Anda di halaman 1dari 21

66

Tabel 4.1 Distribusi frekuensi dan persentasi berdasarkan data demografi responden
di RSUD Dr.H Abdul Moeloek Bandar Lampung
Data demografi Frekuensi Persentase (%)
Usia (Tahun)
>39 6 (15,8%)
39-55 24 (63,2%)
56-72 8 (21,1%)
Status Pernikahan
Menikah 32 (84,2%)
Janda 4 (10,5%)
Lain-lain 2 (5,3%)
Agama
Islam 35 (92,1%)
Protestan 3 (7,9%)
Suku Bangsa
Lampung 14 (36,8%)
Jawa 21 (55,3%)
Sunda 1 (2,6%)
Batak 2 (5,3%)
Pendidikan terakhir
SD 5 (13,2%)
SMP 11 (28,9%)
SMA 17 (44,7%)
Sarjana 4 (10,5%)
Lainnya 1 (2,6%)
Pekerjaan
Ibu Rumah Tangga 20 (52,6%)
Pedagang/ Wiraswasta 5 (13,2%)
Pegawai Swasta 4 (10,5%)
Petani 2 (5,3%)
PNS 5 (13,2%)
Lainnya 2 (5,3%)
Penghasilan perbulan
<500.000 18 (47,4%)
500.000-1.000.000 15 (39,5%)
1.000.000-2.000.000 3 (7,9%)
>2.000.000 2 (5,3%)

Data yang didapat dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas

pasien kanker payudara yang sudah dilakukan mastektomi dan kemoterapi di

RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung berada pada kelompok usia 39-

55 tahun sebanyak 24 orang (63,2%). Hal ini didukung dengan hasil penelitian
67

dari Siwi dan Mustikasari tahun 2017 dengan hasil responden rata-rata usia 47

tahun. Kanker payudara lebih berisiko dialami pada wanita berusia lebih dari 35

tahun, sedangkan wanita yang kurang dari 30 tahun tidak mempunyai risiko

yang besar. Hal ini terjadi karena usia 35-50 tahun mulai terjadi

ketidakseimbangan pada kadar hormon estrogen dan progesteron dalam tubuh

sehingga mengaktifkan pertumbuhan sel kanker (Siwi dan Mustikasari, 2017).

Menurut hasil penelitian dari (Bei yan, 2013) usia rata-rata saat

terdiagnosis yaitu >50 tahun dengan hasil (p = 0,001). Kualitas hidup

dipengaruhi oleh usia menurut hasil penelitian Isa dan Naiyewu tahun 2006,

bahwa sosial demografi (umur) mempengaruhi kualitas hidup penderita

kanker payudara. Semakin tua usia seseorang maka kualitas hidup yang

dimiliki akan semakin berkurang. Sedangkan penelitian ini juga sejalan

dengan teori yang di kemukakan oleh Naviri tahun 2016 bahwa ditemukan

penyakit kanker payudara usia 18 tahun dan pada penelitian ini telah

didapatkan bahwa ada satu responden yang berusia 19 tahun terkena kanker

paudara. Namun satu faktor resiko tidak hanya membuat seseorang pasti

menderita suatu penyakit. Memiliki satu atau beberapa faktor resiko tidak

berarti kita akan mendapatkan penyakit tersebut.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Karima (2013) di Jakarta

dimana rentang usia responden yang dominan adalah 35–54 tahun dan pada

rentang ini lebih berisiko terkena kanker payudara dibanding usia <35 Tahun.

Jika dulu penderita pasien kanker payudara rata-rata berada di usia 50 tahun

ke atas, akan tetapi pada masa sekarang kebanyakan penderita kanker

payudara berada direntang usia 35–50 tahun, pergeseran ini dikarenakan salah
68

pola makan, gaya hidup yang tidak sehat serta malas berolahraga (Savitri,

2015).

Data penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

(Mahmudin, 2019) menunjukkan bahwa dari 47 responden diketahui bahwa

rentang usia 46–55 tahun sebanyak 25 orang (52,3%), kemudian rentang usia

36–45 tahun berada di urutan kedua sebanyak 11 orang (23,4%) sedangkan

usia dengan rentang 56 sampai 65 tahun berjumlah 7 orang (14,9%) berada di

urutanberikutnya (Mahmudin, 2019). Hal ini tidak jauh berbeda dengan data

yang ditemukan di bagian bedah RSCM Jakarta yang menyebutkan hampir

38,1% kasus kanker payudara ditemukan pada usia sebelum 50 tahun RSCM

Jakarta yang menyebutkan hampir 70% kasus kanker payudara ditemukan

pada usia sebelum 50 tahun (Megawati, 2012). Hasil penelitian dari Marice

dan Apridah tahun 2020 menunjukkan hasil bahwa umur ≥40 tahun berisiko

13,34 kali untuk terkena tumor payudara dibandingkan dengan kelompok

umur <40 tahun. Bertambahnya umur merupakan salah satu faktor risiko

tumor / kanker payudara, diduga karena pengaruh pajanan hormonal dalam

waktu lama terutama hormon estrogen dan juga ada pengaruh dari faktor

risiko lain yang memerlukan waktu untuk menginduksi terjadinya kanker

(Marice dan Apridah, 2020).

