Anda di halaman 1dari 11

DESAIN PEKERJAAN / DESAIN PENUGASAN

            Desain pekerjaan atau desain penugasan merupakan sebuah pendekatan yang
menentukan tugas-tugas yang terkandung dalam suatu pekerjaan bagi seorang atau
sekelompok karyawan. Desain pekerjaan atau desain penugasan dapat diartikan juga sebagai
suatu pendekatan tugas secara spesifik, yang ditetapkan menjadi suatu uraian tugas
(deskripsi) di antara pekerja dengan kelompok atau organisasi.
 a.    Spesialiasi Tenaga Kerja 
Spesialisasi tenaga kerja merupakan pembagian tugas secara khusus atau special,
yang dapat dilakukan dengan mengembangkan keterampilan karyawan, mengurangi kerugian
waktu sebagai akibat keengganan karyawan untuk melakukan peralihan tugas, serta pelatihan
untuk menggunakan peralatan secara special atau khusus.

 b.    Pengembangan Tugas/Pekerjaan


Pengembangan tugas karyawan dilakukan untuk dapat mengantisipasi perubahan
permintaan atas produk atau jasa dari pelanggan. Perubahan permintaan konsumen dapat
menjadi perubahan secara total sebagai sistem konversi, sehingga akan mengubah dan
mengembangkan tugas karyawan yang ada di dalam sistem konversi, antara lain dengan cara
memperluas tugas karyawan (job enlargement), melakukan mutasi tugas karyawan (job
rotation), memperkaya tugas karyawan (job enrichment), disertai dengan pemberdayaan
karyawan (employee empowerment).

 Memperluas tugas (job enlargement)


Merupakan penambahan jenis tugas yang bertujuan selain mengurangi sifat tugas yang
monoton sehingga karyawan menjadi jenuh, tujuan lainnya untuk menambah keterampilan
karyawan (dexterity)
.
 Perputaran tugas (job rotation)
Merupakan system pengembangan karyawan dengan melakukan mutasi atau rotasi tugas,
sehingga setiap tugas yang ada dalam kelompok kerja dapat dikuasai, apabila suatu kurun
waktu kemudian hari ada promosi bagi karyawan tersebut tidak akan ragu-ragu lagi untuk
mengatasi persoalan yang dihadapinya.

 Pengayaan tugas (job enrichment)


Merupakan memperkaya tugas karyawan dengan cara tertentu di dalam tugas yang sama.
Tujuannya adalah meningkatlan kepuasan kerja dan rasa percaya diri bagi karyawan, serta
dapat menciptakan efisiensi bagi perusahaan, artinya apabila tugas-tugas yang ada dapat
diselesaikan karyawan tersebut maka tidak diperlukan penambahan karyawan untuk
melakukannya.

 Pemberdayaan pekerja (employee empowerment),


Merupakan proses pendelegasian wewenang bagi karyawan dari atasan (manajer atau
supervisor) untuk mempersiapkan kerjanya. Pemberdayaan karyawan merupakan fungsi
atasan, seperti supervise dan pengarahan, serta motivasi bagi karyawan.

 Kepercayaan diri di dalam kelompok (self- directed teams)


Merupakan proses pemberdayaan karyawan untuk dapat bekerja sama di dalam
kelompok, di dalam kesatuan target.
3. Faktor Psikologis Dalam Desain Tugas
Karakteristik tugas mempunyai komponen psikologis :
1. Kemampuan yang bervariasi (skill variety), sehingga pekerja harus disesuaikan
dengan karakter kemampuan dan bakat karyawan,
2. Pengenalan tugas (job identity),
3. Signifikansi tugas (job significance),
4. Memberi kebebasan dalam kreasi tugas (autonomy),
5. Umpan balik (feed back), dan
6. Evaluasi performa secara periodik untuk mengetahui kemajuan dan kinerja karyawan,
baik untuk kepentingan karyawan maupun untuk kepentingan organisasi.

Kepercayaan Diri di Dalam Kelompok Kerja (self-Directed Teams)


Merupakan proses pemberdayaan karyawan untuk dapat bekerja sama di dalam kelompok, di
dalam kesatuan target.
Keuntungan dari penerapan spesialisasi dalam pekerjaan:
1. Memungkinkan diperolehnya produktifitas yang tinggi karena setiap pekerja hanya
menangani suatu tugas yang spesifik.
2. Biaya produksi per unit menjadi lebih rendah karena meningkatnya produktivitas.
3. Berkurangnya waktu yang terbuang karena pekerja tidak perlu berganti tugas dan
peralatan yang dipakai.
4. Rendahnya investasi karena setiap pekerja menggunakan alat secukupnya dengan
tugasnya.

