Anda di halaman 1dari 7

Nama : Ibnu Subagiyo

NIM : 19513045

PP No. 50 tahun 2012 tentang SMK3

Pengertian dari SMK3


Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) adalah bagian dari sistem manajemen
perusahaan secara keseluruhan dalam rangka pengendalian risiko berkaitan dengan kegiatan kerja
guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif. Adapun Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3) adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan
kesehatan tenaga kerja melalui upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.
Adapun Audit SMK3 adalah pemeriksaan secara sistematis dan independen terhadap pemenuhan
kriteria yang telah direncanakan dan dilaksanakan dalam penerapan SMK3 di perusahaan.

Tujuan SMK3
Meningkatkan efektifitas perllindungan keselamatan dan kesehatan kerja yang terencana, terukur,
dan terintegerasi. Selain itu juga untuk mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja dan penyakit
akibat kerja dengan melibatkan unsur manajemen, pekerja/buruh, dan serikatnya. Serta
menciptakan tempat kerja yang aman, nyaman, dan efisien untuk mendorong produktifitas.

Kewajiban Penerapan SMK3


Kewajiban penerapan SMK3 bagi perusahaan yang mempekerjakan buruh/pekerja paling sedikit 100
orang atau perusahaan memiliki tingkat potensi bahaya yang tinggi yang diatur di undang-undang.
Penerapan dari SMK3 harus memperhatikan ketentuan perundang-undangan serta konvensi atau
standar internasional.

Penerapan SMK3 di Perusahaan :


1. Penetapan Kebijakan K3 -> Pengusaha dalam menyusun kebijakan K3 minimal harus :
a. Melakukan tinjauan awal kondisi K3
b. Memperhatikan peningkatan kinerja manajemen K3 secara terus menerus
c. Memperhatikan masukan dari pekerja/buruh atau dari serikat pekerja/buruh
2. Perencanaan K3 -> Yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan rencana K3: hasil
penelahaaan awal, identifikasi bahaya, penilaian, dan pengendalian risiko, peraturan
perundang-undangan dan persyaratan lainnya, serta sumber daya yang dimiliki.
3. Pelaksanaan rencana K3 didukung oleh SDM di bidang K3 yang harus memiliki kompetensi
kerja dibuktikan dengan sertifikat, kewenangan di bidang K3 dibuktikan dengan surat izin
operasi/praktik atausurat penunjukan dari instansi berwenang, juga sarana dan
prasarananya paling sedikit meliputi : unit yang bertanggungjawab di K3, anggaran yang
memadai, serta prosedur operasi/kerja, informasi dan pelaporan serta pendokumentasian,
juga instruksi kerja.
4. Pemantauan dan evaluasi kinerja K3 melalui pemeriksaan, pengujian, pengukuran dan audit
internal SMK3 yang dilakukan oleh SDM berkompeten dan dilakukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Jika perusahaan tidak memilikinya bisa menggunakan SDM pihak lain.
Hasil dari pemantauan dilaporkan ke atasan/pengusaha untuk digunakan sebagai tindakan
pengendalian.
5. Peninjauan kinerja terhadap kebijakan, perencanaan, pelaksanaaan, kebijakan, serta
evaluasi dan SMK3 untuk menjamin kesesuaian dan efektifitas penerapan SMK3. Hasil
peninjauan digunakan untuk perbaikan dan peningkatan kinerja.

PENILAIAN PENERAPAN SMK3


Penilaian penerapan SMK3 dilakuakn oleh lembaga audit independen yang ditunjuk menteri atas
permohonan dari perusahaan. Untuk perusahaan yang memiliki risiko tinggi wajib melakuakan
penilaian penerapan SMK3 sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hasil dari audit ini
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya peningkatan dari K3.
Audit SMK3 meliputi : pembangunan dan terjaminnya pelaksanaan komitmen, pembuatan dan
pendokumentasian rencana K3, pengendalian perancangan dan peninjauan kontrak,
pengendalian dokumen, pembelian dan pengendalian produk, keamanan bekerja berdasarkan
SMK3, standar pemantauan, pelaporan dan perbaikan kekurangan, pengelolaan material dan
perpindahannya, pengumpulan dan penggunaan data, pemeriksaan SMK#, dan yang terakhir
adalah pengembangan keterampilan dan kemampuan. Hasil dari audit dilaporkan ke menteri
dengan tembusan menteri pembina sektor usaha, gubernur, dan bupati/wali kota.