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa mayoritas responden

menikah (84,2%) dengan jumlah responden sebanyak 32 orang dan dengan

jumlah pekerjaan yaitu mayoritas sebagai ibu rumah tangga (52,6%) dengan

jumlah responden sebanyak 20 orang. Menurut hasil penelitian Laurentina dan

Sri tahun 2019 didapatkan hasil bahwa mayoritas responden kanker payudara
69

merupakan ibu rumah tangga, yaitu sebanyak 17 responden (44,7%).

Pekerjaan sebagai ibu rumah tangga terkadang banyak waktu, tidak sedikit

pola hidup wanita sebagai ibu rumah tangga melakukan perkerjaan yang berat.

Tetapi kebanyakan ibu rumah tangga melakukan kegiatan rutin setiap harinya,

seperti memasak dan membersihkan rumah. Setelah semua kegiatan selesai,

ternyata masih ada banyak sisa waktu, tak jarang kebanyakan ibu rumah

tangga menggunakan sisa waktunya seperti untuk menonton televisi sambil

bersantai dan mengkonsumsi makanan berlebih yang bisa menyebabkan

obesitas. Dalam penelitian didapatkan hasil berupa sebagian besar responden

mempunyai status telah menikah, yaitu sebanyak 38 responden (100%). Pada

wanita yang menikah di usia yang cukup tua, akan memiliki resiko terkena

kanker payudara lebih besar. Hormon progesteron dan esterogen pada ibu

akan meningkat setelah melahirkan, jika ibu tidak menyusui maka kadar

hormon tersebut menjadi tidak stabil dan beresiko besar terhadap kanker

payudara (Laurentina dan Sri, 2019). Menurut hasil penelitian ini bahwa

dukungan pasangan dalam menjalani pengobatan kemoterapi juga

berpengaruh terhadap kualitas hidup penderita, hal ini bisa terIihat melalui

karakteristik responden pada penelitian ini dengan status pernikahan yang

menikah sebesar 84,2% (32 orang). Status pernikahan merupakan salah satu

faktor dari beberapa faktor yang mempengaruhi kuaIitas hidup indvidu.

Berdasarkan agama responden penelitian ini, paling banyak menganut

agama Islam dengan persentase (92,1%), serta suku Jawa menjadi mayoritas

pas responden dengan persentase (55,3%) dengan jumlah 21 orang. Tabel 4.1

menjelaskan bahwa RSUD Dr. H. Abdul Moeloek sebagai rumah sakit


70

rujukan yang mempunyai tingkat keragaman tinggi dari sisi sosial didasari

karena keragaman agama dan suku karena pasien datang dari berbagai daerah

di Lampung dan sekitarnya.

Tabel 4.1 menunjukkan jika pendidikan SMP dan SMA menjadi

kategori gabungan maka pasien kanker payudara yang berpendidikan terakhir

SMP dan SMA (73,6%) yang mempunyai persentase lebih besar dibandingkan

SD (13,2%), sarjana (10,5%) dan lainnya (2,6%). Hal ini kemungkinan besar

terjadi karena potensi mayoritas responden adalah ibu rumah tangga (52,6%)

dengan penghasilan kurang dari Rp. 500.000,00 (47,4%). Faktor tingkat

pendidikan juga sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup karena

pendidikan rendah akan mempengaruhi kebiasaan fisik yang kurang baik.

Tingkat pendidikan juga dapat mempengaruhi seseorang dalam menerima

informasi (Yusra, 2011). Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah

lebih berisiko 1,2 kali mempunyai kualitas hidup yang kurang, jika

dibandingkan dengan yang berpendidikan tinggi. Tingkat pendidikan akan

mempengaruhi pola pikir seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikannya,

seseorang akan lebih berpikir panjang, sehingga penanganan penyakit dapat

dilakukan lebih cepat (Maryam Hanifah, 2015).

Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Gusti Ayu dan

Ni Luh Putu tahun 2016 dengan hasil penelitian berupa responden yang

berpendidikan tinggi memiliki pengetahuan kurang tentang kanker sebanyak

13 orang (35,1%) dan berpendidikan rendah mencapai 28 orang (90,3%). Nilai

odd ratio tingkat pengetahuan menunjukan semakin tinggi tingkat

pengetahuan tentang kanker payudara maka kesadaran dalam melakukan


71

pemeriksaan lebih awal ke pelayanan kesehatan akan semakin tinggi. Orang

dengan tingkat pengetahuan kurang mengenai kanker payudara mempunyai

risiko 15,7 kali untuk mengalami keterlambatan dalam melakukan

pemeriksaan awal kanker payudara (Gusti Ayu dan Ni Luh Putu, 2016).

Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang di lakukan oleh

Ratna (2010) bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara tingkat

pendidikan dan pengetahuan wanita tentang faktor resiko kanker payudara.

Karena menurut Lukman (2006) selain tingkat pendidikan terdapat faktor lain

yang mempengaruhi pengetahuan seseorang diantaranya pekerjaan dan media

informasi (Ratna, 2010). Sama halnya dengan Penelitian sebelumnya oleh

Nurhasanah, dkk (2009) menemukan hasil yang sama bahwa hubungan antara

faktor pendidikan memiliki hubungan yang sangat lemah (r=0,003) dan

kurang baik dalam menjelaskan kualitas hidup (R2 =0,000). Hasil uji statistik

yang dilakukan adalah tidak ada hubungan yang signifikan antara faktor

pendidikan dengan kualitas hidup (p=0,931) (Nurhasanah, dkk. 2009).

Hasil penelitian ini sama dengan yang didapatkan pada karakteristik

responden penelitian penelitian di Jakarta tahun 2013 dimana penderita kanker

yang hanya lulus SD sebesar 22,7% (27 orang), tamat SMP sebesar 16,8% (20

orang) dan yang tidak lulus SD sebanyak 7 orang (5,9%). Pada stadium awal

kanker yang kebanyakan menyerang pada wanita ini memiliki tanda dan

gejala, akan tetapi sering kali tidak dihiraukan karena kurangnya faktor

pengetahuan terhadap tanda gejala tersebut sehingga ketika kondisi fisik sudah

mulai menurun dan berada pada stadium lanjut barulah memeriksakan diri ke

pelayanan kesehatan (Ariani, 2015).


72

Hal ini sejalan dengan penelitian di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek

dengan hasil bahwa responden yang berpendidikan rendah lebih berisiko

menderita kanker payudara, hal ini menunjukkan penderita kanker payudara

yang datang berobat ke RSUD Dr. H. Abdul Moeloek paling banyak

merupakan lulusan SD sehingga informasi tentang kanker payudara kurang di

ketahui. Ini sejalan dengan teoriyang dikemukakan oleh Notoadtmodjo tahun

2010 bahwa pendidikan kesehatan sangat penting karena mempunyai

pengaruh positif terhadap pemeliharaan dan peningkatan kesehatan.

Kurangnya pengetahuan responden tentang deteksi awal dejala dan ciri kanker

payudara membuat sebagian pasien datang ke RSUD Dr. H. Abdul Moeloek

Bandar Lampung sudah berada pada stadium lanjut.

Pada penelitian ini didapatkan pekerjaan terbanyak mayoritas responden

yaitu sebagai ibu rumah tangga (52,6%), pedagang/ wiraswasta dan Pegawai

Negeri Sipil (PNS) merupakan pekerjaan kedua terbanyak responden

penelitian yakni masing masing sebesar (13,2%). Untuk pegawai Swasta

mendapatkan jumlah responden sebesar (10,5%), dan untuk petani dan

pekerjaan lainnya mendapatkan jumlah responden masing masing sebesar

(5,3%). Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh

(Gusti dan Ni Luh Putu, 2016) dengan hasil berupa pekerjaan sebagai ibu

rumah tangga memiliki presentase tertinggi pada kelompok kasus dan kontrol

yaitu 24 orang (44,44%) dan 19 orang (35,19%), dibandingkan pekerjaan

sebagai buruh memiliki presentase terendah pada kedua kelompok (Gusti dan

Ni Luh Putu, 2016).

Status sosial ekonomi, walaupun tidak secara langsung berhubungan


73

dengan terjadinya kanker payudara namun dapat mempengaruhi penderita

kanker payudara, karena berdasarkan tinjauan pustaka dan studi epidemiologi

status sosial ekonomi menengah ke atas merupakan salah satu faktor resiko

untuk terjadi nya insiden kanker payudara (Price, 2005). Angka kejadian

kanker payudara di negara–negara maju memang jauh lebih tinggi dari pada di

negara– negara berkembang. Banyak peneliti dunia yakin bahwa berubahnya

gaya hidup dan kondisi sosial ekonomi di negara–negara maju ada

hubungannya dengan peningkatan resiko kanker payudara. Resiko kanker

payudara juga meningkat seiring bertambah nya usia (Savitri, 2016).

Tingkat penghasilan juga menentukan jenis pangan yang akan di beli

dengan adanya tambahan uang. Semakin tinggi penghasilan, semakin besar

juga presentase dari penghasilan tersebut di pergunakan untuk membeli buah,

sayur mayur dan jenis bahan pangan lainnya. Jadi penghasilan merupakan

faktor penting bagi kualitas dan kuantitas. Antara penghasilan dan resiko

kejadian kanker payudara. Jelas ada hubungan yang menguntungkan.

