id
TESIS
RUDI SATRIAWAN
NIM : S6006003
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Syukur kepada Allah SWT atas ridlo, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini sebagai persyaratan akhir pendidikan spesialis di bagian Pulmonologi
dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Bantuan, bimbingan dan pengarahan dari para guru, keluarga, teman sejawat PPDS paru,
karyawan medis dan non medis, serta para pasien yang berpartisipasi selama pendidikan dan
penelitian ini sangat menentukan penulis dalam menyelesaikan pendidikan dan tesis ini.
Penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada :
Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Rudi Satriawan
ix
commit
Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNSto userDr.Moewardi, 2012
/ RSUD
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Terima kasih dan penghormatan yang setinggi-tingginya penulis berikan untuk ayahanda
Soehartono dan ibunda Siti Harmiati (almh) atas asuhan, didikan, pengorbanan dan doa untuk
kesuksesan ananda. Terima kasih penulis sampaikan kepada bapak Eddy Mulyono dan ibu
Suharni atas semangat, arahan, himbauan dan tauladan yang telah diberikan selama ini. Ucapan
terimakasih juga kepada istri tersayang Wahyu Nur Ambarwati yang senantiasa setia, dan
mendukung segala upaya penulis menyelesaikan pendidikan. Kepada buah hati tersayang Ishmah
Nur Faizah dan Muhammad Satrio Azi terimakasih penulis ucapkan karena telah menambah
inspirasi dan semangat dalam menyelesaikan pendidikan.
Rasa hormat dan terima kasih penulis sampaikan kepada Windu Prasetya, dr. SpP,
Chrisrianto EN, dr. SpP, Yani Purnamasari, dr. SpP, Ni Nyoman Priantini, dr. SpP, Ikalius, dr.
SpP, Kenyorini, dr. SpP, Allen Wydisanto, dr. SpP, I Wayan Agus Putra, dr. SpP, Joko Susilo,
dr. SpP, Enny S Sarjono, dr. SpP, Rianasari, dr. SpP, Juli Purnomo, dr. SpP, Munawar Gani, dr.
SpP, Niwan Tristanto Martika, dr. SpP, Sofyan Budi Raharjo, dr. SpP, Novita Tjahyaningsih, dr.
SpP, Dyah Turunsih, dr. SpP, Rita Kesuma, dr. SpP, Slamet Nugroho, dr., Fadlia Yulistiana, dr.
dan seluruh rekan PPDS Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS/RSUD Dr.
Moewardi Surakarta.
Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada semua rekan perawat
poliklinik (Mbak Krisni, Mbak Harti, Bu Pur, Pak Kuswanto) dan bangsal rawat paru di RS Dr
M, RSP Ario Wirawan Salatiga, BKPM Klaten, BKPM Magelang, BKPM Pati, BKPM
Semarang, BKPM Ambarawa serta rekan kerja di SMF paru (mas Waluyo, mbak Yamti, mas
Arif, mbak Anita, mbak Ira dan mas Harnoko) atas bantuan dan kerjasamanya selama ini.
Sebagai kata akhir penulis mohon maaf atas segala kesalahan, kelalaian dan
kekurangan selama menjalani pendidikan di bagian Pulmonologi. Semoga Allah SWT
memberikan rahmat dan ridho-Nya sehingga ilmu dan pengalaman yang penulis peroleh dapat
bermanfaat bagi agama, negara dan semua manusia.
Surakarta, Juli 2012
Penulis
Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
RINGKASAN
Rudi Satriawan
LATAR BELAKANG: Isoniazid, rifampisin dan pirazinamid adalah komponen esensial strategi
directly observed treatment, short-course (DOTS) untuk mengontrol tuberkulosis yang disahkan
oleh World Health Organization (WHO) dan ketiganya memiliki potensi hepatotoksik. Beberapa
penelitian menyimpulkan N-acetylcysteine (NAC) melindungi terhadap drug induced hepatitis
yang diinduksi oleh pengobatan kombinasi isoniazid, rifampisin dan pirazinamid. Efek
hepatoproteksi NAC karena perannya sebagai prekursor sintesis glutathione. Tujuan penelitian
ini adalah mengetahui peran NAC terhadap hepatotoksisitas OAT pada penderita TB paru.
METODE: Jenis penelitian adalah eksperimental, dengan mengambil subyek sebanyak 60 orang
penderita tuberkulosis paru (TB paru) kasus baru yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi di
RSUD Dr. Moewardi, BKPM Klaten, dan Puskesmas di seluruh wilayah Kota Surakarta pada
bulan Mei – Juni 2012. Subyek terbagi dalam kelompok kontrol (n = 30) yang mendapat terapi
rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol, kelompok perlakuan (n = 30) mendapat terapi
yang sama ditambah NAC. Dilakukan follow up selama 14 hari. Pemeriksaan kadar serum
aspartate aminotransferase (AST), serum alanine aminotransferase (ALT), dan glutathione total
dilakukan sebelum terapi dan hari ke 15 terapi, juga bila penderita menunjukkan gejala klinis
hepatotoksisitas.
HASIL: Kadar rerata glutathione total kelompok kontrol sebelum terapi 118,64 ± 68,78 naik
menjadi 228,74 ± 179,01 setelah 14 hari terapi. Kadar rerata glutathione total pada kelompok
perlakuan sebelum terapi 145,54 ± 90,46 naik menjadi 418,98 ± 174,35 setelah 14 hari terapi.
Keduanya secara statistik bermakna baik pada kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan (p
= 0,000). Kadar rerata AST kelompok kontrol 24,27 ± 8,88 naik menjadi 39,70 ± 56,48 setelah
14 hari terapi. Kadar rerata AST kelompok perlakuan 20,97 ± 5,09 naik menjadi 21,50 ± 11,75
setelah 14 hari terapi. Secara statistik tidak berbeda bermakna baik pada kelompok kontrol (p =
0,131), maupun kelompok perlakuan (p = 0,796). Kadar rerata ALT pada kelompok kontrol
sebelum terapi 19,67 ± 8,87 naik menjadi 41,67 ± 58,87 setelah 14 hari terapi.Secara statistik
berbeda bermakna (p = 0,042). Kadar rerata ALT kelompok perlakuan 19,73 ± 12,71 turun
menjadi 17,37 ± 14,89 setelah 14 hari terapi.Secara statistik berbeda tidak bermakna (p = 0,316).
KESIMPULAN: Pemberian NAC berperan terhadap peningkatan kadar glutathione total pada
penderita TB paru dengan terapi OAT.
