Anda di halaman 1dari 3

Nama : Weismann Immanuel Sigalingging

NRP : 2057025

Apa itu PPh 23? Dan bagaimana tax planning mengenai PPh 23? Mari kita bahas.

Pajak Penghasilan 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari
modal, penyerahan jasa ataupun hadiah dan penghargaan selain dari yang telah diatur dalam
Pajak Penghasilan Pasal 21 atau PPh 21. Dalam ketentuan Direktorat Jenderal Pajak, biasanya
penghasilan jenis ini terjadi saat terjadi transaksi antara dua pihak. Pada pembayarannya, pihak
pemberi penghasilan atau pembeli atau penerima jasa akan memotong dan melaporkannya
kepada kantor pajak. Pihak ini disebut dengan pihak pemotong PPh 23.

Dalam aturan PPh Pasal 23 sendiri dikenal dua jenis golongan tarif yang diberlakukan,
yakni sebesar 15% dan 2%. Penggolongan tarif ini didasarkan pada objek pajak yang dikenai
pemotongan PPh Pasal 23. Pembagiannya secara sederhana dapat dijabarkan sebagai berikut:

• Tarif 15% dari jumlah bruto dikenakan pada dividen, kecuali pembagian dividen kepada
orang pribadi dikenakan tarif pajak final, bunga dan juga royalti. Tarif yang sama juga
dikenakan pada hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong oleh PPh 21.

• Tarif 2% dari jumlah bruto dikenakan pada sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan/atau bangunan.

• Tarif 2% dari jumlah bruto dikenakan pada imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi dan jasa konsultan.

• Tarif 2% dari jumlah bruto dikenakan pada imbalan jasa lainnya (jasa penilai, jasa
aktuaris, jasa akuntansi, pembukuan dan atestasi laporan keuangan, jasa perancang, jasa
pengeboran di bidang migas kecuali yang dilakukan oleh Badan Usaha Tetap, jasa
penunjang pada bidang penambangan migas, jasa penambangan dan jasa penunjang pada
bidang penambangan selain migas, jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandara
serta jasa penebangan hutan.

• Tarif sebesar 100% dari besaran tarif pph 23 yang berlaku untuk badan yang tidak
memiliki NPWP.
Dalam ketentuan yang berlaku, PPh Pasal 23 juga mencantumkan jadwal penyetoran dan
pelaporannya.

• PPh 23 yang disetor Pemotong Pajak paling lambat disetor pada tanggal 10 pada
bulan berikutnya setelah bulan saat terutang pajak.

• SPT Masa disampaikan ke kantor pelayanan pajak setempat. Penyampaian ini


dilakukan selambat-lambatnya 20 hari setelah masa pajak berakhir.

• Jika kemudian kebetulan batas akhir pelaporan dan penyetoran bertepatan pada hari
libur, maka untuk mendatangi kantor pajak bisa dilakukan pada hari kerja berikutnya.

CONTOH KASUS

Dalam penerapan PPh 23 sering kali kita temukan beberapa kasus yang terjadi dimana apabila
ada 2 pihak yang melakukan kerja sama, satu pihak pemberi jasa dan satu pihak lagi penerima
jasa. Dalam perjanjian kerja sama pihak pemberi jasa tidak ingin penghasilannya dipotong oleh
pajak yang berlaku. Mari kita lihat contoh perhitungannya.

PT Toba Nauli (penerima jasa) yang bergerak di bidang garmen bekerjasama dengan PT Aek
Sipoholon (pemberi jasa) yang bergerak di bidang pengolahan limbah untuk mengolah limbah
padat pabrik garmen tersebut. Dalam perjanjian kerja sama yang dilakukan, pihak PT Aek
Sipoholon ingin menerima penghasilan tersebut net (belum termasuk pajak-pajak yang berlaku).
PT Toba Nauli menerima perjanjian tersebut sehingga PT Toba menginformasikan bahwa
tagihan PT Aek Sipoholon terhadap PT Toba harus dilakukan metode gross up karena PT Toba
sebagai penerima jasa harus tetap melaksanakan kewajibannya untuk memotong pajak PPh 23
atas tagihan dari PT Aek Sipoholon. Apabila kita berasumsi tagihan pengolahan limbah sebesar
60.000.000 (net) maka perhitungannya menjadi :

Tagihan PT Aek terhadap PT Toba : 100% / (100%-2%) x 60.000.000 = 61.224.490

Maka PT Aek Sipoholon mengeluarkan tagihan terhadap PT Toba Nauli sebesar Rp 61.224.490.
Dari sisi PT Toba Nauli, PT Toba akan memotong pajak PPh 23 dari tagihan PT Aek sebesar
2%.
Perhitungan pajaknya menjadi : 61.224.490 x 2% = 1.224.490

Hutang terhutang kepada PT Aek Sipoholon menjadi 61.224.490 – 1.224.490 = Rp 60.000.000


(net) sesuai dengan perjanjian kerja sama.

Pajak terhutang menjadi Rp 1.224.490, angka inilah yang nantinya harus disetorkan PT Toba
Nauli kepada kas negara.

TAX PLANNING

Dari sisi PT Aek Sipoholon, dia melakukan tax avoidance dengan melakukan perjanjian kerja
sama dimana seluruh pendapatan yang didapatkan oleh PT Aek Sipoholon (pemberi jasa) harus
berupa pendapatan bersih (net) tanpa adanya pemotongan apapun oleh peraturan perpajakan,
sehingga beban pajak menjadi tanggung jawab PT Toba Nauli selaku ( penerima jasa). Dari sisi
PT Toba Nauli, PT Toba menyetujui perjanjian kerja sama dimana pajak ditanggung oleh PT
Toba selaku penerima jasa. Asumsi dari PT Toba adalah biaya pengolahan limbah menjadi
sedikit tinggi, yang seharusnya Rp 60.000.000 menjadi Rp 61.224.490, sehingga apabila biaya
lebih tinggi maka pendapatan pun menjadi lebih rendah. Apabila pendapatan perusahaan lebih
rendah maka pajak yang harus dibayarkan kepada negara menjadi lebih kecil.

SUMBER

https://klikpajak.id/blog/bayar-pajak/pph-23-dan-situasi-khusus-dengan-cara-gross-
up/#Ketentuan_Lengkap_Tentang_PPh_23

http://dwiagiarti.blogspot.com/2019/01/tax-planning-pph-pasal-22-pasal-2326.html

Anda mungkin juga menyukai