Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN  

1.1. Latar Belakang

Hipertensi adalah salah satu penyebab utama mortalitas dan

morbiditas di Indonesia, sehingga tatalaksana penyakit ini merupakan

intervensi yang sangat umum dilakukan diberbagai tingkat fasilitas

kesehatan. Hipertensi merupakan “silent killer” (pembunuh diam-diam)

yang secara luas dikenal sebagai penyakit kardiovaskular yang sangat

umum. Dengan meningkatnya tekanan darah dan gaya hidup yang tidak

seimbang dapat meningkatkan faktor risiko munculnya berbagai penyakit

seperti arteri koroner, gagal jantung, stroke, dan gagal ginjal. Salah satu

studi menyatakan pasien yang menghentikan terapi anti hipertensi maka

lima kali lebih besar kemungkinannya terkena stroke.

Sampai saat ini hipertensi tetap menjadi masalah karena beberapa

hal, antara lain meningkatnya prevalensi hipertensi yang belum mendapat

pengobatan maupun yang sudah diobati tetapi tekanan darahnya belum

mencapai target, serta adanya penyakit penyerta dan komplikasi yang

dapat meningkatkan morbiditas dan mortilitas.

Data epidemiologis menunjukkan bahwa dengan makin

meningkatnya populasi usia lanjut, maka jumlah pasien dengan hipertensi

kemungkinan besar akan bertambah, dimana baik hipertensi sistolik

maupun kombinasi hipertensi sistolik dan diastolik sering timbul pada lebih

dari separuh orang yang berusia >65 tahun. Selain itu, laju pengendalian

tekanan darah yang dahulu terus meningkat, dalam dekade terakhir tidak

menunjukkan kemajuan lagi. Dan pengendalian tekanan darah ini hanya

mencapai 34% dari seluruh pasien hipertensi.

1
Data hipertensi yang lengkap sebagian besar berasal dari negara-

negara yang sudah maju. Data dari The National Health and Nutrition

examination survey (NHNES) menunjukan bahwa tahun 1999-2000,

insiden hipertensi pada orang dewasa adalah sekitar 9-31%, yang berarti

terdapat 58-65 juta orang hipertensi di Amerika, dan terjadi peningkatan

15 juta dari data NHANES III tahun 1988-1991. Hipertensi esensial sendiri

merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi.

Riskesdas 2018 menyatakan prevalensi hipertensi berdasarkan

hasil pengukuran pada penduduk usia ≥18 tahun sebesar 34,1%, tertinggi

di Kalimantan Selatan (44.1%), sedangkan terendah di Papua sebesar

(22,2%). Estimasi jumlah kasus hipertensi di Indonesia

sebesar 63.309.620 orang, sedangkan angka kematian di Indonesia

akibat hipertensi sebesar 427.218 kematian.

Pada tahun 2012, kabupaten Jepara mempunyai prevalensi

hipertensi sebesar 2,1%, menurut kasus yang terdapat di Puskesmas dan

rumah sakit di kabupaten Jepara, puskesmas Jepara memiliki kasus

hipertensi terbesar yaitu sebesar 3013 kasus. Angka ini menunjukkan

bahwa kejadian penyakit degeneratif di kota berkembang tidaklah sedikit,

khususnya di Jepara.

Data prevalensi kasus hipertensi di wilayah Puskesmas Mlonggo

pada tahun 2018 adalah sebanyak 4.136 kasus. Hipertensi menempati

posisi nomor 3 dari 10 besar penyakit rawat jalan di Puskesmas Mlonggo,

dan merupakan satu-satunya penyakit tidak menular dengan frekuensi

tertinggi, sehingga memerlukan perhatian khusus untuk segera ditindak

lanjuti.

2
Untuk data 10 besar penyakit di Puskesmas Mlonggo adalah

sebagai berikut:

1. Nasofaringitis akut (common cold, influenza) sebanyak 19.953

kasus

2. Gangguan otot, sebanyak 5.113 kasus

3. Hipertensi primer (hipertensi esensial), sebanyak 3.794 kasus

4. Gastritis, sebanyak 1.778 kasus

5. Faringitis akut, sebanyak 1.738 kasus

6. Penyakit kulit alergi, sebanyak 1.683 kasus

7. Pemeriksaan kesehatan, sebanyak 1.452 kasus

8. Diare dan gastroenteritis lainnya, sebanyak 1.393 kasus

9. Penyakit kulit infeksi, sebanyak 1.018 kasus

10. Migrain, sebanyak 986 kasus

Dari data 10 besar penyakit tersebut, pasien hipertensi ternyata

termasuk di dalamnya dan menunjukkan adanya pergeseran tren penyakit

menular menjadi penyakit tidak menular, hal ini membutuhkan terapi oral

maupun perbaikan gaya hidup.