 Motivasi dan Sistem Insentif


            Di samping komponen psikologis, yang perlu diperhatikan di dalam pengembangan
karyawan adalah faktor psikologis lainnya, seperti kepuasan kerja karyawan dan motivasi
kerja perlu dipelajari, agar dapat memaksimalkan produktivitas karyawan. Faktor-faktor
tersebut antara lain bonus, pembagian laba, dan keuntungan organisasi perusahaan, serta
dasar dari penetapan insentif.
 Bonus (Reward), merupakan system imbalan uang, dan biasanya diberikan secara
tunai atau deposito yang diberikan kepada karyawan di dalam organisasi.
 Pembagian Laba (Profit Sharing), merupakan system yang mengatur bagian dari laba
perusahaan yang dibagikan kepada karyawan. Biasanya dikaitkan dengan pencapaian
target yang ditetapkan organisasi.
 Pembagian keuntungan (Gain Sharing), dapat sebagai pemberian keuntungan sesudah
dilakukan laporan tahunan perusahaan, di mana karyawan diberi bagian dari
keuntungan, di samping keuntungan bagi para pemilik saham (owner’s).
 Sistem Insentif (Incentive System), merupakan sistem yang diketahui oleh karyawan
bahwa dengan peningkatan produktivitas individu maupun kelompok akan
memperoleh sejumlah insentif berdasarkan sistem insentif yang ada.  
 Penetapan Sistem Kompensasi (Based Pay System), merupakan dasar bagi karyawan
untuk mengetahui porsi kompensasi (pembayaran) yang akan diterimanya apabila
karyawan di dalam melakukan tugas disertai kemampuan dan pengetahuan yang baik
menyelesaikan tugasnya.

Faktor-faktor diatas dapat menjadi pendorong untuk menciptakan kepuasan dan motivasi
kerja karyawan. Makin tinggi insentif yang diperoleh karyawan, akan makin tinggi kepuasan
dan motivasi kerja karyawan. Kondisi tingkat kepuasan dan motivasi kerja karyawan yang
tinggi akan menjadi suatu keunggulan bagi organisasi untuk bersaing. Dengan keunggulan
ini, sumber daya manusia perusahaan akan dapat mengikuti perubahan dan perkembangan
pasar, sesuai dengan permintaan konsumen atau pelanggan.

Metode Analisis dan Studi Kerja


            Di dalam menjalankan tugas karyawan, apakah pelaksanaan tugas dapat menciptakan
produktivitas kerja atau tidak, maka perlu diadakan analisis dan studi kerja untuk mengetahui
setiap permasalahan yang ada di dalam pelaksanaan tugas karyawan, di samping untuk
pengembangan prosedur dan keamanan kerja, juga untuk meningkatkan kualitas kerja
karyawan. Langkah-langkah untuk itu dapat dilakukan dengan membuat diagram alir kerja
(flow diagrams), kartu prosedur kerja (process chart), kartu aktivitas (activity chart), kartu
operasional (operation chart).
 Diagram Alir Kerja (Flow Diagrams), menggunakan gambar-gambar untuk
menganalisis pergerakan manusia dan bahan atau material. Sehingga dapat di desain
alir kerja yang paling efisien dan paling aman.
 Kartu Prosedur Kerja (Process Chart), merupakan grafik yang menguraikan kegiatan
dan sinkronisasinya pada setiap langkah prosedur kerja, sehingga akan dapat
dianalisis setiap langkah-langkah tersebut apakah sudah dapat menghasilkan efisiensi
dan kualitas kerja.
 Kartu Aktivitas (Activity Chart), yang berisi alur kegiatan beserta peralatan yang
dipergunakan, disertai kombinasi pemakaian mesin dan peralatan dari operator atau
karyawan.
 Kartu Operasional (Operation Chart), yang menggambarkan bagian-bagian kegiatan,
yang digambarkan apa yang dilakukan tangan kiri dan kanan.
 Dengan menganalisis gambaran, grafik dari setiap kegiatan ini akan dapat dilakukan
pengembangan dan perbaikan tugas lebih meningkat dan berkualitas.

