Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN TUTORIAL

MODUL 3 BLOK 17
PERAWATAN PADA PERIODE GIGI BERCAMPUR

Kelompok 5

Tutor : Drg. Lendrawati


Lendrawati MDSc
MDSc

Ketua : Sarah nabila wiguna

Sekretaris
Sekretaris Meja : Ulfa rizalni

Sekretaris
Sekretaris Papan : Shafira aulia fikrie

Siti hartsur rahmy

Sonya juita

Syntha mustika yasri dewi


Varen nadya antoni

Tatha Febilla

Velya apro

Vikra prasetya waldi

Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Andalas
2019
MODUL 3

Skenario 3

‘’ parahnya gigi anaknya ‘’

Seorang ibu membawa dua anaknya dafi usia 10 tahun dan vinda usia 12 tahun ke
RSGMP UNAND untuk konsultasi keadaan gigi anaknya yang tidak normal. Pemeriksaan
intra oral dafi menunjukkan : relasi molar kelas 1, jarak gigit -3,5 mm,tumpang gigit 3 mm.
Gigi 75 prematur loss,gigi 13 dan 23 partial erupsi namun ectopic. Analisa perhitungan
menunjukkan
menunjukkan kekurangan ruang untuk erupsi gigi 35 adalah 3,7 mm.

Pemeriksaan
Pemeriksaan intra oral gigi vinda protrusif anterior maksila dengan jarak gigit 10 mm,
tumpang gigit 4 mm,palatal bite. Relasi molar menunjukkan tonjolan mesio bukal molar satu
atas terletak antara mesio bukal molar satu bawah dan tepi distal tonjol bukal premolar dua
 bawah.

Setelah dilakukan anmnesa, dokter gigi merujuk kasus dafi dan vinda ke dokter gigi
spesialis ortodonti untuk mendapatkan
mendapatkan perawatan modifikasi pertumbuhan.
pertumbuhan.

Bagaimana saudara menjelaskan kasus diatas?

A. Langkah Seven Jumps


1. Mengklarifikasi terminologi yang tidak diketahui dan mendefinisikan hal-hal
yang dapat menimbulkan kesalahan interpretasi
2. Menentukan masalah
3. Menganalisa masalah melalui brain storming dengan menggunakan prior
knowledge
4. Membuat skema atau diagram dari komponen-komponen permasalahan dan
mencari korelasi dan interaksi antar masing-masing komponen untuk membuat
solusi secara terintegrasi
t erintegrasi
5. Memformulasikan tujuan pembelajaran
6. Mengumpulkan
Mengumpulkan informasi di perpustakaan,
perpustakaan, internet, dan lain-lain
l ain-lain

7. Sintesa dan uji informasi yang telah diperoleh


B. Uraian
Langkah 1: Terminologi

1. Ectopic adalah gigi yang erupsi di luar lengkung ,gangguan erupsi pada gigi
 bercampur
 bercampur yang menyebabkan
menyebabkan resorpsi akar
akar gigi tetangga
tetangga
2. Prematur loss adalah gigi decidui hilang sebelum gigi permanen siap erupsi

Langkah 2: Menentukan masalah

1. Apa diagnosa kasus skenario?


2. Apa etiologi kasus skenario?
3. Bagaimana
Bagaimana analisa perhitungan ruang gigi bercampur?
4. Apa hubungan prematur loss 7.5 dengan kurang ruang gigi 3.5?
5. Bagaimana pencegahan efek dari prematur loss?
6. Apa indikasi perawatan gigi bercampur ?
7. Apa rencana perawatan kasus skenario?
8. Kenapa dirujuk ke Sp.Ortho?
9. Apa modifikasi pertumbuhan?
pertumbuhan?
10. Apa saja piranti kasus gigi bercampur?
11. Bagaimana hubungan skenario dengan bad habit?