1.2. Perumusan Masalah

Makalah ini disusun dengan sistem pembahasan mengenai etiologi,

pengertian, gejala, serta terapi yang diperlukan untuk pasien dengan

hipertensi, serta pembahasan untuk mengetahui faktor risiko yang

berhubungan dengan terjadinya hipertensi, diantaranya adalah obesitas

dan kebiasaan merokok.

3
1.3. Tujuan 

Makalah ini disusun untuk memenuhi syarat kenaikan pangkat

Aparatur Sipil Negara (ASN) dan lebih mendalami masalah hipertensi

yang saat ini insidensinya semakin meningkat seiring dengan berubahnya

gaya hidup serta pola makan masyarakat .

Diharapkan penanganan dan terapi untuk hipertensi juga lebih

tepat, disertai dengan perubahan gaya hidup sehingga bisa memperbaiki

kondisi pasien hipertensi dengan kualitas hidup yang optimal.

1.4. Manfaat

Penulis berharap makalah ini dapat meningkatkan pengetahuan

tenaga medis maupun non-medis dalam mengenali gejala dan

penanganan segera untuk pasien hipertensi, karena riwayat hipertensi

pada pasien jika tidak ditangani dengan baik bisa meningkatkan risiko

terkena penyakit metabolik lainnya dan kemungkinan munculnya

komplikasi penyakit yang lebih berat.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Definisi hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan keadaan

peningkatan tekanan darah sistolik lebh dari 140 mmHg dan tekanan

diastolic lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang

waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/ tenang. Peningkatan

tekanan darah dalam waktu lama (persisten) dapat menyebabkan

kerusakan organ seprti jantung (penyakit jantung), ginjal (gagal ginjal),

dan otak (stroke).

Hipertensi merupakan “silent killer” (pembunuh diam-diam) yang

secara luas dikenal sebagai penyakit kardiovaskular yang sangat umum.

Dengan meningkatnya tekanan darah dan gaya hidup yang tidak sehat

dapat meningkatkan faktor risiko munculnya berbagai penyakit seperti

arteri koroner, gagal jantung, stroke, dan gagal ginjal. Salah satu studi

menyatakan pasien yang menghentikan terapi anti hipertensi maka lima

kali lebih besar kemungkinannya terkena stroke.

Hipertensi dianggap sebagai faktor risiko utama stroke, dimana

stroke merupakan penyakit yang sulit disembuhkan dan mempunyai

dampak yang sangat luas terhadap kelangsungan hidup penderita dan

keluarganya. Tingginya sistolik dan distolik terbukti berpengaruh pada

stroke. Dikemukakan bahwa penderita dengan tekanan diastolik di atas 95

mmHg mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk terjadinya infark otak

dibanding dengan tekanan diastolik kurang dari 80 mmHg, sedangkan

kenaikan sistolik lebih dari 180 mmHg mempunyai risiko tiga kali terserang

stroke iskemik dibandingkan dengan dengan tekanan darah kurang 140

5
mmHg. Akan tetapi pada penderita usia lebih 65 tahun risiko stroke hanya

1,5 kali daripada normotensi.

2.2. Etiologi

Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang

beragam. Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak

diketahui (essensial atau hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak

dapat disembuhkan tetapi dapat di kontrol.

Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah mempunyai

penyebab yang khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak

penyebab hipertensi sekunder; baik endogen maupun eksogen. Bila

penyebab hipertensi sekunder dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-

pasien ini dapat disembuhkan secara potensial.

1. Hipertensi primer (essensial)

Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi

essensial (hipertensi primer). Literatur lain mengatakan, hipertensi

essensial merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi. Beberapa

mekanisme yang mungkin berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini

telah diidentifikasi, namun belum satupun teori yang tegas menyatakan

patogenesis hipertensi primer tersebut. Hipertensi sering turun temurun

dalam suatu keluarga, hal ini setidaknya menunjukkan bahwa faktor

genetik memegang peranan penting pada patogenesis hipertensi primer.

