Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
7.1. Tubuh
7.1.1. Arti Tubuh
7.1.2. Karakter Spesifik Tubuh
7.2. Jiwa
7.2.1. Jiwa, Tubuh, Roh
7.2.2. Sifat-sifat Jiwa
7.2.3. Arti Jiwa
7.2.4. Munculnya Jiwa
7.2.4.1. Tradusianisme
7.2.4.2. Kreasionisme
7.2.4.3. Kreasionisme Lanjutan
7.2.5. Hominisasi
7.2.6. Kekekalan Jiwa
7.2.6.1. Teori Kesepakatan Umum
7.2.6.2. Argumen dari Etika
7.2.6.3. Teilhard de Chardin
7.2.6.4. Argumen Teknis
7.2.6.5. Hasrat akan Hidup dan Kebahagiaan
7.2.7. Jiwa Sesudah Kematian
Manusia terdiri dari jiwa dan tubuh. Jiwa dan tubuh merupakan topik sangat penting
dalam filsafat manusia. Konsep rational animal dan religious animal ingin melihat manusia dari
struktur metafisik dan fisik. Manusia dilihat sebagai makluk yang terdiri dari materi dan forma,
atau tubuh dan jiwa. Konsep-konsep itu melihat jiwa dan tubuh saling mempengaruhi. Berikut
dibahas secara singkat tentang jiwa dan tubuh.
7.1. Tubuh
Manusia menyadari diri sebagai AKU. AKU bukan badan, bukan jiwa, tapi keutuhan
diriku, keutuhan jiwa dan tubuh. Menurut N. Driyarkara, tubuh adalah unsur diriku. Ia bukan
seperti sepatu di kaki, atau topi di kepala. Tubuh itu AKU sejauh AKU adalah makluk jasmani.
Tubuh adalah cara penampakanku.
1
Tubuh adalah jasmani yg dirohanikan/rohani yang menjasmani:tubuh adalah jasmani
yang dirohanikan atau rohani yang menjasmani. Artinya, tubuh itu luhur dan mulia. Tubuh baru
betul-betul luhur kalau ia mengabdi roh. Tubuh adalah pancaran atau cerminan jiwa. Tepatlah
ungkapan bahasa Latin yang sering kita dengar: Mens san in corpore sano (jiwa yang sehat ada
dalam tubuh yang sehat).
7.2. Jiwa
Hakikat setiap makluk hidup adalah kesatuan jiwa dan tubuh. Tumbuhan, hewan, dan
manusia dinamakan makluk hidup karena mereka terdiri dari jiwa dan tubuh. Hanya saja, jiwa
pada tumbuhan, hewan, dan manusia berbeda menurut tingkatan-tingkatannya. Jiwa pada
manusia merupakan bentuk tertinggi dari jiwa makluk hidup, berkat intelektualitasnya.
Pendapat ini umum diterima oleh para filsuf. Tetapi ada filsuf yang kemudian
mengajukan pertanyaan lebih lanjut. misalnya, kalau tumbuhan, hewan dan manusia sama-sama
memiliki jiwa, maka mereka itu sebetulnya sama saja. Lalu apakah beda antara tumbuhan dan
hewan, atau hewan dan manusia?
2
Bagaimana roh beraktivitas? Aristoteles menjelaskan sbb: seperti indera, roh juga
menerima kesan-kesan. Kesan-kesan itu bukan berupa suara atau warna seperti pada indera,
tetapi pengertian-pengertian. Dalam hal ini roh memang melebihi indera sebab indera berkaitan
dengan kesan-kesan tertentu saja (warna bagi mata, suara bagi telinga), sedangkan roh meliputi
segala sesuatu. Indra juga berkemampuan terbatas, sebaliknya kemampuan roh tidak terbatas.
Indra memang sangat bergantung pada tubuh dan terikat pada organ-organ tertentu. Jadi, roh
jauh lebih otonom terhadap tubuh dan tidak terikat dengan organ-organ tertentu. Dengan kata
lain, roh itu bukannya merupakan sesuatu melainkan kemungkinan (potensi). Roh tidak
mempunyai hakikat, bahkan hampir mendekati ketiadaan. Oleh sebab itu roh tak dapat
dilokalisir.
Hubungan jiwa dan tubuh lebih konkrit. Roh seakan-akan memperlihatkan sifat dari
dunia lain. Roh memanifestasikan diri lewat jiwa. Roh adalah prinsip aktif. Dalam kehidupan
empiris, misalnya, warna tidak mungkin bisa dilihat kalau tidak ada cahaya. Nah, cahaya
merupakan prinsip aktif. Dalam jiwa terdapat roh yang bisa menerima segala sesuatu, dan roh
yang berfungsi aktif seperti cahaya. Roh aktif adalah pemikiran yang tak kunjung berhenti. Ia
bersifat terpisah dan mandiri dari jiwa. Ia juga baka dan abadi.
