus. Vankomisin kurang diserap
dengan baik oleh saluran gastrointestinal sehingga diberikan melalui intravena
dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Vankomisin diekskresikan melalui ginjal dan
memiliki waktu paruh 4-6 jam. Vankomisin intravena memiliki level intravitreal
yang terbatas sehingga tidak mencapai level terapeutik intraokular walaupun
dalam keadaan inflamasi mata.8,9
3.2.1 Tetrasiklin
Tetrasiklin masuk ke dalam sel bakteri melalui pori hidrofilik yang terdapat
pada dinding sel bakteri atau melalui pengambilan aktif oleh bakteri, kemudian
tetrasiklin akan berikatan dengan subunit 30S ribosom bakteri sehingga
menghambat sintesis protein ribosom dan bersifat bakteriostatik. Tetrasiklin
adalah antibiotik spektrum luas yang efektif terhadap bakteri kokus gram positif,
kokus gram negatif, batang gram negatif, bakteri atipikal seperti mikoplasma,
klamidia, spiroseta, legionela, riketsia, listeria, vibrio, dan bakteri anaerobik
seperti bakteroides. Tetrasiklin oral dapat melewati sawar darah-akuos sehingga
dapat mencapai humor akuos. Tetrasiklin diekskresikan di urin dan empedu. Efek
samping tetrasiklin antara lain adalah mual, muntah, dan diare. Kontraindikasi
7
3.2.2 Makrolida
Makrolida adalah antibiotik yang efektif terhadap bakteri gram positif kecuali
MRSA, bakteri gram negatif, bakteri atipikal seperti mikoplasma, klamidia
termasuk Chlamydia trachomatis, legionela, listeria, dan beberapa
mikobakterium. Makrolida berikatan dengan subunit 50S ribosom bakteri
sehingga menghambat enzim peptidiltransferase yang berperan dalam
pembentukan ikatan-ikatan pada asam amino bakteri.2,8
Makrolida memiliki spektrum kerja yang lebih luas dibandingkan penisilin,
sehingga dapat digunakan sebagai terapi alternatif pada pasien dengan riwayat
alergi penisilin. Makrolida efektif terhadap bakteri gram positif khususnya
streptokokus, stafilokokus kecuali MRSA, mikoplasma, klamidia, listeria,
legionela, beberapa mikobakterium, dan treponema. Beberapa bakteri gram
negatif seperti Neisseria, Bordetella pertusis, Haemophilus influenzae, dan
Helicobacter pylori juga sensitif terhadap makrolida, kecuali terhadap
klindamisin. Makrolida yang diberikan melalui jalur sistemik dapat penetrasi
dengan baik ke jaringan okular sehingga dapat digunakan dalam tatalaksana
beberapa penyakit mata. Makrolida terdiri dari azitromisin, eritromisin,
klindamisin, dan klaritromisin. Eritromisin diekskresikan di urin dengan waktu
paruh 1.5 jam, sementara klaritromisin dan azitromisin memiliki waktu paruh
yang lebih panjang. Klaritromisin mengalami metabolisme di hati dengan waktu
paruh 6 jam. Efek samping eritromisin oral adalah mual, muntah, nyeri perut,
diare, anoreksia tetapi azitromisin dan klaritromisin memiliki lebih sedikit efek
gastrointestinal.2,3,8,10-12
Azitromisin oral memiliki efek antiinflamasi dengan supresi produksi mediator
inflamasi seperti sitokin yaitu TNF-α dan IL-1β, kemokin, dan metaloproteinase.