Menurut data, bila ditemukan gambaran bentuk disregulasi tekanan darah

yang monogenik dan poligenik mempunyai kecenderungan timbulnya

hipertensi essensial. Banyak karakteristik genetik dari gen-gen ini yang

mempengaruhi keseimbangan natrium, tetapi juga di dokumentasikan

adanya mutasi-mutasi genetik yang merubah ekskresi kallikrein urine,

6
pelepasan nitric oxide, ekskresi aldosteron, steroid adrenal, dan

angiotensinogen.

2. Hipertensi sekunder

Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari

penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan

tekanan darah. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit

ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang

paling sering.

Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat

menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan

tekanan darah. Obat-obat ini dapat dilihat pada tabel 2.2. Apabila

penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat

yang bersangkutan atau mengobati / mengoreksi kondisi komorbid yang

menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan

hipertensi sekunder.

Penyakit Obat Obat


1. penyakit ginjal kronis 1. Kortikosteroid, ACTH
2. hiperaldosteronisme 2. Estrogen (biasanya pil KB dg
primer kadar estrogen tinggi)
3. penyakit renovaskular 3. NSAID, cox-2 inhibitor
4. sindroma Cushing 4. Fenilpropanolamine dan
5. pheochromocytoma analog
6. koarktasi aorta 5. Cyclosporin dan tacrolimus
7. penyakit tiroid atau 6. Eritropoetin
paratiroid 7. Sibutramin
8. Antidepresan (terutama
venlafaxine)
Tabel 2.2. Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi.

2.3. Klasifikasi Hipertensi

7
Seseorang akan dikatakan hipertensi bila memiliki tekanan darah

sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, pada

pemeriksaan yang berulang. Tekanan darah sistolik merupakan

pengukuran utama yang menjadi dasar penentuan diagnosis hipertensi.

Adapun pembagian derajat keparahan hipertensi pada seseorang

merupakan salah satu dasar penentuan tatalaksana hipertensi.

Tabel 2.3. Pembagian hipertensi

2.4. Manifestasi Klinis

Gejala yang paling sering muncul pada hipertensi adalah adalah

nyeri kepala. Hipertensi yang meningkat dengan cepat dapat

menimbulkan gejala seperti somnolen, bingung, gangguan penglihatan,

mual dan muntah.Pada aldosteronism primer, pasien merasakan lemas

otot, polyuria, da nocturia karena hypokalemia. Hipertensi kronik sering

menyebabkan pembesaran jatung kiri, yang dapat menimbulkan gejala

sesak napas yang berhubungan dengan aktivitas dan paroxysmal

8
nocturnal dyspnea. Keterlibatan cerebral karena stroke yang disebabkan

oleh trombosis atau hemoragik dari mikroaneurisma.

Pada pemeriksaan fisik harus diperhatikan bentuk tubuh, termasuk

berat dan tinggi badan. Pada pemeriksaan awal, tekanan darah diukur

pada kedua lengan, dan lebih baik dikukur pada posisi terlentang, duduk,

dan berdiri untuk mengevaluasi hipotensi postural. Dilakukan palpasi leher

untuk meraba adanya pembesaran tiroid dan penilaian terhadap tanda

hipotiroid atau hipertiroid. Pemeriksaan pada pembuluh darah dapat

dilakukan dengan funduskopi, auskultasi untuk mencari bruit pada arteri

karotis.

Retina merupakan jaringan yang arteri dan arteriolnya dapat

diperiksa dengan seksama. Seiring dengan peningkatan derajat beratnya

hipertensi dan penyakit aterosklerosis, pada pemeriksaan funduskopi

dapat ditemukan peningkatan reflex cahaya arteriol, hemoragik, eksudat,

dan papiledema.

Pemeriksaan pada jantung dapat ditemukan pengerasan dari bunyi

jantung ke-2 karena penutuan dari katup aorta dan S4 gallop.

Pembesaran jantung kiri dapat dideteksi dengan iktus kordis yang

bergeser ke arah lateral.

2.5. Patofisiologi

Mekanisme patogenesis hipertensi yaitu peningkatan tekanan

darah yang dipengaruhi oleh curah jantung dan tahanan perifer.