Menurut Aristoteles, jiwa dan roh juga berbeda menurut asal usulnya. Jiwa timbul dari
sel telur, bukan dari luar. Mengapa? Karena jiwa tidak mungkin ada tanpa tubuh, seperti halnya
berjalan tidak mungkin terlaksana tanpa kaki. Sebaliknya roh berasal dari luar (thyrathen) dan
bersifat ilahi. Dalam melakukan aktivitasnya roh tidak berhubungan dengan tubuh. Hubungan
roh dan jiwa lebih dekat dibanding hubungannya dengan tubuh. Roh terlepas dari tubuh, dan
beraktivitas di luar tubuh.
Aristoteles sebetulnya ingin menekankan kesatuan jiwa-tubuh pada manusia. Menurut
dia, manusia melebihi makluk-makluk hidup lain dan berdiri di luar rentetan itu berkat refleksi
rasionalnya. Aktivitas roh di satu pihak termasuk kehidupan jiwa, tetapi di lain pihak
memperlihatkan daya ilahi yang lebih tinggi. Roh adalah daya rohani yang melebihi pribadi
manusia.
Pandangan Aristoteles punya titik lemah, karena menciptakan dualisme baru (suatu yang
memang disangkalnya) antara jiwa-tubuh di satu pihak, dan roh-jiwa di pihak lain. Itulah
sebabnya, Thomas Aquinas menolak pandangan Aristoteles bahwa roh melampaui pribadi
manusia. Bagi Thomas, roh adalah bentuk jiwa tertinggi yang memberikan substansialitas
kepada pribadi manusia dan hidup terus sesudah kematian (bagi Aristoteles, jiwa pribadi yang
hidup terus sesudah kematian tak dapat dibayangkan, sebab jiwa justru menjadi jiwa konkrit
berkat tubuh. Dalam perkaitan dengan tubuh itu roh sendiri bersifat potensialitas dan tak dapat
ditentukan lebih konkrit, sebab untuk itu orang harus bertumpuh pada tubuh).
3
gunung hanya setelah kita melihat bunga dan gunung. Kita tahu warna merah, biru, ungu karena
sudah pernah melihat warna-warna itu.
David Hume mengatakan jiwa adalah teater dimana dan melalui mana datang banyak
persepsi dan panggung dimana para pemain datang dan pergi. Jiwa adalah kontainer atau gedung
besar di mana datang dan pergi bermacam persepsi, ide, pikiran dll.
Sedangkan Skinner tak mengakui adanya kejadian-kejadian mental (dia seorang
materialis). Dia melihat jiwa sebagai komputer yang kalau diprogram dan diberi informasi yang
tepat, akan menghasilkan output yang sepadan. Jiwa dan diri adalah satuan respons terhadap
stimuli. Dengan kata lain, otak menerima stimuli dari luar lalu menanggapinya sebagai komputer
atau mesin.
Jiwa bersifat aktif dan intensional: Rene Descartes mengatakan: ketika dia merasa
sangsi, ada kebenaran yang tak dapat disangsikan yaitu bahwa dia sangsi. Manusia adalah
makluk sadar yang berpikir. Dia tak mungkin sangsi jika dia tidak sadar dan tak berpikir. Cogito
ergo sum, saya berpikir maka saya ada. Bagi Descartes kesadaran adalah fakta dasar dan primer
atau kebenaran dari eksistensi manusia. Kesadaran sulit didefinisikan. Tapi kesadaran pasti
menyangkut hal-hal seperti berpikir, imaginasi, heran, spekulasi, analisis. Kesadaran bahkan
harus ada lebih dulu dari semua itu.
Edmund Husserl setuju dengan Descartes tapi mengatakan Descartes belum memberikan
keterangan tentang hakikat kesadaran (apa itu kesadaran) padahal itu sangat penting untuk
memahami jiwa manusia. Dia mengemukakan konsep intensionalitas. Kodrat kesadaran atau
jiwa adalah bahwa ia bersifat intensional: aktif, mengarah ke suatu hal atau obyek (fisik atau
mental). Kesadaran tidak pernah tanpa isi, tapi selalu punya obyek. Ia bukan saja penerima
stimuli dari luar, tapi secara aktif mencari obyek-obyek internal (pikiran, imaginasi, perasaan)
dan obyek luar (pohon dll). Ia terima stimuli dari dalam dan luar diri, tapi menerima dengan
aktif, selalu menghubung-hubungkan, dan “menenun” semuanya menjadi suatu pandangan atas
realitas yang adalah milikku.