Visualisasi Tempat Kerja


            Visualisasi tempat kerja merupakan langkah yang paling baik untuk
melakukan monitoring  karyawan di tempat kerja, sekaligus untuk manganalisis situasi di
tempat kerja apakah sudah memadai atau masih dapat lebih ditingkatkan. Tujuannya untuk
meningkatkan komunikasi antar karyawan atau karyawan dengan atasannya, dan karyawan
dengan peralatan yang ada. Visualisasi di tempat kerja dilakukan umpamanya di dalam
penggunaan peralatan operasional, gambaran tingkat persdiaan, gambaran cek-time untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan, gambaran informasi kebutuhan persediaan setiap hari,
gambaran monitor peralatan dan mesin yang memerlukan bantuan karyawan, serta gambar
prosedur kerja operasional yang secara spesifik di tempat kerja.

Standar Tenaga Kerja (Labor Standards)


            Standar tenaga kerja digunakan untuk tujuan:
1. Mengevaluasi pelaksanaan tugas dalam pekerjaan karyawan, serta pemanfaatan
fasilitas operasional.
2. Untuk membuat forcasting, perencanaan, dan pengawasan.
Kedua tujuan standar tenaga kerja tersebut merupakan dasar untuk membuat keputusan
operasional.

Pengukuran Kerja (Work Measurement)


            Pengukuran kerja merupakan penentuan tingkat dan kuantitas karyawan yang
langsung terlibat di dalam system konversi. Pertama-tama di tentukan standar waktu kerja
karyawan berdasarkan data kemampuan rata-rata kerja karyawan yang pada umumnya
dilakukan dengan cara mengadakan sampel pengamatan. Sampel tersebut terdiri dari
sejumlah karyawan dengan tingkat keterampilan yang berbeda, kemudian tingkat output yang
diperoleh masing-masing diukur. Dari hasil pengukuran itu diperoleh rata-rata kemampuan
kerja mereka.
            Menetapkan standar waktu karyawan (labor standar) dapat dilakukan melalui teknik
pengukuran kerja dengan beberapa macam pendekatan.
1. Pendekatan dengan Mengabaikan Formalitas
Pada usaha jasa, pada umumnya bersifat padat karya, standar karyawan diukur dengan
teknik ini, dengan demikian, gaji atau upah tidak di dasarkan atas efektivitas kerja.
 2. Pendekatan Data Historis
Teknik ini menganggap bahwa apa yang sudah dilaksanakan adalah normal. Jadi
standar karyawan di tetapkan berdasarkan data pelaksanaan yang sudah dilakukan.
 3. Pendekatan Waktu Langsung
Pada umumnya teknik ini disebut studi waktu atau stopwatch, dan alat yang
digunakan adalah stopwatch.
 4. Pendekatan Sampel Kerja
Teknik ini dapat menggunakan metode Tippet yang diperkenalkan tahun 1934, di
mana Morrow merupakan orang pertama yang menggunakan metode ini di Inggris dan
menyebutnya “rasio penundaan”. Sejak 1952, metode tersebut berkembang pesat, khususnya
di Amerika dan negara-negara industri maju yang ada sekarang.

Dasar-dasar teknik ini menggunakan metode statistik dalam menentukan proporsi dan
besaran sampel. Langkah penggunaan teknik adalah :
1. Menentukan kegiatan yang bisa digolongkan sebagai kaitan bekerja dan tidak bekerja
terhadap objek studi (karyawan, mesin, atau kedua-duanya);
2. Menentukan lama waktu pengamatan terhadap satu unsur objek studi (umumnya yang
tergolong kepada kegiatan bekerja);
3. Menghitung proporsi satu unsur objek studi tersebut terhadap jumlah pengamatan

Penetapan tujuan dari strategi sumber daya manusia dan pengukuran kerja adalah
manajemen tenaga kerja dengan mendesain tugas setiap orang secara efektif dan efisien di
dalam pemanfaatannya. Fokus dari strategi sumber daya manusia adalah;
 Memanfaatkan secara efisien, dengan semua keterbatasannya untuk keputusan
manajemen operasional
 Memiliki kualitas kehidupan yang dapat diterima akal, untuk menciptakan suatu iklim
untuk membuat komitmen atas dasar saling mempercayai.

