Anda di halaman 1dari 124

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Resistensi kuman TB terhadap obat anti TB (OAT) mulai dikenal tidak lama
setelah OAT ditemukan dan dipakai secara rutin. Sebagai contoh Streptomisin
yang ditemukan dan digunakan untuk pengobatan tuberkulosis (TB) mulai tahun
1948, pada tahun 1950 sudah dilaporkan munculnya resistensi terhadap obat
tersebut. TB MDR mulai dikenal dan menjadi masalah seiring dengan
digunakannya rifampisin secara luas semenjak pada tahun 1970-an sebagai
OAT baru untuk melengkapi pemakaian INH.

Tingkatan resistensi ini dimulai dari Monoresisten, Poliresisten sampai dengan


Multi Drug Resisten (MDR), Ekstensif Drug Resisten (XDR) dan Total Drug
Resisten (Total DR). Penyebab utama terjadinya resistensi kuman terhadap OAT
adalah ulah manusia, yaitu disebabkan oleh penatalaksanaan pasien TB yang
tidak adekuat sehingga terjadi mutasi genetik pada kuman M.tuberculosis.

Bila penanganan pasien TB yang diberikan tidak adekuat, maka masalah


resistensi terutama TB MDR dan TB XDR akan berkembang menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang penting dan perlu segera ditanggulangi. Kejadian
atau insidensi resistensi terhadap OAT mulai dikenal sejak ditemukan dan
digunakan streptomisin pada 1944. Keadaan tersebut semakin meningkat
dengan ditemukan dan digunakannya OAT lain, seperti INH, ethambutol,
pirazinamid dan rifampisin.

TB resistensi obat anti TB (OAT) pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan
manusia, sebagai akibat dari pengobatan pasien TB yang tidak adekuat dan

1
penularan dari pasien kebal OAT. Pengobatan yang tidak adekuat biasanya
akibat dari satu atau lebih kondisi berikut ini:
 Pemberi jasa/petugas kesehatan, yaitu karena :
o Diagnosis tidak tepat.
o Pengobatan tidak menggunakan paduan yang tepat.
o Dosis, jenis, jumlah obat dan jangka waktu pengobatan tidak adekuat.
o Penyuluhan kepada pasien yang tidak adequat.
 Pasien, yaitu karena :
o Tidak mematuhi anjuran dokter/ petugas kesehatan.
o Tidak teratur menelan paduan OAT.
o Menghentikan pengobatan secara sepihak sebelum waktunya.
o Gangguan penyerapan obat
 Program Penanggulangan TB , yaitu karena :
o Persediaan OAT yang kurang serta distribusi yang tidak baik.
o Kualitas OAT yang disediakan rendah.

Penatalaksanaan TB MDR menggunakan prinsip yang sama dengan strategi


DOTS, namun karena proses dan kegiatannya lebih kompleks, maka saat
pertama kali program ini diperkenalkan disebut sebagai strategi DOTS Plus.
Perkataan Plus menggambarkan perbedaan dari DOTS khususnya dalam hal
diagnosis dan pengobatan. Saat ini DOTS Plus disebut sebagai Programmatic
Management of Drug-resistant TB (PMDT). Penanganan TB MDR dengan
tatalaksana yang tepat sangat penting untuk meningkatkan kemungkinan
kesembuhan, mencegah penyebaran kuman TB yang resisten, yang akan
menimbulkan pasien TB yang resisten OAT, terutama mereka dengan TB MDR.

Buku Petunjuk Teknis ini adalah panduan penanganan TB MDR di Fasilitas


Pelayanan Kesehatan (fasyankes) yang memberikan pelayanan penanganan
pasien TB MDR untuk menyembuhkannya. Petunjuk teknis ini meliputi
pengetahuan dan ketrampilan mengenai :
1. Persyaratan fasyankes untuk melayani dan menangani pasien TB MDR:

2
 Mengetahui persyaratan fasyankes yang boleh menangani TB MDR.
 Mengetahui kompetensi petugas kesehatan dalam menangani TB MDR.

2. Penata laksanaan pasien TB MDR:


a. Diagnosis TB MDR:
 Menemukan suspek TB MDR.
 Memahami dan menetapkan cara penegakan diagnosis pasien TB
MDR.
b. Pengobatan TB MDR:
 Mengobati sampai dengan menyembuhkan pasien TB MDR, serta
mencegah dan mengendalikan penularan.
 Mengetahui OAT yang digunakan, cara pemberian dan kemungkinan
efek samping pengobatan.
 Tatalaksana TB MDR pada kondisi khusus.
 Tatalaksana kasus TB MDR mangkir, default dan gagal
 Tatalaksana koinfeksi TB MDR dan HIV
 Penanganan efek samping OAT MDR.
3. Laboratorium Rujukan PMDT:
 Mengetahui proses pemeriksaan spesimen dahak untuk apusan secara
mikroskopis, biakan dan tes kepekaan, dengan cara konvensional
maupun cara cepat (Rapid Test).

Penatalaksanaan pasien TB MDR telah dimulai dengan suatu uji pendahuluan di


dua tempat yaitu kota Jakarta Timur dan kota Surabaya; untuk mendapatkan
model penanganan pasien TB MDR yang sesuai untuk kondisi di Indonesia,
sebagai langkah awal PMDT masuk sebagai bagian dari Program Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis.

Buku petunjuk teknis ini adalah panduan bagi petugas pelaksana program TB di
fasyankes yang akan melakukan kegiatan PMDT. Buku ini merupakan bagian
kedua dari 2 buku Petunjuk Teknis Pelaksanaan PMDT. Buku-1 membahas

3
aspek manajerial dan Buku-2 menjelaskan aspek klinis. Buku ini merupakan
salah satu penjabaran teknis dari Buku Pedoman Nasional Penanggulangan TB.

B. Tujuan

Penatalaksanaan atau pengobatan pasien TB MDR merupakan bagian dari


Program Nasional Penanggulangan TB, sehingga tujuan kegiatan PMDT juga
mengacu kepada tujuan umum penanggulangan TB.

Tujuan Umum
Menurunkan angka kesakitan dan kematian TB MDR, memutuskan rantai
penularan, serta mencegah terjadinya TB XDR.

Tujuan Khusus
1. Memberikan pelayanan yang standar kepada semua pasien TB MDR sesuai
asas akses universal dengan strategi penanganan secara menyeluruh dan
terpadu.
2. Tujuan pengobatan pasien TB MDR adalah untuk menyembuhkan pasien,
mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan
dan mencegah terjadinya TB XDR.

C. Strategi Pelayanan PMDT

Pelayanan pasien TB MDR tetap mengacu kepada strategi DOTS yaitu :


1. Komitmen Politik yang berkesinambungan
2. Strategi penemuan pasien TB MDR yang rasional melalui pemeriksaan
biakan dan uji kepekaan
3. Pengelolaan pasien TB MDR yang baik menggunakan strategi pengobatan
yang tepat dengan OAT TB MDR.
4. Jaminan ketersediaan OAT TB MDR berkualitas yang tidak terputus
5. Pencatatan dan pelaporan secara baku
4
Selain mengacu kepada lima strategi DOTS tersebut, dalam pelaksanaannya
kegiatan PMDT juga mempertimbangkan faktor aksesibilitas pasien terhadap
pelayanan TB MDR. Penatalaksanaan TB MDR meliputi upaya untuk proses
penemuan kasus yang sistematis, pengobatan yang berkualitas dan sesuai
standar, serta didukung oleh upaya-upaya untuk menjamin keberlangsungan
pengobatan melalui dukungan psikososial dan jejaring implementasi. Disamping
itu, juga dilakukan pengendalian infeksi di setiap fasyankes PMDT untuk
menjamin pemberian layanan yang berkualitas dan aman bagi pasien, petugas
kesehatan dan lingkungan sekitar.

Penegakan diagnosis TB MDR sangat tergantung pada tersedianya laboratorium


TB yang telah disertifikasi (quality assured) oleh laboratorium supra nasional
untuk pemeriksaan uji kepekaan M.tuberculosis. Mengingat bahwa saat ini di
Indonesia baru tersedia 5 laboratorium yang telah disertifikasi untuk pemeriksaan
uji kepekaan M.tuberculosis, maka sangat penting bahwa semua pasien
mendapatkan akses terhadap pemeriksaan uji kepekaan M.tuberculosis yang
baku dan bermutu.

Dalam hal pengobatan, setiap pasien TB MDR dipastikan dapat mengakses


pengobatan TB MDR yang baku dan bermutu. Jika pasien bertempat tinggal jauh
dari Pusat Rujukan PMDT maka harus dibangun sistem jejaring supaya pasien
TB MDR dipastikan mendapatkan pelayanan dan pengobatan TB MDR.

5
BAB II
PENEMUAN PASIEN TB MDR

Penemuan pasien TB MDR dimulai dengan penemuan suspek TB MDR


menggunakan alur penemuan baku. Semua kegiatan yang dilakukan dalam
kegiatan penemuan pasien TB MDR dalam PMDT harus dicatat dalam buku
bantu rujukan suspek TB MDR, formulir rujukan suspek TB MDR dan formulir
register suspek TB MDR (TB 06 MDR) sesuai dengan fungsi fasyankes dalam
PMDT.

A. Resistensi terhadap obat anti TB (OAT)

Resistensi M.tuberculosis terhadap OAT adalah bahwa kuman yang


bersangkutan sudah tidak dapat lagi dibunuh dengan OAT yang digunakan.

Terdapat 5 kategori resistensi terhadap obat anti TB, yaitu:


 Monoresisten: kekebalan terhadap salah satu OAT, misalnya resisten H
 Poliresisten: kekebalan terhadap lebih dari satu OAT, selain isoniazid
bersama rifampisin, misalnya resisten HE, RE, HES, RES.
 Multi drug resisten (MDR): resisten terhadap sekurang-kurangnya
isoniazid dan rifampisin secara bersamaan, dengan atau tanpa OAT lini
pertama yang lain, misalnya resisten HR, HRE, HRES.
 Ekstensif drug resisten (XDR):
- TB MDR

- disertai resistensi terhadap salah salah satu obat golongan


fluorokuinolon,
- dan salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin,
kanamisin, dan amikasin).
 Total drug resisten (Total DR).

6
Kekebalan terhadap semua OAT (lini pertama dan lini kedua) yang sudah
dipakai saat ini.

B. Suspek TB MDR

Suspek TB MDR adalah semua orang yang mempunyai gejala TB dengan salah
satu atau lebih kriteria suspek dibawah ini:
1. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang gagal (Kasus kronik)
2. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi
3. Pasien TB yang pernah diobati pengobatan TB Non DOTS
4. Pasien TB gagal pengobatan kategori 1
5. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi setelah pemberian
sisipan.
6. Pasien TB kambuh
7. Pasien TB yang kembali setelah lalai/default
8. Suspek TB yang kontak erat dengan pasien TB-MDR
9. Pasien koinfeksi TB dan HIV.

Definisi kasus TB tersebut di atas mengacu kepada Buku Pedoman Nasional


Penanggulangan TB:
 Kasus Kronik:
Yaitu pasien TB dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai
pengobatan ulang dengan paduan OAT kategori-2. Hal ini ditunjang dengan
rekam medis sebelumnya dan atau riwayat penyakit dahulu.
 Kasus Gagal Pengobatan:
- Yaitu pasien baru TB BTA Positif dengan pengobatan
kategori I yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
- Pasien baru TB BTA Negatif, foto toraks positif dengan
pengobatan kategori I, yang hasil pemeriksaan dahaknya menjadi positif
pada akhir tahap awal.

7
 Kasus Kambuh (relaps):
Yaitu pasien TB yang sebelumnya pernah mendapatkan pengobatan TB dan
telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali
dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis dan biakan positif.
 Pasien kembali setelah lalai berobat:
Pasien yang kembali berobat setelah lalai paling sedikit 2 bulan dengan
pengobatan kategori-1 atau kategori-2 serta hasil pemeriksaan dahak
menunjukkan BTA positif.

Pasien yang memenuhi salah satu kriteria suspek TB MDR harus dirujuk
secara sistematik ke pusat rujukan PMDT untuk kemudian dikirim ke
laboratorium rujukan PMDT untuk pemeriksaan apusan BTA, biakan dan uji
kepekaan M.tuberculosis, baik secara metode konvensional maupun metode
cepat (rapid test). Laboratorium rujukan dapat berada di dalam atau diluar
lingkungan fasyankes rujukan PMDT. Laboratorium rujukan uji kepekaan
M.tuberculosis dapat berada di luar wilayah kerja fasyankes pusat rujukan
PMDT, selama aksesibilitas pelayanan laboratorium dapat dipenuhi.

Gambar 1 : Alur Rujukan Suspek TB MDR dan Formulir yang Digunakan

Formulir yang Penanggung


digunakan Jawab

Suspek TB MDR dari Fasyankes


(9 kriteria suspek)
Dokter fasyankes
Formulir rujukan
yang
suspek TB MDR
bersangkutan
Rujukan suspek ke Unit PMDT
Fasyankes Rujukan PMDT.

8
Suspek TB MDR tiba di Unit Buku rujukan Petugas TB/
PMDT Fasyankes Rujukan suspek TB MDR fasyankes PMDT
PMDT. yang
bersangkutan.

9
BAB III

PENEGAKAN DIAGNOSIS

A. Strategi Diagnosis TB MDR.

Strategi diagnosis TB MDR adalah semua suspek TB MDR bisa mengakses


pemeriksaan laboratorium untuk uji kepekaan M.tuberculosis secara baku dan
bermutu.

Pemeriksaan laboratorium untuk uji kepekaan M.tuberculosis dilakukan dengan


metode standar yang tersedia di Indonesia:
1. Metode konvensional
Menggunakan media padat (Lowenstein Jensen/ LJ) atau media cair (MGIT).
2. Tes Cepat (Rapid Test).
Menggunakan cara Hain atau Gene Xpert.

Pemeriksaan uji kepekaan M.tuberculosis yang dilaksanakan adalah


pemeriksaan untuk obat lini pertama dan lini kedua.

B. Prosedur Dasar Diagnostik Untuk Suspek TB MDR

1. Pemeriksaan biakan dan uji kepekaan M.tuberculosis untuk OAT lini kedua
bersamaan dengan OAT lini pertama:
a. Kasus kronis, terutama untuk pasien dengan riwayat pengobatan gagal
kategori 2 berulang kali
b. Setiap pasien yang pernah menjalani pengobatan TB menggunakan OAT
lini kedua baik di fasyankes pemerintah maupun swasta
c. Pasien dengan gejala TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan
kasus TB XDR konfirmasi.

10
2. Pemeriksaan uji kepekaan M.tuberculosis untuk OAT lini kedua setelah
terbukti menderita TB MDR :
a. Pasien non konversi dengan pengobatan kategori 2
b. Pasien gagal pengobatan dengan pengobatan kategori 1
c. Pasien non konversi dengan pengobatan kategori 1 setelah mendapatkan
sisipan
d. Pasien kambuh, kategori 1 dan kategori 2
e. Pasien yang berobat kembali setelah default, kategori 1 dan kategori 2
f. Suspek TB yang memiliki kontak erat dengan pasien TB MDR konfirmasi
g. Pasien koinfeksi TB dan HIV.

3. Pemeriksaan uji kepekaan M.tuberculosis untuk OAT lini kedua atas indikasi
khusus :
a. Setiap pasien yang hasil biakan tetap positif pada atau setelah bulan ke
empat pengobatan menggunakan paduan obat standar yang digunakan
pada pengobatan TB MDR.
b. Pasien yang mengalami rekonversi biakan menjadi positif kembali setelah
pengobatan TB MDR bulan ke empat.

Sambil menunggu hasil uji kepekaan M.tuberculosis di laboratorium rujukan


PMDT, maka suspek TB MDR akan tetap meneruskan pengobatan sesuai
dengan pedoman penanggulangan TB Nasional di tempat asal rujukan, kecuali
pada kasus kronik, pengobatan sementara tidak diberikan. Suspek TB MDR
tersebut akan diberikan penyuluhan tentang pengendalian infeksi.

11
Gambar 2A : Alur Diagnosis Standar TB MDR
Penemuan kasus TB MDR seperti terlihat pada alur dibawah ini:

Suspek TB MDR

Dahak sewaktu (S) dan pagi hari (P)

Biakan M.tuberculosis

M.tuberculosis M.tuberculosis tak tumbuh

Bukan TB
Kriteria
Suspek TB MDR 1,2,3,4,5,6,7,8,9
DST FLD Semua FLD sensitif

Mono resisten Bukan TB MDR

Poli resisten

TB MDR

Kriteria
suspek TB MDR 1,3,6 DST SLD TB MDR dan Semua SLD sensitif TB MDR

TB MDR + resisten Oflx TB MDR dengan potensial TB XDR


atau Km

TB MDR + Resisten Oflx dan Km/ Am


TB XDR

12
Gambar 2B : Alur Diagnosis TB MDR Memanfaatkan Tes Cepat
Penemuan kasus TB MDR seperti terlihat pada alur dibawah ini:

Suspek TB MDR

Dahak sewaktu

Tes Cepat (GeneXpert)

Positif Sensitif R Positif Resisten R Negatif/ Bukan TB

Dahak sewaktu (S) dan pagi hari (P)

Biakan M.tuberculosis

M.tuberculosis M.tuberculosis tak tumbuh

Diulang
Kriteria
Suspek TB MDR 1,2,3,4,5,6,7,8,9
DST FLD Semua FLD sensitif

Mono resisten Bukan TB MDR

Poli resisten

TB MDR

Kriteria
suspek TB MDR 1,3,6 DST SLD TB MDR dan Semua SLD sensitif TB MDR

TB MDR + resisten Oflx TB MDR dengan potensial TB XDR


atau Km

TB MDR + Resisten Oflx dan Km/ Am


TB XDR

13
Gambar-3: Alur Penemuan TB MDR
Formulir yang Penanggung
digunakan Jawab

Suspek TB MDR diperiksa oleh


TAK di unit PMDT fasyankes Pusat Formulir Data Dasar Dokter fasyankes
Rujukan TB MDR Suspek TB MDR Pusat Rujukan
PMDT

Mengisi data dasar suspek TB MDR & TB 06 MDR Petugas fasyankes


Mengisi TB-06 MDR Pusat Rujukan
PMDT

Lembar Jawaban Dokter fasyankes


Mengembalikan lembar jawaban
Formulir Rujukan Pusat Rujukan
rujukan ke Fasyankes pengirim
Suspek TB MDR PMDT

Mengisi formulir TB-05 MDR

Dokter fasyankes
TB 05 MDR Pusat Rujukan
PMDT
Mengirim spesimen dahak / suspek ke
laboratorium rujukan TB MDR

Menunggu hasil pemeriksaan DST

Lembar Hasil
Pemeriksaan Laboratorium
Laboratorium Rujukan PMDT
Umpan balik hasil pemeriksaan TB 05 MDR
laboratorium diterima

Diganosis ditegakkan oleh TAK

14
C. Diagnosis TB MDR

 Diagnosis TB MDR dipastikan berdasarkan uji kepekaan M.tuberculosis, baik


secara metode konvensional dengan menggunakan media padat atau media
cair, maupun metode cepat (rapid test).
 Untuk keperluan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan M.tuberculosis,
suspek TB MDR diambil dahaknya dua kali, salah satu harus ‘dahak pagi
hari’.

D. Pemeriksaan laboratorium

Semua fasyankes yang terlibat dalam pelaksanaan PMDT merujuk semua


suspek TB MDR ke laboratorium rujukan PMDT dengan melalui fasyankes Pusat
Rujukan PMDT. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah :

1. Pemeriksaan mikroskopis:
Pemeriksaan mikroskopis kuman tahan asam (BTA) dengan pewarnaan
Ziehl Neelsen.
Pemeriksaan dahak secara mikroskopis dilaksanakan untuk:
a. Pemeriksaan pendahuluan pada suspek TB MDR, yang dilanjutkan
dengan biakan dan uji kepekaan M.tuberculosis.
b. Pemeriksaan dahak lanjutan (follow-up) dalam waktu-waktiu tertentu
selama masa pengobatan, diikuti dengan pemeriksaan biakan, untuk
memastikan bahwa M.tuberculosis sudah tidak ada lagi.

2. Biakan M. tuberculosis
Biakan M. tuberculosis dapat dilakukan pada media padat maupun media
cair. Masing-masing metode tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing. Biakan menggunakan media padat relatif lebih murah
dibanding media cair, tetapi memerlukan waktu yang lebih lama, yaitu 3-8

15
minggu. Sebaliknya bila menggunakan media cair hasil biakan sudah dapat
diketahui dalam waktu 1-2 minggu tetapi memerlukan biaya yang lebih mahal.

Kualitas proses biakan M. tuberculosis yang dilakukan di laboratorium sangat


menentukan. Proses yang tidak mengikuti prosedur tetap, termasuk
pembuatan media, pelaksanaan biakan, dapat mempengaruhi hasil biakan,
misalnya: proses dekontaminasi yang berlebihan atau tidak cukup, kualitas
media yang tidak baik, cara inokulasi kuman dan suhu inkubasi yang tidak
tepat. Kesalahan laboratorium seperti kesalahan pemberian identifikasi
(label) dan kontaminasi silang diantara spesimen dapat mengakibatkan hasil
positif palsu atau negatif palsu. Mengacu kepada semua tersebut diatas, hasil
pemeriksaan laboratorium harus selalu dikaitkan dengan kondisi klinis pasien;
bilamana perlu pemeriksaan laboratorium dapat diulang.

3. Uji kepekaan M. tuberculosis terhadap OAT:


Saat ini uji kepekaan terhadap M. Tuberculosis dapat dilakukan dengan cara
konvensional dan cara cepat. Cara konvensional Indoneisa telah mempunyai
5 laboratorium yang telah disertifikasi dan selalu mengikuti secara aktif PME
oleh laboratorium supra nasional Indonesia (IMVS Adelaide, Australia).

Ketepatan uji kepekaan M. Tuberculosis yang dilakukan dalam kondisi


optimum bergantung kepada jenis obat yang diuji. Untuk lini pertama,
ketepatan tertinggi untuk rifampisin (R) dan isoniazid (H) disusul untuk
streptomisin (S), dan etambutol (E). Sementara itu uji kepekaan M.
Tuberculosis untuk pirazinamid (Z) tidak dianjurkan karena tingkat
kepercayaan dan keterulangannya belum terjamin.

Untuk uji kepekaan M. Tuberculosis terhadap OAT lini kedua, aminoglikosida


dan fluorokuinolon mempunyai tingkat kepercayaan dan keterulangan baik.
Data tentang tingkat kepercayaan dan keterulangan untuk OAT lini kedua
yang lain masih sangat terbatas bahkan ada yang belum dapat dilakukan.

16
Sampai saat ini terdapat 5 laboratorium di Indonesia yang sudah tersertifikasi
untuk uji kepekaan terhadap OAT lini pertama untuk streptomycin, isoniazid,
rifampisin dan etambutol, serta lini kedua untuk ofloksasin dan kanamisin/
amikasin.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk uji kepekaan M.