viii
commit
Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNSto userDr.Moewardi, 2012
/ RSUD
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN
SAMPUL DALAM………………………………………………………………………….. i
PENETAPAN PANITIA PENGUJI……………………………………………………… ii
LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………………………... iii
UCAPAN TERIMAKASIH……………………………………………………………….. iv
RINGKASAN……………………………………………………………………………… viii
ABSTRACT………………………………………………………………………………… ix
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….. x
DAFTAR TABEL………………………………………………………………………… xiii
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………………… xiv
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………………… xv
BAB I. PENDAHULUAN
Latar belakang………………………………………………………………………………. 1
Rumusan masalah…………………………………………………………………………….. 3
Tujuan penelitian…………………………………………………………………………….. 4
Manfaat penelitian…………………………………………………………………………... 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Epidemiologi hepatitis imbas obat antituberkulosis………………………………………….. 6
Definisi ………………………………………………………………………………………. 7
Metabolisme obat …………………………………………………………………………… 8
Mekanisme hepatotoksisitas …………………………………………………………………. 9
Faktor risiko kelainan hepatoselular imbas obat …………………………………………… 16
Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012 X
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012 xi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
BAB V. PEMBAHASAN
1. Karakteristik subyek penelitian ……………………………………………………. 51
2. Perbandingan kadar AST, ALT, dan glutathione total …………………………….. 52
BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………………. 56
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………… 57
Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012 xii
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Halaman
Table 3. Nilai mean ± SD dari AST, ALT, dan glutathione total ……………. 49
Table 4. Perbandingan mean ± SD sebelum terapi dan setelah 14 hari terapi …..49
Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012 xiii
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012 xiv
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 4. Lembar isian panitia Kelaikan Etik RSUD Dr. Moewardi ……… VII
Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012 xv
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
muda (13-40 tahun) yaitu 25,8 % dibanding 14,4 % pada penelitian di Karachi, Juli
2004 - Juli 2005.8 Hal ini juga didukung oleh penelitian – penelitian di Peshawar, Juli
2007 – Juni 2008, dan di Jamshoro, Juli 2007 – Agustus 2008 (usia ≥ 35 tahun
dibanding ≤ 35 tahun).6,9
grade III ALT meningkat 5,1 – 10 kali normal, dan grade IV bila ALT meningkat > 10
kali normal.7,14
Glutathione (GSH) adalah antioksidan endogen utama dan N-acetylcysteine
(NAC) adalah prekursor GSH. Efek paling menguntungkan pemberian NAC adalah
kemampuannya sebagai sumber sulfhydryl sehingga dapat menstimulasi sintesis
glutathione, meningkatkan aktivitas glutathione-S-transferase, meningkatkan
detoksifikasi dan berperan sebagai pengikat radikal bebas serta berinteraksi dengan
reactive oxygen species (ROS).15 Beberapa penelitian pada binatang dan manusia
menyimpulkan bahwa NAC melindungi terhadap drug induced hepatitis yang diinduksi
oleh pengobatan kombinasi isoniazid, rifampicin dan pyrazinamid. Menurut mereka
efek hepatoproteksi NAC karena perannya sebagai prekursor sintesis glutathione.5,18
Penelitian mengenai efek protektif NAC terhadap hepatotoksisitas yang
diinduksi oleh OAT pernah dilakukan oleh Baniasadi S et al di Iran pada tahun 2010.
Penelitian tersebut membandingkan kadar serum AST dan ALT pada penderita TB paru
yang diterapi OAT tanpa pemberian NAC dengan kadar serum AST dan ALT penderita
TB paru dengan terapi OAT ditambah NAC. Penelitian tersebut tidak memeriksa kadar
glutathione pada subyek penelitian. Memperhatikan keadaan tersebut berikut dilakukan
penelitian membandingkan kadar serum AST, ALT dan glutathion total pada penderita
TB paru terapi OAT ditambah pemberian NAC dengan kadar serum AST, ALT dan
kadar glutathion pada penderita TB paru terapi OAT tanpa ditambah NAC.
Tujuan khusus
1. Mengetahui peran NAC terhadap kadar glutathione total penderita TB paru
terapi obat antituberkulosis.
2. Mengetahui peran NAC terhadap kadar serum AST penderita TB paru terapi
obat antituberkulosis.
3. Mengetahui peran NAC terhadap kadar serum ALT penderita TB paru terapi
obat antituberkulosis.
Manfaat teoretis:
Pemberian NAC diharapkan dapat meningkatkan kadar glutathione sehingga dapat
berperan untuk mencegah hepatotoksisitas pada penderita TB paru dengan terapi obat
antituberkulosis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
kejadian 9,5%. Risiko hepatotoksisitas berdasarkan pada data empat penelitian di India
yaitu 11,5% dibanding 4,3% di negara maju. Beberapa studi melaporkan bahwa risiko
hepatitis imbas OAT meningkat sesuai pertambahan usia, insiden tertinggi terjadi pada
orang usia lebih 50 tahun.4
Penelitian oleh Prihatini D dan kawan-kawan di Indonesia pada April 2003
sampai September 2004 melaporkan peningkatan alanine aminotransferase (ALT)
serum terjadi pada minggu kedua akibat kombinasi OAT dengan rifampisin dosis tinggi
terjadi dalam waktu yang sama dengan rifampisin dosis standar.7 Penelitian di Karachi,
Pakistan pada Juli 2004 sampai Juli 2005 melaporkan mayoritas pasien terjadi
hepatotoksisitas dalam waktu 14 hari setelah mulai terapi.8 Penelitian lain di Pakistan
pada Agustus 2009 sampai Agustus 2010, prevalensi hepatitis imbas OAT adalah
14,38%. Pasien yang diteliti berjumlah total 1161 orang, terdiri dari 589 laki-laki dan
572 perempuan. Kejadian hepatotoksisitas lebih banyak pada perempuan (15,39%)
dibanding laki-laki (13,58%).12
2.2. DEFINISI
Definisi hepatotoksisitas berubah-ubah dan telah digunakan definisi berbeda-
beda. Definisi hepatitis imbas OAT adalah pengobatan yang menimbulkan peningkatan
serum alanine aminotransferase (ALT) lebih dari tiga atau lima kali upper limit of
normal (ULN), dalam empat minggu pengobatan tuberkulosis, dengan atau tanpa gejala
hepatitis. Penghentian penggunaan obat menyebabkan penurunan ALT. Berat
hepatotoksisitas digolongkan sesuai WHO Toxicity Classification Standarts sesuai
tabel 1. 14,16,17,27
British Thoracic Society (BTS) dan American Thoracic Society (ATS)/ Center
of Disease Control and Prevention (CDCP)/ Infectious Disease Society of America
(IDSA) telah merekomendasikan bahwa pengobatan yang potensial hepatotoksis harus
dihentikan jika serum ALT melebihi lima kali ULN (dengan atau tanpa gejala) atau tiga
kali ULN dengan jaundice dan/atau gejala hepatitis. Monitor ketat fungsi hati
direkomendasikan bila ALT meningkat dua kali atau lebih dari normal.27
Biotransformasi hepatik ini melibatkan jalur oksidatif terutama melalui sistem enzim
sitokrom P-450. Jalur klasik metabolisme obat terjadi dalam dua fase. Fase pertama
biasanya melibatkan transfer molekular oksigen terjadi reaksi oksidasi, reduksi atau
hidroksilasi, tidak semua obat menjalani langkah ini, dan beberapa obat dapat langsung
menjalani fase kedua.28,30,31
Sitokrom P-450 mengkatalisis reaksi pada fase pertama (terletak dalam
retikulum endoplasma halus hati). Reaksi ini dapat mengakibatkan pembentukan
metabolit yang jauh lebih beracun dibanding substrat induk dan dapat mengakibatkan
cidera pada hati. Sebagian besar produk bersifat sementara dan sangat reaktif. Sebagai
contoh metabolit paracetamol yaitu N-acetyl-p-benzoquinone (NAPQI) adalah toksik
terhadap hati. 28,30,31
Fase kedua meliputi jalur glukoronidasi, sulfasi, asetilasi, dan konjugasi
glutathione sehingga akan meningkatkan kelarutan obat untuk membentuk
senyawa/bahan yang siap dikeluarkan dari tubuh. Jalur protein transporter seluler