Mekanisme hipertensi tidak dapat dijelaskan dengan satu penyebab

khusus, melainkan sebagai akibat interaksi dinamis antara faktor genetik,

lingkungan dan faktor lainnya. Tekanan darah dirumuskan sebagai

perkalian antara curah jantung dan atau tekanan perifer yang akan

9
meningkatkan tekanan darah. Retensi sodium, turunnya filtrasi ginjal,

meningkatnya rangsangan saraf simpatis, meningkatnya aktifitas renin

angiotensin alosteron, perubahan membransel, hiperinsulinemia, disfungsi

endotel merupakan beberapa faktor yang terlibat dalam mekanisme

hipertensi.

Mekanisme patofisiologi hipertensi salah satunya dipengaruhi oleh

sistem renin angiotensin aldosteron, dimana hampir semua golongan obat

anti hipertensi bekerja dengan mempengaruhi sistem tersebut. Renin

angiotensin aldosteron adalah sistem endogen komplek yang berkaitan

dengan pengaturan tekanan darah arteri. Aktivasi dan regulasi sistem

renin angiotensin aldosteron diatur terutama oleh ginjal. Sistem renin

angiotensi aldosteron mengatur keseimbangan cairan,natrium dan kalium.

Sistem ini secara signifikan berpengaruh pada aliran pembuluh darah dan

aktivasi sistem saraf simpatik serta homeostatik regulasi tekanan darah.

2.6. Diagnosis

Pemeriksaan diagnostik terhadap pengidap tekanan darah tinggi

mempunyai beberapa tujuan, yaitu:

• Memastikan bahwa tekanan darahnya memang selalu tinggi

• Menilai keseluruhan risiko kardiovaskular

• Menilai kerusakan organ yang sudah ada atau penyakit yang

menyertainya

• Mencari kemungkinan penyebabnya

Diagnosis hipertensi menggunakan tiga metode klasik yaitu:

• Pencatatan riwayat penyakit (anamnesis)

• Pemeriksaan fisik (sphygomanometer)

10
• Pemeriksaan laboraturium (data darah, urin, kreatinin serum,

kolesterol)

Kesulitan utama selama proses diagnosis adalah menentukan

sejauh mana pemeriksaan harus dilakukan. Dimana pemeriksaan awal

saja tidak cukup dapat diterima karena hipertensi merupakan penyakit

seumur hidup dan terapi yang dipilih dapat memberikan implikasi yang

serius untuk pasien.

2.7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pengobatan hipertensi harus secara holistik

dengan tujuan menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat hipertensi

dengan menurunkan tekanan darah seoptimal mungkin sambil mengontrol

faktor – faktor risiko kardiovaskular lainnya, memilih obat yang rasional

sesuai dengan indikasi dan mempunyai efek samping yang kecil, untuk ini

dianjurkan pemberian obat kombinasi, dan harus disesuaikan dengan

kemampuan penderita.

Tujuan terapi obat anti hipertensi adalah:

• Mengurangi morbiditas dan mortalitas kardiovaskular dan renal

akibat komplikasi hipertensi

• Tekanan darah yang diharapkan setelah terapi adalah <140/90

mmHg tanpa adanya komplikasi, hal ini berhubungan dengan

penurunanrisiko komplikasi CVD (Coronary Vascular Disease)

• Pasien hipertensi dengan komplikasi diabetes melitus dan

penyakit renal, tekanan darah yang diharapkan dapat dicapai

setelah terapi yaitu <130/80 mmHg

11
Menurut Shankie (2001) tanpa mempertimbangkan jenis obat

antihipertensi yang digunakan, ada beberapa prinsip yang mendasari

penggunaan obat antihipertensi, yaitu:

• Mulailah dengan dosis terkecil untuk menghindari reaksi yang

tidak dikehendaki. Bila terdapat respon tekanan darah yang baik

dan obat ditoleransi dengan baik, dosis dapat ditingkatkan

secara bertahap sampai tekanan darah sasaran tercapai (<140

mmHg atau <130 mmHg pada penderita diabetes atau penyakit

ginjal kronis)