Tuberculosis:
 Laboratorium yang melakukan diagnosis TB-MDR harus sudah
tersertifikasi (quality assured) oleh laboratorium supranasional atau oleh
laboratorium rujukan TB nasional (LRN). Kemahiran dalam melakukan uji
kepekaan M. Tuberculosis merupakan kombinasi antara kemahiran teknis
dan beban kerja. Kemahiran tersebut terpelihara jika jumlah spesimen
yang diperiksa memadai.
 Adanya jejaring laboratorium TB secara nasional dan juga dengan
labortaorium supra nasional. Tersedianya jejaring laboratorium TB ini
untuk menjamin kemudahan mendapatkan saran atau masukan tentang
rancang bangun laboratorium, alur dan proses pengerjaan dahak,
keamanan laboratorium, pemeliharaan alat dan pemantapan mutu
eksternal.
 Strategi pelayanan laboratorium untuk mendukung program pengendalian
TB-MDR harus sistematis dan mempertimbangkan berbagai keterbatasan
uji kepekaan terhadap berbagai OAT lini kedua.
 Uji kepekaan M. Tuberculosis harus difokuskan hanya terhadap obat yang
dipakai dalam P2TB dan pemeriksaannya sudah terpercaya.
 Uji kepekaan M. Tuberculosis rutin untuk OAT lini kedua dilaksanakan
secara selektif sesuai kebijakan PMDT.
 Pada saat ini uji kepekaan M. Tuberculosis rutin terhadap OAT kelompok
4 (etionamid, protionamid, sikloserin, terizidon, PAS) dan OAT kelompok 5
(clofazimin, linezolid, amoksilin-clavulanat, thiozetazon, clarithromisin,
imipenem) belum dianjurkan karena tingkat kepercayaan dan
keterulangannya belum terjamin.

17
Saat ini pemeriksaan uji kepekaan M.tuberculosis secara cepat (rapid test)
sudah direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai penapisan.
Metode yang tersedia adalah :
a. Line probe assay (LPA):
 Pemeriksaan molekuler yang didasarkan pada PCR
 Dikenal sebagai Hain test/ Genotype MDRTB plus
 Hasil pemeriksaan dapat diperoleh dalam waktu kurang lebih 24 jam.
 Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar dari M.
tuberculosis yang resisten terhadap rifampisin (R) ternyata juga resisten
terhadap isoniazid (H) sehingga tergolong TB-MDR.
b. Gene Xpert.
 Merupakan tes molekuler berbasis PCR.
 Merupakan tes amplifikasi asam nukleat secara automatis sebagai sarana
deteksi TB dan uji kepekaan untuk rifampisin.
 Hasil pemeriksaan dapat diketahui dalam waktu kurang lebih 1-2 jam.

Pemanfaatan hasil tes cepat untuk penetapan diagnosis dan pengobatan pasien
TB MDR disesuaikan dengan fasilitas yang ada, sesuai dengan apa yang
tercantum dalam buku Petunjuk Tehnis Aspek Klinis PMDT dan keputusan dari
TAK.

E. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien TB MDR.

1. Klasifikasi TB MDR (berdasarkan lokasi) :


a. Paru
Apabila kelainan ada di dalam parenkim paru.
b. Ekstra Paru
Apabila kelainan ada di luar parenkim paru.

Catatan : Bila dijumpai kelainan di Paru maupun di luar paru maka pasien di registrasi
sebagai pasien TB MDR dengan klasifikasi TB MDR Paru.

18
2. Pasien TB MDR diregistrasi sesuai dengan klasifikasi pasien berdasar
riwayat pengobatan sebelumnya, sebagai berikut :

Tabel 1 : Klasifikasi Pasien TB MDR berdasar riwayat pengobatan


sebelumnya
a. Pasien Baru: Pasien yang belum pernah mendapat pengobatan
dengan OAT atau pernah di obati menggunakan OAT
kurang dari 1 bulan
b. Pengobatan ulangan: Pasien yang mendapatkan pengobatan ulang karena :
 Kambuh (relaps)
 Pengobatan setelah putus berobat (defaulter)
 Kasus kronik/ gagal kategori 2
Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak masih
BTA positif setelah selesai pengobatan ulang
dengan kategori 2. Hal ini ditunjang dengan rekam
medis sebelumnya dan atau riwayat penyakit
dahulu.
 Kasus gagal pengobatan Kategori 1:
 Lain-lain:
Pasien yang tidak termasuk kedalam kriteria di
atas, sebagai contoh pasien yang diobati oleh
dokter praktek swasta atau sarana pengobatan
non DOTS yang tidak dapat dipastikan paduan
pengobatan maupun lamanya pengobatan.

19
BAB IV

PENGOBATAN TB MDR

A. Strategi Pengobatan Pasien TB MDR

Pada dasarnya strategi pengobatan pasien TB MDR mengacu kepada strategi


DOTS.
1. Semua pasien yang sudah terbukti sebagai TB MDR dipastikan dapat
mengakses pengobatan TB MDR yang baku dan bermutu.
2. Paduan OAT untuk pasien TB MDR adalah paduan standar yang
mengandung OAT lini kedua. Paduan OAT tersebut dapat disesuaikan bila
terjadi perubahan hasil uji kepekaan M. tuberculosis dengan paduan baru
yang ditetapkan oleh TAK.

Bila diagnosis TB MDR telah ditegakkan, sebelum pengobatan dimulai, akan


dlakukan persiapan awal, termasuk pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
penunjang bertujuan untuk mengetahui data awal berbagai fungsi organ (ginjal,
hati, jantung) dan elekrolit. Jenis pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah
sama dengan jenis pemeriksaan untuk pemantauan efek samping obat.

Persiapan sebelum pengobatan dimulai adalah:


1. Pemeriksaan fisik:
a. Anamnesa ulang untuk memastikan kemungkinan adanya riwayat dan
kecenderungan alergi obat tertentu, riwayat penyakit terdahulu seperti
sakit kuning (hepatitis), diabetes mellitus, gangguan ginjal, gangguan
kejiwaan, kejang, kesemutan sebagai gejala kelainan saraf tepi (neuropati
perifer). dll..
b. Pemeriksaan fisik diagnostik termasuk berat badan, fungsi penglihatan,
pendengaran, tanda-tanda kehamilan. Bila perlu dibandingkan dengan
pemeriksaan sebelumnya saat pasien berstatus sebagai suspek TB MDR.

20
2. Pemeriksaan kejiwaan.
Pastikan kondisi kejiwaan pasien sebelum pengobatan TB MDR dimulai, hal
ini berguna untuk menetapkan strategi konseling yang harus dilaksanakan
sebelum, selama dan setelah pengobatan pasien selesai.

3. Pemeriksaan penunjang :
a. Pemeriksaan dahak mikroskopis, biakan dan uji kepekaan M.tuberculosis.
b. Pemeriksaan darah tepi lengkap, termasuk kadar hemoglobin (Hb), jumlah
lekosit.
c. Pemeriksaan kimia darah:
 Faal ginjal: ureum, kreatinin
 Faal hati: SGOT, SGPT.
 Serum kalium
 Asam Urat
 Gula Darah
d. Pemeriksaan hormon bila diperlukan: Tiroid stimulating hormon (TSH)
e. Tes kehamilan.
f. Foto dada/ toraks.
g. Tes pendengaran ( pemeriksanaan audiometri)
h. Pemeriksaan EKG
i. Tes HIV (bila status HIV belum diketahui)

4. PMO untuk pasien TB MDR haruslah seorang petugas kesehatan terlatih.

B. Penetapan Pasien TB MDR Yang Akan Diobati.

Penetapan pasien TB MDR yang akan diobati dilaksanakan oleh Tim Ahli Klinis
di Fasyankes Rujukan PMDT.

21
Tabel 2 : Kriteria untuk penetapan pasien TB MDR yang akan diobati.
Kriteria Keterangan
1. Kasus TB MDR 1. Hasil Uji kepekaan oleh laboratorium yang
tersertifikasi menunjukkan TB MDR
2. Suspek TB MDR no. 1, 3, 6 dengan hasil
Rapid Test yang direkomendasikan program
terbukti TB MDR
3. Suspek TB MDR dengan kondisi klinis buruk
(di luar kriteria suspek TB MDR 1,3,6)
terbukti TB MDR berdasarkan hasil Rapid
Test yang direkomendasikan program
2. Penduduk dengan alamat Dinyatakan dengan KTP atau dokumen
yang jelas dan mempunyai pendukung lain dari otoritas setempat
akses serta bersedia untuk
datang setiap hari ke
fasyankes PMDT
3. Bersedia menjalani Pasien dan keluarga menandatangani informed
program pengobatan consent setelah mendapat penjelasan yang
TB-MDR dengan cukup dari TAK
menandatangani informed
consent
4. Berumur lebih dari 15 tahun Diketahui dari Kartu keluarga atau KTP

Tabel 3 : Pasien TB MDR dengan kondisi khusus


1. Penyakit penyerta yang Kondisi berat karena penyakit utama atas dasar
berat (ginjal, hati, epilepsi riwayat dan pemeriksaan lab
dan psikosis)
2. Kelainan fungsi hati Kenaikan SGOT/SGPT > 3 kali nilai normal
atau terbukti menderita penyakit hati kronis
3. Kelainan fungsi ginjal kadar kreatinin > 2.2 mg/dl
4. Ibu Hamil Wanita dalam keadaan hamil

22
Penetapan untuk mulai pengobatan pada pasien TB MDR dengan kondisi
khusus diputuskan oleh TAK. TAK dapat berkonsultasi dengan Tim PMDT
Nasional.

C. Pengobatan TB MDR

1. OAT untuk pengobatan TB MDR.


Pengobatan pasien TB MDR menggunakan paduan OAT yang terdiri dari OAT
lini pertama dan lini kedua, yang dibagi dalam 5 kelompok berdasar potensi
dan efikasinya, yaitu :

Tabel 4: Pengelompokan OAT


Golongan Jenis Obat
Golongan-1 Obat Lini Pertama  Isoniazid (H)  Pirazinamid (Z)
 Rifampisin (R)  Streptomisin (S)
 Etambutol (E)
Golongan-2 Obat suntik lini kedua  Kanamisin (Km)
 Amikasin (Am)
 Kapreomisin (Cm)
Golongan-3 Golongan  Levofloksasin (Lfx)
Floroquinolone  Moksifloksasin (Mfx)
 Ofloksasin (Ofx)
Golongan-4 Obat bakteriostatik lini  Etionamid (Eto)  Terizidon (Trd)
kedua  Protionamid (Pto)  Para amino
 Sikloserin (Cs) salisilat (PAS)
Golongan-5 Obat yang belum  Clofazimin (Cfz)  Clarithromisin
terbukti efikasinya dan  Linezolid (Lzd) (Clr)
tidak  Amoksilin/ Asam  Imipenem (Ipm).
direkomendasikan Klavulanat
oleh WHO (Amx/Clv)

3. Paduan obat TB MDR di Indonesia

23
Pilihan paduan OAT TB MDR saat ini adalah paduan terstandar, yang pada
permulaan pengobatan akan diberikan sama kepada semua pasien TB MDR
(standardized treatment). Adapun paduan yang akan diberikan adalah :

Km – Eto – Lfx – Cs – Z-(E) / Eto – Lfx – Cs – Z-(E)

a. Paduan ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB MDR


secara laboratoris.
b. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan
tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan
lama paling sedikit 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan.
Apabila hasil pemeriksaan biakan bulan ke-8 belum terjadi konversi maka
disebut gagal pengobatan. Tahap lanjutan adalah pemberian paduan OAT
tanpa suntikan setelah menyelesaikan tahap awal.
c. Etambutol tidak diberikan jika terbukti sudah resisten.
d. Paduan OAT akan disesuaikan paduan atau dosis pada:
 Pasien TB MDR yang diagnosis awal menggunakan Rapid Test,
setelah ada konfirmasi hasil uji resistensi M.tuberculosis dengan cara
konvensional, paduan OAT akan disesuaikan.
 Bila ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut di atas
sebelumnya sehingga dicurigai telah ada resistensi, misalnya : pasien
sudah pernah mendapat kuinolon pada pengobatan TB sebelumnya,
maka diberikan levofloksasin dosis tinggi. Apabila sudah terbukti
resisten terhadap levofloksasin maka paduan pengobatan ditambah
PAS dan levofloxacin diganti dengan moksifloksasin, hal tersebut
dilakukan dengan pertimbangan dan persetujuan dari tim ahli klinis
atau tim ad hoc.
 Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat yang sudah
dapat diidentifikasi sebagai penyebabnya.

24
 Terjadi perburukan keadaan klinis, sebelum maupun setelah konversi
biakan. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah kondisi umum, batuk,
produksi dahak, demam, penurunan berat badan.
e. Penentuan perpindahan ke tahap lanjutan ditentukan oleh tim ahli klinis.
f. Jika terbukti resisten terhadap kanamisin, maka paduan standar
disesuaikan sebagai berikut:

Cm – Lfx – Eto –Cs – Z – (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)

g. Jika terbukti resisten terhadap kuinolon, maka paduan standar


disesuaikan sebagai berikut:

Km – Mfx – Eto –Cs – PAS – Z – (E) / Mfx – Eto – Cs – PAS – Z – (E)

Jika moxifloksasin tidak tersedia maka dapat digunakan levofloksasin


dengan dosis tinggi. Dilakukan pemantauan ketat keadaan jantung dan
waspada terhadap kemungkinan tendinitis/ ruptur tendon bila
menggunakan levofloksasin dosis tinggi.
h. Jika terbukti resisten terhadap kanamisin dan kuinolon (TB XDR), atau
pasien TB-MDR/ HIV memerlukan penatalaksanaan khusus yang akan
dibahas dalam bab VII.

4. Pemberian obat

a. Pada fase awal : Obat per oral ditelan setiap hari (7 hari dalam 1 minggu),
Suntikan diberikan 5 (lima) hari dalam seminggu (senin – jumat)
b. Pada fase lanjutan : Obat per oral ditelan selama 6 (enam) hari dalam
seminggu (hari minggu pasien tidak minum obat)
c. Obat suntikan harus diberikan oleh petugas kesehatan.
d. Pemberian obat oral selama periode pengobatan tahap awal dan tahap
lanjutan menganut prinsip DOT = Directly Observed Treatment, dengan
PMO diutamakan adalah tenaga kesehatan atau kader kesehatan terlatih.

25
e. Piridoxin (vit. B6) ditambahkan pada pasien yang mendapat sikloserin,
dengan dosis 50 mg untuk setiap 250 mg sikloserin.
f. Berdasar sifat farmakokinetiknya pirazinamid, etambutol dan
fluoroquinolon diberikan sebagai dosis tunggal. Sedang etionamid,
sikloserin dan PAS dapat diberikan sebagai dosis terbagi untuk
mengurangi efek samping.

Catatan : Untuk mengurangi kejadian efek samping obat maka pada awal
pemberian OAT bisa dilakukan ramping/ incremental dose selama maksimal 2
minggu. Contoh skema ramping bisa dilihat dalam lampiran.

5. Dosis OAT

a. Dosis OAT ditetapkan oleh TAK dan diberikan berdasarkan berat badan
pasien. Penentuan dosis dapat dilihat tabel 5.
b. Obat TB MDR akan disediakan dalam bentuk paket (disiapkan oleh
petugas farmasi fasyankes Pusat Rujukan PMDT untuk 1 bulan mulai dari
awal sampai akhir pengobatan sesuai dosis yang telah dihitung oleh Tim
Ahli Klinis. Jika pasien diobati di fasyankes Pusat Rujukan PMDT maka
paket obat yang sudah disiapkan untuk 1 bulan tersebut akan di simpan di
Poli DOTS Plus fasyankes Pusat Rujukan PMDT.
c. Jika pasien meneruskan pengobatan di fasyankes sub rujukan/ satelit
PMDT maka paket obat akan diambil oleh petugas farmasi fasyankes sub
rujukan/ satelit PMDT dari unit farmasi fasyankes Pusat Rujukan PMDT
setiap 3 bulan sesuai ketentuan yang berlaku. Pasien tidak diijinkan untuk
menyimpan obat.
d. Perhitungan dosis OAT dapat dilihat pada tabel 5 dibawah ini.

26
Tabel 5: Perhitungan dosis OAT MDR
OAT Berat Badan (BB)
< 33 kg 33-50 kg 51-70 kg >70 kg
Pirazinamid 20-30 mg/kg/hari 750-1500 mg 1500-1750 mg 1750-2000 mg
Kanamisin 15-20 mg/kg/hari 500-750 mg 1000 mg 1000 mg
Etambutol 20-30 mg/kg/hari 800-1200 mg 1200-1600 mg 1600-2000 mg
Kapreomisin 15-20mg/kg/hari 500-750 mg 1000 mg 1000 mg
Levoflosasin 7,5-10 mg/kg/hari 750 mg 750 mg 750-1000 mg
Moksifloksasin 7,5-10 mg/kg/hari 400 mg 400 mg 400 mg
Sikloserin 15-20 mg/kg/hari 500 mg 750 mg 750-1000 mg
Etionamid 15-20 mg/kg/hari 500 mg 750 mg 750-1000 mg
PAS 150 mg/kg/hari 8g 8g 8g

6. Pengobatan ajuvan pada TB MDR

Pengobatan ajuvan akan diberikan bilamana dipandang perlu:


a. Nutrisi tambahan :
 Pengobatan TB MDR pada pasien dengan status gizi kurang,
keberhasilan pengobatannya cenderung meningkat jika diberikan
nutrisi tambahan berupa protein, vitamin dan mineral (vit A, Zn, Fe,
Ca, dll).
 Pemberian mineral tidak boleh bersamaan dengan fluorokuinolon
karena akan mengganggu absorbsi obat, pemberian masing – masing
obat dengan jarak paling sedikit 2 jam sebelum atau sesudah
pemberian fluorokuinolon.

b. Kortikosteroid.
 Kortikosteroid diberikan pada pasien TB MDR dengan gangguan
respirasi berat, gangguan susunan saraf pusat atau perikarditis.
Kortikosteroid yang digunakan adalah Prednison 1 mg/kg, apabila
digunakan dalam jangka waktu lama (5-6 minggu) maka dosis
diturunkan secara bertahap (tappering off). Kortikosteroid juga
digunakan pada pasien dengan penyakit obstruksi kronik eksaserbasi.
27
D. Tahapan Pengobatan TB MDR

a.Tahap awal
Tahap awal adalah tahap pengobatan dengan menggunakan obat suntikan
(kanamisin atau kapreomisin) yang diberikan sekurang-kurangnya selama 6
bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan.

1. Tahap rawat inap di Rumah Sakit


TAK menetapkan pasien perlu rawat inap atau tidak. Bila memang
diperlukan, rawat inap akan dilaksanakan maksimal 2 minggu dengan
tujuan untuk mengamati efek samping obat dan KIE yang intensif.Pada
pasien yang menjalani rawat inap, TAK menenentuan kelayakan rawat
jalan berdasarkan:
 Tidak ditemukan efek samping pengobatan atau efek samping yang
terjadi dapat ditangani dengan baik.
 Keadaan umum pasien cukup baik.
 Pasien sudah mengetahui cara minum obat dan jadwal suntikan
sesuai dengan pedoman pengobatan TB MDR.

Penentuan tempat pengobatan


Sebelum pasien memulai rawat jalan, TAK menetapkan fasyankes untuk
meneruskan pengobatan. Bila rawat jalan akan dilaksanakan di fasyankes
satelit/sub rujukan PMDT, TAK membuat surat pengantar ke fasyankes
tujuan.

Catatan:
Harus diusahakan desentralisasi pengobatan pasien TB MDR ke fasyankes
satelit, karena bila PMDT telah berjalan sebagai kegiatan rutin, fasyankes Pusat

28
Rujukan PMDT tidak akan dapat melayani pasien dengan optimal setiap hari
dalam jumlah banyak, karena keterbatasan tempat, waktu dan sumber daya.

2. Tahap rawat jalan


Selama tahap awal baik obat suntikan dan obat minum diberikan oleh
petugas kesehatan di hadapan PMO kepada pasien. Pada tahap rawat
jalan obat oral ditelan dihadapan petugas kesehatan/ kader kesehatan
yang berfungsi sebagai PMO.

a) Pasien mendapat obat oral setiap hari, 7 hari seminggu (Senin s/d
Minggu). Suntikan diberikan 5 hari dalam seminggu (Senin sd Jum’at).
Pasien menelan obat di hadapan petugas kesehatan/PMO.
b) Seminggu sekali pasien diupayakan bertemu dokter di fasyankes
untuk berkonsultasi dan pemeriksaan fisik.
c) Pasien yang diobati di Fasyankes satelit akan berkonsultasi dengan
dokter di fasilitas rujukan minimal sekali dalam sebulan (jadwal
kedatangan disesuaikan dengan jadwal pemeriksaan dahak atau
pemeriksaan laboratorium lain).
d) Dokter fasyankes satelit memastikan:
 Pasien dirujuk ke rumah sakit rujukan TB MDR untuk pemeriksaan
dahak follow up sekali setiap bulan. Tim PMDT fasyankes rujukan
akan mengirim sampel dahak ke laboratorium rujukan. Pasien
mungkin juga dirujuk ke laboratorium penunjang untuk
pemeriksaan rutin lain yang diperlukan.
 Upayakan agar spesimen dahak atau pemeriksaan lain diambil
diambil di poli TB MDR untuk lebih mempermudah pasien dan
mengurangi risiko penularan.
 Mencatat perjalanan penyakit pasien dan melaporkan kepada TAK
di pusat rujukan bila ada keadaan/kejadian khusus.
b.Tahap lanjutan

29
1. Tahap lanjutan adalah tahap pengobatan setelah selesai pengobatan
tahap awal dan pemberian suntikan dihentikan.
2. Konsultasi dengan dokter dilakukan minimal sekali setiap bulan.
3. Pasien yang berobat di fasyankes satelit akan mengunjungi fasyankes
Pusat Rujukan PMDT setiap 2 bulan untuk berkonsultasi dengan dokter
(sesuai dengan jadwal pemeriksaan dahak dan biakan).
4. Obat tetap disimpan fasyankes, pasien minum obat setiap hari dibawah
pengawasan petugas kesehatan yang bertindak sebagai PMO.
5. Indikasi perpanjangan pengobatan sampai dengan 24 bulan berdasar
adanya kasus kronik dengan kerusakan paru yang luas.

Lama pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan paling


sedikit 18 bulan setelah terjadi konversi biakan

E. Penanganan Efek Samping

Pemantauan terjadinya efek samping sangat penting pada pengobatan pasien


TB MDR, karena dalam paduan OAT MDR terdapat OAT lini kedua yang
memiliki efek samping yang lebih banyak dibandingkan dengan OAT lini
pertama.

Semua OAT yang digunakan untuk pengobatan pasien TB MDR mempunyai


kemungkinan untuk timbul efek samping baik ringan, sedang, maupun berat. Bila
muncul efek samping pengobatan, kemungkinan pasien akan menghentikan
pengobatan tanpa memberitahukan TAK/petugas fasyankes (default), sehingga
KIE mengenai gejala efek samping pengobatan harus dilakukan sebelum pasien
memulai pengobatan TB MDR. Selain itu penanganan efek samping yang baik
dan adekuat adalah kunci keberhasilan pengobatan TB MDR.