Langkah 3: Menganalisa masalah

1. Diagnosa kasus skenario


 Dafi : kelas 1 angle tipe 2 dewey
 Vinda : kelas 2 angle divisi 1
2. Etiologi kasus skenario
 Genetik-gigi besar-ectopic
besar-ectopic
 Bad habit
 Persistensi gigi desidui-ectopic
 Gigi erupsi abnormal pada dataran oklusi
 Panjang lengkung abnormal-tuberositas maxilary terlambat
3. Analisa perhitungan ruang
 Metode nance :
-hubungan mesiodistal desidui dengan permanen
- C,M1,M2
- selisih rungan yang tersedia dan dibutuhkan RA : 0,9 mm RB : 1,7
mm
 Metode hukaba
 Metode moyers :
- Untuk gigi insisivus RB dan dihubungkan dengan tabel
 probabilitas moyers
moyers
4. hubungan prematur loss 7.5 dengan kurang ruang gigi 3.5
 M1 permanen mesial drifting
 Edukasi
 Distal shoe
5. Sama dengan no 4
6. Indikasi perawatan gigi bercampur
bercampur
 Malokusi
 Prematur loss
 Usia 6-13 tahun
 Pasien kooperatif
 Edukasi bad habit

7. rencana perawatan

 Dafi : peninggi gigitan ,ekstraksi gigi persistensi,skrup ekspansi


ekspansi
 Vinda : myofunctional activator,skrup
activator,skrup ekspansi,trainer
ekspansi,trainer

8. kenapa dirujuk

 Drg pada skenario mengkhawatirkan


mengkhawatirkan kelainan skeletal
 Kasus kompleks : mod.pertumbuhan
9. modifikasi pertumbuhan

 Modifikasi pertumbuhan rahang pada masa gigi bercampur

10. piranti pada gigi bercampur

 Space maintainer
 Space regainer : skrup ekspansi

11. hub skenario dengan bad habit

 Bisa berhubungan contohnya seperti menopang dagu,tongue


thrusting ,menggigit kuku

Skema

Dafi (10th) Vinda (12)

-relasi M kelas 1 -kelas 2 div 1

- OJ -3,5 mm - OJ 10 mm

-OB 3mm -OB 4 mm

- 7.5 prematu loss -palatal bite

- 1.3 dan 2.3 ectopic dan


partial erupsi

- 3.5 kurang ruang 3,7 mm

Perawatan gigi bercampur

Analisi ruang  jenis Pencegahan (ortho Bad habit


perawatan preventif space
(piranti space maintainer
regainer)
Langkah 5: Tujuan pembelajaran

1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan analisis ruang

2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pencegahan (ortho preventif space


maintainer )

3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan jenis perawatan (piranti space regainer )

4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan bad habit

Langkah 6: Mengumpulkan informasi di perpustakaan, internet dan lain-lain

1. analisis ruang

Analisis Gigi Bercampur

Van der Linden, mengatakan bahwa pada saat gigi geligi insisivus rahang
 bawah terlihat tumbuh berdesakan maka diperlukan analisis untuk memprediksi
apakah gigi geligi kaninus, premolar pertama, dan premolar kedua yang belum erupsi
akan mendapat tempat yang cukup pada lengkung rahang (cit. Sonawane).3 Analisis
gigi bercampur merupakan metode untuk memprediksi keadaan gigi saat dewasa.
Tujuan dari analisis gigi bercampur adalah untuk menentukan jumlah ruang yang
tersedia pada rahang untuk erupsi gigi permanen dan untuk kepentingan penyelarasan
oklusal. Terdapat tiga faktor yang perlu diperhatikan pada analisis gigi bercampur
yaitu ukuran seluruh gigi anterior permanen sampai gigi molar pertama permanen,
 perimeter rahang, dan perkiraan perubahan perimeter rahang akibat pertumbuhan dan
 perkembangan. Analisis gigi bercampur membantu kita memprediksi terjadinya gigi
 berjejal atau diastema yang akan terjadi saat seluruh gigi sulung digantikan oleh gigi
 permanen.10
Perawatan ortodonti yang tepat pada periode gigi bercampur sangat tergantung
 pada ketepatan analisis ruang pada gigi bercampur.7 Terdapat tiga metode yang
digunakan untuk menentukan lebar mesiodistal gigi kaninus, premolar pertama, dan
 premolar kedua yang belum erupsi yaitu: (1) metode radiografi, (2) metode non
radiografi dengan rumus korelasi-regresi, (3) metode gabungan radiografi dan rumus
korelasi-regresi.

