Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS

GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE (GERD)

Penulis
dr. Lazuardi Gayu Ilhami

Pembimbing
dr. Herwin Hasan, SpPD, MARS
dr. Marissa Skolastika
dr. Fenny Shuriana

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RS KARTIKA CIBADAK
JUNI 2020
BAB I
PENDAHULUAN
Gastroesophageal reflux disease (GERD) muncul sebagai akibat dari kegagalan mekanisme anti
refluks normal untuk melindungi esofagus dari refluks asam lambung yang dengan frekuensi
yang berlebihan. Refluks asam lambung sebetulnya bukanlah suatu penyakit, melainkan proses
fisiologis yang normal dan terjadi pada hampir semua orang beberapa kali dalam sehari, terutama
setelah makan besar, tanpa menghasilkan gejala atau tanda-tanda kerusakan mukosa.

Pada GERD, refluks asam lambung terjadi dalam frekuensi yang berlebihan sehingga
menghasilkan gejala panas dada dan regurgitasi asam. Pada sebagian besar pasien keluhan
refluks asam lambung tidak diikuti dengan cedera mukosa yang terlihat pada saat pemeriksaan
endoskopi saluran cerna atas, kelompok ini disebut dengan GERD nonerosif, sedangkan pada
sebagian kecil pasien dari pemeriksaan endoskopi salurna cerna atas ditemukan beberapa
kelainan mukosa pada esofagus, berupa esofagitis, striktur peptikum, Barrett esophagus, hingga
adenokarsinoma esofagus, kelompok ini disebut dengan GERD erosif. Pada Beberapa pasien,
selain gejala pada esofagus, dapat pula muncul gejala refluks asam lambung di organ lain mulai
dari tenggorokan, hidung, telinga, hingga paru.

GERD muncul akibat proses yang multifaktorial dan menjadi salah satu penyakit dengan
prevalensi tertinggi serta menjadi penyebab nomor dua penyakit yang memberikan pengaruh
paling negatif terhadap kualitas hidup, tertinggi setelah penyakit psikiatrik. Oleh karena itu
GERD harus dapat dikenali oleh dokter di fasilitas kesehatan tingkat primer sedari dini dan
ditangani dengan tuntas agar tidak berlanjut menjadi kondisi yang lebih ganas dan meningkatkan
kualitas hidup pasien di kemudian hari.

1
BAB II
ILUSTRASI KASUS

Identitas Pasien

 Nama : Ny. SR
 Jenis kelamin : Perempuan
 Usia : 43 th 10 bln 1 hr
 Tanggal lahir : 24 Juli 1976
 Agama : Islam
 Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
 Pendidikan : SMP
 Alamat : Nagrak, Cibadak
 Tgl. Periksa : 29 Mei 2020
 No. RM : 088159
 Pembiayaan : BPJS Kesehatan (Datang dari IGD)

Primary Survey

 Airway : bebas, tidak ada cedera servikal


 Breathing : spontan, torakoabdominal, gerak dada simetris, tidak tampak sesak
 Circulation : akral hangat, nadi kuat, tekanan darah 130/80 mmHg

Anamnesis

 Keluhan Utama
Nyeri dada sejak 1 hari SMRS
 Riwayat Penyakit Sekarang
Nyeri dada di tengah dada menjalar dari ulu hati naik ke atas, terasa seperti terbakar, ulu
hati terasa ditusuk-tusuk. Nyeri terasa terus menerus, mereda dengan makan namun saat
ini mual sehingga sulit makan, tidak berubah dengan perubahan posisi. Disertai mulut
terasa asam dan mual. Keluhan muntah-muntah hebat, sulit menelan, nyeri ketika
menelan, BAB darah, BAB hitam, penurunan berat badan drastis, wajah pucat, semuanya
disangkal. Keluhan nyeri seperti ditindih, nyeri yang menjalar, keringat dingin, nyeri