4
yang sering termanifestasi dalam mimpi, bahkan mimpi mengerikan atau nightmare.
(Encyclopedia of Knowledge, 264).
5
putih, misalnya, berbeda dengan menyadari/mengalami adanya pengalaman warna putih tersebut.
Sadar diri berarti mengetahui adanya pengalaman. Kesadaran keluar adalah suatu keharusan
sebab sadar selalu berarti sadar akan sesuatu. (Kattshoff, 318-332).
7.2.4.Munculnya Jiwa
Ada beberapa teori tentang bagaimana jiwa muncul. Aliran tradusianisme, kreasionisme,
dan kresionisme lanjutan menjawab pertanyaan tersebut. Berikut uraian singkat tentang aliran-
aliran tersebut.
7.2.4.1. Tradusianisme
Pandangan ini mengatakan jiwa berasal dari orangtua. Ada dua macam tradusianisme,
yakni tradusianisme spiritual dan tradusianisme material. Menurut tradusianisme spiritual, jiwa
secara langsung berasal dari jiwa orangtuanya. Tradusianisme material mengajarkan bahwa
orang tua menghasilkan badan, lalu badan mengembangkan sebuah jiwa manusia.
7.2.4.2. Kreasionisme
Pandangan ini mengatakan bahwa jiwa anak langsung berasal dari Tuhan, dan bukan
berasal dari tubuh orangtua. Jiwa anak juga tak dapat berasal dari jiwa orang tua. Jiwa anak
langsung dicpitakan oleh Tuhan..
7.2.5. Hominisasi
Kapan jiwa manusiawi mulai bereksistensi? Dengan kata lain, kapan saat terjadinya
manusia (hominisasi)? Kapan embrio bisa dianggap sebagai pribadi manusia? Teori immediate
dan mediate animation menjawab pertanyaan tersebut.
Immediate animation: teori Penjiwaan Segera (immediate animation) mengajarkan bahwa
jiwa muncul sejak terjadi pertemuan sel-sel reproduktif. Ada pendapat yang menolak teori ini
karena di sini jiwa dianggap sebagai causa efficiens yang membina pertumbuhan, dengan
berpedoman pada kode genetis dalam gen-gen. Padahal jiwa bersifat causa formalis yang hanya
dapat bereksistensi dalam kesatuan dengan kausa material yang secukupnya. Pada pertemuan sel-
sel reproduktif (pada saat pembuahan) kausa materialnya belum mencukupi. Jiwa pada tahap itu
baru pada tingkat vegetatif dan animal, belum merupakan jiwa pribadi manusia.
Mediate animation: teori Penjiwaan Tidak Segera (mediate animation) mengatakan
bahwa ada jiwa bila terdapat tingkat 'sentrokompleksitas' tertentu (de Chardin)
6
terikat pada materi. Meskipun demikian jiwa bukan roh semata-mata. Secara ekstrinsik ia tetap
bergantung pada materi. Itu suatu kenyataan. Materi jasmani merupakan syarat bagi aktivitas
jiwa.
Jiwa bersifat sederhana (simplex) berarti bahwa jiwa tidak mempunyai bagian-bagian
yang sungguh berbeda. Jiwa mempunyai bagian-bagian yang esensial atau integral. Jiwa bersifat
esensial karena ia merupakan bentuk substansial manusia. Ia bersifat integral sebab ia bukan
kuantitas yang memiliki keluasan.
Kematian adalah saat terputusnya hubungan antara jiwa dan tubuh. Apakah jiwa juga
hancur? Plato, misalnya, mengatakan jiwa ada sebelum bersatu dengan tubuh. Jiwa akan tetap
hidup setelah kematian tubuh. Aristoteles sebaliknya berpendapat bahwa jiwa akan habis pada
saat kematian, sebab jiwa itu hanya bisa hidup dalam persatuan dengan tubuh, yang adalah
materi.
Jadi, ada dua pendapat yang coba menjelaskan pertanyaan tentang kekekalan jiwa. Yang
satu menerima kekekalan jiwa, yang satunya menolak kekekalan jiwa. Untuk kepentingan
praktis, kita akan membahas beberapa teori yang menerima kekekalan jiwa. Teori-teori itu
adalah teori kesepakatan umum, teori yang berasal dari etika, Theilhard de Cardin, argumen
teknis, serta hasrat kepada hidup dan kebahagiaan.