 Pengalaman Masa Lalu (Work Sampling)


            Standar pekerja dapat diestimasi berdasarkan apa yang telah terjadi di masa lalu yaitu
berapa jam kerja yang dibutuhkan untuk melaksanakan suatu pekerjaan. Cara ini memiliki
kelebihan karena relatif murah dan mudah didapatkan. Standar seperti ini lazimnya
didapatkan datanya dari kartu waktu atau dari data produksi. Akan tetapi kelemahannya
adalah tidak objektif dan tidak dapat diketahui keakuratannya apakah kecepatan kerjanya
layak atau tidak, dan apakah kejadian yang tidak biasa sudah diperhitungkan atau belum.
Oleh karena itu penggunaan teknik ini tidak dianjurkan, maka tiga cara yang lain adalah yang
dianjurkan. 
PENGUKURAN KERJA
Pengukuran Kerja (Work Measurement) adalah tindakan pengukuran yang
dilakukan terhadap berbagai aktivitas dalam rantai nilai yang ada pada suatu perusahaan.
Hasil pengukuran tersebut kemudian digunakan sebagai umpan balik yang akan memberikan
informasi tentang prestasi pelaksanaan suatu rencana dan titik dimana perusahaan
memerlukan penyesuaian–penyesuaian atas aktivitas perencanaan dan pengendalian
Dalam pengukuran kerja, biasanya dilihat dari proses operasi dalam perusahaan dapat efisien
atau tidak biasanya didasarkan atas lama waktu untuk membuat suatu produk atau
melaksanakan suatu pelayanan (jasa). Jumlah waktu yang harus digunakan untuk
melaksanakan kegiatan tertentu dibawah kondisi kerja normal disebut standar pekerja (labor
standards).

METODE

Manajer operasional dapat menetapkan standar pekerja yang benar yaitu secara tepat
dapat menentukan rata-rata waktu yang dibutuhkan seorang karyawan untuk melaksanakan
aktivitas tertentu dalam kondisi kerja normal. Penetapan standar pekerja dapat menggunakan
empat cara yaitu :
Pengalaman Masa Lalu (Historical Experience)
Standar pekerja dapat diestimasi berdasarkan apa yang telah terjadi di masa lalu yaitu berapa
jam kerja yang dibutuhkan untuk melaksanakan suatu pekerjaan. Cara ini memiliki kelebihan
karena relatif mudah dan murah didapatkan. Standar seperti ini lazimnya didapatkan datanya
dari kartu waktu pekerja atau dari data produksi. Akan tetapi kelemahannya adalah tidak
obyektif dan tidak dapat diketahui keakuratannya apakah kecepatan kerjanya layak atau tidak,
dan apakah kejadian yang tidak biasa sudah diperhitungkan atau belum. Oleh karena itu
penggunaan teknik ini tidak dianjurkan maka tiga cara yang lain adalah yang dianjurkan.

Studi Waktu (Time Study)


Studi waktu adalah bagian dari prosedur pengukuran kerja yang digunakan, dimana
usaha manusia menjadi bagian dari aktivitas produktif dan beberapa prosedur yang digunakan
untuk mengukur human time untuk beberapa konsep dari sebuah level standar dari suatu
usaha (Mundel and Danner, 1994).
Studi terhadap waktu dapat menunjukkan ukuran kerja, yang melibatkan teknik dalam
penetapan waktu baku yang diijinkan untuk melakukan tugas yang telah diberikan
berdasarkan ukuran suatu metode kerja dengan memperhatikan faktor kelelahan, pekerja dan
kelambatan yang tidak dapat dihindarkan. Analisa studi waktu dapat menggunakan beberapa
teknik untuk menetapkan sebuah standar yaitu dengan cara studi waktu menggunakan
stopwatch, pengolahan data dengan menggunakan komputerisasi, data standar, dasar
mengenai data gerakan, pengambilan contoh kerja, dan perhitungan berdasarkan masa lalu.
Setiap teknik mempunyai penerapan tersendiri pada setiap kondisi, studi analisis waktu harus
dapat diketahui ketika hal ini harus menggunakan teknik tertentu dan kemudian
menggunakan teknik tersebut secara benar.

Standar waktu digunakan untuk :


 menentukan tenaga kerja dan peralatan yang dibutuhkan;
 untuk membantu dalam pengembangan metode kerja yang efektif;
 untuk mengatur pekerja dalam melakukan pekerjaannya;
 untuk membantu dalam membandingkan performansi kerja dari suatu rencana
yang sudah ditetapkan dengan beban kerja dan sumberdaya yang digunakan;
 dan untuk melaksanakan pengukuran produktivitas secara total.
Aktivitas pengukuran waktu kerja diperkenalkan pertama kali untuk penyelesaian
kerja. Dengan adanya waktu ini maka sistem pengaturan upah atau insentif akan dapat dibuat
berdasarkan “a fair day’s pay for a fair day’s work”. Begitu pula dengan mengetahui waktu
ini maka estimasi akan keluaran kerja yang dihasilkan serta jadwal perencanaan kerja dapat
dibuat secara lebih akurat.

