Anda di halaman 1dari 8

MIFTACHUL UMAMI

P27820418068

3A

TUJUAN DAN PENATALAKSANAAN PEMBERIAN CAIRAN

1. Sepsis
Tujuan Untuk mengembalikan volume cairan tubuh yang terganggu saat
terjadi syok septik, pasien akan diberikan cairan infus. Pemilihan jenis cairan dan
jumlah cairannya akan disesuaikan dengan kondisi pasien serta pertimbangan dokter.

Penatalaksanaan Sepsis berdasarkan kemampuan untuk mengatasi infeksi dan


mempertahankan homeostasis. Pengelolaan tersebut meliputi : pengobatan penyakit
dasar, pemberantasan sumber infeksi, pemberian antibiotika, support respirasi,
sirkulasi dan hemodinamik dan pemberian cairan. Jika terjadi syok septik sudah harus
dilakukan perawatan di ruang intensif. Beberapa tahap penatalaksanaan sepsis
adalahTerapi cairan. Pada pasien sepsis akan terjadi kekurangan cairan intravaskular
relatif sampai berat terutama pada syok septik. Pada awalnya tubuh mempertahankan
perfusi organ vital terutama otak dan ginjal dengan mengadakan vasokontriksi
pembuluh darah viseral dan mengurangi aliran darah kekulit. Jika upaya
mempertahankan perfusi organ gagal, tekanan arteri sentral akan menurun. Cairan
dibagi menjadai beberapa yaitu :

a. Cairan resusitasi segera diberikan dengan cairan yang ada.


b. Cairan koloid lebih dianjurkan untuk resusitasi awal karena mempunyai efek
hemodinamik segera.
c. Infus cairan selanjutnya dapat memakai koloid dan atau kristaloid. Pemberian
cairan dekstrose 5 % tidak dipakai untuk resusitasi, karena akan disebar segera
ke rongga intraseluler. Pada syok septik dianjurkan pemberian cairan bolus
1000 ml cairan kristaloid atau 500 ml koloid dalam 20-30 menit. Pemberian
cairan berikutnya dilihat dari respon klinik, pemeriksaan auskultasi paru untuk
mendengarkan ronchi, pengukuran ventricular filling pressure dan bila
mungkin penilaian oksigenisasi.. 
2. Syok
Terapi syok hipovolemik bertujuan untuk restorasi volume intravaskuler,
dengan target utama mengembalikan tekanan darah, nadi, dan perfusi organ secara
optimal. Bila kondisi hipovolemia telah teratasi dengan baik, selanjutnya pasien
dapat diberi agen vasoaktif, seperti dopamine, dobutamine.
Penanganan syok hipovolemik adalah sebagai berikut:
1. Tentukan defisit cairan
2. Atasi syok: cairan kristaloid 20 mL/kgBB dalam ½ - 1 jam, dapat diulang
3. Sisa defisit: 50% dalam 8 jam pertama, 50% dalam 16 jam berikutnya
4. Cairan RL atau NaCl 0,9%
5. Kondisi hipovolemia telah teratasi/ hidrasi, apabila produksi urin: 0,5 – 1 mL/
kgBB/jam

Terapi syok anafilaktik: Baringkan pasien dengan posisi syok (kaki lebih
tinggi) Adrenaline: Dewasa 0,3-0,5 mg SC (subcutaneous); anak 0,01 mg/kgBB SC
(larutan 1:1000) Fungsi adrenaline: meningkatkan kontraktilitas miokard,
vasokonstriksi vaskuler, meningkatkan tekanan darah dan bronkodilatasi Pasang
infus RL Kortikosteroid: dexamethasone 0,2 mg/ kgBB IV (intravena) Bila terjadi
bronkospasme dapat diberi aminophyline 5-6 mg/kgBB IV bolus secara perlahan,
dilanjutkan dengan infus 0,4-0,9 mg/kgBB/menit