2
seperti dirobek, nyeri yang sesak yang makin memberat, kaki bengkak, batuk, batuk
berdarah, riwayat benturan di dada atau perut, riwayat demam, riwayat tersedak
seluruhnya disangkal. Pasien ada riwayat darah tinggi sejak 2 tahun lalu rutin kontrol ke
puskesmas dengan obat captopril 2x25mg. Riwayat bepergian dan kontak dengan orang
yang baru datang dari luar kota disangkal. Alergi obat dan makanan disangkal.
 Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sakit lambung yang muncul terutama ketika perut kosong sudah lama. Riwayat
sakit jantung, riwayat pengobatan paru 6 bulan, riwayat terjatuh, riwayat operasi,
semuanya disangkal.
 Riwayat Penyakit di Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang sedang menderita sakit yang sama. Riwayat adik
kandung sakit darah tinggi. Riwayat keluarga sakit jantung, sakit paru, kanker semuanya
disangkal.
 Riwayat Sosioekonomi
Pasien merupakan Ibu Rumah Tangga, sehari-hari beraktivitas tidak terlalu berat. Pasien
tidak merokok, tidak minum alkohol. Makan kadang bersantan, makan sayur kadang-
kadang. Makan sehari 2-3 kali, sekali makan porsi dikatakan biasa saja. Pasien tinggal di
pemukiman padat penduduk. Fasyankes dapat diakses dengan angkot berjarak 3 KM.
Pendapatan keluarga perbulan sekira 2-3 juta rupiah. Biaya Kesehatan pasien ditanggung
BPJS Kesehatan PBI.

Pemeriksaan Fisis

 Keadaan umum : tampak sakit ringan


 Habitus : piknikus
 Kesadaran : compos mentis, GCS 15
 Tekanan darah : 130/88 mmHg
 Frekuensi nadi : 92x/menit, kuat, regular
 Frekuensi napas : 20x/menit, torakoabdominal, regular
 Suhu tubuh : 36.5oC
 Berat badan : 70 kg
 Tinggi badan : 160 cm
 IMT : 27.3 kg/m2
 Kulit : tidak pucat, tidak sianosis, tidak ada stigmata sirosis, tidak ada lesi
lainnya

3
 Kepala : normosefal, rambut hitam berubah tersebar merata
 Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, posisi
bola mata simetris, ptosis (-), lagoftalmus (-)
 Hidung : lubang hidung lapang, tidak ada sekret
 Mulut : lidah bersih, kebersihan gigi-mulut baik, uvula di tengah, faring
tidak hiperemis, mukosa basah
 Leher : vena tidak terdistensi, tidak tampak penggunaan otot bantu napas,
tiroid dan kelenjar getah bening tidak membesar,
 Paru : I: gerak dada simetris, tidak tampak penggunaan otot bantu napas
: P: tidak ada nyeri tekan, tidak terasa massa
: P: perkusi sonor pada kedua lapang paru, batas paru-hepar sela iga
6 garis midklavikular kiri, batas paru-lambung sela iga 8 garis
axila anterior kanan
: A: bunyi napas vesikular pada kedua lapang paru, tidak ada ronki,
tidak ada wheezing
 Jantung : I: iktus kordis tidak terlihat
: P: iktus kordis teraba di sela iga 5 seluas koin, tidak ada thrill,
tidak ada heave
: P: batas kanan jantung di garis sternalis kanan, batas kiri jantung
di 1 jari lateral garis midklavikular kiri, pinggang jantung di garis
parasternalis kanan setinggi sela iga 2
: A: bunyi jantung I dan II normal, tidak ada splitting, tidak ada
murmur, tidak ada gallop
 Abdomen : I: supel, tidak ada tanda radang, tidak tampak massa, , tidak ada
dam contour, tidak ada dam steifung, tidak ada venektasi
: A: bising usus 3x/menit, tidak ada venous hump, tidak ada bruit
: P: terdapat nyeri tekan epigastrium, tidak teraba massa, hepar dan
limpa tidak teraba
: P: perkusi timpani, shifting dullness negative
 Ekstremitas : akral teraba hangat, CRT<2”, tidak ada edema, tidak ada jari tabuh

Pemeriksaan Penunjang

4
Gambar 2.1 EKG pasien

 EKG
- Ritme : Sinus
- Frekuensi : 106x/menit, regular
- Axis : normoaxis
- Gel P : <0,12 detik, morfologi normal
- Kompl. QRS : <0,11 detik, morfologi normal
- Segmen ST : isoelektrik di semua sadapan
- Gel T : morfologi normal
- LVH : tidak tampak gambaran LVH

