Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pencemaran lingkungan adalah masalah yang akan selalu dihadapi oleh sekumpulan
masyarakat yang berada di suatu lingkungan tertentu. Pencemaran ini dapat berupa pencemaran
udara, pencemaran air ataupun pencemaran tanah.
Udara merupakan faktor yang penting dalam kehidupan, namun dengan meningkatnya
pembangunan fisik kota dan pusat – pusat industri, kualitas udara telah mengalami perubahan.
Udara yang dulunya segar, kini kering dan kotor. Keadaan ini apabila tidak segera di tanggulangi
dapat membahayakan kesehatan manusia, kehidupan hewan, serta tumbuhan . Perubahan
lingkungan udara disebabkan pencemaran udara, yaitu masuknya zat pencemar (berbentuk gas –
gas dan partikel kecil / aerosol) kedalam udara. Zat pencemar masuk kedalam udara dapat secara
alamiah (asap kebakaran hutan, akibat gunung berapi, debu meteorit, dan pancaran garam dari
laut) dan aktivitas manusia (transportasi, industri pembuangan sampah). Konsentrasi pencemaran
udara di beberapa kota besar dan daerah industri Indonesia menyebabkan adanya gangguan
pernafasan, iritasi pada mata dan telinga, timbulnya penyakit tertentu serta gangguan jarak
pandang.1
Tak hanya itu, air juga merupakan komponen lingkungan hidup yang penting bagi
kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor
82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air maka air
merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki fungsi sangat penting bagi kehidupan
manusia serta untuk memajukan kesejahteraan umum sehingga merupakan modal dasar dan
industri utama pembangunan. Dalam kehidupan sehari – hari, peranan air selain sebagai bahan
baku air minum juga digunakan untuk aktivitas manusia seperti pengairan, pertanian, kegiatan
industri dan lain – lain. Maka sekarang ini air menjadi subjek yang perlu mendapat perhatian
yang seksama dan cermat.2

1
R.D Ratnani, “Teknik Pengendalian Pencemaran Udara yang Diakibatkan Oleh Partikel”, Jurnal Momentum, Vol.
4, No. 2, (Oktober 2008), 27
2
Operi Arnop dkk., “Kajian Evaluasi Mutu Sungai Nelas dengan Metode Storet dan Indeks Pencemaran”.
NATURALIS – Jurnal Penelitian Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Vol. 8 No. 1, (April 2019), 15
Pembahasan dibawah ini bertujuan untuk mengetahui gambaran secara umum tentang udara,
air dan permasalahanya serta mengetahui tentang upaya – upaya dalam pengendalian
pencemaran udara dan air.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengendalian Pencemaran Udara
1. Berdasarkan PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara
Pencemaran udara adalah masuk atau dimasukkannya zat, energi, dan / atau komponen
lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun
sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi
fungsinya.3
Jika terjadi pencemaran udara, maka akan terjadi gangguan pada kesehatan manusia.
Terdapat dua jenis sumber pencemaran udara, yang pertama adalah pencemaran akibat
sumber alamiah (natural sources) seperti letusan gunung berapi, dan yang kedua berasal dari
kegiatan manusia (anthropogenic sources) seperti yang berasal dari transportasi, emisi
pabrik, dan lain-lain. Pencemaran udara dapat terjadi dimana-mana, seperti di dalam rumah,
sekolah, dan kantor. Pencemaran seperti ini sering disebut dengan pencemaran dalam
ruangan (indoor pollution). Sedangkan pencemaran di luar ruangan (outdoor pollution)
berasal dari emisi kendaraan bermotor, industri, perkapalan, dan proses alami oleh makhluk
hidup. Sumber pencemar udara dapat diklasifikasikan menjadi sumber diam dan sumber
bergerak. Sumber diam terdiri dari pembangkit listrik, industri dan rumah tangga. Sedangkan
sumber bergerak adalah aktifitas lalu lintas kendaraan bermotor di darat dan tranportasi laut.4
Udara yang tercemar tentu saja dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan
masyarakat. Dalam hal ini, undang-undang menjamin hak setiap warga negara untuk
memperoleh lingkungan hidup yang sehat. Seperti yang diatur dalam ketentuan Pasal 28H
ayat (1) Undang - Undang Dasar 4 Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa, “setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan
hidup yang baik dan sehat, berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”5
Pengendalian Pencemaran Udara adalah upaya pencegahan dan/atau penanggulangan
pencemaran udara serta pemulihan mutu udara.6 Berbagai upaya dilakukan pemerintah dalam