Azitromisin memiliki waktu paruh yang panjang mencapai tiga hari dan mampu
penetrasi dengan baik ke intraokular dan jaringan lain.8,10,11
8
3.2.3 Kloramfenikol
Kloramfenikol bersifat bakteriostatik melalui ikatan dengan subunit 50S
ribosom bakteri sehingga menghambat aktivitas enzim peptidiltransferase bakteri
yang kemudian menghambat pembentukan protein bakteri. Kloramfenikol efektif
terhadap bakteri gram positif dan negatif tetapi tidak efektif terhadap
Pseudomonas aeruginosa dan klamidia. Kloramfenikol sistemik mampu
menembus sawar darah mata dengan baik serta diekskresikan di urin, empedu,
dan feses. Efek samping kloramfenikol adalah mual, muntah, diare, depresi
sumsum tulang reversibel dan anemia aplastik yang tidak reversibel, oleh karena
itu pemberian kloramfenikol dapat ditunda apabila tersedia pilihan antibiotik lain
yang lebih aman.2,3,5,6,8
3.2.4 Aminoglikosida
Aminoglikosida dihasilkan oleh jamur Actinomyces. Saat aminoglikosida
memasuki sel bakteri, maka bakteri akan membentuk kompleks molekul
disfungsional yang menyebabkan gangguan proses translasi mRNA sehingga
menghambat pembentukan poliribosom. Golongan aminoglikosida tidak
terabsorpsi baik di saluran gastrointestinal sehingga diberikan melalui jalur
parenteral, dan kurang mampu menembus sawar darah-mata. Aminoglikosida
efektif terhadap bakteri gram negatif dan kurang efektif terhadap bakteri gram
positif. Aminoglikosida generasi pertama adalah streptomisin, kanamisin,
amikasin, framisetin. Amikasin efektif terhadap bakteri gram positif, tetapi tidak
penetrasi dengan baik ke rongga vitreus melalui pemberian intravena. Generasi
kedua terdiri dari gentamisin, tobramisin, dan netilmisin. Gentamisin intravena
tidak mencapai level terapeutik dan tidak dapat penetrasi ke intraokular dalam
tatalaksana infeksi intraokular.2,3,6,8,13
ofloksasin dengan kejadian RRD. Mekanisme terjadinya RRD pada pasien yang
mengkonsumsi fluorokuinolon belum diketahui secara pasti tetapi sementara
diduga karena terdapat proses iskemik vaskular atau toksisitas langsung terhadap
kolagen yang dibutuhkan untuk perlekatan retina ke badan vitreus.2,8,14
Tabel 3.2 menunjukkan bahwa fluorokuinolon terdiri dari empat generasi yang
berbeda-beda spektrum aktivitasnya. Fluorokuinolon generasi pertama efektif
terhadap bakteri gram negatif tetapi tidak memiliki distribusi yang baik ke
jaringan dan saat ini sudah tidak banyak digunakan. Fluorokuinolon generasi
kedua efektif terhadap bakteri gram negatif, gram positif, dan bakteri atipikal.
Siprofloksasin memiliki spektrum luas dan efektif terhadap sebagian besar bakteri
gram-negatif termasuk Pseudomonas, Chlamydia trachomatis, Haemophilus,
Neisseria dan bakteri gram positif termasuk MRSA.2,3,8
4.1 Penisilin
Penisilin G diberikan pada kasus infeksi oleh streptokokus, stafilokokus yang
tidak menghasilkan β-laktamase, Treponema pallidum, dan spiroseta lainnya.
Neurosifilis yang disebabkan oleh Treponema pallidum diobati dengan penisilin
G intravena 12MU/hari yang diberikan selama 10 hari. Penisilin semi-sintetik
diberikan pada kasus infeksi oleh stafilokokus penghasil β-laktamase dan
streptokokus. Amoksisilin/klavulanat oral 125-250 mg/8 jam diberikan untuk
tatalaksana dakriosistitis akut, trauma palpebra, dan 250-875 mg yang diberikan
2-3 kali/hari untuk tatalaksana selulitis preseptal yang umumnya disebabkan oleh
Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes. Amoksisilin oral 125-250
mg/8 jam dapat diberikan sebagai tatalaksana konjungtivitis yang disebabkan oleh
Haemophilus influenzae. Nafsilin (penisilin anti-stafilokokus) intravena 1-2
gram/4-6 jam diberikan untuk tatalaksana selulitis orbita bersama dengan
seftriakson.2,4,16
12
4.2 Sefalosporin
Sefalosporin oral digunakan dalam tatalaksana infeksi oleh stafilokokus dan
streptokokus seperti selulitis atau abses jaringan lunak. Seftriakson intravena 1
gram/12 jam diberikan untuk tatalaksana selulitis orbita yang umumnya
disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes dan
diberikan untuk tatalaksana neurosifilis yang disebabkan oleh Treponema
pallidum. Konjungtivitis gonokokus juga dapat diobati dengan seftriakson
intravena 25-50 mg/kg pada neonatus dan 1 gram/hari selama 5 hari pada dewasa.
Sefiksim oral 400 mg dosis tunggal diberikan sebagai tatalaksana konjungtivitis
gonokokus. Seftazidim intravena dapat diberikan pada kasus post-traumatic
endophthalmitis (post-TE) dan pada luka penetrasi okular apabila luka tidak
terkontaminasi bakteri gram negatif.2,4,9
4.4 Tetrasiklin
Tetrasiklin sistemik banyak digunakan dalam tatalaksana penyakit mata.