memfasilitasi pengeluaran senyawa/bahan tersebut ke dalam empedu atau sistem
sirkulasi. Obat dengan berat molekul tinggi akan dikeluarkan dalam empedu dan ginjal
mengeluarkan obat dengan molekul yang lebih kecil. Aktivitas transporter dan enzim
dipengaruhi oleh faktor-faktor endogen seperti irama sirkadian, hormon, sitokin, status
penyakit, faktor genetik, jenis kelamin, etnis, umur, dan status nutrisi, begitu juga oleh
obat-obatan atau bahan kimia eksogen.17,30,32
Reaksi obat diklasifikasikan sebagai reaksi yang dapat diduga (intrinsik) dan
yang tidak dapat diduga (idiosinkratik). Reaksi intrinsik atau reaksi obat yang dapat
diperkirakan terjadi pada semua orang yang mengalami akumulasi obat pada jumlah
tertentu. Cidera hati dapat disebabkan oleh obat itu sendiri atau metabolit obat.27,32
Reaksi idiosinkratik dapat dibagi menjadi hipersensitivitas atau imunoalergik
dan idiosinkratik metabolik. Idiosinkratik hipersensitivitas menyebabkan reaksi
hipersensitivitas, suatu respons yang ditandai dengan demam, kemerahan pada kulit,
dan eosinofilia suatu respons imun yang ditandai dengan periode laten yang pendek
satu sampai empat minggu. Obat atau metabolit obat yang berikatan kovalen dengan
protein dapat mendatangkan produk antibodi spesifik atau sel T dikenal sebagai hapten
obat atau epitop spesifik pada molekul carrier.33 Hal ini sesuai hapten hipotesis:
molekul kecil tidak imunogenik, tetapi bila berikatan secara ireversibel pada protein
maka protein termodifikasi dapat menginduksi respons imun berupa reaksi
hipersensitivitas.34 Idiosinkratik metabolik adalah tipe reaksi yang terjadi melalui reaksi
tak langsung metabolit obat. Respons bervariasi dan dapat terjadi dalam seminggu atau
lebih dari setahun kemudian. Toksisitas isoniazid dipertimbangkan masuk dalam
kelompok ini. Reaksi idiosinkratik tergantung pada idiosinkrasi pejamu (terutama
pasien yang menghasilkan respons imun terhadap antigen, dan kecepatan pejamu
memetabolisme penyebab).28,32
Mekanisme jejas hati imbas obat yang mempengaruhi protein-protein transport
pada membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis hepatosit imbas
empedu. Terjadi penumpukan asam-asam empedu di dalam hati karena gangguan
transport pada kanalikuli yang meghasilkan translokasi fassitoplasmic ke membran
plasma, tempat reseptor ini mengalami pengelompokan sendiri dan memicu kematian
sel melalui apoptosis. Selain itu banyak reaksi hepatoseluler melibatkan sistem
sitokrom P-450 yang mengandung heme dan menghasilkan reaksi-reaksi energi tinggi
yang dapat membuat ikatan kovalen obat dengan enzim, sehingga menghasilkan ikatan
baru yang tak punya peran. Kompleks obat-enzim ini bermigrasi ke permukaan sel di
dalam vesikel-vesikel untuk berperan sebagai imunogen-imunogen sasaran serangan
sitolitik ke sel T, merangsang respons imun multifaset yang melibatkan sel-sel T
sitotoksik dan berbagai sitokin. Obat-obat tertentu menghambat fungsi mitokondria
dengan efek ganda pada beta-oksidasi dan enzim-enzim rantai respirasi. Metabolit-
metabolit toksik yang dikeluarkan dalam empedu dapat merusak epitel saluran empedu.
Cidera pada hepatosit dapat terjadi akibat toksisitas langsung, terjadi melalui konversi
xenobiotic menjadi toksin aktif oleh hati, atau ditimbulkan oleh mekanisme imunologik
(biasanya oleh obat atau metabolitnya berlaku sebagai hapten untuk mengubah protein
sel menjadi imunogen).28,32,35 Lebih jelas diterangkan pada gambar 1.
Dikutip dari ( 34 )
Terdapat pula model DILI yang mengedepankan tiga langkah penting yang
berurutan. Hal ini juga meliputi jalur intrinsik dan ekstrinsik yang menekankan peran
utama mitokondria dalam mekanisme yang menyebabkan apoptosis dan nekrosis.
Tiga langkah umum model drug-induced liver injury seperti diterangkan pada
gambar 2 meliputi:35
1. Mekanisme awal toksisitas: stress sel langsung, perusakan mitokondrial langsung,
dan reaksi imun spesifik.
Metabolit obat atau obat utama menyebabkan stress sel langsung, gangguan
fungsi mitokondria atau memicu reaksi imun spesifik. Molekul obat relatif kecil seperti
tidak mungkin menimbulkan respons imun, tetapi melalui reaksi biotransformasi dapat
terbentuk molekul obat yang mengikat enzim sehingga cukup besar sebagai target
imun. Ikatan tersebut bermigrasi ke permukaan hepatosit sehingga menginduksi
pembentukan antibodi. Sistem enzim paling penting yang memetabolisme obat untuk
membentuk metabolit reaktif hepatotoksik adalah famili polymorphic cytochrome P450
(CYP450) yang memediasi metabolisme obat fase 1(oksidasi). Metabolisme obat fase 2
(konjugasi) bisa juga menghasilkan metabolit hepatotoksik.34,35
Metabolit reaktif dapat menyebabkan stress sel awal melalui mekanisme luas
termasuk deplesi glutathione atau dapat juga melekat pada enzim, lipid, asam nukleat,
dan struktur sel lain. Selanjutnya metabolit reaktif atau obat induk bisa secara spesifik
menghambat fungsi hepatoseluler lain seperti apikal bile salt efflux pump (BSEP).
Metabolit reaktif atau obat induk menghambat rantai respirasi mitokondria
menyebabkan deplesi adenosine triphosphat (ATP) dan peningkatan konsentrasi
reactive oxygen species (ROS), menghambat β- oksidasi menyebabkan steatosis,
kerusakan DNA mitokondrial atau mengganggu replikasi, atau langsung menyebabkan
mitochondrial permeability transition (MPT).35
Respons imun spesifik sel T cytotoxic dengan pelepasan sitokin-sitokin
inflamasi dapat ditimbulkan oleh metabolit reaktif yang berikatan kovalen dengan
protein dan kemudian membentuk neo-antigen (pembentukan hapten). Presentasi major
histocompatibility complex (MHC) yang tergantung pada antigen presenting cell
mengaktifkan pembentukan antibodi melawan hapten atau autoantibodi melawan
struktur sel seperti enzim CYP450.35
kemudian mengarah ke jalur apoptotik yang diaktivasi oleh ATP yang masih cukup.
Nekrosis terjadi jika tidak tersedia ATP yang diperlukan untuk energi jalur apoptotik.
Beberapa mekanisme amplifikasi pokok (A) bisa memainkan peran penting pada
tingkat berbeda untuk peristiwa idiosinkratik hepatotoksisitas.35
Kelemahan fungsi mitokondria dan produksi energi menyebabkan apoptosis
atau nekrosis sel. Mitochondrial permeability transition memberi influx masif proton
melalui membran dalam mitokondria, sehingga menghentikan sintesis ATP
mitokondria. Deplesi ATP mitokondria dihasilkan dari MPT (atau mekanisme langsung
kerusakan mitokondria seperti disebut diatas) menyebabkan ekspansi matriks dan
permeabilisasi membran luar mitokondria dan ruptur dengan pelepasan cytochrome c
dan protein pro-apoptotik mitokondrial lain dari ruang intermembran ke dalam
cytosol.34,35
Nekrosis berkembang jika cidera awal terlalu berat sehingga MPT cepat terjadi
dalam semua mitokondria, atau jika mekanisme lain menyebabkan deplesi ATP
mitokondria yang cepat, menghambat jalur apoptotik. Hal ini khas untuk hepatotoksin
yang langsung menyebabkan stress sel awal yang parah. Nekrosis sel juga bisa
disebabkan oleh aktivasi jalur ekstrinsik karena tidak adanya ATP. Penggelembungan
sel dan lisis yang mengikuti kerusakan berat fungsi sel menandai nekrosis. Sel nekrotik
menginduksi respons inflamasi termasuk pelepasan sitokin, penting karena bisa
meningkatkan cidera awal melalui sensitisasi seputar hepatosit dan karena itu
menyebabkan kerusakan kolateral lebih lanjut.34,35
Perbedaan antara apoptosis dan nekrosis tidak selalu jelas. Apoptosis dan
nekrosis bisa dianggap sebagai spektrum yang berlanjut. Lebih lanjut beberapa
kontroversi ada di seputar mekanisme pasti dan pencetus hepatotoksik apoptosis
termasuk peran MPT.32 Disimpulkan bahwa mitokondria berada di pusat mati dan hidup
dalam hepatotoksisitas. Mereka dapat menjadi target langsung toksisitas awal.
