Anda di halaman 1dari 17

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN


PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO
BANDUNG

Sari Kepustakaan : Penggunaan Antibiotik Sistemik pada Penyakit Mata

Penyaji : Ester Grace Sillya Aprinona Gurning

Pembimbing : Dr. M. Rinaldi Dahlan, dr., SpM (K)

Telah diperiksa dan disetujui oleh

Pembimbing

Dr. M. Rinaldi Dahlan, dr., SpM (K)

Senin, 12 November 2018

Pukul 07.30 WIB


I. Pendahuluan
Antibiotik adalah substansi kimiawi yang umumnya digunakan untuk
mengobati infeksi oleh bakteri. Efek utama antibiotik terbagi menjadi dua yaitu
bakteriostatik sebagai penghambat pertumbuhan bakteri dan bakterisidal untuk
membunuh bakteri. Pemilihan antibiotik untuk tatalaksana infeksi salah satunya
berdasarkan pada pertimbangan akan efektivitas antibiotik.1,2
Efektivitas antibiotik dipengaruhi oleh farmakodinamika, farmakokinetika,
konsentrasi di jaringan, dan jalur administrasi antibiotik. Antibiotik dalam
penanganan kasus-kasus penyakit mata dapat diberikan melalui jalur lokal seperti
topikal, subkonjungtival, subtenon, intravitreal, dan melalui jalur sistemik.
Antibiotik di bidang oftalmologi umumnya diberikan melalui jalur topikal, namun
pemberian antibiotik melalui jalur sistemik juga digunakan dalam tatalaksana
beberapa kasus penyakit mata.3-5
Antibiotik sistemik akan melewati sistem sirkulasi seluruh tubuh, sehingga
dapat menimbulkan efek samping terhadap organ lain. Informasi lengkap
mengenai fungsi hati dan ginjal, riwayat alergi obat, dan status imunologi pasien
dibutuhkan dalam pertimbangan pemberian antibiotik sistemik. Sari kepustakaan
ini memaparkan mengenai penggunaan antibiotik sistemik pada penanganan
penyakit mata.1,3,5

II. Penggunaan Antibiotik Sistemik pada Penyakit Mata


Antibiotik sistemik pada penyakit mata digunakan untuk mengobati infeksi
segmen anterior, segmen posterior, atau segmen orbita. Dua jalur antibiotik
sistemik adalah oral dan parenteral yaitu intravena. Efektivitas antibiotik oral
maupun intravena pada penanganan penyakit mata ditentukan oleh konsentrasi
efektif antibiotik tersebut di intraokular, yang dipengaruhi oleh karakteristik
antibiotik dan kemampuan penetrasi antibiotik ke intraokular melewati sawar
darah-mata.2,5,6,7
Sawar darah mata menghambat penetrasi molekul kapiler ke dalam mata dalam
keadaan normal. Sawar darah mata terdiri dari sawar darah-akuos dan sawar
darah-retina. Sawar darah-akuos pada ruang anterior dibentuk oleh tautan kuat

1
2

yang terdapat di antara sel endotel vaskular iris dan sawar-darah akuos di ruang
posterior dibentuk oleh tautan kuat di antara sel epitel tidak berpigmen di badan
silier.6,7
Sawar darah-retina dibentuk oleh epitel pigmen retina dan endotel pembuluh
darah retina. Sawar darah-akuos dan sawar darah-retina bersifat tidak permeabel
terhadap zat larut air dan molekul-molekul besar seperti substansi kapiler.
Penetrasi antibiotik sistemik ke intraokular dapat terjadi pada keadaan inflamasi
dimana sawar darah mata menjadi lebih permeabel terhadap substansi kapiler.5-7

III. Klasifikasi Antibiotik Sistemik Berdasarkan Mekanisme Kerjanya


Antibiotik diklasifikasikan berdasarkan sumbernya, jalur administrasi,
spektrum aktivitas, struktur kimia, dan mekanisme kerja. Mekanisme kerja
antibiotik dapat dipahami dengan mengetahui struktur sel bakteri.1,3