Metode Radiografi
Terdapat beberapa analisis dengan metode radiografi yang telah dikembangkan
untuk memprediksi lebar mesiodistal gigi kaninus, premolar pertama, dan premolar
kedua permanen yang belum erupsi yaitu analisis Nance (1947) dan analisis Bull
(1959).7 Nance (1947) adalah orang pertama yang melakukan pengukuran besar gigi
kaninus dan molar sulung serta besar gigi kaninus dan premolar yang belum erupsi
secara radiografi. Ia menemukan kesamaan antara besar gigi yang terlihat pada
radiografi dengan standar besar mesiodistal gigi yang dikeluarkan oleh Black (1902)
(cit. Ngesa, Hucal).
Pengukuran dimensi gigi dengan menggunakan metode radiografi memerlukan
kualitas gambar yang baik dan tidak kabur. Teknik radiografi periapikal merupakan
teknik yang sering digunakan karena perbesaran ukuran gigi yang belum erupsi dapat
disesuaikan dengan derajat perbesaran ukuran gigi yang telah erupsi. Ketepatan
metode pengukuran ini sangat bergantung pada teknik pengambilan gambar yaitu
 jarak target film, ada tidaknya distorsi pada film, kejelasan batas mahkota, dan

overlapping . Pada gigi yang mengalami rotasi akan sulit dilakukan pengukuran secara
tepat. Foster dan Wylie (1958) menyatakan pengukuran gigi secara langsung
lebih bisa dipercaya dibandingkan dengan pengukuran yang diperoleh dari radiografi
intraoral dengan kualitas yang meragukan.
Berbagai prosedur lain telah dikembangkan untuk meningkatkan tingkat akurasi
 pengukuran. De Paula dkk., menyarankan penggunaan teknik radiografi dengan
kemiringan wajah 45o untuk memprediksi lebar mesiodistal gigi yang belum erupsi
Gambar 3. Removable Space Regainer dengan Expansi Screw pada Kedua Sisi

Removable space regainer dipasang dengan kontrol seminggu sekali (gambar. 4). Setiap
minggu, skrup diaktivasi sampai jarak yang dibutuhkan tercapai. Selain itu, “landasan
acrylic” dikontrol secara seksama untuk memberi jalan gigi yang sedang erupsi dibawahnya.

A B
Gambar 4.
a. Sebelum Pemasangan space regainer
 b. Setelah Pemasangan space regainer
Hilangnya gigi sulung secara dini disebabkan kebanyakan oleh karies atau trauma.
Pada kasus ini, pasien mengalami kehilangan gigi secara prematur yang berhubungan dengan
gigi molar permanen yang “tipping” atau “mesial drifting” yang mengakibatkan kehilangan
 panjang lengkung gigi yang mengakibatkan berjejalnya gigi-gigi permanen. Kehilangan gigi
molar sulung kedua yaitu gigi 75 dan 85 yang tidak dapat diperbaiki dan ekstraksi satu tahun
sebelumnya, yang mengakibatkan “tipping” dari gigi molar I permanen yaitu gigi 36 dan 46
maka terjadi kehilangan tempat untuk gigi 35 dan 45. Untuk mengembalikan tempat ini maka
dibuat space regainer.

Menurut Lin, dkk (2007) pemeliharaan tempat untuk erupsi gigi permanen
dibutuhkan suatu alat aktif atau pasif untuk mencegah kehilangan tempat untuk tumbuhnya
gigi permanen. Ada beberapa klasifikasi dari space regainer yang digunakan untuk
memulihkan tempat yang hilang. Pemulihan tempat untuk mengembalikan tempat yang hilang
karena bergesernya gigi setelah hilangnya gigi sulung secara prematur diperlukan alat space
regainer yang dapat membuka tempat untuk mengembalikan posisi gigi permanen yang
tipping keposisi semula dalam lengkung gigi.

Menurut Moyers, RS (1991) indikasi dari “space regainer” adalah bila terjadi
 prematur loss pada gigi sulung molar pertama dan kedua pada maxilla/ mandibular, kemudian
adanya erupsi ektopik dari molar pertama gigi permanen, adanya satu atau lebih dari gigi
sulung yang hilang sebelum waktunya, kehilangan tempat pada lengkung gigi akibat
 bergesernya kemesial dari gigi molar pertama permanen ini untuk maloklusi kelas I tipe 5.
Adapun kontra indikasi untuk space regainer adalah bila jarak untuk erupsi gigi permanen
sudah cukup, tidak memperlihatkan adanya tanda-tanda penutupan tempat gigi permanen,
 panjangnya lengkung gigi tidak memadai, jika pemasangan space regainer akan memperparah
maloklusi yang sudah ada, pada kasus over bite, kelas I tipe III dan maloklusi kelas III.
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan pembuatan space
regainer adalah cukupnya jarak yang dibutuhkan untuk erupsi gigi permanen secara normal,
 pergerakkan gigi yang dibutuhkan (rotasi, miring, tipping, bodyli) kemudian apakah adanya
gangguan oklusi dari gigi-gigi yang berlawanan; bentuk gigi dan akar gigi yang akan digeser.
Pasien ini jelas indikasi untuk pembuatan space regainer karena kurangnya jarak dalam
lengkung gigi setelah gigi 74 dan 84 dicabut, diperkirakan gigi akan erupsi normal tetapi
karena adanya kehilangan gigi 85 dan 75 maka molar permanen akan bergeser ke mesial, ini
membuat maloklusi kelas I tipe 5.
Gambar 5. Studi Model Rahang Atas dan Rahang Bawah

