Anda di halaman 1dari 3

Nama : Berna Merinda Febi

NIM : 448075

Nomor Kursi : 07

Dosen Pengampu : Dr. Wahyu Yun Santoso, S.H., M.Hum., LL.M

UJian Akhir Semester Tekhnologi Dalam Hukum

Magister Hukum Litigasi, Universitas Gadjah Mada

JAWABAN

1. Menurut sudut pandang teori social jurisprudence bahwa tekhnologi merupakan


aspek tak terelakan dalam perkembangan social masyarakat yang harus mampu
diadaptasi oleh perkembangan hokum, dalam hal ini berartikan bahwa hokum
harus dapat mengikuti perkembangan jaman terkhusus pada tekhnologinya,
contoh hakim harus dapat menginterpretasikan hukum yang dibuat secara luas
agar dapat melindungi kepentingan dengan dinamika yang sangat cepat, saya
ambilkan contoh pada saat terjadinya pencurian listrik, pada pasal 362 KUHP
yang mengatakan “Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya
atau sebagaian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara
melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama
lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah” prasa barang yang
terdapat pada Undang-Undang tersebut apabila kita kaitkan dengan definisi dari
pada barang itu sendiri, ialah sebuah benda yang dapat dilihat dan disentuh
tentu hal ini tidak akan menjadi berlaku terhadap kasus pencurian uang,
menengok pada asal muasal pembentukan UU tersebut masih minimnya
penggunaan atas listrik, maka barang akan selalu didefinisikan sebagai benda
yang dapat dilihat dan disentuh, namun dengan perkembangan tekhnologi
penggunaan listrik telah menjadi konsumsi penting untuk masyarakat, hingga
hukum di tuntut untuk dapat melindungi kepentingan masyarakat terhadap
pencurian tenaga listrik, karena hal tersebut tentunya akan merugikan
masyarakat luas, dengan contoh diatas, dapat disimpulkan bahwa
perkembangan hukum harus mengikuti perkembangan tekhnologi.
2. Terkait perkembangan cyberspace, cyberjuridiction dan sekaligus cyberterritory,
yang menjadi salah satu topik pembahasan yang berkepanjangan hal ini
dikarenakan, tidak adanya sekat antara dunia cyber, tidak adanya garis pemisah
yang dapat dilihat dan di lacak terkait tentang dunia cyber ini, hingga apabila
terjadi sebuah tindak pidana ataupun tindakan perbuatan melawan hukum, maka
jurikdisi dari pada kasus tersebut menjadi bias hingga untuk didapatkan tentang
locus delicti dan tempos delicti dapat menjadi kerancuan, sebagai contoh apabila
terjadi penipuan dengan sekala internasional, dimana pelaku berada di United
Kingdom British, Inggris dan korban berada di Yogyakarta, Indonesia, maka
kerancuan yang timbul dalam permasalahan ini ialah, dimana lokasi terjadinya
kejahatan, ketika kedua org tersebut berada di dua benua yang berbeda, lokasi
yang terjadi pada dunia cyber ini membuat kerancuan terhadap aparat mana
yang lebih berwenang dalam penangan kasus ini, terkait dengan tempos delicti,
dalam kasus ini, perbedaan waktu antara korban dan tersangka membuat waktu
yang akan digunakan untuk pelaporan menjadi rancu, selisih 7 jam jarak waktu
ini membuat bias, walau secara dunia cyber meraka berada di satu waktu yang
sama.
3. Terkait tentang perkembangan bioteknologi modern, terhadap hal ini tentu saja
menimbulkan pro dan kontra terhadap penemuan ini, dikarenakan hukum belum
dapat mengcover bidang ini karena harus melihat dengan perkembanagan dan
efek yang mungkin terjadi di depan, hingga ketidakmungkian memprediksi
sesuatu yang belum terjadi ini lah menjadi suatu problematika tersendiri bagi
hukum untuk mengikuti.
4. Dalam hukum kita sendiri, terkait perihal kloning masih menjadi pro dan kontra,
dengan penduduk mayoritas beragama islam, membuat penglegalan tekhnologi
cloning menjadi lebih sulit, karena sebagian besar mereka yang memeluk agama
islam berpendapat bahwa semua yang dilahirkan itu harus berdasarkan kehenda
Allah bukan lagi kehendak Manusia, sedang tekhnologi ini sejatinya menjadi
solusi bagi orang-orang yang mengalami sulit dalam mendapatkan keturunan,
saya berpendapat perdebatan ini akan menjadi panjang dan memakan waktu,
namun alangkah baiknya bila semua pihak yang menguasai bidang ini untuk
turut serta dalam pendiskusian terkait permasalahan ini.
5. Terkait dengan permasalahan COVID 19 ini, saya pribadi mengalami
persidangan dengan menggunakan zoom di Rutan Yogyakarta,dengan majelis
hakim berada di PN. Yogyakarta dan Jaksa Penuntut berada di Kantor
Kejaksaan, dengan protocol covid ini membuat kurang efektif dimana, saya dan
rekan berjumlah tiga orang, harus secara bergantian mengikuti persidangan,
karena kuasa hukum dari terdakwa dibatasi untuk dua orang maksimal, hingga
kami harus saling menyamakan presepsi karena salah satu dari kami pasti tidak
mengikuti persidangan, terlebih dengan adanya protocol COVID ini, kami dalam
mendapatkan urutan sidang menjadi tidak jelas, juga terhadap koneksi internet
yang kurang baik dari Jaksa penuntut hingga pada pemeriksaan saksi, baik
hakim maupun kami sebagai kuasa hukum mengalami kesulitan, karena suara
yang tersendat dan video buffering, hingga pada saat pemeriksaan saksi
berlangsung dengan kurang maksimal.

Anda mungkin juga menyukai