Standar Waktu Yang Telah Ditentukan (Predetermined Time Study)


Suatu pembagian pekerjaan manual menjadi elemen dasar kecil yang waktunya telah
ditetapkan dan dapat diterima secara luas. Caranya dengan menjumlahkan faktor waktu bagi
setiap elemen dasar dari pekerjaan. Cara ini membutuhkan biaya yang besar. Metode yang
paling umum adalah metode pengukuran waktu (MTM = Methods Time
Measurement).            
Standar waktu yang telah ditetapkan merupakan perkembangan dari gerakan dasar
yang disebut sebagai Therblig yang ditemukan oleh Frank Gilbreth, yang mencakup aktifitas
seperti memilih, mengambil, mengarahkan, merakit, menjangkau, memegang, beristirahat,
meneliti.
Standar waktu yang telah ditetapkan memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan studi
waktu yaitu:
1. Standar waktu dapat dibuat di laboratorium sehingga prosedur ini tidak mengganggu
aktifitas sesungguhnya,
2. Karena standar dapat ditentukan sebelum pekerjaan benar-benar dilakukanmaka dapat
digunakan untuk membuat rencana,
3. Tidak ada pemeringkatan kinerja yang dibutuhkan,
4. Serikat pekerja cenderung menerima metode ini sebagai cara yang wajar untuk
menetapkan standar,
5. Standar waktu yang telah ditentukan biasanya efektif pada perusahaan yang melakukan
sejumlah besar penelitian pada tugas yang sama.

Pengambilan Sampel Kerja (Work Sampling)


Metode ini dikembangkan di Inggris oleh L. Tipper pada tahun 1930. Pengambilan sampel
kerja memperkirakan persentase waktu yang dihabiskan oleh seorang pekerja pada beragam
pekerjaan. Hasilnya digunakan untuk menentukan bagaimana karyawan mengalokasikan
waktu mereka diantara aktivitas yang beragam. Hal ini akan mendorong adanya perubahan
karyawan, penugasan ulang, perkiraan biaya aktivitas dan kelonggaran keterlambatan bagi
standar pekerja. Apabila pengambilan sampel ini untuk menetapkan kelonggaran
keterlambatan, maka sering disebut penelitian rasio keterlambatan (ratio delay study).
Prosedur dalam metode ini ada lima langkah sebagai berikut:
1. Mengambil sampel awal untuk mendapatkan sebuah perkiraan nilai parameter seperti
persentase waktu sibuk seorang pekerja,
2. Hitung ukuran sampel yang dibutuhkan,
3. Buat jadwal pengamatan pada waktu yang layak. Konsep angka acak digunakan untuk
menapatkan pengamatan yang benar-benar acak,
4. Lakukan pengamatan dan catat aktivitas pekerja,
5. Tentukan bagaimana pekerja menghabiskan waktu mereka biasanya dalam persentase.
Fokus pada pengambilan sampel kerja adalah untuk menentukan bagaimana para
pekerja mengalokasikan waktu mereka diantara beragam aktivitas yang dilakukannya. Hal ini
dapat dicapai dengan menetapkan persentase waktu yang dihabiskan oleh seorang pekerja
pada aktifitas yang ada pada sejumlah waktu tertentu. Seorang analis hanya mencatat
aktivitas yang dilakukan secara acak.
Penerapan Jaminan Mutu Produk Tanaman Pangan
Dalam rangka meningkatkan daya saing produk hasil tanaman pangan, diperlukan
upaya penjaminan mutu dengan memperhatikan standar dan perubahan lingkungan strategis.
Untuk mendapatkan jaminan mutu produk, pelaku usaha harus menerapkan sistem jaminan
mutu melalui uji mutu, sertifikasi dan/atau registrasi. Penerapan jaminan mutu produk dapat
dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu organik dan non-organik, baik untuk produk pangan
maupun produk non pangan.

Penerapan jaminan mutu yang relevan ketika menggunakan standar yang diterbitkan
oleh institusi standardisasi atau persyaratan teknis minimal oleh kementerian teknis.
Perkembangan pengujian dan sertifikasi saat ini menuntut setiap pelaku usaha
memperhatikan proses jaminan mutu produk yang dihasilkan.

Penerapan jaminan mutu produk sangat tergantung pada kondisi standar yang
ditetapkan dan kemampuan usaha. Secara umum, penerapan jaminan mutu dapat dilakukan
sejak penyediaan sarana produksi sampai hasil produksi tersebut tersaji sesuai kepentingan
konsumen.