Masalah jarak dan gigi yang berdesakan pada rahang serta ketidak seimbangan otot
dan pengaruh  –   pengaruh lingkungan harus diperhitungkan dengan menggunakan analisis
konvensional. Analisis jarak konvensional pertama kali diajukan oleh Nance pada tahun 1947
(dalam Cameron dan Richard, 2003). Nance menganalisa dengan membandingkan berapa
 jarak yang tersedia dengan jarak

yang dibutuhkan dengan menghitung dan mengukur dari lengkung mesial gigi molar
 pertama pada satu sisi dengan mesial gigi molar pertama permanen pada sisi yang berlawanan
ini dilakukan dengan memisahkan gigi  –   gigi kedalam lengkung gigi yang dapat diukur
sebagai suatu garis lurus dengan kawat ligatur.

Metode lain dengan mengukur jarak yang dibutuhkan adalah j umlah lebar mesiodistal
gigi insisif permanen yang sudah erupsi pada mandibula dan jumlah lebar dari gigi kaninus
dan premolar yang belum erupsi. Ukuran dari gigi permanen yang belum erupsi dapat diukur
dengan mengukur gigi dalam foto rontgen dan disesuaikan dengan tabel prediksi.

Setelah kalkulasi dan analisis dilakukan dari foto panoramik dan studi model,
diketahui bahwa 2,16 mm jarak yang dibutuhkan untuk erupsi gigi 35 dan 2,25 mm untuk
erupsi gigi 45. Penutupan dari ruangan kemungkinan disebabkan oleh “tipping” dari gigi 44
yang sedang erupsi dan mesial drifting dari gigi 36 dan 46. Tujuan dari terapi ini adalah untuk
mendapatkan ruangan yang hilang.
Pemulihan ruangan dalam kasus ini didapat karena satu atau lebih dari gigi sulung
yang hilang, ada beberapa jarak dalam lengkung gigi yang hilang karena mesial drifting dari
gigi molar permanen serta analisis dari gigi campuran memperlihatkan ruangan dapat
Berlatih meletakkan posisi lidah yang benar saat menelan. Pasien harus belajar
melakukan “klik”. Prosedur ini mengharuskan pasien meletakkan ujung lidah pada atap mulut
dan menghentakkannya lepas dari palatum untuk membuat suara klik. Posisi lidah pada
 palatum selama aktivitas ini kira-kira seperti posisi jika menelan dengan tepat. Pasien juga
diminta membuat suara gumaman dimana pasien akan mengisap udara ke dalam atap
mulutnya di sekeliling lidah. Selama latihan ini, lidah secara alamiah meletakkan dirinya ke
atap anterior palatum. Selanjutnya pasien akan meletakkan ujung lidah di posisi ini dan
menelan. Latihan ini dilakukan terus-menerus sampai gerakan otot-otot menjadi lebih mudah
dan alamiah
Bernapas melalui mulut ( Mouth breathing)
A. Gambaran Umum Mouth breathing
Kebiasaan bernapas melalui mulut dapat diamati pada orang-orang yang juga
melakukan kebiasaan menjulurkan lidah (mendorong gigi dengan lidah sehingga
menyebabkan terjadinya gigitan terbuka di anterior. Gingivitis juga dapat terlihat pada orang
dengan kebiasaan ini. Perubahan-perubahan pada gingiva, meliputi eritema, edema,
 pembesaran gingiva, dan mengkilatnya permukaan gingiva di daerah yang cenderung menjadi
kering. Regio maksila anterior adalah daerah yang sering terlibat. Efek merusak pada
kebiasaan ini biasanya karena iritasi pada daerah yang mengalami kekeringan atau dehidrasi
 pada permukaannya. 1
Anak yang bernapas melalui mulut biasanya berwajah sempit, gigi depan atas maju ke
arah labial, serta bibir terbuka dengan bibir bawah yang terletak di belakang insisivus atas.
Karena kurangnya stimulasi muskular normal dari lidah dan karena adanya tekanan berlebih
 pada kaninus dan daerah molar oleh otot orbicularis oris dan buccinator, maka segmen bukal
dari rahang atas berkontraksi mengakibatkan maksila berbentuk V dan palatal tinggi.
Sehingga anak dengan kebiasaan ini biasanya berwajah panjang dan sempit.
B. Etiologi Mouth breathing
Kebiasaan bernapas melalui mulut ini dipicu oleh tersumbatnya hidung sebagai
saluran pernapasan normal. Hal ini dapat terjadi karena adanya kelainan anatomi hidung atau
 penyakit-penyakit hidung, antara lain polip hidung, sinusitis, rhinitis kronis dan pembesaran
tonsil di belakang hidung. Pada beberapa orang, kebiasaan ini biasanya disertai lemahnya
tonus bibir atas.25
Pernapasan mulut terjadi karena seseorang tidak mampu untuk bernafas melalui