• Gunakan kombinasi obat untuk memaksimalkan respon tekanan

darah dan meminimalkan reaksi yang tidak dikehendaki

• Gantilah dengan kelas obat yang berbeda bila dosis awal dari

obat tidak memberikan efek yang berarti atau ada masalah efek

samping obat

• Gunakan formulasi yang minimal memberikan kontrol tekanan

darahselama 24 jam. Hal ini penting untuk menjaga kepatuhan

pasien dan untuk memastikan tekanan darah terkontrol pada

pagi hari ketika terjadi peningkatan tekanan darah. Menghindari

variasi tekanan darah sepanjang hari yang membantu

menghindari kerusakan organ sasaran

Jenis terapi obat hipertensi antara lain adalah:

1. Terapi Tunggal

Penggunaan satu macam obat anti hipertensi untuk pengobatan

hipertensi dapat direkomendasikan bila nilai tekanan darah awal

mendekati nilai tekanan darah sasaran. Menurut JNC-7 nilai tekanan

darah awal mendekati nilai tekanan darah sasaran apabila selisihnya

kurang dari 20 mmHg untuk tekanan darah sistolik dan kurang darah

12
sistolik dan kurang dari 10 mmHg untuk tekanan darah diastolik. Hal ini

meliputi penderita hipertensi tahap 1 dan tekanan darah sasaran<140/90

mmHg.

Menurut Gardner (2007) setengah penderita tekanan darah tinggi

tahap I dan II dapat mengendalikan tekanan darah mereka dengan satu

obat saja. Jika satu obat tidak efektif, maka dapat ditingkatkan dosisnya

jika tidak ada efek sampingnya. Alternatif lainnya adalah mencoba obat

yang berbeda dan menambahkan satu obat lagi pada obat yang telah

diminum (kombinasi).

2. Terapi Kombinasi

Bila menggunakan terapi obat kombinasi, biasanya dipilih obat – obat

yang dapat meningkatkan efektivitas masing – masing obat atau

mengurangi efek samping masing-masing obat. Memulai terapi dengan

kombinasi dua obat direkomendasikan untuk penderita hipertensi tahap 2

atau penderita hipertensi yang nilai tekanan darah sasarannya jauh dari

nilai tekanan darah awal (≥ 20 mmHg untuk tekanan darah sistolik dan ≥

10 mmHg untuk tekanan darah diastolik). Terapi kombinasi juga

merupakan pilihan bagi pasien yang nilai tekanan darah sasarannya sulit

dicapai (penderita diabetes dan penyakit ginjal kronis) atau pada pasien

dengan banyak indikasi pengobatan yang membutuhkan beberapa anti

hipertensi yang berbeda.

Dalam ALLHAT (Antihypertensive and Lipid-Lowering Treatment in

Prevent Heart Attack Trial) disebutkan 60% penderita hipertensi

mencapai tekanan darah terkontrol pada tekanan darah < 140/90 mmHg

dengan penggunaan dua atau lebih antihipertensi, dan hanya 30% yang

tekanan darahnya terkontrol dengan satu obat antihipertensi. JNC-7

13
merekomendasikan penggunaan tiga atau lebih obat anti hipertensi untuk

mencapai target terapi tekanan darah yang diinginkan.

Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada

pasien hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan

darah setelah > 6 bulan menjalani pola hidup sehat dan pada pasien

dengan hipertensi derajat ≥ 2. Beberapa prinsip dasar terapi farmakologi

yang perlu diperhatikan untuk menjaga kepatuhan dan meminimalisasi

efek samping, yaitu:

1) Bila memungkinkan, berikan obat dosis tunggal

2) Berikan obat generic (non-paten) bila sesuai dan dapat

mengurangi biaya

3) Berikan obat pada pasien usia lanjut ( diatas usia 80 tahun )

seperti pada usia 55 – 80 tahun, dengan memperhatikan faktor

komorbid

4) Jangan mengkombinasikan angiotensin converting enzyme

inhibitor (ACE-i) dengan angiotensin II receptor blockers (ARBs)

5) Berikan edukasi yang menyeluruh kepada pasien mengenai

terapi farmakologi

6) Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur.

Algoritma tatalaksana hipertensi yang direkomendasikan berbagai

guidelines memiliki persamaan prinsip, dan dibawah ini adalah algoritma

tatalaksana hipertensi secara umum.