Penerapan jaminan mutu non organik untuk produk pangan hasil pertanian umum
mengacu pada sistem jaminan mutu produk berdasarkan SNI CAC/RCP 1:2011 Prinsip
Umum Higiene Pangan. Standar ini merupakan salah satu sistem mutu yang menggunakan
model jaminan mutu dengan berdasarkan keamanan pangan (food safety) sebagai pendekatan
utama. Sedangkan, penerapan jaminan mutu organik wajib mengikuti aturan Standar
Nasional Indonesia (SNI 6729:2016 Sistem Pertanian Organik).

Keamanan pangan adalah aspek-aspek dalam proses produksi yang dapat


menyebabkan timbulnya penyakit atau kematian. Masalah ini umumnya dihubungkan dengan
masalah biologi, kimia dan fisik. Standar ini dimaksudkan untuk dapat dipergunakan untuk
bisnis pangan dalam menerapkan jaminan mutu kemanan pangan.

Pada tahun 2017, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan mengalokasikan penerapan


standardisasi dan mutu (terutama pangan) sebagai melalui:

1. Uji Mutu Produk Beras, Jagung Pakan dan Kedelai

2. Uji Mutu Produk Beras yang telah disertifikasi

3. Sertifikasi (SNI Organik dan SNI Non Organik)

4. Registrasi

Bagi produk pangan, proses uji mutu atau sertifikasi harus dilanjutkan dengan proses
registrasi Produk Segar Asal Tumbuhan (PSAT) sesuai peraturan yang berlaku. Penerapan ini
sangat penting dalam mengembangkan kompetensi pelaku usaha tanaman pangan ditengah-
tengah pasar yang terus berkembang.
Pemeliharaan (Maintenance)
Pemeliharaan adalah semua aktivitas yang dilakukan untuk mempertahankan kondisi
sebuah item atau peralatan, atau mengembalikannya ke dalam kondisi tertentu (Dhillon,
2006). Kemudian dengan penekanan inti definisi yang sejalan Ansori dan Mustajib (2013) di
dalam bukunya mendefinisikan perawatan atau maintenance sebagai konsepsi dari semua
aktivitas yang di perlukan untuk menjaga atau mempertahankan kualitas fasilitas/mesin agar
dapat berfungsi dengan baik seperti kondisi awal.

Menurut Mobley(2008) beberapa keuntungan yang di dapatkan dengan menerapkan


pemeliharaan sebagai penopang strategi perusahaan yaitu :

1. Mengurangi total biaya pemeliharaan (biaya suku cadang dan biaya overtime)

2. Memiliki stabilitas proses yang lebih baik

3. Memperpanjang usia peralatan dan mesin

4. Mengoptimalkan jumlah suku cadang

5. Meningkatkan keselamatan karyawan/operator

6. Mengurangi kerusakan lingkungan sekitar.

Perbedaan strategi pemeliharaan pada satu mesin dengan mesin lainnya mungkin saja
terjadi. Pemeliharaan sebaiknya dilakukan dengan mengklsifikasikan mesin dan peralatan
kedalam beberapa kategori sehingga implementasi pemeliharaan dapat menjadi efektif.
Klasifikasi mesin atau peralatan yang menjadi sasaran sistem pemeliharaan menurut Scheffer
dan Girdhar (2004) dapat dibagi tiga, yaitu:

1. Kategori kritis Mesin atau komponen mesin yang dianggap kritis dalam pemeliharaan
umumnya memiliki kriteria sebagai berikut:
a) Kerusakan yang dapat membahayakan area pabrik
b) Mesin atau komponen mesin yang jika rusak/breakdown dapat menghambat
seluruh kegiatan produksi
c) . Mesin atau komponen mesin yang mempunyai biaya inisial yang tinggi,
tidak dapat diperbaiki, atau dapat diperbaiki namun dengan biaya yang mahal
dan waktu yang lama.
d) Mesin atau komponen mesin yang performanya sensitive terhadap kerusakan
kecil
e) Mesin atau komponen mesin yang jika dipelihara dapat meningkatkan
efisiensi dan menghemat energy.
2. Kategori Esensial Mesin atau komponen mesin yang dianggap esensial dalam
pemeliharaan umumnya memiliki kriteria :
a) Kerusakannya dapat membahayakan area pabrik
b) Mesin atau komponen mesin yang membutuhkan waktu yang tidak terlalu
lama dan biaya yang tidak terlalu mahal dalam perbaikannya.
c) Mesin atau komponen mesin yang performanya sensitive terhadap kerusakan
kecil, namun kerusakannya dapat dianalisa secara historis
d) Mesin atau komponen mesin yang memerlukan perawatan berkala
3. Kategori Umum Mesin atau komponen mesin yang termasuk kategori umum dalam
pemeliharaan memiliki kriteria :
a) Kerusakannya tidak membahyakan area pabrik
b) Mesin atau komponen mesin yang fungsinya tidak kritis pada lantai produksi
c) Mesin atau komponen mesin yang mempunyai cadangan