3. Major Burn Resuscitation


Resusitasi cairan pada luka bakar seharusnya target untuk keluaran urin telah
memberikan cara untuk pemantauan yang lebih invasif teknik dan keseimbangan
untuk menghindari 'cairan merembes,' konsep itu resusitasi berlebihan membawa
risiko yang signifikan, termasuk paru edema, peningkatan kemungkinan trakeostomi,
dan kompartemen sindrom. Konsep tradisional resusitasi cairan intravena melibatkan
rumus Parkland volume Lactated Ringer's larutan yang diberikan dalam 24 jam
pertama setelah cedera = 3–4 mL / kg /% total luas permukaan tubuh. Setengah dari
volume harus diberikan di bagian pertama 8 jam, paruh kedua dalam 16 jam
berikutnya. Keluaran urin harus ditargetkan pada 0,5 mL / kg / jam dalam keadaan
normal, dan pada 1 mL / kg / jam dalam kasus cedera himpitan dengan
rhabdomyolysis dan luka bakar listrik tegangan tinggi. Pengakuan bahwa keluaran
urin tidak mewakili volume intravaskular yang memadai telah menyebabkan sebuah
penekanan yang lebih besar pada pemantauan yang lebih invasif.
4. Trauma Umum
Pada pasien trauma umumnya terjadi perubahan berupa berkurangnya aliran
darah sirkulasi akibat perdarahan internal maupun eksternal. Pemahaman bahwa saat
terjadi perdarahan butuh pengganti cairan sudah jelas, tubuh kehilangan cairan
sehingga cairan tersebut harus diganti. Resusitasi dikenal dengan 2 fase yaitu
resusitasi fase awal, saat perdarahan masih berlangsung, resusitasi fase akhir, saat
perdarahan telah dikontrol. Pemberian cairan intra vena diperkirakan akan
meningkatkan curah jantung dan tekanan darah pada pasien hipovolemik yang
mengalami trauma. Cairan kristaloid isotonik merupakan cairan awal yang digunakan
pada kebanyakan pasien trauma. Keuntungan cairan ini yaitu murah, siap tersedia,
tidak alergik, tidak infeksius, dan efektif untuk mengembalikan cairan tubuh. Cairan
kristaloid relatif mudah penyimpanannya, mudah bercampur dengan obat-obatan
intravena dan dapat cepat dihangatkan. Kekurangan cairan kristaloid yaitu rendahnya
kemampuan mengantarkan oksigen, rendahnya kemampuan koagulasi, dan
keterbatasan half-life di intravaskuler. Jenis cairan kristaloid yang dapat digunakan
pada pasien trauma ;
a. Ringer laktat
Merupakan cairan resusitasi pertama yang digunakan, komposisi RL di buat
menyerupai plasma dan laktat ditambahkan sebagai buffer. Metabolisme
intrahepatik akan mengubah laktat menjadi bikarbonat melalui proses
glukoneogenesis dengan terjadi peningkatan glukosa plasma sebanyak 50-100
mg/dL pada setiap liter. Pada resusitasi cairan yang dikarenakan perdarahan,
kebanyakan pasien trauma akan mengalami asidosis laktat. RL merupakan
pilihan pertama untuk resusitasi sedangkan normal saline (NS) merupakan
pilihan kedua. Walaupun NS merupakan pengganti volumee yang memuaskan
pada pasien trauma namun NS berpotensi menyebabkan asidosis