30
a. Pemantauan efek samping selama
pengobatan.
1. Deteksi dini efek samping selama pengobatan sangat penting, karena
semakin cepat ditemukan dan ditangani maka prognosis akan lebih baik,
untuk itu pemantauan efek samping pengobatan harus dilakukan setiap
hari.
2. Efek samping OAT berhubungan dengan dosis yang diberikan.
3. Gejala efek samping pengobatan harus diketahui petugas kesehatan
yang menangani pasien, dan juga oleh pasien dan keluarga.
4. Semua efek samping pengobatan yang dialami pasien harus tercatat
dalam formulir efek samping pengobatan.

b. Tempat penatalaksanaan efek


samping
1. Fasyankes pelaksana PMDT menjadi tempat penatalaksanaan efek
samping pengobatan, tergantung pada berat atau ringannya gejala.
2. Dokter fasyankes satelit PMDT akan menangani efek samping ringan
sampai sedang; serta melaporkannya ke fasyankes rujukan.
3. Pasien dengan efek samping berat dan pasien yang tidak
menunjukkan perbaikan setelah penanganan efek samping ringan atau
sedang harus segera dirujuk ke fasyankes pusat rujukan/ sub rujukan
PMDT.

31
c. Beberapa efek samping OAT MDR dan penatalaksanaannya

Tabel 6. Efek samping ringan dan sedang yang sering muncul.


No
Efek samping
Kemungkinan OAT Penyebab
Tindakan
1
Reaksi kulit alergi ringan
Z, E,Eto, PAS, Km, Cm
- Lanjutkan pengobatan OAT.

- Berikan Antihistamin p.o atau hidrokortison krim

- Minta pasien untuk kembali bila gejala tidak hilang atau menjadi bertambah berat

Reaksi kulit alergi sedang dengan/ tanpa demam


Z, E,Eto, PAS, Km, Cm
- Hentikan semua OAT dan segera rujuk ke fasyankes rujukan.

- Jika pasien dengan demam berikan parasetamol (0.5 – 1 g, tiap 4-6 jam).

- Berikan kortikosteroid suntikan yang tersedia misalnya hidrokortison 100 mg i/m atau deksametason 10 mg iv, dan dilanjutkan
dengan preparat oral prednison atau deksametason sesuai indikasi.
2

32
Neuropati perifer
Cs, Km, Eto, Lfx
- Pengobatan TB MDR tetap dilanjutkan.

- Tingkatkan dosis piridoksin sampai dengan 200 mg perhari.

- Rujuklah ke ahli neurologi bila terjadi gejala neuropati berat (nyeri, sulit berjalan), hentikan semua pengobatan selama 1-2 minggu.

- Dapat diobati dulu dengan amitriptilin dosis rendah pada malam hari dan OAINS. Bila gejala neuropati mereda atau hilang OAT
dapat dimulai kembali dengan dosis uji.
No
Efek samping
Kemungkinan OAT Penyebab
Tindakan

Neuropati perifer
(lanjutan)
Cs, Km, Eto, Lfx
(lanjutan)
- Bila gejalanya berat dan tidak membaik bisa dipertimbangkan penghentian sikloserin dan mengganti dengan PAS.

- Hindari pemakaian alkohol dan rokok karena akan memperberat gejala neuropati.

3
Mual muntah ringan

33
Eto, PAS, Z, E, Lfx.
- Pengobatan tetap dilanjutkan.

- Pantau pasien untuk mengetahui berat ringannyanya keluhan.

- Singkirkan sebab lain seperti gangguan hati, diare karena infeksi, pemakaian alkohol atau merokok atau obat-obatan lainnya.

- Berikan domperidon 10 mg 30 menit sebelum minum OAT.

- Untuk rehidrasi, berikan infus cairan IV jika perlu.

- JIka berat, rujuk ke Pusat Rujukan PMDT

Mual muntah berat


Eto, PAS, Z, E, Lfx.
- Rawat inap untuk penilaian lanjutan jika gejala berat

- Jika mual dan muntah tidak dapat diatasi hentikan ethionamide sampai gejala berkurang atau menghilang kemudian dapat ditelan
kembali.
- Jika gejala timbul kembali setelah ethionamide kembali ditelan, hentikan semua pengobatan selama 1 minggu dan mulai kembali
pengobatan seperti dijadwalkan untuk memulai OAT TB MDR dengan dosis uji yaitu dosis terbagi
- Jika muntah terus menerus beberapa hari, lakukan pemeriksaan fungsi hati,

No
Efek samping
Kemungkinan OAT Penyebab
Tindakan

34
Mual muntah berat
(lanjutan)
Eto, PAS, Z, E, Lfx.
(lanjutan)
kadar Kalium dan kadar kreatinin.
- Berikan suplemen Kalium jika kadar kalium rendah atau muntah berlanjut beberapa hari.

- Bila muntah terjadi bukan diawal terapi, muntah dapat merupakan tanda kekurangan kalium pada pasien yang mendapat suntikan
kanamisin.
4
Anoreksia
Z, Eto, Lfx
- Perbaikan gizi melalui pemberian nutrisi tambahan

- Konsultasi kejiwaan untuk menghilangkan dampak psikis dan depresi

- KIE mengenai pengaturan diet, aktifitas fisik dan istirahat cukup

5
Diare
PAS
- Rehidrasi oral sampai dengan rehidrasi intravena bila muncul tanda dehidrasi berat.

- Penggantian elektrolit bila perlu

35
- Pemberian Loperamide, Norit

- Pengaturan diet, menghindari makanan yang bisa memicu diare.

- Pengurangan dosis PAS selama masih memenuhi dosis terapi

6
Nyeri kepala
Eto, Cs
- Pemberian analgesik bila perlu (aspirin, parasetamol, ibuprofen).
- Hindari OAINS pada pasien dengan gastritis berat dan hemoptysis.
- Tingkatkan pemberian Piridoksin menjadi 300 mg bila pasien mendapat Cs.
- Bila tidak berkurang maka pertimbangkan konsultasi ke ahli jiwa untuk mengurangi faktor emosi yang mungkin berpengaruh.
- Pemberian paduan Parasetamol dengan Kodein atau Amitriptilin bila nyeri kepala menetap.
7
Vertigo
Km, Cm, Eto
- Pemberian antihistamin-anti vertigo : Betahistin metsilat

- Konsultasi dengan ahli neurologi bila keluhan semakin berat

- Pemberian OAT suntik 1 jam setelah OAT oral dan memberikan Etionamid dalam dosis terbagi bila memungkinkan.

8
Artralgia
Z, Lfx
- Pengobatan TB MDR dapat dilanjutkan.

36
- Pengobatan dengan OAINS akan membantu demikian juga latihan/ fisioterapi dan pemijatan.

- Lakukan pemeriksaan asam urat, bila kadar asam urat tinggi berikan Alupurinol.

- Gejala dapat berkurang dengan perjalanan waktu meskipun tanpa penanganan khusus.

- Bila gejala tidak hilang dan mengganggu rujuk ke Pusat Rujukan PMDT untuk mendapatkan rekomendasi penanganan oleh TAK
bersama ahli rematologi atau ahli penyakit dalam. Salah satu kemungkinan adalah pirazinamid perlu diganti.
9
Gangguan Tidur
Lfx, Moxi
- Berikan OAT golongan kuinolon pada pagi hari atau jauh dari waktu tidur pasien

- Lakukan konseling mengenai pola tidur yang baik

- Pemberian Diazepam

10
Gangguan elektrolit ringan : Hipokalemi
Km, Cm
- Gejala hipokalemi dapat berupa kelelahan, nyeri otot, kejang, baal/numbness, kelemahan tungkai bawah, perubahan perilaku atau
bingung
- Hipokalemia (kadar < 3.5 meq/L) dapat disebabkan oleh:
 Efek langsung aminoglikosida pada tubulus ginjal (Kanamisin).
 Muntah dan diare.
- Obati bila ada muntah dan diare.

37
- Berikan tambahan Kalium peroral sesuai keterangan tabel.

- Jika kadar kalium kurang dari 2.3 meq/l pasien mungkin memerlukan infus IV penggantian dan harus di rujuk untuk dirawat inap
di Pusat Rujukan PMDT.
- Hentikan pemberian kanamisin selama beberapa hari jika kadar Kalium kurang dari 2.3 meq/L, laporkan kepada TAK ad hoc.

- Berikan infus cairan KCL: paling banyak 10 mmols/jam Hati-hati pemberian bersamaan dengan levofloxacin karena dapat saling
mempengaruhi.
11
Depresi
Cs, Lfx, Eto
- Lakukan konseling kelompok atau perorangan. Penyakit kronik dapat merupakan fakor risiko depresi.

- Rujuk ke Pusat Rujukan PMDT jika gejala menjadi berat dan tidak dapat diatasi di fasyankes satelit/Sub Rujukan PMDT.

- TAK bersama dokter ahli jiwa akan menganalisa lebih lanjut dan bila diperlukan akan mulai pengobatan anti depresi.

- Pilihan Anti depresan yang dianjurkan adalah Amitriptilin atau golongan SSRI (Sentraline/ Fluoxetine)

- Selain penanganan depresi, TAK akan merevisi susunan paduan OAT yang digunakan atau menyesuaikan dosis paduan OAT.

- Gejala depresi dapat berfluktuasi selama pengobatan dan dapat membaik dengan berhasilnya pengobatan.

- Riwayat depresi sebelumnya bukan merupakan kontra indikasi bagi penggunaan obat tetapi berisiko terjadinya depresi selama
pengobatan.

12
Perubahan perilaku

38
Cs
- Sama dengan penanganan Depresi.

- Pilihan obat adalah Haloperidol


Pemberian 50mg B6 setiap 250mg Cs

13
Gastritis

PAS, Eto
- Pemberian PPI (Omeprazol)

- Antasida golongan Mg(OH)2

- H2 antagonis (Ranitidin)
14
Nyeri di tempat suntikan
Km, Cm
- Suntikan diberikan di tempat yang bergantian

- Pengenceran obat dan cara penyuntikan yang benar

- Berikan kompres dingin pada tempat suntikan


15
Metalic taste

39
Eto
Pemberian KIE bahwa efek samping tidak berbahaya

Tabel 7. Efek samping berat.


No
Efek samping
Kemungkinan OAT Penyebab
Tindakan
1

Kelainan fungsi hati


Z,Eto,PAS,E,Lfx

- Hentikan semua OAT, rujuk segera pasien ke Pusat Rujukan PMDT

- Pasien dirawat inapkan untuk penilaian lanjutan jika gejala menjadi lebih berat.

- Periksa serum darah untuk kadar enzim hati.

- Singkirkan kemungkinan penyebab lain, selain hepatitis. Lakukan anamnesis ulang tentang riwayat hepatitis sebelumnya.

40
TAK akan mempertimbangkan untuk menghentikan obat yang paling mungkin menjadi penyebab. Mulai kembali dengan obat
lainnya, apabila dimulai dengan OAT yang bersifat hepatotoksik, pantau fungsi hati.

2
Kelainan fungsi ginjal
Km, Cm
- Pasien berisiko tinggi yaitu pasien dengan diabetes melitus atau riwayat gangguan ginjal harus dipantau gejala dan tanda
gangguan ginjal : edema, penurunan produksi urin, malaise, sesak nafas dan renjatan.
- Rujuk ke Pusat Rujukan PMDT bila ditemukan gejala yang mengarah ke gangguan ginjal.

- TAK bersama ahli nefrologi atau ahli penyakit dalam akan menetapkan penatalaksanaannya..

- Jika terdapat gangguan ringan (kadar kreatinin 1.5-2.2 mg/dl), hentikan kanamisin sampai kadar kreatinin menurun. TAK dengan
rekomendasi ahli

No
Efek samping
Kemungkinan OAT Penyebab
Tindakan

Kelainan fungsi ginjal


(lanjutan)
Km, Cm
(lanjutan)

41
nefrologi akan menetapkan kapan suntikan akan kembali diberikan.
- Untuk kasus sedang dan berat (kadar kreatinin > 2.2 mg/dl), hentikan semua obat dan lakukan perhitungan GFR.

- Jika GFR atau klirens kreatinin (creatinin clearance) < 30 ml/menit atau pasien mendapat hemodialisa maka lakukan penyesuaian
dosis OAT sesuai tabel penyesuaian dosis.
- Bila setelah penyesuaian dosis kadar kreatinin tetap tinggi maka hentikan pemberian Kanamisin, pemberian Kapreomisin mungkin
membantu
3
Perdarahan lambung

PAS, Eto, Z
- Hentikan perdarahan lambung

- Hentikan pemberian OAT sampai 7 hari setelah perdarahan lambung terkendali

- Dapat dipertimbangkan untuk mengganti OAT penyebab dengan OAT lain selama standar pengobatan TB MDR dapat terpenuhi
5
Gangguan Elektrolit berat (Bartter like syndrome)
Cm, Km
- Merupakan gangguan elektrolit berat yang ditandai dengan hipokalemia, hipokalsemia dan hipomagnesemia secara bersamaan
dan mendadak.

42
- Disebabkan oleh gangguan fungsi ginjal akibat pengaruh nefrotoksik OAT suntikan.

- Lakukan penggantian elektrolit sesuai pedoman

- Berikan Amilorid atau spironolakton untuk mengurangi sekresi elektrolit.


6
Gangguan pendengaran
Km, Cm
- Periksa data baseline untuk memastikan bahwa gangguan pendengaran disebabkan oleh OAT atau sebagai pemburukan
gangguan pendengaran yang sudah ada sebelumnya.
- Rujuk pasien segera ke fasyankes rujukan untuk diperiksa penyebabnya dan di konsulkan kepada TAK

- Apabila penanganannya terlambat,gangguan pendengaran sampai dengan tuli dapat menetap.

- Evaluasi kehilangan pendengaran dan singkirkan sebab lain seperti infeksi telinga, sumbatan dalam telinga, trauma, dll.

- Periksa kembali pasien setiap minggu atau jika pendengaran semakin buruk selama beberapa minggu berikutnya hentikan
kanamisin.
7
Gangguan penglihatan
E
- Gangguan penglihatan berupa kesulitan membedakan warna merah dan hijau.Meskipun gejala ringan etambutol harus dihentikan
segera. Obat lain diteruskan sambil dirujuk ke fasyankes rujukan.
- TAK akan meminta rekomendasi kepada ahli mata jika gejala tetap terjadi
meskipun etambutol sudah dihentikan.

43
- Aminoglikosida juga dapat menyebabkan gangguan penglihatan yang reversibel: silau pada cahaya yang terang dan kesulitan
melihat.

8
Gangguan psikotik (Suicidal tendency)
Cs
Fasyankes satelit/sub rujukan PMDT :
- Jangan membiarkan pasien sendirian, apabila akan dirujuk ke fasyankes rujukan harus didampingi.

No
Efek samping
Kemungkinan OAT Penyebab
Tindakan

Gangguan psikotik (Suicidal tendency)


(lanjutan)
Cs
- Hentikan sementara OAT yang dicurigai sebagai penyebab gejala psikotik, sebelum pasien dirujuk ke fasyankes Pusat Rujukan
PMDT. Berikan haloperidol 5 mg p.o
Fasyankes Pusat Rujukan PMDT :
- Pasien harus ditangani oleh TAK melibatkan seorang dokter ahli jiwa, bila ada keinginan untuk bunuh diri atau membunuh,
hentikan sikloserin selama 1-4 minggu sampai gejala terkendali dengan obat-obat anti-psikotik.

44
- Berikan pengobatan anti-psikotik dan konseling.

- Bila gejala psikotik telah mereda, mulai kembali sikloserin dalam dosis uji.

- Berikan Piridoksin sampai 200 mg/ hari


Bila kondisi teratasi lanjutkan pengobatan TB MDR bersamaan dengan obat anti-psikotik.
9
Kejang

Cs, Lfx

- Hentikan sementara pemberian OAT yang dicurigai sebagai penyebab kejang.

- Berikan obat anti kejang, misalnya fenitoin 3-5 mg/ hari/kg BB, atau berikan diazepam intravena 10 mg (bolus perlahan) serta bila
perlu naikkan dosis vitamin B 6 s/d 200 mg/ hari. Setelah stabil segera rujuk ke fasyankes Pusat Rujukan PMDT
- Penanganan pasien dengan kejang harus dibawah pengamatan dan

No
Efek samping
Kemungkinan OAT Penyebab
Tindakan

Kejang

45
(lanjutan)

Cs, Lfx

penilaian TAK di fasyankes Pusat Rujukan PMDT.


- Upayakan untuk mencari tahu riwayat atau kemungkinan penyebab kejang lainnya (meningitis, ensefalitis, pemakaian obat,
alkohol atau trauma kepala).
- Apabila kejang terjadi pertama kali maka lanjutkan pengobatan TB MDR tanpa pemberian sikloserin selama 1-2 minggu. Setelah
itu sikloserin dapat dberikan kembali dengan dosis uji (lihat tabel).
- Piridoksin (vit B-6) dapat diberikan sampai dengan 200 mg per hari.

- Berikan profilaksis kejang yaitu fenitoin 3-5 mg/kg/hari. Jika menggunakan fenitoin dan pirazinamid bersama-sama, pantau fungsi
hati Hentikan pirazinamid jika hasil faal hati abnormal.
- Pengobatan profilaksis kejang dapat dilanjutkan sampai pengobatan TB MDR selesai atau lengkap.

10
Tendinitis
Lfx dosis tinggi

- Singkirkan penyebab lain seperti Gout, arthritis rematoid, scleroderma sistemik dan trauma.

- Untuk meringankan gejala maka istirahatkan daerah yang terkena, berikan termoterapi panas/ dingin dan berikan OAINS (aspirin,
Ibuprofen)

46
- Suntikan kortikosteroid pada daerah yang meradang akan membantu.

- Bila sampai terjadi ruptur tendo maka dilakukan tindakan pembedahan.

No
Efek samping
Kemungkinan OAT Penyebab
Tindakan
11
Syok Anafilaktik
Km, Cm

- Segera rujuk pasien ke fasyankes Pusat Rujukan PMDT.

- Berikan pengobatan segera seperti tersebut dibawah ini, sambil dirujuk ke fasyankes Pusat Rujukan PMDT:
1. Adrenalin 0.2-0.5 ml, 1:1000 S/C, ulangi jika perlu.
2. Pasang Infus cairan IV untuk jika perlu.
3. Beri kortikosteroid yang tersedia misalnya hidrokortison 100 mg i/m atau deksametason 10 mg iv, ulangi jika perlu.
12
Reaksi alergi toksik menyeluruh dan SJS
Semua OAT yang digunakan

- Berikan segera pengobatan seperti dibawah ini, sambil dirujuk ke fasyankes Pusat Rujukan PMDT, segera:
1. Berikan CTM untuk gatal-gatal
2. Berikan parasetamol bila demam.

47
3. Berikan prednisolon 60 mg per hari, atau suntikan deksametason 4 mg 3 kali sehari jika tidak ada prednisolon
Ranitidin 150 mg 2x sehari atau 300 mg pada malam hari

- Di fasyankes Pusat Rujukan PMDT :


1. Berikan antibiotik jika ada tanda-tanda infeksi kulit.
2. Lanjutkan semua pengobatan alergi sampai ada perbaikan, tappering off kortikosteroid jika digunakan sampai 2 minggu.
3. Pengobatan jangan terlalu cepat dimulai kembali. Tunggu sampai perbaikan klinis. TAK merancang paduan pengobatan
selanjutnya tanpa mengikut sertakan OAT yang diduga sebagai penyebab.
- Pengobatan dimulai secara bertahap dengan dosis terbagi, terutama bila dicurigai efek samping terkait dengan dosis obat. Dosis
total perhari tidak boleh dikurangi (harus sesuai berat badan) kecuali bila ada data bioavaibilitas obat (terapeutic drug monitoring).
Dosis yang digunakan disebut dosis uji (tabel 3) yang diberikan selama 15 hari.

13
Hipotiroid
PAS, Eto
- Gejala dan tandanya adalah kulit kering, kelelahan, kelemahan dan tidak tahan terhadap dingin.

- Penatalaksanaan dilakukan di fasyankes rujukan oleh TAK bersama seorang ahli endokrinologi atau ahli penyakit
dalam.
- Diagnosis hipotiroid ditegakkan berdasar peningkatan kadar TSH (kadar normal < 10 mU/l).

- Ahli endokrin memberikan rekomendasi pengobatan dengan levotiroksin/ Natiroksin serta evaluasinya.

48
49
Tabel 8 : Dosis uji dosis untuk memulai kembali pengobatan OAT MDR
Hari pertama (beri obat
Hari ke Hari ke
Hari Nama obat dlm dosis terpisah pagi
dua tiga
& sore)
Hari ke 1-3 Sikloserin 250 mg 500mg Dosis
(125 mg + 125 mg) penuh
Hari ke 4-6 Levofloxacin 200 mg 400 mg Dosis
e (100 mg + 100 mg) penuh
Hari ke 7-9 Kanamisin 250 mg 500 mg Dosis
(125 mg + 125 mg) penuh
Hari ke 10- Ethionamide 250 mg 500 mg Dosis
12 (125 mg + 125 mg) penuh
Hari ke 13- Pirazinamid 400 mg 800 mg Dosis
15 (200 mg + 200 mg) penuh

Tabel 9 : Perubahan dan penyesuaian dosis OAT pada gangguan ginjal


Perubahan Perubahan Dosis yang dianjurkan dan
Obat
frekuensi? dosis? frekuensi
Z Ya Ya 25-35 mg/kg/dosis, 3 x/minggu
E Ya Tidak 15-25 mg/kg/dosis, 3 x/minggu
Lfx Ya Tidak 750-1000 mg per dosis tiga kali per
minggu
Cs Ya Ya 250 mg sekali sehari, atau 500
mg/dosis 3 x/minggu
Eto Tidak Ya 250 – 500 mg/dosis harian
Km Ya Ya 12 – 15 mg/kg/dosis, 2 -3 x/minggu
PAS Tidak 2 x 4 gr sehari

Tabel 10 : Kadar kalium dan penggantiannya


Kadar Kalium Jumlah KCL Waktu untuk
Banyaknya KCL
(meq/L) (meq/) pemeriksaan
> 4.0 Tidak Tidak 1 bulan (ketika
masih mendapat

50
Kanamisin)
3.7 – 4.0 Tidak Tidak 1 bulan (ketika
masih mendapat
kanamisin)
3.4 – 3.6 20- 40 40 mmol 1 bulan (ketika
masih mendapat
kanamisin)
3.0 – 3.3 60 60 mmol 2 mingguan
2.7 – 2.9 80 60 mmol + 400 mg/hari 1 mingguan
selama 3 minggu
2.4 – 2.6 80 – 120 80 mmol + 400 mg/hari Teliti selang 1 – 6
selama 3 minggu hari
2.0 – 2.3 60 meq IV + 80 mmol + 400 mg/hari Pertimbangkan
80 meq PO selama 3 minggu rawat inap setelah
< 2.0 60 meq IV + 100 mmol + 400
pemantauan 24 jam
80 meq PO mg/hari selama 3
dengan infus
minggu

Catatan : Untuk menambah dan memperjelas penatalaksanaan efek samping OAT MDR
silahkan dilihat pada lampiran juknis ini

F. Pengobatan TB MDR Pada Keadaan Khusus

1. Pengobatan TB MDR pada perempuan usia subur


a. Semua pasien TB MDR usia subur yang akan mendapat pengobatan
dengan OAT MDR, harus melakukan tes kehamilan terlebih dahulu.
b. Bila ternyata pasien tersebut tidak hamil, pasien dianjurkan memakai
kontrasepsi fisik selama masa pengobatan untuk mencegah kehamilan.