Tujuan Maintenance

Beberapa tujuan maintenance yang utama antara lain :

1. Kemampuan berproduksi dapat memenuhi kebutuhan sesuai dengan rencana produksi.

2. Menjaga kualitas pada tingkat yang tepat untuk memenuhi apa yang dibutuhkan oleh
produk itu sendiri dari kegiatan produksi yang tidak terganggu.

3. Untuk membantu mengurangi pemakaian dan penyimpangan yang diluar batas dan
menjaga modal yang diinvestasikan dalam perusahaan selama waktu yang ditentukan sesuai
dengan kebijakan perusahaan mengenai investasi tersebut.

4. Untuk mencapai tingkat biaya maintenance secara efektif dan efisien keseluruhannya.

5. Untuk menjamin keselamatan orang yang menggunakan sarana tersebut.

6. Memaksimalkan ketersediaan semua peralatan sistem produksi (mengurangi downtime).

7. Untuk memperpanjang umur/masa pakai dari mesin/peralatan.

Jenis – jenis Mainntenance

Ruang lingkup manajemen pemeliharaan mencakup setiap tahap dalam siklus hidup
sistem teknis (pabrik, mesin, peralatan, dan fasilitas), spesifikasi, akusisi, perencanaan,
operasi, evaluasi kinerja, perbaikan, dan pembangunan. Dalam konteks yang lebih luas fungsi
pemeiliharaan juga dikenal sebagai manajemen aset fisik.

Menurut Swanson (2001) dalam International Journal of production Economics


“linking maintenance strategies to performance” sistem pemeliharaan sebagai strategi
perusahan untuk mendukung kinerja produksi dibagi menjadi tiga garis besar yaitu:

1. Pemeliharaan Reaktif (Reactive Maintenance)


Prinsip pemeliharaan ini adalah aktifitas pemeliharaan (baik penggantian atau
perbaikan) hanya dilakukan jika mesin atau peralatan tersebut rusak. Pemeliharaan
reaktif memiliki kelibihan dalam meminimalkan jumlah biaya dan pekerjaan yang
dibutuhkan untuk melakukan pemeliharaan. Namun kekurangannya adalah
kerusakan yang tidak dapat di prediksi sewaktu-waktu, banyaknya jumlah scrap,
dan tingginya biaya yang diakibatkan kecelakaan akibat breakdown pada mesin
ata peralatan.
2. Pemeliharaan proaktif (Proactive Maintenance)
Pemeliharaan proaktif adalah strategi pemeliharaan dimana kerusakan/breakdown
dapat dihindari dengan melakukan aktifitas-aktifitas yang mengawasi kondisi
mesin dan melakukan perbaikan-perbaikan minor untuk mempertahankan kondisi
mesin dalam keadaan optimal. Pemeliharaan proaktif terdiri dari pemeliharaan
preventif dan pemeliharaan prediktif.
a. Pemeliharaan Preventif (Preventive maintenance)
Pemeliharaan preventif pada prinsipnya adalah pemeliharaan
berdasarkan pemakaian. Aktifitas pemeliharaan dilakukan setelah
penggunaan mesin/peralatan selama periode tertentu. Tipe pemeliharaan
ini mempunyai asumsi bahwa mesin akan mengalami
kerusakan/breakdown pada satu periode tertentu. Kelebihan pemeliharaan
ini adalah dapat mengurangi kemungkinan breakdown serta dapat
memperpanjang umur mesin atau peralatan. Kelemahannya adalah
aktifitas pemeliharaan dapat menginterupsi jalannya sistem produksi.
b. Pemeliharaan Prediktif(Predictive maintenance)
Pemeliharaan prediktif sering dirujuk sebagai pemeliharaan
berdasarkan kondisi. Artinya, aktifitas pemeliharaan baru dilakukan pada
suatu kondisi mesin tertentu. Dalam pemeliharaan prediktif, digunakan
berbagai peralatan untuk mendiagnosa mesin untuk mengukur kondisi
fisik dari mesin, seperti getaran, suhu, kebisingan, pelumasan, dan korosi.
Ketika salah satu parameter ini mencapai kondisi tertentu, aktifitas
pemeliharaan dilakukan dengan mengembalikan ke kondisi semula.
Pemeliharaan prediktif mempunyai premis yang sama dengan
pemeliharaan preventif, namun dengan kriteria yang berbeda untuk
melakukan aktifitas pemeliharaan. Sama seperti pemeliharaan preventif,
pemeliharaan prediktif mampu mengurangi kemungkinan terjadinya
breakdown.
3. Pemeliharaan agresif (Aggressive Maintenance)
Pemeliharaan agresif mengupayakan segala cara untuk menghindari kerusakan
mesin/peralatan. Pemeliharaan agresif, seperti Total Productive Maintenance
(TPM). Pendekatan yang dilakukan TPM tidak hanya mencakup pada pencegahan
kerusakan, namun meliputi seluruh kegiatan pada lantai produksi, dan melibatkan
seluruh karyawan, tidak hanya dari divisi pemeliharaan saja. Parameter pada TPM
adalah meningkatnya efektifitas penggunaan peralatan secara menyeluruh (overall
equipment effectiveness).
Aktifitas pemeliharaan pada TPM meliputi eliminasi 6 wastes, yaitu:
kegagalan mesin, waktu setup dan adjustment, gangguan kemacetan dan idle, serta
kerusakan/cacat produk. Dalam TPM, dibentuk suatu grup kecil yang
mengkoordinasikan divisi pemeliharaan dan divisi produksi untuk membantu
pelaksanaan pemeliharaan. Para pekerja di bagian produksi juga terlibat dalam
melakukan pemeliharaan dan mempunyai peran yang penting dalam mengawasi
kondisi mesin/peralatan. Upaya ini dapat meningkatkan keahlian para pekerja dan
mengefektifkan peran pekerja dalam mempertahankan kondisi peralatan dalam
keadaan optimal.

