Dosen Pengampu : Dr. Wahyu Yun Santoso, S.H., M.Hum., LL.M
UJian Akhir Semester Tekhnologi Dalam Hukum
Magister Hukum Litigasi, Universitas Gadjah Mada
JAWABAN
1. Menurut sudut pandang teori social jurisprudence bahwa tekhnologi merupakan
aspek tak terelakan dalam perkembangan social masyarakat yang harus mampu diadaptasi oleh perkembangan hokum, dalam hal ini berartikan bahwa hokum harus dapat mengikuti perkembangan jaman terkhusus pada tekhnologinya, contoh hakim harus dapat menginterpretasikan hukum yang dibuat secara luas agar dapat melindungi kepentingan dengan dinamika yang sangat cepat, saya ambilkan contoh pada saat terjadinya pencurian listrik, pada pasal 362 KUHP yang mengatakan “Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagaian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah” prasa barang yang terdapat pada Undang-Undang tersebut apabila kita kaitkan dengan definisi dari pada barang itu sendiri, ialah sebuah benda yang dapat dilihat dan disentuh tentu hal ini tidak akan menjadi berlaku terhadap kasus pencurian uang, menengok pada asal muasal pembentukan UU tersebut masih minimnya penggunaan atas listrik, maka barang akan selalu didefinisikan sebagai benda yang dapat dilihat dan disentuh, namun dengan perkembangan tekhnologi penggunaan listrik telah menjadi konsumsi penting untuk masyarakat, hingga hukum di tuntut untuk dapat melindungi kepentingan masyarakat terhadap pencurian tenaga listrik, karena hal tersebut tentunya akan merugikan masyarakat luas, dengan contoh diatas, dapat disimpulkan bahwa perkembangan hukum harus mengikuti perkembangan tekhnologi. 2. Terkait perkembangan cyberspace, cyberjuridiction dan sekaligus cyberterritory, yang menjadi salah satu topik pembahasan yang berkepanjangan hal ini dikarenakan, tidak adanya sekat antara dunia cyber, tidak adanya garis pemisah yang dapat dilihat dan di lacak terkait tentang dunia cyber ini, hingga apabila terjadi sebuah tindak pidana ataupun tindakan perbuatan melawan hukum, maka jurikdisi dari pada kasus tersebut menjadi bias hingga untuk didapatkan tentang locus delicti dan tempos delicti dapat menjadi kerancuan, sebagai contoh apabila terjadi penipuan dengan sekala internasional, dimana pelaku berada di United Kingdom British, Inggris dan korban berada di Yogyakarta, Indonesia, maka kerancuan yang timbul dalam permasalahan ini ialah, dimana lokasi terjadinya kejahatan, ketika kedua org tersebut berada di dua benua yang berbeda, lokasi yang terjadi pada dunia cyber ini membuat kerancuan terhadap aparat mana yang lebih berwenang dalam penangan kasus ini, terkait dengan tempos delicti, dalam kasus ini, perbedaan waktu antara korban dan tersangka membuat waktu yang akan digunakan untuk pelaporan menjadi rancu, selisih 7 jam jarak waktu ini membuat bias, walau secara dunia cyber meraka berada di satu waktu yang sama. 3. Terkait tentang perkembangan bioteknologi modern, terhadap hal ini tentu saja menimbulkan pro dan kontra terhadap penemuan ini, dikarenakan hukum belum dapat mengcover bidang ini karena harus melihat dengan perkembanagan dan efek yang mungkin terjadi di depan, hingga ketidakmungkian memprediksi sesuatu yang belum terjadi ini lah menjadi suatu problematika tersendiri bagi hukum untuk mengikuti. 4. Dalam hukum kita sendiri, terkait perihal kloning masih menjadi pro dan kontra, dengan penduduk mayoritas beragama islam, membuat penglegalan tekhnologi cloning menjadi lebih sulit, karena sebagian besar mereka yang memeluk agama islam berpendapat bahwa semua yang dilahirkan itu harus berdasarkan kehenda Allah bukan lagi kehendak Manusia, sedang tekhnologi ini sejatinya menjadi solusi bagi orang-orang yang mengalami sulit dalam mendapatkan keturunan, saya berpendapat perdebatan ini akan menjadi panjang dan memakan waktu, namun alangkah baiknya bila semua pihak yang menguasai bidang ini untuk turut serta dalam pendiskusian terkait permasalahan ini. 5. Terkait dengan permasalahan COVID 19 ini, saya pribadi mengalami persidangan dengan menggunakan zoom di Rutan Yogyakarta,dengan majelis hakim berada di PN. Yogyakarta dan Jaksa Penuntut berada di Kantor Kejaksaan, dengan protocol covid ini membuat kurang efektif dimana, saya dan rekan berjumlah tiga orang, harus secara bergantian mengikuti persidangan, karena kuasa hukum dari terdakwa dibatasi untuk dua orang maksimal, hingga kami harus saling menyamakan presepsi karena salah satu dari kami pasti tidak mengikuti persidangan, terlebih dengan adanya protocol COVID ini, kami dalam mendapatkan urutan sidang menjadi tidak jelas, juga terhadap koneksi internet yang kurang baik dari Jaksa penuntut hingga pada pemeriksaan saksi, baik hakim maupun kami sebagai kuasa hukum mengalami kesulitan, karena suara yang tersendat dan video buffering, hingga pada saat pemeriksaan saksi berlangsung dengan kurang maksimal.