Mitochondrial permeability transition memainkan peran kunci dalam sinyal selanjutnya
dari jalur intrinsik dan ekstrinsik. Mitokondria membentuk suplai ATP sel paling
banyak dan juga sumber utama radikal bebas oksigen dan nitrogen intraseluler, maka
kerusakan mitokondria yang luas akhirnya menentukan apakah hepatosit mati karena
apoptosis atau nekrosis.35
Terdapat beberapa faktor risiko kelainan hepatoselular imbas obat antara lain
ras, usia tua, perempuan, malnutrisi, infeksi human immunodeficiency virus (HIV),
penyakit hati yang mendasari, penyalahgunaan alkohol, penggunaan obat hepatotoksik
lain.11,13
2. Umur
Orang tua berisiko lebih tinggi cidera hati karena clearance menurun, interaksi
antar obat, aliran darah ke hati berkurang, dan menurunnya volume hati.27 Penelitian
oleh Mahmood K et al di Karachi, Pakistan tahun 2005 menyebutkan pasien usia tua
relatif lebih rentan dibanding kelompok usia lebih muda ( 41 dari 159 orang atau 25,8%
dibanding 26 dari 180 orang atau 14,4%)21 Penelitian oleh Zaman R di Bahawalpur,
Pakistan tahun 2010 menyebutkan prevalensi hepatotoksisitas karena OAT paling
tinggi pada orang tua (> 50 tahun) yaitu 17,54%.12
3. Seks
Meskipun alasan tidak diketahui, reaksi obat pada hati lebih sering terjadi pada
perempuan.7 Penelitian oleh Mahmood K et al di Karachi, Pakistan tahun 2005
menyebutkan perempuan lebih rentan dibanding laki-laki (41 dari 156 orang atau
26,3% dibanding 36 dari 183 orang atau 19,7%).8 Penelitian Zaman R di Bahawalpur,
Pakistan tahun 2010 menyebutkan prevalensi hepatotoksisitas karena OAT pada laki-
laki 13,58% dan 15,39% pada perempuan.12
4. Konsumsi alkohol
Sering mengkonsumsi alkohol membuat rentan terhadap keracunan obat karena
alkohol menyebabkan cidera hati yang mengubah metabolisme obat.27 Penelitian
Mahmood et al di Karachi, Pakistan tahun 2005 menyebutkan pasien dengan konsumsi
alkohol lebih berisiko (25%) dibanding tanpa konsumsi alkohol (19,6%).24
5. Penyakit hati
Pasien dengan penyakit hati kronis mengalami peningkatan risiko cidera hati.
Pasien dengan infeksi HIV yang koinfeksi dengan virus hepatitis B atau C akan
meningkatkan risiko untuk efek hepatotoksik apabila diobati dengan terapi
antiretroviral. Pasien dengan sirosis berisiko mengalami peningkatan dekompensasi
dengan obat beracun.27 Penelitian Zaman R di Bahawalpur, Pakistan tahun 2010
menyebutkan pasien carrier hepatitis B atau C 100% berkembang hepatotoksisitas
karena OAT.8 Penelitian oleh Anand AC di India tahun 2002 menghasilkan data
kejadian disfungsi hati lebih tinggi pada pasien dengan infeksi kronis virus hepatitis B
yang mendapat OAT (37,5%) dibanding pasien tidak terinfeksi virus hepatitis B
4
(10,2%)
6. Komorbiditas lain
Penderita acquired immune deficiency syndrome (AIDS), penderita kekurangan
gizi rentan terhadap reaksi obat karena penyimpanan glutathione rendah.27 Penelitian
Marzuki et al di Malaysia tahun 2005 menemukan bahwa penderita HIV positif
merupakan faktor risiko signifikan berkembang hepatitis imbas OAT.1
Penyebab TB diketahui lebih dari satu abad dan selama hampir 50 tahun sudah
ditemukan berbagai macam obat yang efektif untuk mengatasi, tetapi masalah TB dunia
sekarang lebih besar dari sebelumnya. Hal ini diperkirakan karena hubungan antara TB
dengan infeksi HIV serta terjadinya multiple drug resistant tuberkulosis (TB-MDR).36
Efek samping dan toksisitas obat juga ancaman untuk dokter dan pasien dalam
melanjutkan terapi.16
Isoniazid
Isoniazid merupakan hidrazid dari isonicitinic acid, menghambat sintesis
mycolic acid komponen penting dinding sel mikobakteri. Isoniazid mudah diabsorbsi
pada pemberian oral maupun parenteral. Kadar puncak dicapai dalam waktu 1-2 jam
setelah pemberian per oral. Isoniazid mengalami asetilasi di hati dan kecepatan
metabolisme isoniazid dipengaruhi oleh faktor genetik yang secara bermakna
mempengaruhi kadar obat dalam plasma dan waktu paruh.37,38 Tingkat asetilasi manusia
ditentukan secara genetik dan dibagi menjadi asetilasi tipe lambat dan cepat.17
Keterlibatan arus asetilasi pada toksisitas isoniazid masih kontroversial. Penelitian awal
menunjukkan bahwa asetilator cepat lebih rentan terhadap perkembangan
antituberculosis drug-induced hepatotoxicity (ATDH). Penelitian terbaru menunjukkan
pada asetilator lambat berkembang ATDH lebih sering dan juga lebih berat dibanding
asetilator cepat. Asetilasi lambat lebih banyak isoniazid terhidrolisis langsung menjadi
hidrazin dan asetilhidrazin yang dapat diubah menjadi hidrazin.14,17
Penggunaan isoniazid pada penderita yang menunjukkan kelainan fungsi hati
akan menyebabkan bertambah parahnya kerusakan hati. Umur merupakan faktor yang
sangat penting untuk memperhitungkan risiko efek toksik isoniazid pada hati.
Kerusakan hati jarang terjadi pada penderita yang berumur dibawah 35 tahun. Kelainan
terbanyak adalah enzim transaminase yang meningkat. Hepatitis karena pemberian
isoniazid terjadi 4-8 minggu setelah pengobatan dimulai.37,38
Hepatotoksisitas karena isoniazid bukan hasil dari hipersensitivitas atau reaksi
alergi dan paling mungkin disebabkan oleh metabolit toksik. Hepatotoksisitas karena
isoniazid dianggap idiosinkratik. Reaksi idiosinkratik dapat mempengaruhi setiap
sistem organ dengan dimediasi Imunoglobulin E. Merupakan sindrom reaktif metabolit
yaitu metabolit reaktif yang dihasilkan lebih berperan dibanding obat itu sendiri.