Kesimpulan: EKG normal, sinus takikardia

Diagnosis

 GERD dengan dispepsia dd gastritis, ulkus peptikum


 Hipertensi grade 1 terkontrol
 Obesitas grade 1

Penatalaksanaan

 Diagnostik
- Modalitas diagnostik lanjutan belum diperlukan
 Terapi
- Injeksi omeprazole 40 mg IV
- Injeksi ondansetron 4 mg IV
- Omeprazole 2x20 mg PO (untuk rawat jalan)

5
 Edukasi
- Menurunkan berat badan
- Mengubah pola makan menjadi small but frequent
- Mencegah makan larut malam
- Mengurangi makan makanan berlemak dan bersantan
- Minum obat teratur
- Berobat rutin untuk komorbid hipertensi

Prognosis

 Ad vitam : Bonam
 Ad sanationam : Dubia ad bonam
 Ad functionam : Dubia ad bonam

6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi dan Klasifikasi Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)

Berdasarkan konsensus Montreal tahun 2006, GERD didefinisikan sebagai suatu kondisi yang
berkembang ketika terjadi refluks asam lambung ke esofagus yang kemudian menyebabkan
gejala yang menganggu dan atau komplikasinya. GERD kemudian dapat dibagi berdasarkan
lokalisasi gejala yang muncul yakni, sindrom esofageal dan sindrom ekstra esofageal. Klasifikasi
GERD dapat dilihat pada gambar 3.1.1, 2

Gambar 3.1 Klasifikasi GERD berdasarkan lokalisasi gejala refluks. Sindrom esofageal dibagi berdasarkan ada
tidaknya kerusaka struktural sedangkan sindrom ekstraesofageal dibagi atas tegaknya asosiasi antara refluks asam
lambung dengan gejala.2

Epidemiologi Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)

Sebanyak 18.1-27.8% penduduk Amerika Utara menderita GERD dan hampir setengah dari
seluruh penduduk dewasa di sana akan mengalami gejala GERD suatu waktu selama hidupnya.
Di Asia setidaknya 3-5% populasi menderita GERD kecuali di Jepang dan Taiwan dengan
prevalensi jauh lebih tinggi sebesar 13-15%. Indonesia sampai saat ini belum memiliki laporan
yang jelas mengenai jumlah kasus GERD.1, 3

7
Perbandingan prevalensi GERD pria dengan wanita tidak jauh berbeda, akan tetapi komplikasi
GERD ditemukan jauh lebih banyak pada pria dengan esophagitis ialah 2-3:1 dan esofagus
Barret 10:1.1, 3

Etiologi dan Faktor Risiko Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)

Di antara faktor risiko untuk munculnya GERD di Asia Pasifik adalah: (1) Usia lanjut, (2) pria,
(3) riwayat keluarga, (4) status ekonomi tinggi, (5) Nilai BMI yang berlebih, dan (6) Merokok,
(7) kurang aktivitas fisik, (8) kehamilan. Nilai BMI berlebih disebut sebagai salah satu faktor
risiko GERD dengan tingkat evidence paling paling kuat. 1, 3

Patofisiologi Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)

GERD didasari atas terjadinya refluks asam lambung ke esofagus. Refluks dapat terjadi akibat
kondisi fisiologis maupun nonfisiologis. Kondisi fisiologis penyebab refluks adalah transient
lower esophageal sphincter relaxations (TLESRs) yang terjadi akibat dari inhibisi tonus sfingter
esofageal bawah yang tidak tergantung proses penelanan makanan. Frekuensi dari kejadian
inhibisi tonus sfingter esofageal bawah ini lebih sering terjadi terutama saat fase posprandial.
Adapun kondisi nonfisiologis penyebab refluks di antaranya adalah: (1) penurunan tekanan
sfingter esofageal bawah secara menetap, (2) Adanya hernia hiatal, (3) penurunan mekanisme
klirens esofagus, (4) penurunan lama pengosongan lambung.1, 5, 6

Manifestasi Klinis Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)