Sedangkan Menurut Bengtsson (2004) mengklasifikasikan sistem pemeliharaan


menjadi dua garis besar yaitu:

1. Corrective Maintenance
Corrective maintenance adalah pemeliharaan yang menggunakan pendekatan
aktifitas pemeliharaan hanya dilakukan ketika mesin/alat breakdown. Pengertian
corrective maintenance adalah pemeliharaan yang yang dilakukan setelah
mengenali kerusakan yang terjadi dan bertujuan untuk mengembalikan kondisi ke
keadaan dimana mesin/peralatan tersebut dapat berfungsi dengan baik. Tipe
pemeliharaan ini dibagi menjadi dua, yaitu pemeliharaan korektif tertunda dan
pemeliharaan korektif langsung. Pemeliharaan korektif tertunda dilakukan jika
kerusakan/breakdown tidak mempengaruhi kinerja produksi secara keseluruhan.
Aktifitas pemeliharaan kemudian dapat dilakukan di lain hari untuk mencegah
terjadinya gangguan pada alur produksi. Pemeliharaan korektif langsung
dilakukan secepatnya ketika kerusakan terjadi. Pemeliharaan tipe ini dilakukan
jika mesin/peralatan tersebut dapat mempengaruhi aktivitas produksi secara
keseluruhan.
2. Preventive maintenance
Preventive maintenance, merupakan pemeliharaan yang dilakukan pada
(jadwal) interval atau kriteria yang telah ditentukan untuk mengurangi
kemungkinan kerusakan atau degradasi fungsi mesin/peralatan. Berdasarkan
pengertian ini, preventive maintenance dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
Predetermined maintenance. Aktifitas pemeliharaan dilakukan
 berdasarkan interval waktu tertentu atau banyaknya penggunaan tanpa
investigasi terlebih dahulu terhadap kondisi mesin/peralatan tersebut.
Condition based maintenance. Aktifitas pemeliharaan preventif
 yang berdasarkan performa atau parameter pengawasan (parameter
monitoring). Pengawasan terhadap performa dan parameter kondisi
pada condition based maintenance (CBM), menurut Bengtsson, dapat
dilakukan berdasarkan jadwal yang ditentukan atau kontinyu.

Bengtsson menjelaskan bahwa predictive maintenance merupakan bagian dari CBM


dimana predictive maintenance menggunakan teknik peramalan berdasarkan data hasil
pengawasan untuk memperkirakan kondisi mesin/alat di masa depan. Dalam hal ini,
Bengtsson mempunyai pandangan yang sedikit berbeda dengan Swanson di atas.

Anda mungkin juga menyukai