hiperkloremik.
b. NaCl fisiologis
Merupakan cairan kristaloid sedikit hipertonik dengan komposisi natrium dan
klorida yang lebih tinggi dari plasma. Cairan ini tidak mengandung kalsium
sehingga digunakan untuk dilusi produk transfusi darah, supaya tidak timbul
kemungkinan terjadinya gangguan dengan antikoagulan sitrat. Resusitasi
menggunakan cairan ini dalam jumlah yang banyak akan menimbulkan
asidosis metabolik hiperkloremik. Cairan ini lebih jarang digunakan pada
resusitasi syok perdarahan.
5. Cardiogenik Pulmonary
Penderita ALI mengalami sepsis dan syok, beberapa klinisi menggunakan
volume cairan yang besar melalui intravena dengan defisit volume intravaskular yang
rasional dan memelihara curah jantung untuk perfusi organ yang adekuat. Trial
(FACTT) menunjukkan tatalaksana cairan pada penderita trauma paru akut, dengan
menggunakan suatu protokol terapi cairan dengan pengukuran tekanan dari central
venous catheter (CVC), yang hasilnya hampir sama dengan klinis dibandingkan
dengan terapi cairan langsung dari kateter arteri paru. Kebanyakan dari praktisi
biasanya menggunakan strategis terapi cairan konser-vatif dibandingkan liberal. Pada
pendekatan konservatif, pemasukan cairan dibatasi dan pengeluaran urin ditingkatkan
dalam usaha menurunkan edema paru, Pemberian diuretik dan retriksi cairan pada
pasien edema paru didasarkan pada cairan ekstravaskular paru atau terapi cairan rutin,
dimana kelompok restriksi cairan memiliki pengaturan cairan yang lebih rendah,
penggunaan ventilator dan rawatan yang lebih singka. Studi uji klinis acak tersamar
ganda, mengkombinasi terapi koloid dan diuretik dapat membantu resorbsi cairan
paru, meningkatkan fisiologi paru dan durasi ventilasi mekanik. pasien ALI menerima
terapi kombinasi albumin dan infus kortikosteroid berkelanjutan selama 5 hari dan 18
pasien yang mendapat terapi plasebo. Plasebo diganti ketika total serum protein saat
terapi >6.0 g/dL. Pemberian infus furosemid dititrasi setiap 8 jam sampai mencapai
pengaturan cairan negatif dan penurunan berat badan sedikitnya 1 kg/hari, dengan
maksimum dosis furosemid 8 mg/jam
6. Intra Osseus Infusion
Rute intraosseous diindikasikan pada pasien dewasa, anak, bayi, dan neonatus
yang membutuhkan resusitasi cairan segera namun rute intravaskular sulit didapatkan.
Rute intraosseous merupakan rute sementara, dengan jangka waktu penggunaan 72 –
96 jam. Pemasangan rute intraosseous dilakukan di tibia bagian proksimal dan distal
(pada dewasa dan anak) dan humerus bagian proksimal atau femur bagian
anterolateral (pasien dewasa). Pemasangan rute intraosseous dapat dilakukan dengan
jarum khusus intraosseous atau kateter intravena berukuran besar.
Jenis Cairan yaitu Jenis cairan yang dapat diberikan selama resusitasi cairan berupa
kristaloid, koloid, dan komponen darah.