3
Pasal 1 ayat (1) PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara
4
Yusrianti, “Studi Literatur tentang Pencemaran Udara Akibat Aktivitas Kendaraan Bermotor di Jalan Kota
Surabaya”, Al-Ard – Jurnal Tekhnik Lingkungan, Vol. 1 No. 1, 12
5
Christian Alberto, “Pengendalian Pencemaran Udara Melalui Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota
Yogyakarta”, Jurnal Hukum – Universitas Atma Jaya Yogyakarta, (2015), 3
6
Pasal 1 ayat (2) PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara
mengatasi pencemaran udara yang telah menjadi masalah global di negeri ini, diantaranya
dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 tentang pengendalian
pencemaran udara, peraturan ini dimaksudkan untuk mencegah, membatasi, dan memitigasi
pencemaran udara termasuk gangguan dan kebisingan, baik dari sumber tidak bergerak
maupun dari sumber bergerak.7
Parameter yang digunakan untuk melihat kualitas udara bersih sesuai dengan Peraturan
Pemerintah No. 41 Tahun 1999 yaitu kandungan Hydrocarbon (NMHC), Karbonmonoksida
(CO), Partikulat Meter (PM10), Nitrogen Oxida (NO2), Ozon (O3) dan Sulfur Oxide (SO2.) Jika
parameter di atas menunjukkan angka yang melebihi standar baku yang sudah ditetapkan
pemerintah, maka dengan kata lain kualitas udara yang ada di suatu tempat tersebut sudah
terancam kebersihannya karena adanya suatu polusi.8
Pengendalian pencemaran udara dilakukan melalui tiga upaya, yaitu :
a) Pencegahan
Upaya pencegahan pencemaran udara dilakukan melalui langkah-langkah berikut :
- Penetapan Baku Mutu Udara Ambien (BMUA)
- Penetapan Baku Mutu Emisi Sumber Tak Bergerak (BMESTB);
- Baku Tingkat Gangguan (BTG)
- Penetapan Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor (ABEGBKB).9
Setiap kegiatan yang mengeluarkan emisi gangguan wajib memperhatikan dan mentaati
BMUA, BMESTB, BTG dan ABEGBKB sebagai bentuk pencegahan dalam
mengendalikan pencemaran udara.
Pemerintah telah menetapkan BMUA Nasional, sebagaimana terlampir dalam
Lampiran PP No. 41 Tahun 1999. Gubenur berwenang menetapkan BMUA daerahnya
dengan ketentuan sama atau lebih ketat dari BMUA Nasional. Jika Gubernur belum
menetapkan BMUA daerahnya, maka menggunakan BMUA nasional yang berlaku.
BMUA Nasional dan daerah dapat ditinjau lima tahun sekali.
Di samping berwenang menetapkan baku mutu udara ambien daerah, gubernur juga
memiliki peran yang sangat sentral dalam penentuan apakah pencemaran udara telah
terjadi atau tidak. Dalam konteks ini, hasil inventarisasi Kementerian LH terhadap mutu
7
Christian Alberto, “Pengendalian Pencemaran Udara...”, 4
8
Philipi Sembiring, “Perlindungan Hukum Terhadap Udara Sebagai Upaya Pencegahan Pencemaran Akibat
Kendaraan Bermotor di Kota Yogyakarta”, Jurnal Hukum – Universitas Atma Jaya Yogyakarta, (2019), 2
9
Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, (Depok:PT Raja Grafindo Persada:2011), 131
udara dijadikan dasar oleh gubernur untuk menetapkan status mutu udara ambien.
Apabila status mutu tersebut berada di atas baku mutu udara ambien, maka gubernur
menetapkan adanya pencemaran udara di daerahnya, dan berkewajiban untuk melakukan
penanggulangan dan pemulihan atas pencemaran tersebut.10
Sebagai bagian dari upaya pencemaran udara Menteri Lingkugan Hidup telah
mengeluarkan11 :
a. Keputusan No. 35/MENLH/10/1993 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang
Kendaraan Bermotor
b. Keputusan No. 13/MENLH/3/1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak
Bergerak;
c. Keputusan No. 48/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan;
d. Keputusan No. 49/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Getaran;
e. Keputusan No. 50/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Kebauan;
f. Keputusan No. 45/MENLH/10/1997 tentang Indeks Standar Pencemar Udara;
g. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 107/KABAPEDAL/11/1997 tentang Pedoman
Teknis Perhitungan dan Pelaporan Serta Informasi Standar Pencemar Udara.
b) Penanggulangan; dan Pemulihan Mutu Udara
Upaya penanggulangan dan pemulihan dilakukan melalui langkah-langkah berikut:
a. Mewajibkan kegiatan sumber pencemar melakukan penanggulangan dan
pemulihan;
b. Menetapkan pedoman teknis penanggulangan dan pemulihan;
c. Melakukan pengawasan penaatan oleh sumber pencemar;
d. Mewajibkan pelaku pencemar udara membayar biaya penanggulangan dan
mewajibkan pencemar membayar ganti rugi kepada penderita.