7
7.2.6.4. Argumen teknis
Argumen ini mengatakan bahwa jiwa manusia tidak dapat berhenti hidup sebab suatu
makluk berhenti hidup karena dua alasan, yakni alasan intrinsik (berhubungan dengan esensi)
dan alas an ekstrinsik (berhubungan dengan eksistensi). Esensi makluk hidup adalah musnah
karena pembusukan (langsung) atau kehilangan sandaran pokok (tak langsung). Eksistensi
makluk hidup hilang karena peniadaan. Menurut para penganut argumen ini, jiwa tidak
mengalami kedua jenis pemusnahan ini.
Jiwa tak dapat musnah karena pembusukan berarti kehancuran unsur-unsur konstitutif
suatu makluk. Meja, misalnya, hancur kalau dimakan api. Air hancur kalau diredusir kepada
oksigen dan hidrogen. Hanya benda tersusun atau material mengalami pembusukan. Jiwa, karena
bersifat spiritual, tidak mengalami pembusukan.
Jiwa juga tak musnah karena kehilangan sandaran esensialnya. Kehilangan sandaran
esensial berarti kehilangan sandaran material. Jiwa manusia bersifat spiritual, berarti tak
bergantung pada materi. Oleh sebab itu jiwa tak dapat hancur pada saat kehancuran tubuh.
Jiwa tak dapat musnah karena tindakan peniadaan. Peniadaan berarti berhentinya
kegiatan kreatif dari Tuhan yang merupakan sumber segala eksistensi. Tuhan tidak mungkin
akan menghentikan eksistensi hidup dari jiwa. Mengapa? Karena dua alasan. Pertama, Tuhan
mengatur segalanya menurut kodrat benda-benda itu. Kodrat jiwa adalah bahwa ia tak dapat mati
sebab bersifat spiritual dan sederhana. Jika Tuhan menghendaki jiwa mati, berarti dia tidak
konsekuen. Karena kodrat jiwa adalah spiritual, maka jiwa tidak akan mati.
Kedua, Tuhan dapat mengintervensi langsung dan mengubah alam, melalui mujizat. Tapi
itu dilakukan untuk mewujudkan rahmatNya. Hilangnya suatu hal yang dari kodratnya bersifat
kekal, tak akan mewujudkan rahmat Tuhan itu. Sebab itu adalah kebijaksanaan Tuhan untuk
mempertahankan segala sesuatu menurut kodratnya.
8
spiritualisme. Jadi, segala aspek esensial manusia seakan-akan dikembalikan seluruhnya kepada
jiwa. Jadi, manusia sama dengan roh murni, dan ini sangat Platonistis.
Kedua, sesudah kematian jiwa (keakuan) berhubungan secara langsung dengan seluruh
kosmos. Maka jiwa akan menjadi pan-kosmis. Pendapat ini dikemukakan oleh Karl Rahner.
Menurut Rahner, ketika masih hidup (kesatuan jiwa dan tubuh) keakuan itu dimasukkan ke
dalam kosmos material karena perkembangan tubuhnya. Tubuh menghubungkan kita secara
langsung dengan obyek-obyek kosmos tertentu. Tapi kerugiannya, membatasi hubungan
langsung kita pada obyek-obyek tertentu. Padahal, melalui keterbukaan pengetahuannya,
keakuan itu berhubungan dengan seluruh alam semesta material.
Pandangan Rahner berbeda dengan neo-Platonisme. Pada neo-Platonisme kematian
berarti terputusnya keakuan secara total dengan materi. Pada Rahner, pada saat kematian jiwa
justru mampu berhubungan langsung dengan keseluruhan materi.
Sumber
1. Ernst Cassirer. (1989), Manusia dan Kebudayaan, Sebuah Esei tentang Manusia,
Jakarta: Gramedia.
2. Louis Leahy, (1985), Manusia Sebuah Misteri, Jakarta: Gramedia.
3. ---------------, (1991), Esai Filsafat Untuk Masa Kini, Jakarta: Grafiti.
4. Alexis Carrel, (1987), Misteri Manusia (terjemahan), Jakarta: Remaja Karya.
5. Van Peursen dkk, (1986), Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Tiara Wacana.
6. N. Drijarkara, (1969), Filsafat Manusia, Yogyakarta: Kanisius.
7. Wikipedia
9
KUIS (UJIAN ESSAY) SEBAGAI UJIAN “SELA” /ANTARA JELANG UTS.
JAWABLAH PERTANYAAN-PERTANYAAN DI BAWAH INI,
SELAMAT BEKERJA,
BFM
10