hidung akibat adanya obstruksi pada saluran pernafasan atas. Kebiasaan ini disebabkan oleh
 penyumbatan rongga hidung, yang dapat mengganggu pertumbuhan tulang di sekitar mulut
dan rahang, wajah menjadi sempit dan panjang, dan gigi bisa jadi “tonggos”. Pernafasan
mulut menghasilkan suatu model aktivitas otot wajah dan otot lidah yang abnormal. Bernafas
melalui mulut menyebabkan mulut sering terbuka sehingga terdapat ruang untuk lidah berada
di antara rahang dan terbentuklah openbite anterior.
Bernafas melalui hidung berkaitan dengan fungsi-fungsi normal pengunyahan dan
menelan serta postur lidah dan bibir yang melibatkan aksi muskulus yang normal dimana
akan menstimulasi pertumbuhan fasial dan perkembangan tulang yang adekuat. Adaptasi dari
 pernafasan hidung ke pernafasan mulut menyebabkan terjadinya beberapa hal yang tidak
sehat, seperti infeksi telinga tengah yang kronis, sinusitis, i nfeksi saluran nafas atas, gangguan
tidur, dan gangguan pertumbuhan wajah. Pernafasan mulut seringkali berhubungan dengan
 penurunan asupan oksigen ke dalam paru-paru, yang dapat menyebabkan berkurangnya
energi. Anak-anak yang bernafas melalui mulut seringkali mudah lemah dalam latihan
olahraga.
Cara bernafas melalui mulut sering merupakan reaksi terhadap berbagai jenis
obstruksi nasal dan/atau nasofaring. Obstruksi nasal tersebut dapat disebabkan oleh alergi,
hipertrofi dan inflamasi tonsil atau adenoid, diviasi septum nasal, pembesaran konka dan
hipertrofi membran mukosa nasal. Jika obstruksi tersebut bersifat sementara, seperti pada
waktu flu dan alergi, maka perubahan struktur ini tidak permanen, tetapi dapat juga menjadi
 permanen setelah obstruksi tadi hilang yang mengakibatkan timbulnya kebiasaan bernafas
melalui mulut.
Kegagalan hidung untuk berfungsi sebagai saluran pernafasan utama, akan
menyebabkan tubuh secara otomatis beradaptasi dengan menggunakan mulut sebagai saluran
untuk bernafas. Kegagalan ini biasanya disebabkan oleh karena adanya hambatan atau
obstruksi pada saluran pernafasan atas. Obstruksi pada saluran pernafasan atas dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :
1. Faktor psikologis, meliputi anak-anak yang mengalami kecemasan, rasa sakit dan
frustasi, anak-anak dengan retardasi mental, anak-anak yang mengalami trauma
kecelakaan.
2. Faktor lokal, merupakan penyebab terjadinya pernafasan mulut yang disebabkan oleh
keadaan dari gigi dan mulut, meliputi : pencabutan gigi sulung yang terlalu cepat,
kehilangan gigi permanen, adanya gangguan oklusal, seperti kontak prematur antara gigi
atas dan bawah, adanya mahkota atau tumpatan yang tinggi.
3. Faktor sistemik, meliputi :
a. Gangguan endokrin (merupakan penyebab secara tidak langsung). Kelainan endokrin
 pascalahir dapat menyebabkan percepatan atau hambatan pertumbuhan muka,
mempengaruhi derajat pematangan tulang, penutupan sutura, resorpsi akar gigi
sulung, dan erupsi gigi permanen.
 b. Defisiensi nutrisi, akibat konsumsi nutrisi yang tidak adekuat atau konsumsi nutrisi
yang tidak efisien. Nutrisi yang baik ikut menentukan kesehatan seorang anak,
nutrisi yang kurang
c.  baik mempunyai dampak yang menyerupai penyakit kronis. Penyakit kronis pada
anak-anak dapat mengubah keseimbangan energi yang diperlukan untuk
 pertumbuhan. Pada anak yang menderita penyakit kronis hampir semua energi yang
didapatkan kadang-kadang kurang mencukupi untuk beraktivitas dan bertumbuh.
d. Gangguan temporomandibular.
e. Infeksi, meliputi : hiperplasia adenoid dan tonsil. Hiperplasia adenoid dan tonsil
 biasanya disebabkan oleh karena paparan yang rekuren terhadap infeksi tonsil
(tonsillitis). Tipe infeksi bisa virus seperti influenza, parainfluenza, dan rhinovirus,
maupun bakteri seperti betahemolitik, streptococcus, staphylococcus, pneumococcus,
dan hemophilococcus.
4. Rhinitis alergi merupakan penyakit yang sering dijumpai di masyarakat. Salah satu
 penyebab obstruksi jalan nafas hidung pada anak adalah alergi rhinitis, yaitu mukosa
hidung akan mengalami pembengkakan dan selanjutnya menutup aliran udara.
Kebanyakan rhinitis alergi dapat disebabkan oleh adanya partikel-partikel di udara,