Dinding Peptidoglikan

Membran Sel

Dinding Sel

Ribosom

Gambar 3.1 Skema Struktur Bakteri


Dikutip dari: Bartlett et al3

Struktur sel bakteri seperti terlihat pada gambar 3.1, menyebabkan toksisitas
selektif saat antibiotik bekerja karena terdapat banyak perbedaan antara sel bakteri
dan sel manusia. Bakteri memiliki dinding sel, yang tidak ditemukan pada sel
manusia. Bakteri memiliki lapisan peptidoglikan untuk mempertahankan
integritas dinding sel bakteri. Ribosom bakteri berbeda dengan ribosom sel
manusia, sehingga antibiotik yang bekerja dengan menghambat sintesis protein
bakteri tidak akan mengganggu sintesis protein pada sel-sel manusia. Bakteri
melakukan sintesis asam folat sendiri. Bakteri juga memiliki enzim DNA gyrase
dan topoisomerase IV yang berperan dalam sintesis DNA bakteri. Mekanisme
3

kerja antibiotik bertujuan untuk menghambat pembentukan struktur dan


pertahanan diri bakteri.2,3

3.1 Penghambat Sintesis Dinding Sel Bakteri


Dinding sel bakteri terbuat dari struktur kompleks berupa peptidoglikan yang
tersusun dari asam amino dan gula amino. Bakteri gram positif adalah bakteri
yang memiliki lapisan peptidoglikan yang tebal. Bakteri gram negatif adalah
bakteri dengan lapisan peptidoglikan yang tipis tetapi memiliki lapisan fosfolipid
dan lipopolisakarida sebagai penyusun dinding selnya. Dinding sel bakteri sangat
penting untuk kelangsungan hidup bakteri, sehingga kerusakan peptidoglikan
akan menyebabkan kematian sel bakteri. Antibiotik golongan penghambat sintesis
dinding sel bakteri berikatan dengan komponen kimia bakteri sehingga
mengganggu proses pembentukan dinding sel bakteri. Antibiotik yang termasuk
dalam golongan tersebut adalah antibiotik golongan penisilin, sefalosporin, dan
vankomisin.2-4,8

3.1.1 Penisilin
Penisilin secara alami dihasilkan oleh jamur Penicillin chrysogenum dan
berdasarkan struktur kimianya termasuk golongan β-laktam karena memiliki
struktur cincin β-laktam sebagai komponen penyusunnya. Salah satu tahapan
dalam sintesis peptidoglikan bakteri difasilitasi oleh enzim D-alanyl-D-alanine-
transpeptidase atau “penicillin-binding protein” (PBP). Gambar 3.2 menunjukkan
sisi aktif PBP akan berikatan dengan β-laktam sehingga menyebabkan kegagalan
pembentukan peptidoglikan.2,3,8
Penisilin efektif terhadap beberapa bakteri gram positif, gram negatif, dan
spiroseta. Penisilin memiliki kemampuan penetrasi yang baik ke margo palpebra,
kantung konjungtiva, kornea, kantung lakrimasi, serta melintasi plasenta dan
dieksresikan di air susu.3,8
Penisilin terbagi menjadi penisilin alami dan penisilin sintetis. Penisilin alami
adalah benzil-penisilin atau penisilin G, penisilin V, penisilin prokain, dan
penisilin benzatin. Penisilin semi-sintetik antara lain adalah ampisilin,
amoksisilin, ampisilin/sulbaktam, amoksisilin/klavulanat, dan metisilin. Bakteri
4

seperti methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) membentuk enzim β-


laktamase yang selanjutnya akan menyebabkan hidrolisis struktur β-laktam
sebagai mekanisme resistensi terhadap antibiotik golongan β-laktam. Penisilin
diekskresikan di ginjal dengan waktu paruh di plasma adalah 30 menit. Efek
samping yang dapat ditimbulkan adalah diare, mual, muntah, nyeri ulu hati, dan
reaksi hipersensitivitas seperti ruam dan anafilaksis.2,3,6,8

Membran Luar

Dinding Sel
Peptidoglikan

β-Laktamase
Ruang
Periplasma

Membran
Sitoplasma

Gambar 3.2 Skema Mekanisme Kerja β-Laktam


Dikutip dari: Dick et al8

3.1.2 Sefalosporin
Sefalosporin termasuk ke dalam golongan antibiotik β-laktam tetapi lebih
resisten terhadap β-laktamase bila dibandingkan dengan penisilin. Sefalosporin
memiliki empat generasi seperti tertulis pada tabel 3.1 dan masing-masing
generasi memiliki efektivitas berbeda terhadap bakteri gram positif ataupun
negatif, serta resistensi berbeda terhadap β-laktamase.2,8
Sefalosporin generasi pertama efektif terhadap bakteri gram positif, sebagian
besar kokus gram positif, kecuali enterokokus dan MRSA. Sefalosporin generasi
kedua efektif terhadap bakteri gram positif dan kokus gram negatif yaitu Neisseria
gonorrhoea, serta terhadap Haemophilus influenzae, Proteus, dan Enterobacter
tetapi tidak efektif terhadap Pseudomonas.2,3,6,8
Sefalosporin generasi ketiga lebih efektif terhadap bakteri gram negatif seperti
Haemophilus penghasil β-laktamase dan Neisseria tetapi kurang efektif terhadap
5

gram positif bila dibandingkan dengan sefalosporin generasi pertama. Seftriakson


intravena mampu mencapai konsentrasi efektif di vitreus terhadap Staphylococcus
aureus dan bakteri gram negatif. Seftriakson memiliki waktu paruh 7-8 jam.
Seftazidim mencapai rentang bakterisidal di humor akuos terhadap sebagian besar
enterobacteriaceae.2,3,6,9