a. Cairan kristaloid
Cairan kristaloid merupakan cairan yang ditujukan untuk menggantikan
volume intravaskuler. Cairan kristaloid merupakan cairan isotonik, seperti
NaCl 0,9% (Normal Saline) maupun Ringer Laktat. Normal saline
mengandung 154 mEq/L Na+ dan Cl-, dengan pH 5,7 dan osmolalitas 308
mOm/L. Pemberian normal saline dalam jumlah besar berisiko menyebabkan
asidosis metabolik hiperkloremik. Ringer Laktat merupakan cairan yang
mengandung Ca++, K+, dan laktat. Pada syok yang disebabkan oleh
pendarahan, Ringer Laktat lebih sering digunakan untuk meminimalisir
asidosis dan tidak menyebabkan hiperkloremia. Ringer laktat
dikontraindikasikan bila diberikan bersamaan dengan produk komponen
darah, karena dapat mencetuskan timbulnya bekuan darah.[7,11]

b. Cairan Koloid:
Cairan koloid merupakan cairan yang memiliki molekul besar, di mana koloid
sendiri didefinisikan sebagai suspensi partikel dengan diameter 1 sampai 1000
nm yang bercampur dengan solven dan terpengaruh oleh gravitasi. Secara
umum, koloid terbagi menjadi dua jenis, yaitu Koloid natural, seperti albumin
Koloid sintetik, seperti starch, dextran, dan gelatin Albumin merupakan
derivat plasma manusia yang memiliki berat molekuler 66.000 Da dan
berperan pada 80% tekanan onkotik koloid plasma. Sediaan albumin terdiri
dari konsentrasi 4 – 5% atau 20 – 25%. Pemberian albumin 25% dapat
menarik cairan dari ruang interstisial ke intravaskuler sehingga dapat
meningkatkan volume plasma 4 hingga 5 kali dari volume albumin yang
diberikan. Gelatin merupakan cairan derivat bovine collagen – gelatin dengan
berat molekul 35.000 Da. Gelatin diekskresikan dengan cepat oleh ginjal dan
hanya sekitar 20% beredar di intravaskuler selama 90 menit. Gelatin memiliki
risiko anafilaksis yang tinggi (1 dari 290) dan risiko teoritis terhadap
Creutzfeldt-Jakob disease (CJD), sehingga gelatin tidak direkomendasikan
sebagai cairan resusitasi. Hydroxyethyl starch merupakan koloid sintetik dari
hidrolisis amilopektin dengan berat molekul 130 hingga 200 kDa. Penggunaan
hydroxyethyl starch tidak lagi direkomendasikan karena efek sampingnya
seperti mengganggu fungsi ginjal, menyebabkan koagulopati dan perdarahan
akibat penurunan faktor VII dan faktor von Willebrand, serta gangguan
trombosit. Dekstran merupakan molekul polisakarida yang dapat digunakan
untuk meningkatkan volume plasma dan menurunkan viskositas darah. Pada
praktiknya, dekstran jarang digunakan karena berbagai efek sampingnya,
seperti gangguan fungsi ginjal, reaksi anafilaksis, dan perdarahan akibat
penghambatan produksi faktor VII dan faktor von Willebrand. Penggunaan
dekstran juga dapat mengganggu proses crossmatch pada transfusi darah.

7. The Newborn Resuscitation


Pada penderita resusitasi bayi baru lahir anjurkan ibu untuk sering
memberikan ASI guna mencegah hipoglikemia. Jika bayi tidak mampu menyusu,
berilah ASI melalui sendok/cangkir atau pipa lambung. Tetapi aangan memberi ASI
per oral jika terdapat obstruksi usus, enterokolitis nekrotikan, gangguan minum,
misal: distensi abdomen, memuntahkan semua yang diminum dan Jangan memberi
ASI per oral dalam fase akut pada bayi yang letargi, atau sering mengalami kejang,
jika diberikan cairan IV, kurangi cairan IV apabila volume pemberian ASI meningkat.
Bayi yang mengisap dengan baik tapi memerlukan drip IV untuk antibiotika harus
menggunakan cairan IV minimal untuk menghindari beban cairan yang berlebihan,
atau bilas kanul dengan 0.5 ml NaCl 0.9% (garam normal). Tingkatkan cairan yang
diberikan selama 3-5 hari pertama (jumlah total, oral dan IV) : hari ke 1 60
mL/kg/hari, hari ke 2 90 mL/kg/hari, hari ke 3 120 mL/kg/hari, lalu ditingkatkan
sampai 150 mL/kg/hari. Jika toleransi minum oral baik, sesudah beberapa hari jumlah
dapat ditingkatkan menjadi 180 mL/kg/hari. Hati-hati dengan pemberian cairan
parenteral pada bayi karena bisa cepat terjadi overhidrasi. Ketika memberikan cairan
IV, jangan melebihi volume ini kecuali jika bayi mengalami dehidrasi atau sedang
mendapat terapi sinar atau berada di bawah pemancar panas tetapi beri cairan lebih
banyak jika bayi ditempatkan di bawah pemancar panas (1.2-1.5 kali). Jumlah ini
adalah TOTAL asupan cairan yang diperlukan seorang bayi, asupan oral harus
diperhitungkan ketika menghitung kecepatan cairan IV. Jangan menggunakan cairan
glukosa IV tanpa natrium SESUDAH 3 hari pertama kehidupan. Bayi yang berumur
lebih dari 3 hari perlu natrium (misalnya, garam 0.18%/glukosa 5%).

Pantaulah infus IV dengan sangat hati-hati.

 Gunakan formulir pemantauan


 Hitung kecepatan tetesan
 Periksa kecepatan tetesan dan volume cairan yang diinfuskan setiap jam
 Timbanglah bayi setiap hari
 Perhatikan pembengkakan wajah. Jika ini terjadi, kurangi cairan IV hingga
minimal atau hentikan pemberian cairan IV. Mulailah pemberian minum melalui
pipa lambung atau beri ASI sesegera mungkin jika hal itu telah aman untuk
dilakukan.