rokok, makanan, dan binatang.
5. Malformasi kongenital dan tumor seringkali muncul pada masa kanak-kanak.
Malformasi kongenital seperti stenosis koanal dan atresia bisa hilang cepat. Tumor
meliputi enchephalocle, chordoma, teratoma, cranipharyngioma, serta kista nasoalveolar
dan nasopharingeal.
C. Akibat Mouth Breathing
Kebiasaan bernafas melalui mulut dapat menyebabkan udara yang masuk kemulut
menjadikan vasokonstriksi (pengecilan pembuluh darah) dari pembuluh kapiler di oral
mukosa sehingga memudahkan terkenanya infeksi dan dapat menyebabkan gingivitis
(peradangan gusi). Selain itu juga menyebabkan bau mulut pada orang yang bernafas melalui
mulut karena adanya plak yang melekat pada gigi dan lidah. Akibat lain yang ditimbulkan
yaitu rahang atas sempit, gigi belakang atas miring ke arah dalam, gigi depan atas tonggos
(protrusif) dan terjadi gigitan depan terbuka (openbite).
Bruksisme atau yang paling sering dikenal dengan istilah kerot (tooth grinding)
adalah mengatupkan rahang atas dan rahang bawah yang disertai dengan grinding
(mengunyahkan) gigi-gigi atas dengan gigi-gigi bawah. Bruksisme adalah kebiasaan bawah
sadar (sering tidak disadari) walaupun ada juga yang melakukannya ketika tidak tidur.
Bruksisme dapat dilakukan dengan tekanan keras sehingga menimbulkan suara yang keras,
tapi dapat juga tanpa suara yang berarti. Jika bruksisme dilakukan dengan tekanan kerot yang
keras, akan terjadi keausan gigi yang parah dan berlangsung dalam waktu cepat.
Bruksisme biasa terjadi pada anak. Kebiasaan ini biasanya muncul pada malam hari,
dan berlangsung dalam periode waktu yang lama, sehingga dapat menyebabkan gigi sulung
dan gigi permanen abrasi. Kebiasaan ini timbul pada masa gigi-geligi sedang tumbuh. Dan
 jika bertahan hingga anak dewasa biasanya disertai dengan adanya stres emosional,
 parasomnia, trauma cedera otak, ataupun cacat neurologis, dengan komplikasi erosi gigi, sakit
kepala, disfungsi sendi temporomandibular, dan nyeri pada otot -otot pengunyahan.
Bruxism adalah kebiasaan buruk berupa menggesek-gesek gigi-gigi rahang atas dan
rahang bawah, bisa timbul pada masa anak-anak maupun dewasa. Reding, Rubright, and
Zimmerman melaporkan 15% anak dan remaja dalam studi mereka menunjukkan adanya
 beberapa tingkatan bruxism. Biasanya terjadi pada malam hari dan jika dilanjutkan dalam
 jangka waktu yang lama bisa berakibat abrasi gigi permanen. Ketika kebiasaan tersebut
 berlangsung hingga masa dewasa maka mengakibatkan penyakit periodontal dan atau
gangguan temporomandibular joint . Sebagai tambahan, kasus disfungsi temporomandibular
 joint  lebih banyak terjadi di kalangan perempuan dewasa daripada laki-laki dewasa.(47,40,4)
Bruxism didefinisikan sebagai gerakan mengerat dan gerakan grinding dari gigi yang
 bersifat non-fungsional. Istilah ini dalam literatur sering disebut dengan beberapa istilah yang
lain, yaitu neuralgia traumatic, occlusal habit neurosis, dan parafungsional. Pasien yang
mengalami bruxism (bruxer ), biasanya tidak menyadari kebiasaan buruk yang dimilikinya
tersebut, walaupun bruxism kadang-kadang diikuti dengan suara yang mengganggu, namun
 pasien yang bersangkutan seringkali baru mengetahui kebiasaan yang dimilikinya itu dari
orang tua atau teman tidurnya. Bruxism dapat juga terjadi pada siang hari, misalnya pada saat
individu yang bersangkutan mengalami stress, namun bruxism yang paling parah adalah
 bruxism yang terjadi pada malam hari.
Bruxism pada malam hari terjadi selama tidur dan anak biasanya tidak menyadari
masalah ini. Kejadian ini biasanya singkat, berlangsung 8-9 detik, dengan terdengar suara
grinding. Bruxism pada siang hari terutama terkait dengan mengepalkan dari gigi dan
umumnya tidak menghasilkan suara terdengar. Bruxism yang diamati pada 5 -20% anak-anak.
Peningkatan frekuensi selama masa kanak-kanak, memuncak pada usia 7-10 tahun dan
menurun setelah itu.
Gambar 9. Akibat bruxism
Sumber:http://www.nidcr.nih.gov/OralHealth/OralHealthInformation/ChildrensOralHealth/O
ralConditionsChildrenSpecialNeeds.htm. Accessed on 30th Jan 2011