Tabel 3.1 Klasifikasi Sefalosporin


Generasi Nama Obat
Pertama sefalotin, sefazolin, sefapirin, sefadroksil, sefaleksin, sefradin,
sefaloridin, sefrezol.
Kedua sefaklor, sefuroksim, sefamandol, sefosinid, seforanid,
sefoksitin.
Ketiga Dasar Sefotaksim, seftriakson, sefiksim, seftizoksim, seftibuten,
sefpodoksim, sefteram.
Ketiga dengan aktivitas anti- Sefoperazon, seftazidim.
Pseudomonas
Keempat Sefklidin, sefepim, sefluprenam, sefpirom, sefozopran,
sefkuinom.
Dikutip dari: Gupta et al2

Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa seftazidim tidak memiliki


kemampuan penetrasi intravitreal yang baik melalui pemberian intravena. Ahmed
et al melakukan penelitian mengenai penetrasi intraokular dari 50 mg/kg
seftazidim intravena yang diberikan pada kelompok kelinci normal sebagai
kontrol, kelinci dengan luka kornea, dan kelinci dengan luka sklera. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan konsentrasi seftazidim intravitreal yang terdapat
pada kelompok kelinci kontrol efektif terhadap Proteus dan Haemophilus
influenzae. Konsentrasi intravitreal pada kelompok kelinci dengan luka kornea
dan pada kelompok kelinci dengan luka sklera adalah efektif terhadap Neisseria
tetapi belum efektif terhadap Pseudomonas.2,9
Sefalosporin generasi keempat efektif terhadap bakteri gram positif, gram
negatif, bahkan terhadap Pseudomonas aeruginosa dan lebih resisten terhadap β-
laktamase. Sefalosporin diekskresikan melalui ginjal dan memiliki waktu paruh 1-
2 jam. Efek samping yang ditimbulkan sama dengan efek samping penisilin dan
pasien dengan riwayat hipersensitivitas terhadap penisilin juga dapat mengalami
reaksi yang sama terhadap sefalosporin.3,6,8
6

3.1.3 Vankomisin
Vankomisin adalah antibiotik yang dihasilkan oleh Streptococcus orientalis
dan bekerja dengan menghambat tahap konstruksi polimer linear pada rantai
peptidoglikan bakteri. Vankomisin hanya efektif terhadap bakteri gram positif
seperti Staphylococcus epidermidis dan enterokokus. Vankomisin kurang diserap
dengan baik oleh saluran gastrointestinal sehingga diberikan melalui intravena
dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Vankomisin diekskresikan melalui ginjal dan
memiliki waktu paruh 4-6 jam. Vankomisin intravena memiliki level intravitreal
yang terbatas sehingga tidak mencapai level terapeutik intraokular walaupun
dalam keadaan inflamasi mata.8,9

3.2 Intervensi Sintesis Protein


Bakteri memproduksi protein yang diperlukan untuk pertumbuhan dan
pertahanan. Protein tersebut disusun oleh polipeptida yang dihasilkan dari proses
translasi mRNA. Proses tersebut membutuhkan ribosom, sehingga semua
antibiotik yang menghambat kerja ribosom selanjutnya juga menghambat
pertumbuhan dan pertahanan bakteri. Ribosom bakteri memiliki subunit 30S dan
50S. Antibiotik sistemik yang menghambat sintesis protein bakteri adalah
golongan tetrasiklin, makrolida, kloramfenikol, dan aminoglikosida.2,8

3.2.1 Tetrasiklin
Tetrasiklin masuk ke dalam sel bakteri melalui pori hidrofilik yang terdapat
pada dinding sel bakteri atau melalui pengambilan aktif oleh bakteri, kemudian
tetrasiklin akan berikatan dengan subunit 30S ribosom bakteri sehingga
menghambat sintesis protein ribosom dan bersifat bakteriostatik. Tetrasiklin
adalah antibiotik spektrum luas yang efektif terhadap bakteri kokus gram positif,
kokus gram negatif, batang gram negatif, bakteri atipikal seperti mikoplasma,
klamidia, spiroseta, legionela, riketsia, listeria, vibrio, dan bakteri anaerobik
seperti bakteroides. Tetrasiklin oral dapat melewati sawar darah-akuos sehingga
dapat mencapai humor akuos. Tetrasiklin diekskresikan di urin dan empedu. Efek
samping tetrasiklin antara lain adalah mual, muntah, dan diare. Kontraindikasi
7