1) Penanggulangan Pencemaran Udara sumber tidak bergerak12 :
a. Pengawasan terhadap penaatan baku mutu emisi
Kegiatan pengawasan penaatan merupakan amanat Pasal 71 ayat (1) UU Nomor
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
menyatakan bahwa “Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan

10
Laode M. Syarif dkk. “Hukum Lingkungan – Teori...”, 406-407
11
Ibid, 132
12
Pasal 25 PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara
kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab
dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup”. Untuk itu
penguatan sistem dan perangkat pengawasan lingkungan yang efisien dan efektif
menjadi suatu keharusan.13
Kegiatan pengawasan ini diperlukan agar penanggung jawab kegiatan menaati
semua ketentuan perundang-undangan lingkungan hidup, persyaratan dalam berbagai
izin (izin usaha, izin pembuangan limbah, dll) serta persyaratan mengenai semua
media lingkungan (air, udara, tanah, kebisingan, getaran) yang seharusnya tercantum
dalam perizinan yang telah dimiliki. Buku pedoman ini dapat dijadikan dasar dalam
pelaksanaan pengawasan pemerintah kabupaten/kota untuk meningkatkan ketaatan
industri dalam pengelolaan lingkungan hidup.14
b. Pemantauan emisi yang keluar dari kegiatan dan pemeriksaan penataan terhadap
persyaratan teknis pengendalian pencemaran udara;
Yang dimaksud dengan persyaratan teknis adalah persyaratan pendukung dalam
kaitannya dengan penaatan baku mutu emisi, ambien, dan kebisingan. Contohnya :
persyaratan lubang sampling di cerobong asap, persyaratan titik sampling untuk
udara ambien, persyaratan pelaporan dan persyaratan teknis lainnya.
2) Penanggulangan Pencemaran Udara Sumber Bergerak dilakukan melalui upaya
berikut15 :
a. Pengawasan terhadap penaatan ambang batas emisi gas buang, pemeriksaan emisi
gas buang, pemantauan mutu udara di sekitar Jalan, pemeriksaan emisi gas buang
kendaraan bermotor di jalan dan pengadaan bahan bakar minyak bebas timah
hitam serta solar berkadar belerang rendah sesuai standar internasional.
b. kewajiban memenuhi ambang batas emisi gas buang bagi kendaraan bermotor
lama dan baru
c. uji tipe emisi bagi kendaraan baru dan uji emisi bagi kendaraan bermotor lama
3) Penanggulangan Pencemaran Udara yang berasal dari sumber gangguan, melalui
upaya-upaya berikut :
13
Ruly Fatwani dkk. Buku Panduan Pengawasan dan Kumpulan Peraturan Pengendalian Pencemaran Lingkungan,
(BPLH Jawa Barat: 2014), 1
14
Ibid, 2
15
Takdir Rahmadi, “Hukum Lingkungan..” 132
a. Pengawasan terhadap penaatan baku tingkat gangguan, pemantauan gangguan;
b. Penaatan terhadap tingkat gangguan;
c. pemenuhan ambang batas kebisingan;
d. uji kebisingan bagi kendaraan baru dan uji kebisingan bagi kendaraan lama.16
2. Berdasarkan PP No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan / atau
Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan /
atau Lahan
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam
hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu
dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.17 Hutan yang seharusnya dijaga dan dimanfaatkan
secara optimal dengan memperhatikan aspek kelestarian kini telah mengalami degradasi dan
deforestasi dengan munculnya fakta bahwa negara Indonesia dikenal sebagai negara yang
mempunyai tingkat laju degradasi dan deforestasi tahunan tercepat di dunia. Sebanyak 72%
dari hutan Indonesia asli telah musnah dengan 1,8 juta hektar hutan dirusak per tahun antara
tahun 2000 hingga tahun 2005 dan sebuah tingkat kerusakan hutan sebesar 2% setiap
tahunnya.18
Kebakaran hutan di Indonesia mulai memperoleh perhatian luas, baik secara nasional,
maupun internasional sejak terjadinya kebakaran hutan pada tahun 1997- 1998. Laporan
ADB memperkirakan pada kebakaran ini setidaknya sekitar 9,75 juta hektare lahan hutan
telah terbakar. Tidak dapat dipungkiri, bahwa kegiatan manusia, terutama terkait pembukaan
lahan, telah memberikan kontribusi terbesar bagi terjadinya peristiwa kebakaran tersebut.