Pengaruh peningkatan penghasilan terhadap perbaikan kesehatan dan kondisi

keluarga lain yang mengadakan interaksi dengan status gizi yang berlawanan

hampir universal (Sediaoetama, 2004 dalam Yulianti, 2010). Penelitian ini

sejalan dengan penelitian yang di lakukan oleh Yulianti (2010) dari hasil

penelitian dan pengolahan data diperoleh bahwa dari 50 responden dengan

pendapatan berisiko terkena kanker payudara berjumlah 19 orang (38%),

sedangkan responden yang tidak beresiko pada penelitian ini berjumlah 31

orang (62%) yang berarti bahwa hubungan yang dibentuk antara pendapatan

terhadap kejadian kanker payudara cukup kuat, hal ini secara teoritik dapat
74

diterangkan bahwa pendapatan merupakan komponen yang sangat penting

(Yulianti, 2010).

Mayoritas pendapatan responden pada penelitian ini yaitu sebesar

<500.000 dengan mayoritas pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. Kualitas

hidup meningkat seiring dengan adanya pekerjaan yang dimiliki seseorang

(Tamara, 2014). Hal ini juga didukung dengan pekerjaan terbanyak pada

responden yaitu sebagai ibu rumah tangga. Penelitian ini juga sejalan dengan

penelitian yang di lakukan oleh Desy (2017). Berdasarkan penelitian yang

dilakukan responden yang memiliki penghasilan 0-1 juta 62 orang (66%)

untuk responden berpenghasilan 1-2 juta 28 orang (30%) dan responden yang

berpenghasilan >2 juta berjumlah 4 orang (4%) (Rustam, 2017 dalam Novi

dan Maharani, 2019). Namun penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian

sebelumnya oleh Nurhasanah, dkk (2009) menemukan hasil bahwa hubungan

antara faktor pendapatan memiliki hubungan yang sangat lemah (r=0,092)

dan kurang baik dalam menjelaskan kualitas hidup (R2 =0,008). Hasil uji

statistik yang dilakukan adalah tidak ada hubungan yang signifikan antara

faktor pendapatan dengan kualitas hidup (p=0,079).

Hasil dari penelitian ini yaitu, penghasilan menjadi salah satu faktor

penting dalam menentukan pengeluaran, termasuk pola konsumsi pangan dan

pengobatan, apabila pendapatan meningkat maka pola konsumsi akan lebih

beragam sehingga konsumsi pangan yang bernilai gizi tinggi juga akan

meningkat. Kerena makanan bergizi mempengaruhi kesehatan payudara,

sedangkan pengobatan yang dijalannkan untuk aspek keperawatannya juga


75

lebih baik untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

.3 Kualitas Hidup Pasien Kanker Payudara Di RSUD Dr. H. Abdul

Moeloek Bandar Lampung Tahun 2020

Kualitas hidup saat ini telah menjadi suatu parameter yang sama

pentingnya dengan karakteristik kesuksesan pengobatan. Kualitas hidup

bersifat subjektif dan hanya dapat diukur oleh pasien. Studi terhadap 163

pasien kanker yang membandingkan penilaian kualitas hidup pasien

berdasarkan penilaian klinisi dan pasien menemukan hanya 54% dari

penilaian dokter berhubungan dengan penilaian pasien. Karena itu

penggunaan kuisioner laporan pasien telah menjadi standar praktis dalam

penilaian kualitas hidup pasien (Sutrisno, Dharmayuda dan Rena, 2010).

Salah satu alat yang banyak digunakan untuk menilai kualitas hidup

pasien kanker adalah kuesioner yang dikeluarkan oleh EORTC. Kuesioner ini

telah digunakan secara luas pada uji klinik kanker oleh sekelompok besar

kelompok-kelompok penelitian dan juga telah digunakan pada studi-studi non

uji klinik. Hasil penelitian pada tabel 4.2 dari 38 pasien kanker payudara yang

telah melakukan operasi mastektomi dan kemoterapi di RSUD Dr. H. Abdul

Moeloek Bandar Lampung Tahun 2020 dengan menggunakan kuesioner

EORTC QLQ-C30 diperoleh kualitas hidup kurang sebanyak 20 responden

(52,6%), kualitas hidup cukup 15 (39,5%), dan kualitas hidup baik 3 (7,9%).

Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Kualitas Hidup Pasien Kanker Payudara di


RSUD Dr.H Abdul Moeloek Bandar Lampung
Kualitas hidup Frekuensi Presentase
76

Kurang 20 52,6%
Cukup 15 39,5%
Baik 3 7,9%
Total 38 100%

Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

kualitas hidup pasien kanker payudara yang telah melakukan operasi

mastektomi dan kemoterapi di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar

Lampung menjadi kategori kualitas hidup kurang (52,6%) dengan jumlah

responden 20 orang. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian

yang dilakukan oleh (Erna, dkk 2017) mengatakan bahwa pasien kanker yang

menjalani kemoterapi maupun mastektomi memiliki kualitas hidup baik

(90,9%), kualitas hidup cukup (9,1%) dan kualitas hidup kurang (0%). Hasi

penelitian ini juga tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh (Edy

dkk, 2020) hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa secara umum

responden memiliki kualitas hidup baik. Pasien yang memiliki kualitas hidup

baik (77%) dan yang memiliki kualitas buruk (33%).

Hasil dari penelitian ini, mungkin terjadinya perbedaan karena ada

pada jumlah responden, selisih waktu penelitian yang terlampau lama, dan

penambahan variabel yang telah dilakukan operasi mastektomi serta pengisian

kuesioner menggunakan via telpon bisa mempengaruhi hasil akhir penelitian

dari kualitas hidup responden pada pasien kanker payudara yang telah

melakukan operasi mastektomi dan kemoterapi di RSUD Dr. H. Abdul

Moeloek Bandar Lampung tahun 2020.

Kualitas hidup pasien kanker payudara berada pada kategori kurang

karena hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa


77

rendahnya jawaban yang diberikan pasien pada subvariabel gejala atau

simptom, dimana diperoleh bahwa pasien kanker payudara mengalami

kelelahan, mual muntah dan nyeri setelah menjalani kemoterapi dengan kata

lain bahwa efek kemoterapi masih dirasakan pasien setelah pemberian

kemoterapi sehingga akan berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien.

Menurut penelitian yang dilakukan Perwitasari (2009) mengatakan

bahwa pasien kanker setelah menjalani kemoterapi akan mengalami

penurunan pada domain gejala atau simtom (23%), dimana pasien mengalami

penurunan nafsu makan sehingga merasakan kelelahan dan juga merasakan

nyeri. Sedangkan subvariabel lain seperti fungsi fisik, fungsi peran, fungsi

kognitif, fungsi emosi, fungsi sosial dan kesehatan secara keseluruhan

memiliki jawaban yang tinggi. Tingginya jawaban pada subvariabel tersebut,

sesuai dengan data demografi yang didapat pada penelitian bahwa mayoritas

pasien kanker payudara sudah menikah (84,2%) dan mayoritas

berpenghasilan < Rp.500.000 (47,4%). Pemberian dukungan psikologis dan

keuangan terhadap wanita yang mengalami kanker payudara mungkin

meningkatkan kualitas hidup. Demikian juga dengan pemberian pelayanan

pendukung pada pasien kanker misalnya dengan pembinaan spiritual atau

pemberian obat-obatan yang bersifat simtomatis dapat meningkatkan kualitas

hidup pasien (Perwitasari, 2009).

Kualitas hidup bisa didefinisikan sebagai sebuah tingkat dimana

individu mampu merasakan kepuasan didalam kehidupan yang dijalaninya,

oleh karena itu individu tersebut harus menjaga kesehatan fisik, pikiran serta

jiwa untuk mencapai tingkat kepuasan tersebut. Hingga pada akhirnnya


78

individu tersebut mampu melaksanakan berbagai aktivitas tanpa adanya

gangguan (Ventegodt, 2011). Kualitas hidup pasien kanker payudara berada

pada kategori kurang kemungkinan dikarenakan besarnya pengaruh terhadap

beberapa sub item gejala (mual dan muntah, nyeri, dipsnea, insomnia,

kehilangan nafsu makan, sembelit dan diare) yang dominan pada responden

terhadap item lainnya yang menunjukkan hasil dengan kategori baik seperti

status kesehatan keseluruhan dan beberapa skala fungsional seperti fungsi fisik

dan kognitif. Dominasi beberapa subitem gejala pada pasien kanker payudara

yang sudah menjalani mastektomi dan kemoterapi diakibatkan karena

pengambilan data dilakukan pada beberapa waktu setelah dilakukannya

kemoterapi sehingga mengakibatkan pasien tidak terlalu menginat hal buruk

terhadap kesehatannya setelah menjalani terapi tersebut, sehingga akan

berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien.

4.1 Gambaran item kualitas hidup pasien kanker payudara di RSUD Dr. H.

Abdul Moeloek Bandar Lampung

Pengukuran kualitas hidup dengan kuisioner EORTC QLQ-C30

disamping hasil akhir didapatkan derajat kualitas hidup pasien kanker secara

umum, kita juga dapat melihat dan membandingkan beberapa aspek yang

memengaruhi kualitas hidup di antaranya fungsi fisik, peran, emosi, kognitif,

sosial, domain gejala dan masalah finansial. Rendahnya kualitas hidup pada

penderita kanker juga dapat dipengaruhi oleh faktor yang beranekaragam,

seperti gejala, jenis perawatan yang diperoleh pasien, status penampilan

pasien, depresi, dan keyakinan spiritual (Kreitler et al, dalam Pradana, 2013).