Sindrom reaktif metabolit dapat pulih pada sebagian besar penderita.14
Jalur metabolik utama metabolisme INH adalah asetilasi oleh enzim hati N-
acetyl transferase 2 (NAT2). Isoniazid terasetilasi menjadi asetilisoniazid dan kemudian
terhidrolisis menjadi asetilhidrazin dan asam isonikotinat. Asetilhidrazin kemudian
nonspesifik menyerupai hepatitis virus dengan nekrosis nonzonal, dan masif pada lebih
dari 10% kasus berat. Subacute hepatic necrosis dapat terlihat pada 30% kasus.17
Penelitian terhadap genetik manusia menunjukkan bahwa pasien dengan
homozigot cytochrome P450 2E1 c1/c1(CYP2E1 c1/c1) host gene polymorphisme,
yang memiliki peningkatan aktivitas cytochrome P450 2E1, memiliki risiko
hepatotoksisitas lebih tinggi, khususnya asetilator lambat. Genetik CYP2E1 c1/c1
dikaitkan dengan aktivitas gen CYP2E1 yang lebih tinggi dan dapat menyebabkan
produksi hepatotoksin yang lebih tinggi. Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa
isoniazid dan hidrazin menginduksi aktivitas CYP2E1. Isoniazid memiliki efek inhibisi
terhadap aktivitas CYP1A2, 2A6, 2C19, dan 3A4.57. Gen CYP1A2 diperkirakan
terlibat dalam detoksifikasi hidrazin. Isoniazid dapat menginduksi toksisitasnya,
kemungkinan disebabkan oleh induksi atau inhibisi enzim-enzim di atas.14,17
Rifampisin
Rifampisin adalah antibiotik derivat rifamisin dihasilkan oleh Steptomyces
mediterranei terutama digunakan sebagai obat anti tuberkulosis. Kadar puncak dalam
plasma tercapai setelah 2-4 jam pemberian rifampisin per oral. Rifampisin setelah
diserap dari saluran cerna cepat diekskresi melalui empedu dan kemudian mengalami
sirkulasi enterohepatik. Obat ini cepat mengalami deasetilasi sehingga dalam waktu
enam jam hampir semua obat yang berada dalam empedu berbentuk diasetil rifampisin
yang mempunyai aktivitas antibakteri penuh. Waktu paruh eliminasi rifampisin
bervariasi antara 1,5 – 5 jam dan memanjang bila ada kelainan fungsi hati. Penderita
tuberkulosis mengalami efek toksik kurang dari 4% dengan pemberian dosis biasa.
Efek samping paling sering muncul adalah ruam kulit, demam, mual, dan muntah.38
Jalur utama metabolisme rifampisin adalah deasetilasi menjadi deasetil
rifampisin dan secara terpisah terhidrolisis menghasilkan rifampisin 3-formil.
Rifampisin dapat menyebabkan disfungsi hepatoselular pada awal pengobatan yang
sembuh tanpa penghentian obat. Mekanisme rifampisin-induced hepatotoxicity tidak
diketahui dan tidak dapat diprediksi. Tidak ada bukti keberadaan metabolit toksik.14
Pirazinamid
Waktu paruh (t½) pirazinamid lebih panjang dibanding isoniazid atau rifampisin,
mendekati 10 jam. Pasien dengan penyakit hepatik, t½ meningkat menjadi 15 jam.
Pirazinamid sebagai turunan asam nikotinik, dideamidasi menjadi pyrazinoic acid di
dalam hati dan sebagian dimetabolisme menjadi 5-hydroxy-pyrazinoic acid oleh xantine
oxidase, aldehyde oxidase, dan xanthine dehydrogenase. 5-hydroxy-pyrazinamide
Etambutol
Etambutol dilaporkan tidak memiliki efek hepatotoksik, tetapi ada sedikit
laporan hepatotoksisitas dengan etambutol dalam pengobatan TB. Tes fungsi hati
abnormal telah dilaporkan pada beberapa pasien yang menggunakan etambutol
dikombinasi dengan OAT lain. Kombinasi ini yang menyebabkan hepatotoksisitas.16
Etambutol diserap ke dalam saluran pencernaan sebanyak 70-80% pada
pemberian secara oral. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 2-4 jam
setelah pemberian. Waktu paruh eliminasi 3-4 jam. Lima puluh persen etambutol yang
dikonsumsi, diekskresi dalam bentuk asal melalui urin, 10% sebagai metabolit, berupa
derivat aldehid dan asam karboksilat dalam waktu 24 jam. Etambutol jarang
menimbulkan efek samping. Dosis harian sebesar 15 mg/kg BB/hari menimbulkan efek
toksik yang minimal. Dosis ini kurang dari 2% penderita akan mengalami efek samping
yaitu penurunan ketajaman penglihatan, ruam kulit, dan demam.38
Streptomisin
Waktu paruh streptomisin pada orang dewasa normal 2-3 jam dan dapat sangat
memanjang pada penderita gagal ginjal. Hampir semua streptomisin berada dalam
plasma setelah diserap dari tempat suntikan. Streptomisin diekskresi melalui filtrasi
glomerulus. Sekitar 50-60% dosis streptomisin yang diberikan secara parenteral
diekskresi dalam bentuk utuh dalam waktu 24 jam pertama. Ototoksisitas lebih sering
terjadi pada penderita, streptomisin dilaporkan tidak memiliki efek hepatotoksik.
6,14,19,24
TUBERKULOSIS
Gambaran klinis hepatoksisitas imbas obat sulit dibedakan secara klinis dengan
penyakit hepatitis atau kolestasis dengan etiologi lain. Riwayat pemakaian obat-obat
atau substansi-substansi hepatotoksik lain harus dapat diungkap. Cidera hati mungkin
timbul atau memerlukan waktu beberapa minggu atau bulan. Cidera hati dapat berupa
nekrosis hepatosit, kolestasis, disfungsi hati. Gambaran klinis pada hepatitis kronis
akibat virus atau autoimun, tidak dapat dibedakan dengan hepatitis kronis akibat obat,
baik secara klinis maupun histologis, sehingga pemeriksaan serologis virus sering
dipakai untuk mengetahui perbedaannya.32
Presentasi klinis hepatitis akibat OAT mirip dengan hepatitis virus akut. Obat
antituberkulosis bisa menyebabkan hepatotoksisitas dengan tingkat gejala yang
bervariasi dari asimptomatik hingga simptomatik seperti keletihan, demam, hilang
selera makan, mual, muntah, anoreksia, jaundice, sklera ikterik, pusing, kencing warna
kecoklatan. Enzim transaminase mengalami kenaikan seperti pada kegagalan hati
akut.16 Pasien TB yang sedang dalam pengobatan OAT menunjukkan gejala hepatitis
akut maka dapat dijadikan acuan diagnosis hepatotoksisitas imbas OAT telah
terjadi.16,27,31
Cidera pada hati baik akut atau kronis akhirnya menghasilkan peningkatan
konsentrasi serum aminotransferase. Aspartate aminotransferase (AST) dan alanine
aminotransferase (ALT) adalah enzim-enzim yang mengkatalisis transfer grup α-amino
dari aspartate dan alanine ke grup α-keto dari ketoglutaric acid untuk membentuk
oxaloacetic acid dan pyruvic acid, yang memberi kontribusi penting pada siklus citric
acid.19 Kedua aminotransferase terdapat pada konsentrasi tinggi di dalam hati.