pemberian tetrasiklin adalah anak-anak yang sedang mengalami pertumbuhan


gigi, wanita hamil, dan pasien dengan gangguan ginjal.2,3,8,10-12

3.2.2 Makrolida
Makrolida adalah antibiotik yang efektif terhadap bakteri gram positif kecuali
MRSA, bakteri gram negatif, bakteri atipikal seperti mikoplasma, klamidia
termasuk Chlamydia trachomatis, legionela, listeria, dan beberapa
mikobakterium. Makrolida berikatan dengan subunit 50S ribosom bakteri
sehingga menghambat enzim peptidiltransferase yang berperan dalam
pembentukan ikatan-ikatan pada asam amino bakteri.2,8
Makrolida memiliki spektrum kerja yang lebih luas dibandingkan penisilin,
sehingga dapat digunakan sebagai terapi alternatif pada pasien dengan riwayat
alergi penisilin. Makrolida efektif terhadap bakteri gram positif khususnya
streptokokus, stafilokokus kecuali MRSA, mikoplasma, klamidia, listeria,
legionela, beberapa mikobakterium, dan treponema. Beberapa bakteri gram
negatif seperti Neisseria, Bordetella pertusis, Haemophilus influenzae, dan
Helicobacter pylori juga sensitif terhadap makrolida, kecuali terhadap
klindamisin. Makrolida yang diberikan melalui jalur sistemik dapat penetrasi
dengan baik ke jaringan okular sehingga dapat digunakan dalam tatalaksana
beberapa penyakit mata. Makrolida terdiri dari azitromisin, eritromisin,
klindamisin, dan klaritromisin. Eritromisin diekskresikan di urin dengan waktu
paruh 1.5 jam, sementara klaritromisin dan azitromisin memiliki waktu paruh
yang lebih panjang. Klaritromisin mengalami metabolisme di hati dengan waktu
paruh 6 jam. Efek samping eritromisin oral adalah mual, muntah, nyeri perut,
diare, anoreksia tetapi azitromisin dan klaritromisin memiliki lebih sedikit efek
gastrointestinal.2,3,8,10-12
Azitromisin oral memiliki efek antiinflamasi dengan supresi produksi mediator
inflamasi seperti sitokin yaitu TNF-α dan IL-1β, kemokin, dan metaloproteinase.
Azitromisin memiliki waktu paruh yang panjang mencapai tiga hari dan mampu
penetrasi dengan baik ke intraokular dan jaringan lain.8,10,11
8

3.2.3 Kloramfenikol
Kloramfenikol bersifat bakteriostatik melalui ikatan dengan subunit 50S
ribosom bakteri sehingga menghambat aktivitas enzim peptidiltransferase bakteri
yang kemudian menghambat pembentukan protein bakteri. Kloramfenikol efektif
terhadap bakteri gram positif dan negatif tetapi tidak efektif terhadap
Pseudomonas aeruginosa dan klamidia. Kloramfenikol sistemik mampu
menembus sawar darah mata dengan baik serta diekskresikan di urin, empedu,
dan feses. Efek samping kloramfenikol adalah mual, muntah, diare, depresi
sumsum tulang reversibel dan anemia aplastik yang tidak reversibel, oleh karena
itu pemberian kloramfenikol dapat ditunda apabila tersedia pilihan antibiotik lain
yang lebih aman.2,3,5,6,8

3.2.4 Aminoglikosida
Aminoglikosida dihasilkan oleh jamur Actinomyces. Saat aminoglikosida
memasuki sel bakteri, maka bakteri akan membentuk kompleks molekul
disfungsional yang menyebabkan gangguan proses translasi mRNA sehingga
menghambat pembentukan poliribosom. Golongan aminoglikosida tidak
terabsorpsi baik di saluran gastrointestinal sehingga diberikan melalui jalur
parenteral, dan kurang mampu menembus sawar darah-mata. Aminoglikosida
efektif terhadap bakteri gram negatif dan kurang efektif terhadap bakteri gram
positif. Aminoglikosida generasi pertama adalah streptomisin, kanamisin,
amikasin, framisetin. Amikasin efektif terhadap bakteri gram positif, tetapi tidak
penetrasi dengan baik ke rongga vitreus melalui pemberian intravena. Generasi
kedua terdiri dari gentamisin, tobramisin, dan netilmisin. Gentamisin intravena
tidak mencapai level terapeutik dan tidak dapat penetrasi ke intraokular dalam
tatalaksana infeksi intraokular.2,3,6,8,13

3.3 Antibiotik Penghambat Metabolisme Asam Folat


Antibiotik penghambat metabolisme asam folat terdiri dari golongan
sulfonamida dan pirimetamin. Sulfonamida berasal dari sulfanilamida yang
strukturnya hampir sama dengan para-aminobenzic acid (PABA) yang
dibutuhkan dalam sintesis asam folat bakteri. PABA akan diubah oleh
9

dihydropteroate synthase menjadi asam dihidrofolat, prekursor asam folat.