PENGAWASAN SMK3

Pengawasan SMK# dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan pusat, provinsi, dan atau
kabupaten / kota sesuai kewenangannya. Pengawasan meliputi : pembangunan dan terjaminnya
komitmen, organisasi, SDM, pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang K3,
keamanan bekerja, pemeriksaan, pengukuran, dan penerapan SMK3, pengendalian keadaan
darurat dan bahaya industri, pelaporan dan perbaikan kekurangan, serta tindak lanjut audit.
Instansi pembina sektor usaha dapat melakukan pengawasan SMK3 terhadap pelaksanaannya
yang dikembangkan sesuai peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan pengawasan dilakukan
secara terkoordinasi dengan pengawas lketenagakerjaan dan hasil dari pengawasan digunakan
sebagai dasar pembinanaan. Perusahaaan yang telah menerapkan SMK3 wajib menyesuaiakan
dengan ketentuan PP ini maksimal satu tahun dan PP ini mulai berlaku diundangkan 12 April
2013.

Sanksi Administratif
Sesuai Pasal 190 UU No. 13/03 Pelanggaran Pasal 87 dapat dikenai sanksi administratif berupa :
teguran, peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha,
pembatalan persetujuan, pembatalan pendaftaran, penghentian sementara sebagia atau selutuh
alat produksi, dan juga pencabutan izin.

PP No. 7 tahun 2019 tentang Penyakit Akibat Kerja (PAK)


Penyakit Akibat Kerja (PAK) adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja.
Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) adalah manfaat berupa uang tunai atau pelayanan kesehatan yang
diberikan saat peserta mengalami kecelakaan kerja tahu penyakit yang disebabkan oleh lingkungan
kerja. Pekerja yang didiagnosis menderita PAK berdasarkan surat keterangan dokter berhak
mendapatkan JKK meskipun hubungan kerjanya sudah berakhir dalam waktu paling lama 3 tahun.
PAK yang dimaksud meliputi jenis penyakit yang disebabkan pajanan faktor yang timbul dari aktivitas
pekerjaan, berdasarkan sistem target organ, kanker akibat kerja, dan spesifik lainnya yang tercantum
dalam lampiran PP ini. Diagnosis ini dilakukan oleh dokter ataupun dokter spesialis yang
berkompeten di bidang kesehatan kerja.

Terdapat jenis PAK yang belum tercantum dalam lampiran, maka penyakit tersebut harus memiliki
hubungan langsung dengan pajanan yang dialami pekerja dan harus dibuktikan secara ilmiah dengan
menggunakan metode yang tepat. Pembuktian dilakukan oleh dokter atau dokter spesialis yang
berkompeten di bidang kesehatan kerja. Jenis PAK tersebut ditetapkan dengan keputusan Presiden.

Penyakit yang didiagnosis sebagai PAK dilakukan pencatatan dan pelaporan untuk kepentingan
pendataaan secara nasional, dilakukan oleh pemberi kerja, fasilitas kesehatan yang memberikan
pelayan kesehatan untuk PAK, instansi pusat dan daerah yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang ketenagakerjaan dan juga kesehatan. Pencatatan dan pelaporan oleh
fasilitas pelayanan kesehatan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Diantara jenis PAK dikategorikan sebagai berikut :


1. PAK Klasifikasi Jenis I : Penyakit yang disebabkan oleh pajanan faktor yang timbul dari
aktivitas pekerjaan, dapat berupa faktor fisika, kimia, biologi, penyakit infeksi maupun
parasit
2. PAK Klasifikasi Jenis II, berdasarkan sistem target organ meliputi : penyakit saluran
pernapasan, penyakit kulit, penyakit otot dan rangka, dan gangguan mental dan perilaku
3. PAK Klasifikasi Jenis III, yakni kanker yang disebabkan oleh zat : asbestos, benzidine dan
garamnya, bis-chloromethyl ether, persenyawaan chromium VI, Coal tars, Coal tar pitches or
soots, beta-naphthylamine, vinyl chloride, dan benzene
4. Penyakit spesifik lainnya yang disebabkan langsung oleh pekerjaan atau proses kerja yang
ada hubungan langsung antara paparan dengan penyakit yang dialami oleh pekerja dan
dibuktikan secara ilmiah dengan metode yang tepat.