2. Pengobatan TB MDR pada perempuan hamil


a. Kehamilan bukan kontraindikasi untuk pengobatan TB MDR tetapi
sampai saat ini keamanan OAT lini kedua bagi ibu hamil belum diketahui.
b. Bila pasien hamil pada tahap awal maka suntikan dihentikan
sedangkan obat oral dilanjutkan, dilakukan inform consent ulang bahwa

51
obat yang diberikan sekarang potensinya berkurang dan meningkatkan
rasa tidak nyaman pasien.
c. Bila pada pasien adalah perempuan hamil hamil terjadi morning
sickness maka diupayakan pemberian obat pada siang hari.

3. Pengobatan TB MDR pada perempuan menyusui


a. Perempuan yang sedang menyusui tetap mendapat pengobatan TB
MDR penuh.
b. Sebagian besar OAT akan ditemukan kadarnya dalam ASI dengan
konsentrasi kecil, sehingga pasien TB MDR adalah perempuan yang
sedang dalam masa menyusui tetap dianjurkan untuk memberikan ASI
kepada bayinya.
c. Jika pasien tersebut masih BTA positif, upayakan pencegahan dan
pengendalian infeksi dengan memisahkan bayinya untuk sementara waktu
sampai BTA nya menjadi negatif atau ibu menggunakan masker N-95
selama berdekatan dengan bayinya.

4. Pengobatan TB MDR pada pasien yang sedang memakai kontrasepsi


hormon
a. Kontraindikasi penggunaan kontrasepsi oral hanya pada paduan yang
mengandung rifampisin.
b. Disarankan untuk minum OAT tidak bersamaan waktunya dengan
kontrasepsi oral.
5. Pengobatan pasien TB MDR dengan diabetes mellitus
a. Diabetes mellitus dapat memperkuat efek samping OAT, terutama
gangguan ginjal dan neuropati perifer.
b. OAD tidak merupakan kontraindikasi selama masa pengobatan TB
MDR, tetapi biasanya memerlukan dosis OAD yang lebih tinggi, sehingga
perlu penanganan khusus. Apabila pasien minum etionamid maka kadar
insulin darah lebih sulit dikontrol, untuk itu perlu konsultasi dengan ahli
penyakit dalam.

52
c. Kadar Kalium darah dan serum kreatinin harus dipantau setiap minggu
selama bulan pertama dan selanjutnya minimal sekali dalam 1 (satu)
bulan selama tahap awal.

6. Pengobatan pasien TB MDR dengan gangguan ginjal


a. Pemberian OAT TB MDR pada pasien dengan gangguan ginjal harus
dilakukan dengan hati – hati, sebaiknya pirazinamid dan etambutol tidak
diberikan.
b. Kadar Kalium dan kreatinin harus dipantau, setiap minggu selama
bulan pertama dan selanjutnya minimal sekali sebulan selama tahap awal.
c. Bila terjadi gangguan ginjal, pemberian obat, dosis dan atau interval
antar dosis harus disesuaikan dengan tabel.

7. Pengobatan pasien TB MDR dengan gangguan hati


a. OAT lini kedua kurang toksik terhadap hati dibanding OAT lini pertama.
b. Pasien TB MDR dengan riwayat penyakit hati dapat diberikan
pengobatan TB MDR (kecuali pada penyakit hati kronis).
c. Reaksi hepatotoksik lebih sering terjadi pada pasien dengan riwayat
gangguan hati sehingga harus lebih diawasi.
d. Pirazinamid tidak boleh diberikan kepada pasien dengan penyakit hati
kronis.
e. Pemantauan kadar enzim hati secara ketat dianjurkan dan jika kadar
enzim meningkat, OAT harus dihentikan dan dilaporkan kepada TAK.
f. Untuk mengobati pasien TB MDR selama terjadinya hepatitis akut,
kombinasi empat OAT yang non hepatotoksik merupakan pilihan yang
paling aman.

8. Pengobatan pasien TB MDR dengan kejang.


a. Anamnesis ulang apakah ada riwayat kejang sebelumnya.
b. Pastikan kejang bisa dikendalikan.

53
c. Jika kejang tidak terkendali, konsul dengan ahli syaraf sebelum mulai
pengobatan dan selama pengobatan.
d. Pasien dengan gangguan kejang yang aktif dan tidak terkontrol
dengan pengobatan kejang, penggunaan sikloserin harus dihindari.

9. Pengobatan pasien TB MDR dengan gangguan jiwa


a. Pasien dengan riwayat gangguan jiwa harus dievaluasi kondisi
kesehatan jiwanya sebelum memulai pengobatan.
b. Keadaan yang memacu timbulnya depresi dan kecemasan pada
pengobatan TB MDR sering berkaitan dengan penyakit kronis yang
diderita pasien dan keadaan sosio-ekonomi pasien yang kurang baik.
c. Pada pasien dengan gangguan psikiatris, diperlukan pemantauan
ketat jika diberi sikloserin.
d. Dalam mengobati pasien TB MDR dengan gangguan jiwa, harus
melibatkan ahli jiwa.

54
BAB V

PEMANTAUAN KEMAJUAN PENGOBATAN

Pengobatan pasien TB MDR dimulai bila sudah terkonfirmasi TB MDR berdasarkan


hasil uji kepekaan M.tuberculosis. Selama menjalani pengobatan, pasien harus
dipantau secara ketat untuk menilai respons pengobatan dan identifikasi efek
samping sejak dini. Gejala TB pada umumnya (batuk, berdahak, demam dan BB
menurun) pada umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama pengobatan.
Konversi dahak dan biakan merupakan indikator respons pengobatan. Pemeriksaan
dahak dan biakan dilakukan setiap bulan sampai terjadi konversi biakan dan setiap
2 bulan sekali setelah terjadi konversi biakan.
Tabel 11: Pemantauan pengobatan TB MDR
Bulan pengobatan
Pemantauan
0 1 2 3 4 5 6 8 10 12 14 16 18 20 22
Evaluasi Utama
Pemeriksaan dahak dan biakan
√ Setiap bulan pada tahap awal, setiap 2 bulan pada fase lanjutan
dahak
Evaluasi Penunjang
Evaluasi klinis (termasuk BB) Setiap bulan sampai pengobatan selesai atau lengkap
Uji kepekaan obat √ Berdasarkan indikasi
Foto toraks √ √ √ √
Ureum, Kreatinin √ 1-3 minggu sekali selama
suntikan
Elektrolit (Na, Kalium, Cl) √ √ √ √ √ √ √
EKG v Setiap 3 bulan sekali
Thyroid stimulating hormon (TSH) √ √ √ √
Enzim hepar (SGOT, SGPT) √ Evaluasi secara periodik
Tes kehamilan √ Berdasarkan indikasi
Darah Lengkap √ Berdasarkan indikasi
Audiometri √ Berdasarkan indikasi
Kadar gula darah √ Berdasarkan indikasi
Asam Urat √ Berdasarkan indikasi
Test HIV v Bila ada faktor risiko
Selama pengobatan, dilakukan pemantauan :
 Pemantauan oleh petugas kesehatan dilakukan setiap hari.
 Keadaan klinis, berat badan, berkurangnya keluhan atau gejala klinis
dipantau setiap bulan.

55
 Pemeriksaan dahak dan biakan dilakukan setiap bulan selama tahap awal
dan setiap 2 bulan selama tahap lanjutan.
 Uji kepekaan obat dapat dilakukan kembali bila diperlukan, misalkan bila
setelah lebih dari 4 bulan tidak terjadi konversi biakan.
 Foto toraks dilakukan setiap 6 bulan atau bila terjadi komplikasi (batuk darah
masif, kecurigaan pneumotoraks, dll).
 Kreatinin serum dan kalium serum dilakukan setiap bulan selama mendapat
obat suntikan.
 Tiroid stimulating hormon (TSH) dilakukan pada bulan ke 6 pengobatan dan
diulangi setiap 6 bulan atau bila muncul gejala hipotiroidisme.
 Enzim hati (SGOT, SGPT) dilakukan setiap 3 bulan atau bila timbul gejala
drug induced hepatitis (DIH).
 Tes kehamilan dilakukan bila ada indikasi.

A. Konversi Biakan
1. Definisi konversi biakan: pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan jarak
pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif.
2. Tanggal konversi adalah tanggal pengambilan dahak pertama untuk biakan
yang hasilnya negatif. Tanggal ini digunakan untuk menentukan lamanya
pengobatan tahap awal dan lama pengobatan selanjutnya.

B. Lama Pengobatan Tahap Awal.


1. Tahap awal adalah tahap pengobatan dengan suntikan yang lamanya
ditentukan oleh hasil konversi biakan.
2. Suntikan diberikan :
a. Minimal enam bulan atau empat bulan setelah konversi biakan.
b.Jumlah obat oral yang diberikan minimal 168 dosis dan suntikan minimal
120 dosis.

C. Lama Pengobatan Seluruhnya.

56
1. Lama pengobatan seluruhnya paling sedikit 18 bulan setelah konversi
biakan
2. Lama pengobatan berkisar 19 – 24 bulan yang terdiri dari pengobatan tahap
awal dan tahap lanjutan.

D. Evaluasi Hasil Akhir Pengobatan TB MDR


1. Sembuh.
a. Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai
pedoman pengobatan TB MDR
b. Hasil biakan telah negatif minimal 5 kali berturut-turut dalam
12 bulan terakhir pengobatan.
c. Jika dilaporkan ada satu hasil biakan positif selama kurun
waktu tersebut dan tidak ada bukti perburukan klinis, pasien tetap
dinyatakan sembuh, dengan syarat hasil biakan positif tersebut diikuti
minimal 3 kali hasil biakan negatif berturut-turut.
2. Pengobatan lengkap.
Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai pedoman pengobatan
tetapi tidak memenuhi definisi sembuh maupun gagal.
3. Meninggal.
Pasien meninggal karena sebab apapun selama masa pengobatan.
4. Gagal.
a. Pengobatan dinyatakan gagal jika ada 2 atau lebih dari 5 hasil biakan
dalam 10 bulan terakhir masa pengobatan hasilnya positif.
b. Bila terjadi rekonversi biakan pada 6 bulan terakhir pengobatan.
c. Bila sampai bulan ke delapan pengobatan hasil biakan masih positif.
d. Pengobatan juga dapat dikatakan gagal apabila TAK memutuskan
menghentikan pengobatan lebih awal karena perburukan respon klinis,
radiologis atau efek samping.
e. Bila TAK memutuskan penggantian dua atau lebih OAT lini kedua yang
berdasar pada hasil uji kepekaan OAT lini kedua.
5. Lalai/Defaulted.

57
Pasien terputus pengobatannya selama dua bulan berturut-turut atau lebih
dengan alasan apapun.
6. Pindah.
Pasien yang pindah ke fasyankes Pusat Rujukan PMDT di daerah lain,
dibuktikan dengan balasan TB 09 MDR.

E. Evaluasi Lanjutan Setelah Pasien Sembuh atau Pengobatan Lengkap


1. Fasyankes Pusat Rujukan membuat jadwal kunjungan untuk evaluasi pasca
pengobatan.
2. Evaluasi dilakukan setiap 6 bulan sekali selama 2 tahun, kecuali timbul
gejala dan keluhan TB seperti batuk, produksi dahak, demam, penurunan
berat badan dan tidak ada nafsu makan maka pasien segera datang ke
fasyankes rujukan.
3. Memberikan edukasi kepada pasien untuk mengikuti jadwal kunjungan yang
telah ditentukan.
4. Pemeriksaan yang dilakukan adalah anamnesis lengkap, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan dahak, biakan dan foto toraks.
5. Pemeriksaan dilakukan untuk melihat/memastikan adanya kekambuhan.
6. Memberikan edukasi kepada pasien untuk menjalankan PHBS seperti olah
raga teratur, tidak merokok, konsumsi makanan bergizi, istirahat dan tidak
mengkonsumsi alkohol.

58
BAB VI

TATALAKSANA PASIEN PUTUS BEROBAT


DAN PASIEN GAGAL

A. Tatalaksana Pasien Putus Berobat

Pada dasarnya harus diupayakan agar pasien TB MDR tidak putus berobat. Jika
pasien TB MDR putus berobat, tindak lanjut yang dilakukan harus
mempertimbangkan:
1. Lama pengobatan yang telah dijalani.
2. Lama putus berobat.
3. Hasil pemeriksaan apusan dahak untuk BTA.
4. Hasil pemeriksaan biakan dan uji kepekaan.

Pasien TB MDR putus berobat, bila akan melanjutkan pengobatannya kembali


harus diajukan ke TAK untuk mendapatkan rekomendasi tindakan selanjutnya.
Tindak lanjut pasien TB MDR putus berobat secara garis besar seperti tersebut
dalam Tabel dibawah ini.

Tabel 12 : Tatalaksana pasien yang kembali setelah lalai pada pengobatan


dengan OAT MDR
Lama Lama Hasil
Pasien Pengobatan Apusan Tindak Lanjut
Mangkir Sebelumnya BTA
< 4 minggu -- Tidak 1. Melakukan konseling intensif kepada pasien
dilakukan dan keluarga.
2. Melanjutkan pengobatan sesuai paduan
sebelumnya.
4-8 minggu < 4 minggu Positif Pengobatan diulangi dari permulaan dengan
paduan OAT yang sama.
Negatif Pengobatan yang terputus dilanjutkan dengan
paduan OAT semula.
> 4 minggu Positif 1. Pemeriksaan dahak untuk biakan dan uji
atau kepekaan OAT lini kedua.
Negatif 2. Melakukan konseling intensif kepada pasien dan
keluarga.

59
Lama Lama Hasil
Pasien Pengobatan Apusan Tindak Lanjut
Mangkir Sebelumnya BTA
4-8 minggu > 4 minggu Positif 3. Melanjutkan pengobatan TB MDR sambil
(lanjutan) (lanjutan) atau menunggu hasil biakan dan uji kepekaan OAT
Negatif lini kedua.
(lanjutan)
Jika Hasil Biakan Negatif:
1. Melanjutkan sisa pengobatan paduan OAT TB
MDR sampai selesai.
2. Ada keterangan bahwa pasien pernah mangkir
di TB 01 MDR.

Jika hasil biakan positif dan hasil uji kepekaan


OAT lini kedua masih sensitif, maka:
1. Pengobatan dilanjutkan dengan paduan OAT
yang sama sampai terjadi konversi biakan.
2. Pasien tidak perlu dibuatkan kartu pengobatan
TB 01 MDR baru.
3. Apabila dalam 4 bulan dari dimulainya kembali
pengobatan hasil biakan tetap positif, maka
paduan OAT pasien yang bersangkutan akan
dievaluasi kembali oleh TAK.

Jika hasil biakan dan uji kepekaan lini kedua


salah satu positif untuk amikasin/ kanamsin
atau quinolon :
1. Pasien mulai pengobatan kembali dengan
paduan OAT yang telah disesuaikan oleh TAK
berdasar hasil uji kepekaan.
2. Pasien tidak perlu dibuatkan kartu pengobatan
TB 01 MDR baru.
Apabila dalam 4 bulan dari mulainya
pengobatan kembali hasil biakan tetap positif,
maka paduan OAT pasien yang bersangkutan
akan dievaluasi kembali oleh TAK.
> 8 minggu < 4 minggu Positif 1. Pasien dianggap default/ lalai.
atau 2. Pasien dianggap sebagai suspek TB MDR
negatif lagi untuk ditindak lanjuti.

Jika hasil biakan positif :


1. Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan
OAT yang sama, tanpa menunggu hasil
kepekaan.
2. Tipe pasien tetap sama seperti saat awal
pengobatan.

Jika hasil biakan negatif:


Pengobatan yang terputus dilanjutkan dengan sisa
paduan OAT semula.

60
Lama Lama Hasil
Pasien Pengobatan Apusan Tindak Lanjut
Mangkir Sebelumnya BTA
> 8 minggu > 4 minggu Positif 1. Pasien dianggap putus berobat/ lalai/ default.
atau 2. Pasien diperlakukan kembali sebagai suspek
(lanjutan)
Negatif TB MDR.
3. Uji kepekaan dilakukan untuk lini kedua.
4. Tidak dilakukan pengobatan sebelum hasil
biakan dan kepekaan keluar.
5. Lakukan KIE intensif agar pasien bersedia
berobat kembali.

Bila hasil biakan positif dan ada hasil uji


kepekaan OAT lini kedua:
1. Kasus diajukan kepada Tim Ahli Klinis, untuk
penanganannya dengan kemungkinan
penyesuaian paduan OAT.
2. Bila pengobatan akan dimulai lagi,
pertimbangkan riwayat kepatuhan pasien.
Lakukan konseling dan KIE intensif sebelum
pengobatan dimulai, agar pasien tidak lalai lagi.
3. Pasien dicatat sebagai pengobatan setelah
putus berobat/ defaulter.

Bila hasil biakan negatif:


1. Kasus diajukan kepada TAK untuk
penanganannya. Pengobatan diteruskan atau
tidak.
2. Bila diputuskan pengobatan akan diteruskan ,
pertimbangkan riwayat kepatuhan pasien.
Lakukan konseling dan KIE intensif sebelum
pengobatan dimulai, agar pasien tidak lalai lagi.
3. Bila TAK menganggap pengobatan dapat
dimulai lagi pengobatan menggunakan paduan
OAT semula mulai dari awal.

Catatan:
1. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis untuk BTA, biakan dan uji kepekaan
dilakukan di laboratorium yang telah disertifikasi.
2. Keputusan pengobatan kembali pasien TB MDR yang berobat tidak teratur diambil
oleh TAK sesuai SPO yang telah ditetapkan. Keputusan tidak boleh berdasar
keputusan perorangan oleh dokter yang menangani pasien.

61
B. Tatalaksana Pasien yang Hasil Biakan Tetap Positif Setelah Pengobatan
Bulan Keempat atau Lebih
Meskipun hasil biakan yang masih tetap positif setelah pengobatan bulan ke
empat belum merupakan indikasi pasti kearah kegagalan pengobatan namun
peningkatan pemantauan kepada pasien ini sangatlah penting. Hal pertama
yang bisa dilakukan adalah menyingkirkan kemungkinan kontaminasi dengan
cara mengambil kembali minimal dua sampel dahak untuk diperiksa BTA dan
biakan.
Tabel : Tatalaksana pasien dengan hasil biakan tetap positif

EVALUASI :
- Ulangi pemeriksaan BTA dan biakan sekurangnya dari 2 sampel sebagai
konfirmasi
- Ulangi pemeriksaan radiology untuk melihat progress penyakit
- Evaluasi DOT untuk memastikan OAT diminum secara benar

TINDAKAN :
- Ulangi pemeriksaan BTA dan biakan sekurangnya dari 2 sampel sebagai
konfirmasi
- Ulangi pemeriksaan radiology untuk melihat progress penyakit

Hasil Pemeriksaan
Biakan

NEGATIF
POSITIF

- Ulang Uji kepekaan (FLD dan SLD) Kemungkinan Kontaminan


- Bila hasil berbeda pola resistensi maka dan pengobatan dilanjutkan
pertimbangkan kemungkinan reinfeksi atau
kontaminasi
- Lakukan pemeriksaan strain kuman bila fasilitas
tersedia

Sesuaikan paduan OAT dengan


pola resistensi baru

62
C. Tatalaksana Pasien Gagal Pengobatan

Keputusan untuk menghentikan pengobatan TB MDR akibat gagal pengobaan


membutuhkan bukti pendukung medis sebelum akhirnya memutuskan
pengobatan dihentikan. Data bakteriologis merupakan bukti yang paling kuat
untuk menetapkan kegagalan dan pemeriksaan biakan lebih dibutuhkan
dibanding pemeriksaan dahak mikroskopis.

Pasien dengan risiko gagal pengobatan, yaitu:


a) Pasien yang tidak menunjukkan perbaikan klinis setelah 4 bulan pengobatan.
b) Pasien yang secara klinis, bakteriologis dan radiologis menunjukan
penyakitnya masih aktif progresif, atau kondisi klinis kembali memburuk
setelah pengobatan bulan ke-4.

Langkah-langkah yang harus dilakukan pada pasien tersebut di atas:


a) Menilai kepatuhan pasien dalam berobat dengan menelaah kartu
pengobatan pasien (TB.01 MDR).
b) Petugas kesehatan mengkonfirmasi apakah pasien sudah menelan semua
obat yang diberikan, dengan melakukan wawancara terpisah pada pasien
dan PMO.
c) Menelaah ulang paduan pengobatan dan menghubungkannya dengan
riwayat pengobatan, kontak dengan pasien TB MDR dan hasil uji kepekaan
M.tuberculosis. Bila paduan tersebut tidak adekuat maka sebaiknya
ditetapkan paduan yang baru.
d) Menelaah ulang hasil pemeriksaan apusan dahak mikroskopis dan biakan.
Hasil pemeriksaan apusan dahak mikroskopis dan biakan merupakan bukti
kuat respons pengobatan, tetapi hasil pemeriksaan tersebut harus tetap
dibandingkan dengan kondisi klinis dan radiologis pasien.
e) Mempertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan uji kepekaan
M.tuberculosis untuk OAT lini kedua.

63
f) Pasien dengan hasil pemeriksaan apusan dahak mikroskopis dan biakan
negatif dengan perburukan kondisi klinis, kemungkinan diakibatkan penyakit
lain selain TB MDR.
g) Menelaah ulang adakah penyakit lain yang dapat mengganggu absorpsi obat
(seperti: diare kronik) atau penurunan sistem imunitas (misalnya: infeksi
HIV).
h) Penatalaksanaan dilakukan se-optimal mungkin, termasuk mempertimbang-
kan tindakan operasi jika memungkinkan.
i) Perubahan paduan pengobatan ditetapkan oleh TAK, dengan masukan dari
tim ahli ad hoc jika diperlukan. Efektivitas pengobatan ini baru dapat dinilai
setelah 3-4 bulan.

Penghentian pengobatan sebelum waktunya :


1. Indikasi Untuk Menghentikan
Pengobatan
Tidak ada indikator tunggal untuk menentukan kegagalan suatu pengobatan.
Diperlukan waktu sekitar 3-4 bulan untuk menilai efektivitas perubahan
paduan. Jika pengobatan yang tidak efektif diteruskan, akan mengakibatkan
biaya yang digunakan menjadi sia-sia, meningkatkan morbiditas akibat efek
samping obat dan menyebabkan kemungkinan terjadi resistensi OAT.
Diperlukan pemahaman dan empati dari dokter terhadap pasien, hal ini
dimaksudkan supaya pasien dapat memahami dan menerima keputusan
penghentian pengobatan tersebut. Keputusan akhir menghentikan
pengobatan pada pasien seperti ini harus dibuat oleh TAK dan Tim ahli ad
hoc.