GERD dapat menimbulkan gejala yang diakibatkan proses patologis baik di dalam saluran
esofagus (sindrom esofageal) maupun di luar saluran esofagus (sindrom ekstra esofageal). Gejala
yang dapat timbul akibat sindrom esofageal antara lain: (1) heartburn yakni rasa panas di dada
yang menjalan dari ulu hati hingga ke mulut, (2) mual dan muntah. Sedangkan gejala yang
timbul pada sindrom esktraesofageal adalah: (1) suara serak, (2) sering berdehem, (3) rasa penuh
atau mengganjal di tenggorokan belakang (sensasi globus), (4) sesak napas, (5) batuk tidak
berdahak. 1, 5, 6

Perlu pula diperhatikan adanya gejala tanda bahaya (alarm symptoms) yang menunjukan
kemungkinan yang lebih ganas dan bahaya pada pasien dengan klinis GERD serta membutuhkan
evaluasi endoskopi saluran cerna atas lebih cepat. Gejala yang dimaksud antara lain: (1) disfagia,

8
(2) odinofagia, (3) anemia, (4) perdarahan (misal hematemesis), (5) penurunan berat badan tanpa
sebab yang jelas. 1, 5, 6

GERD harus dibedakan dengan dispepsia. Pada dispepsia keluhan utama yang dirasakan adalah
nyeri epigastrium yang dapat disertai perut kembung, mual, dan muntah tanpa keluhan heartburn
maupun regurgitasi asam dan dapat dirasakan hilang-muncul lebih dari sebulan. Penatalaksanaan
dispepsia dapat berbeda dengan GERD terutama berkaitan dengan eradikasi H. pylori.1

Diagnosis Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)

Diagnosis GERD umumnya dapat ditegakan hanya dari klinis pasien berupa keluhan heartburn
dan respon gejala atas terapi supresi asam. Pada pasien yang mengalami penurunan gejala hingga
50% dengan terapi empirik supresi asam dosis ganda selama 1-2 pekan maka diagnosis GERD
dapat ditegakan tanpa perlu modalitas diagnostik lainnya.3, 6

Dalam hal ini kuesioner GERD-Q dapat membantu. Kuesioner ini berisi pertanyaan atas
keluhan-keluhan yang pasien alami yang mengarah ke diagnosis GERD. Kuesioner GERD-Q
dapat dilihat di tabel 3.1, GERD-Q memiliki sensitivitas 65% dan spesifisitas 71%.3

Tabel 3.1 Kuesioner GERD-Q.

9
Adapun pada beberapa pasien yang tidak berespon dengan terapi empirik supresi asam ataupun
pasien yang memiliki alarm signs maka diperlukan penelusuran lebih lanjut dengan modalitas
diagnostik lainnya, di antaranya:

(1) Endoskopi saluran cerna atas atau esofagogastroduodenoskopi (EGD). EGD dapat
memperlihatkan secara langsung kondisi mukosa esofagus dan menentukan komplikasi
GERD seperti striktur esofagus hingga Barret’s esophagus. Selain itu, EGD juga dapat
sekaligus menjadi modalitas terapi. Dari EGD, GERD dapat dibagi menjadi bentuk
erosive reflux disease (ERD), dan NERD (nonerosive reflux disease).3 Tabel 3.2
memperlihatkan klasifikasi GERD berdasarkan temuan dari EGD dan gambar 3.2
memperlihatkan temuan EGD:3

Tabel 3.2, Klasifikasi GERD berdasarkan temuan dari EGD

Gambar 3.2 temuan jejas pada esofagus bawah akibat reflus asam lambung kronis

10
(2) Monitoring pH ambulatori. Modalitas diagnostik ini merupakan baku emas dalam
mendiagnosis kejadian refluks asam lambung. Alat ini bekerja dengan menggunakan
suatu probe yang mendeteksi asam yang ditempatkan di dalam esofagus selama 24-48
jam dengan batasan pH untuk deteksi adalah 4. Alat ini terutama bermanfaat pada pasien
yang mengeluhkan gejala refluks namun tanpa temuan yang signifikan dari pemeriksaan
EGD. Pemeriksaan ini memiliki nilai sensitivitas 93%, dan spesifisitas 96%. 1 Gambar 3.3
memperlihatkan contoh rekaman 24 jam pH pada orang normal dan pasien dengan
refluks asam lambung.