Kebakaran ini juga telah mengeluarkan emisi gas rumah kaca sekitar 0,81-2,57 gigaton
karbon ke atmosfer.19
Pemerintah merasa perlu mengundangkan sebuah perangkat hukum yang khusus untuk
pengendalian pencemaran udara yang bersumber dari kebakaran hutan dan lahan karena
kegiatan pengalihan fungsi lahan dan kawasan hutan menjadi kawasan perkebunan dan

16
Takdir Rahmadi, “Hukum Lingkungan..” 133
17
Pasal 1 ayat (1) PP No. 4 Tahun 2001
18
AM Sabrina, “Strategi Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan” Al-Mabsut – Jurnal Studi
Islam dan Sosial, (2015), 4
19
Laode M. Syarif dkk. “Hukum Lingkungan – Teori...”, 410-411
pertanian melalui pembakaran, yang telah menjadi gejala yang lazim dalam beberapa tahun
terakhir ini.20
1) Tata Laksana Pengendalian serta Pencegahan Kerusakan Lingkungan Hidup
Akibat Kebakaran hutan atau Lahan
a. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan pembakaran hutan dan atau lahan.21
b. Setiap orang berkewajiban mencegah terjadinya kerusakan dan atau pencemaran
lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.22
c. Setiap penanggung jawab usaha yang usahanya dapat menimbulkan dampak besar
dan penting terhadap kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang
berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan wajib mencegah terjadinya
kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya.23
d. Setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 wajib
memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk mencegah terjadinya kebakaran
hutan dan atau lahan di lokasi usahanya.24 yang meliputi:
a. sistem deteksi dini untuk mengetahui terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan;
b. alat pencegahan kebakaran hutan dan atau lahan;
c. prosedur operasi standar untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran
hutan dan atau lahan;
d. perangkat organisasi yang bertanggung jawab dalam mencegah dan
menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan;
e. pelatihan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan secara berkala.25
e. Penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib melakukan
pemantauan untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi
usahanya dan melaporkan hasilnya secara berkala sekurang-kurangnya 6 (enam)
bulan sekali yang dilengkapi dengan data penginderaan jauh dari satelit kepada
Gubernur/ Bupati/Walikota dengan tembusan kepada instansi teknis dan instansi yang
bertanggung jawab.26
20
Takdir Rahmadi, “Hukum Lingkungan..” 133
21
Pasal 11 PP No. 4 Tahun 2001
22
Pasal 12 PP No. 4 Tahun 2001
23
Pasal 13 PP No. 4 Tahun 2001
24
Pasal 14 ayat (1) PP No. 4 Tahun 2001
25
Pasal 14 ayat (2) PP No. 4 Tahun 2001
26
Pasal 15 PP No. 4 Tahun 2001
f. Pejabat yang berwenang memberikan izin melakukan usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 wajib memperhatikan27 :
a. kebijakan nasional tentang pengelolaan hutan dan atau lahan sebagai bagian dari
pendayagunaan sumber daya alam;
b. kesesuaian dengan tata ruang daerah;
c. pendapat masyarakat dan kepala adat; dan
d. pertimbangan dan rekomendasi dari pejabat yang berwenang.
2) Penanggulangan Kerusakan Lingkungan Hidup Akibat Kebakaran hutan atau
Lahan
a. Setiap orang berkewajiban menanggulangi kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi
kegiatannya.28
b. Setiap penanggung jawab usaha sebagaimana bertanggung jawab atas terjadinya
kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya dan wajib segera melakukan
penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya. Pedoman umum
penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan, ditetapkan lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri yang bertanggung jawab di bidang kehutanan setelah
berkoordinasi dengan Menteri lain yang terkait dan Instansi yang bertanggung jawab.
Ketentuan lebih lanjut tentang pedoman teknis penanggulangan kebakaran hutan dan
atau lahan, ditetapkan dengan peraturan daerah.29
c. Dalam hal pedoman umum dan pedoman teknis penanggulangan kebakaran hutan
dan atau lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3) belum
ditetapkan, maka penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3) Pemulihan Kerusakan Lingkungan Hidup Akibat Kebakaran hutan atau Lahan
a. Setiap orang yang mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan wajib
melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup.
b. Setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib
melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran
hutan dan atau lahan di lokasi usahanya.

27
Pasal 16 PP No. 4 Tahun 2001
28
Pasal 17 PP No. 4 Tahun 2001
29
Pasal 18 ayat (1) (2) (3) PP No. 4 Tahun 2001
c. Pedoman umum pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan
kebakaran hutan dan atau lahan ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala Instansi yang
bertanggung jawab.
d. Ketentuan lebih lanjut tentang pedoman teknis pemulihan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan peraturan daerah.
e. Dalam hal pedoman umum dan pedoman teknis pemulihan dampak lingkungan hidup
yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (2) dan ayat (3) belum ditetapkan, maka pemulihan dampak lingkungan
hidup dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
B. Pengendalian Pencemaran Air

Anda mungkin juga menyukai