Untuk menyatakan seorang pasien gagal dalam pengobatan TB MDR sangat


sulit. Namun, terdapat beberapa tanda yang dapat menjadi indikator
kegagalan sebagai berikut:
a. Hasil pemeriksaan apusan dahak mikroskopis atau biakan tetap positif
pada pengobatan 8 bulan terakhir.

64
b. Pada foto toraks terlihat kelainan paru yang menjadi bertambah luas dan
bilateral.
c. Resistensi terhadap banyak OAT dan kecurigaan kearah TB XDR, serta
tidak ada peluang menambah 2 jenis OAT lainnya.
d. Kondisi klinis secara keseluruhan memburuk (penurunan berat badan dan
gangguan pernapasan).

Pertimbangan untuk menghentikan pengobatan:


a. Pertimbangan klinis.
Secara klinis, meneruskan pengobatan hanya akan menambah
penderitaan pasien karena efek samping dan tidak ada respon terhadap
pengobatan (gagal).
b. Pertimbangan kesehatan masyarakat (public health).
Meneruskan pengobatan yang cenderung gagal akan menimbulkan
terjadinya TB XDR.

2. Tindakan Suportif Pada Pasien


Yang Dihentikan Pengobatannya
a. Obat penghilang rasa nyeri dapat diberikan parasetamol atau kombinasi
kodein dengan parasetamol.
b. Terapi oksigen untuk pasien dengan sesak napas.
c. Tambahan nutrisi, makanan diberikan dalam porsi kecil dengan frekuensi
sering. Apabila terjadi mual-muntah dapat diberikan obat-obatan untuk
menghilangkan gejala tersebut.
d. Kunjungan petugas kesehatan dilakukan secara teratur.
e. Meneruskan pengobatan tambahan lainnya.
f. Rawat inap atau klinik perawatan jika diperlukan.
g. Pendidikan kesehatan terutama untuk melakukan pengendalian infeksi di
lingkungannya.

65
BAB VII

PENGOBATAN PASIEN KOINFEKSI TB MDR DAN HIV

Kegiatan kolaborasi TB-HIV yang dilaksanakan di Indonesia diterapkan


juga pada kegiatan PMDT untuk memberikan layanan pengobatan pada pasien
koinfeksi TB MDR dan HIV. Adaptasi kegiatan kolaborasi TB-HIV dalam
kerangka kerja PMDT di Indonesia dapat diwujudkan ke dalam kerangka kerja
sebagai berikut :
a) Upaya memperkuat kolaborasi TB-HIV harus dilakukan terlebih dahulu
sebelum memulai penanganan koinfeksi TB MDR dan HIV.
b) Melaksanakan kegiatan PITC (Provider initiative testing and counseling)
pada semua suspek TB MDR yang status HIV nya belum diketahui.
c) Penggunaan standar alur dari WHO untuk menetapkan diagnosis TB pada
pasien HIV.
d) Penggunaan metode rapid diagnostic untuk TB bila tersedia.
e) Pemakaian metode yang lebih cepat dari metode konvensional seperti
metode liquid (misalnya MGIT) atau metode molekuler (misalnya LPA,
GeneXpert)) yang sudah direkomendasikan WHO sangat dianjurkan pada
pasien HIV.
f) Melakukan uji kepekaan M.tuberculosis terhadap pasien koinfeksi TB HIV
yang hasil pemeriksaan rapid diagnostic menunjukkan hasil positif TB.
g) Melakukan kegiatan surveilens resistensi terhadap OAT yang melibatkan
pula populasi pasien dengan HIV positif.
h) Pemberian ART sesegera mungkin setelah OAT TB MDR bisa ditoleransi
(sekitar 2- 8 minggu).
i) Mempertimbangkan pemberian pengobatan standard TB MDR bagi pasien
HIV yang hasil uji kepekaan M.tuberculosis dengan metode rapid diagnostic
menunjukkan resistensi, tanpa menunggu konfirmasi metode konvensional.
j) Pemberian PPK (Pengobatan Profilaksis Kotrimoksasol)

66
k) PPK sangat direkomendasikan untuk diberikan kepada pasien HIV dengan
TB aktif sebagai bagian dari manajemen komprehensif pasien HIV. Belum
ada laporan mengenai interaksi antara kotrimoksasol dengan OAT yang
dipakai dalam pengobatan TB MDR. Tetapi dapat dipastikan akan muncul
overlapping toksisitas antara ART, PPK dan OAT TB MDR sehinggga
monitoring efek tidak diinginkan (adverse drug reaction) harus mendapat
perhatian khusus.
l) Untuk menangani pasien koinfeksi TB MDR dan HIV maka TAK sejak awal
harus melibatkan ahli yang memahami manajemen pasien HIV terutama
pada manajemen efek samping, monitoring kondisi pasien dan penilaian
respon pengobatan.
m) Pemberian dukungan kepada pasien koinfeksi TB MDR dan HIV mengikuti
skema serta mekanisme yang sudah berjalan di program HIV.
n) Upaya PPI TB yang terpadu dan efektif harus dilaksanakan baik di sarana
pelayanan TB MDR maupun di sarana pelayanan HIV.
o) Keterlibatan semua stakeholder dalam jejaring penanggulangan TB MDR
dan HIV.
- Internal fasyankes : Unit PMDT tidak dapat bekerja sendiri untuk
penanganan pasien TB MDR/HIV ataupun pasien TB MDR yang dicurigai
HIV. Harus ada kerja sama yang baik antara unit PMDT dan Unit HIV.
- Eksternal fasyankes : Badan koordinasi yang selama ini terlibat dalam
kolaborasi TB-HIV juga harus diikutsertakan dalam penanganan kasus TB
MDR/HIV. Keterlibatan dan kemitraan dengan unsur masyarakat dan LSM
peduli TB dan HIV juga perlu dikembangkan.

A. Diagnosis koinfeksi TB MDR dan HIV

1. Tes HIV bagi pasien TB MDR


Semua pasien TB MDR terkonfirmasi yang status HIV nya belum
diketahui akan ditawari untuk menjalani pemeriksaan HIV sesuai konsep
PITC. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan besarnya kemungkinan

67
kegagalan pengobatan TB MDR bila ternyata juga mengalami koinfeksi
HIV yang tidak diketahui.

2. Uji kepekaan M.tuberculosis bagi pasien HIV


Secara umum semua kriteria suspek TB MDR (nomor 1 s/d 8) berlaku
untuk semua pasien yang dicurigai TB MDR tanpa memandang status HIV
nya. Kriteria suspek TB MDR nomor 9 lebih diarahkan kepada pasien
koinfeksi TB dan HIV yang mengalami :
- Pasien tidak memberikan respon pada pengobatan TB.

- Pasien dengan perburukan klinis yang cepat.

- Pasien mengalami gangguan malabsorbsi atau gangguan GIT yang


berat/ kronis.

68
Gambar 4 : Algoritma diagnosis TB MDR pada ODHA

Suspek Koinfeksi TB HIV

Rapid diagnostik (GeneXpert)

Pengobatan Standar TB MDR


M.TB (-) M.TB (+) Sensitif R M.TB (+) Resisten R

Biakan M.TB

Biakan M.TB (-) Biakan M.TB (+)

Bukan TB Uji kepekaan (DST)

Skrining rutin untuk memantau kemungkinan terjadinya TB dimasa datang.


Bukan TB Kebal Obat TB Kebal Obat

Obati TB & HIV Obati DRTB Sesuai pola resistensi & HIV

Catatan :
Bila fasilitas tersedia maka ODHA yang dicurigai menderita TB juga akan
menjalani pemeriksaan rapid diagnostic TB misalnya menggunakan GeneXpert.
Pemeriksaan tersebut selain mendeteksi adanya M.tuberculosis juga mengetahui
resistensi terhadap rifampisin, bila hasilnya positif M.tuberculosis dan resisten
rifampisin maka pasien akan ditatalaksana dengan pengobatan standar TB MDR.

69
B. Persiapan Pengobatan Koinfeksi TB MDR dan HIV.
Evaluasi tambahan yang harus dilakukan sebagai persiapan pengobatan
untuk ODHA yang terkonfirmasi TB MDR adalah :
a) Detail mengenai riwayat penyakit TB termasuk terapi yang
pernah didapatkan, lama pengobatan dan hasil pengobatan TB.
b) Detail mengenai riwayat penyakit HIV, termasuk infeksi
oportunistik yang pernah dialami dan penyakit lain terkait HIV yang pernah
dialami.
c) Data pemeriksaan CD4 terkini dan viral load (bila ada)
d) Riwayat penggunaan ART
e) Riwayat rawat inap, tinggal di congregate setting atau kontak
dekat dengan pasien TB MDR yang terkonfirmasi
f) Pemeriksaan fisik yang menjadi bagian dari evaluasi awal harus
difokuskan pada upaya mencari tanda adanya imunosupresi, melakukan
penilaian mengenai status nutrisi dan neurologis pasien serta mencari
tanda adanya penyakit TB ekstra paru.

Sebelum memulai pengobatan TB MDR pada pasien dengan status HIV


positif, maka dilakukan pemeriksaan baseline standar dengan ditambahkan
pemeriksaan khusus yaitu :
- Pemeriksaan CD4

- Pemeriksaan Viral load (berdasarkan indikasi)

- Pemeriksaan skrining untuk siphilis

- Pemeriksaan serologis untuk Hepatitis B dan C

C. Pengobatan Koinfeksi TB MDR dan HIV.

Pada dasarnya prinsip pengobatan pasien koinfeksi TB MDR dan HIV tidak
berbeda dengan pengobatan TB MDR pada pasien bukan HIV. Tetapi ada
beberapa prinsip dasar yang harus diingat dan diaplikasikan dalam
pengobatan kasus TB MDR/HIV yaitu :

70
a) Semua ODHA dengan gejala TB harus mendapatkan terapi
profilaksis kotrimoksasol (PPK) dengan tujuan untuk mencegah infeksi
bakterial, PCP, Toksoplasmosis, Pnemonia dan Malaria.
b) ART bukan alasan untuk menunda pengobatan TB MDR.
Pemberian ART sangat penting pada pasien TB MDR dengan HIV positif.
Bila ART tak diberikan angka kematian sangat tinggi sekitar 91 – 100 %.
c) Bila ART belum diberikan maka ART harus segera diberikan
secepatnya setelah pengobatan TB MDR dapat ditoleransi (sekitar 2-8
minggu).
d) Paduan ART yang direkomendasikan untuk pasien TB MDR
adalah ART lini pertama : AZT-3TC-EFV, atau ART lini kedua : TDF-3TC-
LPV/r.
e) OAT TB MDR yang diberikan adalah paduan standard yaitu Km-
Lfx-Eto-Cs-Z-(E). Paduan OAT dapat disesuaikan dengan hasil DST.
f) Untuk mengurangi kemungkinan efek samping maka
direkomendasikan pemberian obat dengan dosis terbagi (obat yang
memungkinkan : etionamid, sikloserin dan PAS).
g) Pengawasan minum obat baik untuk ART dan OAT harus
dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan aturan minum obat
maupun faktor interaksi obat.
 Untuk ART diminum sesuai mekanisme yang sudah ada
 Untuk OAT MDR yang diminum pagi hari diberikan di depan
petugas fasyankes, sedangkan OAT MDR yang diminum malam hari
mengikuti mekanisme pemberian ART.
 Konseling kepatuhan sebelum dan selama minum obat harus
diperkuat.
h) Efek samping akan bertambah dengan pemberian ART secara
bersamaan dengan SLD. Perlu monitoring lebih ketat baik untuk efek
samping maupun respon pengobatan.
i) Kemungkinan terjadinya IRIS bisa menambah kompleksitas
terapi.

71
1. Pengobatan koinfeksi TB MDR dan HIV yang belum mendapatkan
ART.

Pemberian ART pada ODHA dengan TB terbukti meningkatkan


kemungkinan bertahan hidup baik untuk pasien TB biasa maupun TB
yang sudah kebal terhadap OAT. Namun kemungkinan terjadi efek
samping yang berat akan meningkat bila pemberian ART dan OAT dimulai
pada saat yang bersamaan. Penundaan pemberian ART bisa
meningkatkan resiko kematian pada ODHA terutama pada stadium lanjut.
Rekomendasi pemberian ART pada pasien TB MDR yaitu setelah OAT
MDR telah ditoleransi yaitu sekitar 2-8 minggu

2. Pengobatan koinfeksi TB MDR dan HIV yang sudah mendapatkan


ART.

Ada dua hal yang perlu dipertimbangkan bila pengobatan TB MDR akan
dimulai sementara pasien tersebut sudah mendapatkan ART yaitu :
a) Apakah perlu dilakukan modifikasi paduan ART yang diberikan,
mengingat interaksi antar obat atau mengurangi kemungkinan
terjadinya overlapping toksisitas obat.
b) Apakah munculnya TB MDR menunjukkan kegagalan pengobatan
ART sebelumnya. Bila hasil analisa menunjukkan terjadi kegagalan
pengobatan ART maka tidak direkomendasikan untuk memulai
pengobatan baru menggunakan ART lini kedua pada waktu yang
bersamaan dengan dimulainya pengobatan TB MDR. Untuk situasi ini
direkomendasikan untuk meneruskan paduan ART yang telah didapat
dan melakukan perubahan paduan menggunakan ART lini kedua
sekitar 2-8 minggu setelah pengobatan TB MDR dimulai.

72
3. Contoh pemberian OAT TB MDR dan ART

Kasus Mr. X:
Mr. X adalah pasien TB MDR/ HIV yang akan menjalani pengobatan
dengan OAT TB MDR dan akan mendapatkan ART begitu pengobatan TB
MDR bisa ditoleransi. Pasien juga akan mendapatkan CPT. Berat badan
Mr.X adalah 60 kg. Paduan OAT TB MDR yang didapatkan adalah :

OAT MDR :
- Kapreomisin 1000mg (1 vial @ 1gr)

- Levofloksasin 1000mg (4 tab @ 250mg)

- Etionamid 750mg (3 tab @ 250mg)

- Sikloserin 750mg (3 tab @ 250mg)

- Pirazinamid 1750mg (3,5 tab @ 500mg)

- PAS 8gr (2 sac @ 4gr)

- Piridoksin 150 mg (3 tab @ 50mg)


ART :
- AZT-3TC : 2 tab @ 300mg ZDV+150mg 3TC

- EFZ : 1 tab 600mg


PPK :
1 tab kotrimoksasol double strength ( 960mg)

73
Maka pengaturan pengobatan Mr.X adalah sebagai berikut :

TB MDR OAT Tahap Awal OAT Tahap Lanjutan

HIV 2-8 mgg


ART

PPK Kotrimoksasol

OAT MDR
sampai Sampai akhir Tahap lanjutan Setelah OAT
ditoleransi tahap awal sampai selesai MDR selesai

CM : 1 vial CM : 1 vial Lfx : 4 tab CXT : 1 tab


Pagi Lfx : 4 tab Lfx : 4 tab Eto : 1 tab AZT-3TC : 1 tab
Eto : 1 tab Eto : 1 tab Cs : 1 tab
Cs : 1 tab Cs : 1 tab Z : 3,5 tab
Z : 3,5 tab Z : 3,5 tab PAS : 1 sac
PAS : 1 sac PAS : 1 sac CXT : 1 tab
CXT : 1 tab AZT-3TC : 1 tab
AZT-3TC : 1 tab

Selisih 12 Jam
Eto : 2 tab Eto : 2 tab Eto : 2 tab AZT-3TC : 1 tab
Cs : 2 tab Cs : 2 tab Cs : 2 tab EFZ : 1 tab

Malam PAS : 1 sac PAS : 1 sac PAS : 1 sac


B6 : 3 tab B6 : 3 tab B6 : 3 tab
AZT-3TC : 1 tab AZT-3TC : 1 tab
EFV : 1 tab EFV : 1 tab

74
4. Potensi interaksi obat antara OAT MDR dan ART yang dipakai di
Indonesia.

a) Etionamid dengan ART.


Etionamid dimetabolisme oleh sitokrom P450, sebagaimana juga pada
beberapa tipe ART sehingga diduga terjadi interaksi obat, tetapi
mengingat masih terbatasnya informasi mengenai hal tersebut
terutama mengenai enzim mana yang berperan maka belum dapat
dipastikan apakah etionamid ataukah ART yang harus mengalami
penyesuaian dosis.

b) Clarithromisin dengan Ritonavir dan Nevirapine/Efavirenz


Clarithromisin merupakan golongan OAT grup lima yang kemungkinan
akan dipakai dalam pengobatan TB XDR. Obat ini merupakan substrat
dan inhibitor dari enzim CYP3A dan memiliki interaksi ganda dengan
ART tipe Protease Inhibitor (ritonavir) dan NNRTI (nevirapine,
efavirenz). Pemberian clarithromisin dengan ritonavir akan
meningkatkan kadar clarithromisin dalam darah, meskipun demikian
hanya pada pasien dengan klirens kreatinin < 60ml/menit yang
memerlukan penyesuaian dosis. nevirapine/ efavirenz akan
menginduksi metabolisme clarithromisin sehingga kadar dalam plasma
akan berkurang, hal ini akan berakibat efektifitas clarithromisn akan
jauh berkurang. Oleh karena itu pemakaian clarithromisin untuk
pengobatan pasien koinfeksi TB MDR – HIV sedapat mungkin dihindari
karena efektifitas yang lemah dan banyak interaksi dengan obat lain.

5. Potensi toksisitas obat dalam pengobatan pasien TB MDR/ HIV

Secara umum angka kejadian reaksi obat yang tidak diinginkan akibat
pengobatan TB pada pasien HIV positif lebih tinggi dibanding pasien
dengan status HIV negatif. Angka tersebut semakin meningkat bila terjadi
penekanan sistem imun (imunosupresi) lanjutan. Melakukan identifikasi

75
mengenai obat mana yang menjadi penyebab terjadinya efek samping
merupakan hal yang sulit, mengingat banyak obat baik OAT maupun ARV
memiliki efek samping yang sama dan overlapping. Terkadang bahkan
tidak memungkinkan untuk menghubungkan efek samping tersebut hanya
dengan satu jenis obat saja.

Penanganan kasus bila terjadi efek samping obat menjadi semakin


kompleks. Pada pengobatan dengan ART tidak memungkinkan dilakukan
trial satu per satu untuk mengetahui obat mana yang menimbulkan efek
samping karena potensi resistensi yang besar. Tabel dibawah ini dapat
dipakai untuk memperkirakan penyebab efek samping.

Tabel 13 : Potensi toksisitas OAT MDR dan ART

Toksisitas ART OAT Keterangan


Neuropati d4T, ddI Cs,H, Km, Eto, E - Hindari pemakaian d4T dan ddI bersamaan
perifer dengan Cs karena secara teoritis bisa
menimbulkan neuropati perifer. Bila terpaksa
digunakan bersamaan & timbul neuropati,
ganti ART dengan yang kurang neurotoksis.

Toksisitas pada EFV Cs, H, Eto, - Efavirenz (EFV) mempunyai toksisitas besar
saraf pusat fluoroquinolon terhadap saraf pusat (gejala : bingung,
penurunan konsentrasi, depersonalisasi,
mimpi abnormal, sukar tidur & pusing) pada 2-
3 minggu pertama pengobatan yang akan
sembuh dengan sendirinya. Bila tidak hilang,
perlu dipikirkan penggantian EFV. Psikosis
jarang dijumpai pada penggunaan EFV sendiri.
- Cs mempunyai efek samping yang serupa
dengan EFV, pada beberapa pasien
pemakaian Cs akan dampak cukup berat
berupa psikosis.
Toksisitas ART OAT Keterangan
Toksisitas pada EFV Cs, H, Eto, - Saat ini sangat sedikit informasi mengenai
saraf pusat (lanjutan) fluoroquinolon pemakaian EFV dan Cs secara bersamaan.

76
(lanjutan) (lanjutan)
Depresi EFV Cs, - 2,4 % dengan EFV menunjukkan depresi
fluoroquinolon, berat. EFV perlu diganti bila ditemukan depresi
H, Eto, berat.
- Pemberian Cs bisa memicu terjadinya depresi
yang berat sampai kecenderungan bunuh diri.
- Tetapi keadaan sosial ekonomi buruk dengan
penyakit menahun dan ketidaksiapan psikis
menjalani pengobatan dapat juga memberikan
kontribusi terjadinya depresi.
Sakit kepala AZT, EFV Cs - Kesampingkan penyebab lain dari sakit kepala
sebelum menetapkan sakit kepala sebagai
akibat ART dan OAT. Sakit kepala karena
AZT, EFV dan Cs biasa tidak berkepanjangan.
Beri analgesik seperti ibuprofen atau
paracetamol.
Mual dan RTV, d4T, NVP Eto, PAS, H, E, - Mual dan muntah adalah efek samping yang
Muntah Z sering terjadi dan dapat diatasi dengan baik.
- Bila muntah berkepanjangan disertai nyeri
perut, kemungkinan besar karena asidosis
laktat dan/ atau hepatitis sekunder karena
pengobatan.
Nyeri perut Semua Eto, PAS - Nyeri perut merupakan efek samping yang
pengobatan banyak dijumpai, biasanya tidak
dengan ART membahayakan.
menyebabkan - Tetapi perlu diwaspadai sebab nyeri perut
nyeri perut. dapat sebagai gejala permulaan dari efek
samping lain seperti pankreatitis, hepatitis &
asidosis laktat.

Diare Semua PI, ddl Eto, PAS, - Diare merupakan efek samping umum baik
(dengan bufer) fluroquinolon ART maupun OAT.
- Pada pasien HIV, Pertimbangkan adanya
Toksisitas ART OAT Keterangan
Diare Semua PI, ddl Eto, PAS, infeksi oportunistik sebagai penyebabnya, atau
(lanjutan) (dengan bufer) fluroquinolon karena infeksi Clostridium difficile (penyebab
(lanjutan) (lanjutan) kolitis pseudomembran).
Hepatotoksisitas NVP,EFV, E, Z, PAS, Eto, - Laksanakan pengobatan untuk
semua PI, Fluoroquinolon hepatotoksistas.

77
semua NRTI - Pikirkan penyebab lain seperti Kotrimoksasol
(RTV> dari PI
- Singkirkan juga penyebab infeksi virus seperti
yang lain).
hepatitis A, B, C dan CMV.