Tabel 4.3 menunjukkan hasil item fungsi fisik pasien kanker payudara
79

baik dominan memiliki kualitas hidup cukup. Hal demikian juga terdapat pada

item fungsi peran, emosi, kognitif, sosial dan kesehatan secara keseluruhan.

Domain gejala seperti lelah, mual dan muntah, nyeri, dispnea, insomnia,

hilang nafsu makan, sembelit dan diare yang lebih dominan dialami pasien

kanker payudara dengan kualitas hidup kurang. Sedangkan kesulitan keuangan

dominan menunjukkan menunjukkan kualitas hidup cukup. Kualitas hidup

pasien kanker payudara berada pada kategori kurang kemungkinan

dikarenakan pengaruh terhadap beberapa subitem gejala (lelah, mual dan

muntah, nyeri, dipsnea, insomnia, kehilangan nafsu makan, sembelit dan

diare) yang dominan pada responden terhadap item lainnya yang menunjukkan

hasil dengan kategori cukup seperti status kesehatan keseluruhan dan beberapa

skala fungsional seperti fungsi fisik. Dominasi beberapa subitem gejala pada

pasien kanker payudara yang telah menjalani mastektomi dan kemoterapi

diakibatkan karena pengambilan data dilakukan pada beberapa waktu setelah

dilakukannya kemoterapi sehingga mengakibatkan pasien tidak terlalu

mengingat hal yang buruk terhadap kesehatannya saat setelah menjalani terapi

tersebut, sehingga akan berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien.

Uji korelasi Spearman yang didapatkan adanya korelasi antara kualitas

hidup pasien kanker payudara dengan fungsi fisik (p = 0,000; r = 0,890),

fungsi emosi (p = 0,000; r = 0,781), insomnia (p = 0,022; r = 0,369), hilang

nafsu makan (p = 0,028; r = 0,356), sembelit (p = 0,017; r = 0,383), lelah (p =

0,000; r = 0,582), mual dan muntah (p = 0,012; r = 0,404), nyeri (p = 0,001; r

= 0,525), diare (p = 0,010; r = 0,411), kesulitan keuangan (p = 0,000; r =

-0,930). Kualitas hidup pasien kanker payudara tidak berkorelasi dengan


80

fungsi peran (p = 0,540; r = 0,102), fungsi kognitif (p = 0,334; r = 0,161),

fungsi sosial (p = 0,140; r = 0,267) subitem dipsnea (p = 0,463; r = 0,123),

kesehatan secara keseluruhan (p = 0,116; r = 0,259). Studi yang telah

dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar memperlihatkan penurunan kualitas

hidup pasien kanker disebabkan karena adanya keluhan rasa nyeri, sesak,

insomnia, kehilangan nafsu makan dan mengalami diare yang dominan

(Sutrisno, Dharmayuda dan Rena., 2010). Hasil penelitian ini memperlihatkan

hasil yang sesuai dengan penelitian Sutrisno, Dharmayuda dan Rena tentang

kualitas hidup yang menurun ketika dilakukannya kemoterapi pada pasien

kanker.

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Item Kualitas Hidup Pasien Kanker Payudara Di
RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung Tahun 2020
Item QOL
Kualitas N P R
Hidup Kurang Cukup Baik
Fungsi fisik 0,000 0,890
Baik 16(42,1%) 0(0,0%) 13(81,2%) 3(18,8%)
Buruk 22(57,9%) 20(90,9%) 2(9,1%) 0(0,0%)
Fungsi peran 0,540 0,102
Baik 8(21,1%) 3(37,5%) 5(62,5%) 0(0,0%)
Buruk 30(78,9%) 17(56,7%) 10(33,3%) 3(10,0%)
Fungsi emosi 0,000 0,781
Baik 13(34,2%) 0(0,0%) 10(76,9%) 3(23,1%)
Buruk 25(65,8%) 20(80,0%) 5(20,0%) 0(0,0%)
Fungsi kognitif 0,334 0,161
Baik 22(57,9%) 9(40,9%) 13(59,1%) 0(0,0%)
Buruk 16(42,1%) 11(68,8%) 2(12,5%) 3(18,8%)
Fungsi sosial 0,104 0,267
Baik 16(42,1%) 6(37,5%) 8(50,0%) 2(12,5%)
Buruk 22(57,9%) 14(63,6%) 7(31,85) 1(4,5%)
Kesehatan secara keseluruhan 0,116 0,259
Baik 23(60,5%) 9(39,1%) 13(56,5%) 1(4,3%)
Buruk 15(39,5%) 11(73,3%) 2(13,3%) 2(13,3%)
Lelah 0,000 0,582
Mayor 25(65,8%) 18(72,0%) 7(28,0%) 0(0,0%)
Minor 13(34,2%) 2(15,4%) 8(61,5%) 3(23,1%)
Mual dan muntah 0,012 0,404
Mayor 27(71,1%) 17(63,0%) 10(37,0%) 0(0,0%)
81