Pada saat tidur di malam hari, biasanya penderita akan mengeluarkan suara gigi-gigi
yang beradu. Bila dilihat secara klinis, tampak adanya abrasi pada permukaan atas gigi-geligi
rahang atas dan rahang bawah. Bila lapisan email yang hi lang cukup banyak dapat timbul rasa
ngilu pada gigi-gigi yang mengalami abrasi. Kadang terlihat adanya jejas atau tanda yang
tidak rata pada tepi lidah.
Berdasarkan tipe gerakannya, ada bruxism yang memperlihatkan gerakan grinding
dan ada juga yang memperlihatkan gerakan  static clenching , lebih banyak pada perempuan
daripada laki-laki yang menggrinding giginya, tetapi laki-laki dan perempuan yang
melakukan clenching  jumlahnya sama. Clark menegaskan bahwa bruxism tipe clenching  yang
 berhubungan dengan kontraksi muskulus yang kuat dan berkelanjutan adalah lebih berbahaya.
Bruxism lebih sering dimiliki oleh kaum wanita dibandingkan pria.
B. Etiologi Bruxism
Pada beberapa individu kebiasaan bruksisme bersifat herediter. Anak-anak yang
memiliki orangtua dengan kebiasaan bruksisme lebih cenderung melakukan kerot daripada
anak-anak yang orang tuanya tidak mengerot. 1
Hubungan antara kondisi emosional dan tegangan otot sepertinya lebih mudah untuk
dipahami. Peningkatan tegangan otot masseter berhubungan langsung dengan kondisi stres
harian. Ada satu penelitian yang membuktikan bahwa meningkatnya stres (yang ditunjukkan
dengan kandungan epinefrin di urin) berkorelasi dengan meningkatnya aktivitas otot masseter
 pada malam hari. Penelitian-penelitian tersebut secara konsisten menunjukkan kuatnya
hubungan antara aktivitas otot masseter yang nonfungsional (dikunyahkan tapi tidak untuk
mengunyah makanan) dengan stres. Pada penelitian lain, ada yang menghubungkan antara
faktor predisposisi dalam rongga mulut, yang berupa hubungan oklusal yang malrelasi atau
adanya sangkutan oklusal atau interferens, yang dapat memicu terjadinya bruksisme jika
dikombinasikan dengan stres atau kondisi cemas.
Pada anak-anak, kadang kebiasaan ini timbul pada masa gigi-geligi sedang tumbuh.
Berikut adalah empat penyebab terjadinya bruxism, antara lain :
1. Faktor psikologis
Etiologi dari bruxism termasuk kebiasaan, stress emosional (misalnya respon
terhadap kecemasan, ketegangan, kemarahan, atau rasa sakit), parasomnia (gangguan tidur
yang muncul pada ambang batas antara saat terjaga dan tidur, misalnya gangguan mimpi
 buruk dan gangguan berjalan sambil tidur). Menurut beberapa penelitian yang dianggap
 berkaitan dengan manifestasi dari bruxism, antara lain gangguan kepribadian, meningkatnya
stress, adanya depresi, dan kepekaaan terhadap stress.
Anak-anak yang memiliki kebiasaan bruxism ternyata memiliki tingkat
kecemasan yang lebih daripada anak-anak yang tidak memiliki kebiasaan bruxism. Tanda-
tanda bruxism seperti tingkat kecemasan yang tinggi, temporomandibular disorders, dan
