Anda di halaman 1dari 3

Ilustrasi:

Penipuan Ibadah Umroh oleh First Travel

PT First Travel Anugerah Karya Wisata atau First Travel adalah penyelenggara layanan
umroh dengan harga sangat murah per jemaahnya: Paket 1 (paket promo) sebesar Rp 14,3
juta; Paket Reguler Rp 25 juta; dan paket VIP Rp 54 juta. Padahal biaya umrah yang
ditetapkan oleh Kementerian Agama RI adalah minimal sebesar 1.700 dolar AS atau sekitar
Rp 22 juta. Tanpa mempedulikan biaya standar umrah yang ditetapkan oleh pemerintah,
ribuan calon terpikat untuk mendaftar paket promo ke First Travel apalagi setelah biro ini
mengantongi izin sebagai Penyelenggara perjalanan ibadah umrah (PPIU) atas dasar
Keputusan Dirjen PHU Nomor d/746 Tahun 2013. Sebelum 2013, First Travel berhasil
memberangkatkan 800-900 jemaah; meningkat pada 2013 menjadi 3.600 jemaah; dan 2014
menjadi 15.700 jemaah. Kepercayaan kepada First Travel juga makin besar ketika biro
perjalanan ini meraih penghargaan Business & Company Winner Award 2014 untuk kategori
The Most Trusted Tour & Travel sebagai bukti layanan yang prima dan pada 2015 mampu
memberangkatkan 35.000 jemaah ke tanah suci.
Sayangnya kisah manis tersebut berbuah petaka. Dari pendaftar umroh paket promo pada
kurun waktu Desember 2016-Mei 2017 berjumlah 72.682 orang, baru 14.000 yang telah
diberangkatkan, sedangkan 58.682 orang tidak diberangkatkan. Akibatnya, calon jemaah ini
menderita kerugian sebesar ± Rp848,7 miliar. Diperkirakan uang calon jemaah umroh ini
digelapkan oleh pasangan pendiri First Travel, Andika Surachman dan Anniesa Desvitasari
Hasibuan untuk membeli aset-aset pribadi, salah satunya berupa rumah pribadi di Cluster
Taman Venesia nomor 99, Sentul City, Kota Bogor. Pada 21 Juli 2017, otoritas Jasa
Keuangan (OJK) menghentikan penghimpunan dana dan investasi yang dilakukan oleh First
Travel. Akhirnya pada 1 Agustus 2017, setelah mendapat sanksi dari OJK, Kementerian
Agama secara resmi mencabut izin operasional First Travel sebagai PPIU.
Sumber: https://tirto.id/kiprah-first-travel-dari-sengsara-berakhir-di-penjara-cums
Analisis:
PT. First Anuegrah Karya Wisata menyelenggarakan layanan umroh dengan harga yang
sangat murah per jemaahnya dibandingkan biaya yang ditetapkan oleh Kementrian Agama
RI. Sehingga, banyak orang terpikat untuk menggunakan layanannya. Apalagi setelah biro ini
mengantongi izin sebagai OOIU atas dasar Keputusan Dirjen PHU Nomor d/746 Tahun 2013
dan semakin mendapat kepercayaan setelah meraih penghargaan Business & Company
Winner Award. Namun, ternyata pada akhirnya PT ini melakukan tindakan yang sangat tidak
etis dengan melalaikan tanggungjawab atas jasa yang mereka berikan. Pada Desember 2016
sampai Mei 2017. Pemilik PT ini menggelapkan uang para calon jemaah untuk kepentingan
pribadi. Hal tersebut melanggar kode etik, dan merupakan kegiatan yang sangat tidak etis,
selain memanfaatkan hak para calon jemaah mereka juga merugikan orang banyak.
Refleksi:
1. Refleksi 7.1
Citra produk premium atau kelas atas sering ditunjukkan melalui kemasan produk yang
elegan, mewah, dan disertai dengan harga produk yang mahal. Seringkali dengan
mengubah kemasan suatu produk, produk yang semula berharga murah dapat menjadi
lebih mahal, padahal belum tentu disertai dengan perubahan fungsinya. Menurut Saudara,
apakah "permainan" kemasan ini dapat dibenarkan secara etis terlebih lagi di era visual
saat ini?
Jawab:
Menggunakan kemasan yang elegan dan mewah boleh saja dalam rangka meningkatkan
pemasaran untuk menyukseskan strategi marketing. Di dalam dunia bisnis hal itu sudah
sangat sering dan lazim dilakukan. Di era visual pun hal ini sudah biasa dilakukan.
Namun, jika dilihat dari pandangan etis atau tidaknya, memang dinilai kurang etis karena
dengan tampilan yang elegan dan mewah membuat harga suatu produk menjadi lebih
mahal tetapi fungsinya sama saja. Maka dari sisi keetisan, hal ini tidak etis.
2. Refleksi 7.2
Banyak orang menyukai produk-produk bermerek terkenal (branded goods), tetapi tidak
seluruhnya mampu membelinya karena keterbatasan penghasilan. Hal ini memicu
munculnya produk-produk palsu yang meniru sebagian atau seluruhnya dari produk-
produk yang asli, bahkan penjualan produk-produk yang palsu ini sering lebih tinggi
dibandingkan yang asli sehingga mengakibatkan kerugian besar bagi pemilik merek asli.
Menurut Saudara, bagaimanakah sikap kita sebagai seorang konsumen terhadap
fenomena ini? Apakah membeli produk palsu atau membeli produk asli meskipun
mereknya tidak terkenal.
Jawab:
Sebagai konsumen, menghadapi fenomena ini kami lebih baik memilih membeli produk
yang asli sebagai bentuk dukungan dan apresiasi kepada produsen. Untuk kemampuan
membeli atau daya beli kitapun harus menyesuaikan dengan penghasilan. Tidak perlu
memaksakan untuk membeli produk tersebut jika tidak mampu. Jika tidak mampu, lebih
baik menunda untuk membeli daripada membeli barang yang palsu. Karena tindakan
produksi barang tiruan adalah sebuah pelanggaran hak cipta dan terpandang tidak etis.
3. Refleksi 7.3
Untuk setiap transaksi yang telah kita (konsumen) lakukan, nota penjualan selalu tertulis,
'setiap barang yang telah dibeli tidak dapat dikembalikan'. Apa yang akan Saudara
lakukan ketika barang yang Saudara beli tidak dapat digunakan dan tidak ada kebijakan
pengembalian (return policy) yang ditetapkan oleh penjual atau produsen?
Jawab:
Sebagai konsumen saya akan tetap menerima barang yang sudah saya beli atau tidak
melakukan protes dan komplain. Karena sudah tertulis dalam nota penjualan barang yang
sudah dibeli tidak bisa dikembalikan, walaupun ini kesepakatan tidak langsung dan dibuat
oleh satu pihak saja, namun tetap saja kita harus menerima. Karena ketika kita sudah
berani membeli maka kita juga harus menerima konsekuensinya jika keadaannya seperti
kasus di atas.

Anda mungkin juga menyukai