Kombinasi Obat Anti hipertensi yang Sering Digunakan

Kombinasi obat
Keuntungan
antihipertensi
ACE Inhibitor – Kalsium - Menurunkan tekanan intra glomuler

Antagonis - Memperbaiki permeabilitas

glomulerulus ginjal

14
- Menghambat terjadinya hipertrofi

glomulerulus ginjal

- Mengurangi proteinuria

- Mengurangi hipermetabolisme

ginjal

- Mengurangi akumulasi kalsium

intraseluler

- Dianjurkan pada nefropati

hipertensi dan hipertensi dengan nefripati

diabetik
ACE Inhibitor – Diuretik - Meningkatkan natriuresis

- Memperbaiki toleransi glukosa dan

kadar asam urat

- Mempertahankan kadar kalium

plasma

- Mempercepat regresi LVH

- Meningkatkan kecepatan ACEI


ACE Inhibitor – Beta bloker - Baik untuk hipertensi usia muda

dengan peningkatan system RAA dan

simpatis

- Baik pula untuk hipertensi dan

pasca infark akut dengan tujuan:

 Menurunkan resiko takhiaritmia

 Mengurangi progresivitas dilatasi

ventrikel

 Memperbaiki toleransi latihan


Beta bloker – Diuretik - Menurunkan peningkatan system

15
RAA karena diuretik

- Beta bloker mempunyai efek anti-

aldosteron ringan

- Baik untuk isolated systolic

hypertension, stroke, dan infark miokard


Beta bloker – Kalsium - Menurunkan curah jantung dan

antagonis tahanan perifer

- Memperbaiki integritas endotel

- Normalisasi peningkatan system

RAA karena kalsium antagonis

- Sangat baik meregresi LVH

- Normalisasi resistensi insulin dan

gangguan profil lipid karena beta bloker

- Baik untuk hipertensi dengan

angina pectoris

- Baik untuk hipertensi dan

takhiaritmia
Tabel 2.7. Algoritma tatalaksana hipertensi

BAB III

PEMBAHASAN

16
3.1. Gambaran Hipertensi di Puskesmas Mlonggo

Sasaran untuk prevalensi kasus hipertensi di Puskesmas Mlonggo

pada tahun 2018 adalah sebanyak 15.547 kasus, dengan target 23,79%.

Pencapaian absolutnya adalah 4.136 kasus atau sebesar 26,6%. Nilai ini

adalah lebih besar daripada targetnya, dengan subvariabel 112%.

Pada program PTM (Penyakit Tidak Menular), ada dua indikator

lainnya yang juga diperhatikan selain hipertensi, yaitu prevalensi obesitas

dan prevalensi kasus merokok pada usia <18 tahun.

Sasaran untuk prevalensi obesitas di Puskesmas Mlonggo pada

tahun 2018 adalah sebanyak 12.106 kasus, dengan target 15,04%.

Pencapaian absolutnya adalah 67 kasus atau sebesar 0,6%. Nilai ini

adalah lebih kecil daripada targetnya, dengan subvariabel 3,8%.

Sasaran untuk prevalensi kasus merokok pada penduduk <18

tahun di Puskesmas Mlonggo pada tahun 2018 adalah sebanyak 7.502

kasus, dengan target 5,6%. Pencapaian absolutnya adalah 98 kasus atau

sebesar 1,3%. Nilai ini adalah lebih kecil daripada targetnya, dengan

subvariabel 0%.

Dari nilai di atas, dibutuhkan perhatian khusus untuk mendeteksi

lebih dini adanya pasien dengan obesitas, dengan cara mengukur tinggi

badan dan berat badan pasien setiap kali memeriksakan diri di

puskesmas, yang otomatis akan terlihat kadar Indeks Massa Tubuh (IMT),

apakah termasuk normal atau obesitas.

Selain itu, diperlukan juga deteksi dini adanya kebiasaan merokok

pada kelompok usia yang lebih dini, yaitu di bawah 18 tahun. Karena

merokok mempunyai kaitan erat dengan hipertensi.

17
3.2. Kajian Teori

Terjadinya hipertensi melalui berbagai mekanisme, baik secara

langsung maupun tidak langsung. Secara langsung obesitas dapat

menyebabkan peningkatan cardiac output karena makin besar massa

tubuh makin banyak pula jumlah darah yang beredar sehingga curah

jantung ikut meningkat. Sedangkan secara tidak langsung melalui

perangsangan aktivitas sistem saraf simpatis dan Renin Angiotensin

Aldosteron System (RAAS) oleh mediator-mediator seperti hormon,

sitokin, dan sebagainya. Salah satunya adalah hormon aldosteron yang

terkait erat dengan retensi air dan natrium sehingga volume darah

meningkat.