Permen No. 04/1980 tentang Syarat-syarat Pemasangan & Pemeliharaan APAR

Ketentuan Umum
Alat Pemadam Api Ringan (APAR) adalah alat yang ringan serta mudah dilayani oleh satu orang
untuk memadamkan api pada mula terjadi kebakaran. Ahli kesehatan kerja adalah tenaga teknis
berkeahlian khusus diluar Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang ditunjuk oleh Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk mengawasi ditaatinya peraturan ini. Kebakaran dapat
digolongkan menjadi : kebakaran bahan padat kecuali logam (Golongan A), kebakaran bahan cair
atau gas yang mudah terbakar (Golongan B), kebakaran instalasi listrik bertegangan (Golongan C),
dan kebakaran logam (Golongan D). Adapun jenis dari APAR adalah : jenis cairan (air), jenis busa,
jenis tepung kering, dan jenis gas (hidrokarbon berhalogen dan sebagainya). Penggolongan ini dapat
diperluas sesuai dengan kemajuan teknologi. Adapun tabung APAR harus diisi sesuai dengan jenis
dan konstruksinya.

Pemasangan
Setiap satu atau kelompok APAR harus ditempatkan pada posisi yang mudah dilihat dengan jelas,
mudah dicapai dan diambil, serta dilengkapi dengan pemberian tanda pemasangan. Tinggi
pemberian tanda pemasangan adalah 125 cm dari dasar lantai dan jarak satu dengan yang lain tidak
lebih dari 15 meter, kecuali ditetapkan lain oleh pegawai pengawas / ahli keselamatan kerja.
Pemasangan dan penempatan APAR harus sesuai dengan jenis dan penggolongan kebakaran dan
semua APAR sebaiknya berwarna merah serta dipastikan tidak berlubang-lubang ataupun cacat
karena karat.

Setiap APAR harus dipasang menggantung pada dinding dengan konstruksi penguat yang tidak boleh
dikunci/diikat mati, atau ditempatkan dalam lemari atau box yang tidak dikunci dengan syarat
depannya harus diberi kaca pengaman yang besarnya harus disesuaikan dengan besarnya APAR
dengan tebal maksimum 2 mm sehingga mudah dikeluarkan. APAR puncaknya berada di ketinggian
1,2 m dari permukaan lantai kecuali jenis CO2 dan tepung kering dapat ditempatkan lebih rendah
dengan syarat tidak kurang dari 15 cm dari lantai. Juga APAR tidak boleh dipasang di tempat dengan
suhu diatas 49 °C atau dibawah -44 °C kecuali jika APAR khusus untuk suhu diluar rentang tersebut.

Pemeliharaan

Setiap APAR harus diperiksa setiap 6 bulan dan 12 bulan, jika ditemui cacat pada APAR saat
pemeriksaan harus segera diperbaiki dan alat tersebut harus segera diganti dengan yang tidak cacat.
Pemeriksaan tersebut diantaranya meliputi isi tabung dan tekanan dalam tabung, pengaman
catridge atau tabung bertekanan dan mekanik penembus segel, bagian luar tabung, mulut dan pipa
pancar dalam keadaan baik dan tidak rusak, dan lain-lain sesuai jenis dari APAR tersebut. Untuk
pemeriksaan 12 bulan untuk semua alat pemadam api yang menggunakan tabung gas selain
pemeriksaan seperti 6 bulan ditambah pemeriksaan tambahan sesuai jenis APAR seperti yang tertera
dalam pasal 13 ayat 2, 3, 4, dan 5.