Gambar 3.3 memperlihatkan pola refluks asam lambung. MP, meal; P, postprandial; S, supine; Atas
menunjukan pola refluks pada orang normal, perhatikan bahwa refluks terjadi hanya saat setelah makan.
Bawah menunjukan pola refluks pada pasien, perhatikan bahwa refluks terjadi hamper setiap waktu
termasuk saat pasien tidur malam.5

(3) Barium esofagografi. Pemeriksaan radiologi x-ray dengan kontras barium ini dapat
memperlihatkan kerusakan pada mukosa esofagus yang dipikirkan akibat dari kondisi
refluks asam serta kemungkinan etiologi dari refluks yang nonfisiologis seperti kondisi
hernia hiatal dsb, akan tetapi pemeriksaan ini tidak terlalu baik dalam mendiagnosis
GERD dengan sensitivitas 26% dan spesifisitas 50%.1

11
(4) Uji Bernstein. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara memasukan cairan asam klorida
melalui pipa nasogastric ke esofagus bagian distal yang diikuti oleh normosalin. Hasil
positif apabila pasien mengeluhkan sensasi heartburn seperti yang biasanya dirasakan.
Uji Bernstein memiliki sensitivitas sekira 40% dan spesifisitas sekira 80%.7

(5) Manometri. Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai tekanan sfingter esofageal bawah.
Pemeriksaan ini terutama berguna untuk melihat adanya TLESR yang menjadi penyebab
refluks asam lambung. Pemeriksaan manometri untuk GERD memiliki nilai sensitivitas
84% dan spesifisitas 89%.8

Penatalaksanaan Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)

Terdapat 5 tujuan terapi GERD yaitu: (1) menghilangkan gejala, (2) memperbaiki lesi di
esofagus, (3) mencegah kekambuhan, (4) meningkatkan kualitas hidup, (5) mencegah progresi
dari komplikasi.3

Penatalaksanaan GERD dapat dibagi menjadi modifikasi gaya hidup, terapi farmakologi serta
pembedahan, Modifikasi gaya hidup untuk GERD antara lain: (1) Menurunkan berat badan pada
pasien dengan BMI berlebih, (2) Mengatur pola makan baik jumlah porsi maupun waktu makan,
termasuk tidak melakukan nighttime snacking, tidak makan dengan porsi yang terlalu banyak
pada jam makan malam dan tidak makan dekat-dekat waktu tidur, (3) Berhenti merokok, (4)
Meninggikan bagian kepala alas tidur karena telah terbukti dapat mengurangi paparan refluks
asam lambung serta meningkatkan waktu klirens esofagus.1

Terapi farmakologi untuk GERD utamanya ditujukan untuk menurunkan refluks asam dengan
menggunakan agen supresi asam. Meskipun Demikian hubungan antara tingkat keasamaan
lambung dengan keparahan GERD tidak selalu jelas kecuali pada kasus sindrom Zollinger-
Ellison. Agen supresi asam yang digunakan pada terapi GERD adalah: (1) antasida, (2) H2
receptor blocker (ranitidine, cimetidine, dsb), (3) Proton pump inhibitor (omeprazole,
lansoprazole, dsb). Proton pump inhibitor (PPI) jauh lebih efektif dari antasida maupun H2R
blocker, meskipun demikian antasida dan H2R blocker dapat digunakan terutama untuk
meredakan gejala awal dengan cepat. PPI dapat diberikan satu hingga dua kali sehari dan paling
efektif diberikan 30-60 menit sebelum makan. Lama regimen PPI minimal 4 minggu dan dapat

12
dilanjutkan hingga 8 minggu kemudian selanjutnya dapat diberikan secara on demand jika gejala
kembali muncul.1, 3, 5, 6
Perbandingan efektivitas agen supresi asam dalam menangani GERD
dapat dilihat pada table 2.3

Pertimbangan atas efek terapi PPI jangka Panjang seperti fraktur, defisiensi elektrolit, hingga
infeksi dan pneumonia menyebabkan PPI yang diberikan sebaiknya menggunakan dosis yang
paling rendah dan penghentian temporal agar dapat dilakukan. Pada pasien dengan gejala GERD
yang refraktori meskipun dalam terapi PPI dua kali sehari dapat kemudian ditambahkan H2R
blocker satu kali di malam hari. Terapi dengan agen prokinetik (metoklopramid, domperidone,
dsb) dapat digunakan sebagai terapi tambahan namun beberapa studi menunjukan tidak adanya
manfaat yang jelas pada GERD.1

Tabel 3.3 Jenis-jenis agen supresi asam dan efektivitasnya dalam menangani GERD3

PPI, proton pump inhibitor; H2, histamine type 2 receptor

Terapi bedah untuk menangani GERD di antaranya adalah fundoplikasi Nissen dan bedah
koreksi untuk hernia hiatal. Namun hasil dari banyak studi menunjukan tidak terlalu banyak
manfaat terapi bedah untuk GERD disbanding dengan terapi farmakologi, bahkan pada Beberapa
kasus terapi bedah meningkatkan insidens disfagian dan dispepsia serta pada Beberapa yang lain
dibutuhkan revisi bedah. Sebagian besar pasien yang GERD yang respon dengan terapi bedah
ternyata juga respon dengan terapi PPI. Akibatnya terapi bedah sebaiknya hanya betul-betul
diberikan pada pasien sebagai pilihan terapi paling akhir. 1, 5 Algoritma penatalaksanaan GERD
berdasarkan tingkatan faskes dapat dilihat di gambar 3 dan 4.3

13
Gambar 3.4 Alur penatalaksanaan GERD pada fasilitas Kesehatan tingkat primer. 3

Gambar 3.5 Alur penatalaksanaan GERD pada fasilitas Kesehatan tingkat sekunder atau tersier 3

14
Prognosis dan Komplikasi Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)

GERD yang tidak diobati dapat menyebabkan beberapa komplikasi serius, termasuk di antaranya
adalah esofagitis dan esofagus Barrett. Esofagitis dapat sangat bervariasi dalam tingkat
keparahannya dengan yang paling parah berupa erosi yang luas, ulserasi hingga terbentuk
striktur esofagus. Esofagitis juga dapat menyebabkan perdarahan gastrointestinal. Perdarahan
saluran cerna bagian atas dapat muncul sebagai anemia, hematemesis, hingga melena. Esofagitis
kronik akibat paparan asam yang berkelanjutan juga dapat menyebabkan munculnya jaringan
parut dengan keluhan disfagia.1, 3, 9

Esofagus Barrett, merupakan metaplasia usus di esofagus. Pada esofagus Barrett, epitel sel
skuamosa normal dari esofagus digantikan oleh epitel kolumnar dengan sel goblet, sebagai
respons terhadap paparan asam yang kronis. Perubahan esofagus Barrett dapat meluas secara
proksimal dari gastroesophageal junction kea rah atas dan memiliki potensi untuk berkembang
menjadi adenokarsinoma esofagus hingga 125 kali lebih tinggi dari populasi normal, sehingga
deteksi dini sangat penting untuk dilakukan dalam pencegahan dan penatalaksanaan perubahan
keganasan ini. Gambar 3.6 memperlihatkan hipotesis mengenai jalur pensinyalan molekular pada
perubaha esofagus Barret menjadi adenokarsinoma 1, 3, 9

Gambar 3.6 Jalur pensinyalan molekular yang dipikirkan menjadi dasar perubahan esofagus baret menjadi
adenokarsinoma esofagus. BMP, bone morphogenetic protein; HH hedgehog protein; PPI, proton pump inhibitor.9

15
BAB IV
PENGKAJIAN
1. Gastroesofageal reflux disease
Dipikirkan pasien memiliki diagnosis penyakit ini atas dasar:
Anamnesis
Nyeri dada terasa seperti terbakar menjalar dari ulu hati naik ke atas, mual, mulut terasa
asam.
Pemeriksaan fisis
IMT 27.3 kg/m2 sebagai factor risiko, lainnya dalam batas normal
Tatalaksana:
- Diagnostik
EKG untuk mengeksklusi diagnosis banding nyeri dada kardiak. Hasil EKG dalam
batas normal. Pemeriksaan lainnya belum dibutuhkan
- Terapi
Di IGD diberikan omeprazole 40mg IV bolus, ondansetron 4mg IV bolus, saat pulang
diberikan omeprazole 2x20mg PO selama 2 minggu kemudian kontrol
- Edukasi
Mengubah pola makan menjadi small but frequent, Mencegah makan larut malam,
Mengurangi makan makanan berlemak dan bersantan