Sulfonamida efektif terhadap bakteri gram positif, gram negatif, klamidia,
protozoa, Shigella, E. coli, dan Salmonella. Sulfonamida antara lain adalah
sulfiksazol, sulfametoksazol, sulfadiazin, sulfasalazin, dan sulfasetamida.
Sebagian sulfonamida menjalani metabolisme di hati, kemudian metabolit
sulfonamida diekskresikan di ginjal. Efek samping sulfonamida adalah anemia
megaloblastik, leukopenia, granulositopenia, dan sindroma steven-johnson.2,3,6,8
Trimetoprim menghambat enzim dihidrofolat reduktase yang diperlukan oleh
bakteri dalam proses pengubahan asam dihidrofolat menjadi asam tetrahidrofolat.
Kotrimoksazol adalah kombinasi sulfametoksazol dan trimetoprim dengan
aktivitas antimikroba yang sinergis. Sediaan kotrimoksazol yang umum adalah
dengan perbandingan 1:5 yaitu 80 mg trimetoprim dan 400 mg sulfametoksazol.2,8

3.4 Intervensi Sintesis DNA Bakteri


Antibiotik yang bekerja dengan mengintervensi sintesis DNA bakteri adalah
fluorokuinolon. Fluorokuinolon menghambat enzim DNA gyrase (topoisomerase
II) yang berperan dalam replikasi, transkripsi, dan perbaikan kerusakan DNA
bakteri serta topoisomerase IV yang terlibat dalam pemisahan kromosom DNA
saat pembelahan sel bakteri. Fluorokuinolon menghambat DNA gyrase pada
bakteri gram negatif dan topoisomerase IV pada bakteri gram positif.
Fluorokuinolon yang sangat efektif terhadap infeksi oleh bakteri gram negatif.2,3,8
Fluorokuinolon sistemik sangat baik menembus sawar darah mata sehingga
fluorokuinolon mampu memasuki rongga vitreus dalam 6-8 jam setelah
pemberian. Kemampuan penetrasi okular yang baik melalui administrasi sistemik
tersebut berhubungan dengan sifat lipofilik fluorokuinolon. Fluorokuinolon
diekskresikan melalui ginjal.5,6,8
Efek samping fluorokuinolon adalah sakit kepala, mual, muntah, diare, dan
dalam beberapa jurnal disebutkan kejadian rhegmatogenous retinal detachment
(RRD) yang diduga diinduksi oleh fluorokuinolon. Penelitian yang dilakukan oleh
Kuo et al menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara penggunaan
fluorokuinolon oral yaitu siprofloksasin, levofloksasin, norfloksasin, dan
10

ofloksasin dengan kejadian RRD. Mekanisme terjadinya RRD pada pasien yang
mengkonsumsi fluorokuinolon belum diketahui secara pasti tetapi sementara
diduga karena terdapat proses iskemik vaskular atau toksisitas langsung terhadap
kolagen yang dibutuhkan untuk perlekatan retina ke badan vitreus.2,8,14
Tabel 3.2 menunjukkan bahwa fluorokuinolon terdiri dari empat generasi yang
berbeda-beda spektrum aktivitasnya. Fluorokuinolon generasi pertama efektif
terhadap bakteri gram negatif tetapi tidak memiliki distribusi yang baik ke
jaringan dan saat ini sudah tidak banyak digunakan. Fluorokuinolon generasi
kedua efektif terhadap bakteri gram negatif, gram positif, dan bakteri atipikal.
Siprofloksasin memiliki spektrum luas dan efektif terhadap sebagian besar bakteri
gram-negatif termasuk Pseudomonas, Chlamydia trachomatis, Haemophilus,
Neisseria dan bakteri gram positif termasuk MRSA.2,3,8

Tabel 3.2 Klasifikasi Fluorokuinolon


Generasi Nama Obat
Pertama asam nalidiksat, sinoksasin, asam oksolinik, asam pipemidat.
Kedua siprofloksasin, ofloksasin, norfloksasin, pefloksasin.
Ketiga levofloksasin, sparfloksasin, gatifloksasin.
Keempat moksifloksasin, gemifloksasin, trovafloksasin.
Dikutip dari: Gupta et al2