kerusakan gigi sebaiknya dirawat pada masa kanak-kanak sebelum menjadi masalah ketika
anak telah tumbuh dewasa.
2. Faktor morfologi
Oklusi gigi geligi dan anatomi skeletal orofasial dianggap terkait dalam
 penyebab dari bruxism. Perbedaan oklusal, gangguan oklusal yang bentuknya dapat berupa
trauma oklusal ataupun tonjol yang tajam, gigi yang maloklusi secara historis dianggap
sebagai penyebab paling umum dari bruxism. Disharmoni lokal antara bagian-bagian sistem
alat kunyah yang berdampak pada peningkatan tonus otot di region tersebut juga dipandang
sebagai salah satu etiologi yang hingga saat ini masih dapat diterima banyak kalangan.
3. Faktor patofisiologis
Bruxism kemungkinan terjadi akibat kelainan neurologis yaitu ketidakmatangan
sistem neuromuskular mastikasi, perubahan kimia otak, alkohol, trauma, penyakit, dan obat-
obatan. Hal ini berpotensi sistemik menyebabkan aktivitas parafunctional melalui alergi
makanan, kekurangan gizi, dan disfungsi endokrin. Penyelidikan efek gangguan gizi dan
endokrin bersama dengan parasit pencernaan pada fungsi otot mastikasi, serat kepekaan
terhadap trigeminal sampai potensi alergi kemungkinan berguna untuk penelitian di masa
depan baik temporomandibular disorders dan hiperaktivitas otot mastikasi.
Faktor neurokimia tertentu, yaitu obat-obatan. Efek samping dari obat yang akan
menimbulkan bruxism adalah Amfetamin yang digunakan dalam mengatasi gangguan
attention-deficit/hyperactivity (ADHD) seperti methylphenidate dan pemakaian jangka
 panjang Serotonin. Selain itu, bruxism ditemukan lebih sering pada pecandu narkoba berat
serta perokok.
4. Temporomandibular Disorders (TMD)
Penderita TMD cenderung memiliki insiden bruxism yang lebih tinggi dari gangguan
 psikologis seperti stress, kecemasan, dan depresi. Faktor-faktor ini dapat menyebabkan
kebiasaan parafunctional. Gabungan dari dua atau lebih faktor etiologi yang diperlukan untuk
menyebabkan terjadinya bruxism, tetapi besarnya faktor-faktor tidak penting dalam kaitannya
dengan besarnya bruxism.

Daftar Pustaka
1. Aztecortholab. 2002. Space regainer and space regainer laboratory.retrived at
http://www.aztecortholab.com/appliances.htm
2. Cameron C Angus and Richard P Widmer.2003. Handbook of Pediatric Dentistry Second
Edition. Mosby Elsevier. China.

3. Omar A. Bawazir. 2009. Evaluation of Space Mainteiners Febricated by Dental Students :


A Retrospective Study. Pakistan Oral & Dental Journal Vol 29, No. 2 (December 2009)
4. Yuniasih EN, Soenawan H, 2006.Menghilangkan kebiasaan menghisap bibir dengan alat
 bumper. Jurnal  Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Edisi Khusus KPPIKG XIV.
5.Trasti. 2007. Pertumbuhan dan pekembangan orokraniofacial yang normal.
FakultasKedokteran Gigi Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai