Anda di halaman 1dari 4

Putu Nandini Mahati Pande

1907511036

TUGAS ARTIKEL MONETER PADA MASA COVID-19

Judul Artikel: Melihat ‘Basa-Basi’ Relaksasi Pembayaran Kredit Saat Corona

Penulis: Yuli Yanna Fauzie, CNN Indonesia

Tanggal Artikel: Selasa, 14 April 2020 pukul 08:05 WIB

ISI ARTIKEL:

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200414062905-78-493250/melihat-basa-basi-
relaksasi-pembayaran-kredit-saat-corona

Jakarta, CNN Indonesia-- Pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan


(OJK)  mengeluarkan kebijakan relaksasi penundaan bayar cicilan kredit dan pembiayaan
dari bank dan multifinance kepada masyarakat untuk meringankan beban mereka dari
tekanan wabah virus corona. Kebijakan ini diberikan demi meringankan beban pengembalian
pokok dan bunga kredit atau pembiayaan bagi masyarakat.
Maklum saja, penyebaran pandemi virus corona atau Covid-19 aktivitas membuat pekerjaan
dan ekonomi masyarakat terganggu. Gangguan itu dikhawatirkan akan menekan kemampuan
masyarakat melunasi cicilan kredit dan pembiayaan yang mereka pinjam.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah


Redjalam mengakui keringanan memang mau tidak mau harus diberikan. Kalau tidak,
dikhawatirkan permasalahan tersebut bakal meningkatkan rasio kredit bermasalah di bank
(Non Performing Loan/NPL).
Kendati belum ada perhitungan pasti, namun menurut perkiraannya, NPL bisa melewati 5
persen pada tahun ini bila tak ada kebijakan relaksasi tunda bayar cicilan kredit. Begitu pula
dengan rasio pembiayaan macet di multifinance (Non Performing Financing/NPF) yang juga
bisa meningkat bila tidak ada kebijakan ini.
"Dengan begitu, bisa mengurangi potensi terjadinya NPL, mengurangi tekanan likuiditas, dan
permodalan," ungkap Piter kepada CNNIndonesia.com, Senin (13/4)
Sebagai gambaran, NPL bank secara gross masih di kisaran 2,79 persen pada Februari 2020.
Sementara NPF multifinance berada di kisaran 2,66 persen pada periode yang sama.

Hanya saja, masalah memang tidak langsung selesai dengan kebijakan ini. Sebab, relaksasi
kredit dan pembiayaan sejatinya tidak diobral ke semua debitur, sehingga pada akhirnya tidak
semua bisa merasakan.
Bank dan multifinance tetap dituntut untuk memberikan relaksasi secara berhati-hati dan
penuh perhitungan manajemen risiko. Dengan begitu, relaksasi hanya diberikan kepada
debitur yang punya rekam jejak baik dan pastinya terdampak tekanan ekonomi akibat
pandemi corona.
Sementara debitur yang tidak terimplikasi langsung, diharapkan 'tahu diri' untuk tidak
mengajukan relaksasi penundaan bayar cicilan kredit atau pembiayaan. Maklum, ada debitur
yang lebih prioritas saat ini. "Bank tentu harus mengkajinya secara cermat, nasabah mana
yang layak untuk mendapatkan restrukturisasi atau penundaan cicilan. Misalnya, yang jangka
panjang masih memiliki prospek untuk recover dan menguntungkan bank, serta harus
menghindari terjadinya moral hazard," jelasnya.
Lebih lanjut, bagi debitur, kebijakan relaksasi sejatinya tidak serta membuat seluruh cicilan
mereka bisa ditunda pembayaran pokok dan bunganya. Semua tetap merujuk pada hasil
analisa bank. Dengan cara itu, bisa saja yang diberikan hanya tunda bayar pokok tapi bunga
tetap jalan.
Atau relaksasi ternyata tidak jadi diberikan karena jaminan cicilan ternyata sudah kepalang
berpindah tangan. Dengan begitu, kebijakan ini mungkin hanya menyasar sebagian debitur
saja.

Maka tak heran, bila ada debitur yang mengeluh karena ditolak bank atau multifinance untuk
mendapatkan relaksasi tunda bayar cicilan. Sebab, kebijakan ini mau tidak mau harus
dilakukan dengan ketat.
"Maka dampak restrukturisasi tidak jor-joran," imbuhnya.
Sementara bagi bank, Ekonom Bank Permata Josua Pardede melihat kebijakan relaksasi
sejatinya tidak serta merta menyelesaikan beban bank. Sebab, risiko kredit tetap tinggi dan
berpotensi menggerus keuntungan bila tidak dikelola dengan baik.
Misalnya, Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) bank akan meningkat pada tahun ini.
CKPN merupakan cadangan yang dibentuk bank untuk menghadapi risiko kerugian akibat
penanaman dana dalam aktiva produktif.
Selain itu, ada risiko penurunan keuntungan bank yang tercermin dari marjin bunga bersih
(Net Interest Margin/NIM). Hal ini terjadi karena penyaluran kredit baru pun diperkirakan
bakal terhambat pada tahun ini.
Sebab, likuiditas yang seharusnya bisa berputar dari pembayaran cicilan kredit justru harus
dipakai untuk menalangi penundaan bayar dari debitur. Hal ini membuat likuiditas untuk
penyaluran kredit baru pun agak seret, meski rasio kecukupan modal (Capital Adequacy
Rasio/CAR) bank masih relatif cukup.
CAR bank berada di kisaran 22,42 persen per Februari 2020. Rinciannya, bank BUKU I
29,07 persen, BUKU II 25,06 persen, BUKU III 25,4 persen, dan BUKU IV 20,89 persen.
"Tapi dari kecukupan modal, bank tetap perlu berhati-hati karena restrukturisasi akan
membuat perubahan jadwal cash flow di masing-masing bank yang kemudian mendorong
pengetatan likuiditas," katanya.
Untuk itu, menurut Josua, ketika relaksasi tunda bayar cicilan kredit dan multifinance
diberikan, ada baiknya otoritas turut memberikan kebijakan yang mampu menunjang
kebutuhan likuiditas para lembaga keuangan. Salah satu yang sudah diberikan berupa
pelonggaran batas cadangan kas bank di Bank Indonesia (BI) atau dikenal dengan Giro Wajib
Minimum (GWM).
Namun ke depan, tetap perlu ada kebijakan stimulus lagi bagi penjaminan likuiditas bank
Apalagi, pandemi corona belum diketahui kapan akan berakhir, sehingga risiko-risiko harus
terus dimitigasi.

REVIEW:

Aturan relaksasi penundaan cicilan atau relaksasi kredit itu tertuang dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus
Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical.

Namun, kebijakan ini tentunya memiliki resiko yang dimana kebijakan relaksasi kredit ini
jika tidak dilakukan secara tepat sasaran bukan tidak mungkin memicu debitur nakal untuk
memanfaatkan relaksasi kredit tersebut sehingga memberikan dampak buruk ke perbankan
dan perekonomian nasional.

Jika relaksasi kredit atau penundaan cicilan diberlakukan kepada semua debitur, maka
dampak ke perbankannya akan besar sekali terutama pada rasio kredit bermasalah (NPL).

Lalu upaya apa yang dapat dilakukan oleh bank?

Bank bisa menangani dengan menggunakan tiga cara yaitu:

1. Penjadwalan kembali (rescheduling)

Yaitu perubahan persyaratan kredit yang hanya menyangkut jadwal pembayaran dan jangka
waktu kredit. Dalam proses rescheduling ini tunggakan pokok dan bunga di jumlahkan
(dikapitalisasi) untuk kemudian di jadwalkan kembali pembayaran untuk di buat perjanjian
rescheduling tersendiri.

2. Persyaratan kembali (reconditioning)

Yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang tidak terbatas pada
perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu dan persyaratan lainya sepanjang tidak
menyangkut perubahan maksimal saldo kredit.

3. Penataan kembali (restructuring)

Perubahan syarat-syarat kredit yang menyangkut penambahan dana bank , konversi seluruh
atau sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru atau konversi seluruh atau
sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan, yang dapat di serta dengan
penjadwalan kembali.

Ketiga hal tersebut dapat dilakukan Bank dengan upaya penyelamatan kredit macet disaat
pemberlakuan kebijakan relaksasi kredit itu sendiri.

Namun melihat kembali terkait kebijakan yang telah dibuat, sebenarnya relaksasi kredit yang
diberlakukan ini hanyalah diperuntukkan untuk pelaku usaha yang berdampak langsung
terhadap daya beli yang menurun akibat penyebaran virus corona dan bukan untuk seluruh
debitur. Dimana relaksasi yang didapatkan dapat berupa keringanan pembayarannya bisa
dengan penurunan suku bunga, perpanjangan jangka waktu cicilan, pengurangan tunggakan
pokok, pengurangan tunggakan bunga, penambahan fasilitas kredit/leasing, konversi
kredit/leasing menjadi penyertaan modal sementara.

Dimana sudah ditekankan bahwa relaksasi ini bukan bermakna penundaan cicilan secara
keseluruhan. Pasalnya, kewajiban bunga pun perlu tetap dibayar. Apabila relaksasi kredit ini
dapat berjalan dengan lancar, bisa mengurangi potensi terjadinya NPL, mengurangi tekanan
likuiditas, dan permodalan. Namun sebaliknya, jika hal ini tidak diberlakukan atau tidak tepat
sasaran maka NPL bisa melewati 5 persen pada tahun ini bila tak ada kebijakan relaksasi
tunda bayar cicilan kredit. Begitu pula dengan rasio pembiayaan macet di multifinance (Non
Performing Financing/NPF) yang juga bisa meningkat bila tidak ada kebijakan ini.

Jadi dapat disimpulkan bahwa, relaksasi kredit ini diberlakukan ini hanyalah diperuntukkan
untuk pelaku usaha yang berdampak langsung terhadap daya beli yang menurun akibat
penyebaran virus corona dan bukan untuk seluruh debitur.

Anda mungkin juga menyukai