Fluorokuinolon generasi ketiga memiliki aktivitas yang lebih luas terhadap


bakteri gram positif, tetapi kurang efektif terhadap Pseudomonas bila
dibandingkan dengan siprofloksasin. Levofloksasin efektif terhadap bakteri gram
positif dan negatif, seperti Corynebacterium, Staphylococcus aureus,
Staphylococcus epidermidis, Streptococcus, Haemophilus influenzae, dan Serratia
marcescens. Levofloksasin oral mampu mencapai konsentrasi efektif humor
akuos dan vitreus terhadap bakteri gram negatif kecuali Pseudomonas
aeruginosa.2,3,8
Fluorokuinolon generasi keempat efektif terhadap bakteri gram positif dan
negatif seperti fluorokuinolon generasi ketiga, serta memiliki aktivitas terhadap
bakteri anaerob dan Pseudomonas aeruginosa. Ahmed et al melakukan penelitian
yang membandingkan penetrasi intraokular antara moksifloksasin, vankomisin,
dan seftazidim intravena pada mata kelinci normal dan mata kelinci yang
11

mengalami luka penetrasi intraokular. Hasil yang didapatkan adalah bahwa


moksifloksasin memiliki konsentrasi intraokular paling tinggi di antara ketiga
antibiotik tersebut melalui administrasi intravena, dengan konsentrasi yang efektif
terhadap stafilokokus, streptokokus, proteus, moraksela.2,9,13

IV. Indikasi Terapi Antibiotik pada Penyakit Mata


Antibiotik sistemik dapat diberikan pada kasus-kasus penyakit mata sebagai
terapi empiris dengan mempertimbangkan efektivitas antibiotik yang ditentukan
oleh diagnosis yang tepat dan bakteri-bakteri yang umumnya menjadi penyebab
infeksi mata, serta mekanisme kerja antibiotik. Evaluasi mikroba lanjutan untuk
terapi definitif seperti kultur-resistensi dan apus dapat dilakukan apabila tanda-
tanda klinis pada pasien tidak sesuai dengan dugaan bakteri penyebab infeksi,
apabila pasien memiliki riwayat hipersensitivitas terhadap antibiotik empiris yang
akan diberikan, atau apabila keadaan dan tanda-tanda klinis pasien dinilai tidak
membaik setelah pemberian antibiotik empiris. Antibiotik sistemik yang
digunakan dalam tatalaksana penyakit mata antara lain adalah golongan penisilin,
sefalosporin, tetrasiklin, makrolida, sulfonamida, dan fluorokuinolon.2,8,15

4.1 Penisilin
Penisilin G diberikan pada kasus infeksi oleh streptokokus, stafilokokus yang
tidak menghasilkan β-laktamase, Treponema pallidum, dan spiroseta lainnya.
Neurosifilis yang disebabkan oleh Treponema pallidum diobati dengan penisilin
G intravena 12MU/hari yang diberikan selama 10 hari. Penisilin semi-sintetik
diberikan pada kasus infeksi oleh stafilokokus penghasil β-laktamase dan
streptokokus. Amoksisilin/klavulanat oral 125-250 mg/8 jam diberikan untuk
tatalaksana dakriosistitis akut, trauma palpebra, dan 250-875 mg yang diberikan
2-3 kali/hari untuk tatalaksana selulitis preseptal yang umumnya disebabkan oleh
Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes. Amoksisilin oral 125-250
mg/8 jam dapat diberikan sebagai tatalaksana konjungtivitis yang disebabkan oleh
Haemophilus influenzae. Nafsilin (penisilin anti-stafilokokus) intravena 1-2
gram/4-6 jam diberikan untuk tatalaksana selulitis orbita bersama dengan
seftriakson.2,4,16
12

4.2 Sefalosporin
Sefalosporin oral digunakan dalam tatalaksana infeksi oleh stafilokokus dan
streptokokus seperti selulitis atau abses jaringan lunak. Seftriakson intravena 1
gram/12 jam diberikan untuk tatalaksana selulitis orbita yang umumnya
disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes dan
diberikan untuk tatalaksana neurosifilis yang disebabkan oleh Treponema
pallidum. Konjungtivitis gonokokus juga dapat diobati dengan seftriakson
intravena 25-50 mg/kg pada neonatus dan 1 gram/hari selama 5 hari pada dewasa.
Sefiksim oral 400 mg dosis tunggal diberikan sebagai tatalaksana konjungtivitis
gonokokus. Seftazidim intravena dapat diberikan pada kasus post-traumatic
endophthalmitis (post-TE) dan pada luka penetrasi okular apabila luka tidak
terkontaminasi bakteri gram negatif.2,4,9

4.4 Tetrasiklin
Tetrasiklin sistemik banyak digunakan dalam tatalaksana penyakit mata.
Blefaritis, meibomian gland disorders (MGD), dan acne rosacea dapat ditangani
dengan pemberian tetrasiklin oral 250-500 mg/6 jam/hari atau dengan doksisiklin
oral 50-100 mg 1-2 kali/hari yang diberikan selama 3 minggu.2,4

4.5 Makrolida
Eritromisin aman diberikan pada wanita hamil dan anak-anak berusia di bawah
8 tahun, sehingga dapat digunakan sebagai terapi alternatif infeksi klamidia
inklusi dewasa maupun anak-anak. Eritromisin oral 500 mg empat kali/hari
selama lebih dari 3 minggu diberikan sebagai tatalaksana infeksi klamidia inklusi
dewasa, konjungtivitis inklusi anak-anak, dan trakoma. Pasien dengan klamidia
inklusi neonatus diberikan eritromisin 50 mg/kgBB/hari yang dibagi menjadi 4
dosis selama 14 hari. Klindamisin oral 300 mg yang diberikan selama 3 hingga 6
minggu juga dapat menjadi pilihan terapi retinitis toksoplasma. Klaritromisin oral
500 mg yang diberikan dua kali/hari digunakan dalam tatalaksana post-TE.2,4,17
Azitromisin oral 250-300 mg/hari terbukti menurunkan rekurensi
retinokoroiditis dan pemberian 1 gram sekali/hari atau dosis tunggal diberikan
sebagai terapi alternatif infeksi klamidia inklusi dewasa. Kashkouli et al
13

menyatakan bahwa terapi azitromisin oral 500 gram di hari pertama yang
dilanjutkan dengan 250 mg/hari selama 4 hari lebih bermanfaat dalam tatalaksana
MGD dibandingkan dengan doksisiklin oral 200 mg/hari selama 1 bulan. Yildiz et
al membandingkan efektivitas klinis azitromisin topikal dengan oral dalam
tatalaksana blefaritis posterior. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
azitromisin topikal maupun oral memiliki efektivitas yang sama dengan
efektivitas azitromisin topikal yang sedikit lebih superior terutama dalam
perubahan margo palpebra, lapisan air mata yang lebih stabil, dan perubahan
sitologis konjungtiva yang bertahan lebih lama.4,10-12,16

4.6 Sulfonamida Trimetoprim


Sulfonamida diindikasikan untuk terapi pada infeksi yang disebabkan oleh
Staphylococcus aureus baik MRSA maupun non-MRSA, Haemophilus
influenzae, dan toksoplasmosis. Uveitis parasitik dapa diobati dengan
kotrimoksazol 800 mg/160 mg setiap 12 jam. Toksoplasmosis parasitik diobati
dengan pirimetamin 75-100 mg selama 24 jam dilanjutkan dengan 25-50 mg/hari
dan sulfadiazin 2–4 gram dosis awal dilanjutkan dengan 1 gram yang diberikan
empat kali/hari selama 4-6 minggu.2,6,16,17

4.7 Fluorokuinolon
Fluorokuinolon oral digunakan dalam tatalaksana konjungtivitis dan
endoftalmitis. Ofloksasin oral 300 mg dapat diberikan dua kali/hari selama 7 hari
untuk pilihan tatalaksana konjungtivitis klamidia inklusi dewasa. Moksifloksasin
oral 400 mg satu kali/hari diberikan selama 10 hari untuk tatalaksana post-TE dan
bisa dikombinasikan dengan klaritromisin.4,12,16

V. Resistensi
Keadaan klinis pasien yang tidak membaik setelah terapi antibiotik dapat
disebabkan oleh resistensi bakteri terhadap antibiotik. Resistensi adalah suatu
keadaan di mana bakteri yang awalnya sensitif terhadap suatu antibiotik, menjadi
tidak sensitif atau resisten terhadap antibiotik tersebut. Resistensi dapat terjadi
14

karena penggunaan antibiotik yang tidak tepat dosis dan dapat diketahui melalui
pemeriksaan kultur dan resistensi.1,15
Bakteri membentuk resistensi dengan berbagai cara terhadap masing-masing
antibiotik selain melalui produksi enzim β-laktamase. Mekanisme lain resistensi
bakteri terhadap antibiotik adalah dengan modifikasi protein target antibiotik,
penghambatan influks atau peningkatan efluks antibiotik dengan transpor aktif
melalui pompa protein, penurunan permeabilitas membran sel bakteri, mutasi
kromosom bakteri, dan produksi berlebih enzim bakteri yang aktivitasnya
dihambat oleh antibiotik.1,2,15