Kejadian hipertensi yang disertai dengan obesitas ini dipengaruhi

oleh usia, jenis kelamin, dan etnis. Usia 35 – 65 tahun merupakan usia

yang dianggap paling banyak menderita hipertensi dengan obesitas ini.

Hal ini terlihat dari survei yang dilakukan oleh Framingham Heart Study

dimana dari 5.209 partisipan, dua pertiganya berusia 35-65 tahun.

Data dari RISKESDAS juga menunjukkan hal yang sama yaitu

prevalensi hipertensi dan obesitas lebih sering terjadi pada usia antara 35-

65 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Framingham Heart Study

menunjukkan risiko kejadian hipertensi meningkat 2,6 kali pada subyek

laki-laki obesitas dan meningkat 2,2 kali pada subyek wanita obesitas

dibandingkan subyek dengan berat badan normal.

Obesitas lebih banyak terjadi pada orang dengan gaya hidup pasif

(kurang olahraga). Jika makanan yang di konsumsi lebih banyak

mengandung kolesterol dapat menimbulkan penimbunan lemak di

sepanjang pembuluh darah. Akibatnya aliran darah menjadi kurang lancar.

Orang yang memiliki kelebihan lemak (hiperlipidemia), berpotensi

18
mengalami penyumbatan darah sehingga suplai oksigen dan zat makanan

kedalam tubuh terganggu. Penyempitan dan sumbatan oleh lemak ini

memacu jantung untuk memompa darah lebih kuat lagi agar dapat

memasok kebutuhan darah ke jaringan. Akibatnya, tekanan darah

meningkat, maka terjadilah hipertensi.

Merokok dapat meningkatkan tekanan darah menjadi lebih tinggi.

Kebiasan merokok dapat meningkatkan risiko diabetes, serangan jantung

dan stroke. Karena itu, kebiasaan merokok yang terus dilanjutkan ketika

memiliki tekanan darah tinggi, merupakan kombinasi yang sangat

berbahaya yang akan memicu penyakit-penyakit yang berkaitan dengan

jantung dan darah.

Zat kimia dalam tembakau dapat merusak lapisan dalam dinding

arteri sehingga arteri rentan terhadap penumpukan plak. Nikotin dalam

tembakau juga membuat jantung bekerja lebih keras karena

menyempitkan pembuluh darah untuk sementara dan meningkatkan

frekuensi denyut jantung serta tekanan darah.

3.3. Pembahasan

Pasien dengan hipertensi harus ditangani dengan cepat dan tepat

untuk mencegah komplikasi yang lebih berat. Hal ini membutuhkan

kepatuhan pasien dalam minum obat dan mengubah kebiasaan serta

gaya hidup misalnya dengan bergerak aktif dan berolah raga secara rutin.

Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat menurunkan

tekanan darah, dan secara umum sangat menguntungkan dalam

menurunkan risiko permasalahan kardiovaskular. Pada pasien yang

menderita hipertensi derajat 1, tanpa faktor risiko kardiovaskular lain,

19
maka strategi pola hidup sehat merupakan tatalaksana tahap awal, yang

harus dijalani setidaknya selama 4 – 6 bulan.

Bila setelah jangka waktu tersebut, tidak didapatkan penurunan

tekanan darah yang diharapkan atau didapatkan faktor risiko

kardiovaskular yang lain, maka sangat dianjurkan untuk memulai terapi

farmakologi.

Cara tersebut antara lain adalah :

1) Menurunkan berat badan.

Mengganti makanan tidak sehat dengan memperbanyak asupan

sayuran dan buah-buahan dapat memberikan manfaat yang lebih

selain penurunan tekanan darah, seperti menghindari diabetes dan

dyslipidemia.

2) Mengurangi asupan garam.

Di negara kita, makanan tinggi garam dan lemak merupakan makanan

tradisional pada kebanyakan daerah. Tidak jarang pula pasien tidak

menyadari kandungan garam pada makanan cepat saji, makanan

kaleng, daging olahan dan sebagainya. Tidak jarang, diet rendah

garam ini juga bermanfaat untuk mengurangi dosis obat antihipertensi

pada pasien hipertensi derajat ≥ 2. Dianjurkan untuk asupan garam

tidak melebihi 2 gr/ hari.

3) Olah raga.