Blefaritis, meibomian gland disorders (MGD), dan acne rosacea dapat ditangani
dengan pemberian tetrasiklin oral 250-500 mg/6 jam/hari atau dengan doksisiklin
oral 50-100 mg 1-2 kali/hari yang diberikan selama 3 minggu.2,4
4.5 Makrolida
Eritromisin aman diberikan pada wanita hamil dan anak-anak berusia di bawah
8 tahun, sehingga dapat digunakan sebagai terapi alternatif infeksi klamidia
inklusi dewasa maupun anak-anak. Eritromisin oral 500 mg empat kali/hari
selama lebih dari 3 minggu diberikan sebagai tatalaksana infeksi klamidia inklusi
dewasa, konjungtivitis inklusi anak-anak, dan trakoma. Pasien dengan klamidia
inklusi neonatus diberikan eritromisin 50 mg/kgBB/hari yang dibagi menjadi 4
dosis selama 14 hari. Klindamisin oral 300 mg yang diberikan selama 3 hingga 6
minggu juga dapat menjadi pilihan terapi retinitis toksoplasma. Klaritromisin oral
500 mg yang diberikan dua kali/hari digunakan dalam tatalaksana post-TE.2,4,17
Azitromisin oral 250-300 mg/hari terbukti menurunkan rekurensi
retinokoroiditis dan pemberian 1 gram sekali/hari atau dosis tunggal diberikan
sebagai terapi alternatif infeksi klamidia inklusi dewasa. Kashkouli et al
13
menyatakan bahwa terapi azitromisin oral 500 gram di hari pertama yang
dilanjutkan dengan 250 mg/hari selama 4 hari lebih bermanfaat dalam tatalaksana
MGD dibandingkan dengan doksisiklin oral 200 mg/hari selama 1 bulan. Yildiz et
al membandingkan efektivitas klinis azitromisin topikal dengan oral dalam
tatalaksana blefaritis posterior. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
azitromisin topikal maupun oral memiliki efektivitas yang sama dengan
efektivitas azitromisin topikal yang sedikit lebih superior terutama dalam
perubahan margo palpebra, lapisan air mata yang lebih stabil, dan perubahan
sitologis konjungtiva yang bertahan lebih lama.4,10-12,16
4.7 Fluorokuinolon
Fluorokuinolon oral digunakan dalam tatalaksana konjungtivitis dan
endoftalmitis. Ofloksasin oral 300 mg dapat diberikan dua kali/hari selama 7 hari
untuk pilihan tatalaksana konjungtivitis klamidia inklusi dewasa. Moksifloksasin
oral 400 mg satu kali/hari diberikan selama 10 hari untuk tatalaksana post-TE dan
bisa dikombinasikan dengan klaritromisin.4,12,16
V. Resistensi
Keadaan klinis pasien yang tidak membaik setelah terapi antibiotik dapat
disebabkan oleh resistensi bakteri terhadap antibiotik. Resistensi adalah suatu
keadaan di mana bakteri yang awalnya sensitif terhadap suatu antibiotik, menjadi
tidak sensitif atau resisten terhadap antibiotik tersebut. Resistensi dapat terjadi
14
karena penggunaan antibiotik yang tidak tepat dosis dan dapat diketahui melalui
pemeriksaan kultur dan resistensi.1,15
Bakteri membentuk resistensi dengan berbagai cara terhadap masing-masing
antibiotik selain melalui produksi enzim β-laktamase. Mekanisme lain resistensi
bakteri terhadap antibiotik adalah dengan modifikasi protein target antibiotik,
penghambatan influks atau peningkatan efluks antibiotik dengan transpor aktif
melalui pompa protein, penurunan permeabilitas membran sel bakteri, mutasi
kromosom bakteri, dan produksi berlebih enzim bakteri yang aktivitasnya
dihambat oleh antibiotik.1,2,15
VI. Simpulan
Antibiotik sistemik dapat dipertimbangkan sebagai tatalaksana infeksi mata.
Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam menentukan terapi dengan antibiotik
sistemik adalah diagnosis yang tepat, efektivitas antibiotik, efek samping
antibiotik yang akan diberikan. Keputusan memberikan antibiotik sistemik dapat
dibuat setelah memahami mekanisme kerja antibiotik dan kondisi sistemik pasien
sehingga dapat mencegah atau mengantisipasi efek samping yang mungkin
terjadi, walaupun terdapat sifat toksisitas selektif antibiotik karena perbedaan
struktur sel manusia dan bakteri. Evaluasi klinis atau mikrobiologis selanjutnya
dapat dilakukan untuk menilai resistensi bakteri terhadap antibiotik 1-3
DAFTAR PUSTAKA
15
16