8. Ketoasidosis
Penatalaksanaan KAD bersifat multifaktorial sehingga memerlukan
pendekatan terstruktur oleh dokter dan paramedis yang bertugas. Prioritas utama pada
penatalaksanaan KAD adalah terapi cairan. Terapi insulin hanya efektif jika cairan
diberikan pada tahap awal terapi dan hanya denga terapi cairan saja akan membuat
kadar gula darah menjadi lebih rendah, Oleh karena itu,hal penting pertama yang
harus dipahami adalah penentuan defisit cairan yang terjadi. Beratnya kekurangan
cairan yang terjadi dipengaruhi oleh durasi hiperglikemia yang terjadi, fungsi ginjal,
dan intake cairan penderita. Hal ini bisa diperkirakan dengan pemeriksaan klinis atau
dengan menggunakan rumus sebagai berikut
Fluid deficit = (0,6 x BB Kg) x ( corrected Na/140)
Corrected Na = Na + (Kadar Gula darah-5)/3,5
Penentuan derajat dehidrasi dengan gejala klinis seringkali sukar dikerjakan, namun
demikian beberapa gejala klinis yang dapat menolong untuk menentukan derajat
dehidrasi adalah
 5% : penurunan turgor kulit, membran mukosa kering, takikardia
 10% : capillary refill time ≥ 3 detik, mata cowong
 >10% : pulsus arteri perife rlemah, hipotensi, syok, oliguria

Resusitasi cairan hendaknya dilakukan secara agresif. Targetnya adalah


penggantia ncairan sebesar 50% dari kekurangan cairan dalam 8 – 12 jam pertama
dan sisany dalam 12 – 16 jam berikutnya 5,9 Menurut perkiraan banyak ahli, total
kekurangan cairan pada pasien KAD sebesar 100ml/kgBB, atau sebesar 5 – 8 liter.
Pada pasien dewasa, terapi cairan awal langsung diberikan untuk ekspansi volume
cairan intravaskular dan ekstravaskular dan menjaga perfusi ginjal. Terdapat beberapa
kontroversi tentang jenis cairan yang dipergunakan. Tidak ada uji klinik yang
membuktikan kelebihan pemakaian salah satu jenis cairan. Kebanyakan ahli
menyarankan pemakaian cairan psiologis (NaCl 0,9%) sebagai terapi awal untuk
resusitasi cairan.

Cairan Þsiologis (NaCl 0,9%) diberikan dengan kecepatan15 – 20ml/kgBB/jam


atau lebih selama jam pertama (±1 – 1,5 liter). Sebuah sumber memberikan petunjuk
praktis pemberian cairan sebagai berikut:1 liter pada jam pertama, 1 liter dalam 2 jam
berikutnya, kemudian 1 liter setiap 4 jam sampai pasien terehidrasi. Sumber lain
menyarankan 1 – 1,5 lt pada jam pertama, selanjutnya250– 500 ml/jam pada jam
berikutnya. Petunjuk ini haruslah disesuaikan dengan status hidrasi pasien. Pilihan
cairan selanjutnya tergantung dari status hidrasi, kadar elektrolit serum, dan
pengeluaran urine. Pada umumnya, cairan NaCl0,45% diberikan jika kadar natrium
serum tinggi (>150mEq/l), dan diberikan untuk mengkoreksi peningkatan kadar Na+
serum (correctedserum sodium) dengan kecepatan 4 – 14 ml/kgBB/jam serta agar
perpindahan cairan antara intra dan ekstra selular terjadi secara gradual.