Setiap APAR dilakukan percobaan secara berkala dengan jangka waktu tidak melebihi 5 tahun sekali
dan harus kuat menahan tekanan coba menurut ketentuan sesuai dengan jenis dari APAR tersebut
selama 30 detik. Jika tekanan coba pada tabung-tabung gas tidak memenuhi , maka tabung tersebut
tidak boleh digunakan selanjutnya akan dikosongkan, begitu juga tabung yang sudah dipakai 10
tahun. Tabung yang telah dinyatakan tidak memenuhi syarat untuk dipakai harus dimusnahkan.
Setelah dilakukan percobaan tekan terhadap setiap APAR, tanggal percobaan tekan tersebut dicatat
dengan cap diselembar pelat logam pada badan tabung.

Setiap tabung APAR harus diisi kembali dengan rincian : untuk asam soda, busa, dan bahan kimia
harus diisi setahun sekali, untuk jenis cairan busa yang dicampur terlebih dahulu harus diisi 2 tahun
sekali, untuk jenis tabung gas hidrokarbon berhalogen tabung harus diisi 3 tahun sekali dan bagian
dalamnya harus benar-benar kering sebelum diisi kembali adapun jenis lainnya diisi
selambat-lambatnya 5 tahun dengan cara sesuai dengan jenis APAR tersebut.

Ketentuan Pidana dan Ketentuan Peralihan


Ketentuan Pidana : Pengurus harus bertanggungjawab terhadap isi peraturan ini, jika tidak maka
pengurus diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan denda setinggi-tingginya
Rp. 100.000,- sesuai dengan pasal 15 ayat 2 dan 3 UU No.1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja.

Ketentuan Peralihan : APAR yang sudah dipakai sebelum Peraturan menteri ini ditetapkan, pengurus
diwajibkan memenuhi ketentuan peraturan ini dalam waktu satu tahun sejak berlakunya peraturan
ini.

Kepmen No. Kep.186/1999 tentang Unit Penanggulangan Kebakaran di Tempat Kerja


Tempat kerja adalah ruangan atau lapangan terbuka atau tertutup, bergerak atau tetap, dimana
tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan
dimana terdapat sumber-sumber bahaya. Penanggulangan kebakaran adalah segala upaya untuk
mencegah timbulnya kebakaran dengan berbagai upaya pengendalian setiap perwujudan energi,
pengadaan sarana proteksi kebakaran, dan sarana penyelamatan serta pembentukan organisasi
tanggap darurat untuk memberantas kebakaran. Adapun unit penanggulangan kebakaran adalah
unit kerja yang dibentuk dan ditugasi untuk menangani masalah penanggulangan kebakaran di
tempat kerja meliputi kegiatan administrasi, identifikasi sumber bahaya, pemeriksaan,
pemeliharaan, dan perbaikan sistem proteksi kebakaran.
Pengurus atau perusahaan wajib mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran, serta
melakukan latihan penanggulangann kebakaran di tempat kerja. Pengendalian setiap bentuk energi,
penyediaan sarana deteksi, alarm, pemadam kebakaran, dan sarana evakuasi, serta pengendalian
penyebaran asap, panas, dan gas dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Perusahaan
dengan pekerja lebih dari 50 orang atau memiliki risiko bahaya kebakaran sedang hingga berat
memiliki buku rencana penanggulangan keadaan darurat kebakaran.

Pembentukan Unit Penanggulangan Kebakaran


Pembentukan Unit Penanggulangan Kebakaran memperhatikan jumlah tenaga kerja dan atau
klasifiksai tingkat potensi bahaya kebakaran. Jenis tempat kerja menurut klasifikasi tingkat risiko
bahaya tercantum dalam lampiran, adapun jenis tempat kerja yang belum tercantum ditetapkan
sendiri oleh menteri/pejabat yang ditunjuk. Sedangkan Unit Penanggulangan Kebakaran yang
dimaksud terdiri dari : petugas peran kebakaran, regu penanggulangan kebakaran, koordinator
penanggulangan kebakaran, serta ahli K3 spesialis penangguhan kebakaran sebagai
penanggungjawab teknis dengan jumlah yang telah diatur di Kepmen ini. Masing-masing dari unit ini
memiliki tugas dan syarat yang berbeda-beda yang diatur dalam Bab III Kepmen ini.