2. Dispepsia
Dipikirkan pasien memiliki diagnosis penyakit ini atas dasar:
Anamnesis
Mual, ulu hati terasa panas, riwayat sakit lambung sejak lama yang muncul terutama saat
perut kosong.
Pemeriksaan fisis
Nyeri tekan epigastrium
Tatalaksana:
- Diagnostik
Belum dibutuhkan, pertimbangkan urea breath test (UBT)
- Terapi

16
- Di IGD diberikan omeprazole 40mg IV bolus, ondansetron 4mg IV bolus, saat pulang
diberikan omeprazole 2x20mg PO selama 2 minggu kemudian control.
Pertimbangkan terapi eradikasi H. pillory jika UBT terbukti positif H. pillory
- Edukasi
Mengubah pola makan menjadi small but frequent, Mencegah makan larut malam,
Mengurangi makan makanan berlemak dan bersantan

3. Hipertensi terkontrol
Dipikirkan pasien memiliki diagnosis penyakit ini atas dasar:
Anamnesis
Riwayat hipertensi sejak 2 tahun lalu berobat rutin ke puskesmas dengan obat captopril
2x25mg
Pemeriksaan fisis
TD 130/88 mmHg
Tatalaksana:
- Diagnostik
Pemeriksaan lainnya belum diperlukan
- Terapi
Captopril 2x25mg PO
- Edukasi
Menurunkan berat badan, rutin control berobat

4. Obesitas grade I
Dipikirkan pasien memiliki diagnosis penyakit ini atas dasar:
Anamnesis
Aktivitas fisik harian pasien kurang, pasien biasa makan mekanan berlemak dan
bersantan
Pemeriksaan fisis
IMT 27.3 kg/m2
Tatalaksana:
- Diagnostik

17
Pemeriksaan lainnya belum diperlukan
- Terapi
Aktivitas fisik aerobik ringan-sedang (target frekuensi nadi 102x/menit) selama 30
menit perhari minimal 5 hari dalam sepekan, menurunkan asupan kalori per hari
- Edukasi
Menurunkan berat badan, meningkatkan aktivitas fisik, menghindari makanan lemak
berlebih.
5.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Clarrett DM, Hachem C. Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). Mo Med.


2018;115(3):214‐8.
2. Vakil N, van Zanten SV, Kahrilas P, Dent J, Jones R. The Montreal definition and
classification of gastroesophageal reflux disease: a global evidence-based. Am J
Gastroenterol. 2006 Aug; 101(8):1900-20
3. The Indonesian Society of Gastroenterology. National consensus on the management of
gastroesophageal reflux disease in Indonesia. Acta Med Indones. 2014; 46(3): 263-71
4. Gyawali CP, Kahrilas PJ, Savarino E, et al. Modern diagnosis of GERD: the Lyon
Consensus. Gut. 2018;67(7):1351‐62.
5. Richter JE. Gastriesophageal reflux disease. In: Yamada T. Textbook of
gastroenterology. 5th ED. UK: John Wiley & Sons Ltd; 2009. p.772-802
6. Kahrilas P, Hirano I. Diseases of The Esophagus. In: Longo D, Fauci AS. Harrison’s
gastroenterology and hepatology. 2nd Ed. New York: The McGraw-Hill Company; 2013.
p.112-27
7. Richter JE, Hewson EG, Sinclair JW, Dalton CB. Acid perfusion test and 24-hour
esophageal pH monitoring with symptom index. Comparison of tests for esophageal acid
sensitivity. Dig Dis Sci. 1991;36(5):565‐71
8. Fuchs KH, DeMeester TR, Albertucci M. Specificity and sensitivity of objective
diagnosis of gastroesophageal reflux disease. Surgery. 1987;102(4):575‐80.
9. Schoofs N, Bisschops R, Prenen H. Progression of Barrett's esophagus toward esophageal
adenocarcinoma: an overview. Ann Gastroenterol. 2017;30(1):1‐6.

19

Anda mungkin juga menyukai