Pemakaian cairan Ringer Laktat (RL) disarankan untuk mengurangi kemungkinan


terjadinya hiperkloremia yang umumnya terjadi pada pemakaian normal saline dan
berdasarkan strongion theory untuk asidosis (Stewarthypothesis). Sampai saat ini
tidak didapatkan alasan yang meyakinkan tentang keuntungan pemakaian RL
dibandingkan dengan NaCl0,9%. Jika kadar Na serum rendah tetaplah
mempergunakan cairan NaCl 0,9%. Setelah fungsi ginjal dinilai, infus cairan harus
mengandung 20– 30mEq/lKalium (2/3 KCldan 1/3 KPO4) sampai pasien stabil dan
dapat makan. Keberhasilan terapi cairan ditentukan dengan monitoring hemodinamik
(perbaikan tekanan darah), pengukuran cairan masuk dan keluar dan pemeriksaan
klinis.
Pemberian cairan harus dapat mengganti perkiraan kekurangan cairan dalam
jangka waktu 24 jam pertama. Perubahan osmolalitas serum tidak melebihi 3
mOsm/kgH2O/jam. Pada pasien dengan kelainan ginjal, jantung atau hati terutama
orangtua, harus dilakukan pemantauan osmolalitas serum dan penilaian fungsi
jantung, ginjal, dan status mental yang berkesinambungan selama resusitasi cairan
untuk menghindari overload cairan iatrogenik. Untuk itu pemasangan Central Venous
Pressure (CVP) monitor dapat sangat menolong. Ketika kadar gula darah mencapai
250mg/dl, cairan diganti atau ditambahkan dengan cairan yang mengandung dextrose
seperti (dextrose5%, dextrose5% pada NaCl0,9%, atau dextrose 5% pada NaCl0,
45%) untuk menghindari hipoglikemia dan mengurangi kemungkinan edema serebral
akibat penurunan gula darah yang terlalu cepat.

9. GGK
Kapasitas ginjal untuk mempertahankan volume dan isi kompartemen
ekstraseluler dapat dijaga dengan baik hingga terjadinya insufisiensi ginjal kronis.
Pada pasien yang stabil secara medis, volume cairan dan komposisi elektrolit
ekstraseluler tetap normal hingga berlanjut menjadi end-stage kidney disease yang
bergantung pada dialisis.
Manajemen cairan yang optimal pada pasien yang menjalanai hemodialisa
dicapai dengan cara mencapai berat badan target post hemodialisa, dan bila perlu
membatasi kenaikkan (penambahan) cairan diantara periode hemodialisa. Sementara
itu riwayat dan pemeriksaan klinis tetap menjadi dasar untuk menentukan target berat
badan.
Sayangnya pasien hemodialisis sering memiliki komorbiditas yang dapat
membuat tanda-tanda status cairan ambigu. Gagal jantung dapat menyebabkan
tekanan darah rendah pada pasien dengan overload cairan yang berat, begitu juga
dengan blokade sistem renin-angiotensin aldosteron yang tidak adekuat dapat
menyebabkan hipertensi pada pasien yang status cairannya dehidrasi. banyak pasien
dengan overload cairan tidak memperlihatkan gejala udem dan sesak nafas yang jelas.
Bila penilaian klinis tidak sesuai dengan kondisi pasien yang hipotensi
sementara terlihat udem secra nyata, teknologi dapat memberikan informasi yang
objektif dalam pengaturan yang sesuai untuk mencapai berat badan target Pemberian
hidrasi dengan balanced salt solutions preoperatif dapat menguntungkan pada pasien
dengan disfungsi ginjal berat tapi tidak memerlukan hemodialisa dan pada pasien
yang tidak memiliki penyakit ginjal menjalani operasi yang beresiko tinggi terjadinya
gagal ginjal paska pembedahan. Karena kebanyakan pasien yang masuk ke kamar
operasi memiliki volume cairan ekstrasel yang kurang kecuali jika dilakukan
penilaian status cairan yang benar. Cairan Ringer laktat (kandungan kalium 4 meq/L)
atau cairan lain yang mengandung kalium tidak diberikan pada pasien gagal ginjal
yang anuria. Pemberian balanced salt solutions (3-5ml/kg/jam IV) sering
direkomendasikan untuk mempertahankan urin output. Pemberian balanced salt
solutions dengan cepat untuk mengisi volume sirkulasi (500ml IV) akan
meningkatkan urin output pada keadaan hipovolemia. Stimulasi urin output dengan
diuretik osmotik(mannitol) ataupun diuretik tubular(furosemid) tanpa penggantian
volume cairan intravaskuler yang adekuat tidak disarankan. Selain itu, walaupun
pemberian manitol atau furosemid dapat meningkatkan urin output tidak ada bukti
memperbaiki GFR. Urin output intraoperatif tidak dapat memprediksi insuf renal
paska pembedahan setelah pembedahan vaskuler abdomen.

Anda mungkin juga menyukai