Olah raga yang dilakukan secara teratur sebanyak 30 – 60 menit/ hari,

minimal 3 hari/ minggu, dapat menolong penurunan tekanan darah.

Terhadap pasien yang tidak memiliki waktu untuk berolahraga secara

khusus, sebaiknya harus tetap dianjurkan untuk berjalan kaki,

mengendarai sepeda atau menaiki tangga dalam aktifitas rutin mereka

di tempat kerjanya.

20
4) Mengurangi konsumsi alkohol.

Walaupun konsumsi alkohol belum menjadi pola hidup yang umum di

negara kita, namun konsumsi alkohol semakin hari semakin

meningkat seiring dengan perkembangan pergaulan dan gaya hidup,

terutama di kota besar. Konsumsi alkohol lebih dari 2 gelas per hari

pada pria atau 1 gelas per hari pada wanita, dapat meningkatkan

tekanan darah. Dengan demikian membatasi atau menghentikan

konsumsi alkohol sangat membantu dalam penurunan tekanan darah.

5) Berhenti merokok.

Walaupun hal ini sampai saat ini belum terbukti berefek langsung

dapat menurunkan tekanan darah, tetapi merokok merupakan salah

satu faktor risiko utama penyakit kardiovaskular, dan pasien

sebaiknya dianjurkan untuk berhenti merokok.

BAB IV

PENUTUP

4.1.   Kesimpulan

21
Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah sistolik minimal 140

mmHg dan tekanan darah diastolik minimal 90 mmHg. Terjadinya

hipertensi dipengaruhi banyak faktor risiko yang menyertai, di antaranya

adalah obesitas dan kebiasaan merokok.

Dengan mengendalikan faktor-faktor risiko yang ada, menurunkan

berat badan, mengurangi atau bahkan menghilangkan kebiasaan

merokok, disertai dengan gaya hidup sehat, diharapkan dapat

mengendalikan tekanan darah dalam kisaran normal, dan mendapatkan

kualitas hidup yang optimal.

4.2. Saran 

Adanya peningkatan insidensi pasien hipertensi memerlukan

penanganan dan terapi yang tepat serta berkelanjutan. Untuk prevalensi

hipertensi sudah melebihi target, yaitu sebanyak 112%. Diharapkan ada

peningkatan untuk deteksi jumlah penduduk dengan obesitas dengan

penanganan komprehensif antara dokter dan petugas gizi. Pasien dengan

obesitas memerlukan konsultasi dan pendampingan dalam hal konsumsi

makanan bergizi harus tepat jumlah dan jenisnya, serta mengubah gaya

hidup untuk lebih rajin berolah raga.

Perlu adanya peningkatan usaha deteksi dini untuk jumlah pasien

dengan kebiasaan merokok pada usia di bawah 18 tahun. Karena ada

hubungan yang erat antara kebiasaan merokok dengan terjadinya

hipertensi. mengurangi kebiasaan merokok, diharapkan dapat mengurangi

risiko terjadinya hipertensi.

22
DAFTAR PUSTAKA

PERKI Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. 2015.

Pedoman Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular. Edisi 1.

23
Kusmana D. 2009. Hipertensi : definisi, prevalensi, farmakoterapi dan

latihan fisik. Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI.

Cermin Dunia Kedokteran.

Yogiantoro M. 2006. Hipertensi Essensial. Dalam: Sudoyo WA, et al. Buku

Ajar ilmu Penyakit dalam Jilid 1. Edisi ke-4. Pusat penerbitan Departemen

Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta.

Irmalita, et al. 2009. Standar pelayanan medik RS Jantung dan Pembuluh

Darah Harapan Kita. Pusat Jantung Nasional. Jakarta.

PERKENI Perkumpulan Endokronologi Indonesia. 2015. Konsensus

Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.

The Task Force for the management of arterial hypertension of the

European Society of Hypertension (ESH) and of the European Society of

Cardiology (ESC). 2018. ESH/ESC Guidelines for the management of

arterial hypertension. Jour of Hypertension 2018.

Kasper, Braunwald, Fauci, et al. 2008. Harrison’s principles of internal

medicine 17th edition. New York: McGrawHill.

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

24
2.2. Penyebab hipertensi yang dapat

diidentifikasi 6
2.3. Pembagian hipertensi 7

2.7. Algoritma tatalaksana hipertensi 15

25

Anda mungkin juga menyukai