Aspartate aminotransferase (AST) juga secara difus digambarkan di dalam jantung,
otot skeletal, ginjal, otak, dan sel darah merah, ALT berada dalam konsentrasi rendah di
dalam otot skeletal dan ginjal, peningkatan serum ALT lebih spesifik untuk kerusakan
hati. Alanine aminotransferase berlokasi hanya di dalam sitoplasma selular di hati,
berada di cytosolic (20% dari aktivitas total) dan mitokondria (80% dari aktivitas
total).19,35 Clearance aminotransferase dibawa keluar dari hati oleh sel sinusoidal.
Waktu paruh ALT di dalam sirkulasi sekitar 47 jam dan untuk AST sekitar 17 jam.19
hepatik. Deasetilasi sangat efisien, dalam sirkulasi vena porta, konsentrasi metabolit
300 - 500% lebih tinggi dibanding obat induk.42-46
Peran klinis utama NAC adalah pengobatan overdosis acetaminophen.
Acetaminophen dimetabolisme oleh hati, menghasilkan N-acetylbenzoquinoneimine
(NAPQI) yang menyebabkan deplesi glutathione hepatik. Pemberian NAC mengisi lagi
persediaan glutathione dan mengurangi cidera hati. Pengobatan efektif terutama jika
diberikan dalam 10 jam dari overdosis.41 Kecuali penggunaan NAC untuk keracunan
acetaminophen tidak ada antidotum spesifik terhadap setiap obat.31
Dosis besar NAC biasanya diberikan untuk merespons overdosis acetaminophen
yaitu loading dose 140 mg/kg dilanjutkan dosis maintenance 70 mg/kg tiap 4 jam
sampai acetaminophen serum tidak terdeteksi. Dosis tersebut dapat menyebabkan mual,
muntah, gangguan gastrointestinal, rash, pruritus, angioedema, bronkospasme,
takikardi, hipotensi atau hipertensi, tetapi kejadian-kejadian tersebut jarang.47,48
Efek antioksidan secara langsung dan tak langsung ditunjukkan oleh NAC. Efek
langsung ini adalah interaksi dengan kelompok elektrofilik [radikal hidroksil (-OH)]
reactive oxygen species (ROS). Interaksi dengan ROS ini menyebabkan pembentukan
intermediate thiol NAC, dengan NAC disulfide sebagai hasil akhir utama. Efek
antioksidan tak langsung NAC berhubungan dengan perannya sebagai prekursor
glutathione. Glutathione adalah tripeptida yang terbuat dari glutamic acid, cysteine, dan
glycine. Pemeliharaan adekuat kadar glutathione intraseluler penting untuk
menanggulangi efek buruk zat toksik.41,43
Glutathione memainkan peran kunci dalam pertahanan seluler melawan
kerusakan oksidatif. Glutathione tidak dapat masuk sel hepatik, karena itu harus
disintesis in situ dari prekursornya glycine, glutamate, dan cysteine. Komponen cysteine
terbatas, dan kelompok sulfhidril cysteine memberikan glutathione kekuatan
antioksidan.41 Ketersediaan asam amino untuk pengaturan sintesis glutathione adalah
faktor fundamental. Glutamic acid dan glycine tersedia berlimpah-limpah dalam tingkat
seluler, tetapi tidak demikian dengan cysteine, maka sintesis glutathione bergantung
pada ketersediaan cysteine. Tidak mungkin memberikan cysteine dalam bentuk aktif
yaitu L-cysteine, sebab absorbsi yang rendah di usus, daya larut dalam air yang buruk
dan metabolisme hepatik yang cepat.42,43
Glutathione (γ-glutamylcysteinyl glycine) diklasifikasikan sebagai tripeptida
yang ditemukan di setiap bagian tubuh, khususnya di paru, saluran intestinal, dan hati.
Tubuh memproduksi dan menyimpan glutathione paling banyak di dalam hati.
Glutathione tersebut digunakan untuk detoksifikasi komponen berbahaya sehingga
dapat dikeluarkan dari tubuh melalui empedu.49,50 Homeostasis glutathione intraseluler
memainkan peran utama dalam memelihara lingkungan reduksi—oksidasi (redoks)
intraselular dan mengatur sejumlah fungsi selular penting. Salah satu kejadian awal
pada banyak respons inflamasi adalah penurunan glutathione intraselular.51
Glutathione berimplikasi dalam banyak fungsi selular, termasuk sintesis dan
degradasi protein dan deoxyribo nucleic acid (DNA). Lingkungan redoks intraselular
terutama dikontrol oleh glutathione-redox yang didefinisikan sebagai rasio glutathione
tereduksi (GSH) terhadap glutathione teroksidasi (GSSG) dan memainkan peran
penting dalam memelihara homeostasis selular dan berbagai fungsi fisiologis.51 Obat,
infeksi, dan inflamasi di dalam hati dapat meningkatkan pembentukan ROS dan/atau
menurunkan kadar GSH dan menyebabkan pergeseran status redoks selular hepatosit
menjadi lebih teroksidasi. Perubahan keseimbangan redoks normal dapat mengganggu
jalur signaling dalam hepatosit dan bisa menjadi mekanisme penting dalam memediasi
patogenesis banyak penyakit hati.51,52
Sel-sel eukariotik mempunyai tiga reservoir utama GSH. Hampir 90% GSH
selular berada di dalam sitosol, 10% di dalam mitokondria, dan presentase kecil di
dalam retikulum endoplasma (RE). Glutathione tereduksi (GSH) diimplikasikan dalam
bentuk ikatan protein disulfide di dalam RE, rasio GSH: GSSG adalah 3:1. Rasio
melebihi 10:1 di dalam sitoplasma dan mitokondria.44-46 Keseimbangan redoks
glutathione dalam makrofag penting untuk meningkatkan respons imun alamiah dan
juga berimplikasi dalam banyak kondisi patologis, mengindikasikan kemungkinan
potensi digunakan sebagai alat terapeutik.51
Stress oksidatif berat bisa melebihi kemampuan sel mereduksi GSSG menjadi
GSH, menyebabkan akumulasi GSSG di dalam sitosol. Untuk melindungi sel dari
pergeseran keseimbangan redoks, GSSG dapat secara aktif dikeluarkan dari sel atau
bereaksi dengan kelompok protein sulfhydryl, menyebabkan pembentukan disulfida
campuran. Jadi, stres oksidatif berat mengurangi GSH selular.49
dibentuk oleh pelepasan glysine oleh hidrolisis dan penambahan asetat. Mercapturic
kemudian diekskresikan ke urine oleh filtrasi dan sekresi.49,51,.52
Reaksi kedua dalam pembentukan mercapturic acid setelah penghilangan γ-
glutamyl GSH adalah hidrolisis cysteinylglycine atau S-derivative-nya. Hal ini
dilengkapi oleh peptidase yang berlokasi di intraseluler atau berikatan dengan membran
plasma. Langkah akhir meliputi asetilasi dari S-substituted cysteines. Mercapturic acid
dibentuk di hati dan di ginjal.49,51,52
hepatosit
GSH(glutathione)
netralisasi/detoksifikasi NFκB
Hydrazine GSH /GSSG (rasio) aktivasi
Rifampisin/deasetil rifampisin? GSH <<
Pyrazinamide/pyrazinoic acid? Gen proinflamasi
TRADD/FADD
Aktivasi
Caspase8
Amplifikasi
aktivasi
Keterangan:
MPT: mitochondrial permeability transition; TRADD/FADD: TNF, Fas receptor-associated death domain
Enzim Acylase I
NAC L-cysteine
hepatosit
enzimGlutamyl CyseineSynthase
netralisasi/detoksifikasi
Hydrazine
Rifampisin/deasetil rifampisin? GSH tetap >> GSH /GSSG (rasio) aktivasi NFκB
Pyrazinamide/pyrazinoic acid?
Keterangan: tidak terjadi aktivasi NFκB, tidak terjadi nekrosis sel hati
BAB III
BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN
3.3. POPULASI
Pasien yang datang ke RS Dr. Moewardi Surakarta dan pelayanan kesehatan
jejaring dengan TB paru, belum pernah mendapat terapi obat antituberkulosis.
Kriteria diskontinyu
· Responden tidak terlacak lagi dalam follow up penelitian.
· Responden mengundurkan diri dari penelitian.
· Timbul efek samping terhadap pemakaian N-acetylcystein.
2
N1 = N2 = (1,64 + 1,44) 14,86
10
2
= 45,77
10
= ( 4,57)2
= 20,88 = 21
Jumlah subyek tiap kelompok adalah 21.
Menurut Gay dan Diehl (1992;146) dalam Suhardi Sigit (1999;70)dikutip dari 58
menyatakan bahwa besar sampel harus besar , pada umumnya semakin besar sampel
cenderung semakin representatif, hasil penelitian dapat lebih digeneralisasikan. Besar
sampel menurut Gay dan Diehl juga tergantung dari jenis penelitian. Jenis penelitian
dan sampel minimum yang disarankan sebagai berikut.
Penelitian deskriptif 100 subyek
Penelitian korelasional 50 subyek
Penelitian kausal-perbandingan 30 subyek per grup
Penelitian eksperimen 30 subyek per grup
Berdasar pernyataan di atas maka penelitian ini mengambil sampel 30 subyek tiap
kelompok.
Penjelasan
Penawaran
Persetujuan(inform consent)
eksklusi
Cek glutathione
AST, ALT
analisis statistik TB paru + OAT ktgr I TB paru + OAT ktgr I+ NAC analisis
statistik
14 hari 14 hari
MDH
+
Oksaloasetat + NADH + H L-malate + NAD+
Nicotinamide adenine dinucleotide tereduksi (NADH) dioksidasi menjadi nicotinamide
adenine dinucleotide (NAD+). Kecepatan secara fotometri yang mengukur penurunan
NADH sebanding dengan kecepatan pembentukan oksaloasetat dan juga aktivitas AST.
Metode : spectrophotometry
Jenis sampel : plasma heparin
Volume : 50-100 µL
Bahan reagen:
Botol 1:
· Tris buffer, pH 7,8 100 mmol/L
· L-aspartate 300 mmol/L
· NADH (ragi) 0,23 mmol/L
· MDH ≥ 0,53 U/mL (8,83 µkat/L)
· LDH (mikroorganisme) ≥ 0,75 U/mL (12,5 µkat/L)
Botol 2:
Α-ketoglutarat 75 mmol/L
Tahap pemeriksaan:
Pertama dilakukan proses quality control dengan menggunakan larutan
pengontrol. Spektrofotometer digunaklan bila hasil AST berada pada interval 25,3 –
40,5 U/L, selanjutnya dilakukan pemeriksaan AST. Larutan reagen 1000 µL ditambah
plasma heparin sebanyak 100 µL. Dilakukan inkubasi pada suhu 37˚C selama satu
menit. Kemudian campuran plasma dan reagen dimasukkan ke alat penghisap di
spektrofotometer yang telah diprogram untuk pemeriksaan AST.
LDH
+
Piruvat + NADH + H L-laktat + NAD
Oksidasi NADH menjadi NAD+ terjadi pada reaksi kedua. Kecepatan penurunan
NADH yang diukur secara fotometri sebanding dengan kecepatan pembentukan piruvat
dan aktivitas ALT.
Metode : spectrophotometry
Jenis sampel : plasma heparin
Volume : 50-100 µL
Bahan reagen:
Botol 1:
· Tris buffer pH 7,3 125 mmol/L
· L-alanin 625 mmol/L
· NADH (ragi) 0,23 mmol/L
· LDH (mikroorganisme) ≥ 1,5 U/mL (25 µkat/L)
Botol 2:
α-ketoglutarat 94 mmol/L
Tahap pemeriksaan:
Pertama kali dilakukan quality control dengan larutan pengontrol.
Spektrofotometer digunakan bila ALT berada di interval 17,6 – 28,2 U/L. Kemudian
dilakukan pemeriksaan ALT. Larutan reagen sebanyak 1000 µL ditambah plasma
heparin sebanyak 100 µL. Dilakukan inkubasi pada suhu 37˚C selama satu menit.
Kemudian campuran plasma dan reagen dimasukkan ke alat penghisap di
spektrofotometer yang telah diprogram untuk pemeriksaan ALT.
6. Tuberkulosis paru BTA negatif: klinis TB paru, didukung hasil foto toraks sesuai
gambaran TB paru, dan hasil pemeriksaan dahak BTA negatif.22
7. Obat anti tuberkulosis: obat anti tuberkulosis lini pertama yaitu isoniazid (INH),
rifampisin, pirazinamid, etambutol, streptomisin22
8. Penyakit kronis: diabetes mellitus, decompensatio cordis, penyakit paru obstruktif
kronik, gagal ginjal kronik
9. Infeksi HIV: memenuhi tanda-tanda klinis kriteria mayor dan minor infeksi HIV
10. Gizi kurang (< 18,5 kg/m2), Gizi normal (18,5-23,5 kg/m2), gizi lebih
(IMT >23,5 kg/m2), obese (IMT >30 kg/m2).
BB
Rumus : IMT =
TB(m)2
11. N-acetylcysteine: antioksidan kimia bentuk modifikasi dari asam amino cysteine
dengan atom nitrogen dari grup amino ditempelkan ke grup acetyl41
12. Glutathione: antioksidan endogen utama diklasifikasikan sebagai tripeptida yang
ditemukan di setiap bagian tubuh.15,43
13. Enzim transaminase: enzim-enzim hati meliputi aspartate aminotransferase
(AST) dan alanine aminotransferase (ALT)
14. Hepatitis virus: inflamasi sel-sel hati disebabkan oleh infeksi virus
15. Obat hepatotoksik: obat yang menimbulkan efek toksik pada hati
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Tabel 3 memperlihatkan bahwa sebelum terapi kadar rerata AST, ALT, dan
glutathione total kelompok kontrol dibanding kelompok perlakuan tidak berbeda
signifikan (p > 0,05). Kadar rerata AST kelompok kontrol berbeda tidak signifikan bila
dibanding kelompok perlakuan (p = 0,09) pada hasil pemeriksaan setelah 14 hari terapi.
Kadar rerata ALT dan glutathione total kelompok kontrol berbeda signifikan bila
dibanding kelompok perlakuan pada hasil pemeriksaan setelah 14 hari terapi (p = 0,04
dan p = 0,00).
Kelompok perlakuan
AST (U/L) 20,97±5,09 21,50±11,75 0,79
ALT (U/L) 19,73±12,71 17,37±14,89 0,32
Glutahione total (µM) 145,54±90,46 418,98±174,35 0,00
Kadar rerata AST sebelum terapi dan setelah 14 hari terapi pada kelompok
kontrol terdapat kenaikan tetapi menurut analisis statistik tidak berbeda signifikan
(p = 0,13). Sementara itu kadar ALT pada kelompok kontrol juga mengalami
peningkatan rerata sebelum terapi dibanding setelah 14 hari terapi dan setelah dianalisis
statistik terdapat perbedaan yang signifikan (p = 0,04). Kadar glutathione total pada
kelompok kontrol mengalami peningkatan saat sebelum terapi dibanding setelah 14 hari
terapi dan menurut analisis statistik terdapat perbedaan signifikan (p = 0,00).
Kadar rerata AST pada kelompok perlakuan sebelum terapi dibanding setelah
14 hari terapi terdapat kenaikan rerata tetapi menurut analisis statistik perbedaan
tersebut tidak bermakna (p = 0,79). Kadar rerata ALT pada kelompok perlakuan
sebelum terapi dibanding setelah 14 hari terapi terdapat penurunan, tetapi menurut
analisis statistik perbedaan tersebut tidak signifikan (p = 0,32). Kadar rerata glutathione
total pada kelompok perlakuan sebelum terapi dibanding setelah 14 hari terapi terdapat
peningkatan yang menurut analisis statistik terdapat perbedaan yang signifikan
(p = 0,00). Kadar glutathione total baik kelompok kontrol maupun kelompok
perlakuan terdapat peningkatan rerata tetapi peningkatan rerata kelompok perlakuan
lebih tinggi.
BAB V
PEMBAHASAN
Efek antioksidan secara langsung dan tak langsung ditunjukkan oleh NAC. Efek
langsung ini adalah interaksi dengan kelompok elektrofilik [radikal hidroksil (-OH)]
reactive oxygen species (ROS). Interaksi dengan ROS ini menyebabkan pembentukan
intermediate thiol NAC, dengan NAC disulfide sebagai hasil akhir utama. Efek
antioksidan tak langsung NAC berhubungan dengan perannya sebagai prekursor
glutathione. Glutathione adalah tripeptida yang terbuat dari glutamic acid, cysteine, dan
glycine. Pemeliharaan adekuat kadar glutathione intraseluler penting untuk
41,43
menanggulangi efek buruk zat toksik.
Analisis hasil penelitian ini bermaksud untuk mengetahui perbedaan kadar AST,
ALT, dan glutathione total pasien TB paru terapi OAT tanpa pemberian NAC
dibandingkan pasien TB paru terapi OAT ditambah NAC.
berbeda signifikan setelah 14 hari terapi (p = 0,00). Kadar rerata glutahione total
kelompok perlakuan setelah 14 hari terapi mengalami peningkatan dibanding sebelum
terapi, yaitu dari 145,54 ± 90,46 menjadi 418,98 ± 174,35. Secara analisis statistik
perbedaan tersebut signifikan, hal ini karena penambahan NAC sebagai penyedia
cysteine sebagai bahan utama sintesis glutahione.5,15,49
Kadar rerata glutathione total pada kelompok kontrol juga mengalami
peningkatan bila dibandingkan antara sebelum terapi (118,64±68,78) dengan setelah 14
hari terapi (228,74±179,01), dengan analisis statistik menunjukkan perbedaan
signifikan (p = 0,00). Hal ini karena sumber cystein sebagai prekursor glutathione bisa
didapatkan dari bahan-bahan makanan yang mengandung methionine yang akan
dimetabolisme di hati menjadi glutathione melalui jalur transsulfurasi.49 Beberapa
makanan dapat menjadi sumber cysteine dan atau methionine seperti kuning telur, cabe,
brokoli, bawang merah, bawang putih dan sebagainya.63 Faktor tersebut menjadi
variabel perancu pertama yang tidak dapat dikontrol. Kenaikan kadar rerata glutathione
kelompok kontrol masih jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan kelompok
perlakuan dalam jangka waktu yang sama (14 hari), hal ini menunjukkan tersedianya
cysteine mempercepat pembentukan glutathione oleh hati.53
Ketersediaan cysteine menjadi salah satu penentu utama laju pembentukan
glutathione. Cysteine secara normal didapatkan dari diet dan pemecahan protein, dan di
dalam hati dari methionine melalui jalur transsulfurasi. Kemampuan sel hati
mengkonversi methionine menjadi cysteine penting karena hati menjadi tempat utama
dari katabolisme methionine dan tempat penyimpanan utama glutathione. Jalur ini aktif
dan khas untuk sel hati. Aktifitas jalur ini di dalam hati secara nyata rusak atau tidak
ada pada fetus atau bayi baru lahir dan pasien sirosis.49
Reaksi obat diklasifikasikan sebagai reaksi yang dapat diduga (intrinsik) dan
tidak dapat diduga (idiosinkratik).27,32 Reaksi idiosinkratik dapat dibagi menjadi
hipersensitivitas atau imunoalergik dan idiosinkratik metabolik.34 Hepatotoksisitas
kadangkala dapat diprediksi dan dose dependent, tetapi kebanyakan idiosinkratik.1
Idiosinkratik metabolik adalah tipe reaksi yang terjadi melalui reaksi tak langsung
metabolit obat. Toksisitas isoniazid dipertimbangkan masuk dalam kelompok ini.
Hepatotoksisitas pirazinamid termasuk dose dependent dan idiosinkratik. Reaksi
idiosinkratik tergantung pada idiosinkrasi pejamu (terutama pasien yang menghasilkan
respons imun terhadap antigen, dan kecepatan pejamu memetabolisme penyebab).16,28,32
Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak setiap penderita TB paru yang diterapi OAT
pasti terjadi hepatotoksisitas. Faktor idiosinkrasi tersebut dapat menjadi variabel
perancu kedua yang juga tidak dapat dikontrol. Penderita TB paru di kelompok kontrol
yang mengalami peningkatan enzim transaminase berjumlah 6 orang, 24 orang tidak
terjadi peningkatan enzim transaminase. Penderita yang sel-sel hatinya tidak
terpengaruh oleh OAT tetap dapat mensintesis glutathione secara baik melalui jalur
transsulfurasi. Didukung oleh perbaikan klinik setelah mendapatkan terapi OAT maka
asupan makanan lebih baik, sehingga glutathione dapat disintesis dari makanan sumber
cysteine dan atau methionine. Hal-hal tersebut yang menyebabkan kadar rerata
glutathione total kelompok kontrol tetap mengalami kenaikan signifikan.
Penderita TB paru pada kelompok kontrol terdapat 6 orang (20%) yang
mengalami peningkatan enzim transaminase (AST dan ALT), dua diantaranya disertai
keluhan gastrointestinal, hal ini sesuai prevalensi hepatitis imbas obat antituberkulosis
di negara berkembang yaitu 8% - 39%.1 Penderita TB paru di kelompok perlakuan
terdapat hanya 1 orang (0,03%) yang mengalami peningkatan enzim transaminase. Hal
ini menunjukkan bahwa pemberian NAC memperkecil risiko hepatitis imbas obat
walaupun masih perlu dievaluasi lebih lanjut faktor apakah penyebab kenaikan enzim
transaminase tersebut.
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
1. N-acetylcysteine berperan terhadap peningkatan kadar glutathione total
penderita TB paru terapi OAT.
2. N-acetylcysteine tidak berperan terhadap peningkatan kadar serum AST
penderita TB paru terapi OAT.
3. Pemberian NAC menurunkan kadar serum ALT penderita TB paru terapi
OAT.
B. SARAN
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai peran NAC dalam
mencegah hepatitis imbas obat antituberkulosis dengan jumlah sampel
pasien yang lebih banyak dan waktu follow up yang lebih lama agar
generalisasi hasil penelitian dapat lebih baik.
2. Penelitian sebaiknya dilakukan pada penderita yang memiliki risiko tinggi
hepatitis imbas obat seperti penderita dengan status asetilator lambat,
penyakit hati kronik dan sebagainya, sehingga dapat diketahui efektifitas
NAC dalam mencegah hepatitis imbas obat.
3. N-acetylcysteine dapat dipertimbangkan diberikan sebagai terapi tambahan
pada penderita TB paru terapi OAT untuk mencegah hepatotoksisitas.