Pengawasan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan guna melaksanakan pengawaan


terhadap ditaatinya Keputusan Menteri ini.
Pengurus / pengusaha yang telah membentuk unit penanggulangan kebakaran sebelum keputusan
ini ditetapkan harus menyesuaikan dengan peraturan ini selambat-lambatnya setahun sejak
peraturan ini berlaku.

Kepmenaker No. 187/Men/1999 tentang Penanggulangan Bahan Kimia

Bahan kimia berbahaya adalah bahan kimia dalam bentuk tunggal atau campuran yang berdasarkan
sifat fisika atau kimia atau toksikologinya berbahaya terhadap tenaga kerja, instalasi, dan lingkungan.
Nilai Ambang Kuantitas (NAK) adalah standar kuantitas bahan kimia berbahaya untuk menetapkan
potensi bahaya bahan kimia di tempat kerja. Adapun pengendalian bahan kimia berbahaya adalah
upaya yang dilakukan untuk mencegah atau mengurangi risiko akibat penggunaan bahan kimia
berbahaya di tempat kerja terhadap tenaga kerja, alat-alat kerja, dan lingkungan.
Pengusaha atau pengurus yang menggunakan, menyimpan, memakai, memproduksi dan
mengangkut bahan kimia berbahaya di tempat kerja wajib mengendalikan bahan kimia berbahaya
untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja, meliputi penyediaan lembar
data keselamatan bahan (LDKB) dan label yang diletakan di tempat yang mudah diketahui oleh
tenaga kerja dan pegawai pengawas ketenagakerjaan, serta penunjukan petugas K3 Kimia dan Ahli
K3 Kimia.
Penetapan Bahaya Proses Instalasi
Pengusaha/pengurus wajib menyampaikan daftar nama, sifat, kuantitas bahan kimia berbahaya di
tempat kerja dengan mengisi formulir dan disampaikan ke Dinas Tenaga Kerja setempat dengan
tembusannya disampaikan ke Kantor Wilayah Tenaga Kerja Setempat selambat-lambatnya 14 hari
setelah menerima daftar harus meneliti untuk menetapkan kategori potensi bahaya perusahaan
atau industri yang bersangkutan, baik bahaya besar maupun menengah berdasarkan nama, kriteria,
serta NAK bahan kimia berbahaya seperti bahan beracun, mudah terbakar, mudah meledak, maupun
bahan reduktif ataupun oksidatif di tempat kerja yang ditetapkan dengan memperhatikan sifat fisika,
kimia, dan toksik. Perusahaan yang menggunakan bahan kima berbahaya melebihi NAK
dikategorikan sebagai perusahaan yang mempunyai potensi bahaya besar, adapun yang sama atau
kurang dari NAK dikategorikan sebagai perusahaan yang mempunyai potensi bahaya sedang.

Kewajiban Pengusaha atau Pengurus


Perusahaan yang dikategorikan mempunyai potensi bahaya besar wajib : mempekerjakan petugas
K3 kimia dan ahli K3 kimia sesuai dengan Kepmenaker ini, membuat dokumen pengendalian potensi
bahaya besar, melaporkan setiap perubahan nama bahan kimia dan kuantitasnya juga proses dan
modifikasi intalasi yang digunakan, melakukan pemeriksaan dan pengujian faktor kimia yang ada di
tempat kerja minimal 6 bulan sekali serta instalasi minimal 2 tahun sekali oleh perusahaan jasa K3
atau instansi yang berwenang, serta melakukan pemeriksaan kesehatan tenaga kerja minimal
setahun sekali.
Perusahaan yang dikategorikan mempunyai potensi bahaya menengah wajib : mempunyai petugas
K3 kimia, membuat dokumen pengendalian potensi bahaya menengah, melaporkan setiap
perubahan nama bahan kimia dan kuantitasnya juga proses dan modifikasi intalasi yang digunakan,
melakukan pemeriksaan dan pengujian faktor kimia yang ada di tempat kerja minimal setahun sekali
serta instalasi minimal 3 tahun sekali oleh perusahaan jasa K3 atau instansi yang berwenang, serta
melakukan pemeriksaan kesehatan tenaga kerja minimal setahun sekali.