VI. Simpulan
Antibiotik sistemik dapat dipertimbangkan sebagai tatalaksana infeksi mata.
Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam menentukan terapi dengan antibiotik
sistemik adalah diagnosis yang tepat, efektivitas antibiotik, efek samping
antibiotik yang akan diberikan. Keputusan memberikan antibiotik sistemik dapat
dibuat setelah memahami mekanisme kerja antibiotik dan kondisi sistemik pasien
sehingga dapat mencegah atau mengantisipasi efek samping yang mungkin
terjadi, walaupun terdapat sifat toksisitas selektif antibiotik karena perbedaan
struktur sel manusia dan bakteri. Evaluasi klinis atau mikrobiologis selanjutnya
dapat dilakukan untuk menilai resistensi bakteri terhadap antibiotik 1-3
DAFTAR PUSTAKA

1. Lampiris HW, Maddix DS. Clinical use of antimicrobial agents. Dalam:


Basic and clinical pharmacology. Edisi ke-12. McGraw-Hill Companies,
Inc. 2012. Hlm: 901-913.
2. Gupta SK, Agarwal R, Srivastava S. Textbook on clinical ocular
pharmacology and therapeutics. Daryaganj: Jaypee Brothers Medical
Publishers. 2014. Hlm: 102-32.
3. Bartlett JD, Jaanus SD. Clinical ocular pharmacology. Edisi ke-5. Elsevier,
2008. hlm: 175-96.
4. Bartlett JD. Ophthalmic drug facts. Wolters Kluwers Health. 2010. Hlm:
343-5.
5. Seal D, Pleyer U, Booton G, Ferre C, Gardner S, et al. Ocular infection.
Edisi ke-2. New York: Informa Healthcare. 2007. Hlm: 105-24.
6. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA, Levine LM, Brar VS, Goldstein MH
et al. Fundamentals and principles in ophthalmology. American Academy
of Ophthalmology. 2016. Hlm: 229-30, 343-53.
7. Forrester JV, Dick AD, McMenamin PG, Roberts F, Pearlman E. The eye
basic sciences in practice. Elsevier. 2016. Hlm: 218-45.
8. Deck DH, Winston LG. Introduction to Antimicrobial Drugs. Dalam:
Basic and clinical pharmacology. Edisi ke-12. McGraw-Hill Companies,
Inc. 2012. Hlm: 790-838.
9. Ahmed S, Kuruvilla O, Yee DC, Himanshu A, Li Y, Edwards P, et al.
Intraocular penetration of systemic antibiotics in eyes with penetrating
ocular injury. Journal of Ocular Pharmacology and Therapeutics.
2014;10(12):823-30.
10. Kashkouli MB, Fazel AJ, Kiavash V, Nojomi M, Ghiasian L. Oral
azithromycin versus doxycyline in meibomian gland dysfunction: a
randomised double masked open label clinical trial. British Journal of
Ophthalmology. 2014;0(9):1-6.
11. Yildiz E, Yenerel NM, Turan-Yardimci A, Erkan M, Gunes P.
Comparisons of the clinical efficacy of topical and systemic azithromycin
treatment for posterior blepharitis. Journal of Ocular Pharmacology and
Therapeutics. 2018;4(2):1-8.
12. Wladis EJ, Bradley EA, Bilyk JR, Yen MT, Mawn LA. Oral antibiotics for
meibomian gland-related ocular surface disease. American Academy of
Ophthalmology. 2016;3(6):492-6.
13. Meredith TA, Ukrich JN. Infectious endolphthamitis. Dalam: Ryan’s
retina volume III. Edisi ke-6. Elsevier Saunders. 2018. Hlm: 2273-5.
14. Kuo SC, Chen YT, Lee YT, Fan NW, Chen SJ, Li SY, et al. Association
between recent use of fluoroquinolones and rhegmatogenous retinal
detachment: a population-based cohort study. 2013. Clinical Infectious
Disease. 2014;58(2):197-203.
15. Mukherjee PK, Bandyopadya P. Ocular microbiology. New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Publishers. 2010. Hlm: 176-91.

15
16

16. Bowling B. Kanski’s clinical ophthalmology a systematic approach. Edisi


ke-8. Elsevier. 2016. Hlm: 87, 288-92, 432, 854-6.
17. Belfort Jr. R, Silveira C, Muccioli C. Ocular toxoplasmosis. Dalam:
Ryan’s retina volume III. Edisi ke-6. Elsevier. 2018. Hlm: 1681-3.

Anda mungkin juga menyukai