Skin rash ABC, NVP, Z, PAS, - Tidak boleh dilakukan re-challenge dengan
EFV, d4T dan Fluroquinolon ABC karena dapat menyebabkan syok
lainnya anafilaktik yang dapat fatal.
- Tidak boleh dilakukan re-challenge obat yang
terbukti menimbulkan Steven-Johnson
Syndrome.
- Kotrimoksasol bisa menjadi penyebab skin rash
bila pasien juga mendapatkan obat ini.
- Thiacetazone tidak boleh diberikan kepada
pasien HIV.
Nefrotoksisitas TDF Km, Cm - TDF dapat menyebabkan kelainan ginjal
berupa sindrom Fanconi, hipofosfatemia,
hipourisemia, proteinuria, normoglikemik
glikosuria, dan gagal ginjal akut.
- Belum ada data tentang efek penggunaan TDF
bersamaan dengan Km/Cm, perlu pengawasan
khusus bila pasien mendapat keduanya.
- Meskipun tanpa TDF, pasien HIV mempunyai
risiko nefritoksisitas lebih tinggi bila
mendapatkan Km dan Cm.
- Perlu pemantauan serum kreatinin dan
elektrolit lebih rutin pada pasien HIV yaitu
setiap 1-3 minggu sekali selama tahap intensif.
- Dosis ARV & OAT yang nefrotoksik harus
disesuaikan bila sudah terjadi insufisiensi
ginjal.
Toksisitas ART OAT Keterangan
Gangguan TDF Cm, Km - Diare dan/ atau muntah dapat menyebabkan
elektrolit gangguan elektrolit.
- Meski tanpa TDF, pasien HIV mempunyai risiko
terjadinya gangguan ginjal serta gangguan
elektrolit sekunder yang disebabkan pemakaian
Cm dan Km.

78
Neuritis optikal ddl E, Eto (jarang) - Hentikan dan ganti obat penyebab neuritis
optikal.

Gangguan PI Eto - PI cenderung menyebabkan resistensi insulin &


regulasi kadar hiperglikemia.
gula darah - Eto cenderung menyebabkan kadar insulin
pada pasien DM sulit diatur & dapat
menyebabkan hiporglikemia & kadar gula
darah sulit diatur.

Hipotiroidisme d4T Eto, PAS - Ada kemungkinan terjadi reaksi saling


menguatkan bila diberikan bersamaan, tetapi
data yang ada belum jelas.
- Beberapa penelitian menyebutkan adanya
hipotiroidisme subklinis yang berkaitan dengan
pemberian Stavudine.
- Kombinasi PAS & Eto dapat menyebabkan
hipotiroidisme.

6. Monitoring pengobatan koinfeksi TB MDR dan HIV

Pengobatan HIV dan TB MDR diberikan secara teratur setiap hari tanpa
kecuali untuk mencegah terjadinya resistensi terhadap ART maupun
resistensi lanjutan OAT MDR.

Pada ODHA yang sudah mendapatkan ART, pengobatan TB MDR akan


menimbulkan permasalahan tambahan karena beban jumlah obat yang
harus diminum, efek samping yang semakin banyak dan kompleksitas
yang ditimbulkan akibat perbedaan tata cara minum obat.

Secara klinis pengobatan TB MDR dan ART akan menimbulkan tantangan


karena masing-masing obat memiliki profil toksisitas tersendiri dan
terkadang memiliki interaksi saling melemahkan atau malah saling

79
menguatkan efek bila diberikan secara bersamaan. Beberapa hal yang
disebutkan diatas menjadi alasan mengapa pengawasan keteraturan
minum obat harus dipadukan dengan pengawasan efek samping dan
pemeriksaan klinis untuk memantau kemajuan pengobatan.

Pada petunjuk teknis penatalaksanaan pasien TB MDR telah diatur jadwal


konsultasi klinis dan pemeriksaan laboratorium untuk memantau apakah
ada kemajuan pengobatan atau memberikan indikasi kegagalan
pengobatan TB MDR, skema tersebut juga berlaku koinfeksi TB MDR dan
HIV (lihat Tabel).

80
Tabel 14: : Jadwal Pemantauan Pengobatan koinfeksi TB MDR/ HIV
Bulan pengobatan
Pemantauan
0 1 2 3 4 5 6 8 10 12 14 16 18 20 22
Evaluasi Utama
Pemeriksaan dahak dan biakan
√ Setiap bulan pada tahap awal, setiap 2 bulan pada fase lanjutan
dahak
Evaluasi Penunjang
Evaluasi klinis : Pengobatan
konkomitan, BB, gejala klinis, Setiap kali kunjungan
kepatuhan berobat
Uji kepekaan obat √ Berdasarkan indikasi
Foto toraks √ √ √ √
Ureum, Kreatinin √ 1-3 minggu sekali selama
suntikan
Elektrolit (Na, Kalium, Cl) √ √ √ √ √ √ √
EKG v Setiap 3 bulan sekali
Thyroid stimulating hormon √ √ √ √
(TSH)
Enzim hepar (SGOT, SGPT) √ Evaluasi secara periodik
Tes kehamilan √ Berdasarkan indikasi
Darah Lengkap √ Berdasarkan indikasi
Audiometri √ Berdasarkan indikasi
Kadar gula darah √ Berdasarkan indikasi
Asam Urat √ Berdasarkan indikasi
Test HIV v Bila ada faktor resiko
Evaluasi tambahan untuk pasien HIV positif
Sifilis (VDRL) √ Berdasarkan indikasi
Pap Smear v Berdasarkan indikasi
Hepatitis B dan C v Berdasarkan indikasi
CD4 √ √ √ √
Viral load Berdasarkan indikasi

81
Pemberian dua pengobatan secara bersamaan seringkali menimbulkan
permasalahan psikis bagi pasien, adanya stigma mengenai kedua
penyakit terkadang menjadi hambatan karena pasien mungkin akan
memperoleh perlakuan berbeda bahkan diskriminasi, pasien mungkin
akan mengalami hambatan psikis mengingat angka mortalitas yang tinggi
dari dua penyakit tersebut. Pasien TB MDR/ HIV memerlukan dukungan
sosioekonomis, nutrisi dan psikologis yang lebih besar dalam rangka
menyelesaikan pengobatannya.

7. Manajemen Sindrom pemulihan kekebalan (IRIS)

Sindoma pemulihan kekebalan (IRIS) adalah sindrom yang terjadi saat


gejala TB tampak memburuk pada awal pemberian ART, biasanya terjadi
pada awal pemberian ART yaitu pada tiga bulan pertama. Gejala sangat
bervariasi dari ringan sampai berat dan lebih sering terjadi pada pasien
dengan angka CD4 < 50. Sindrom ini merupakan tanda bahwa sistem
kekebalan tubuh mulai bekerja kembali, sehingga sering disalah artikan
bahwa pengobatan TB MDR mengalami kegagalan atau tidak ada respon
terhadap pemberian ART.
Gejala yang muncul dan terkait dengan TB antara lain demam,
pembesaran limfonodi, infiltrat meluas, distres pernafasan, nyeri kepala
berat dan paralisis. Bila terjadi IRIS maka pemberian obat-obatan OAINS
seperti Ibuprofen akan sangat membantu bila kasusnya ringan. Pemberian
kortikosteroid seperti prednison dapat diberikan bila kasusnya berat, dosis
prednison adalah 0,5mg/kg BB yang diberikan selama 21 hari. Tidak
disarankan untuk menghentikan ART tanpa berkonsultasi kepada dokter
spesialis di unit layanan HIV yang ada di RS.

82
Tabel 15 : Gejala dan Penanganan IRIS
Gejala Penanganan
Demam Pemberian ibuprofen
Batuk yang memburuk dan sesak Pemberian prednison
nafas
Nyeri kepala hebat, Paralisis Curiga terjadi meningitis, lakukan pungsi
lumbal
Pembesaran kelenjar limfe Teruskan pemberian OAT dan ART
Distensi Abdominal Pemberian Prednison, bila sangat parah
maka dipertimbangkan penghentian ART

8. Manajemen Efek Samping Pengobatan OAT MDR dan ART

Penanganan efek samping yang adekuat merupakan salah satu upaya


untuk memastikan kepatuhan pasien TB MDR/ HIV terhadap pengobatan
yang diberikan. Tabel dibawah ini menjelaskan mengenai beberapa efek
samping yang mungkin terjadi dan cara penatalaksanaannya.

Tabel 16 : Penatalaksanaan efek samping pengobatan OAT MDR dan ART


Gejala dan Tanda Penatalaksanaan
Nyeri Perut - Bisa disebabkan oleh beberapa obat ART dan OAT.

- Obat diberikan sesudah makan (kecuali untuk ddI).

- Pemberian terapi simptomatis biasanya membantu.


Mual dan Muntah - Bisa disebabkan OAT (Eto, PAS) dan ART (AZT).

- Bila disebabkan OAT biasanya kronis, bila penyebabnya


ART biasanya terjadi pada awal pengobatan dan biasanya
membaik dalam beberapa minggu.
- Disarankan untuk memberikan OAT dalam dosis terbagi

- Bila gejala ringan minta pasien menelan obat dengan

Gejala dan Tanda Penatalaksanaan


Mual dan Muntah makanan lunak dan berikan pengobatan simptomatis
(lanjutan) - Bila gejala berat berikan pengobatan simptomatis dan

83
rehidrasi (oral atau IV)
- Bila pasien mendapat d4T mengalami mual, muntah dan
sesak nafas pertimbangkan kemungkinan terjadi asidosis
laktat. Periksa kadar laktat pasien
Diare - Bisa disebabkan oleh ART dan OAT (terutama PAS)

- Bila disebabkan PAS biasanya bersifat persisten.

- Pertimbangkan pula penyebab diare persisten akibat


infeksi kronis yang sering dijumpai pada pasien HIV, bila
terbukti karena infeksi kronis maka beri terapi empiris.
- Tingkatkan asupan cairan dan berikan rehidrasi (oral atau
IV) bila dijumpai tanda dehidrasi.
- Berikan obat yang menyebabkan konstipasi kecuali
dijumpai ada lendir/darah, demam dan pasien lansia.
- Lakukan perawatan paliatif untuk daerah rektal pasien

- Berikan terapi diet suportif untuk pasien dengan diare


persisten.
Letih/ Lesu - Pertimbangkan kemungkinan terjadi hipokalemia atau
gagal ginjal, periksa kreatinin dan kadar kalium.
- Pertimbangkan terjadinya anemia, periksa kadar Hb

- Pertimbangkan terjadinya hipotirodisme bila pasien


mendapatkan Eto dan PAS, periksa kadar TSH.
Depresi, kecemasan, - Banyak penyebab gangguan kejiwaan yang dialami
mimpi buruk, psikosis pasien, salah satunya adalah efek samping obat
- Obat yang bisa menyebabkan adalah EFV dan Sikloserin.

- Bila disebabkan EFV biasanya gejala tidak terlalu berat


dan akan berkurang setelah tiga minggu, bisa
dipertimbangkan penggantian dengan NVP.
- Bila penyebabnya adalah Sikloserin gejala biasanya
berupa serangan panik, waham, paranoia, depresi berat,
Gejala dan Tanda Penatalaksanaan
Depresi, kecemasan, koma dan kecenderungan bunuh diri. Pengurangan dosis
mimpi buruk, psikosis bisa dilakukan bila gejala ringan sampai menengah, tapi

84
(lanjutan) harus dipertimbangkan karena akan mempengaruhi
efektivitas pengobatan. Hentikan segera bila muncul
gejala psikotik dan percobaan bunuh diri, ganti dengan
obat lain seperti PAS.
Gatal dan skin rash - Bila gejala ringan berikan antihistamin dan lakukan
monitoring ketat. Waspada mungkin pertanda terjadinya
SJS.
- Bila pasien baru memulai pengobatan dengan NVP dan
tidak memberikan respon terhadap antihistamin maka
pertimbangkan penggantian NVP ke EFV
- Bila timbul gejala berat seperti gatal di seluruh tubuh,
kemerahan yang merata, kulit terkelupas dan keterlibatan
mukosa maka hentikan semua obat baik ART, OAT
maupun PPK.
- Bila gejala diatas telah terkendali maka proses
reintroduksi obat dilakukan dengan sangat hati-hati.
Ikterus - Hentikan sementara semua pengobatan dan lakukan
pemeriksaan fungsi hati (SGOT, SGPT, Bilirubin)
- Ikterus bisa disebabkan oleh EFV, NVP, Pirazinamid dan
etionamid. Obat lain juga bisa menimbulkan gangguan
pada hati tetapi kemungkinannya tidak sebesar 4 obat di
atas. Singkirkan terlebih dahulu penyebab yang lain.
- Ikuti panduan mengenai bagaimana memulai kembali
pengobatan setelah masalah terkendali.
Anemia - Anemia mungkin disebabkan oleh IO yang tidak
terdiagnosis, kurangnya asupan nutrisi maupun efek dari
pengobatan.
- Lakukan pemeriksaan Hb sesuai dengan jadwal
pemeriksaan, atau pada saat pasien tampak pucat dan
anemis.
Gejala dan Tanda Penatalaksanaan
Anemia - AZT bisa menimbulkan anemia, biasanya terjadi pada
(lanjutan) enam minggu pertama pengobatan. Bila Hb< 8g/dl maka

85
ganti AZT dengan d4T/ TDF.
Neuropati perifer - Bisa disebabkan oleh ART (ddI, d4T) dan OAT (sikloserin
dan obat injeksi)
- ART yang paling sering menimbulkan neuropati perifer
adalah d4T, ganti dengan AZT.
- Pemberian amitriptilin 25mg pada malam hari akan sangat
membantu bagi pasien yang keluhannya tidak berkurang
setelah penggantian ART.
- Bila penyebabnya adalah OAT maka tingkatkan dosis
vitamin B6 yang diberikan menjadi 200mg/hari sampai
gejala hilang.
Kejang otot - Kemungkinan disebabkan oleh elektrolit wasting terutama
kalium. Cek kadar Kalium segera.
- Penggantian kalium dengan pemberian makanan kaya
kalium seperti gedang ambon atau pemberian suplemen
kalium.
Nyeri kepala - Berikan parasetamol

- Lakukan assessment mengenai kemungkinan meningitis

- Bila pasien mendapatkan AZT/ EFV yakinkan kembali


bahwa hal tersebut adalah efek samping yang biasa dan
biasanya akan sembuh dengan sendirinya.
- Bila disebabkan oleh sikloserin biasanya kronis.
Gangguan ginjal - Lakukan pemeriksaan ureum, kreatinin
(gagal ginjal, edema,
- Lakukan penatalaksanaan bersama dengan ahli nefrologi
retensi urin, hipertensi)
- Bila berat pengobatan yang bersifat nefrotoksik seperti
obat-obat injeksi , kuinolon dan TDF dihentikan
sementara.

Gejala dan Tanda Penatalaksanaan


Gangguan ginjal - Pengobatan dimulai sesuai dengan kondisi ginjal pasien,
(gagal ginjal, edema, dilakukan dengan pengaturan dosis dan frekwensi
retensi urin, hipertensi)

86
(lanjutan) pemberian.
Demam - Bisa disebabkan penyakit lain yang umum, Infeksi
oportunistik, IRIS dan efek samping obat.
- Bila terjadi setelah pasien menjalani terapi ART
kemungkinan terjadi IRIS
- Berikan parasetamol, hindari dosis yang berlebihan.

- Berikan cairan untuk menghindari dehidrasi

87
LAMPIRAN 1

Penatalaksanaan TB resisten obat selain TB MDR

1. Penatalaksanaan TB Monoresisten/ Poliresisten

Pasien TB mono resisten dan poli resisten akan ditemukan dalam upaya
penemuan kasus TB MDR. Beberapa penelitian menyatakan bahwa ada
hubungan antara pengobatan menggunakan paduan standar jangka pendek
(SCC: short course chemotherapy) yang diberikan kepada pasien TB
monoresisten atau poliresisten dengan peningkatan resiko terjadinya
kegagalan pengobatan maupun terjadinya kekebalan lebih lanjut terhadap
OAT (TB MDR/XDR). Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa pengobatan
menggunakan paduan standar jangka pendek (SCC) terbukti masih efektif
pada beberapa varian monoresisten atau poliresisten yang ditunjukkan
dengan rendahnya angka kegagalan pengobatan dan mayoritas pasien
tersebut sembuh.

Pasien yang hanya memerlukan perubahan kecil dalam paduan obat yang
digunakan akan dicatat dalam Buku register TB reguler tanpa ada perubahan
apapun. Pasien ini tetap dianggap sebagai pasien TB kategori I dan kategori II
biasa. Pasien ini tidak dianggap sebagai pasien yang memerlukan paduan
khusus seperti halnya pada pasien TB MDR/ XDR. Perubahan paduan dan
lama pengobatan tersebut harus dicatat dalam kolom keterangan pada
register TB yang digunakan baik di fasyankes maupun kabupaten/ kota.

Pedoman dalam buku ini disusun berdasarkan rekomendasi WHO mengenai


pengobatan TB monoresisten dan poliresisten dengan penyesuaian terhadap
situasi dan kondisi di Indonesia serta pendapat para ahli dan klinisi yang telah
berpengalaman menangani pasien TB monoresisten dan poliresisten yang

88
kemudian disusun dalam sebuah tabel pengobatan untuk mempermudah
pelaksanaan sehari-hari.

Prinsip yang dipahami sebelum menggunakan tabel pengobatan TB ini :


a) Ketika melakukan perubahan paduan standar Kategori I maupun
Kategori II, maka jenis obat yang digunakan dalam paduan baru harus
dipilih dari OAT yang paling efektif sejak pertama kali mulai pengobatan
untuk meningkatkan kemungkinan kesembuhan. Penggunaan jenis OAT
yang efektif tidak boleh ditunda.
b) Sangat disarankan untuk melakukan kajian terhadap OAT yang akan
dipakai apakah sudah terjadi resistensi tambahan terhadap OAT tersebut
selama tenggang waktu antara kapan spesimen untuk uji kepekaan di
ambil dan kapan pengobatan dengan paduan yang disesuaikan akan
dilaksanakan. Resistensi tambahan harus dicurigai bila pasien secara
efektif hanya mendapatkan satu jenis OAT selama lebih dari satu bulan.
c) Pirazinamid tidak termasuk OAT yang mampu mencegah resistensi.
Sebagai contoh :
- Pasien terbukti resisten terhadap INH dan etambutol, pasien
telah terlanjur menjalani pengobatan dengan paduan standar kategori
I (HRZE) selama lebih dari satu bulan. Secara efektif pasien hanya
menjalani pengobatan dengan rifampisin, karena pirazinamid tidak
bisa mencegah resistensi. Resistensi terhadap Rifampisin
kemungkinan besar telah terjadi sehingga sekarang pasien dicurigai
sebagai pasien TB MDR
- Pasien terbukti resisten terhadap rifampisin, etambutol dan
streptomisin. Pasien telah menjalani pengobatan dengan kategori II
selama lebih dari satu bulan. Secara efektif pasien hanya menerima
INH dan pirazinamid selama pengobatan. Resistensi tambahan
terhadap INH kemungkinan besar telah terjadi.
d) Hasil uji kepekaan M.tuberculosis yang didapatkan menggambarkan
populasi kuman TB pada saat spesimen pemeriksaan diambil. Paduan

89
yang dipakai dalam tabel pengobatan dibuat dengan asumsi bahwa tidak
terjadi perubahan pola resistensi OAT selama interval tersebut. Untuk itu
tabel pengobatan yang ada tidak boleh digunakan bila sudah ada
kecurigaan yang tinggi telah terjadi resistensi terhadap OAT yang akan
digunakan.
e) Untuk meningkatkan efektifitas dari tabel pengobatan maka hanya
hasil laboratorium yang terjamin mutunya yang boleh dipakai sebagai
dasar pertimbangan. Untuk OAT yang tidak dilakukan uji kepekaan seperti
pirazinamid maka obat tersebut tidak dihitung sebagai OAT yang masih
efektif, meskipun masih bisa dimasukkan ke dalam paduan yang akan
diberikan.
f) Merancang paduan obat untuk pasien TB monoresisten atau
poliresisten sangat memerlukan keahlian dan infrastruktur yang memadai,
untuk itu hanya boleh dilakukan di fasyankes yang memiliki pengalaman
melaksanakan PMDT. Semua keputusan harus dilakukan oleh TAK
secara kolegial dengan mempertimbangkan semua faktor di atas.

90
Tabel Paduan OAT Sesuai Pola Resistensi
Pola Paduan yang Lama Catatan
Resistensi direkomendasikan Pengobatan
H REZ (Pasien baru) 6 Bulan Quinolon disarankan bila
9 Bulan sakit berat dan lama
pengobatan dapat
diperpanjang.
HS RQEZ 9 Bulan
HE 3 SRQZ / 6 RQZ 9 Bulan Pengobatan yang lebih
lama (maksimal 12 bulan)
diberikan bila sakit berat.
HES 3 KmRQZ / 9 RQZ 12 Bulan Obat injeksi bisa diberikan
sampai 6 bulan bila sakit
berat.
R 3 HQEZ / 9 HQE 12 Bulan
atau
3 SHEZ/ 9 HEZ
RS 3 KmHEZ / 15 HEZ 18 Bulan Injeksi Km bisa diberikan
sampai 6 bulan bila sakit
berat.
RE 3 SHQZ / 15 HQZ 18 Bulan Injeksi S bisa
diperpanjang sampai 6
bulan bila sakit berat.
RES 3 KmHQZ / 15 HQZ 18 Bulan Injeksi Km bisa
diperpanjang sampai 6
bulan bila sakit berat.
Ket :
H : INH R : Rifampisin Z : Pirazinamid E : Etambutol
Eto : Etionamid Q : Quinolon Km : Kanamisin S : Streptomisin

91
Prinsip dasar pengobatan pasien TB monoresisten dan poliresisten
a) Menggunakan strategi pengobatan individual yang sesuai dengan pola
resistensi dari masing-masing pasien.
b) OAT yang digunakan merupakan paduan OAT lini pertama dan
beberapa OAT lini kedua. Jenis-jenis paduan mengacu pada tabel
pengobatan di atas.
c) Pengobatan ini diberikan untuk pasien yang sudah memiliki hasil
pemeriksaan uji kepekaan M.tuberculosis dari laboratorium yang sudah
tersertifikasi.
d) Pasien dan keluarga diberi konseling dan KIE sebelum mulai
pengobatan seperti pada pasien TB MDR/ XDR.
e) Dilakukan beberapa pemeriksaan data dasar yang penting sebelum
memulai pengobatan, terutama data dasar yang terkait dengan
pemakaian obat-obat injeksi (Streptomisin/ Kanamisin), kuinolon dan
etionamid
f) Penentuan kapan pasien mulai pengobatan, dosis dan lama
pemberian obat dilakukan oleh TAK.
g) Dosis OAT berdasarkan berat badan
h) Lama pengobatan berkisar antara 6-18 bulan tergantung pola
resistensi dan keparahan penyakit.
i) Pemeriksaan untuk memantau kemajuan pengobatan adalah
pemeriksaan apusan dan biakan dahak, dilakukan setiap 3 bulan sampai
selesai masa pengobatan.
j) Konversi tercapai bila pada pemeriksaan bulan ketiga pengobatan
menunjukkan hasil biakan sudah negatif.
k) Bila pemeriksaan bulan ketiga menunjukkan hasil biakan masih positif
maka dilaksanakan uji kepekaan M.tuberculosis ulang untuk OAT lini
pertama dan kedua. Pengobatan dihentikan sambil menunggu hasil
pemeriksaan laboratorium keluar.
l) Pemeriksaan penunjang lain mengikuti prinsip pemeriksaan penunjang
untuk pasien TB MDR.

92
m) Cara pemberian obat :
 Tahap awal: Bila mendapatkan suntikan maka diberikan 5 kali
seminggu, baik selama rawat inap dan rawat jalan. Obat per-oral
diminum/ditelan setiap hari 7 hari dalam seminggu didepan petugas
kesehatan.
 Tahap lanjutan: obat oral diberikan dan diminum/ditelan setiap hari 6
hari dalam seminggu didepan PMO.
Setiap pemberian suntikan harus dibawah pengawasan petugas
kesehatan, obat oral bisa dibawa pulang untuk diminum di rumah dibawah
pengawasan seorang PMO yang ditunjuk.
n) Pasien dinyatakan :
 Sembuh bila pemeriksaan biakan 3 bulan sebelum akhir pengobatan
dan akhir pengobatan menunjukkan bahwa hasil biakan sudah negatif.
 Pengobatan Lengkap : pasien menyelesaikan seluruh pengobatan
tetapi tidak memenuhi kriteria sembuh maupun gagal
 Gagal : bila pemeriksaan pada 3 bulan sebelum akhir pengobatan
atau pada akhir pengobatan biakan masih tetap positif.
 Pindah : Pasien yang pindah ke fasyankes di daerah lain, dibuktikan
dengan balasan TB 09.
 Meninggal : Pasien meninggal karena sebab apapun selama masa
pengobatan.
 Default : Pasien terputus pengobatannya selama dua bulan berturut-
turut atau lebih dengan alasan apapun.
o) Semua OAT sebaiknya diberikan dalam dosis tunggal, kecuali jika
terjadi efek samping, OAT yang dapat diberikan dalam dosis terbagi
adalah etionamid.

Dosis OAT
Untuk menentukan dosis OAT yang akan diberikan kepada pasien monoresisten
dan poliresisten maka perhatikan beberapa ketentuan dibawah ini:
a) Penentuan dosis OAT oleh TAK yang dibuat berdasarkan

93
kelompok berat badan pasien.
b) Dosis yang diberikan adalah dosis maksimum, tetapi harus
tetap memperhatikan kondisi klinis pasien.
c) Perubahan dosis pada saat pengobatan sangatlah
dimungkinkan apabila TAK merekomendasikan hal tersebut.

Tabel Penentuan dosis OAT berdasarkan kelompok berat badan pasien :

OAT Berat Badan


< 33 kg 33-50 kg 51-70 kg >70 kg

Isoniazid 4-6 mg/kg/hari 200-300 mg 300 mg 300 mg

(Tablet, 100 mg)

Rifampisin 10-20 mg/kg/hari 450-600 mg 600 mg 600 mg

(Tablet 150 mg)


Pirazinamid 30-40 mg/kg/hari 1000-1750 mg 1750-2000 mg 2000-2500 mg

(Tablet, 500 mg)


Etambutol 25 mg/kg/hari 800-1200 mg 1200-1600 mg 1600-2000 mg

(Tablet, 400 mg)


Streptomisin 10-20 mg/ 500-750 mg 1000 mg 1000 mg
kg/hari
(Vial, 1000 mg)
Kanamisin 15-20 mg/kg/hari 500-750 mg 1000 mg 1000 mg

(Vial, 1000 mg)


Levofloksasin 750 mg per hari 750 mg 750 mg 750-1000 mg

(Kaplet, 250 mg)

2. Penatalaksanaan TB XDR

94
Definisi kasus TB XDR adalah kasus TB MDR yang juga resisten terhadap
salah satu fluorokuinolon (Ofloksasin, Levofloksasin atau Moksifloksasin)
dan sekurangnya satu OAT suntik lini kedua (amikasin, kapreomisin atau
kanamisin).

Untuk melakukan diagnosis kasus TB XDR harus tersedia fasilitas


laboratorium yang mampu melakukan pemeriksaan uji kepekaan dan
tersertifikasi baik untuk OAT lini pertama dan lini kedua. Saat ini
laboratorium yang tersertifikasi di Indonesia mampu melaksanakan uji
kepekaan OAT lini pertama untuk isoniazid, rifampisin, streptomisin atau
etambutol dan OAT lini kedua untuk ofloksasin, kanamisin atau amikasin.

Suspek TB resisten OAT yang berasal dari fasilitas non DOTS, hasil
anamnesis diketahui mempunyai riwayat pernah mendapatkan pengobatan
TB dengan kuinolon dan atau suntikan dari lini kedua, harus dilakukan
pemeriksaan uji kepekaan M.tuberculosis untuk OAT lini pertama dan
kedua sejak dari awal. Uji pendahuluan PMDT yang dilakukan di Jakarta
menunjukkan bahwa pasien terkonfirmasi TB XDR juga ditemukan dari
kriteria suspek kasus kronis maupun kambuh yang kemungkinan besar
terjadi karena anamnesis, pencatatan yang kurang lengkap dan kebiasaan
pasien untuk shopping pengobatan.

Dari seluruh kasus TB resisten obat yang saat ini diobati di Indonesia dalam
kerangka PMDT, ditemukan sekitar 4% kasus yang terdagnosis sebagai
pasien TB XDR. Mengingat jumlah kasus yang masih sedikit maka
penatalaksanaan pasien TB XDR untuk saat ini belum masuk secara
menyeluruh dalam kegiatan PMDT dan akan ditanggulangi menggunakan
pendekatan dan ketentuan khusus.
Prinsip pengobatan, aturan administrasi dan pendekatan yang dipakai
dalam pengobatan TB XDR sama dengan TB MDR.

95
Paduan ideal untuk pasien TB XDR adalah paduan individual yang
disesuaikan dengan kondisi masing-masing pasien serta berdasarkan hasil
uji kepekaan M.tuberculosis terhadap OAT lini 1 dan lini 2. Akan tetapi
paduan ini memerlukan sumber daya, biaya dan sarana yang besar.
Mengingat keterbatasan yang ada maka untuk pengobatan TB XDR dibuat
berdasarkan paduan standar TB MDR dengan penambahan ketentuan
sebagai berikut:
 Levofloksasin diganti dengan Moksifloksasin,
 Kanamycin diganti dengan Kapreomisin,
 Paduan harus ditambahkan PAS.

Sehingga paduan standar untuk TB XDR di Indonesia saat ini adalah:


Cm– Mfx– Eto – Cs – PAS – Z – (E) / Mfx– Eto – Cs – PAS – Z – (E)

Bila paduan dianggap masih kurang adekuat yang dibuktikan dengan


respon klinis yang jelek maka dapat dipertimbangkan untuk menambahkan
minimal 2 jenis OAT dari kelompok ke-5. Perlu diingat bahwa OAT
kelompok 5 ini masih belum terbukti efektifitasnya. OAT kelompok 5 terbukti
bekerja secara in vitro tetapi belum terbukti efeknya secara in vivo.
Plilihan untuk OAT kelompok 5 adalah: Klofazimin, Amoksilin- asam
klavulanat, Klaritromisin dan Linezolid

Prinsip pemberian obat untuk pasien TB XDR:


 Penggunaan minimal 4 OAT yang masih efektif selama 24 bulan.

 Memulai pengobatanTB XDR harus dengan pengawasan pengobatan


yang ketat, penyuluhan dan konseling yang efektif, pemantauan efek
samping pengobatan dan terutama menanggulangi tokisisitias obat.

 Sesuaikan pemantauan efek samping dengan obat yang digunakan.

96
 Bila memakai obat dari OAT kelompok 5 seperti amoksiklav atau
klaritromisin maka perlu ditambahkan antasida secara rutin dengan
memberi jarak dengan pemberian moksifloksasin.

 Obat yang terbukti gagal dalam pengobatan sebelumnya atau terbukti


sudah menjadi resisten tidak diberikan lagi. Berdasarkan data dari
National Jewish Medical and Research Center dilaporkan bahwa
terdapat penurunan efikasi obat yang pernah digunakan, sesudah 1
bulan pemberiannya walau uji kepekaan obat membuktikan masih
sensitif. Walaupun demikian, sebagian besar ahli merekomendasi obat
lini pertama tetap diberikan dengan catatan uji kepekaan obat
menunjukkan isolat masih sensitif terhadap OAT lini pertama.

 Pertimbangkan efek samping dalam pemilihan obat. Sebagai contoh


pada pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal, psikosis atau
gangguan perlaku pemakaian sikloserin sebaiknya dihindari.

 Pada keadaan yang mengharuskan salah satu OAT pada paduan


standar TB XDR tidak bisa diberikan lagi maka dapat diganti dengan 2
jenis obat dari OAT kelompok 5

Ketentuan Umum dalam pengobatan pasien TB XDR di Indonesia

1. Bila dtemukan Kasus TB XDR maka FASYANKES yang mengidentifikasi


kasus harus melaporkan hal tersebut kepada POKJA dan TAK Nasional.

2. POKJA akan melakukan kajian dan memberikan rekomendasi apakah


pasien akan diobati atau tidak. Fasyankes akan mendapat jawaban
maksimal 10 hari kerja.

3. Secara umum pasien akan diobati menggunakan paduan standar untuk


TB XDR.

97
4. Bila dengan paduan standar tersebut tidak memberikan respons yang
diharapkan maka rejimen akan diubah menjadi paduann individualistik.
Jenis OAT yang disediakan adalah OAT yang telah disebut di atas.

5. Keberhasilan pengobatan TB DR lebih rendah daripada pengobatan TB


MDR, sehingga perlu dilakukan proses inform consent ulangan yang
menerangkan hal tersebut kepada pasien dan keluarga.

98
Lampiran 2 :

Algoritma Penanganan Efek Samping OAT MDR

Hampir semua OAT yang dipakai dalam pengobatan pasien TB MDR saat ini
memiliki potensi untuk menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan pada sebagian
besar pasien. Tetapi karena pilihan OAT yang sudah terbatas dan pada
beberapa kondisi merupakan pilihan terakhir untuk menyembuhkan pasien maka
obat tersebut harus diberikan. Untuk menjamin kepatuhan pasien TB MDR agar
mau menjalani pengobatan sampai sembuh maka upaya dan dukungan
semaksimal mungkin harus diberikan, termasuk penanganan efek samping yang
tepat dan rasional.
Penanganan efek samping dilaksanakan secara sistematis, dimulai dari proses
pemberian KIE kepada pasien dan keluarganya. Pada awal pengobatan TB MDR
perlu dijelaskan mengenai manfaat dan resiko pengobatan yang akan dijalani
pasien. Petugas kesehatan harus memastikan bahwa pasien memahami
beberapa hal, antara lain :
 Bahwa pasien memerlukan pengobatan atas sakit yang diderita dan semua
jenis obat yang diberikan sangat penting untuk kesembuhan pasien.
 Bahwa akan ada kemungkinan efek samping yang akan muncul dan tidak bisa
dihindari, tetapi semua upaya yang memungkinkan akan diambil untuk
mempermudah jalannya pengobatan.
 Bagaimanapun pasien harus mempersiapkan mental agar dapat memberikan
toleransi terhadap beberapa ketidaknyamanan dan reaksi-reaksi ringan yang
mungkin muncul.

Sebagai prinsip dasar dalam penanganan efek samping OAT MDR adalah
segala upaya yang memungkinkan untuk penanganan efek samping tanpa
merubah paduan OAT MDR harus didahulukan. Prinsip tersebut yang
diterjemahkan dalam urutan algoritma yang ada di pedoman ini. Pengurangan
dosis, penghentian dan penggantian OAT MDR dilakukan sebagai langkah

99
terakhir karena pada kenyataan sudah tidak banyak pilihan OAT yang bisa
diberikan kepada pasien TB MDR.
Semua keputusan terapetik yang berkaitan dengan penanganan efek samping
dilakukan secara sistematis sesuai berat ringannya gejala. Untuk penanganan
efek samping berat direkomendasikan untuk dilaksanakan dalam sebuah tim
yang multi keahlian agar keputusan yang diambil bisa tepat sasaran. Anggota tim
tersebut selain memiliki keahlian dan kompetensi dasar keilmuan, juga
diharapkan mempunyai dasar pemahaman yang cukup mengenai prinsip-prinsip
pengobatan pasien TB MDR.

100
Algoritma 1 : Mual/ Muntah

Muntah ada Kirim ke fasyankes Pusat


darahatau coffee Rujukan mungkin
Mual/ Muntah Y ground material Y perdarahan
lambungdandikelolaseba
gai perdarahan GIT

Kirim ke fasyankes Pusat


Hanya mual Ikterus, Nyeri perut kanan Y Rujukan PMDT Tangani
atas sebagai kasus
Hepatitis (Lihat
algoritma 14)
T

Tanda dehidrasi berat: Mulut kering, mata cekung,


hipotensi, nadi cepat dan lemah , lemas

T Y

Rawat Inap Rehidrasi:


TERAPI Infus NaCl 0,9% 500 ml dalam 1 jam
pertama, 500 ml dalam 6 jam

Bilai disertai muntah, cek elektrolit bila perlu, Penggantian elektrolit


Tahap 1 Pemberian OAT TB MDR dengan dosis terbagi (tetap mengacu pada DOT) t.u Eto dan atau PAS
( tergantung obat mana yang kemungkinan menjadi penyebab.
Bila pasien di rawat inap atau bila DOT bisa diatur maka bisa diupayakan pemberian OAT TB MDR pada
malam hari
bila mendapat PAS berikan 1 jam sebelum OAT yang lain.

Berikan anti emetik : Promethazin 12.5-25 mg p.o, minimal 30 menit sebelum minum OAT TB MDR.
Bila mual/ muntah menetap berikan Metoklopramid 10 mg/hari p.o yang bisa dinaikkan sampai 15mg 2x/hari. Pantau
Tahap 2 munculnya gejala neurologist, hindari pemakaian bila ada gangguan neurologis.
Bila mual/ muntah masih persisten, berikan Ondansetron 4 mg p.o 30 menit sebelum minum OAT dan diulang 8 jam
setelah minum OAT. Dosis bisa dinaikkan sampai 24 mg p.o 30 menit sebelum minum OAT.

Tahap 3 Berikan anti emetik : Difenhidramin 10 mg i.m bila sangat diperlukan atau pasien tidak bisa minum obat
oral atau mual/muntah persisten.
Berikan diazepam 2 mg p.o bila mual/ muntah tersebut terkait dengan kecemasan ( anticipatory vomiting)
Hindari bila status respirasi tidak stabil atau dengan risiko retensi CO2.

Tahap 4 Penyesuaian dosis OAT oleh TAK, misalnya dosis Etodan atau PAS disesuaikan dengan memperhatikan
dosis tetap sesuai rekomendasi, hindari penurunan dosis lebih dari satu kelompok berat badan.

101
Tambahan :
1. Kehamilan bisa dipertimbangkan menjadi penyebab keluhan mual dan
muntah terutama pada pasien perempuan yang sebelumnya tidak muncul
gejala tersebut.
2. Mengidentifikasi OAT penyebab akan sangat membantu, suatu tes
sederhana untuk identifikasi bisa dilakukan, yaitu dengan tidak memberikan
etionamid selama 1-2 hari. Bila gejala mual/muntah tidak muncul maka
penyebabnya adalah etionamid, bila masih muncul teruskan dengan
menghentikan PAS untuk 1-2 hari. Berikan kembali etionamid dalam dosis
terbagi atau dengan diberi jarak 1 jam dari obat oral yang lain. Bisa pula
diberikan anti emetik 30 menit sebelum pasien minum etionamid.
3. Serpihan es batu mungkin akan membantu mengurangi rasa mual
4. Bila ada indikasi terjadi gastritis, tangani secara simultan sesuai algoritma 8.
5. Bila semua langkah telah dilakukan dan mual/ muntah masih persisten maka
pertimbangkan penggantian OAT penyebab bila syarat empat OAT yang
masih efektif bisa terpenuhi.

102
Algoritma 2 : Diare

Frekwensi > 3 kali sehari T Observasi,


konsumsi cairan lebih banyak

Observasi,
Apakah feses lunak/ konsumsi cairan lebih banyak
lunak cek elektrolit bila banyak cairan
cair
yang hilang, lihat algoritma 7.

Cair

Ada darah / lendir? Tangani kemungkinan


Demam? Y
Infeksi bakterial: C. difficile,
giardia, cholera, dysentery etc.
Lakukan pemeriksaan feses dan
kultur
Hindari obat anti motalitas
T

TERAPI
TERAPI Kausatif
(bukan Efek samping)

Rehidrasi oral (cairan rumah tangga, Oralit) atau i.v tergantung derajat dehidrasi
Tahap 1 Menambah Intake cairan
Makanan: hindari makanan berlemak, perbanyak sayur,konsumsi buah.
Penggantian elektrolit bila perlu (Algoritma 7)

Tahap 2 Lactobacillus atau yogurt (2 jam setelah kuinolon)


Kaopektin / Atapulgit, Aluminium Hidroksida (2 jam setelah kuinolon), Norit
Tahap 3 Loperamid 2-4 mg p.o atau 1-2 mg p.o sehabis BAB, max 10-16 mg/hari

Tahap 4 Bila semua langkah tidak menghentikan diare, kurangi dosis obat yang dicurigai
selama masih memenuhi range terapi. Bila tidak berhasil pertimbangkan
penggantian OAT yang kelasnya sama bila ada.

103
Algoritma 3 : Athralgia

Nyeri atau radang pada


persendian

mungkin OA, AR maupun


Terjadi tiba-tiba atau pernah penyakit sendi kronis/
ada keluhan sebelumnya Kronis degeneratif lain.
(Bukan efek samping obat)

Akut
Tangani sesuai penyebab

Periksa kenaikan kadar asam


T Pseudogout
urat serum

TERAPI

Tahap 1 Terapi dengan OAINS dosis rendah (Ibuprofen 200-400 mg TID prn ), atau
Acetaminophen 325-600 mg PO setiap 4-6 jam prn
Allupurinol 200-300 mg p.o satu kali/ hari,

Tahap 2 Bila keluhan menetap atau makin berat, konsultasi dan rawat bersama dengan ahli rematologi/
penyakit dalam

Tahap 3 Tirah baring sampai 24 jam setelah serangan menghilang.


Turunkan dosis OAT penyebab (Z, Lfx). Penghentian adalah pilihan terakhir
Pirazinamid bisa dihentikan tanpa diganti obat lain, selama 4 OAT yang efektif masih
diberikan.

104
Algoritma 4 : Vertigo

Gejala vertigo

Intensitas vertigo berat


Pasien merasa sakit berat dan lebih suka
diam tak bergerak
Tidak ada gejala neurologis lain
T Vestibuler Sentral
Pendengaran normal

Kelainan fosa posterior batang otak


(Bukan Efek Samping)
Y

Vestibuler Perifer

TERAPI

Pemberian antihistamin-antivertigo : Betahistine Mesilat 6-8 mg 3x/hari


Tahap 1 Konsultasi dan rawat bersama dengan Ahli neurology, bila keluhan menetap
Bila disertai mual/muntah beratRujuk Algoritma 1.
Berikan OAT suntik 1 jam setelah pemberian OAT oral.

Obat anti vertigo diberikan dan tidak memberikan efek, tirah baring selama 1-2 hari
Tahap 2 Bila mual dan muntah berat maka cairan intravena diberikan untuk mencegah dehidrasi

Tahap 3 Merujuk ke Tim Ahli Klinis untuk latihan fiksasi visual dan latihan vestibular beberapa
hari setelah gejala mereda.

105
Algoritma 5 : Nyeri Kepala

Nyeri kepala

Nyeri kepala dengan kaku kuduk, Rujuk ke fasyankes Pusat


fotofobia, demam, penurunan kesadaran Y Rujukan PMDT
Kemungkinan Meningitis

Nyeri kepala berdenyut disertai mual,


muntah dan anoreksia. Y Mungkin Migren
Aura, fotofobia dan fonofobia
Keluhan mereda bila tidur atau suasana
gelap
Terapi empirik migren :
Analgesik, Ergotamin,
Sumatriptan

TERAPI

Pemberian analgesik bila perlu (aspirin, parasetamol, ibuprofen).


Tahap 1 Hindari OAINS pada pasien dengan gastritis berat dan hemoptysis.
Tingkatkan pemberian Piridoksin menjadi 300 mg bila pasien mendapat Cs.

Dukungan psikososial untuk mengurangi pengaruh emosi yang mungkin berpengaruh terhadap
Tahap 2 nyeri kepala bila dengan obat tidak berkurang.
Paduan analgesic dengan obat anti inflamasi : Parasetamol 500 mg dan kodein 30 mg p.o 3x/hari
bila nyeri kepala menetap. (perhatian: hati-hati terhadap adiksi obat ini)

Tahap 3 Amitriptilin 100 – 150 mg pada malam hari.

Tahap 4 Turunkan dosis tetapi masih dalam rentang dosis yang direkomendasikan.
Konsultasi dan rawat bersama dengan ahli neurologi.

106
Algoritma 6 : Insomnia/ Gangguan Tidur

Gangguan Tidur

Berapa lama mengalami


gangguan tidur

< 1 minggu 1-3 minggu > 3 minggu

Transient Short Term Long Term


Insomnia Insomnia Insomnia

Biasanya berhubungan dengan


gangguan tidur primer, gangguan
Biasanya berhubungan dengan stres yang akut, psikis dan gangguan kesehatan
perubahan kehidupan sosial, faktor lingkungan kronis yang berat
dan efek samping obat

TERAPI
Rujuk ke Ahli Jiwa

Berikan OAT yang dicurigai pada pagi hari, jauh sebelum waktu tidur pasien.
Tahap 1 Pemberian dukungan psikososial pada pasien,e .g., reassurance.
Lakukan konseling.
Lakukan pola tidur yang baik.
Tidur dan bangun secara reguler, hindari tidur pada siang hari.
Hindari konsumsi minuman berkafein (teh, kopi, softdrink), rokok dan obat dekongestan.
Lakukan kegiatan ringan sebelum tidur, min 20 menit.Hindari langsung tidur setelah makan
atau tidur dengan perut kosong.
Hindari perasaan cemas dan frustasi

Tahap 2 Pemberian Diazepam 2 – 5 mg p.o, lama pengobatan dibatasi sd 3 hari untuk transient
insomnia dan sd 2 minggu untuk short term insomnia
107
Algoritma 7 : Gangguan Elektrolit

Pasien muntah atau diare ?


Merasa letih atau kram otot?
Lemas atau paralisis

Cek Elektrolit (K, Mg, Ca)

Hipokalemia Hipomagnesemia Hipokalsemia


(<3.5 meq/L ) (< 1.5- 2 mg/dL)

Gejala Tetani
Gejala Berat: Gejala Ringan : Gejala :
Gangguan Konstipasi, kram, Aritmia, kram,
jantung, kejang, lelah, kelemahan lelah, kelemahan Rawat di fasyankes Pusat
ileus otot, penurunan otot rujukan PMDT. Pemberian
reflek Kalsium glukonas 10% dalam
cairan NaCl 0,9%
Hipokalsemia sering
disebabkan oleh
hipoalbuminemia. Periksa
Rawat Inap albumin dan kalsium bebas.
TERAPI

Bila ada muntah atau diare lakukan tatalaksana sesuai bagian lain pedoman ini,
Tahap 1 Sementara hentikan kuinolon bila ada gangguan jantung.
Periksa EKG. Bila terjadi prolonged QT interval, hentikan kuinolon terutama Mfx dan Ofx, dan
haloperidol bila ada.
Untuk hipokalemia, berikan tambahan makanan yang banyak mengandung K seperti pisang,
jeruk, tomat dan jus anggur.
Lakukan penggantian elektrolit sesuai dengan pedoman dengan mempertimbangkan berat ringan
gejala yang ada (lihat Juknis tatalaksana TB MDR, pastikan fungsi ginjal normal sebelum
penggantian elektrolit.
Hipomagnesemia sering disebabkan oleh hipokalemia dan hipokalsemia, terapi keduanya terlebih
dahulu.
Pemberian Kalium oral dapat menimbulkan mual muntah yang signifikan, pemberian Mg oral
dapat menimbulkan diare, sehingga hati-hati pemberian oral pada pasien dengan keluhan tersebut.

Mengurangi sekresi ion Kalium dan Magnesium :


Tahap 2 Pemberian Amiloride 5-10 mg 1x/hari, atau
Pemberian Spironolakton 25 mg 1x/hari
108
Algoritma 8 : Gastritis
Sindrom dispepsia : nyeri epigastrium, mual, muntah, kembung

Ada tanda perdarahan Rujuk ke RS


(Hematemesis, Melena) Y

Nyeri bertambah bila makan

Y T

Gastritis Tipe Ulkus Gastritis tipe dismotilitas

TERAPI Bukan efek samping

Berikan OAT dengan dengan makanan yang tidak terlalu berat atau setelah makan
Tahap 1 Hindari kafein (kopi, teh, atau soda) dan merokok.
Pemberian OAT TB MDR dengan dosis terbagi dengan tetap mengacu pada DOT ( untuk Eto dan atau PAS,
tergantung OAT mana yang dicurigai sebagai penyebab)
Bila pasien di rawat inap atau DOT bisa diatur maka dimungkinkan pemberian OAT TB MDR pada malam
hari, bila mendapat PAS berikan 1 jam sebelum OAT yang lain.

Dilakukan rawat bersama dengan ahli gastrenterologi/ ahli penyakit dalam.


Tahap 2 Pemberian terapi empirik untuk gastritis selama 2 minggu , yaitu salah satu dari :
PPI : Omeprazol 20 mg p.o 1x/ hari, setiap pagi, atau
Antagonis H2 : Ranitidin 2x150 mg p.o, malam hari.
Bila tidak ada perbaikan maka berikan antacid dengan jarak 2 jam sebelum atau 3 jam setelah pemberian
kuinolon. Beberapa catatan :
Al (OH) mungkin memperingan gejala diare.
Mg(OH) mungkin menimbulkan konstipasi.
Prokinetik : metoclopramide 10 mg p.o bila ada refluks esofagitis.

Bila keadaaan bertambah berat di rujuk ke RS rujukan, TAK bisa mempertimbangkan :


Tahap 3 Penghentian sementara OAT TB MDR, selama 1-7 hari bila keluhan tidak terkendali.
Penurunan dosis within the recommended range.
Penghentian OAT penyebab selama masih tersedia 4 OAT yang masih efektif.
109
Algoritma 9 : Anoreksia

Asupan makanan berkurang T Observasi

Mudah merasa kenyang Makan dengan porsi kecil


Y
dengan frekwensi lebih sering

Intoleransi terhadap beberapa bahan


makanan (Susu/ makanan berlemak) Y Hindari makanan pemicu

Anoreksia dengan simptom lain :


Insomnia, letih, kehilangan minat, Tangani Depresi
konsentrasi, kelambanan motorik Y Lihat Algoritma 12.

Anoreksia dengan mual, muntah, Tangani Hepatitis. Lihat


Y Algoritma 14.
diare, letih, lesu
Tangani symptom lain

Perbaikan gizi, pemberian PMT


Anoreksia mungkin adalah gejala depresi.
Lakukan konseling dan berikan dukungan sosial Penambah nafsu makan
bila diperlukan. Nutrisi enteral/ parenteralbila terjadi
Pemantauan BB, pengaturan diet. malnutrisi berat.
Edukasi mengenai gizi dan kualitas makanan
Anjurkan pasien untuk cukup istirahat dan olah
raga teratur.
110
Algoritma 10 : Psikosis/ Gangguan perilaku
Halusinasi pendengaran/ penglihatan
Pikiran dirasuki pikiran orang lain Observasi
Mulai berperilaku aneh T Bila tanpa perilaku aneh
mungkin depresi ringan

Y Mungkin Psikosis

Cenderung melukai diri sendiri/ orang lain Rujuk ke RS


Mengutarakan keinginan bunuh diri Rawat inap
Keamanan pasien/ lingkungan

Apakah pasien minum obat lain? Y

T Yakinkan tidak ada penyebab lain termasuk pemakaian


obat lain non OAT, kejang, kecanduan alkohol, dll. Jika
ada penyebab lain diterapi penyebabnya.
TERAPI

Tahap 1 Konsulkan ke Psikiater


Evaluasi kemungkinan Cs menjadi penyebab, hentikan pemberian Cs untuk sementara

Berikan Haloperidol 5 mg IV atau IM, ulangi bilamana respon tidak ada, bila ada respon
Tahap 2 berikan Haloperidol 2 mg p.o/ hari. Bila gejala muncul kembali dosis naik 2 mg/ hari
maksimal 10 mg/ hari.
Diazepam 2-5 mg dapat pula diberikan bila ada gejala kecemasan/ansietas.
Tingkatkan dosis B6 sampai 300 mg/ hari

Tahap 3 Bila respon belum memadai terapi psikosis dilanjutkan dengan supervisi oleh psikiater.
Difenhidramin 25 mg untuk mencegah gejala ekstra piramidal.

Tahap 4 Kurangi dosis Cs


Beri dukungan Psikososial, lanjutkan terapi antipsikotik bila ada kecemasan/ depresi

111
Algoritma 11 : Dermatitis
Dermatitis

Singkirkan penyebab lain

Tidak ada kemungkinan penyebab


lain

Ruam berat Ruam ringan

Hentikan pengobatan sampai ruam Lakukan penanganan simptomatik


hilang

Terapi simptomatik :
Perkenalkan kembali OAT melalui Antihistamin :
trial selama 3 hari* CTM 3 x 2 mg, Cetirizin 1x 10 mg
Topikal :
Hidrokortison Krim 1 % 2-3x/ hari

Hentikan pemberian OAT penyebab


dermatitis, re-evaluasi kekuatan paduan
OAT TB MDR

Catatan :
Bila reaksi kulit berat mulai dengan dosis 1/10 dari dosis awal
Urutan OAT TB MDR yang menyebabkan reaksi kulit dari yang paling kuat:
Pirazinamid
Ethionamid
Sikloserin
Etambutol
PAS
Kanamisin

112
Algoritma 12 : Depresi
> 2 mg mengalami perasaan sedih menetap, hilang
konsentrasi dan minat, penurunan nafsu makan, perasaan T Observasi
tak berguna/ bersalah, memikirkan kematian

Cenderung melukai diri sendiri/ orang lain Rujuk ke RS untuk Rawat inap
Y
Mengutarakan keinginan bunuh diri Keamanan pasien/ lingkungan

Delusi, halusinasi, Pemikiran inkoheren, bicara aneh, Psikosis


Y
perilaku katatonik

Konstipasi, intoleransi, kram otot, kenaikan BB


Menstrual bleeding meningkat, pembesaran Tiroid Y Hipotiroidisme
Kulit kering, rambut rontok

Mungkin efek samping OAT (Cs,Lfx,Eto) atau obat lain


Pertimbangkan ulang kepentingan pemberian obat tersebut

Tahap 1 Konseling pada pasien dan keluarga, dukungan psikososial untuk mengurangi dampak
stresor.
Terapi dalam kelompok pelalui diskusi peer group/ FGD

Pengobatan TB MDR diteruskan


Tahap 2 Bila tidak ada perbaikan dengan dukungan psikososial, berikan :
Kenaikan dosis Piridoksin sd 300mg /hari
Anti depresan : (hati-hati pada pasien dengan konvulsi)
Trisiklik : Amitriptilin, atau
Serotonin selective re-uptake inhibitor : Fluoxetin
Pertimbangkan pemberian anti psikotik dan benzodiazepin dibawah supervisi psikiater

113
Algoritma 13 : Nefrotoksis
Muncul gejala :
Lakukan pemantauan rutin fungsi ginjal
Penurunan produksi urin, Edema atau anasarka, Lemah,
sesuai pedoman
Muntah, Kesulitan bernafas

Pemeriksaan BUN dan atau Kreatinin T Observasi/Monitoring


(Cek urinalisis bila ada tanda bahaya)

Kenaikan BUN dan atau Kreatinin dibandingkan baseline/


pemeriksaan sebelumnya

TERAPI

Tahap 1 Monitoring BUN dan Kreatinin mingguan.


Pertimbangkan untuk rawat inap bila gejala berat
Bila ada perbaikan, kurangi frekwensi monitoring BUN dan kreatinine 2 minggu sekali kemudian sebulan
sekali bila perbaikan berlanjut. Pantau perkembangan dan normalisasi kadar BUN dan Kreatinin bila
pengobatan TB-MDR dimulai lagi
Bila ada gangguan elektrolit, lihat algoritma 7.

Tahap 2 Bila kondisi pasien membaik maka lakukan penggantian Km dengan Cm, direkomendasikan untuk
memberikan secara intermiten sesuai pedoman.
Bila BUN dan kreatinin tidak turun maka hentikan pemberian OAT suntikan dang anti dengan OAT lain yang
tidak atau relatif lebih tidak nefrotoksik, sesuai rekomendasi dari ahli nefrologi/ penyakit dalam.

Tahap 3 Lanjutkan pengobatan dengan :


Monitor rutin BUN dan Kreatinin setiap bulan selama sisa masa pengobatan
Pengawasan lebih ketat untuk kemungkinan gagal pengobatan atau penguatan resistensi bila terjadi
ketidakteraturan akibat penanganan gangguan ginjal akut.

114
Algoritma 14 : Hepatotoksis

Pasien dengan gejala ikterik, mual/muntah berat, urin berwarna coklat tua,
BAB seperti depul, Nyeri perut kanan atas dan pruritus

Periksa LFT

LFT naik LFT normal

Terapi Simptomatik
<3x >3x

Lanjutkan terapi OAT


kecuali bila pasien mengalami Ikterus
Periksa LFT rutin mingguan

LFT normal TERAPI

Tahap 1 Hentikan semua OAT


Singkirkan kemungkinan penyebab lain seperti : Hepatitis A, B, C, infeksi viral lain, alkohol, konsumsi
obat lain (asetaminofen, anti konvulsan, golongan sulfa, dll.) Lakukan terapi sesuai penyebabnya.
Lakukan rawat inap bila perlu sampai kondisi pasien stabil dan LFT turun.

Tahap 3 Lakukan pemeriksaan LFT mingguan sampai kondisi benar-benar stabil.


Mulai kembali pemberian OAT sesuai protokol dosis uji dimulai dari OAT yang paling hepatotoksik
Lakukan monitoring LFT 2 x seminggu, kemudian sekali seminggu, setiap 2 minggu dan sebulan sekali
sampai kondisi stabil dengan OAT dosis penuh.
Hentikan pemberian OAT yang terbukti menyebabkan DIH secara permanen.
Tambahkan OAT Group 4 dan Group 5 untuk memastikan pemberian OAT yang efektif bila ada OAT
hepatotoksik yang harus diganti.

115
Algoritma 15 : Hipotiroidisme

Evaluasi :
Kelelahan, pembesaran tiroid, letih, lesu,
depresi, konstipasi, tidak tahan dingin,
sulit konsentrasi, hilang nafsu makan, BB N Observasi
naik, kulit kering, rambut rontok

Periksa TSH, bila tersedia

TSH > 10mU/L N Pertimbangkan


Depresi

Terapi

Pemberian terapi sulih hormon : Levotiroksin/ Natrium tiroksin


Pasien < 60 tahun tanpa riwayat gangguan jantung, mulai dengan dosis 50 - 100 mcg
Tahap 1 Dosis terapi antara 100 - 200 mcg
Monitor dengan pemeriksaan TSH setiap bulan sampai dosis efektif Tiroksin diketahui,
kenaikan bertahap 12,5 – 25 mcg.
Setelah stabil lakukan monitoring setiap 4 bulan.

Setelah pengobatan TB MDR selesai


Levotiroksin tetap diberikan.
Tahap 2 Lakukan monitoring TSH 3 bulan setelah pengobatan selesai, bila TSH sudah normal
maka hentikan pemberian Levotiroksin
Bila tidak tersedia pemeriksaan TSH lakukan monitoring gejala. Bila tidak ada gejala
hipotiroid yang muncul maka hentikan pemberian Levotiroksin.

116
Algoritma 16 : Gangguan Pendengaran

Riwayat paparan aminoglikosida (Sm,


Km, Am) dan/atau Cm

Lakukan pemeriksaan baseline Audiometri


dan perkuatan KIE
==

Normal Tuli Ringan Tuli Sedang 41-60 dB sampai


0-25 dB 26-40 dB Tuli Berat 41-80 dB

Gunakan Km Gunakan Cm Gunakan Cm 3X seminggu.


Rawat bersama ahli THT . Rawat bersama ahli THT dan
lakukan risk assessment potensi
pemberian alat bantu dengar

Audiometri setiap bulan Hasil Follow up :


Perubahan >20 dB
frekwensi berapapun
Perubahan >10 dB pada
2 frekwensi
Hasil Follow up :
Perubahan >20 dB
frekwensi berapapun
Perubahan >10 dB pada
2 frekwensi

Kurangi frekwensi
suntikan menjadi 3X
seminggu

Ikuti algoritma untuk


Tuli Ringan dan Berat

117
LAMPIRAN 3
FORMULARIUM OBAT EFEK SAMPING OAT MDR
No Kelas Terapi Nama Generik Sediaan
1. Analgetik,Antipiretik,an Asam Mefenamat Tab 250 mg
ti inflamasi Non Steroid Tab salut 500 mg
Ibuprofen Tab 200 mg, 400 mg
Ketoprofen Tab 100 mg
Inj 100 mg
Na Diklofenak Tab 25 mg, 50 mg
Meloksikam Tab 7,5 mg, 15 mg
Suppositoria
Piroksikam Tab 10 mg, 20 mg
Kap 20 mg
Cap 10 mg
Parasetamol Tab 100 mg, 500 mg
Syr 120 mg/ 5 ml
Sup 120 mg/ 240 mg
Tramadol Tab 50 mg, Cap 50 mg
Injeksi 50mg/ml
2. Anti Pirai Allopurinol Tab 100 mg, 300 mg
Probenesid Tab 500 mg
3. Anti Alergi Klorfeniramin Maleat Tab 4 mg
Inj 5 mg
Cetirizine Tab 10 mg
Deksametason Tab 0,5 mg
Inj.iv 5 mg/ ml
Prednison Tab 5 mg
Metilprednisolon Tab 4 mg, 8 mg, 16 mg
Inj 500 mg
Hidrokortison Krim 1%; 2,5%
Difenhidramin Inj.im 10 mg/ml
4. Anti Anafilaksis Epinefrin Inj.sk/im 0,1%
5. Anti Epilepsi-Anti Diazepam Tab 2 mg, 5 mg
konvulsi Inj 5 mg
Fenitoin Tab 30 mg, 100 mg
Inj 50 mg
Fenobarbital Tab 30 mg, 100 mg
Asam Valproat Tab 150 mg, 300 mg

118
6. Antasida – Anti ulkus Antisida DOEN I Tablet kunyah
Antasida DOEN II Susp 60 ml
Ranitidin Hidroklorida Tab 150 mg
Inj 25 mg/ 2 ml
Omeprazol Cap 20 mg
Lansoprazol Tab 30 mg
Sukralfat Tab 500 mg
Susp 500 mg/5 ml
7. Anti emetik Metoklopramid Tab 5 mg, 10 mg
Syr 5 mg/ml
Inj 5 mg/ml
Prometazin Tab 25 mg
Difenhidramin Inj 10 mg/ml
Ondansetron Tab 4 mg
Domperidon Tab 10 mg
Susp 5 mg/ 5 ml
8. Diare Garam oralit Sachet
Loperamide Tab 2 mg
Norit Tablet
9. Anti spasmodik Atropin Tab 1 mg
Inj im/iv/sk 0,25 mg/ 1
mg
Ekstrak Belladona Tab 10 mg
10. Katartik Bisacodil Sup 5 mg/ 10 mg
Gliserin Susp 100 ml
11. Anti tusif Dekstrometorfan Tab 15 mg
Syrup 10 mg/ 5 ml
Kodein Tab 10 mg
12. Ekspektoran Gliseril guaiakolat Syr 25 mg/ 5 ml
Tab 100 mg
OBH Cairan 100 ml, 200 ml
13. Mukolitik Ambroxol Tab 30 mg
Syr 15 mg/ml
14. Anti ansietas – anti Diazepam Tab 2 mg, 5 mg
insomnia Inj im 5 mg/ml
Alprozolam Tab 0,25 mg; 0,5 mg; 1
mg
15. Anti depresi Amitriptilin Tab 25 mg
Fluoksetin Cap 10 mg, 20 mg

119
16. Anti psikosis Haloperidol Tab 0,5 mg, 1,5 mg, 2
mg, 5 mg
Klorpromazin Tab salut 25 mg, 100 mg
Inj im 25 mg/ ml
17. Gejala Ekstrapiramidal Triheksifenidil Tab 2 mg
18. Anti Vertigo Betahistin mesilat Tab 6 mg
19 Diuretik Furosemid Tab 40 mg
Inj 10 mg
Sprironolakton Tab 25 mg, 100 mg
HCT Tab 25 mg
20. Vitamin dan Mineral Asam askorbat Tab 50 mg
Kalsium glukonas Inj 100 mg/ml
Kalsium laktat Tab 500 mg
Nikotinamid
Piridoksin
Retinol

Anti hipotiroid Na Tiroksin Tab 0,1 mg


Syok
Anti Migren

120
LAMPIRAN 4
PELAKSANAAN RAMPING OBAT (DOSIS INCREMENTAL)
Metode ramping adalah salah satu metode memulai pengobatan TB MDR yang
bertujuan untuk meminimalkan efek samping yang dialami pasien yang
menggunakan OAT lini kedua (Etionamid, Sikloserin dan PAS) yaitu keluhan
gastrointestinal berupa mual, muntah dan nyeri lambung.
Ramping obat yang direkomendasikan dilaksanakan maksimal 1 minggu.
Pengobatan dimulai dan mulai dicatat ketika pasien sudah menerima dosis
penuh obat.

Tabel. Ramping OAT Lini kedua

OAT Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Hari 5 Hari 6 Hari 7


(DP) (DP)
Eto 250 mg/tab 1 1 1 2 2 2 3
Cs 250 mg/cap 1 1 1 2 2 2 3
PAS 4 g/sachet 1 1 1 2 2 2 3
DP: Dosis Penuh

Langkah-langkah ramping obat :


1. Hari pertama dan kedua
- Pastikan pasien telah makan sebelumnya.

- Pertama kali berikanlah Levofloksasin dan Pirazinamid dosis penuh


disertai pemberian minum yang banyak.
- Kemudian berikanlah injeksi Kanamisin.

- Setelah satu jam berikanlah satu tablet sikloserin, satu tablet


etionamid dan 1 sachet PAS (bila perlu).

2. Hari ketiga

121
- Berikanlah dosis penuh Levofloksasin dan Pirazinamid, serta satu
tablet sikloserin, satu tablet etionamid dan satu sachet PAS secara
bersamaan.
- Setelah itu baru injeksi kanamisin diberikan.

3. Hari keempat
- Lakukan langkah seperti pada hari ketiga.

- Setelah satu jam berikanlah sisa dosis sikloserin, ethionamid dan


PAS.
- Bila pasien mendapatkan dosis etionamid dan sikloserin sebanyak
2 tablet maka dosis penuh sudah tercapai.

4. Hari kelima dan keenam


- Berikan dosis penuh Levofloksasin dan pirazinamid serta dua tablet
etionamid, dua tablet sikloserin dan dua sachet PAS.
- Berikan suntikan kanamisin

5. Hari ketujuh
- Lakukan langkah seperti pada hari keenam.

- Setelah satu jam berikanlah sisa dosis sikloserin, ethionamid dan


PAS.
- Bila pasien mendapatkan dosis etionamid dan sikloserin sebanyak
3 tablet maka dosis penuh sudah tercapai.

122
Langkah menangani keluhan gastrointestinal :
Bila pada hari tersebut pasien mengalami mual, nyeri lambung, kehilangan nafsu
makan lakukan langkah-langkah sebagai berikut:
- Mintalah pasien untuk menghindari makanan yang terlalu pedas,
berbumbu dan berbau tajam. Hindari merokok dan minum the/ kopi
di pagi hari.
- Mintalah pasien untuk duduk ketika minum obat, terkadang posisi
duduk setengah tiduran sangat membantu mengurangi mual.
Minum banyak cairan (sekitar 3 cangkir penuh) akan sangat
membantu.
- Mintalah pasien untuk mengkonsumsi puding atau agar yang
mengandung susu sesaat sebelum minum obat.
- Berikan ranitidin 2 tablet pada pagi hari bangun tidur dan perut
kosong. Bisa pula ranitidin ini diminum malam hari sebelum tidur.
- Bila langkah-langkah di atas tidak mengurangi gejala dalam 2 hari
atau gejala mual dan muntah sangat berat maka berikan
Domperidone (10mg) setengah jam sebelum minum OAT hari
selanjutnya.

123
DAFTAR RUJUKAN

1. Dewan, P., Kluge, H., Jensen, P. Preventing Institutional Transmission of


multiple drug resistant TB. Presentation during Faridabad MDR TB Workshop,
August 2007.
2. Harkins, T.J. and Condos, Ram. Management of MDR. Rom, W.N. and
Garay, S.N. Tuberculosis. 2nd Edition. Lippincot, Williams & Wilkins: 729.
3. Komunikasi Pribadi: PMDT Training, Manila November-December 2008.
4. Leibert, Eric. And Rom, W.N. Principles of TB Management. Rom, W.N. and
Garay, S.N. Tuberculosis. 2nd Edition. Lippincot, Williams & Wilkins: 713.
5. PIH
6. PIH
7. TB Infection Control in the Era of Expanding HI V Care and Treatment. WHO:
Addendum to Guidelines for the prevention of TB in Health Care Facilities in
Resources Limited Setting.
8. WHO. Guidelines for the Programmatic Management of Drug Resistance
Tuberculosis. Emergency Update. WHO/HTM/TB/2008.402.
9. WHO. Anti Tuberculosis Drug Resistance in the World. Report no-4.
WHO/HTM/TB/2008.394.
10. WHO. Improving the diagnosis and treatment of smear-negative pulmonary
and extrapulmonary tuberculosis among adults and adolescents. WHO
/HIV/2007.01 - WHO /HTM /TB /2007.379.
11. WHO. Anti Tuberculosis Drug Resistance in the World. Report no-3.
WHO/HTM/TB/2004.343.
12. Wilson D et al. Diagnosing smear-negative tuberculosis using case definitions
and treatment response in HIV-infected adults. International Journal of
Tuberculosis and Lung Disease, 2006, 10(1):31–38.

124

Anda mungkin juga menyukai