Penunjukan petugas K3 Kimia dan Ahli K3 Kimia

Petugas K3 kimia mempunyai kewajiban : melakukan identifikasi bahaya, melaksanakan prosedur


kerja aman, melaksanakan prosedur penanggulangan keadaan darurat, dan mengembangkan
pengetahuan K3 bidang kimia. Adapun ahli K3 kimia mempunyai kewajiban : membantu mengawasi
pelaksanaan peraturan perundang-undangan K3 bahan kimia berbahaya, memberikan laporan
kepada menteri/pejabat yang ditunjuk mengenai hasil pelaksanaan tugasnya, merahasiakan segala
keterangan yang berkaitan dengan perusahaan atau instansi yang didapat karena jabatannya,
menyusun program kerja pengendalian bahan kimia berbahaya di tempat kerja, melakukan
identifikasi bahaya dan pengendalian risiko, serta mengusulkan pembuatan prosedur kerja aman dan
penanggulangan keadaan darurat kepada pengusaha dan pengurus. Penunjukan petugas K3 kimia
berdasarkan permohonan tertulis dari pengusaha atau pengurus kepada menteri atau pejabat yang
ditunjuk, adapun penunjukan ahli K3 kimia dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Ketentuan Penutup
Pegawai pengawas ketenagakerjaan melaksanakan pengawasan terhadap ditaatinya Keputusan
Menteri ini, dan dengan ditetapkannya Kepmen ini maka Kepmen Tenaga Kerja No. Kep.
612/Men/1989 tidak berlaku lagi.
Permenaker No. per.08/Men/VII/2010 tentang Alat Pelindung Diri
Alat Perlindungan Diri (APD) adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi
seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari potensi bahaya di tempat
kerja. Pengusaha wajib menyediakan APD yang sesuai dengan standar SNI bagi perkerja/buruh di
tempat kerja secara cuma-cuma. APD yang dimaksud meliputi : pelindung kepala, pelindung mata
dan muka, pelindung telinga, pelindung pernapasan serta perlengkapannya, pelindung tangan,
dan/atau pelindung kaki. Selain itu termasuk juga APD : pakaian pelindung, alat pelindung jatuh
perorangan, dan/atau pelampung yang mana jenis dan fungsinya tercantum dalam lampiran.
APD wajib digunakan di tempat kerja dengan kondisi seperti yang tercantum dalam Permenaker ini.
Pengusaha atau pengurus wajib mengumumkan secara tertulis dan memasang rambu-rambu
mengenai kewajiban menggunakan APD di tempat kerja. Pekerja/buruh dan orang lain yang
memasuki tempat kerja wajib memakai APD sesuai dengan potensi bahay adan risiko, dan mereka
berhak menyatakan keberatan untuk melakukan pekerjaan apabila APD yang disediakan tidak
memenuhi ketentuan dan persyaratan.

Pengusaha/pengurus wajib melakukan manajemen aPD di tempat kerja meliputi : identifikasi


kebutuhan dan syarat APD, pemilihan APD yang sesuai dengan jenis bahaya dan kebutuhan
/kenyamanan pekerja/buruh, pelatihan, penggunaan, perawatan, dan penyimpanan,
penatalaksanaan pembuangan atau pemusnahan, pembinaan, inspeksi, evaluasi dan pelaporan
terkait hal-hal yang berhubungan dengan APD. APD yang rusak, retak, atau tidak dapat berfungsi
dengan baik harus dibuang/dimusnahkan. APD yang habis masa pakainya/kadaluarsa serta
mengandung bahan berbahaya harus dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dan dilengkapi berita acara pemusnahan.
Pengusaha / pengurus yang tidak memenuhi ketentuan dapat dikenakan sanksi sesuai
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970. Pengawasan terhadap ditaatinya Permenaker ini dilakukan
oleh pengawas ketenagakerjaan. Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, yakni 6 Juli 2010.

Anda mungkin juga menyukai