Minor 11(28,9%) 3(27,3%) 5(45,5%) 3(23,1%)


Nyeri 0,001 0,525
Mayor 35(92,1%) 20(57,1%) 15(42,9%) 0(0,0%)
Minor 3(7,9%) 0(0,0%) 0(0,0%) 3(100%)
Dispnea 0,463 0,123
Mayor 22(57,9%) 13(59,1%) 7(31,8%) 2(9,1%)
Minor 16(42,1%) 7(43,8%) 8(50,0%) 1(6,2%)
Insomnia 0,022 0,369
Mayor 23(60,5%) 15(65,2%) 8(34,8%) 0(0,0%)
Minor 15(39,5%) 5(33,3%) 7(46,7%) 3(20,0%)
Hilang nafsu makan 0,028 0,356
Mayor 20(52,6%) 14(70,0%) 5(25,0%) 1(5,0%)
Minor 18(47,4%) 6(33,3%) 10(55,6%) 2(11,1%)
Sembelit 0,017 0,383
Mayor 25(65,8%) 16(64,0%) 9(36,0%) 0(0,0%)
Minor 13(34,2%) 4(30,8%) 6(46,2%) 3(23,1%)
Diare 0,010 0,411
Mayor 14(36,8%) 11(78,6%) 3(21,4%) 0(0,0%)
Minor 24(63,2%) 9(37,5%) 12(50,0%) 3(12,5%)
Kesulitan keuangan 0,000 -0,930
Mayor 17(44,7%) 0(0,0%) 14(82,4%) 3(17,6%)
Minor 21(55,3%) 20(95,2%) 1(4,9%) 0(0,0%)
Uji korelasi spearmen antara kualitas hidup pasien kanker payudara

dengan fungsi fisik p = 0,000 < 0,05 adanya korelasi yang mempunyai arti

terdapat hubungan yang signifikan antara fungsi fisik dengan kualitas hidup

penderita kanker payudara dengan koefisien korelasi (r) 0,890 dengan arah

hubungan positif dan kekuatan korelasi sangat kuat, yang artinya semakin baik

fungsi fisik pada penderita kanker payudara maka kualitas hidup penderita

kanker payudara akan semakin baik.

Hasil tersebut tidak sejalan dengan penelitian (Waltrin, 2017) dengan

hasil p = 0,347 dan koefisien korelasi (r) - 0,210 yang artinya korelasi negatif

terhadap kualitas hidup dimana makin tergolong baik fungsi fisik pasiennya

makin rendah kualitas hidupnya, Menurut asumsi peneliti berbeda mungkin

karena jumlah responden dan uji yang digunakan berbeda yaitu menggunkan

uji korelasi pearson atau data berdistribusi normal. Namun hasil penelitian ini
82

sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Donald (dalam Urifah, 2012)

menyatakan kualitas hidup merupakan suatu terminology yang menunjukkan

tentang kesehatan fisik, sosial dan emosi seseorang serta kemampuannya

untuk melaksanakan tugas sehari-hari (Bella, 2019). Penelitian ini juga sejalan

dengan penelitian dari Rina dan Ade di Medan yang menyatakan sebagian

besar pasien kanker payudara yang memiliki kualitas hidup rendah

ditunjukkan dengan rendahnya kesehatan fisik, kesejahteraan psikologis, serta

hubungan dengan lingkungan bagi para wanita dewasa awal penderita kanker

payudara tersebut (Siregar dan Muslimah, 2014).

Uji korelasi antara kualitas hidup pasien kanker payudara dengan

fungsi peran p = 0,540 > 0,05 tidak adanya korelasi yang mempunyai arti

bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara fungsi peran dengan

kualitas hidup penderita kanker payudara dengan koefisien korelasi (r) 0,102

dengan arah hubungan positif dan kekuatan korelasi lemah. Uji korelasi

spearmen antara kualitas hidup pasien kanker payudara dengan fungsi emosi p

= 0,000 < 0,05 adanya korelasi yang mempunyai arti ada hubungan yang

signifikan antara fungsi emosi dengan kualitas hidup penderita kanker

payudara dengan koefisien korelasi (r) 0,781 dengan arah hubungan positif

dan kekuatan korelasi sangat kuat, yang artinya semakin baik fungsi emosi

maka kualitas hidup penderita kanker payudara semakin baik. Dimana

menurut asumsi peneliti emosi seorang pasien mampu mempengaruhi kualitas

hidupnya. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Donald (dalam

Urifah, 2012) menyatakan kualitas hidup merupakan suatu terminology yang

menunjukkan tentang kesehatan fisik, sosial dan emosi seseorang serta


83

kemampuannya untuk melaksanakan tugas sehari-hari (Bella, 2019).

Uji korelasi spearmen antara kualitas hidup pasien kanker payudara

dengan fungsi kognitif p = 0,334 > 0,05 tidak adanya korelasi, yang

mempunyai arti tidak adanya hubungan yang signifikan antara fungsi kognitif

dengan kualitas hidup penderita kanker payudara, dengan koefisien korelasi

(r) 0,161

dengan arah hubungan positif dan kekuatan korelasi hampir tidak ada. Uji

korelasi spearmen antara kualitas hidup pasien kanker payudara dengan

fungsi sosial p = 0,104 >0,05 tidak adanya korelasi yang mempunyai arti

tidak ada hubungan yang signifikan antara fungsi sosial dengan kualitas hidup

penderita kanker payudara dengan koefisien korelasi (r) 0,267 dengan arah

hubungan positif dan kekuatan korelasi lemah.

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan

oleh Nurachmah (1999), dimana penderita kanker payudara mengekspresikan

ketidakberdayaan, merasa tidak sempurna lagi, malu dengan bentuk

payudara, tidak bahagia, merasa tidak menarik lagi, perasaan kurang diterima

oleh orang lain, merasa terisolasi, takut, berduka, berlama-lama di tempat

tidur, ketidakmampuan fungsional, gagal memenuhi kebutuhan keluarga,

kurang tidur, sulit berkonsentrasi, kecemasan dan depresi, dimana dapat

memicu penurunan kualitas hidupnya. Kroenke et al (dalam Avis et al,

2004) juga menemukan bahwa wanita dibawah 40 tahun dengan kanker

payudara mengalami penurunan yang signifikan lebih besar pada peran

fisik, nyeri tubuh, fungsi sosial, dan kesehatan mental. Havighurst (dalam

Hurlock, 2012) menjelaskan bahwa usia dewasa madya memiliki tuntutan


84

pada peran sosial yang tinggi. Jika pada masa tersebut seseorang mengalami

kondisi kronis, maka akan membatasi produktivitas mereka.

Uji korelasi spearmen antara kualitas hidup pasien kanker payudara

dengan kesehatan secara keseluruhan p = 0,259 > 0,05 tidak adanya korelasi

yang mempunyai arti tidak ada hubungan yang signifikan antara antara

kesehatan secara keseluruhan dengan kualitas hidup penderita kanker

payudara dengan koefisien korelasi (r) 0,116 dengan arah hubungan positif

dan kekuatan korelasi lemah. Hasil tersebut tidak sejalan dengan penelitian

(Waltrin, 2017) di medan yakni hasil analisa data dalam penelitian ini

diperoleh dengan hasil p = 0,013 dan koefisien korelasi (r) - 0,546 sehingga

ada hubungan yang bermakna antara kesehatan keseluruhan dengan kualitas

hidup perempuan dengan kanker payudara dengan korelasi negatif yang

artinya dimana makin tergolong sehat secara keseluruhan pasiennya makin

rendah kualitas hidupnya.

Uji korelasi spearmen antara kualitas hidup pasien kanker payudara

dengan sub item gejala lelah, mual dan muntah, nyeri, insomnia, hilang nafsu

makan, dan sembelit memiliki korelasi yang mempunyai arti ada hubungan

yang signifikan antara subitem gejala lelah, mual dan muntah, nyeri,

insomnia, hilang nafsu makan, sembelit serta kesulitan keuangan dengan

kualitas hidup penderita kanker payudara dengan koefisien korelasi arah

hubungan positif dan kekuatan korelasi cukup. Sedangkan untuk uji korelasi

spearmen antara kualitas hidup dengan sub item gejala dipsnea dan diare tidak

terdapat korelasi yang artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara sub

item gejala dengan kualitas hidup, dengan koefisien korelasi arah positif dan
85

kekuatan korelasi lemah.

Hasil penelitian ini memperlihatkan sub item gejala yang sesuai dengan

penelitian yang dilakukan oleh Sutrisno, Dharmayuda dan Rena tentang

Kalitas hidup yang menurun ketika dilakukannya kemoterapi pada pasien

kanker. Studi yang telah dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar

memperlihatkan penurunan kualitas hidup pasien kanker disebabkan karena

adanya keluhan rasa nyeri, sesak, insomnia, kehilangan nafsu makan dan

mengalami diare yang dominan (Sutrisno, Dharmayuda dan Rena, 2010).


86

Anda mungkin juga menyukai